Minggu, 02 Agustus 2020

Hukum Membaca Ayat Al-quran bagi Wanita Haidh


Oleh Ustad Sinar Agma http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250779754966828/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 20 September 2011 pukul 16:50


Sinar Agama: Ralat Fikih: Kalau saya dulu di fb ini, baik inbox atau tempat lainnya pernah mengatakan bahwa wanita haid dimakruhkan membaca lebih dari 7 ayat dari surat Qur'an yang tidak ada wajib sujudnya, maka hal itu tidak benar. Dan yang benarnya adalah makruh sekalipun satu ayat saja. Saya kerancuan dengan hukum makruhanya junub. Dan kalau ada yang ingat dimana, maka tolong kabari saya supaya saya bisa memperbaikinya. Afwan dan terimakasih.

Ali Assegaf Dpada Jatim: YA ALLAH, Mudahkan orang ini dalam membimbing manusia -- bantulah dia dari kekurangannya -- dan karuniakan pada pembacanya koreksi yang memastikan hubungan cinta dan kasih sayang untuk perbaikan kehidupan manusia.

Cut Yuli: Bila tidak membaca Quran tetapi menyebut saja, misal berdoa dengan membaca shalawat dan fatihah.. bagaimana hukumnya?

Bro Erlan: Fatihah = 7 ayat bukan?


Sinar Agama: @Ali A’: Terimakasih atas doanya dan perhatian serta kasih sayangnya yang benar- benar terasa tulus. Maafkan pula kekurangan saudara antum yang lemah ini.

@Cut’. Yang makruh itu hanya membaca Qur'an, baik dengan melihat Qur'annya atau dengan hafalan. Tetapi kalau doa-doa dan dzikir, maka tidak masalah dan bahkan bagus. Dan bahkan disunnahkan bagi seorang haid ketika tiba waktu shalat (atau dalam waktu shalat), untuk membersihkan kemaluannya dari darah dan mengganti pembalutnya, lalu mengambil wudhu. Lalu setelah itu duduk di tempat biasa dia shalat, lalu menghadap kiblat dan melakukan dzikir selama seukuran dia shalat.

Kalau tujuh ayat saja dibaca oleh orang yang sedang junub, maka tidak makruh, seperti Fathihan yang berisi 7 ayat. Tetapi kalau orang haid sudah makruh walau hanya membaca satu ayat.

Tetapi mungkin untuk bismillahanyaa, kalau tidak diniatkan membaca Qur'an, seperti kalau mau baca doa yang biasa didahului dengan bismillah, maka in syaa Allah tidak makruh, asal tidak diniati sebagai ayat satu dari surat-surat Qur'an.


Radenmas Murdianto: Kalau di tempat shalat duduk tidak diperbolehkan bagi orang haid, melafazkan diperbolehkan, tetapi membaca tidak diperbolehkan, dalam arti membaca berati menghadapi atau memegang al Qur'an.

Nure Beheshti: Membaca Quran itu sunah, dan membacanya dalam keadaan haid adalah makruh. Jadi pahala sunahanya berkurang. Jadi, walaupun dalam keadaan haid, membaca Quran tetap lebih baik.


Radenmas Murdianto: Maaf apa beda dibaca sama melafazkan/mengucapkan jangan bilang bahasa sudah hakiki berarti kamu mbergudul, maaf sekedar menjalankan perintah di surat walasri saja.


Sinar Agama: @Nure: Ahsan. Dalam beberapa pandangan ulama, ketika dikatakan makruh, maka ia tidak utama dilakukan. Tetapi kalau tidak utamanya itu dalam keutamaan, misalnya dalam contoh makruhanyaa orang haidh membaca satu ayat pun dari Qur'an, dimana bertemu dengan keutamaan yang berupa membaca Qur'an, maka sebagian ulama itu mengatakan bahwa pahalanya menjadi berkurang. Yakni nilai keutamaannya itu menjadi berkurang karena dibaca dalam keadaan tidak utama (seperti haid tersebut). Tetapi ada sebagian ulama lagi mengatakan bahwa kalau makruh berarti tetap saja sebaiknya tidak dilakukan.

Jadi, ulama bagian pertama mencampurkan hukum sunnah dengan makruh hingga menghasilkan pahala sunnahnya berkurang. Tetapi ulama bagian ke dua tidak mencampukannya dan melihat hukum pemakruhan dari hadits itu sebagai hukum tersendiri yang, sudah tentu hasilnya tidak baik dilakukan.

Kalau mengikut lahiriah fatwannya, maka tidak baik dilakukan. Jadi bisa digolongkan ke ulama ke dua. Karena kalau mengambil pandangan pertamanya, maka hampir pasti akan diterangkan. Apalagi dikatakan bahwa yang makruh itu bukan hanya membacanya, tetapi juga membawanya, menyentuhnya (memegang pinggirnya), memegang halaman kosong antara ayat-ayatnya. Jadi, kalau membawa saja sudah makruh, dan memegang pinggirnya saja sudah makruh, berarti membaca yang makruh disini, sulit diartikan sebagai makruh yang mengurangi pahala bacanya.

@Raden: Rupanya kita lain madzhab. BTW, kalau bagi kami membaca dan melafazhkan itu sama saja. Karenanya membaca Qur'an itu bisa dengan Qur'an bisa juga dengan tidak. Misalnya Nabi saww ketika di gua Hira waktu turun wahyu pertama kali dengan ayat “Iqra’” atau “Bacalah”, maka yang dimaksud di situ adalah membaca tanpa tulisan di depannya, karena Nabi-nabi saww tidak bisa baca tulis.

Lagi pula, Nabi saww dikatakan selalu membaca Qur'an, akan tetapi jelas tidak pakai kitab Qur'an di depannya, karena beliau tidak bisa baca-tulis.


Syeh Quro: fwan ustad alquran bisa menjelaskan segala sesuatu apakah termasuk baca tulis.....


Sinar Agama: @SQ: Qur'an juga menjelaskan baca tulis itu, karena itu perintah pertamanya adalah iqro’, atau bisa dirasa dari tulisan huruf patah yang ada di beberapa surat sebagai permulaan (walau banyak tafsirannya). Nah, penulisan Qur'an itu sendiri sudah merupakan petunjuk tak langsung bagi perintah pengajaran baca tulis. Akan tetapi baca tulis huruf-huruf arab ini, tidak wajib dilakukan secara hukum syariat. Karena itu tidak haram kalau tidak belajar menulis dan membaca bahasa Arab. Jadi, ajaran Qur'an tentang baca tulis itu, hanya diterangkan kepada orang yang mau mempelajarinya.

Yang ke dua, ajaran baca tulis huruf-huruf arab itu tidak wajib bagi yang bisa menghafalnya. Karena itu, pada waktu di jaman Nabi saww sedikit sekali orang bisa baca tulis, tetapi banyak sekali yang hafal, dan sangat banyak sekali yang hafal sebagian seperti kita-kita ini.

Yang ke tiga, baca tulis itu baik kalau diperlukan oleh manusia dalam khususnya menuntut ilmu.

Nah, Nabi saww yang telah tahu semua ilmu dengan dipilihnya sebagai Nabi saww dan khalifah Allah untuk semua makhlukNya termasuk malaikat, maka sudah tentu tidak perlu kepada tulisan huruf-huruf.

Jadi, ketika di rumah Rasul saww sudah ada ikan yang tidak terbatas, lalu buat apa Rasul saww mencari atau membuat pancing, sementara ikan yang akan dipancingnya sudah ada di rumahanya semua?

Lagi pula, Rasul saww sengat tidak belajar walau sangat mudah bagi beliau untuk belajar. Tetapi, disamping tidak perlunya beliau saww kepada tulisan itu, demi menjaga hati umat manusia supaya tidak ada keraguan bahwa Qur'an itu ditulis dan dikarang dirinya, maka beliau saw setelah dipilih jadi Nabi saw pun tidak belajar membaca dan menulis.

Chi Sakuradandelion dan Trizuly Muftiarini menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar