﷽
Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250779874966816/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 20 September 2011 pukul 16:51
Al Louna: Salam ustadz,sebelum bertanya Louna mau ucapkan banyak terimakasih dulu sama ustadz. Ustadz mohon penjelasan tentang Berhaji. Apakah benar haji itu adalah panggilan Ilahi? Jika benar apa arti dari kata panggilan ustadz? Dan apakah panggilan itu bermakna sama dengan ketika kita meninggal dunia (memenuhi panggilan Ilahi)...?
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
(1). Untuk haji perlu penerjemahan yang panjang, tidak bisa hanya dengan point-pointnya saja, jadi kalau bisa cari kitabnya yang sudah diIndonesiakan.
(2). Haji adalah kewajiban bagi yang mampu, dan kalau sudah mampu tetapi tidak pergi, maka ia wajib mengqodho’nya walaupun sudah tidak mampu lagi. Kalau dikatakan panggilan Ilahi adalah benar, tetapi maksudnya kewajiban bagi yang mampu dari Ilahi. Bukan panggilan taufik. Jadi, siapa saja yang sudah mampu tetapi tidak pergi, maka ia telah melakukan maksiat karena sudah dipanggilNya (dengan pewajiban itu), bukan tidak dipanggilNya.
(3). Aku tidak mengira kamu tetap sunni dalam hal kematian ini, karena saya sudah sampai rematik tangan ini menulisnya bahwa tidak ada nasib dan takdir untuk manusia dalam jodoh, mati, rejeki, takwa dan tidaknya, baik dan tidaknya.
Maksud saya bahwa orang mati itu tidak dipanggil Allah, akan tetapi karena sebab kematiannya sudah lengkap. Tetapi karena semua akibat itu adalah akibat pula bagiNya, maka dikatakan bahwa Allah telah memanggil yang mati itu. Nah, dalam dua pertanyaanmu tentang panggilan haji dan mati ini dapat dibau-i adanya keyakinan pada takdir, bukan yang seperti ada di ahlulbait, bahwa panggilan itu bararti kewajiban haji dan berakhirnya seluruh sebab kepadaNya.
Tetapi ingat sekali lagi, bahwa walaupun semua sebab itu berakhir pada Tuhan, tetapi karena semua yang diakibatkan manusia, baik langsung seperti ikhtiar-ikhtiarnya yang langsung, atau yang tidak langsung seperti berikhtiar hidup di lingkungan tertentu yang memberikan efek badani atau sosial atau apa saja padanya, atau memilih menyetir dimana walau hati-hati tetap ada kemungkinan ditabrak oleh ikhtiar orang lain dan seterusnya, semua itu diakibatkan oleh akal dan ikhtiar manusia pelaku atau pengefek, maka Tuhan tidak akan bertanggung jawab atas semua itu dan hanya manusianya baik pelaku langsung atau pengefek itulah yang akan dimintai tanggung jawab.
Karena itu yang memilih pacaran akan dosa karena ia pelaku langsung pacaran itu. Dan ia juga akan didosa karena ia juga memberi efek buruk pada sosialnya hingga adik-adiknya atau lingkungannya menirunya.
Dan yang terpengaruh juga akan dimintai tanggung jawab karena walaupun ada pengaruh itu, tidak sampai membunuh akal dan ikhtiarnya, jadi ia yang pacaran di lapisan ke duanya, juga akan berdosa karena pelaku langsung. Dan ia juga didosa karena memberi efek buruk pada lingkungannya.
Dan untuk yang pacaran di lapisan ke tiga juga demikian, yakni didosa. Hal itu karena pengaruh tersebut tidak sampai membunuh akal dan ikhtiarnya. Dan ia juga akan didosa karena memberi pengaruh buruk pada sosialnya.
Dan pelaku ke dua akan mendapat dosa yang pacaran di lapisan ke tiga. Sedang pelaku pertama akan mendpat dosa dari dosanya pelaku ke tiga dan ke dua. Karena itulah, maka anak nabi Adam as yang membunuh saudaranya sendiri itu, akan mendapat dosa dari semua dosa orang-orang yang membunuh karena telah belajar darinya secara langsung atau tidak.
Jadi, jangan heran kalau di akhirat kita yang hanya pacaran sekali, bisa mendapat dosanya seribu orang lain yang pacaran. Hal itu karena yang seribu itu telah meniru kita yang mengilhaminya baik langsung atau tidak.
Chi Sakuradandelion dan Agoest Irawan menyukai ini.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar