Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Akal satu. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Akal satu. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 April 2020

Tauhid (bgn 3) : Setiap Satu Sebab Melahirkan Satu Akibat


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/?id=224761994235271 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juli 2011 pukul 16:23


Muna Zahro: Setiap satu sebab menghasilkan satu akibat, tapi pada realitasnya kok beragam ya? Jadi bingung sungguh? Gimana penyebab satu menghasilkan hal yang beragam.

Kamis, 02 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 10)






Seri Tanya Jawab : Oman Picisan dan Ustad Sinar Agama Oleh Anggelia Sulqani Zahra 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 7:13 am



Oman Picisan : Assalamu ’alaikum. Ustadz tolong jelasin maksud Amr dalam Innama amruhu idza arada Allah syai-an an yaquula lahu kun fayakun, apakah Amr di situ Khusus Amr-nya Allah ataukah manusia jua mampu memiliki amr tersebut? 

Sinar Agama : Bismillaah. Setidaknya ada dua macam makna yang saling bergesekan dan bersentuhan yang dapat diartikan dari Amr di ayat yang Anda tanyakan itu. Yang jelas amr di sini bermakna ”Urusan”, bukan perintah. Jadi, jamaknya adalah ”Umur”, bukan ”Awamir” yang berarti ”perintah-perintah”. 

Setelah kita tahu bahwa ”Amr” di sini adalah yang berjamak ”Umur” atau ”Urusan-urusan”, maka kita bisa meraba dua hal: 

1. Umur adalah Dimensi Keberhubungan dan Keterikatan serta Ketergantungan dan Kepencip- taan. Dimensi ini berhadapan dengan Dimensi ”Keterciptaan”. ”Keterprosesan”, ”Keterukuran” ”Keterjadian” dan ”Kemakhlukan”. Hal ini dapat diambil dari pahaman ayat QS:7:54 yang berbunyi -/+ : ”Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang mencipta langit dan bumi dalam 6 hari yang kemudian Dia menempati ’arsy, Dia menutupi siang dengan malam yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada Amru- Nya/UrusanNya. Ingatlah, sesungguhnya Penciptaan dan Pengurusan adalah hanya milikNya. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. 

Dengan penjelasan ringkas di atas, dapat dipahami bahwa makhluk ini memiliki dua di- mensi, pertama kejadiannya atau keterciptaannya, ke dua dimensi kepengurusan dan keterhubungannya dengan Khaliknya. Ini makna pertama yang bisa kita raba atau mengerti dengan kata Urusan atau Amru di ayat tersebut. 

2. Amru-Umur adalah Non Materi. Makna ini juga berhadapan dengan Khalaqa. Kata ”Khalaqa” makna asalnya adalah ”Ketentuan”, ”Keterkadaran”, ”Keterukuran” dan”Ketakaran”. Karena, ”Keterkadaran” ini memiliki pengertian menambahkan sesuatu ke atas sesuatu, yakni menam- bahkan ukuran ke atas yang terukur, atau bahkan menambhakan sesuatu yang terlihat asing, seperti Darah ke atas Mani dan Daging ke atas Darah sebelum kemudian ditambahkannya Janin sebagai proses berikutnya, maka ”Khalaqa” ini memiliki makna ”Materi”. Sedang ”Amru” sebaliknya sebagaimana di ayat yang ditanyakan tersebut ”Sesungguhnya UrusanNya adalah, ketika Dia menginginkan sesuatu, maka berkatalah kepadanya ”Jadilah”, maka ”Jadilah” ia”. 

Dengan penjelasan ringkas ke dua ini, dapat dipahami bahwa penciptaan itu ada dua macam dan model. Pertama penciptaan yang melalui proses atau waktu (walupun secepat kilat dan sinar atau lebih cepat lagi), seperti langit-bumi dan isi keduanya serta dintara keduanya. Inilah yang dikenal dengan Alam Materi. Ke dua, penciptaan yang tidak melalui proses jadi, atau waktu. 

Makhluk- Makhluk ini dikenal dengan Non Materi atau Sekali Jadi atau Kun Fayakuni atau Kejadian Mendadak dan semacamnya. Oleh karena itu Alam Nasut atau Materi ini disebut Makhluk, sedang Alam Malakut dan Jabaruut atau Alam Barzakh dan Akal (bukan akal manusia) disebut dengan Alam Amr dan tidak disebut Makhluk atau Keterangkapan. Tambahan: Ruh manusia juga termasuk Non Materi. Karena ketika orang-orang bertanya kepada Rasul saww tentangnya, Allah mengatakan ”katakan bahwa Ruh itu adalah dari Urusan Tuhanku”. 

Sementara Allah sendiri menerangkan UrusanNya ini dalam ayat yang Anda tanyakan itu. Dengan penjelasan di atas, dapat diterapkan kepada pertanyaan Anda. Yaitu, apakah Amr itu hanya milik Allah atau juga selainNya? Jawabnya adalah, kalau makna pertama, yakni ketergantungan, keterikatan, kepengurusan, kepemilikan, keterhubungan, keterurusan dan semacamnya, maka dalam hal ini pastilah hanya Allah pemilikinya. 

Karena semua tergantung dan terurus olehNya. Sedang dengan makna ke dua, maka bukan hanya Allah yang non materi. Sebab makhluk-makhluk Akal (malaikat tinggi) dan Barzakh (malaikat di bawah yang tinggi itu) adalah juga wujud-wujud Non Materi. Tetapi dari sisi kepemilikan dan kepengurusannya tetap hanya milik Allah. 

Pelengkap

Karena makhluk Tuhan itu bertingkat, dari Akal-satu ke Akal-dua begitu serterusnya sampai ke Akal-akhir dan Akal-akhir ke Barzakh sebelum kemudian ke Alam Materi, maka kepengurusan Allah itu ada dua macam. Ada yang langsung, yakni manakala mengurusi Akal-satu. Dan ada yang tidak langsung, yaitu manakala mengurusi makhluk-makhluk dari Akal-dua sampai dengan Materi. 

Oleh karenanya ada perantara dalam KepengurusanNya itu. Dan Perantara ini, banyak sedikitnya, tergantung pada sejauh mana yang diurus tadi memiliki jarak kesempurnaan denganNya. Kalau berjarak satu, seperti Akal-dua, maka perantaranya hanya satu, yaitu akal-satu. Tetapi kalau banyak, seperti Materi, maka banyak pula perantaranya, mulai dari Akal-satu sampai dengan Barzakh. 

Oleh karenanya Malaikat Barzakh (barzakh yakni antara makhluk Akal dan alam materi) disebutNya dalam Qur'an sebagai ”Mudabbirati Amra” yakni ”Pengurus Segala Urusan” (QS: 79:5). Dengan penjelasan ini dapat dipahami bahwa ada makhluk yang hanya diurus Allah dan ada pula yang diurus oleh Allah tetapi melalui makhlukNya. Begitu pula ada makhluk yang di samping Diurus, dia juga Mengurus. 

Kemudian, yang Mengurus ini, ada yang Sederhana dalam arti tidak terlalu tinggi, dan ada pula yang tinggi seperti Akal-akal itu. Kemudian, karena manusia dicipta sedemikian rupa hingga bisa melampaui Akal-satu (dengan fanaa’ dan 3 perjalanan lainnya, lihat 4 perjalanan manusia dalam Wahdatul wujud 1-6), maka Insan Kamil, sudah pasti akan memandati Kepengurusan ini secara otomatis. 

Oleh karena itulah, sebenarnya hanya manusia Kamil inilah yang bisa menjadi ”Khalifatullah”. Yakni ”Mengurusi Semua Makhluk”. Karena dengan memanjangnya Jati Diri Manusia Kamil, dari Materi sampai ke Akal-satu, maka ia akan menjadi KhalifahNya dan WakilNya serta TanganNya dalam mengurusi semua makhluk secara langsung. 

Tingkatan Barzakhnya manusia Kamil ini akan mengurusi Malaikat Barzakh dan tingkatan Akal- nya akan mengurusi malaikat Akal/tinggi (QS: 38:75). Sementara seperti Akal-satu, hanya bisa mengurusi Akal-dua, Akal-dua hanya mengurusi Akal-tiga dan seterusnya. 

Jadi, semua makhluk hanya bisa mengurusi satu tingkat di bawahnya, tetapi kalau Manusia Kamil dapat mengurusi semua makhluk dalam semua tingkatannya. Inilah Maqam Khalifatullah yang semua malaikat menginginkannya dengan mengajukan diri mereka dengan berkata ”Sementara Kami Selalu Memujamu Dan Mensucikanmu”. Yakni mengapa Kamu akan jadikan Khalifahmu itu dari manusia yang akan membuat kerusakan dan saling bunuh, sementara kamilah yang lebih cocok karena kami selalu mensucikan dan memujaMu, yakni kami lebih cocok untuk menjadi Khalifahmu Karena Kami Selalu Taat Kepadamu. Dan Allah pun tidak menerangkan kepada mereka sebab tidak dipilihnya malaikat jadi KhalifahNya itu, dengan sebab-sebab tertentu, dan hanya mengatakan bahwa ”Aku tahu apa-apa yang kalian tidak tahu”. Salah satu sebabnya adalah yang sudah diterangkan itu, bahwa malaikat hanya bisa mengatur satu tingkatan makhluk yang ada dibawahnya saja. 

Tentu, malaikat juga tidak bisa mengurusi malaikat atau makhluk yang ada di atasnya. Tetapi manusia, sekalipun dari tanah, tetapi dengan ruhnya, ia bisa mengoptimalkan safar dan pelanglangan kesempurnaannya sampai ke tingkat Akal-satu, hingga ruhnya menalari semua derajat-derajat itu dan kemudia mengurusinya dengan ijin dan perintahNya. 

Dan Maqam Kepengurusan Secara Otomatis Itulah Yang Dikatakan Maqam Wilayah Atau Kekuasaan Atau Kepengurusan, sementara kalau dibarengi dengan pangkat sosialnya akan menjadi RASUL, NABI atau IMAM. Tetapi bisa saja tidak dibarengi dengan pangkat sosialnya, sekalipun tetap memiliki ke-wilayahannya. 

Sekian. Terima kasih. Al-fatihah- sholawat. Wassalam. 

In this note: Sinar Agama, Haerul Fikri, Gusti Zulkifli Halim 

Bande Huseini dan 15 orang lainnya menyukai ini. 

Hafiz Pewee: Hmmm..




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 25 Juli 2020

Akal Konvensional dan Akal Universal ??!!!


Seri tanya-jawab: Dedy Hadi dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250778364966967/ by Sinar Agama (Notes) on Friday, September 16, 2011 at 9:49pm


Dedy Hadi: Apa bedanya akal konvensional dengan akal universal ?

Al Louna dan Paidi Bergitar menyukai ini.

Selasa, 31 Juli 2018

Wahdatul Al-Wujud (Bagian: 4)





Seri Tanya – Jawab: Anggelia Sulqani Zahra, Haerul Fikri dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 8:57 pm



"Anggelia Sulqani Zahra” Haerul Fikri dan Ustad’ Sinar Agama


Anggelia Sulqani Zahra : Assalamu‘alaikum..Ustad. Mohon Dijelaskan Tentang Kitab Lauhmahfud dan Pandangan Mulla Shadra tentang Konsep Empat Tahapan Perjalanan Manusia (Dalam Kajian Filsafat dan Irfan). 

Haerul Fikri : Bisakah ustad menguraikan tingkatan-tingkatan wujud dalam keber”ada”annya, sebagimana yang dimaksud Mulla Shadra?, Apakah tingkatan-tingkatan wujud tersebut bersifat kekal sejak adanya atau mengalami evolusi, perubahan, perombakan, atau bahkan pemusnahan? Apakah alam materi yang sekarang ini merupakan alam materi pertama.. Lalu, apakah ada penciptaan makhluk dialam materi setelah hari pembalasan? 

Sinar Agama : Bismillaah.

Mukaddimah 

1. Dua pertanyaanmu ini juga berhubungan dengan satu pertanyaan dari Heirul Fikri yang menanyakan tentang Gradasi Wujud, tetapi yang ia maksudkan Gradasi keberadaan, yakni bentangan wujud ini yang dimulai dari Sang Pencipta sampai dengan Alam Materi. 

2. Untuk menjelaskan Lauhu al-Mahfuzh dan 4 Perjalanan Irfan/Sufi-sungguhan, perlu kepada Penjelasan Tentang Bentangan Wujud yang ditanyakan oleh mas Heirul Fikri itu. Oleh karenanya saya akan mengurainya terlebih dahulu. 

3. Jadikanlah jawabanku ini sebagai bahasan Wahdatulwujud ke 4. Oleh karenanya saya harapkan dari teman-teman yang tertarik dengan bahasan ini, usahakan untuk membaca WAHDATUL WUJUD bag 1-3. 

4. Karena saya sudah menjelaskan se-jelas-jelasnya tentang wahdatulwujud itu, walau tetap global, dan bedanya dengan filsafat, maka saya mungkin tidak akan lagi menjelaskan hal-hal yang mengenai keduanya di dalam tulisan ini. 

5. Semua dalil terhadap setiap pernyataan yang pelik sekalipun, harus memiliki pondasi atau dalil dari Ilmu-Mudah, yakni yang tidak perlu dipikir karena mudahnya (jelas, gamblang bagi setiap orang), sebagaimana sudah dijelaskan di Wahdatul Wujud bag 3 yang saya tulis dalam komentar. Yaitu ketika mempertemukan akal dan Qur'an dan jalan keluarnya 

Maksudnya saya mengharap bahwa peminat sendirilah yang harus bisa membedakan bahasa mana yang bernafas filsafat dan tulisan mana yang bernafas irfan. Jadi, kalau memang minat, usahakan konsen dan kalau perlu wudhu dulu. 

Pembahasan Pertama Tentang Pembuktian Wujud Tuhan: 

Dalam bahasan ini saya tidak akan menjelasakannya secara rinci, karena ianya pembahasan Tauhid (saya sudah menulis dalam tajuk Pokok-pokok Ajaran Syi’ah, yang akan segera selesai in syaa-a Allah). Tetapi karena Hakikat Tuhan diperlukan di sini, maka harus dibahas walau secara ringkas. 

Diri kita, pohon, batu, bumi, angin, air, binatang, bintang gemintang dan seterusnya adalah wujud- wujud terbatas. Artinya dibatasi dengan esensi dan eksistensi. 

Karena masing-masing esensi dan eksistensi mereka bukan yang lainnya dan karena alam ini merupakan gabungan dari mereka-mereka itu, yakni gabungan yang terbatas itu, maka alam ini juga pasti terbatas. Karena gabungan keterbatasan hasilnya juga pasti keterbatasan pula, walaupun lebih luas. Tetapi tetap tidak akan keluar dari keterbatasan menjadi tidak terbatas. Nah, ketika kita dan alam ini terbatas, secara pasti memiliki batasan. 

Katakanlah ujung pangkal atau awal dan akhir. Kalau demikian halnya, maka pastilah alam ini, sebelum awalnya, ia tidak ada. Begitu pula setelah akhirnya. Dan kalau alam ini sebelum awalnya tidak ada, lalu setelah awal itu ia menjadi ada, maka pastilah ia diadakan. Karena ”yang tak ada” tak mungkin ”Terjadi” hingga dikatakan ”Alam Terjadi dengan Sendirinya”. Atau begitu pula ”yang tak ada” tak mungkin ”Menjadikan” hingga dikatakan ”Ia Menjadikan Dirinya sendiri”. Atau bahkan ”yang tak ada” tak mungkin ”Dijadikan” hingga dikatakan bahwa ”Alam Ini Dijadikan oleh Penjadi dari Tiada”. 

Ketidakmungkinan tiga hal itu, yakni ”Terjadi:, Menjadikan dan Dijadikan”, tidak lain karena ”Tiada” adalah ”Tiada” dimana jelas tidak bisa menjadi obyek atau subyek, yakni tidak bisa jadi pemberi dan/atau pelaku. Karena, tidak ada. 

Mungkin ada yang bertanya, apa mungkin Tuhanpun tidak bisa menjadikan ”Tiada” sebagai obyek dalam penciptaannya?. Jawabannya ”Tetap tidak bisa”. Dan yang tidak bisa itu sebenarnya bukan Tuhannya, tetapi ”Tiadanya” itu. Yakni karena ”Tiada” itu adalah ”Tiada” sedangkan ”Obyek pemberi” adalah ”Ada”.. 

Dengan demikian sebenarnya yang salah adalah pertanyaannya yang menanyakan ”Apa Bisa Tiada itu Dijadikan Makhluk Oleh Tuhan?”. Karena dalam pertanyaan ini jelas sekali mengandungi kontradiksi yang nyata. Yakni antara ”Tiada” dan ”Dijadikan atau Dicipta”. 

Dengan bahasa lain, ”Tiada” memiliki ”Zat Ketiadaan”, yaitu ”Tiada” itu, hingga kalau dia keluar darinya maka ia bukan lagi ”Tiada”, tetapi sudah menjadi ”Ada”. Jadi, ”Tiada” itu secara zati tidak bisa keluar dari ketiadaan. Dan kita tahu bahwa setiap zat sesuatu, maka tidak bisa ditinggalkannya. Seperti kalau manusia keluar dari kebendaan, keberkembangan, kebergerakan dengan ikhtiar dan kerasionalan, maka ia bukan lagi manusia. 

Mungkin Anda bertanya ”Kalau Tiada itu Tiada, mengapa ia bisa memiliki zat dan tidak bisa keluar dari zatnya, bukankah Memiliki itu tandanya ada?”

Jawab: Esensi atau hakikat sesuatu itu, tidak mesti ada. Hakikat sesuatu, bisa dipahamakaan dalam akal kita. Seperti Gunung Emas. Kita bisa memahami esensi Gunung Emas, sekalipun ia tidak pernah wujud dan eksis.

Jadi, batasan sesuatu dan sesuatu itu sendiri, bisa berupa wujud akal dan pahaman saja. Bisa juga pahaman dan eksistensi. Bisa juga pahaman dulu baru eksistensi. Seperti Ilmu Tuhan terhadap esensi setiap makhluk sebelum menciptakan makhluk. Atau seperti Ilmu dokter tentang operasi yang akan dilakuannya kemudian. 


Jadi, batasan sesuatu dan sesuatu itu sendiri, bisa berupa wujud akal dan pahaman saja. Bisa juga pahaman dan eksistensi. Bisa juga pahaman dulu baru eksistensi. 

Seperti Ilmu Tuhan terhadap esensi setiap makhluk sebelum menciptakan makhluk. Atau seperti Ilmu dokter tentang operasi yang akan dilakuannya kemudian. 

Banyak sekali sesuatu atau esensi yang kita pahami hakikatnya, tetapi tidak ada wujudnya di alam nyata. Seperti ”Tiada”, ”Sekutu Tuhan”, ”Ayah Tuhan”, ”Anak Tuhan”, ”tuhan yang dicipta”, ”Makhluk yang mengalahkan Khalik”, Ayah Nabi Isa”, ”Bumi Emas”, ”Masuknya Bumi ke Telur tanpa merubah keduanya”, dan seterusnya. Semua itu dapat kita pahami, tetapi tidak ada wujudnya. Artinya mereka itu hanya ada di dalam akal hingga dalam filsafat disebut dengan ”Keberadaan Akal Belaka”. 

Dan bukti keberadaan akalnya itu adalah bahwa kita saling berkomunikasi tentang mereka itu, dan menolaknya. Misalnya kita berkata ”Ayah Tuhan itu tidak ada”, ”Ayah Nabi Isa itu tidak ada”, dan seterusnya. 

Dengan uraian ini dapat diyakini dengan ilmu mudah bahwa ”Tiada” tidak mungkin menjadi subyek pelaku seperti ”Terjadi dan Menjadikan” dan juga tidak pula bisa menjadi obyek pelaku ”Dijadikan”. 

Kembali ke masalah kita. Sampai di sini, kita sudah tahu bahwa alam ini terbatas, dan karenanya ia diadakan oleh yang lain, karena ia tidak bisa menjadi subyek pelaku terhadap dirinya sendiri, dan begitu pula ia diadakan dari ”Keberadaan”, bukan dari ”Ketiadaan”. 

Selanjutnya. Ketika alam ini diadakan/diciptakan oleh yang wujud lain, maka kalau wujud lain itu terbatas pula, sudah pasti sang pengada ini juga diadakan oleh yang lain dengan alasan yang sama. dan kalau pengadanya pengada itu juga terbatas, maka sudah pasti juga diadakan oleh yang lain pula dengan alasan yang sama. Begitu seterusnya. Sekarang tinggal dua pilihan, apakah semua pengada-pengada itu terbatas semua atau ada yang tidak terbatas? 

Kalau kita pilih bahwa semua pengada-pengada itu terbatas semuanya, berarti semuanya pernah tiada. Nah, kalau semuanya pernah tiada, terus dari mana keberadaan kita dan alam ini? 

Karena kalau semuanya tiada, berati tiada yang bisa mengadakan ”ada” karena yang tak punya tak mungkin memberi, dan karena ”Tiada” tidak bisa menjadi ”pelaku”, apalagi terhadap ”ada”. 

Dengan demikian maka sudah pasti dan dengan dalil yang gamblang, kita katakan bahwa pengada-pengada itu harus berhenti pada ”Pengada Yang Tidak Terbatas”. dan ”Pengada Yang Tidak Terbatas” inilah yang kita katakan ”Tuhan”. Karena salah satu makna Tuhan adalah ”Tidak Dicipta”, ”Tidak Bermula”. 

Dengan demikian maka kita sudah mendapatkan apa yang dikatakan sebagai Tuhan yang, memiliki Zat Tidak Terbatas. 

Banyak hal yang dapat ditarik pahaman dari ”Ketidak TerbatasanNya” ini, tetapi karena takut kepanjangan maka kita teruskan saja kepada inti pembahasan kita. Salah satu yang berkenaan dengan bahasan kita, adalah bahwa kalau kita sudah tahu bahwa Tuhan itu Tidak Terbatas, berarti tidak mungkin ada duaNya. Karena kalau ada duaNya, berarti ke-dua-duanya akan menjadi terbatas, karena masing-masing keduanya akan menjadi pembatas bagi yang lainnya. 

Yang terpenting dari kekonsekwenan dari Ketidak TerbatasanNya di sini adalah, ”Ketidak Berang- kapanNya”. Yakni, kalau Dia Tidak Terbatas, maka sudah pasti ”Tidak Mungkin Terangkap”. 

Karena, kalau terangkap, berarti masing-masing rangkapannya terbatas, karena masing-masingnya membatasi yang lainnya. Dan kalau masing-masing rangkapannya terbatas, berarti gabungannya dimana di sini adalah Tuhan, juga akan terbatas, karena gabungan keterbatasan adalah keterbatasan pula (sekalipun lebih luas). 

Dengan semua penjelasan-penjelasan di atas, maka Pembahasan Pertama, yakni Tentang Pem- buktian Wujud Tuhan sudah dapat disimpulkan dengan mudah. Bahwasannya Tuhan itu ”Ada”, ”Tidak Terbatas”, ”Satu” dan ”Tidak Terangkap”. 

Pembahasan Ke Dua Tentang Pengadaan/Penciptaan Tuhan

Dalam pembahasan ini kita akan berusaha menguak dengan dalil-gamblang terhadap ada dan macam-macamnya makhluk. 

Modal utamanya adalah ”Ketidak Berangkapan Tuhan” sebagaimana telah dibuktikan dalam Pembahasan Pertama. Namun, sebelum itu, kita akan melihat sekelumit saja tentang aturan ”Sebab-Akibat”. Salah satu peraturan dan kaidah penting dalam sebab-akibat, adalah keharusan adanya ”Kemiripan” atau ”Kesenafasan” atau ”Keterhubungan” atau ”Kesejenisan” antara sebab dan akibatnya. 

Artinya antara keduanya tidak boleh asing sama sekali. Maka dari itu selalu buah padi menumbuhkan pohon padi, manusia melahirkan manusia, kucing melahirkan kucing.... dan seterusnya. 

Kita tidak pernah menemukan dan tidak akan pernah menemukannya, bahwa biji padi menumbuhkan pohon kelapa atau durian, atau lebih parah lagi mengeluarkan binatang. Begitu pula sebaliknya. 

Semua itu, tidak lain, karena adanya atau keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya. Nah, sekarang bagaimana dengan Tuhan ketika akan mencipta (”Ketika ini bahasa pinjaman karena sebelum dicipta waktu maka tidak ada ”ketika”). 

Pertanyaan itu sebenarnya berfokus pada, bisakah alam yang banyak ini tercipta langsung dari Tuhan tanpa perantara? Kalau dijawab bisa berarti Tuhan memiliki banyak sekali rangkapan, yakni sebanyak makhluk yang diciptakanNya. 

Karena, dengan adanya keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya, maka setiap makhluk Tuhan menuntut adanya kesenafasan itu. Dan kalau itu terjadi, berarti dalam Diri Tuhan terdapat nafas-nafas yang banyak dan berwarna-warni atau bermacam-macam. Dan kalau dalam Diri Tuhan terjadi mecam-macam itu, maka berarti masing-masing macamnya membatasi yang lainnya, dan berarti Tuhan merupakan rangkapan dari macam-macam yang terbatas tadi. Dan kalau demikian, berarti Tuhan akan menjadi terbatas dimana sudah pasti makhluk, bukan Tuhan. 

Contoh: Kalau Tuhan mencipta manusia dan kucing secara langsung, berarti dalam diri Tuhan ada dua kuasa yang berbeda. Hal itu karena keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya. Kuasa Tuhan terhadap Penciptaan Manusia, tidak mungkin dijadikan AlatNya untuk mencipta Kucing. 

Dengan demikian berarti dalam Diri Tuhan ada Dua Kuasa yang berbeda, yaitu Kuasa Mencipta Manusia dan Kuasa Mencipta Kucing. Dan kalau dalam DiriNya ada dua kuasa saja, apa lagi kalau banyak dan ber-juta-juta, maka sudah pasti KuasaNya terangkap dari Dua Kuasa atau Banyak Kuasa, dan kalau KuasaNya memiliki rangkapan dua atau banyak itu, berarti Kuasanya terangkap dari Kuasa-kuasa yang terbatas, karena masing-masingnya membatasi yang lainnya sebagaimana makalauum, dan kalau Kuasa Tuhan rangkapan dari Kuasa-kuasa yang terbatas, maka hasilnya juga akan menjadi terbatas. 

Karena gabungan keterbatasan juga keterbatasan, walaupun lebih luas. Dan kalau Kuasa Tuhan menjadi terbatas, berarti memiliki awal dan akhir, dan kalau memiliki awal, berarti sebelum awal itu Kuasa itu tidak ada, alias Tidak Kuasa. dan kalau Tuhan Tidak Kuasa, berarti Dia Terbatas yang, berarti bukan Tuhan lagi karena pasti Kuasa dan DiriNya itu diadakan oleh yang lainnya. 

Dengan penjelasan ini, dapat disimpulkan dengan mudah bahwa sangatlah mustahil makhluk yang banyak ini dicipta langsung olehNya. Tetapi ingat, ini bukan berarti ”Ketidak BisaanNya”, tetapi karena ”Ketidak Mungkinan Wujud Rangkap dan Banyak Menyentuh DiriNya yang Maha Tidak Terangkap” itu. Persis seperti ”Tidak Bisanya Diciptakan Tiada” di atas. 

Dengan warna bahasa agama, kita mengatakan ”Tuhan Maha Suci dari Segala Macam Kekurangan dan Keterbatasan dan dari Kebersentuhan atau KebernafasanNya dengan Wujud Hina alias Terangkap” 

Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciptaan Tuhan yang pertama haruslah mende- katiNya, setidaknya lebih dekat dari yang lainnya, atau harus dekat dan mirip sejauh yang memungkinkan bagi makhlukNya. 

Tetapi ingat, karena jarak antara makhluk atau ”Yang Terbatas” dengan ”Yang Tidak Terbatas” itu dijaraki dengan ”Batasan” dan ”Ketidak Terbatasan”, maka sudah pasti, jaraknya juga ”Tidak Terbatas”. Oleh karenanya, walau kita katakan bahwa makhluk pertama ini mirip dan dekat dengan Tuhan, itu sekedar perbandingan dengan makhluk-makhluk lain yang akan datang kemudian, bukan hakikat dekat dan mirip. 

Dengan demikian, maka kita dapat pastikan, bahwa makhluk pertama ini mendekati kesempurnaanNya (ingat ya.... ini bukan dekat betulan, tetapi sejauh yang memungkinkan bagi makhluk). 

Oleh karenanya, maka makhluk pertama ini adalah non materi mutlak juga, tidak memiliki rangkapan juga, dan hampir tidak memiliki batasan juga selain bahwa dia Bukan Tuhan. Tetapi keberlainannya dari Yang Tidak Terbatas itu, maka ia pasti Terbatas juga dan sudah tentu jaraknya denganNya juga Tidak Terbatas, karena Dia Tidak Terbatas. Kalau makhluk lain, selain memiliki batasan ”SelainTuhan”, juga pasti memiliki banyak batasannya, misalnya malaikat Jibril . 

Dengan demikian makhluk pertama Tuhan adalah makhluk yang paling afdhal dan paling tinggi dari makhluk lain kepadanya. Dan ingat, bahwa paling dekat di sini bukan berarti tempat, karena belum dicipta tempat karena tempat/volume milik materi yang sangat berangkap yang tidak mungkin keluar dariNya secara langsung. Tetapi dekat dalam artian Maqam Zat atau Wujud yang dimilikinya. Yaitu Non Materi Mutlak, Tidak Berangkap dalam Nyata dan Ketidak Terbatasannya hanyalah bahwa dia bukan Tuhan, itu saja. 

Jadi, makhluk pertama ini sangat hebat kalau dibanding dengan yang lainnya, tetapi tetap sangat rendah kalau dibanding denganNya, karena Ketidak TerbatasanNya itu. 

Tadi dikatakan bahwa makhluk pertama ini ”Tidak Berangkap dalam Nyata”. Maksudnya adalah tidak memiliki rangkapan dalam hakikat nyatanya, karena kalau memilikinya akan membuat Tuhan yang menciptakannya juga akan menjadi terangkap sebagaimana maklum, tetapi dia memiliki rangkapan itu dalam akal kita sebagai ilmu, yaitu bahwasannya dia terangkap dari ”Dirinya adalah dirinya” dan ”Dirinya bukanlah Tuhannya”. 

Nah, dari sinilah muncul makhluk ke dua, dari ke dua muncul ke tiga dan seterusnya, hingga mencapai ”Non Materi Mutlak Terakhir”. 

Dalam Filsafat, Non Materi Mutlak Pertama itu disebut sebagai Akal-Pertama, begitu seterusnya sampa pada Akal-Terakhir. Dan dalam agama dikatakan sebagai Malaikat-Tinggi (’Aaliin lht QS:38:75) 

Dalam Filsafat, Irfan dan Akhlak juga disebut dengan Jabaruut. Yaitu Non Materi Mutlak yang tidak memiliki matter/bendawiyah dan juga tidak memiliki sifat-sifat lainnya materi. Karena jasmaniah dan sifat-sifat lain dari materi itu adalah suatu kerendahan dikarenakan mereka adalah ”Keberangkapan Nyata”. 

Maaf ada gangguan signal/sinyal, bagus karena tidak ada yang masuk sebelum roger. Kita terusin lagi, 

Bismillaah

Nah, silsilah wujud itu kini sudah mencapai kepada Akal-Terakhir, dimana rangkapan akal auliahnya, bukan nyatanya, sudah mendekati kepada makhluk atau wujud setelahnya. Secara profesional filosofinya, memanglah makhluk Akal dan makhluk setelahnya (selain materi), tidak disebut makhluk, karena makhluk sama dengan ”Bentukan” atau ”Kadaran/Takaran/Ukuran”.dan disebut dengan Amrun/Urusan/Kunfayakun/Sekal-ijadi, tetapi karena tidak terlalu menyangkut masalah kita sekarang, maka kita tinggalkan saja dulu (masalah penamaan ini, dan cukup diketahui bahwa semua non materi disebut sekali-jadi karena tidak memerlukan proses waktu. 

Jadi, dalam tulisan saya tentang Akal dan setelahnya itu (tetapi sebelum sampai materi), mungkin akan sering ditulis sebagai Makhluk, anggap saja maksudnya adalah ciptaan secara umum. Hal ini untuk memudahkan pemahaman saja. 

Setelah silsilah wujud itu sudah sampai pada Non Materi Mutlak Terakhir, maka barulah lahir makhluk lain yang juga non materi, tetapi tidak mutlak. Makhluk inilah yang dikatakan sebagai Makhluk-Barzakh/Antara/Idea/Mitsal/Malakut. Hakikat makhluk ini adalah Non Materi Yang Tidak Mutlak. Artinya, Non Matter/materi dalam ke-Matter-annya saja, yakni Ketidak Bendawiyahannya saja, atau Ketidak Volumean Dirinya saja, atau Ketidak Panjangan, Lebaran dan Tebalan Dirinya saja. Tetapi sifat-sifat lainnya (atau aksidentnya), seperti warna, rasa, bentuk dimiliki olehnya. 

Oleh karenanyalah mereka dikatakan sebagai Non Materi Yang Tidak Mutlak. Hal itu dikarenakan oleh kepemilikannya terhadap sifat-sifat materi tersebut. Pewujudan dari makhluk ini, sering kita dalam alam mimpi atau dalam renungan kita manakala kita membayangkannya, seperti membayangkan ular, kucing, begitu pula kala kita memimpikannya, membayangkannya, seperti membayangkan ular, kucing dan sebagainya. Begitu pula kala kita memimpikannya. Semua ciri materi, ada pada bayangan akal atau mimpi, kecuali ke-matter-an atau kejasmaniahannya. Wujud Barzakh itu juga demikian. 

Mereka itu dalam agama disebut dengan Malaikat-Pengatur-Alam-Materi, seperti dinyatakan dalam QS: 79:5, yakni mengatur pohon, air, hujan, binatang , dan dalam agama lain seperti Hindu dikenal sebagai Dewa-dewa, dan dalam Filsafat disebut sebagai tuhan-spesies. 

Tugas dari tuhan-Species/spesies ini adalah melahirkan/mewujudkan species-species atau esensi- esensi materi dan mengaturnya dengan ijin dan perintah Allah melalui Akal-Satu yang diteruskan kepada Akal-akal yang lain sampai ke Akal-Terakhir. Jadi, yang memerintah langsung Malaikat- malaikat Pengatur Alam Semesta ini adalah Akal-Terakhir . 

Kalau pembaca teliti maka ada beda yang mencolok antara kedua jenis makhluk, yakni Akal dan Barzakh selain dari beda jati diri sebagaimana sudah diterangkan di atas. Yaitu, pada makhluk jenis Akal, masing-masing derajat wujudnya hanya dimiliki oleh satu Akal. Yakni, satu posisi dan maqam satu wujud makhluk Akal. Tetapi dalam makhluk Barzakh, dalam satu maqamnya ini, memiliki banyak makhluk atau banyak Malaikat/Barzakh. Karena alam atau tingkatan Barzakh ini dipenuhi oleh para malaikat yang mengatur segala macam esensi atau speciess yang ada di alam materi dengan ijin dan perintahNya. 

Dengan demikian, keberadaan ”jumlah” atau ”Banyak” (lebih dari satu esensi), dimulai alam atau makhluk Barzakh ini, sekalipun belum berupa ”Jumlah Volume/matter”. 

Tetapi keberbedaan masing-masingnya dan saling membatasinya, sudah terwujud di tingkatan ini. Mereka ini memiliki rangkapan dan sifat-sifat paling dekat dengan materi, yakni paling mirip dengan materi ketimbang makhluk-makhluk Akal. Oleh karenanya sudah layak dan pantaslah kalau alam materi ini keluar atau terlahir dari pada mereka itu, karena beda mereka dengan alam materi hanya di kebendaannya. Maka dari itu mereka bisa dikatakan setingkat di atas materi. 

Maka dengan demikian mereka layak dan wajar melahirkan alam materi ini. Artinya antara mereka dan alam materi ini memiliki kesenafasan dan dan kemiripan sebagaimana dituntut dalam syarat- syarat sebab-akibat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dan, dengan terlahirnya makhluk- makhluk Barzakh ini, maka terlahirlah alam materi. Dengan demikian kita telah mengetahui bahwa makhluk memiliki tiga tingkatan global, Akal, Barzakh dan Materi (Jabaruut, Malakut dan Nasut). Atau Non Materi Mutlak, Non Materi Tidak Mutlak dan Materi. Dan ketiganya disebut dengan ”Alam Besar”. 

Sampai di sini pertanyaan saudara Haerul fikri sudah terjawab. Yakni tentang susunan Alam/ Wujud. 

Pembahasan Ke Tiga, Tentang Lauhu al-Mahfuzh

Sebenarnya, seingat saya, saya sudah menulisnya di Kedudukan Fantastis Imam. Tetapi untuk mengingatkan, saya akan memberikan isyarat di sini in syaaAllah. 

Dengan penjelasan terdahulu, dapat dipahami bahwa Wujud, terbentang sejak dari yang tidak memiliki sejak, awal dan akhir, yakni Yang Tidak Terbatas, sampai pada wujad materi. Dari Tuhan ke Akal-Satu, ke Akal-Dua dan seterusnya sampai ke Akal-Akhir, ada yang mengatakan bahwa mereka berjumlah 10 tingkatan Akal (tetapi tidak kuat dalilnya), lalu dari Akal-Terakhir ke Barzakh dan kemudian dari Barzakh ke Materi. 

Dan karena setiap sebab memiliki kesempurnaan akibatnya secara lebih (karena sebab pasti lebih sempurna), maka makhluk Barzakh memiliki kesempurnaan Materi, dan Akal-Akhir memiliki kesempurnaan Barzakh dan Materi, Akal-Sebelum-Akhir memiliki kesempurnaa yang dibawahnya. Begitu seterusnya ke atas sampai kepada Allah. 

Tetapi kesempurnaan yang dimiliki sebab, sudah tentu lebih baik dari yang dimiliki akibat. Oleh karenanya semakin ke atas atau ke sebab, maka semakin berkurang rangkapannya. Dan kekurangan rangkapan ini menjadikannya, lebih sempurna karena lebih sedikit keterikatannya, yaitu pada masing-masing rangkapannya tersebut, atau semakin me-non-materi, maka kesempurnaan tersebut semakin tinggi lantaran, rangkapannya semakin sedikit (seperti Barzakh) atau bahkan tidak terangkap (seperti Akal). 

Dengan kata lain, kesempurnaan Alam Materi ada di dalam Barzakh, Barzakh ada di dalam Akal dan Akal di dalam Tuhan. 

Tetapi ingat, kata ”Dalam” di sini bukan sebagai tempat, karena Barzakh ke atas Non Materi, dan begitu pula semakin ke atas semakin ”Sederhana” atau semakin sedikit rangkapannya dan ketika sampai ke Akal-Terakhir, maka ”Rangkapan Nyata” itu jadi hilang, apalagi ketika sampai ke Akal berikutnya, sampai ke Akal-Satu dan ke Tuhan. 

Misalnya, Qur'an yang ada di materi, memiliki tulisan dan ucapan yang materi, tetapi di Bar- zakh hanya berupa ayat-ayat yang tidak tertulis dan terbaca secara materi. Dan begitu sampai ke-Akal atau malaikat tinggi ini, maka rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu menjadi sirna. Akal atau malaikat tinggi ini, maka rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu menjadi sirna. Begitu pula ketika sampai pada Akal-Satu dan Tuhan. Semua rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu tidak mungkin terwujud secara rangkapan ayat-ayat dan huruf, karena kalau terwujud, maka Akal dan Tuhan akan memiliki rangkapan yang akan menjadikan mereka terbatas sebagaimana makalaum. 

Memang, Akal tidak sama dengan Tuhan, karena Akal terbatas. Akan tetapi keterbatasannya bukan karena rangkapan yang ada di dalam dirinya, karena mereka tidak memiliki rangkapan sebagaimana maklum. Jadi, keterbatasan mereka, karena mereka bukan Tuhan. Begitu juga wujud-wujud materi lainnya seperti manusia, batu, tanah . Mereka ini semakin ke atas maka semakin sederhana dari rangkapan dan bahkan sampai tidak memiliki rangkapan sama sekali seperti Akal-akal dan Tuhan. 

Di samping rangkapan, gerak dan proses materi juga demikian. Maka semakin ke atas perubahan- perubahan yang ada, terjadi di luar waktu dan jaman, seperti kita bermimpi berjalan, makan dan sebagainya dan bahkan, ketika sampai ke Akal dan, apalagi Tuhan, maka perubahan-perubahan itu sudah tidak terjadi lagi. Yang, jangankan perubahan-perubahan dalam waktu, perubahan- perubahan di luar waktu juga tidak terjadi lagi, karena Akal dan Tuhan, sama-sama Non Materi Mutlak yang tidak memiliki rangkapan sedikitpun dan ketika wujud itu tidak memiliki rangkapan, maka sudah pasti mustahil berubah. 

Karena perubahan adalah dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Sementara yang tidak punya tidak mungkin memiliki ”Keadaan”, karena ”Keadaan” adalah susunan tertentu dari bagian-bagian yang dimilikinya. 

Dan ”Perubahan Keadaan ke Keadaan Yang Lain” artinya dari susunan tertentu ke susunan yang lain. Sementara yang tidak memiliki rangkapan, tidak mungkin memliki susunan-susunan itu hingga berubah ke susunan yang lainnya. 

Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa ”Jumlah dalam Volume” dan Perubahan dalam Waktu” itu, terjadi hanya pada Materi. Sementara ”Jumlah bukan Volume/jasmaniyah” dan ”Perubahan tidak dalam Waktu” atau Perubahan Kunfayakuni”, terjadi pada Barzakh. Sedang yang ”Satu”, ”Tidak Terangkap” dan ”Tetap/Tsabit” terjadi sejak dari Akal-Terakhir sampai dengan Akal- Satu dan Tuhan. Jadi, kehirukpikukan itu, hanya terjadi di malaikat Barzakh dan terlebih di alam Materi. 

Begitu pula perubahan-perubahan, baik dalam waktu atau tidak, hanya terjadi di Alam Materi sampai Barzakh saja. 

Dengan penjelasan ini, maka dapat ditarik kesimpulan pasti, bahwa Lauhu al-Mahfuzh itu tidak mungkin ada di alam Materi dan Barzakhi. Dan karena ia adalah kitab setingkat di atas kitab Qada dan Qadar, maka ia adalah Akal-Terakhir itu. Ingat, Qada dan Qadar di sini tidak seperti yang diyakni agama Hindu bahwa semuanya sudah ditentukan oleh Tuhan dan dalam filsafat, Akal- Terakhir itu juga dikenal dengan ’Arsy Allah. 

Karena ’Arsy adalah Kursi Singgasana yang diduduki oleh seorang raja ketika sedang memerintah rakyatnya melalui menteri-menterinya. Dan karena malaikat Barzakh itu adalah ”Malaikat Penga- tur Alam Materi” dan karena kepengaturan mereka itu sebagai kepanjangan tangan Tuhan, maka sudah selayaknya kalau Tuhan ”duduk” di kursi singga sanaNya itu. Dan karena ”Duduk” di sini adalah Tuhan yang bukan materi dimana kursinya juga pasti bukan materi, maka yang dimaksudkan duduk di atas ’Arsy adalah ”Maqam Allah yang ada di derajat Akal-Akhir tersebut”. Katakanlah Tangan Allah yang ada di Akal-Akhir tersebut, yakni dengan kata lain, adalah Akal- Akhir itu sendiri. 

Jadi, Allah duduk di atas ’Arsy (QS: 7:54), maksudnya adalah Allah menduduki dan mengontrol serta menguasai Akal-Akhir tersebut. Yakni dengan bahasa gamblangnya, Allah memakai Akal- Akhir itu untuk mengatur alam Materi melalui para mentriNya, alias malaikat pengatur tersebut
Pembahasan ke Empat Tentang Empat Perjalanan: 



Empat Perjalanan ini ada yang Irfanis dan ada yang Mulla Shadrais. Dan sudah tentu Mulla Shadra mengambil dari Irfan. Akan tetapi, sebelum saya terangkan mengenainya, perlu terlebih dahulu untuk menerangkan tentang ”Alam-Kecil”, yaitu ”Manusia”. 

Manusia adalah paling sempurnanya wujud Materi, karena Ruhnya paling afdhalnya ruh yang ada di alam materi. Perlu diketahui bahwa setiap benda memiliki Ruh atau unsur non materi yang mengelola materinya secara langsung. Yakni Tuhan melalui malaikat-malaikat species/ spesies itu membuat materi dan meniupkan ruh ke dalam masing-masingnya, untuk mengelola badaniahnya. Batu, tanah, air, tumbuhan, hewan dan manusia memiliki unsur non materi yang mengatur badannya sesuai dengan kesempurnaan yang dimilikinya. Adanya ruh pada setiap materi ini, sudah dibuktikan di Wahdatul Wujud bagian: 2. 

Pengelolaan ruh terhadap badan materi ini sesuai dengan aktifitas yang dimilikinya. Kalau benda- benda yang kelihatan mati, berarti ruhnya pula rendah. Karena hanya mengatur putaran-putaran atomnya dan yang semacam itu. Tentu saja selain dzikir setiap makhluk untuk Tuhannya sesuai dengan derajatnya masing-masing. Dalam QS: 64:1 Allah berfirman bahwa semua apa-apa yang ada di langit dan bumi bertasbih kepadanya. 

Akan tetapi Tumbuhan, dia lebih sempurna sedikit dari bebatuan. Karena di dalam terdapat kehidupan dan perkembangan. Ruh-batu dan semacamnya, kita namai dengan ”Ruh-Tambang”, dan ruh tumbuhan kita namai dengan ”Ruh Tumbuhan”. Dan kerja Ruh-Tumbuhan ini adalah selain mengatur putaran-putaran atom badannya sebagaimana ruh-batu, ia juga mengatur pertumbuhannya. 

Dan kalau Ruh-Binatang, maka di samping mengatur dua hal itu, juga mengatur gerak-gerak ikhtiarnya. Sementara Ruh-Manusia, disamping yang tiga itu, juga mengatur pikirannya atau akalnya. Dan karena akal manusia ini sangat dekat (dibanding yang lainnya) dengan makhluk Akal-Akhir, maka ia adalah materi yang paling afdhal dan utama. 

Bukti kedekatan manusia dengan Akal, adalah bahwa manusia memiliki akal atau rasio hingga dikatakan Rasional. Ingat, akal manusia bukan makhluk Akal. Akal manusia ini adalah alat untuk memahami universal. Sedangkan universal adalah ”Pahaman Yang Memiliki Lebih dari Satu keberadaan nyata atau ekstensi”. Atau ”Pahaman yang Bisa Diterapkan pada lebih dari satu keberadaan”. Sedangkan mengapa satu pahaman seperti manusia atau pohon bisa diterapkan ke banyak atau lebih dari satu keberdaan? Misalnya Ahmad, Hasan, Husain...dan seterusnya, atau pohon ini, pohon itu, pohon di sini, pohon di sana dan seterusnya? 

Jawabannya adalah karena pada ”Pahaman Pohon” itu kita telah meniadakan ciri-ciri tertentunya. Misalnya ukurannya, warnanya, jumlah ranting dan daunnya dan seterusnya. Oleh karena ketiadaan ukuran dan sifat-sifat tertentunya itulah, maka pahaman tersebut bisa diterapkan ke semua pohon yang ada di alam nyata. Dan ini, mirip sekali dengan keadaan Akal-Akhir yang meliputi semua kesempurnaan di bawahnya. 

Karena kalau pahaman pohon itu sudah diidentikkan dengan keadaan tertentu, begitu pula kalau Akal-Akhir itu juga diidentikkan dengan Barzakh tertentu, maka pahaman pohon itu hanyak bisa diterapkan pada satu pohon, dan tidak akan mencakup yang lainnya. Begitu pula tentang Akal- Akhir kalau hanya meliputi satu Barzakh, maka dia tidak lagi akan bisa meliputi malaikat-malaikat lain yang ada di Barzakh itu. Kalau sudah demikian, maka pahaman pohon tadi tidak lagi universal, dan Akal-Akhir tadi tidak lagi sebagai sebab bagi Barzakh. 

Padahal pahaman pohon itu adalah universal dan Akal-Akhir adalah sebab bagi semua Barzakh dimana menuntut kepemilikannya terhadap semua makhluk Barzakh dimana membuatnya juga mencakupi semua makhluk Barzakh tersebut. 

Dengan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa manusia memiliki unsur badani atau materi, dan memiliki unsur ruh. Dan ruhnya ini terbentang dari ruh-tambang ke ruh-tumbuhan, lalu ke ruh- hewan sebelum kemudian ke ruh-akal auliahnya. Ingat, ruh manusia dan ruh apa saja, adalah satu dan non materi. Tetapi ada yang memiliki satu kekuatan saja dan ada pula yang memiliki lebih dari satu kekuatan. Seperti ruh manusia ini memiliki empat kekuatan, tambang, tumbuhan, hewaniah dan akal auliah. 

Dengan demikian manusia memiliki unsur badani, ruhi barzakhi (karenanya semua ilmunya tidak berbadaniah, karena kalau ilmunya berbadan, maka otaknya akan hangus manakala mem- bayangkan dan mengetahui api), dan ruhi akli/aqli. Dan semua ini, mirip sekali dengan Alam- Besar/semesta itu. Oleh karenanya manusia dikatakan Alam-Kecil. Katakanlah ”Miniatur dari alam semesta dan ketiga tingkatannya itu”. Empat Perjalanan yang dimaksud dalam Irfan adalah dari Makhluk ke Khaliq, dan Dari Khaliq ke Kahliq, lalu dari Khaliq ke Makhluq bersama Khaliq, sebelum kemudian dari Makhluk ke Khaliq bersama Makhluk. 

Perjalanan manusia yang pertama itu dimulai dari materi ke barzakhi, lalu ke Akal dan ke Allah. 

Maksud ke Allah, bukan menjadi Allah, tetapi mengembalikan khayalan ”Kepemilikan Ada” yang ada pada kita. 

Sebagaimana sudah dibuktikan dalam Wahdatul Wujud, bahwa yang Ada hanya Allah, maka kita dan alam sekitar ini adalah bukan ada, dan hanya sebagai bayangan atau hikayat tentang Ada itu. Oleh karenanya perasaan memiliki ini harus ditiadakan hingga ”ada” itu dalam tatapan kita menjadi milikNya semata. Kenapa dalam tatapan kita? Karena dari awal memang milikNya dan tak pernah dimiliki selainNya. Maqam pengembalian ”Ada” inilah yang dikenal dengan ”Fanaa’’ ”. 

Caranya secara global adalah, melakukan semua kewajiban dengan baik, meninggalkan seluruh yang diharamakaan, dimakruhkan, karamat, fadhilah, surga, ’Arsy dan seterusnya dari apa-apa selain Allah. 

Perjalanan Pertama ini akan berhenti manakala sampai pada Akal-Pertama. 

Akan tetapi manusia tidak boleh menyukainya kalau ingin meneruskan perjalannya. Yakni kalau ingin menyempurnakan Perjalanan Pertamannya. Nah, ketika ia tidak suka pada diri dan maqamnya yang sudah sampai di tingkat Akal-Satu itulah, hingga ia hanya melihat Adanya saja, maka itulah yang dikatakan ”Akhir Dari Perjalan Pertama” yang disebut pula dengan ”Fanaa’ ”. 

Setelah Perjalan Pertamanya selesai dan dia sekarang hanya melihat Allah, dan tidak lagi melihat lainnya karena memang tidak ada, maka mulailah ia berjalan di antara sifat-sifatNya. Dengan kata lain : mulailah tersingkap satu persatu sifat Tuhannya, dimulai dari yang sifat paling bawah, yaitu Sifat-sifat Perbuatan atau A’mal, sampai ke Sifat-sifat Zati. 

Itulah yang dikatakan Perjalan Ke Dua. Yaitu perjalanan dari Khaliq ke Khaliq. Setelah itu, dengan ijinNya, dia kembali lagi ke Makhluk, tetapi bukan berarti menganggapnya makhluk ini ada dan disukainya lagi. Karena dia kembali sudah dengan kefanaa’annya itu. 

Yakni kembali dengan Tuhannya. Artinya dia yang tadinya hanya hakikat tajalli Tuhan tanpa melihatnya, kini dia telah melihat tajalli itu. Oleh karenanya dia tidak pernah lagi keluar ke merasa wujudnya lagi sebagaimana sebelum fanaa’. 

Ketika ia kembali dengan Khaliqnya yakni dengan ketiada beradaannya dan keberadaan Khaliq- nya, maka ia telah benar-benar merasakan tajalli itu. Oleh karenanya ia telah menjadi Mata Tuhan untuk melihat dan seterusnya sebagaimana yang diriwayatkan di hadits Qudtsi. Oleh karena itulah Allah dalam QS: 53:4, mengatakan bahwa Nabi saww itu tidak bicara apapun kecuali wahyu yang diwahyukan padanya. Ini bukan berarti wahyu yang berupa Qur'an saja, karena Allah mengatakan ”Tidak mengatakan apapun” dimana kalimat ini mencakupi selain Qur'an, yaitu pembicaraan sehari-hari. 

Setelah ia kembali di antara makhluk bersama Khaliknya dengan makna di atas tadi itu, maka ia mulai meneruskan perjalannya dengan mengajak makhluk kepada Kahliq. 

Inilah sekelumit tentang Empat Perjanan Irfani itu. 

Tambahan

pembaca bisa merujuk ke catatanku tentang Kedudukanfantastis Imam, dimana saya membuktikan kelayakan manusia sebagai khalifah dan ketidaklayakan yang lainnya. Hal itu karena, manusia memiliki semua unsur makhluk, dari materi sampai mendekati Akal, dan mencapainya manakala melakukan perjalanan seperti yang diterangkan di sini ini. 

Oleh karena itulah, yakni karena manusia sempurna memiliki semua unsur, maka bisa menjadi Khalifah Tuhan untuk meminpin semua makhluk secara langsung sesuai dengan derajat masing- masing makhluk. Yang mahkluk materi dipimpinnya dengan ruh-materinya, yang tumbuhan dengan ruh-tumbuhannya, yang binatang dengan ruh kehewanannya, yang Barzakhi dengan ruh- barzakhnya dan yang Akal dengan ruh-akal auliahnya yang sudah mencapai Fanaa’, perjalanan dua dan tiga itu. Maka itulah Nabi saww disebut sebagai Rahmatan Li al-’Alamin atau rahmat bagi segenap alam-alam, yakni materi, barzakhi dan akal auliah. 

Sedang Empat Perjalanannya Mulla Shadra ada dua macam, ada yang Irfani dimana sama dengan penjelasan di atas, ada juga yang Filosofi sebagaiamana yang akan saya terangkan sekarang. Mulla Shadra, ketika menulis Filsafat meniru cara perjalannya Irfan. Yakni filsafat yang memberjalankan akal dan pikiran dianalogikan dengan pemberjalanan Ruh manusia. 

Oleh karena itu pembahasan filsafatnya dibagi atas 4 bagian itu. Yakni dari Makhluk ke Khalik, Perjalanan filsafat dari Makhluk ke Khalik adalah Mempelajari Wujud-wujud Terbatas Seperti pembahasan tentang ada, esensi, substansi, aksiden, gerak dan semacamnya. Dan pembahasan pertama tersebut diakhiri dengan pembahasan pembuktian Tuhan. Maka perjalanan pemikiran dan ilmu itu sudah layak dikatakan dari makhluk ke Khalik. 

Setelah Pembahasan Pertamanya selesai, maka Mulla Shadra membahas tentang Tuhan itu sendiri. Baik dari Zat atau Sifat-sifatNya. Setalah itu Mulla Shadra membuktikan keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Persis sebagai oposan dari perjalanan pertama. Karena yang pertama membuktikan Tuhan dengan makhluk. Tetapi pada pembahasan ke tiga ini sebaliknya, yakni membuktikan keberadaan makhluk dengan keberadaan Khaliknya. Baru setelah itu Mulla Shadra membahas jiwa atau ruh manusia sebagai wujud yang bisa kembali ke sumber awalnya. 

Di pembahasan akhir ini beliau membahas hakikat ruh manusia, potensinya, bisa-tidaknya kembali pada Khaliknya, apa arti kembali di sini. 

Dengan uraian ringkas ini maka selesailah pembahasan kita kali ini. Semoga penulisan yang memakan waktu 11 jam ber-turut-turut ini (dipotong makan, shalat dan ke kamar kecil, begitu pula ditambah ngadat-ngadatnya signal/sinyal, menjadi bermamfaat dunia-akhirat untuk saya pribadi dan para pembaca sekalian. Semoga juga tidak lupa do’akan alfakir. 

Ali Petra, Ahmad Muhammad Yunus, Miftah Fadhlullah dan 23 lainnya menyukai ini. 

Noer Aliya Agatha: Salam kalau ada notes ajib ditag dong say. Afwan, Makasih .. :) 

Terter Jerry: Ya dunk say bagi-bagi ma kita-kita..afwan wa sukron. 

Haerul Fikri: Subhanallah..! 

Layla Kareem: Tag me. 

Ardi Shushelo: Merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep wahdatul wujud (ANA AL-HAQQ) kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang-orang yang menerimanya. Selain itu, al haqq merupakan sifat” Allah...” belum terlambat, jangan sampai ilmu ini membuat pikiran temen ”SUTRIIIEEES” dibuatnya. 

Khana Putra: Saya mengumpamakan wahdatul wujud seperti kayu dan api, ketika api dan kayu menyatu dan sudah menjadi bara kita tak kan bisa membedakan mana api dan mana kayu, tapi api tetaplah api dan kayu tak akan bisa berubah menjadi api. 

Don Flores: Saudarii Anggelia, terimakasih atas tautan-tautannya yang sangat berguna buat Aku...salam untuk Haerul Fikri dan Ustadz Sinar Agama. “Semoga kita termasuk golongan orang- orang yg beruntung di dunia dan akhirat dan kepada-Nyalah kita berserah diri“.....amin ya Rabbal alamin. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad...Lihat Selengkapnya 

Adil Irfandi: Tidak ada satu pun dalil dari alquran dan hadist yang membenarkan uraian yang panjang membosankan dan membingungkan ini. Dapat darimana hasil pemikiran ini mimpi kali yeee, ...... 

Sunan Mahakam: Maaf nei> koment antum terakhir termasuk gradasi juga ya...(dipotong makan, shalat dan ke kamar kecil, begitu pula ditambah ngadat-ngadatnya signal) hehehe.. 

Eydzar Ali Stany: @ardi ana Al-Haqq oleh Al-Hallaj berbeda dengan wahdatul wujud yang sedang didiskusikan di atas, mempunyai thema yang sama namun pemikiran yang jauh berbeda :) @ Irfandi Al-Fathihah ayat 1 dan Al-Ikhlas ayat 1-2 sudah cukup menjelaskan uraian... ini ^_^ Al- Qur’an bukanlah buku Komik ^_^ 

Eydzar Ali Stany: @ardi tambahan,,,, kalau diskusi ini mempunyai pemikiran yang sama dengan al-hallaj tentu umat Syi’ah di masa Al-Hallaj tidak akan mendukung hukuman mati atas Al-Hallaj :) 

Muntazar Zaidi: Apakah pada awal Islam, pengikut pertama nabi dari kalangan mustadhafiin seperi Ammar bin Yasir, Bilal, yakni orang-orang yang dalam tanda kutip tidak memperoleh pendidikan formal tinggi-tinggi amat harus memahami filsafat tingkat tinggi untuk jadi orang beriman? 

Nimas Samin Al-asy’ary: Bagaikan AIR dan ES BATU,,, berbeda tapi hakekatnya SAMA,,, air,,,, perumpamaan wahdatul wujud buatku,,,,jadi pendapat alhallaj juga gak salah ni menurutku,,,gak perlu SUTRIS X.....om adi,,, 

Sinar Agama: Salam, Terimakasih untuk mbak Anggelia yang tidak melelahkan dirinya untuk memuat tulisanku yang cerai berai dalam satu tulisan yang ternyata cukup panjang. Terimakasih juga bagi yang lainnya karena telah bersimpati, baik suka atau tidak. 

Sinar Agama: Ali, Antum mengatakan yang benar bahwa pembahasan kita ini sangat beda dengan yang lainnya. Tolong teman-teman kalau memang minat, bacalah tulisan-tulisan di atas dengan seksama, dan kalau bisa baca jg bagian sebelumnya, dan begitu pula nanti yang bagian limanya. 

Anggelia Sulqani Zahra: Salam terima kasih banyak ustad Sinar ...semoga Allah memuliakan jiwamu....ustad. Merangkai tulisan ustad hanya membutuhkan waktu beberapa jam.. tetapi untuk merenungi tulisan ustad, membutuhkan waktu berhari-hari. Jika saya telah mengalami hal itu tentunya saya juga dapat memahami pengorbanan waktu pikiran tenaga serta segala sesuatu yang ada pada diri ustad dalam mengarungi lautan ilmu,,,sehingga hari ini saya mendapatkan mutiara hikmah dari para guru-guru suci yang terdahulu maupun yang sekarang...ustad.. Jika ada komentar-komentar ustad di dinding teman-teman lainnya yang dipandang perlu dijadikan rujukan dalam kelas filsafat ini maka insya Allah saya akan mengumpulnya menjadi satu catatan, tentunya melalui petunjuk ustad.. 

Sinar Agama: Mbak Anggelia: Terimakasih atas semua kerja dan perhatiannya. Kayaknya baha- san ini akan tersusuli dengan contoh ayat-ayat dan riwayat irfan atau wahdatulwujud, karena sepertinya akan ada yang)menanyakan ayat tentang itu. 

Sinar Agama: Tak lupa kumohon do’anya dari mbak Anggelia dan yang lain supaya kita selalu membajui diri yang kumuh ini dengan cahayaNya(.) 

Komar Komarudin: Salam, sebagai sumbang saran saja, itu kalau diterima, sebaiknya teman- teman yang mengikuti kajian ini, da baiknya memiliki buku Tauhid karya : Hujatul Islam, Hasan Abu Ammar terbitan yayasan Mullah Shadra, cukup baik sebagai referensi sebagai pengimbang dengan Istilah-istilah yang hampir sama cara penyampaiannya, kalau ada yang berminat memiliki buku ini tolong kirim pesan by inbox, .... untuk Mba Anggelia salam kenal, mohon kalau ada tulisan-tulisan atau apalah tentang keilmuan di tag ke saya. Sukron kasir. Semoga Allah SWT membantu kita semua dalam mengarungi samudranya ilmu, membuka tabir-tabir Hikmah-himah Tuhan yang selama ini hilang dan nyaris tak pernah kita sentuh...Ilahi Amin. 

Hati Kecilku: Pak Komar,,,af1 dimana ana bisa beli,,,ana di Papua,,mungkin antum tau toko yang bisa jual pesanan? 

Komar Komarudin: Akhi.....Antum bisa pesan ke ana, atau kontak ke yayasan.. Tulis aja alamat dan Hp antum By Inbox ana...Insya Allah Kita Kirim. Tapi Kalau bisa teman-teman di sana ditawarin juga .. biar biaya kirimnya murah.. 

Aat Laparuki: Jangankan manusia, api di bukit Tursina di hadapan Musa AS juga pernah mengucapkan dan mengaku seperti pengakuan al Hallaj. Dan diabadikan dalam Alquran, cuman saya lupa surah dan ayatnya -tolong dingatkan dong bagi yg tahu. Hehehehe 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad, Sinar Agama dan teman-teman..maaf catatannya baru selesai diperbaiki kalimat-kalimatnya’ tentunya tidak merubah maksud kalimat aslinya ’’’silahkan baca kembali.... 

Sinar Agama: Salam Anggelia, maaf terpaksa kuterbitkan lagi, karena berbagai hal, yakni banyak yang minta dan selalu tanya balik karena kadang tidak terlalu mudah mendapatkan di tempatmu karena harus add dulu dan sebagainya, jadi dari pada aku jawabin orang-orang terus-terusan, jadi kuterbitin saja di catatanku, semoga kamu memaafkanku. 

Sinar Agama: Aat, sepertinya antum belum teliti membaca tulisanku, afwan.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 02 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 9)




Seri Tanya Jawab : Hawra Insiyyah dan Ustad Sinar Agama, Oleh Anggelia Sulqani Zahra 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 6:58 am



Hawra Insiyyah: Salaam ustad.. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja al Mahdi wa al Masih ba’dah.. 

Afwan ustad.. mau menanyakan sabda-sabda suci ini : 

=> wallahi, kami / ahl bayt adalah asmaul husna. 

=> aku adalah ahmad tanpa mim. 

Mohon disyarahi, sebab bagi awam ini, ucapan suci itu masih terlampau agung untuk difahami.. 

...O iya ustad, kalau tidak keberatan ke dua ucapan suci tersebut sumber rujukannya apa ya? Sebab selama ini hanya dengar-dengar di ta’lim-a’lim saja, afwan Ustad. Kalau di ijinkan, bolehkah mengcopi catatan antum tadz? Semoga semua ini menjadi amal shalih bagi ustad yang bisa membuat sayidah Zahra tersenyum... bihubbi Zahra... Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad. 

Sinar Agama : Bismillaah. Salam. 

Peringatan

1. Saya sangat tidak menganjurkan bagi siapapun untuk membaca tulisan ini. 

2. Yang saya tulis ini adalah apa yang ada dalam buku-buku Irfan dan ke-Shufian yang sesungguhnya, bukan yang sok shufi. 

3. Tidak mempercayai Wahdatu al-Wujud tidaklah haram dan apalagi masuk neraka. Jadi, kalau tidak paham, maka tinggalkan saja. 

4. Saya hanya mengangkat dari kitab-kitab, termasuk argumentasinya. Sementara saya sendiri, percaya atau tidak, maka hal itu adalah urusan saya secara pribadi dengan Tuhan. Jadi, tulisan ini tidak menggambarkan kepercayaan saya. 

5. Saya hanya menuliskan sebagai kewajiban menjawab pertanyaan, hingga kalau ilmu ini adalah benar menurut Allah, maka saya hanya mengharapkan Ridha dan PahalaNya. 

6. Saya sangat tidak rela tulisan ini dan begitu pula catatan lainnya tentang Irfan (bag: 1-7 dst), dijadikan trendi-trendian hingga dicuplak-culpik dijadikan status untuk bergaya-gaya, seperti yang saya lihat di beberapa status yang menulis secara nyentrik, masalah-masalah Filsafat, walaupun untuk membuat orang lain berfikir dan memancing perhatian dalam artian positif. 

7. Dalam tulisan ini, kata ganti Nya dengan N besar, diperuntukkan untuk Nama-nama Husna Allah, dari Nama Allah itu sendiri sampai kepada Nama Sifat Zat dan Perbuatan. Jadi, untuk menentukan apakah Nya itu sebagai katan ganti Allah atau seluruh Nama HusnaaNya, harus dilihat kontek kalimatnya. 

8. Tulisan ini, kalau benar menurut Allah swt, hanyalah sebagai penjelasan terhadap Insan Kamil. Jadi, jangan coba-coba mengkhayal untuk mencapainya. 

9. Mencapai insan-kamil, diperlukan setidaknya seribu maqam dimana maqam ke tiganya saja sudah harus bersih dari dosa. Jadi, yang akan sampai ke maqam yang tertulis dalam jawaban saya ini, adalah orang yang telah meninggalkan haram, makruh dan kesukaan pada: halal, karamat, kasyaf, ilmu, surga, al-lauhu al-mahfuzh, akal-satu dan fana’. Jadi, bukan dengan dzikir, seperti Allah-Allah, Huwa-Huwa atau Hu-Hu dan seterusnya. 

Jawaban Pertanyaan

1. Kalimat pertama adalah hadits dari makshumin as.: “Demi Allah kami adalah Nama-nama husna/baik Allah”. Terdapat di berbagai tempat: 

al-Kafi: 1: 144 (babu al-nawadir); 

Mustadraku al-wasail: 5: 230; Mustadraku Safinatu al-Bihar: 2: 391;Biharu al-Anwar: 91: 

6;Tafsir al- ‘Ayyasyi : 2: 42;Tafsir al-Shafi: 1: 114, 2:256;Tafsir al-Amtsal: 5: 307; dan lain-lain. 

2. Dalam catatan yang telah lalu tentang Wahdatul Wujud bag: 6 tentang dalil Naqlinya, telah diterangkanbahwaal-Asmaual-Husnaatau Nama-nama Baik Tuhan, adalah suatu keberadaan, bukan kata-kata. Karena Yang Melindungi dari Nama “Pelindung” adalah Maknanya, bukan kata-katanya. Begitu pula dengan Nama-nama yang lainnya seperti “Pencipta”, “Pemberi Rejeki”, “Penyembuh”, “Yang Melihat”, “Yang Mendengar”...dan seterusnya. 

3. Nama-nama Tuhan itu adalah Tajalli dari Maqam Tertinggi, Tergelap, Tertidak Tersentuh, Ter- Maha Ghaib, Ghaibnya Ke-Ghaiban (Ghaibu al-Ghuyub), yaitu maqam “Huwa” atau “Dia”. 

Maqam ini tidak dibahas sama sekali dalam Irfan. Jadi, kalau kita mengatakan Tuhan, maka yang dimaksud adalah Nama-nama itu. Jadi, pada hakikatnya Nama-nama itu dalam Irfan adalah Tajalli dari Tuhan Yang Huwa, bukan Tuhan Yang Huwa itu sendiri. Karena Yang Huwa ini, sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan suluk serta kasyaf. Jadi, maqam ini tidak dibahas lagi. 

4. “Ada” atau “Satu Ada” atau “Wahdatu al-Wujud” yang dibahas dalam Irfan, adalah Tuhan yang terjangkau dengan akal (walau hanya maknanya, bukan penyelimutannya) ini. Yakni Nama- nama Husna tersebut, bukan “Huwa”. 

5. Dengan pembuktian akal dan suluk serta kasyaf, “Ada” adalah hanya “Satu” dan Dia adalah Tuhan, sebagaimana sudah dibahas di catatan-catatan sebelumnya. Dan Tuhan di sini, sekali lagi, bukan Huwa. 

6. Nama-nama baik ini dibagi tiga, “Nama Zat”, “Nama Sifat Zat” dan “Nama Sifat Perbuatan”. Yang pertama adalah “Nama Allah”, yang ke dua adalah Nama-nama dari sifat-sifatNya yang dimilikinya tanpa dihubungkan dengan yang lainnya, seperti Nama Ada, Qidam, Baqa’, Hidup, Kuasa, Ilmu, Murid ..dst, sedang yang ke tiga adalah Nama-nama yang dimilikiNya setelah Dia melakukan sesuatu atau dipahami setelah menghubungkanNya dengan selainNya, seperti Nama Pencipta, Pemberi Rejeki, Pengampun...dan seterusnya. 

7. Dalam istilah Irfan, setelah maqam Huwa itu, adalah maqam Ahadiyyah (Satu yang Esa atau tidak terangkap), dan setelah Ahadiyyah adalah maqam Wahidiyyah (Satu yang Kesatuan/ rangkapan). 

8. Ketiga maqam di atas itu adalah Maqam Ke-Tuhanan yang, biasanya tidak disebut Tajalli, sekalipun pada hakikakatnya adalah Tajalli. Yakni Allah adalah Tajalli Huwa; Nama-nama Sifat Zat adalah Tajalli Nama Allah; Dan Nama-nama Sifat Perbuatan adalah Tajalli dari Nama Sifat Zat. 

9. Tajalli Tuhan dimulai dari Akal-satu, lalu melaui Akal-Satu, Tuhan meneruskan TajalliNya ke Akal-Dua .....dan seterusnya sampai ke Barzakh dan Alam Materi, sebagaimana sudah sering dijelaskan. 

10. Akal disebut juga Jabaruut, dan Barzakh sebagai Malakut, sedang Materi disebut Nasut. Akal dan Barzakh juga disebut al-‘Alamu al-Amr (sekali jadi, non materi dan non proses/perubahan waktu), sedang Alam Materi disebut al-‘Alamu al-Khalq (pengkadaran, pembentukan, pem- batasan). Sekalipun, sekali lagi, bahwa sejak dari Akal-Satu itupun sudah al-Khalq atau Pembatasan. Akan tetapi karena susah dijangkau maka al-Khalq (bukan ciptaan sebagaimana maklum) itu diistilahkan untuk Alam Materi. 

11. Karena “Ada” hanya satu, maka “Ada” yang membentang dari Nama Allah sampai ke Alam Materi ini, disebut al-Nafasu al-Rahmani. Yakni Nafas Ke-Maha Kasih-an. Diserupakan dengan nafas yang belum membentuk huruf-huruf. Sementara Nama Allah sampai ke Alam Materi disebut dengan al-Huruf atau al-Kalimat. Karena Sang Nafas/wujud telah membentuk huruf dan kalimat yang, dalam hal ini adalah makna Allah sampai ke Alam Materi itu, bukan kata- katanya, sebagaimana maklum. 

12. Dalam catatan yang telah lalu tentang Wahdatu al-Wujud ini, sudah diterangkan bahwa pesuluk memiliki 4 perjalanan: 

a. Dari makhluk ke Khaliq, yakni dengan meninggalkan maksiat, makruh, suka dunia halal, suka karamat, suka kasyaf, suka Barzakh, suka surga, suka Akal-Terakhir atau al-Lauhu al-Mahfuzh, suka ini dan itu....dst, sampai meninggalkan kesukaan pada Akal-Akhir, hingga Fana’ dan meninggalkan kemerasaFanaa’annya. 

Ketika sudah sampai di Fanaa’nya Fanaa’ ini, maka seorang pesuluk sudah meninggalkan selain Tuhan dan sudah sampai kepada Maqam Kebodohan Mutlak (Zhaluman Jahulan yang dipujikan kepada manusia oleh Tuhan dalam Qur'an). Hal itu karena yang dihadapinya sekarang hanyalah Tuhan Yang Tidak Terbatas yang, karena ke-tidak TerbatasanNya membuatnya tidak tahu sama sekali tentangNya. 

Karena kalau Tuhan itu Maha Luas, maka bisa diketahui walau sedikit. Tapi ketika Tuhan itu Tidak Terbatas, maka tidak ada kata sedikit yang bisa diketahui. Karena kalau ada sedikitNya, maka ada BanyakNya alias LuasNya. Dan kalau ada LuasNya, maka pasti ada BatasanNya, sekalipun Maha Luas. Jadi, karena lawan Tidak Terbatas adalah terbatas, bukan sedikit, maka Tuhan tidak lagi bisa diketahui olehnya. Sementara kita-kita yang merasa tahu ini, adalah kebodohan di atas kebodohan. 

b. Dari Khaliq ke Khaliq, yakni setelah seseorang tidak melihat dan menyukai apapun sekali- pun dirinya dan kefanaa’annya, dan hanya melihat dan merasakan AdaNya, maka sekarang ia bisa melanglangiNya, dimulai dari Nama-nama Sifat PerbuatanNya sampai ke Nama ZatNya, sesuai kemampuannya. 

Masing-masing salik atau pesuluk, dalam hal ini memiliki kemampuannya sendiri-sendiri. Maka sesuai dengan kemampuannya itulah seseorang bisa menyentuh berapa Nama dan sejauh apa dari masing-masing Nama yang disentuhnya itu. 

c. Dari Khaliq ke Makhluk, yakni setelah seseorang melanglangi Nama-namaNya, maka sesuai dengan KehendakNya, ia akan turun lagi ke selainNya. Namun, turunnya sekarang ini sudah bukan dirinya lagi, tapi sebagai alatNya. Kalau Fanaa’ adalah maqam “Mabuk” dan “Pingsan” (Mahwun), maka maqam ke tiga ini adalah maqam “Sadar Setelah Pingsan” atau “Siuman” (Shahwun). Namun, kesadarannya sudah bukan kesadaran sebelum Fanaa’ lagi, karena waktu itu, ia sendirilah yang melakukan suluk, sedang sekarang ia sudah menjadi alatNya, MataNya, TanganNya,KakiNya, MulutNya dst. 

d. Dari Makhluk ke Khaliq bersama makhluq, yakni setelah seseorang melakukan perjalanan ke tiga ini, baginya menjadi jelas apa saja tentang rahasia keberadaan ini (bc: tajalli). Oleh karenanya dia tahu juga rahasia agama dan mengapanya serta mengapa pada masing- masing ajarannya. 

Lalu dalam perjalanan ke empat ini, ia dengan MauNya, mengajak semua selainNya kepadaNya. Inilah yang dalam istilah dikatakan sebagai Maqam Kenabian. Jadi, semua pesuluk yang sampai ke maqam ini, maka ia, secara batin, sudah menempati posisi maqam kenabian. Namun, siapa yang akan ditunjuk menjadi Rasul olehNya, artinya yang akan dikehendaki sebagai RasulNya, maka tergantung kepada Mau dan IradahNya. 

Tentu saja, akan disesuaikan dengan semua kondisinya. Oleh karena itu, yang buta, cacat, tidak baiknya turunannya dst tidak akan diangkat menjadi RasulNya, karena akan membuat orang lain lari dan menjauh darinya. Hal mana yang seperti ini, sekalipun kalau Allah mengazab mereka tetap Adil dan Bijaksana, akan tetapi Tuhan, akan keluar dari sifat Lembutnya (Lathif) dimana maknanya adalah memudahkan hambaNya untuk taat dan menyulitkannya untuk maksiat. 

13. Salah satu konsep filsafatnya non materi, adalah 1+1=1. Hal itu karena non materi tidak lagi dibatasi dengan volume yang merupakan konsekuensi dari kebendaan. 

14. Pesuluk atau Salik yang sampai kepada wujud-wujud non materi itu, maka mereka, kalau sudah sempurna, akan menyatu dan menjadi si yang dicapainya itu. Kalau Barzakh, maka ia akan menjadi Barzakh itu, begitu pula kalau Akal-Akhir atau Akal-Satu. 

15. Pesuluk yang sampai ke maqam Nama-nama, juga demikian. Mereka akan menyatu dengan Nama-nama itu sesuai kemampuannya sendiri-sendiri, baik dari sisi jumlahnya atau keluasan masing-masingnya. 

16. Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa maqam-maqam setelah Fanaa’ adalah Wahidiyyah (Sifat Fi’liyyah dan Zatiyyah) dan Ahadiyyah. 

17. Ahadiyyah, yakni Allah, karena Dia dalam Irfan adalah Nama dan Tajalli dari Huwa Yang Maha Tidak Terbatas dan Ghaibu al-Ghuyub, maka Dia adalah Terbatas. Namun demikian, tidak ada yang tahu batasanNya. Oleh karena itu dalam pembicaraan dan tulisan, selalu dikatakan sebagai Yang Maha Tidak Terbatas. Terlebih lagi, setelah kita tahu bahwa maqam Huwa yang di atasNya, sama sekali tidak bisa tersentuh. Jadi, penisbatan atau penghubungan atau pensifatan Tidak Terbatas, selalunya ditetapkan ke “Nama Allah”, bukan ke Huwa/Dia. 

18. Karena Nama Allah itu hanya Huwa yang tahu batasanNya, dan bahkan Nama-nama Sifat Zat dan Sifat Perbuatanpun hanya Huwa yang mengetahui batasannya, maka siapapun yang melanglangi Maqam Nama-nama Baik/Husna ini, tidak akan ada yang tahu batasanNya. 

19. Orang yang sampai ke maqam Nama-nama Baik itu, karena dari sisi Ruh-nya yang non materi, dan ke-non-materian Nama-nama tersebut, maka rumus 1+1=1 itu berlaku. Yakni mereka men-satu dengan Nama-nama tersebut. 

Namun, sekali lagi, bahwa tidak ada yang bisa dikatakan bahwa dia telah sampai ke semua batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya itu. 

20. Sekalipun pen-satuan yang sampai kepada Nama-nama Husna itu tidak bisa dikatakan telah mencapai seluruh kesempurnaan dari Nama yang dicapainya, akan tetapi sudah bisa dikatakan sebagai NamaNya. Setidaknya, sebagai Tajalli Nama yang dicapainya itu. 

21. Ke-men-satu-an yang sampai kepada Nama-nama Baik Allah itu, dalam Qur'an diterangkan sebagai “Menjadi”, yakni “Menjadi Tuhan” atau “Menjadi Nama-nama HusnaNya” yang, bahasa Arabnya adalah al-Mashir. 

Dalam QS: 2: 285: “...dan meraka berkata: Kami mendengar dan kami taat (mereka berdoa): Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah menjadi (terjamahan DEPAG: ..kembali)”. Kalau Allah memakai kata “Turja’un”, seperti di ayat lain, maka bermakna “kembali”. Akan tetapi di sini memakai kata “Mashir” atau “Menjadi”, jadi tidak bisa diterjemahkan dengan “kembali”. 

Dalam QS: 3: 28: “...dan kepada Allah menjadi/dijadikan”. Lihat juga QS: 5: 18; 24: 42; 31: 14; 35: 18; dll-nya yang banyak sekali. 

Tentu saja kalau kemenjadiannya itu ke tempat lain, terkhusus neraka, maka ia juga adalah ke- men-satu-an dengan neraka. Oleh karenanya dalam Qur'an dikatakan sebagai “Bi’sa al-Mashir” atau “Se-buruk2 tempat menjadi”. Lihat QS: 2: 126; 3: 162; 8: 16; dll-nya yang juga banyak sekali. Rahasianya, karena neraka adalah non materi. Karena itu konsep 1+1=1 juga berlaku. Akan tetapi, karena manusia yang menyatu dengan apa-apa yang tidak sesuai dengan esensinya, seperti api-barzakhi, maka ia akan merasakan secara Hudhuri panasnya dan akan tersiksa karenanya. 

22. Namun demikian, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa yang sampai ke maqam Nama-nama Baik itu, tidak bisa dikatakan bahwa ianya telah sampai ke seluruh batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya itu. Hal itu karena hanya Huwa yang tahu secara hakiki. Dan karena ketidak bisaan seseorang mencapai NamaNya itulah maka Tuhan dalam Qur'an memakai kata “ilaihi”, yakni “KepadaNya” atau “Kepada Allah” atau “KepadaMu”, dalam ayatNya yang berbunyi “mashir” atau “menjadi” atau “dijadikan” itu. Perhatikan contoh ayat di atas, QS: 2: 285 dan 3: 28. Maka disana dan di tempat lain, sebelum mengatakan “menjadi”, telah dipakai kata “kepada”. 

Artinya, bahwa sejauh apapun ke-men-satu-an yang dicapai manusia, maka ianya tetap merupakan “ke-menjadian kepadaNya”, bukan “ke-menjadianNya”. 

23. Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa yang mencapai maqam Nama-nama Husna itu, dari satu sisi bisa dikatakan “men-satu”, dan dari sisi lainnya dikatakan “tajalliNya”, atau “bukanNya”. 

24. Kegamblangan dalil terhadap ke-Tajalli-an yang sampai itu, bahwasannya ianya tidak-men- jadiNya atau tidak men-satu secara hakiki dengan Nama-namaNya atau “kemenjadian kepadaNya”, adalah Wahdatu al-Wujud itu sendiri. 

Artinya, ketika Wujud itu hanya satu dan ia adalah Nafas Rahmani itu, maka Sang Wujud Mutlak itu tetap langgeng dan tidak pernah bergeser dan/atau berubah. Jadi, hiruk pikuk perjalanan Salik/Pesuluk dan wujud-wujud Materi, Barzakhi, Akli dan Nama-nama Husna itu, sebenarnya hanyalah dalam Tajalli itu. 

Dan karena bahasan (irfan teori) atau capaian (irfan amali yang amali) tertinggi manusia adalah Nama Zat, yakni Nama Allah, maka Nafas Rahmani (wujud) itu dihubungkan kepada Allah. Jadi, Allah-lah pemilik Nafas Rahmani itu secara hakiki dalam Irfan dan selainNya adalah TajalliNya, baik berupa Nama-nama HusnaNya, atau Akal, Barzakh dan Materi. 

Kalau demikian halnya, yakni kalau wujud itu, semuanya adalah Dia dan hanya MilikNya yang, dalam arti DiriNya sendiri, maka keselainanNya adalah TajalliNya. Jadi, gradasi yang bermakna tingkatan, dan kehiruk-pikukan itu hanya di TajalliNya saja, bukan di Wujud. Walaupun demikian, yakni walaupun selalu dalam Tajalli, akan tetapi tetap saja yang sampai kepada Tajalli Nama-nama Baik itu, tidak akan sampai kepada seluruh batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya tersebut, sebagaimana sudah diterangkan. 

25. Dengan demikian, maka yang sampai kepada Nama-nama Husna itu, bisa dikatakan seba- gai Nama-nama Husna karena ke-mensatu-an yang diakibatkan oleh kesamaan ke-non materiannya itu. Walaupun tetap tidak bisa dikatakan sepenuhnya “menjadiNya” yang dikarenakan “kemenjadian kepadaNya” itu, yakni bukan “kemenjadiNya”. 

26. Dan karena Rasul saww dan Ahlulbait adalah paling afdhalnya manusia dan tajalli, hingga dikatakan sebagai Rahmat bagi segenap alam-alam, maka sudah tentu, mereka adalah Nama-nama Husna itu. Inilah yang dimaksudkan oleh hadits yang ditanyakan. Allahu A’lam. 

27. Dan karena semua insan Kamil, terutama para nabi dan washi-washi sebelum Rasul saww adalah secara yakin telah sampai kepada Perjalanan ke Empat, maka sudah pasti mereka juga merupakan orang-orang yang melanglangi maqam Nama-nama Husna tersebut. 

28. Namun demikian, karena kita melihat dari ayat-ayat, dinyatakan bahwa Nabi saww adalah rahmat bagi segenap alam semesta (QS: 21: 107), dan Ahlulbait as juga adalah diri beliau saww, sebagaimana dalam ayat-ayat (QS: 3: 61) dan riwayat-riwayat yang banyak sekali, maka pastilah maqam mereka as di tingkatan Nama-nama Husna ini berada di paling tingginya dan paling sempurnanya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pembeda insan kamil dengan insan kamil lainnya, nabi dengan nabi lainnya, imam dengan imam lainnya dst, ada di maqam Nama-nama Husna ini, bukan di Jabaruut dan apalagi di bawahnya. 

Catatan untuk point 24: Irfan Teori artinya adalah ilmu yang membuktian kebenaran Wahdatu al-Wujud. Seadang Irfan ‘Amali adalah ilmu yang membahas teori pencapaiannya, bukan pencapaiannya itu sendiri. Oleh karena itu saya tulis dalam kurung di atas sebagai “amali yang amali”. Artinya capaian dan ke-men-satu-an-nya, bukan teori pencapaiannya. 

29. Dengan semua penjelasan di atas, maka kalimat ke dua dari yang ditanyakan tersebut di atas, dapat dipahami. Sekalipun hadits itu, sepertinya, tidak termuat kecuali dalam satu kitab saja. Yaitu kitab Khuthbatu al-Iftikhar yang, masih banyak yang menyangsikan keshahihannya. Arti “Aku Ahmad tanpa mim” adalah “Aku Ahad”, yakni “Aku telah sampai di maqam Ahadiyyah”. 

30. Sekali lagi jangan lupa, bahwa yang dimaksudkan dari “Aku Ahad” tetap saja adalah Tajalli Si Empunya Wujud, bukan Wujud itu sendiri, oleh karenanya “Selalu KepadaNya”, bukan “MenjadiNya”. 

Semoga bermamfaat dan sekian terima kasih. Al-fatihah – sholawat. Wassalam. 

Sinar Agama: Sinar Agama salam, terimakasih banget, maaf sering direpotin, afwan. 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad. Apalah diri ini dibandingkan kami sering bertanya pada ustad, dan masyaAllah ustad di antara kesibukannya dengan tulusnya melayani pertanyaan-pertanyaan kami,,.. sungguh benar-benar Sinar Agama... 

Sinar Agama: syukur kalau kamu tidak marah kala kumintai tolong. Aku kadang lupa basa-basi, hingga terasa seperti kurang sopan, jadi afwan banget. Semoga kita termasuk kafilah-kafilah yang berhijrah kepadaNya danRasulNya saww amin, begitu pula temen-teman lainnya. 

Pencinta Ali: afwan ingin penjelasan, di kala kita mengutip perkataan imam Ali: wa Allahi nahnu Ahlulbayt asma’ul husna. Sedangkan kita mengetahui bahwa di antara asmaul husna ada Allah, yg menjadi pertayaan apa mereka Allah? 

Sinar Agama: Pencinta: Kurasa saya sudah menjelaskannya di atas, mohon diperhatikan, jangan buru-buru. Nanti kabari lagi, afwan. 

Pencinta Ali: Ali Ruhullah, Ali ruhnya Allah dan Muhammad jasadnya jiwa tanpa ruh maka tak hidup. 

Sinar Agama: Pencinta Ali Ali ruhullah, Ali ruhnya Allah dan Muhammad jiwa, jiwa tanpa ruh maka tak hidup. 

Sinar Agama: Pencinta: Ali Ruhullah itu tidak ada hubungannya dengan pembahasan kita. Ruhullah itu seperti baitullah, janntullah, ...dan seterusnya. Jadi penisbatan kepemilikan. Emangnya bisa Allah dikatakan memilki ruh, dan ianya adalah Ali as? Kalau Ali as Ruh Rasul saww, itu bukan maknanya Rasul saww adalah jasadnya dan Ali as adalah ruhnya. Itupun kalau kalimat itu ada dalam riwayat. Maksud Ali as adalah ruh Nabi saww, artinya karena tanpa Ali as dan makshumin as lainnya, ajaran Nabi saww tidak akan ada gunanya dan akan hilang setelah masa beliau saww. Karena kalau agama tidak dijaga orang makshum maka semua orang akan memahminya dengan akal tidak makshumnya dan akhirnya agama akan menjadi amburadul tidak karuan. 

Jadi, ruh disini adalah Majazi/simbolik, bukan hakiki. Yakni Ali as dan para imam makshum as adalah penyemangat Nabi saww. Atau bisa diartikan bahwa Ali as dan imam makshum lainnya as adalah ruh agama Nabi saww. Jadi, makna dari kata Ali as adalah ruh Nabi saww adalah Ali as adalah ruh agama Nabi saww. Seperti Husain as dariku dan aku dari Husain as. Dan kalaulah memiliki makna hakiki, tentu saja imam Ali as sama sekali tidak akan pernah mengunguli Rasul saww. 

Jadi, makna dari Ali as adalah ruh Nabi saww, adalah Ali as adalah milik Nabi saww atau ruh yang dimiliki Nabi, yakni ruh yang dibentuk Nabi saww dan menjadi miliknya, sebagaimana Tuhan mengatakan telah menghembuskan RuhNya kepada janin yang sudah siap menerimanya. 

Jadi, ruh di sini, adalah ruh yang dibuat Tuhan dan milikNya. Biasanya, penisbahan ini dikarenakan kemulian atau keagungan masalah atau makhluk tsb. Seperti ruh, ka’bah ..dst. begitu juga imam Ali as terhadap Rasul saww sebagai pendidiknya, pemiliknya dan kesayangannya. 

Sinar Agama: Jadi, karena Rasul saww adalah pendidik dan penyayang Ali as, maka Ali as adalah milik beliau saww. Dan karena Ali as bukalah apa-apa kecuali kemuliaan ruhnya, bukan badaniahnya, maka ruh Ali as sama dengan Ali as. Dan ianya adalah ruh Rasul saww, yakni MILIK DAN KESAYANGAN RASUL SAWW. Sebagaimana ruh-Tuhan yang dihembuskan itu. Jadi, dimensi ke- ruh-an ruh kepada Allah atau ke ruh-an Ali as kepada Nabi saww adalah dimensi kedimilikiannya, bukan kememilikiannya. 

Pencinta Ali: anda pahami dulu kontek ruhullah, mengapa bukan rosul yang mendapatkan julukan tersebut, bahkan dalam hadis mufakhoro imam Ali mengatakan aku wahnya Allah di langit. 

Iday Sampaey: justru itulah personafikasinya dari majas tersebut,, dan secara subjektif, saya katakan, oleh karena Ali yang mampu mentransformatifkan nilai-nilai dan pengetahuan pasca Rosul, sehingga ini hanya kontinu imanensi kesempurnaan bagi setiap pertanyaan dan masalah keadaan jaman dan seterusnya... kecuali kalau saya yang salah koment. 

Sinar Agama: Pencinta: komentar alfakir ini sudah jelas, terimakasih. Jadi pandai-pandailah menerapkannya. 

Sinar Agama: Iday: kagum sama kecerdasannya. Sebagai tambahan, ketika siapa saja sampai ke maqam non materi, maka semua menjadi semua, artinya jadi satu. Jadi, siapapun boleh mengatakan sebagai wahyu, ’arsy, lauhu al-mahfuzh, ilmu Tuhan, kehendak tuhan, Mata Tuhan ....dst. Jadi tidak ada pengkhususan lagi di sana, karena maqam itu maqam yang bisa dicapai semua orang. Kekhususan masing-masing orang itu, terutama para nabi as dan imam makshum as, adalah di maqam Nama sebagaimana yang sudah dijelaskan di catatan dengan jelas. 

Namun, demikian tetap saja semua orang yang di sana bisa mengatakan sebagai Nama-nama Husna itu, karena 1+1=1 dalam non materi. Tapi dari sisi jumlah Nama Husna yang dicapai, dan berapa keluasan dari masing-masing Nama yang dicapainya itu, hanya Allah dan dirinya yang tahu. Jadi, hanya di maqam Nama itulah adanya perbedaan di samping persamaannya. Artinya maqam setelah Fanaa’ dimana semua itu di atas Akal-Satu. Sementara ’Arsy, lauhu al-mahfuzh, wahyu, kitab Qada dan qadar (bc: ilmu Tuhan sebagaimana sering dijelaskan, yakni bukan nasib manusia)....dst jutaan tingkatan dibawah Akal-Satu. 

Sementara semua derajat sampai ke Akal-satu itu adalah derajat yang tidak beda bagi yang sampai. Jadi, semua yang Fanaa’ bisa dikatakan satu derajat. Beda itu terjadi manakala di maqam Asma/Nama-Husna, yakni di Perjalanan ke dua (dari Tuhan ke Tuhan). 

Sinar Agama: Mengenai Nabi saww, beliau adalah pengajar pertama Islam. Maka itu dikatakan beliau saww berperang sesuai turunnya ayat (lahiriah ayat) dan imam Ali as berperang sesuai takwilnya ayat. 

Jadi, pada awal-awal ke Islaman Nabi saww tidak diperkenankan Allah untuk mengatakan yang batin-batin kepada manusia kecuali kepada murid khususnya seperti imam Ali as. Ekstrimnya, setinggi apapun imam Ali as, tetap dalam genggaman Nabi saww. 

Maka itu tidak heran kalau imam Ali as yang dikenal dengan singa padang pasir itu, yang membelah Ibnu Wud pendekar Mekkah menjadi dua, mengatakan +/-: ”Kalau perang sudah sangat dakhsyat, kami berperang sambil di balik punggung Nabi saww (yakni berbenteng Nabi saww)”. Artinya tidak ada yang bisa mendahului Nabi saww. 

Jadi, dalam perang diri, juga tidak ada yang bisa mendahuluinya hingga orang lain punya sesuatu kemudian beliau saww tidak memilikinya. Imam Ali as menjadi imam Ali as, karena Nabi saww. Imam Ali as menjadi ’Arsy, wahyu, ilmu Tuhan...dst adalah karena dibimbing Nabi saww. Karena Nabi saww adalah Nabinya, gurunya dan mursyidnya. Tentu saja sekaligus penyintanya, pembelanya, jiwanya, harapannya, penyemangatnya (terkhusus untuk ke depan sebagaimana sudah diterangkan), jiwanya, hatinya, jantungnya, cintanya....dan seterusnya. 

Pencinta Ali: andai kata anda mengetahui siapa sosok Ali sebenarnya, maka anda akan menjadi orang yang seperti saya, dan mungkin ini lama untuk mendapatkannya. 

Sinar Agama: Pencinta: Komentarku sudah jelas. Kuanjurkan segera melakukan taubat. Atau bangun argument antum dan paparkan kepada kita. Jangan hanya mendakwa. Kita di  sini, bebas berpandangan dan tanggung jawabnya sendiri-sendiri di dunia dan akhirat. Yang sangat diharapkan adalah adu dalil dan argument, bukan kokoh-kokohan berdakwa. Tafadhdhol kalau antum berdalil, maka kita akan lihat secara bijak. Saya sih sementara ini tetap sebagai Syi’ah 12 imam, yang meyakini bahwa siapapun dari para imam as, tak terkecuali adalah imam Ali as, semuanya, adalah murid Rasul saww dan ada di bawah beliau saww (derajatnya). 

21 Desember 2010 jam 9:35 · Suka · Hapus




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ