Kamis, 20 Agustus 2020

Takdir / nasib di Shahih Muslim ??!?


seri tanya jawab: Aep Fadhlurrahman dengan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/257399820971488/ by Sinar Agama (Notes) on Monday, October 3, 2011 at 11:31am


Aep Fadhlurrahman: Rasulullah saw ditanya: Wahai Rasulullah! Apakah sudah diketahui orang yang akan menjadi penghuni surga dan orang yang akan menjadi penghuni neraka? Rasulullah saw menjawab: Ya. Kemudian beliau ditanya lagi: Jadi untuk apa orang-orang harus beramal? Rasulullah saw menjawab: Setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yang telah menjadi takdirnya. (Shahih Muslim No.4789 dari Imran bin Hushain ra). Mohon Penjelasannya Ustadz. Terima Kasih.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Saya sudah mengecek haditsnya dan sudah benar terjemahan di atas itu.

(2). Yang perlu dikomentari adalah makna dari hadits. Karena bisa saja dibayangkan bahwa setiap orang sudah ditentukan nasibnya.

(3). Perlu diketahui antara potongan kalimat pertama dan ke duanya. Kalau itu diperhatikan, maka pahaman di poin ke dua itu tidak akan pernah ada.

(4). Potongan pertama menanyakan ”Apakah sudah diketahui siapa-siapa yang akan menjadi penghuni surga atau neraka?” Jawabannyapun: ”Ya”.

Di sini yang ditanyakan adalah apakah Allah sudah tahu siapa-siapa yang akan masuk surga atau neraka. Karena itu sudah pasti jawabannya adalah ”Ya”. Hal itu karena ilmu Tuhan itu tidak terbatas. Ia tahu yang telah lalu, sekarang dan yang akan datang.

(5). Pengetahuan atau ilmu Tuhan, ini sangat pengting untuk dimengerti, sama sekali bukan penentuanNya. Tahu dan Menentukan itu sangatlah jauh bedanya. Tidak terbukanya rahasia qadha dan qadr di Sunni, hingga mengatakan bahwa masalah taqdir itu adalah alam yang maha ghaib, adalah disebabkan tidak terbuka dan tidak terbedakannya dua makna tersebut.

(6). Tahu itu bukan menentukan. Kalau Tuhan yang menentukan nasib manusia hingga sampai ke surga nerakanya, maka sudah pasti agama ini tidak ada artinya diturunkanNya dan tidak ada gunanya Tuhan menyuruh ini dan melarang itu. Kasarnya, bohongan saja. Karena mau disuruh apa saja, kalau Tuhan menentukannya tidak melakukan, maka sudah pasti ia tidak akan melakukannya. Begitu pula sebaliknya, kalau Tuhan melarang apa saja pada manusia, tapi Ia menentukannya untuk melakukannya, maka sudah pasti akan dilakukannya. Karena itu, maka sudah pasti agama ini bohongan saja jadinya. Na’udzubillah. Karena itu, karena agama itu diturunkanNya, dan tidak bohongan, maka sudah pasti nasib manusia ini tidak ditentukanNya sama sekali. Dalam arti nasibnya hingga ke surga nerakanya itu.

(7). Mungkin orang berkata, Ilmu Tuhan itu pasti, jadi kalau Tuhan mengetahuinya, maka sudah pasti terjadi. Kalau begitu, maka sudah pasti ditentukannya. Apalagi ilmuNya itu sebelum kejadiannya. Di peringkat ini, banyak teman-teman Syi’ah di Indonesia yang sudah menamakan dirinya dengan bangsa sebagai intelektualpun masih saja tergelincir. Jadi, kalau Sunni sudah jatuh di awal-awal karena meyakini dengan rukun iman ke 6 nya itu bahwa nasib manusia sudah ditentukan (baik buruknya), tapi kalau sebagian teman-teman Syi’ah, jatuhnya di peringkat ke dua atau peringkat berikutannya. Namun, hasilnya sama saja, bahwa mereka-mereka ini sama dengan Sunni yang meyakini bahwa nasib itu sudah ditentukanNya.

(8). Saya sudah merinci hal ini di catatan yang berjudul ”Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah.” Jadi saya tidak mengulanginya lagi.

(9). Ringkasnya bahwa ilmu itu bukan menentukan. Karena yang diketahui Tuhan itu bukan si fulan bejat dan masuk neraka. Tapi si fulan bejat dengan ikhtiarnya sendiri hingga ia masuk neraka karena hasil dari pilihannya sendiri itu. Begitu pula fulan-fulan lain yang memilih taat dan masuk surga. Dengan demikian, maka turunnya agama benar-benar tidak bohongan. Jadi, kalau Nabi saww menyuruh mencari istri yang begini dan begtiu, itu tidak bohongan, karena memang tidak ditentukan siapa-siapa istri kita. Rinciannya lihat catatan di atas. Oh iya, di catatan yang berjudul itu, pembahasan ini ada di bagian ke 2 (a dan b). Yakni bab ke- Adilan Tuhan.

(10). Ketika kita sudah paham bahwa mengetahui itu bukan menentukan, maka pertanyaan berikutnya yang bertanya: ”Lalu untuk apa orang-orang beramal? Nabi saww menjawab: ”Semua dimudahkan terhadap apa ia diciptakan.”

Dalam terjemahan di atas itu, yakni yang antum tulis itu, terdapat warna kepercayan kepada nasib seperti yang di agama-agama Hindu dan lain-lainnya. Yaitu ditentukannya nasib atau takdir manusia oleh Tuhan. Karena itu, kata ”Kulluun muyassarun li ma khuliqa lahu” yang artinya ”semua dimudahkan terhadap apa ia diciptakan”, diterjemahkan menjadi ”semua dimudahkan terhadap takdirnya”. Memang, kata-kata ini masih bisa ditakwil, tapi karena pengatanya adalah orang yang beriman pada takdir baik buruk dari Tuhan dalam arti bahwa nasib manusia sudah ditentukanNya, maka kalimat takdir ini tidak lagi bisa ditakwil menjadi hal lain selain nasib ini. Misalnya menjadi bahwa manusia itu ditakdirkan untuk berikhtiar sendiri, sebagaimana yang kita yakini.

(11). Masalah takdir yang bermakna nasib ini, sejak jaman Jahiliyyah ada dan setelah Islam juga diyakini banyak orang, seperti Umar. Ketika Umar lari dari perang Uhud dan membiarkan Nabi saww jatuh terluka di medan perang bersama-sama dengan beberapa shahabat pemberani dan setia, seperti Imam Ali as dan lain-lainnya, dan ketika Umar sampai di pintu Madinah dimana banyak wanita menunggu di pintu gerbang kota untuk mengetahui perkembangan atau hasil perang Uhud, lalu Umar ditanya oleh para wanita itu ”Mengapa kamu pulang meninggalkan Nabi saww?” Umar menjawab: ”Ini adalah takdir Allah”.

Begitu pula setelah Nabi saww wafatpun masih ada orang yang meyakini takdir ini. Karena itu ketika Imam Ali as pindah dari tempat duduknya yang merindang di bawah tembok miring, ada shahabat atau setidaknya tabi’in yang bertanya: ”Ya Ali mengapa kamu pindah duduk?”. Imam Ali as menjawab :”Karena khawatir dirobohi tembok ini”. Orang itu bekata: ”Ya Ali, kalau kamu tidak ditakdirkan mati di sini, maka kamu tidak akan mati sekalipun tetap duduk di sini. Tapi kalau kamu ditakdirkan mati di sini dirobohi tembok, maka kamu bagaimanapun akan mati di sini.”

Imam Ali as menjawabnya dengan penjelasan. Setelah itu menjawabnya dengan debatan dengan berkata: ”Kalau kamu yakin terhadap takdir seperti itu, maka semestinya kamu tidak menanyakan mengapa aku pindah. Karena pindahku ini juga pasti karena takdirNya juga, lalu mengapa kamu tanyakan?”

(12). Dengan adanya bukti sejarah seperti itu, maka ada dua kemungkinan terhadap maksud penanya tersebut. Pertama ia –mereka yang bertanya- memang orang yang meyakni takdir itu. Ke dua, ia tidak meyakini takdir itu dan sudah beragama Islam dengan baik. Yakni ia sudah tahu dan yakin bahwa semua manusia itu adalah sesuai ikhtiarnya.

(13). Kalau kemungkinan pertama, maka pertanyaannya itu akan bermakna seperti ini: ”Kalau semua sudah ditentukan masuk surga dan neraka, maka buat apa-apa orang-orang melakukan amal?

Kalau itu maksud pertanyaannya, maka jawaban Nabi saww bisa berarti: ”Kamu salah memahami itu. Karena itu bahwa mereka yang beramal itu melakukan amal-amal mereka karena mereka sudah melakukan yang semestinya. Yakni bahwa ketika manusia ini dicipta dengan akal (tidak seperti binatang) dan diberinya agama, maka ia dicipta oleh Allah untuk berikhtiar. Karena itu para pelaku baik kebaikan atau keburukan itu, mereka telah melakukan perbuatan-perbuatan yang memang semestinya mereka lakukan sebagai pilihan-pilihan mereka yang berdasar pada akal dan agama yang diturunkanNya itu. Ringkasnya, mereka itu diciptakan untuk beramal dengan ikhtiar, baik untuk ke surga atau ke neraka. Jadi, ketika mereka melakukan perbuatan-perbuatan mereka itu, maka mereka telah melakukan terhadap apa-apa yang menjadi tujuan diciptakannya mereka itu.”

(14). Tapi kalau maksudnya adalah yang ke dua, maka arti pertanyaannya itu adalah seperti ini: ”Kalau mereka yang memiliki ikhtiar dan kebebasan itu sudah diketahui siapa-siapa ke neraka dan siapa-siapa yang ke surga, lalu untuk apa mereka melakukan perbuatan dalam arti untuk apa mereka ngoyo dan ngotot dalam berusaha.” Artinya ia menanyakan usaha yang ngotot dari para pelaku kebaikan. Karena istilah ’Aamil, biasa dipakai kepada ”pelaku taat” karena ’Aamil yang bermakna ”pelaku”, dipakai kepada ”Pelaku Agama”, yakni ”taat”.

Maka jawaban Nabi saww, karena mereka para penaat itu, telah melakukan apa-apa yang semestinya mereka lakukan sesuai dengan untuk apa mereka diciptakan. Yakni ketika mereka punya akal dan fitrah, lalu punya Tuhan yang Maha Kasih yang telah menurunkan agama, dan mereka juga tahu pahitnya neraka dan nikmatnya surga, ditambah dengan ayat yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mencipta kecuali untuk ketaatan, maka sudah pasti mereka itu ketika ngotot berusaha untuk selamat, maka mereka telah melakukan apa-apa yang sudah semestinya mereka lakukan sesuai dengan tujuan mereka diciptakan.”


Tambahan:

Pada makna ke dua itu, tidak memperdulikan ilmu Allah, karena memang tidak ada urusan. Artinya, Tuhan tahu mereka atau tidak, maka mereka tidak mengurusnya karena mereka dicipta

Tuhan bukan untuk mengurus ilmu Tuhan tersebut. Tapi mereka mengurus diri mereka sendiri yang harus berikhtiar dengan usaha yang dakhsyat karena memang untuk itu mereka dicipta.

Ada lagi, yaitu ada orang-orang yang Nabi saww sendiri sudah memberitakan bahwa mereka akan masuk surga, seperti kepada Imam Ali as dan Ahlulbait yangsudah diberikan berita oleh Allah melalui Nabi saww bahwa mereka itu akan dimasukkan surga. Tapi mengapa mereka masih ngoyo dalam berusaha berbuat shalih? Atau seperti Nabi saww sendiri, mengapa sampai bengkak- bengkak kaki melakukan taat?

Jawabnya, karena mereka tidak dicipta untuk mengurusi ilmu Tuhan, tapi dicipta untuk taat. Jadi, mereka sudah melakukan apa yang untuk itu mereka diciptakan.

Jadi, melakukan apa-apa yang untuk itu diciptakan, bukan bermakna takdir dan nasib, tapi bermakna ketaatan secara ikhtiari.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar