Senin, 08 Oktober 2018

Krisis Kepemimpinan, Kemakmuman, Kemanusiaan, Akal, Agama dan Keadilan

Krisis Kepemimpinan, Kedipimpinan/ kemakmuman, Kemanusiaan, Akal, Agama dan Keadilan



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:00


Bintang Ali: Salam ustadz, 

Beberapa waktu belakangan ini saya melihat (dengan subjektif) bahwa setiap negara memiliki ujiannnya masing-masing, seperti negri Palestina diuji dengan penjajah zionis, Iran diuji dengan Amerika + kacung-kacungnya, Indonesia diuji dengan inkompetensi kepemimpinan negara (KKN) dan bencana, Jepang diuji dengan gempanya, dan lain-lain. 

Khusus untuk Indonesia ustad, apa yang mesti dilakukan/tidak dilakukan secara sosial dan individu untuk lulus ujian?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Untuk mengerti ujian dan harganya serta jalan keluarnya, maka kita mesti tahu dulu apa itu manusia dan kemanusiaan serta tujuan atau hikmah penciptaannya. Karena tanpa itu, maka nantinya akan merasa sejajar semuanya hanya gara-gara sama-sama dapat ujian. 

Misalnya ujian bobroknya sosial dan lingkungan seperti negara kita ini disamakan dengan ujian zionist dan seterusnya. Padahal bedanya seperti langit dan dasar lautan. 

Petaka yang menimpa itu, bisa berupa hukuman dan bisa berupa ujian murni. Yakni kapan saja musibahnya itu merupakan hasil dari kerja-kerja kita, maka itu adalah hukuman. Bobroknya sosial kita, itu adalah petaka yang ditimbulkan oleh tangan kita sendiri, jadi ia adalah hukuman dan azab. 

Tentu saja untuk sebagian orang yang tidak bobrok sekalipun memiliki kemampuan untuk bobrok (sebab ada yang tidak bobrok karena belum ada fasilitasnya), dan kalau sudah beramar makruf dan nahi mungkar, maka petaka itu baginya adalah ujian, bukan hukuman. Tetapi kalau ketidakbobrokannya itu karena belum punya fasilitas, dan/atau tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar, maka semua petaka yang menimpanya adalah bala’ dan hukumannya juga. 

Bagi saya KKN bukan problem terbesar bangsa Indonesia, sekalipun termasuk besar. Yang terbesar bagi saya adalah kepotensian bangsa secara umum untuk itu. Artinya, secara umum (yang pasti ada kecualinya) bangsa kita memang punya potensi untuk tidak benar seperti itu. 

Bukti nyatanya, adalah kerilekan dan bahkan kecenderungan menerima kesalahan atau kebobrokan orang atau diri sendiri. Orang tua –misalnya- baru akan marah tentang pergaulan anak perempuannya kalau sampai hamil. Tetapi di bawah itu, sepertinya, sudah tidak ada lagi yang menolaknya. Seperti anak perempuan keluar sendiri, sekolah campur, teman campur, kuliah campur, budaya amburadul, musik tidak karu-karuan. dan seterusnya sudah tidak ada lagi yang jangankan marah, nolak saja sudah tidak ada. 

Dulu, di jaman Jahiliyyah Arab, serusak apapun, kejujuran masih disanjung tinggi. Di Indonesia coba, maka pasti dikatakan bodoh (misalnya menjual barang dan menceritakan keburukan yang ada pada barangnya, atau duduk di DPR tetapi tidak melakukan apapun, baik untuk rakyat yang ada di luar atau dalam partainya sendiri). Karena itu, orang lain dikatakan KKN, tapi mereka tidak merasa KKN, karena semua sudah mencari alasan dan apologi untuk dirinya sendiri. Artinya, budaya yang memang didasari potensi untuk rusak itu yang, telah dipupuk dengan kepenerimaan (bc: memaafkan) kebobrokan orang, semua itulah yang telah membuat kebatilan itu benar-benar tidak terasa batil dan bahkan terasa baik kalau sudah didapatkan apologinya. 

Misalnya juga, dalam profesi. Hampir semua profesi dijaga ketat kecuali agama. Karena itu, semua orang bisa jadi ustad hanya dengan pendidikan training, baca buku dan semacamnya. Semua sudah pada jadi pemikir dan pemecah masalah-masalah sosial dan keislaman, hanya bermodalkan semua itu. 

Nah, kepenerimaan bangsa kita ini terhadap semua itu, yang saya katakan problem terbesarnya. Artinya kenyamanan dalam hidup seperti itu, makan enak dan bisa tidur nyenyak dalam lingkungan seperti itulah, problem terbesar kita semua di Indoenesia. Info yang amburadul, ilmu yang simpang siur, Islam yang ampuun lebih simpang siur lagi (sunni dan syi’ahnya) hingga membuat Indonesia tidak pernah bisa melihat langit nan biru itu, semua itu, ditimbulkan dari hal- hal di atas tersebut. 

Nah, semua yang menimpa kita ini, adalah hasil tangan kita sendiri, bukan jajahan seperti zionist. Jadi, nilai petakannya justru membuat kita jatuh dari kemanusiaan, keadilan dan keislaman. Yakni tidak menjadi mulia karena ujian itu. 

Dan sudah tentu jalan keluarnya juga tidak ada. Tidak seperti kalau melawan Belanda dulu atau Israil sekarang. Kegelapan kita di Indonesi) ini, tidak ada jalan keluarnya. Karena ianya adalah perbuatan kita sendiri. 

Jalan keluar satu-satunya adalah bunuh diri secara massal. Yakni membunuh ego kita secara massal. Artinya meyakini dengan sepenuh argumentasi gamblang bahwa kita ini bukan hanya tidak memiliki kebaikan apa-apa, tetapi malah menjadi sumber bagi semua keburukan yang ada. 

Kalau hal ini bisa dilakukan, maka di masa datang masih ada harapan. Tetapi kalau tidak, maka selamanya kita tidak akan selamat. Bagaimana bisa menyelamatkan diri wong merasa selamat. Bagaimana bisa mengislamkan diri wong merasa dan meyakini dirinya Islam. Bagaimana bisa berjuang untuk keadilan wong merasa penegak keadilan. Bagaimana bisa berjuang untuk kemanusiaan wong merasa dirinya paling manusianya manusia. 

Percayalah, kalau Allah mengutus nabi ke negeri kita ini, maka nabi itu akan dibunuh tidak lebih dari sebulan setelah diutus. Artinya akan dibunuh oleh orang yang bertauhid, bukan oleh orang- orang kafir musyrik secara lahiriah. Artinya akan dibunuh oleh manusia yang merasa manusiawis, adil dan agamis. 

Beda halnya dengan bangsa yang memang jujur, tidak punya potensi untuk bobrok sekalipun punya fasilitas, maka biasanya ujian yang ada, datang dari luar. Mereka-mereka inilah yang dengan mendapat ujian, menjadi labih hebat dan lebih bermaqam tinggi. Dan jalan keluarnya juga ada dan jelas dan jauh lebih mudah. Karena yang dikorbankan bukan harga dirinya, tetapi harta dan nyawanya. Beda halnya kalau yang harus dikorbankan itu adalah ego dan harga dirinya serta kemerasatahuannya. Dan sudah tentu, manakala ego dan kemerasatahuan dan hebatannya tidak mau dikorbankan untuk kemanusiaan, keadilan dan agama, maka sudah pasti harta dan nyawanya juga tidak akan pernah dikorbankan. 

Di Indonesia, banyak juga yang ingin berjuang, ingin jadi adil dan agamis. Tetapi keinginannya itu, karena dasar-dasar kehidupannya seperti di atas itu, maka keinginannya hanya perasaanis hewanis, bukan manusiawis dan aklis. Artinya hanya keinginan perasaan seperti ingin makan bagi yang lapar. Artinya tidak ingin secara hakiki dan kenyataan atau secara filosofis. Karena itulah, hampir seluruh kehidupannya hanya berkisar di perut dan syahwatnya. Artinya hanya berkisar di fasilitas kehidupannya. Artinya, selalu berusaha supaya bisa hidup nyaman –sekalipun dalam sosial seperti itu? Oh Indonesiaku. 

Bintang Ali: Waduh ustadz,, repot juga ya kalau begini, kalau semua orang udah ‘’paling merasa”. Tetapi apa mungkin membunuh ego dari orang yang “paling merasa”?? Seperti tidak ada jalan keluarnya ustad, jadi ini hukuman seumur hidup dong ustad ? 

Sinar Agama: Jadi, sebenarnya Tuhan tidak pernah mengeluarkan panas, hukuman, sakit dan seterusnya, tetapi berpaling dariNya itulah yang dikatakan hukuman dalam berbagai jenis dan tingkatannya. Akan tetapi karena sistem itu ada dalam sistemNya, maka dari sisi itulah Dia menisbahkan atau menghubungkan semua itu kapadaNya, seperti menyesatkan, mengazab dan seterusnya. 


Bintang Ali: Satu lagi ustadz,, secara individu, jika ujian/cobaan/masalah/kesulitan yang ditimpa- kan kepada seseorang namun tiap orang tersebut berusaha mencari solusi dari cobaan (keluar dari masalah) itu merasa sangat kesusahan dalam mencari solusi (penyelsaian) bahkan selalu mandeg dan mandeg lagi apakah bisa dikatakan cobaan/ujian ini adalah ujian yang dikatakan para aimmah sebagai ujian penghapus dosa dosanya di masa lalu? 

Sinar Agama: Kalau ujiannya itu dari tangan kita sendiri, maka dosa itu tidak bisa dihapus seluruhnya, apalagi dosa yang kita lakukan itu merupakan dosa yang dibanggakan. Jadi petaka yang datang di dunia adalah mukaddimah bagi petaka akhirat. Tetapi kalau dosanya dilakukan dengan sedih, yakni dalam kesinambungannya itu merasa sedih, maka mungkin saja petaka yang datang itu dapat mengurangi dosanya, tetapi tidak terhapus karena memang dilanjutin oleh dirinya sendiri.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar