Kamis, 04 Oktober 2018

Taqiah (seri 1)



Seri Tanya Jawab Haera Puteri Zahrah dan Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 14:03



Haera Puteri Zahrah: Salam ustadz, boleh tanya kembali, apakah dalam takiya di wilayah shalat itu wajib di ganti atau tidak dan jika kita hendak melaksanakan shalat dengan takiyah apakah mulai dari wuduh kita rubah atau pada saat menjalankan shalat aja di tempat umum. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Masalah takiyah ini sudah pernah saya terangkan sebelumnya.
(2). Takiyah adalah melakukan ibadah seperti sekitarannya yang dikhawatirkan terjadinya hal- hal di atas itu. Jadi, tidak terkhusus kepada shalat, tapi apa saja.
(3). Tentu saja takiah itu ada batasannya, yakni yang bisa dilihat mereka. Karena tujuan takiah kan bersembunyi dari mereka, jadi kalau mereka tidak melihatnya, seperti wudhu di kamar mandi yang tidak terlihat siapapun, maka jelas tidak boleh takiah, kecuali kalau khawatir diintip. 

(4). Kalau takiahnya benar dan memenuhi syarat-syarat di atas itu, maka sudah pasti ibadahnya syah dan tidak perlu diulang. 

(5). Ala lagi sebab takiah yang tidak berhubungan dengan yang kamu tanya, yaitu karena persatuan. Saya katakan tidak termasuk yang kamu tanya, karena takiah persatuan, ada sayarat-syarat lainnya. Yaitu kita dikenali oleh lingkungan kita sebagai orang syi’ah. Dan cara ibadahnya tidak boleh takiah. Dan yang ditakiyahi hanyalah shalat jamaahnya. 

Asadi Al Madzlum: Dalam wudhu cara umumpun kita bisa taqiyah karena basuhan dan usapan yang di hitung adalah yang kita niatkan saja.. 

Sinar Agama: Abu M: Takiyah dalam wudhu yang antum maksud itu tidak mudah dilaksanakan. Karena harus tahu hukum dengan baik dan tidak terlalu umum. MIsalnya, kalau menuangkan air ke muka atau ke tangan lebih dari dua kali maka menjadi haram dan membatalkan karena akan membuat usapannya yang harus dari bekas wudhu’nya itu dilakukan dengan air yang bukan wudhu. Karena air wudhu’ itu adalah maksimal dua kali tuangan ke wajah dan ke tangan. Ini asal hukumnya 

Sekarang kalau mau bertakiah, maka antum harus tahu hukumnya. Dalam contoh di atas itu, tuangan pertama tidak diniatkan sebagai wudhu’ dan hanya meniatkan tuangan yang ke dua atau hanya yang ke tiga. Begitu pula penuangan air (dengan tangan) ke tangan seperti halnya penuangan (dengan tangan) ke wajah itu. Artinya hanya main niat. Ini adalah cara yang antum maksud. 

Akan tetapi, cara itu memang wajib dilakukan dalam takiahnya. Tapi kalau tiga kali tuangan dengan tangan itu merupakan ciri sunni dan diperhatikan oleh lingkungannya. Tapi kalau tidak, maka tidak perlu buat susah hingga menuang air sebanyak tiga kali. 

Jadi, dalam takiah penuangan dengan tangan ke wajah dan ke tangan itu, harus dilakukan hukum Syi’ahnya, yakni tidak takiyah. Karena tidak bisa dideteksi oleh orang. 

Asadi Al Madzlum: Tapi kelihatannya memang perlu ustadz meliris buku-buku tentang tata cara bertaqiah yang benar. 

Sinar Agama: Tapi dalam usapan rambut, maka kalau cara yang benarnya tidak men dapat perhatian orang, karena memang tidak terlalu beda, maka harus dilakukan yang benarnya. Tapi untuk kaki yang benar-benar beda, maka yah .. harus menggunakan cara sunni, alias dibasuh dan jugan diusap. 

Catatan: Hukum takiah itu, adalah hukum kebolehan melakukan ibadah sesuai dengan apa-apa yang dilakukan oleh yang mengamcamnya (walau ancamannya itu dalam bentuk kemungkinan hati dan akal). Akan tetapi ia tidak wajib dilakukan. Jadi, kalaulah ada kemungkinan adanya ancaman yang empat itu, akan tetapi tetap nekad dan tidak takiyah, maka ibadahnya tetap syah. Dan kalau ternyata ia dibunuh, maka ia syahid. 


Besse Tanra Esse Wajo: Jadi sesungguhnya taqiyah itu tidak wajib yach Ustadi? Meskipun dalam komunitas yang kecil dan dengan pertimbangan stategi gerakan? 

Sinar Agama: Besse: Justru dengan alasan strategi itu tidak boleh takiah. Takiah itu hanya dibolehkan di empat kondisi yang dimungkinkan itu, tapi tidak ada dari empat kondisi itu yang menyatakan tentang strategi dakwah. Tuhan dengan hukumNya ini, yakni tidak wajib takiah dan hanya boleh takiah di empat kondisi itu, lebih tahu strategi dakwah dari kita. Karena pengamalan yang jelas itu, kalau tidak ada 4 bahaya di atas atau ada bahaya tapi tidak takiah, adalah dakwah bil-haal yang sangat dianjurkan agama. 

Besse Tanra Esse Wajo: Saya sering tidak takiah Ustadi, dan ternyata hal ini mengancam gerakan dakwah teman-teman di sini karena sebelumnya syi’ah dianggap sesat di daerah saya Ustadzi. Mohon Pencerahannya... 

Sinar Agama: Besse, saya juga begitu. Dan justru dengan tidak takiah itu lama-lama masnyarakat sekitar menjadi paham bahwa kita tidak sesat. Karena itu lakukan saja sesuai perintah fikih, tapi santun pada lingkungan serta kalau bisa membantu lingkungannya. Berakhlak mulia dan berilmu tinggi, tawadhu dan tidak mudah emosi diganggu lingkungan. 

Oh iya, takiah dengan alasan dakwah itu tidak boleh. Tapi menutup diri, yakni kalau shalat di depan mereka shalat dengan cara sunni, tapi sebelum habis waktu diulang lagi di rumah, maka hal ini tidak dosa dan telah melakukan kewajibannya, karena sudah mengulangnya di rumah sebelum habis waktunya. 

Besse Tanra Esse Wajo: Makasih Ustadi atas pencerahannya. Semangat untuk berbuat dalam kemerdekaan sekarang jadi meyakinkan. Mohon tetap dibimbing Ustadi. 

Sinar Agama: Besse: Kita mesti saling mengingatkan dengan dalil manakala diperlukan, selamat. 

Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Abdullah Ndonk Mubarak dan 14 lainnya menyukai ini. 

Latifah Shahab: Bagaimana taqiyah berpuasa, ketika orang yang kita tutupi adalah suami yang nota bene selalu berdampingan dengan kita dan dia tidak mengizinkan kita untuk memperlambat berbuka karena seolah telah menyalahkan orang-orang suni yang telah berbuka, kalupun membayar di lain waktu keadaannya tetap demikian. Jadi tetap kesulitan untuk membayarnya. 

Sinar Agama: Latifah, jelas dalam hal seperti itu harus mendahulukan perintahNya, namun dengan kelembutan dan tidak membalas ejekan dan marahan suami. Jadi, tidak usaha mengikuti suami, tapi tidak boleh melayani pertengkaran. Semoga syarifah mendapatkan bantuan siti Faathimah as, amin. 

Latifah Shahab: Masalahnya gini ustadz, teman saudara saya ini terancam dicerai kalau ketahuan syiah, suaminya sebetulnya sangat baik dan ideal namun sangat anti syiah. 

Sinar Agama: Shahab. Istrinya itu taklid kepada siapa? Mungkin nanti bisa dimintakan ijin marja’nya. Tapi alasannya jangan dibuat-buat. Sebab sekali saja alasannya berbeda dengan kenyataannya, maka ijin tadi sudah tidak berguna. 

Sinar Agama: Musa: Tidak perlu harus buku, karena itu sudah ada di fatwa. Maka tinggal membacanya atau kalau masih bahasa asing, maka bisa minta tolong kepada orang yang mampu. 

Sinar Agama: Jawabanku sudah jelas. 

Latifah Shahab: Ali Khamenei. 

Latifah Shahab: Terimakasih ustadz, saya merasa beruntung bisa mengenal ustadz. 

Sinar Agama: Latifah: saya juga merasa sangat beruntung bisa berteman denganmu dan dengan semua teman-teman yang di face book ini, terlepas sepaham kek atau tidak. Karena kita beribadah dengan bertukar pengetahuan. Tapi harus argumentatif, tidak boleh basa-basi dalam ilmu. Beda dengan di luar ilmu. Sebab di luar ilmu, maksudnya dalam pergaulan sehari-hari, bisa saja kita melakukan basa basi dan lapang dada tanpa menegur dan semacamnya. Tapi kalau dalam ilmu, mesti dikatakan dan dituntaskan. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Eirfan Eillyas: Saya seorang sunni... bagaimana saya mahu menjadi syiah... 

Edo Saputra: Steel lmie, “ketika ente sudah meyakini konsep imamah ahlulbayt kamu sudah menjadi syiah, tinggal peleksanaanya kamu harus belajar agar lebih yakin.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar