﷽
seri tanya jawab: Zainal SA dengan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/252591158119021/ by Sinar Agama (Notes) on Thursday, September 22, 2011 at 1:19pm
Zainal Syam Arifin: Pak Ustadz, tolong dijelaskan hukum sholat bagi wanita:
1. Dalam sholat sendirian pada sholat-sholat seperti magrib, isya, shubuh, seberapa kuat suara yang harus dikeluarkannya?
2. Tata cara sholat berjamaah sesama wanita dimana imamnya adalah juga wanita dan makmumnya semua wanita apakah dibolehkan dalam ajaran imam ahlul bayt?
Kalau dibolehkan, seberapa kuat suara imam wanita tersebut?
3. Jika wanita sendirian bermakmum kepada laki - laki (suaminya) sedangkan laki - laki hanya sendirian (suaminya), dengan kata lain suami isteri sholat berjamaah dan hanya mereka berdua, lalu dimanakah posisi wanita: di belakang, di samping kiri atau di samping kanan? Ataukah sebaiknya mereka sholat sendiri - sendiri? Syukron jazakallaah.
Zainal Syam Arifin: Tambahan juga:
Bagaimana batasan akhir waktu haid bagi wanita, apakah benar - benar tidak keluar lagi darah ataukah masih keluar sedikit-sedikit tetapi selang/interval yang lama tetapi warnanya bukan lagi merah darah?
Apakah masih tidak dibolehkan untuk sholat jika keluarnya dalam interval yang lama (tidak kontinyu) atau terputus-putus?
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
(1). Wanita itu tidak harus mengeluarkan suara dalam bacaan fatihah dan surat dalam shalat- shalat yang ditanyakan itu. Jadi bisa bersuara dan bisa dengan suara nafas dimana sebenarnya suara nafas itu tidak bisa seutuhnya dikatakan suara. Jadi, ukuran suara (jahr) adalah suara sekalipun pelan sekali, dan ukurannya suara nafas (ikhfaat) adalah seperti nafas yang terengah. Dan perempuan bisa memilih salah satu dari keduanya itu. Akan tetapi kalau ada lelaki bukan muhrim di sekitarannya, maka wajib membacanya dan semua dzikir-dzikirnya itu dengan ikhfat (nafas terengah).
(2). Imam shalat wanita dibolehkan kalau makmumnya juga wanita. Dan hukum bacaannya sama saja dengan sendirian itu.
(3). Kalau suaminya itu adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil), maka lebih bagus berjamaah.
Dan kalau berjamaah maka posisi makmumnya dimana saja boleh asal agak ke belakang dari imamnya. Jadi, boleh di belakang seperti biasa dan boleh agak kebelakang. Yang penting kalau ke belakang, posisi tempat sujud makmum tidak boleh melebihi sejauh langkahan normal ke posisi kaki imam shalatnya.
(4). Batasan haid itu ada minimalnya dan ada maksimalnya. Minimalnya tiga hari dan maksimalnya 10 hari. Perincian perinciannya ada di kitab fikih.
Ringkasnya:
- (a). Darah haidh itu jelas yaitu berwarna merah kehitam-hitaman, keluar dengan tekanan dan panas. Kalau darah ini sudah keluar, maka ia adalah darah haidh.
- (b). Sifat-sifat darah haidh itu diwajibkan bagi yang pertama haid atau tidak punya kebiasaan dalam permulaannya, walau punya kebiasaan dalam jumlah harinya. Tapi bagi yang punya kebiasaan awal haidhnya, baik juga punya kebiasaan jumlahnya atau tidak, maka begitu keluar darah di masa ia biasa memulai haidhnya itu, maka darah tersebut dihukumi haidh.
- (c). Ketika haidh sudah datang, maka ia dihukumi haidh kalau minimalnya tiga hari dan maksimalnya 10 hari. Kalau setelah dua hari berhenti, maka shalat-shalat yang ditinggalkannya itu harus diqadhaa’.
- (d). Tapi kalau berhentinya itu belum sepuluh hari lalu keluar lagi, maka masa haidhnya yang pertama itu sudah benar dan masa bersihnya itu yang salah. Karena itu shalat di masa haidhnya itu tidak dosa, tapi bagus kalau ditunggu lengkap 10 hari dulu kalau ingin besetubuh (maaf). Yakni sepuluh hari dari sejak haidh pertamanya itu.
- (e). Berhentinya haidh itu bukan dengan tidak keluarnya darah di luar. Bahkan walau ia keluar di dalam, maka tetap dihukumi haidh. Ini untuk kelanjutannya, bukan di permulannya kecuali kalau seperti yang sudah diterangkan, yaitu yang memiliki kebiasaan di permulaannya (misalnya selalu tanggal satu). Karena itu, untuk kelanjutannya itu, sekalipun sudah tidak keluar lagi, mesti dipastikan. Yaitu dengan memasukkan gumpalan kapas atau tisu atau apa saja kira-kira sebelar jempol tangan, lalu ditunggu beberapa saat. Dan kalau setelah beberapa saat itu dikeluarkan dan ternyata masih ada darah walau hanya seujung jarum, maka ia masih dalam keadaan haidh.
- (f). Kalau bagi pemula haid, atau yang tidak punya kebiasaan permulaan dalam haidhnya, lalu melihat darah yang tidak memiliki sifat darah haidh itu, atau bagi yang darahnya melebihi 10 hari, maka semua darah-darah itu bukan haidh dan dihukumi sebagai darah istihadhah.
- (g). Istihadhah itu memiliki 3 macam bentuk:
- (g-1). Sedikit, yaitu kalau di lubang kemaluannya dimasuki kapas sekitar katakanlah telur puyuh, lalu darahnya tidak meresap atau meresap tapi tidak sampai tembus. Kewajibannya adalah setiap shalat harus membersihkan kemaluanya, mengganti kapasnya dan wudhu. Puasanya tetap saja.
- (g-2). Sedang, yaitu yang darahnya menyerap dan tembus tapi tidak sampai pindah ke celana dalam atau softexnya (pembalut). Kewaibannya selain di atas itu ditambah sekali mandi (besar) sebelum shalat shubuh dan mandi kapan saja keluar lagi sebelum shalat.
- (g-3). Istihadhah banyak, yaitu yang darahnya meresap, tembus dan berpindah ke celana dalam atau softexnya. Kewajibannya selain di atas itu, ditambah lagi 2 kali mandi sebelum zhuhur-ashr dan sebelum maghrib-isya’.
Rinciannya lihat di kitab-kitab atau buku-buku fikih.
Pada ketiga darah Istihadhah itu puasa tetap dilakukandan tidak haram berkumpul suami..
- (h). Diharamkan bagi orang haidh, shalat, puasa dan thawaf dan jimak (bersetubuh lewat kemaluan bukan lewat dubur). Begitu pula yang diharamkan bagi orang yang sedang haidh seperti yang diharamkan bagi orang yang sedang junub (keluar mani/orgasme atau masuknya kemaluan lelaki walau sedikit ke dalam kemaluan wanita atau duburnya dimana kedua orangnya sama-sama menjadi junub), yaitu: Menyentuh tulisan Qur'an atau nama-nama Allah (dalam bentuk bahasa apapun) atau nama-nama makshumin as; Masuk masjiidulharam atau masjidunnabi saww walau sekedar lewat; Diam di masjid atau makam-makam para makshumin as (tidak sekedar lewat saja); Membaca salah satu ayat dari ayat-ayat ’Azaa-im yang empat (wajib sujudnya, yaitu ayat 15 dari surat al-Sajdah, ayat 62 dari surat al-Najm, ayat 37 dari surat Fushshilat dan ayat 19 dari surat al-’Alaq).
- (i). Dimakruhkan bagi orang haid: membaca satu ayatpun dari Qur'an yang tidak ada wajib sujudnya; Membawa Qur'an; Menyentuh pinggiran Qur'an; Menyentuh celah-celah diantara dua baris tulisan Qur'an; Memacari diri (mewarnai rambut, kuku, tangan dan lain-lainnya dengan pacar)..
- (j). Dimakruhkan bagi orang junub: Makan-minum (bisa diangkat dengan wudhu’ atau tayam- mum); Membaca lebih dari 7 ayat dari surat-surat yang tidak ada wajib sujudnya (karena kalau yang ada wajib sujudnya maka haram); Menyentuh tulisan Qur'an; Tidur; Memacari diri seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Penutup: Mas Zainal jangan heran kalau saya menjawab dirasa melebihi yang diinginkan. Karena memang menyambung dengan apa-apa yang sudah saya janjikan untuk menulisnya pada teman- teman. Jadi, jangan marah kalau kualirkan sekalian janji-janji itu di sini.
Wassalam.
Haidar Dzulfiqar and 23 others like this.
Nech Esat Milanistie: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Estu Ja’far Suherman: Apakah ada kafarat ketika wanita yang sedang dalam keadaan Haid itu berjimak dengan suaminya ? Dan dikenakan kepada salah satu (istri saja atau suami saja) atau keduanya (istri dan suami) kafarat tersebut ? Terima kasih atas penjelasan lanjutannya, Ustadz. Afwan...
Sinar Agama: Estu:
(1). Mengumpuli wanita haid harus membayar kafarat. Yaitu 1 dinar (3 3/5 gram emas) kalau dilakukan di awal haid, dan ½ dinar kalau pada pertengahan haid, serta ¼ dinar kalau di akhir haid. Yang dimaksud awal haid adalah 1/3 pertama, dan pertengahan adalah 1/3 ke dua, serta akhir haid adalah 1/3 akhir (Ayatullah Araki juga menghati-hatikan secara wajib untuk membayar kafarat bagi yang menggauli dubur wanita haid). Kafarat ini diberikan kepada orang fakir dan boleh diganti dengan harganya.
(2). Yang wajib memberikan hanya suaminya saja.
Estu Ja’far Suherman: Terima kasih atas penjelasannya, Ustadz...
Sinar Agama: Ok, sama-sama.
Inon Alatas:...................... اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْEstu Ja’far Suherman: Apakah ada kafarat ketika wanita yang sedang dalam keadaan Haid itu berjimak dengan suaminya ? Dan dikenakan kepada salah satu (istri saja atau suami saja) atau keduanya (istri dan suami) kafarat tersebut ? Terima kasih atas penjelasan lanjutannya, Ustadz. Afwan...
Sinar Agama: Estu:
(1). Mengumpuli wanita haid harus membayar kafarat. Yaitu 1 dinar (3 3/5 gram emas) kalau dilakukan di awal haid, dan ½ dinar kalau pada pertengahan haid, serta ¼ dinar kalau di akhir haid. Yang dimaksud awal haid adalah 1/3 pertama, dan pertengahan adalah 1/3 ke dua, serta akhir haid adalah 1/3 akhir (Ayatullah Araki juga menghati-hatikan secara wajib untuk membayar kafarat bagi yang menggauli dubur wanita haid). Kafarat ini diberikan kepada orang fakir dan boleh diganti dengan harganya.
(2). Yang wajib memberikan hanya suaminya saja.
Estu Ja’far Suherman: Terima kasih atas penjelasannya, Ustadz...
Sinar Agama: Ok, sama-sama.
Ramdhan Romdhon: Syukron ustadz, saya masih butuh kejelasan... yang wajib meng-qadha shalat itu bagi yang keluar darah dalam (dua hari kemudian berhenti) sajakah? Ataukah juga diwajibkan meng-qadha shalatnya bagi yang haidh sebagaimana biasanya (3 hari s.d. 10 hari)?
Sinar Agama: RR:
(1). Kalau darah keluar dua hari itu di hari kebiasaan permulaannya, maka ia haid. Dan kalau berhenti dan dites dengan memasukkan kapas itu dan dibiarkan beberapa saat itu ternyata tidak ada darah walau seujung jarum, maka kalau berhentinya sampai sehari, maka dua hari itu bukan haid. Dan shalat yang ditinggalkannya wajib diqodho.
(2). Tapi kalau tidak memiliki kebiasan permulaan, maka begitu pula hukumnya kalau darahnya tersebut memang memiliki sifat-sifat umum darah haid itu.
(3). Tapi kalau dalam no 1 dan 2 ini, darahnya itu masih ada di dalam kemaluannya walau seujung jarum (diketahui dengan memasukkan kapas sekitar sebesar jempol ibu jari dan membiarkannya beberapa saat lalu dikeluarkan), maka ia adalah haid. Dan kalau sudah lengkap tiga hari maka ia telah mencapai kadar minimal haid dalam harinya. Karena itu shalat yang ditinggalkannya itu tidak perlu diqodho.
(4). Tapi kalau permulaan haidnya itu setelah masuk waktu shalat, dan si pelaku haid ini menunda shalatnya sampai datang haidhnya itu, maka ia hanya wajib mengqadhaa’ shalat yang ditundanya itu.
September 25, 2011 at 8:21am · Like · 1
Sinar Agama: RR:
(1). Kalau darah keluar dua hari itu di hari kebiasaan permulaannya, maka ia haid. Dan kalau berhenti dan dites dengan memasukkan kapas itu dan dibiarkan beberapa saat itu ternyata tidak ada darah walau seujung jarum, maka kalau berhentinya sampai sehari, maka dua hari itu bukan haid. Dan shalat yang ditinggalkannya wajib diqodho.
(2). Tapi kalau tidak memiliki kebiasan permulaan, maka begitu pula hukumnya kalau darahnya tersebut memang memiliki sifat-sifat umum darah haid itu.
(3). Tapi kalau dalam no 1 dan 2 ini, darahnya itu masih ada di dalam kemaluannya walau seujung jarum (diketahui dengan memasukkan kapas sekitar sebesar jempol ibu jari dan membiarkannya beberapa saat lalu dikeluarkan), maka ia adalah haid. Dan kalau sudah lengkap tiga hari maka ia telah mencapai kadar minimal haid dalam harinya. Karena itu shalat yang ditinggalkannya itu tidak perlu diqodho.
(4). Tapi kalau permulaan haidnya itu setelah masuk waktu shalat, dan si pelaku haid ini menunda shalatnya sampai datang haidhnya itu, maka ia hanya wajib mengqadhaa’ shalat yang ditundanya itu.
September 25, 2011 at 8:21am · Like · 1
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar