Sinar Agama : Bismillaah. Salam.
Peringatan:
1. Saya sangat tidak menganjurkan bagi siapapun untuk membaca tulisan ini.
2. Yang saya tulis ini adalah apa yang ada dalam buku-buku Irfan dan ke-Shufian yang sesungguhnya, bukan yang sok shufi.
3. Tidak mempercayai Wahdatu al-Wujud tidaklah haram dan apalagi masuk neraka. Jadi, kalau tidak paham, maka tinggalkan saja.
4. Saya hanya mengangkat dari kitab-kitab, termasuk argumentasinya. Sementara saya sendiri, percaya atau tidak, maka hal itu adalah urusan saya secara pribadi dengan Tuhan. Jadi, tulisan ini tidak menggambarkan kepercayaan saya.
5. Saya hanya menuliskan sebagai kewajiban menjawab pertanyaan, hingga kalau ilmu ini adalah benar menurut Allah, maka saya hanya mengharapkan Ridha dan PahalaNya.
6. Saya sangat tidak rela tulisan ini dan begitu pula catatan lainnya tentang Irfan (bag: 1-7 dst), dijadikan trendi-trendian hingga dicuplak-culpik dijadikan status untuk bergaya-gaya, seperti yang saya lihat di beberapa status yang menulis secara nyentrik, masalah-masalah Filsafat, walaupun untuk membuat orang lain berfikir dan memancing perhatian dalam artian positif.
7. Dalam tulisan ini, kata ganti Nya dengan N besar, diperuntukkan untuk Nama-nama Husna Allah, dari Nama Allah itu sendiri sampai kepada Nama Sifat Zat dan Perbuatan. Jadi, untuk menentukan apakah Nya itu sebagai katan ganti Allah atau seluruh Nama HusnaaNya, harus dilihat kontek kalimatnya.
8. Tulisan ini, kalau benar menurut Allah swt, hanyalah sebagai penjelasan terhadap Insan Kamil. Jadi, jangan coba-coba mengkhayal untuk mencapainya.
9. Mencapai insan-kamil, diperlukan setidaknya seribu maqam dimana maqam ke tiganya saja sudah harus bersih dari dosa. Jadi, yang akan sampai ke maqam yang tertulis dalam jawaban saya ini, adalah orang yang telah meninggalkan haram, makruh dan kesukaan pada: halal, karamat, kasyaf, ilmu, surga, al-lauhu al-mahfuzh, akal-satu dan fana’. Jadi, bukan dengan dzikir, seperti Allah-Allah, Huwa-Huwa atau Hu-Hu dan seterusnya.
Jawaban Pertanyaan:
1. Kalimat pertama adalah hadits dari makshumin as.: “Demi Allah kami adalah Nama-nama husna/baik Allah”. Terdapat di berbagai tempat:
al-Kafi: 1: 144 (babu al-nawadir);
Mustadraku al-wasail: 5: 230; Mustadraku Safinatu al-Bihar: 2: 391;Biharu al-Anwar: 91:
6;Tafsir al- ‘Ayyasyi : 2: 42;Tafsir al-Shafi: 1: 114, 2:256;Tafsir al-Amtsal: 5: 307; dan lain-lain.
2. Dalam catatan yang telah lalu tentang Wahdatul Wujud bag: 6 tentang dalil Naqlinya, telah diterangkanbahwaal-Asmaual-Husnaatau Nama-nama Baik Tuhan, adalah suatu keberadaan, bukan kata-kata. Karena Yang Melindungi dari Nama “Pelindung” adalah Maknanya, bukan kata-katanya. Begitu pula dengan Nama-nama yang lainnya seperti “Pencipta”, “Pemberi Rejeki”, “Penyembuh”, “Yang Melihat”, “Yang Mendengar”...dan seterusnya.
3. Nama-nama Tuhan itu adalah Tajalli dari Maqam Tertinggi, Tergelap, Tertidak Tersentuh, Ter- Maha Ghaib, Ghaibnya Ke-Ghaiban (Ghaibu al-Ghuyub), yaitu maqam “Huwa” atau “Dia”.
Maqam ini tidak dibahas sama sekali dalam Irfan. Jadi, kalau kita mengatakan Tuhan, maka yang dimaksud adalah Nama-nama itu. Jadi, pada hakikatnya Nama-nama itu dalam Irfan adalah Tajalli dari Tuhan Yang Huwa, bukan Tuhan Yang Huwa itu sendiri. Karena Yang Huwa ini, sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan suluk serta kasyaf. Jadi, maqam ini tidak dibahas lagi.
4. “Ada” atau “Satu Ada” atau “Wahdatu al-Wujud” yang dibahas dalam Irfan, adalah Tuhan yang terjangkau dengan akal (walau hanya maknanya, bukan penyelimutannya) ini. Yakni Nama- nama Husna tersebut, bukan “Huwa”.
5. Dengan pembuktian akal dan suluk serta kasyaf, “Ada” adalah hanya “Satu” dan Dia adalah Tuhan, sebagaimana sudah dibahas di catatan-catatan sebelumnya. Dan Tuhan di sini, sekali lagi, bukan Huwa.
6. Nama-nama baik ini dibagi tiga, “Nama Zat”, “Nama Sifat Zat” dan “Nama Sifat Perbuatan”. Yang pertama adalah “Nama Allah”, yang ke dua adalah Nama-nama dari sifat-sifatNya yang dimilikinya tanpa dihubungkan dengan yang lainnya, seperti Nama Ada, Qidam, Baqa’, Hidup, Kuasa, Ilmu, Murid ..dst, sedang yang ke tiga adalah Nama-nama yang dimilikiNya setelah Dia melakukan sesuatu atau dipahami setelah menghubungkanNya dengan selainNya, seperti Nama Pencipta, Pemberi Rejeki, Pengampun...dan seterusnya.
7. Dalam istilah Irfan, setelah maqam Huwa itu, adalah maqam Ahadiyyah (Satu yang Esa atau tidak terangkap), dan setelah Ahadiyyah adalah maqam Wahidiyyah (Satu yang Kesatuan/ rangkapan).
8. Ketiga maqam di atas itu adalah Maqam Ke-Tuhanan yang, biasanya tidak disebut Tajalli, sekalipun pada hakikakatnya adalah Tajalli. Yakni Allah adalah Tajalli Huwa; Nama-nama Sifat Zat adalah Tajalli Nama Allah; Dan Nama-nama Sifat Perbuatan adalah Tajalli dari Nama Sifat Zat.
9. Tajalli Tuhan dimulai dari Akal-satu, lalu melaui Akal-Satu, Tuhan meneruskan TajalliNya ke Akal-Dua .....dan seterusnya sampai ke Barzakh dan Alam Materi, sebagaimana sudah sering dijelaskan.
10. Akal disebut juga Jabaruut, dan Barzakh sebagai Malakut, sedang Materi disebut Nasut. Akal dan Barzakh juga disebut al-‘Alamu al-Amr (sekali jadi, non materi dan non proses/perubahan waktu), sedang Alam Materi disebut al-‘Alamu al-Khalq (pengkadaran, pembentukan, pem- batasan). Sekalipun, sekali lagi, bahwa sejak dari Akal-Satu itupun sudah al-Khalq atau Pembatasan. Akan tetapi karena susah dijangkau maka al-Khalq (bukan ciptaan sebagaimana maklum) itu diistilahkan untuk Alam Materi.
11. Karena “Ada” hanya satu, maka “Ada” yang membentang dari Nama Allah sampai ke Alam Materi ini, disebut al-Nafasu al-Rahmani. Yakni Nafas Ke-Maha Kasih-an. Diserupakan dengan nafas yang belum membentuk huruf-huruf. Sementara Nama Allah sampai ke Alam Materi disebut dengan al-Huruf atau al-Kalimat. Karena Sang Nafas/wujud telah membentuk huruf dan kalimat yang, dalam hal ini adalah makna Allah sampai ke Alam Materi itu, bukan kata- katanya, sebagaimana maklum.
12. Dalam catatan yang telah lalu tentang Wahdatu al-Wujud ini, sudah diterangkan bahwa pesuluk memiliki 4 perjalanan:
a. Dari makhluk ke Khaliq, yakni dengan meninggalkan maksiat, makruh, suka dunia halal, suka karamat, suka kasyaf, suka Barzakh, suka surga, suka Akal-Terakhir atau al-Lauhu al-Mahfuzh, suka ini dan itu....dst, sampai meninggalkan kesukaan pada Akal-Akhir, hingga Fana’ dan meninggalkan kemerasaFanaa’annya.
Ketika sudah sampai di Fanaa’nya Fanaa’ ini, maka seorang pesuluk sudah meninggalkan selain Tuhan dan sudah sampai kepada Maqam Kebodohan Mutlak (Zhaluman Jahulan yang dipujikan kepada manusia oleh Tuhan dalam Qur'an). Hal itu karena yang dihadapinya sekarang hanyalah Tuhan Yang Tidak Terbatas yang, karena ke-tidak TerbatasanNya membuatnya tidak tahu sama sekali tentangNya.
Karena kalau Tuhan itu Maha Luas, maka bisa diketahui walau sedikit. Tapi ketika Tuhan itu Tidak Terbatas, maka tidak ada kata sedikit yang bisa diketahui. Karena kalau ada sedikitNya, maka ada BanyakNya alias LuasNya. Dan kalau ada LuasNya, maka pasti ada BatasanNya, sekalipun Maha Luas. Jadi, karena lawan Tidak Terbatas adalah terbatas, bukan sedikit, maka Tuhan tidak lagi bisa diketahui olehnya. Sementara kita-kita yang merasa tahu ini, adalah kebodohan di atas kebodohan.
b. Dari Khaliq ke Khaliq, yakni setelah seseorang tidak melihat dan menyukai apapun sekali- pun dirinya dan kefanaa’annya, dan hanya melihat dan merasakan AdaNya, maka sekarang ia bisa melanglangiNya, dimulai dari Nama-nama Sifat PerbuatanNya sampai ke Nama ZatNya, sesuai kemampuannya.
Masing-masing salik atau pesuluk, dalam hal ini memiliki kemampuannya sendiri-sendiri. Maka sesuai dengan kemampuannya itulah seseorang bisa menyentuh berapa Nama dan sejauh apa dari masing-masing Nama yang disentuhnya itu.
c. Dari Khaliq ke Makhluk, yakni setelah seseorang melanglangi Nama-namaNya, maka sesuai dengan KehendakNya, ia akan turun lagi ke selainNya. Namun, turunnya sekarang ini sudah bukan dirinya lagi, tapi sebagai alatNya. Kalau Fanaa’ adalah maqam “Mabuk” dan “Pingsan” (Mahwun), maka maqam ke tiga ini adalah maqam “Sadar Setelah Pingsan” atau “Siuman” (Shahwun). Namun, kesadarannya sudah bukan kesadaran sebelum Fanaa’ lagi, karena waktu itu, ia sendirilah yang melakukan suluk, sedang sekarang ia sudah menjadi alatNya, MataNya, TanganNya,KakiNya, MulutNya dst.
d. Dari Makhluk ke Khaliq bersama makhluq, yakni setelah seseorang melakukan perjalanan ke tiga ini, baginya menjadi jelas apa saja tentang rahasia keberadaan ini (bc: tajalli). Oleh karenanya dia tahu juga rahasia agama dan mengapanya serta mengapa pada masing- masing ajarannya.
Lalu dalam perjalanan ke empat ini, ia dengan MauNya, mengajak semua selainNya kepadaNya. Inilah yang dalam istilah dikatakan sebagai Maqam Kenabian. Jadi, semua pesuluk yang sampai ke maqam ini, maka ia, secara batin, sudah menempati posisi maqam kenabian. Namun, siapa yang akan ditunjuk menjadi Rasul olehNya, artinya yang akan dikehendaki sebagai RasulNya, maka tergantung kepada Mau dan IradahNya.
Tentu saja, akan disesuaikan dengan semua kondisinya. Oleh karena itu, yang buta, cacat, tidak baiknya turunannya dst tidak akan diangkat menjadi RasulNya, karena akan membuat orang lain lari dan menjauh darinya. Hal mana yang seperti ini, sekalipun kalau Allah mengazab mereka tetap Adil dan Bijaksana, akan tetapi Tuhan, akan keluar dari sifat Lembutnya (Lathif) dimana maknanya adalah memudahkan hambaNya untuk taat dan menyulitkannya untuk maksiat.
13. Salah satu konsep filsafatnya non materi, adalah 1+1=1. Hal itu karena non materi tidak lagi dibatasi dengan volume yang merupakan konsekuensi dari kebendaan.
14. Pesuluk atau Salik yang sampai kepada wujud-wujud non materi itu, maka mereka, kalau sudah sempurna, akan menyatu dan menjadi si yang dicapainya itu. Kalau Barzakh, maka ia akan menjadi Barzakh itu, begitu pula kalau Akal-Akhir atau Akal-Satu.
15. Pesuluk yang sampai ke maqam Nama-nama, juga demikian. Mereka akan menyatu dengan Nama-nama itu sesuai kemampuannya sendiri-sendiri, baik dari sisi jumlahnya atau keluasan masing-masingnya.
16. Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa maqam-maqam setelah Fanaa’ adalah Wahidiyyah (Sifat Fi’liyyah dan Zatiyyah) dan Ahadiyyah.
17. Ahadiyyah, yakni Allah, karena Dia dalam Irfan adalah Nama dan Tajalli dari Huwa Yang Maha Tidak Terbatas dan Ghaibu al-Ghuyub, maka Dia adalah Terbatas. Namun demikian, tidak ada yang tahu batasanNya. Oleh karena itu dalam pembicaraan dan tulisan, selalu dikatakan sebagai Yang Maha Tidak Terbatas. Terlebih lagi, setelah kita tahu bahwa maqam Huwa yang di atasNya, sama sekali tidak bisa tersentuh. Jadi, penisbatan atau penghubungan atau pensifatan Tidak Terbatas, selalunya ditetapkan ke “Nama Allah”, bukan ke Huwa/Dia.
18. Karena Nama Allah itu hanya Huwa yang tahu batasanNya, dan bahkan Nama-nama Sifat Zat dan Sifat Perbuatanpun hanya Huwa yang mengetahui batasannya, maka siapapun yang melanglangi Maqam Nama-nama Baik/Husna ini, tidak akan ada yang tahu batasanNya.
19. Orang yang sampai ke maqam Nama-nama Baik itu, karena dari sisi Ruh-nya yang non materi, dan ke-non-materian Nama-nama tersebut, maka rumus 1+1=1 itu berlaku. Yakni mereka men-satu dengan Nama-nama tersebut.
Namun, sekali lagi, bahwa tidak ada yang bisa dikatakan bahwa dia telah sampai ke semua batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya itu.
20. Sekalipun pen-satuan yang sampai kepada Nama-nama Husna itu tidak bisa dikatakan telah mencapai seluruh kesempurnaan dari Nama yang dicapainya, akan tetapi sudah bisa dikatakan sebagai NamaNya. Setidaknya, sebagai Tajalli Nama yang dicapainya itu.
21. Ke-men-satu-an yang sampai kepada Nama-nama Baik Allah itu, dalam Qur'an diterangkan sebagai “Menjadi”, yakni “Menjadi Tuhan” atau “Menjadi Nama-nama HusnaNya” yang, bahasa Arabnya adalah al-Mashir.
Dalam QS: 2: 285: “...dan meraka berkata: Kami mendengar dan kami taat (mereka berdoa): Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah menjadi (terjamahan DEPAG: ..kembali)”. Kalau Allah memakai kata “Turja’un”, seperti di ayat lain, maka bermakna “kembali”. Akan tetapi di sini memakai kata “Mashir” atau “Menjadi”, jadi tidak bisa diterjemahkan dengan “kembali”.
Dalam QS: 3: 28: “...dan kepada Allah menjadi/dijadikan”. Lihat juga QS: 5: 18; 24: 42; 31: 14; 35: 18; dll-nya yang banyak sekali.
Tentu saja kalau kemenjadiannya itu ke tempat lain, terkhusus neraka, maka ia juga adalah ke- men-satu-an dengan neraka. Oleh karenanya dalam Qur'an dikatakan sebagai “Bi’sa al-Mashir” atau “Se-buruk2 tempat menjadi”. Lihat QS: 2: 126; 3: 162; 8: 16; dll-nya yang juga banyak sekali. Rahasianya, karena neraka adalah non materi. Karena itu konsep 1+1=1 juga berlaku. Akan tetapi, karena manusia yang menyatu dengan apa-apa yang tidak sesuai dengan esensinya, seperti api-barzakhi, maka ia akan merasakan secara Hudhuri panasnya dan akan tersiksa karenanya.
22. Namun demikian, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa yang sampai ke maqam Nama-nama Baik itu, tidak bisa dikatakan bahwa ianya telah sampai ke seluruh batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya itu. Hal itu karena hanya Huwa yang tahu secara hakiki. Dan karena ketidak bisaan seseorang mencapai NamaNya itulah maka Tuhan dalam Qur'an memakai kata “ilaihi”, yakni “KepadaNya” atau “Kepada Allah” atau “KepadaMu”, dalam ayatNya yang berbunyi “mashir” atau “menjadi” atau “dijadikan” itu. Perhatikan contoh ayat di atas, QS: 2: 285 dan 3: 28. Maka disana dan di tempat lain, sebelum mengatakan “menjadi”, telah dipakai kata “kepada”.
Artinya, bahwa sejauh apapun ke-men-satu-an yang dicapai manusia, maka ianya tetap merupakan “ke-menjadian kepadaNya”, bukan “ke-menjadianNya”.
23. Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa yang mencapai maqam Nama-nama Husna itu, dari satu sisi bisa dikatakan “men-satu”, dan dari sisi lainnya dikatakan “tajalliNya”, atau “bukanNya”.
24. Kegamblangan dalil terhadap ke-Tajalli-an yang sampai itu, bahwasannya ianya tidak-men- jadiNya atau tidak men-satu secara hakiki dengan Nama-namaNya atau “kemenjadian kepadaNya”, adalah Wahdatu al-Wujud itu sendiri.
Artinya, ketika Wujud itu hanya satu dan ia adalah Nafas Rahmani itu, maka Sang Wujud Mutlak itu tetap langgeng dan tidak pernah bergeser dan/atau berubah. Jadi, hiruk pikuk perjalanan Salik/Pesuluk dan wujud-wujud Materi, Barzakhi, Akli dan Nama-nama Husna itu, sebenarnya hanyalah dalam Tajalli itu.
Dan karena bahasan (irfan teori) atau capaian (irfan amali yang amali) tertinggi manusia adalah Nama Zat, yakni Nama Allah, maka Nafas Rahmani (wujud) itu dihubungkan kepada Allah. Jadi, Allah-lah pemilik Nafas Rahmani itu secara hakiki dalam Irfan dan selainNya adalah TajalliNya, baik berupa Nama-nama HusnaNya, atau Akal, Barzakh dan Materi.
Kalau demikian halnya, yakni kalau wujud itu, semuanya adalah Dia dan hanya MilikNya yang, dalam arti DiriNya sendiri, maka keselainanNya adalah TajalliNya. Jadi, gradasi yang bermakna tingkatan, dan kehiruk-pikukan itu hanya di TajalliNya saja, bukan di Wujud. Walaupun demikian, yakni walaupun selalu dalam Tajalli, akan tetapi tetap saja yang sampai kepada Tajalli Nama-nama Baik itu, tidak akan sampai kepada seluruh batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya tersebut, sebagaimana sudah diterangkan.
25. Dengan demikian, maka yang sampai kepada Nama-nama Husna itu, bisa dikatakan seba- gai Nama-nama Husna karena ke-mensatu-an yang diakibatkan oleh kesamaan ke-non materiannya itu. Walaupun tetap tidak bisa dikatakan sepenuhnya “menjadiNya” yang dikarenakan “kemenjadian kepadaNya” itu, yakni bukan “kemenjadiNya”.
26. Dan karena Rasul saww dan Ahlulbait adalah paling afdhalnya manusia dan tajalli, hingga dikatakan sebagai Rahmat bagi segenap alam-alam, maka sudah tentu, mereka adalah Nama-nama Husna itu. Inilah yang dimaksudkan oleh hadits yang ditanyakan. Allahu A’lam.
27. Dan karena semua insan Kamil, terutama para nabi dan washi-washi sebelum Rasul saww adalah secara yakin telah sampai kepada Perjalanan ke Empat, maka sudah pasti mereka juga merupakan orang-orang yang melanglangi maqam Nama-nama Husna tersebut.
28. Namun demikian, karena kita melihat dari ayat-ayat, dinyatakan bahwa Nabi saww adalah rahmat bagi segenap alam semesta (QS: 21: 107), dan Ahlulbait as juga adalah diri beliau saww, sebagaimana dalam ayat-ayat (QS: 3: 61) dan riwayat-riwayat yang banyak sekali, maka pastilah maqam mereka as di tingkatan Nama-nama Husna ini berada di paling tingginya dan paling sempurnanya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pembeda insan kamil dengan insan kamil lainnya, nabi dengan nabi lainnya, imam dengan imam lainnya dst, ada di maqam Nama-nama Husna ini, bukan di Jabaruut dan apalagi di bawahnya.
Catatan untuk point 24: Irfan Teori artinya adalah ilmu yang membuktian kebenaran Wahdatu al-Wujud. Seadang Irfan ‘Amali adalah ilmu yang membahas teori pencapaiannya, bukan pencapaiannya itu sendiri. Oleh karena itu saya tulis dalam kurung di atas sebagai “amali yang amali”. Artinya capaian dan ke-men-satu-an-nya, bukan teori pencapaiannya.
29. Dengan semua penjelasan di atas, maka kalimat ke dua dari yang ditanyakan tersebut di atas, dapat dipahami. Sekalipun hadits itu, sepertinya, tidak termuat kecuali dalam satu kitab saja. Yaitu kitab Khuthbatu al-Iftikhar yang, masih banyak yang menyangsikan keshahihannya. Arti “Aku Ahmad tanpa mim” adalah “Aku Ahad”, yakni “Aku telah sampai di maqam Ahadiyyah”.
30. Sekali lagi jangan lupa, bahwa yang dimaksudkan dari “Aku Ahad” tetap saja adalah Tajalli Si Empunya Wujud, bukan Wujud itu sendiri, oleh karenanya “Selalu KepadaNya”, bukan “MenjadiNya”.
Semoga bermamfaat dan sekian terima kasih. Al-fatihah – sholawat. Wassalam.
Sinar Agama: Sinar Agama salam, terimakasih banget, maaf sering direpotin, afwan.
Anggelia Sulqani Zahra: Ustad. Apalah diri ini dibandingkan kami sering bertanya pada ustad, dan masyaAllah ustad di antara kesibukannya dengan tulusnya melayani pertanyaan-pertanyaan kami,,.. sungguh benar-benar Sinar Agama...
Sinar Agama: syukur kalau kamu tidak marah kala kumintai tolong. Aku kadang lupa basa-basi, hingga terasa seperti kurang sopan, jadi afwan banget. Semoga kita termasuk kafilah-kafilah yang berhijrah kepadaNya danRasulNya saww amin, begitu pula temen-teman lainnya.
Pencinta Ali: afwan ingin penjelasan, di kala kita mengutip perkataan imam Ali: wa Allahi nahnu Ahlulbayt asma’ul husna. Sedangkan kita mengetahui bahwa di antara asmaul husna ada Allah, yg menjadi pertayaan apa mereka Allah?
Sinar Agama: Pencinta: Kurasa saya sudah menjelaskannya di atas, mohon diperhatikan, jangan buru-buru. Nanti kabari lagi, afwan.
Pencinta Ali: Ali Ruhullah, Ali ruhnya Allah dan Muhammad jasadnya jiwa tanpa ruh maka tak hidup.
Sinar Agama: Pencinta Ali Ali ruhullah, Ali ruhnya Allah dan Muhammad jiwa, jiwa tanpa ruh maka tak hidup.
Sinar Agama: Pencinta: Ali Ruhullah itu tidak ada hubungannya dengan pembahasan kita. Ruhullah itu seperti baitullah, janntullah, ...dan seterusnya. Jadi penisbatan kepemilikan. Emangnya bisa Allah dikatakan memilki ruh, dan ianya adalah Ali as? Kalau Ali as Ruh Rasul saww, itu bukan maknanya Rasul saww adalah jasadnya dan Ali as adalah ruhnya. Itupun kalau kalimat itu ada dalam riwayat. Maksud Ali as adalah ruh Nabi saww, artinya karena tanpa Ali as dan makshumin as lainnya, ajaran Nabi saww tidak akan ada gunanya dan akan hilang setelah masa beliau saww. Karena kalau agama tidak dijaga orang makshum maka semua orang akan memahminya dengan akal tidak makshumnya dan akhirnya agama akan menjadi amburadul tidak karuan.
Jadi, ruh disini adalah Majazi/simbolik, bukan hakiki. Yakni Ali as dan para imam makshum as adalah penyemangat Nabi saww. Atau bisa diartikan bahwa Ali as dan imam makshum lainnya as adalah ruh agama Nabi saww. Jadi, makna dari kata Ali as adalah ruh Nabi saww adalah Ali as adalah ruh agama Nabi saww. Seperti Husain as dariku dan aku dari Husain as. Dan kalaulah memiliki makna hakiki, tentu saja imam Ali as sama sekali tidak akan pernah mengunguli Rasul saww.
Jadi, makna dari Ali as adalah ruh Nabi saww, adalah Ali as adalah milik Nabi saww atau ruh yang dimiliki Nabi, yakni ruh yang dibentuk Nabi saww dan menjadi miliknya, sebagaimana Tuhan mengatakan telah menghembuskan RuhNya kepada janin yang sudah siap menerimanya.
Jadi, ruh di sini, adalah ruh yang dibuat Tuhan dan milikNya. Biasanya, penisbahan ini dikarenakan kemulian atau keagungan masalah atau makhluk tsb. Seperti ruh, ka’bah ..dst. begitu juga imam Ali as terhadap Rasul saww sebagai pendidiknya, pemiliknya dan kesayangannya.
Sinar Agama: Jadi, karena Rasul saww adalah pendidik dan penyayang Ali as, maka Ali as adalah milik beliau saww. Dan karena Ali as bukalah apa-apa kecuali kemuliaan ruhnya, bukan badaniahnya, maka ruh Ali as sama dengan Ali as. Dan ianya adalah ruh Rasul saww, yakni MILIK DAN KESAYANGAN RASUL SAWW. Sebagaimana ruh-Tuhan yang dihembuskan itu. Jadi, dimensi ke- ruh-an ruh kepada Allah atau ke ruh-an Ali as kepada Nabi saww adalah dimensi kedimilikiannya, bukan kememilikiannya.
Pencinta Ali: anda pahami dulu kontek ruhullah, mengapa bukan rosul yang mendapatkan julukan tersebut, bahkan dalam hadis mufakhoro imam Ali mengatakan aku wahnya Allah di langit.
Iday Sampaey: justru itulah personafikasinya dari majas tersebut,, dan secara subjektif, saya katakan, oleh karena Ali yang mampu mentransformatifkan nilai-nilai dan pengetahuan pasca Rosul, sehingga ini hanya kontinu imanensi kesempurnaan bagi setiap pertanyaan dan masalah keadaan jaman dan seterusnya... kecuali kalau saya yang salah koment.
Sinar Agama: Pencinta: komentar alfakir ini sudah jelas, terimakasih. Jadi pandai-pandailah menerapkannya.
Sinar Agama: Iday: kagum sama kecerdasannya. Sebagai tambahan, ketika siapa saja sampai ke maqam non materi, maka semua menjadi semua, artinya jadi satu. Jadi, siapapun boleh mengatakan sebagai wahyu, ’arsy, lauhu al-mahfuzh, ilmu Tuhan, kehendak tuhan, Mata Tuhan ....dst. Jadi tidak ada pengkhususan lagi di sana, karena maqam itu maqam yang bisa dicapai semua orang. Kekhususan masing-masing orang itu, terutama para nabi as dan imam makshum as, adalah di maqam Nama sebagaimana yang sudah dijelaskan di catatan dengan jelas.
Namun, demikian tetap saja semua orang yang di sana bisa mengatakan sebagai Nama-nama Husna itu, karena 1+1=1 dalam non materi. Tapi dari sisi jumlah Nama Husna yang dicapai, dan berapa keluasan dari masing-masing Nama yang dicapainya itu, hanya Allah dan dirinya yang tahu. Jadi, hanya di maqam Nama itulah adanya perbedaan di samping persamaannya. Artinya maqam setelah Fanaa’ dimana semua itu di atas Akal-Satu. Sementara ’Arsy, lauhu al-mahfuzh, wahyu, kitab Qada dan qadar (bc: ilmu Tuhan sebagaimana sering dijelaskan, yakni bukan nasib manusia)....dst jutaan tingkatan dibawah Akal-Satu.
Sementara semua derajat sampai ke Akal-satu itu adalah derajat yang tidak beda bagi yang sampai. Jadi, semua yang Fanaa’ bisa dikatakan satu derajat. Beda itu terjadi manakala di maqam Asma/Nama-Husna, yakni di Perjalanan ke dua (dari Tuhan ke Tuhan).
Sinar Agama: Mengenai Nabi saww, beliau adalah pengajar pertama Islam. Maka itu dikatakan beliau saww berperang sesuai turunnya ayat (lahiriah ayat) dan imam Ali as berperang sesuai takwilnya ayat.
Jadi, pada awal-awal ke Islaman Nabi saww tidak diperkenankan Allah untuk mengatakan yang batin-batin kepada manusia kecuali kepada murid khususnya seperti imam Ali as. Ekstrimnya, setinggi apapun imam Ali as, tetap dalam genggaman Nabi saww.
Maka itu tidak heran kalau imam Ali as yang dikenal dengan singa padang pasir itu, yang membelah Ibnu Wud pendekar Mekkah menjadi dua, mengatakan +/-: ”Kalau perang sudah sangat dakhsyat, kami berperang sambil di balik punggung Nabi saww (yakni berbenteng Nabi saww)”. Artinya tidak ada yang bisa mendahului Nabi saww.
Jadi, dalam perang diri, juga tidak ada yang bisa mendahuluinya hingga orang lain punya sesuatu kemudian beliau saww tidak memilikinya. Imam Ali as menjadi imam Ali as, karena Nabi saww. Imam Ali as menjadi ’Arsy, wahyu, ilmu Tuhan...dst adalah karena dibimbing Nabi saww. Karena Nabi saww adalah Nabinya, gurunya dan mursyidnya. Tentu saja sekaligus penyintanya, pembelanya, jiwanya, harapannya, penyemangatnya (terkhusus untuk ke depan sebagaimana sudah diterangkan), jiwanya, hatinya, jantungnya, cintanya....dan seterusnya.
Pencinta Ali: andai kata anda mengetahui siapa sosok Ali sebenarnya, maka anda akan menjadi orang yang seperti saya, dan mungkin ini lama untuk mendapatkannya.
Sinar Agama: Pencinta: Komentarku sudah jelas. Kuanjurkan segera melakukan taubat. Atau bangun argument antum dan paparkan kepada kita. Jangan hanya mendakwa. Kita di sini, bebas berpandangan dan tanggung jawabnya sendiri-sendiri di dunia dan akhirat. Yang sangat diharapkan adalah adu dalil dan argument, bukan kokoh-kokohan berdakwa. Tafadhdhol kalau antum berdalil, maka kita akan lihat secara bijak. Saya sih sementara ini tetap sebagai Syi’ah 12 imam, yang meyakini bahwa siapapun dari para imam as, tak terkecuali adalah imam Ali as, semuanya, adalah murid Rasul saww dan ada di bawah beliau saww (derajatnya).
21 Desember 2010 jam 9:35 · Suka · Hapus