Selasa, 12 Mei 2020

Hidayah Takwiniyyah-Tasyri’iyyah, Fungsi Akal, Akal Gamblang dan Sitiran Terhadap Pluralisme


Tanya-jawab: Al Louna dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/?id=231334233578047 by Sinar Agama (Notes) on Monday, July 25, 2011 at 2:47am

Al Louna: Salam ustadz, tolong jelaskan tentang hidayah:

1. takwiniah (langsung dari allah)
2. tashri’ayah (tidak langsung)

lalu apa perbedaan hidayah dan mu’zizat?..

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Takwiniyyah itu adalah Ciptaan. Jadi, Hidayah Takwiniyyah itu adalah Hidayah yang muncul dari ciptaan. Seperti Akal, bumi, langit, topan, gempabumi, makhluk yang ajib-ajib dan langka (seperti ikan langka yang ada di laut), kupu-kupu indah, gelombang lautan, hujan, gerhana bulan, api,es, atom, putaran darah, gen, cinta, benci, marah, sabar, wujud terbatas,................. dan semua makhluk yang ada di alam lahir dan batin ini, baik materi atau non materi.

Hidayah ini dikatakan langsung, kalau kita mengambilnya dari makhluk-makhluk itu secara langsung. Artinya, kita langsung tahu denganmelihat atau membayangkan semua itu bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu satu, bahwa Tuhan itu tidak berangkap dan tidak terbatas, bahwa Tuhan itu Maha Pandai, bahwa Tuhan itu Maha Bijaksana, bahwa Tuhan itu Maha Adil, bahwa Tuhan itu pasti menurunkan syariatNya, bahwa Tuhan itu pasti mengutus manusia dan bukan yang lainnya sebagai utusanNya, bahwa Tuhan itu pasti mengutus yang makshum dari kecil dengan ikhtiarnya sendiri, bahwa Tuhan itu tidak mungkin membiarkan Nabi terakhirNya tanpa penerus yang juga makshum, bahwa Tuhan itu tidak mungkin menyuruh umat manusia meminta jalan lurus tiap hari tapi jalan lurus tersebut tidak ada karena ketidakadaan orang makshum yang bisa memahami dan mengamalkan Islam seratus persen, bahwa Tuhan itu tidak mungkin memerintahkan kita untuk taat lalu tidak ada balasannya nanti setelah mati (karena di dunia belum ada balasannya), bahwa Tuhan itu tidakmungkin bohong atas janjiNya yang mau memenangkan Islam di seluruh dunia melalui imam makshum, bahwa Tuhan itu tidak mungkin bohong atas janjiNya akan balasanNya nanti di akhirat, bahwa Tuhan itu. dan seterusnya sampai jutaan hidayah yang bisa dipetik dari setiap makhluk yang ada ini.

Tapi kalau hidayah langsung itu dimengerti tidak langsung, artinya kita tidak merenunginya sendiri, seperti mengikuti kajian, membaca buku mendengar teman yang berbicara dan seterusnya yang menjadikan makhluk Tuhan itu (baik satu atau sebagian atau seluruhnya) sebagai batu loncatan terhadap hidayah-hidayah di atas, maka ia telah menjadi tidak langsung pada hakikatnya.Ini kalau kita artikan langsung itu adalah kelangsungannya dari diri masing-masing manusia dalam menangkap hidayah Tuhan.

Tetapi kalau dilihat bahwa langsung tersebut adalah selain hidayah yang berupa agama, maka yang tidak langsung dalam arti yang diambil dari penjelasan guru tentang alam/ makhluk, atau teman dan buku itu, tetap saja termasuk yang langsung. Karena mereka semua bukanlah Nabi dan utusan Tuhan.

Dan, tentu saja, dalam peristilahan, yang disebut langsung itu adalah yang bukan dari syariatNya, bukan yang mesti diambil langsung olehmanusia sendiri-sendiri perindividunya. Jadi, yang langsung ini bisa diambil sendiri dengan akal dan perenungannya sendiri, dan bisa juga dimengerti dari yang lainnya. Yang penting bukan dari syariat.

(2). Tasyri’iyyah adalah syariat atau secara syari’at. Jadi, Hidayah Tasyri’iyyah adalah Hidayah Tuhan yang dilewatkan syari’at. Seperti pelajaran-pelajaran akidah, fikih, adab/akhlak dan seterusnya yang dijelaskan melalui agama.

Hidayah ini dikatakan tidak langsung, karena Tuhan dalam menghidyahi setiap person manusia, melalui syariat yang sudah semestinyaditurunkan kepada manusia suci/makshum. Artinya, Tuhan menghidyahi setiap orang dari manusia ini melalui orang lain yang dijadikan utusanNya yang, sudah tentu hidayah atau petunjukNya berupa syariat itu sendiri.

Catatan:

(1). Kalau Hidayah tidak langsung ini (syariat) dilihat sebagai gejala alam dan makhluk, karena syariat juga makhlukNya, maka ia dikatagorikan sebagai Hidayah Langsung juga.

Artinya kita melihat bahwa agama itu sendiri, merupakan hidayah Tuhan yang membimbing kita kepada AdaNya, EsaNya, AlimNya, BijakNya dan seterusnya.

Tapi kalau kita lihat Hidayah tidak langsung tersebut (syariat) sebagai rincian dalil-dalil yang membimbing kita kepada akidah yang benar dan berundang-undang yang benar atau berhukum yang benar, atau berakhlak benar, maka dilihat dari sisi ini, ia adalah Hidayah Tak Langsung.

(2). Dengan penjelasan catatan no 1 di atas dapat dipahami bahwa Akal, sebagai pemaham dari dua hidayah di atas (Langsung dan Tak Langsung), merupakan fungsi dasar dari semua petunjuk Tuhan.

Dengan kata lain, tanpa akal, maka tidak mungkin kedua macam hidayah di atas itu dapat dipahami dan dimengerti oleh manusia.

Karena itu, maka akal manusia ini adalah fungsi dasar dari hidayah Tuhan dimana tanpanya manusia tidak akan dapat memahami semua hidayahNya dimana dengan demikian maka berakhir pada kesia-siaanNya dalam memberikan Hidayah dan bahkan dalam mencipta makhluk ini.

(3). Ketika akal sudah menjadi Rukun Utama memahami semua hidayah dengan seluruh bagian- bagiannya, maka sudah tentu keberhidayahanmasing-masing manusia, akan ditentukan oleh kecerdasan akalnya serta kepiawaiannya dalam menyusun atau memahami argumentasi.

(4). Ketika akal sudah menjadi dasar dan rukun hidayah (karena hidayah itu dikatakan hidayah kalau sudah dipahami), maka sudah tentu derajat keterhidayahan manusiapun akan ditentukan oleh tingkatan akalnya masing-masing. Karena itu, semakin manusia itu berakal, maka ia akan semakin tinggi dalam keterhidayahannya tersebut.

(5). Ketika akal sudah menjadi rukun hidayah itu, dan karena keberakalan manusia itu di samping ditentukan oleh kecerdasannnya, juga ditentukan oleh dikotori dan tidaknya akal tersebut dengan hal-hal lain yang bukan akaliah (seperti cinta dunia, nafsu dll), maka sudah tentuketerhidayahan manusia dan mutu keterhidayahannya itu tidak hanya ditentukan oleh kecerdasannya, tapi juga ditentukan oleh kebersihan akalnya dari hal-hal lainnya.

(6). Ketika akal itu sudah menjadi dasar hidayah, maka agama Tuhan yang dikatakan syari’atpun akan diwarnai oleh pemahaman masing-masing.Karena itu tidak heran kalau manusia saling menyesatkan dan menyalahkan serta saling mengaku benar, padahal mereka berada dalam satu agama, seperti agama Islam, Kristen, Hindu ...dll.

(7). Ketika akal itu sudah menjadi dasar hidayah, dan menghasilkan suatu kenyataan bahwa agama itu sebenarnya adalah pahaman manusia terhadap agama itu sendiri, tapi belum tentu agama itu sendiri, maka disinilah orang Pluralism terjebak.

Keterjebakan mereka itu karena akal mereka telah dikotori oleh perasaannya. Yaitu suatu perasaan yang mengatakan bahwa “Mustahil orang memahami yang benar secara hakiki”, atau “Kasihan sekali kalau sudah berusaha tapi belum dapat lalu dimasukkan ke neraka”, atau “Tidak mungkin Tuhan tidak menerima mereka-mereka yang salah tapi shalih dalam arti konsekuen terhadap yang diketahuinya” dll seperti yang terbetik pada John Hick (bpk

Pluralisme yang kasihan melihat orang-orang muslim shalat lima kali sehari dan taat tidak maksiat sesuai agama Islam, tapi karena salah karena bukan Kristen, lalu di akhirat diadzab Tuhan.

(8). Ketika akal sudah menjadi dasar dari semua hidayah yang ada, maka sudah tentu Tuhan juga juga tidak mungkin menjadikannya (akal) tanpa ukuran hingga manusia tidak mungkin bisa mencapai kebenaran mutlakNya. Karena itu Tuhan telah menjadikan akal ini sendiri mengerti terhadap ukuran-uikuran gamblang dalam memahami masalah. Karena itulah, maka semua pemahaman akal itu sebenarnya berasal dari satu dasar saja, yaitu Pengetahuan Gamblang yang, dalam logika disebut dengan Dharuri atau Necessary atau Mudah atau Badihi dan seterusnya.

(9). Ketika Pengetahuan Mudah/Gamblang itu sudah menjadi asas atau dasar dari akal, maka keterhidayahan dan mutu keterhidayahan manusia ini tergantung dengan bagaiamana ia mamahami Pengetahuan Mudah ini dan menjadikannya modal pelanglangan menuju pengetahuan-pengetahuan yang tidak mudah. Jadi, hidayah itu bermula dari yang gamblang menuju kepada yang rumit.

(10). Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Tuhan itu Haq/Benar dan Sangat Maha Pemurah. Karena semua hidayah, baik Langsung atau Tak Langsung, baik yang Alami atau Syariat, baik yang rendah atau yang tinggi, semua dan semua, kembali kepada Ilmu Gamblang ini. Dan kita semua tahu bahwa Ilmu Gamblang ini, adalah ilmu modal yang tidak sulit untuk mencari dan mendpatkannya.

(11). Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Penentu Dasar dari Keterhidayahan manusia itu ditentukan oleh Ilmu Mudah ini.

(12). Ketika semua tergantung kepada Ilmu Mudah dimana arti Ilmu Mudah itu adalah dapat diketahui oleh semua akal manusia secara mudah, apakah manusia tidak lagi akan terjerumus pada kesalahan?

Jawabnya, tidak demikian. Karena, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bahwa kalau akal manusia ini dikotori oleh hawa nafsunya dan hal-hal selain akalnya hingga menjadikannya subyektif, maka sudah jelas ia akan keliru melihat hal-hal mudah dan akan keliru dalam menjadikan hal-hal mudah tersebut sebagai dalil menuju yang tidak mudah.

Karena itulah, maka manusia yang akan selamat adalah orang yang membersihkan akalnya dari keberpihakan nafsu dan keinginannya dan apapun yang tidak bersifat akaliah (bukan akliah, tapi akaliah).

Lalu, apakah yang sudah membersihkan akalnya dari segala nafsu itu sudah pasti terhidayahi?

Jawabannya, memang demikian. Yakni pasti terhidayahi. Akan tetapi dalam hidayah-hidayah Langsung atau Tak Langsung yang mudah-mudah dan gamblang. Tapi untuk yang tidak gamblang belum tentu. Karena disini sangat perlu kepiawaian dalam menerapkan ilmu mudah itu kepada ilmu-ilmu sulit. Yakni kepiawaian dalam menjadikan ilmu-ilmu mudah itu dasar argument untuk yang hidayah-hidayah yang lebih tinggi, baik yang Langsung atau Tak Langsung.

Tentu saja, sebagaimana diterangkan di ilmu Logika, bahwa kepastian tidak kelirunya manusia yang sudah membersihkan dirinya dari ego dan nafsunya itu, dalam memahami ilmu-ilmu mudah, kalau memenuhi kelima syarat-syaratnya:

Sehat akal (tidak gila); Sehat Panca Indra; Perhatian/konsen; Tidak berpenyakit waswas dan ragu-ragu; Tidak terlalu dipikir.


Penutup:

Ketika semua itu sudah tersedia seperti itu dari Tuhan, tapi kalaulah manusia masih melakukan kesalahan dalam melihat, mendengar, menataargumentnya dari ilmu-ilmu mudah tersebut, asal saja akalnya sudah dibersihkan dari ego dan nafsu serta hal-hal lain yang bukan akaliah, maka Akal Mudah kita mengatakan bahwa Ia pasti akan memaafkannya.

Karena itulah, maka kita umat berakal yang dengan akal itu sudah menjadi umat beragama Islam, maka sangat-sangat tidak perlu kepada konsep Pluralisme, terutama Pluralisme Agama. Karena arti istilah Pluralisme adalah semua agama dan bahkan pemikiran adalah benar.

Karena akal mudah kita mengatakan bahwa yang salah itu tetap salah dan tidak bisa dibenarkan hanya karena kasihan dan semacamnya. Tapi Akal Mudah kita juga mengatakan, bahwa yang salah tanpa kesengajaan itu (tidak sengaja karena sudah membersihkan dirinya dari ego dan nafsu serta sudah berusaha memecahkan masalahnya dengan akal murninya itu), sudah pasti layak mendapat santunan ampunanNya dan, bahkan pahalaNya dikarenakan usahanya itu, bukan dikarenakan kebenarannya karena memang tidak benar.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar