Jumat, 14 Agustus 2020

Hukum Kloning


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/254524131259057/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 29 September 2011 pukul 0:43


Adzar Alistany Kadzimi: Salam warrahmah, numpang nanya Ustadz, jika praktek kloning itu maka ruhnya dibagi dua atau bagaimanakah ustadz? Jazzakallah khair atas jawaban antum apapun itu :)


Mohamad Bagir : Afwan, tanya agak nyambung..

Apa hukumnya meng-klon tanaman, hewan, manusia..

Apa hukumnya memodifikasi genetik tanaman, hewan, manusia?

Apa hukumnya memanfaatkan tanaman, hewan hasil modifikasi genetik?

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Kloning itu hukumnya halal.

(2). Penggunaan hasilnya juga halal.

(3). Kloning manusia asal lewat rahim istrinya, juga tidak masalah.

(4). Kalau mas Adzar sering berkunjung di catatan-catatanku, maka tentang ruh manusia ini atau apa saja akan dapat mudah dijawab. Karena ruh itu bukan ditiupkan dari sebuah kantongan oleh Tuhan ke badan yang akan diberikan ruh. Tetapi berupa proses perkembangan natural dan proses gerakan substansi atau zat. Jadi, ketika sesuatu itu masih berupa mani, atau sel, maka ia memiliki ruh tersendiri, dan ketika sudah memadu dengan gen lain dan berproses menjadi janin, maka ruhnya juga berproses. Begitu pula ketika ia telah menjadi bayi sempurna dalam perut ibunya yang biasanya dalam umur 4 bulan, maka ruhnya juga menguat hingga kala itulah ia layak dikatakan ruh manusia, bukan ruh cacing mani atau ruh sel DNA.

Memang, ia kala itu belum layak dikatakan manusia hingga ruhnya juga layak disebut manusia. Tetapi maksudnya potensinya sudah dekat sekali dengan ruh manusia.

Nah, ketika ia lahir, maka ruhnya juga menguat. Ketika ia tahu lingkungannya, seperti ayah dan ibunya, maka ruhnya juga ikut menguat. Dan, ketika ia sudah mengerti hal-hal universal seperti pahaman manusia, yakni bukan hanya ayah dan ibunya, tetapi sudah mengerti persamaan antara keduanya dan teman-teman serta tetangganya dimana terpadu dalam satu hakikat yang namanya manusia, maka kala itulah ia benar-benar telah menjadi manusia.

Karena itulah maka definisi atau esensi atau batasan atau hakikat manusia itu adalah Binatang Rasional. Dan, rasional dimulai dari bisanya akal tersebut memahami universal, dan seterusnya merakit definisi dan dalil-dalil atau premis.

Jadi, tidak ada pembagian ruh dalam ruh-ruh bayi tabung, atau kloning dan semacamnya.


Adzar Alistany Kadzimi: Ana sependapat dan sepemahaman dengan antum dalam konteks ini Ustadz, namun ketika ada orang lain bertanya yang dalam kadar ilmunya dia baru sampai mengetahui bahwa istilah ruh adalah sesuatu yang ditiupkan/atau dalam esensi pengertian yang lain, maka ana yang mencari ilustrasi dan kemudian menjawabnya yang ana rada bingung Ustadz sedangkan untuk menjelaskan dari awal waktunya kurang cukup, karena bukankah dalam memberikan jawaban “harus sesuai kadar akal/ilmu yang bertanya” ?


Muhammad Alwi: Afwan nyambung ustadz..apakah berarti jiwa dan ruh itu sama..sebab ada yang mengatakan saat masih belum 4 bulan...daya-data berkembang itu disebut jiwa..dan setelah 4 bulan..itulah ruh?


Sinar Agama: Adzar’ Memberi jawaban itu harus tepat sesuai dengan kenyataannya, tetapi penyampaiannya disesuaikan, yakni bukan hakikatnya itu diseliwer-seliwerkan atau dirubah- rubah, akan tetapi bahasanya yang disederhanakan. Jadi, pertama sekali antum harus memiliki bekal cukup dan argumentatif dan mantap sebelum menjelaskan sesuatu. Setelah itu baru mencari bahasa yang sesuai tanpa merubah hakikatnya.

MA: Ruh dan Jiwa itu sama saja. Penyebutan Jiwa pada ruh manusia, karena ruh manusia tetap memiliki daya-tambang, daya-nabati dan daya-rasa atau perasaan. Sedang penyebutan ruh pada jiwa itu dikarenakan dimensi suci dari keterpengaruhan materi yang karenanya bisa menyentuh akal-universal alias Akal-akhir, Akal-sebelum akhir ....begitu seterusnya sampai ke Akal-satu. Jadi, penyebutan jiwa pada ruh itu karena ruh manusia tersebut masih mengatur badan-badan materialnya, seperti putaran atom-atom badannya (tambang) atau perkembangannya (nabati) atau gerak ikhtiari dan rasa serta perasaannya (hewani). Tetapi penyebutan ruh pada ruh dilihat dari pengaturan akalnya yang tidak menyangkut kemateriannya. Yakni dari dimensi non materinya.

Ketika ruh cacing mani menemui ovum, maka ia mengalami perubahan substansial dan terus berproses menyempurna. Begitu pula ketika sampai ke darah, daging dan janin. Karena janin sempurna itu ketika berumur 4 bulan, maka kala itulah secara tidak hakiki dikatakan ruhnya sudah mencapai ruh manusia yang, karena itu pula di agama dikatakan bahwa kala itu telah ditiupkan ruh manusia padanya.

Tuhan Maha Pandai, karena kenyataan filsafat ini dibahasan dengan bahasa sangat sederhana “Peniupan Ruh.”

Padahal kalau dilihat dari ayat-ayat lain bahwa Tuhan itu tidak terbatas, bukan materi, tidak sama dengan makhlukNya, maka mengapa Peniupan itu tetep saja diartikan peniupan seperti peniupan manusia? Inilah keindahan Qur'an dan kebodohan kebanyakan manusia. Karena sudah dibilang Tuhan itu tidak sama dengan lainNya, tetapi tetap saja kata-kataNya yang Peniupan ini diartikan peniupan seperti peniupan manusia.

Kesimpulannya dan ini juga ulangan yang entah ke berapa kalinya dari tulisan-tulisan sebelumnya, bahwa: Ruh itu tidak ditiupkan dari gudang ruh kepada janin, akan tetapi maknanya adalah ijin


Tuhan atas perkembangan ruh cacing mani yang telah mencapai ruh manusia lantaran badannya kita sudah sempurna dalam 4 bulan itu. Akan tetapi penamaan manusia ini hanya mengikuti badannya yang sudah sama dengan manusia seutuhnya itu.

Padahal, pada hakikatnya, karena manusia itu adalah Binatang Rasional dan berakal, maka ia akan benar-benar menjadi manusia manakala sudah menggunakan akalnya, yaitu mengerti universal, seperti pahaman manusia, pohon, makanan, minuman. dan seterusnya dimana sudah keluar dari pahaman partikulirnya atau individunya, seperti ayahku, ibuku, makananku ini, minumanku ini, pohon ini, dan seterusnya.

Tetapi di kacamata filsafat bayi di perut ibu atau yang sudah lahir itu, juga bisa dikatakan sebagai manusia bukan dari bentuk badannya seperti yang dilihat dan ditinjau oleh Tuhan dalam Qur'an, akan tetapi dilihat dari sangat dekatnya potensi itu kepada manusia seutuhnya.

Jadi, cacing mani sebelum 4 bulan dalam kandungan itu hanya 3 daya dari yang ada, yakni selain daya akal. Dan setelah 4 bulan juga secara tidak hakiki dikatakan memiliki daya ke 4 yaitu daya akal.

Jadi, kalau dikatakan bahwa sebelum 4 bulan itu adalah jiwa, maka benar saja, karena ruhnya itu hanya mengatur atom, perkembangan dan rasa serta perasaannya (karena itu kalau dibacakan Qur'an atau doa, ia juga mendengarnya dan menikmatinya serta berpengaruh baik bagi perkembangan jiwanya sekalipun ia masih di dalam perut ibunya). Akan tetapi ketika sudah umur 4 bulan dalam perut ibunya, barulah ruh itu sampai ke stasiun ruh manusia yang memiliki daya akal (minimal potensi yang sangat dekat). Karena itulah kala itu disebut ruh manusia atau dikatakan bahwa ruh manusia itu sudah ditiupkan padanya. Yakni sudah menjadi ijinNya untuk sampai ke stasiun tersebut dalam proses perkembangan substansinya.


Muhammad Alwi: Ana belum puas dengan jawabannya. Tentang Takdir (tadi Malam), Afwan Ana keluarkan disini. Aneh kalau dikatakan. dengan Ikhtiyar (sesuatu maujud yang waallahu a’lam) dia memilih kejelekan, disaat yang lain dengan Ikhtiyar (maujud yang sama) dia memilih kabaikan. Sesuatu Akibat (x), disebabkan oleh “sesuatu” + “Ikhtiyar-nya”. Akibat (Y), disebabkan oleh “ sesuatu” + Ikhtiyarnya. kesimpulan ana; 1) “sesuatu” penyebab X dan Y pasti beda. 2) Bila sama. berarti ikhtiyarnya beda. Artinya adalah; Jika 1) maka penyebab akibat X dan Y adalah lingkungan eksternal (selain Ikhtiyar), bila 2) Maka aneh. Sebab Ikhtiyar berbeda, dengan kondisi lainnya sama, kecuali Ikhtiyar. Keif Ust Wallahu a’lam (Sukron Ustadz. terimakasih).


Sinar Agama: MA:

(1). Antum kok tahu ada sebab “sesuatu” selain ikhtiarnya itu dimana “sesuatu” itu justru menjadi penentu akibat ikhtiarnya? Apa “sesuatu” itu dan apa pula dalil antum mengatakan adanya “sesuatu” tersebut.

(2). Antum ini ada ra’syihnya he he he he softoh (gurau bagi yang tak paham softoh). Karena antum ada semacam melakukan sophistisism dalam berdalil. Karena kan saya katakan bahwa penyebab orang berbuat baik dan buruk adalah ikhtiarnya. Nah, disini, antum tarik kesimpulan bahwa kedua sebab dari akibat yang beda itu adalah sama, yaitu “ikhtiar”. Padahal kesamaan ikhtiar ini hanya dari sisi kesamaan namanya dan substasinya sebagai hak manusia yang dinamakan ikhtiar itu. Artinya, adalah hak bebas memilih. Nah, kesamaan hak bebas memilih ini mana bisa dikatakan bahwa akibatnya mesti sama? Karena dari kebebasan memilih itu maka akan lahir pilihan yang berbeda. Yakni pilihan Y dan pilhan X berbeda. Memang kalau dikatakan bahwa keduanya majbur atau diterminist, dan keterdekteannya itu sama, maka hasilnya pasti sama. Akan tetapi disini justru sebaliknya, yakni sama dalam arti sama-sama memiliki kebebasan memilih.

Karena itulah, maka kalau Y memilih perbuatan baik dan X sebaliknya, maka sudah pasti akibatnya yang namanya perbuatannya itu, maka pasti tidak sama.

Saya tidak mengingkari pengaruh-pengaruh yang ada, tetapi sudah sering saya jelaskan dalam tulisan-tulisan terdahulu bahwa semua itu tidak sampai membunuh akal sehatnya dan ikhtiarnya.

Dalam Islam, kita lahir ini juga bukan ketentuan Tuhan, tetapi hanya restu dariNya terhadap ikhtiar kedua orang tua kita. Jadi, yang cebol, yang banci, yang cacat, yang suku ini dan suku itu, yang negero ...dan seterusnya. semua itu tidak ada yang ditentukan Tuhan. Tetapi hanya berupa pewujudan dari ijinNya terhadap ikhtiar kedua orang tua atau lingkungan-lingkungan yang bisa mencemarinya yang juga merupakan ihktiar keduanya secara tidak langsung. Seperti orang yang berikhtiar tinggal di Tokyo yang memiliki instansi nuklir dan bisa kena gempa Tsunami hingga bisa bocor dan mencemari lingkungannya hingga anaknya jadi cacat. Jadi, kalau ikhtiar itu langsung seperti adanya kita maka itu dikatakan ikhtiar orang tua, tetapi kalau tidak langsung, maka dikatakan ikhtiar juga, tetapi sering dikatakan resiko hidup.

Jadi, lingkungan apapun, dari genetika, makanan haram dan halal, darh keturunan, sampai lingkungan sosial,... dan seterusnya itu...tidak sampai membuat manusia itu determinist terhadap akibatnya alias perbuatannya. Karena semua itu tidak sampai membunuh akal dan ikhtiarnya.

Jadi, inti dari semua penjelasan ini adalah, semuanya tergantung pada ikhtiar manusia itu sendiri dan tidak ada yang lain yang antum maksudnya? “Sesuatu” itu. Karena itulah maka di akhirat kelak semua wajah tertunduk karena sudah tidak ada alasan lagi bagi menusia dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya. Artinya sudah merupakan ikhtiarnya dan tidak ada “sesuatu” yang lain yang bisa dijadikan apologi atau alasannya. Jadi, kalau jahat, maka karena ia memilih jahat itu dan tidak bisa mengatakan karena genku dari ayah penjahat, karena ayahku memberiku makan harta haram, karena ayahku koruptor, karena ayahku yang mengajariku jahat, karena lingkunganku yang jahat, karena negaraku yang brengsek, karena temanku yang ngajak, karena dan seterusnya. Jadi, semua itu tidak ada. Kenapa? Karena keberadaannya di dunia hanya sebagai pengaruh dan ujian baginya karena tidak sampai membunuh akal sehatnya dan ikhtiarnya.

Kalau bisa banyaklah menyimak tulisan-tulisan terdahulu. Karena semua ini sudah merupakan ulangan yang ke sekian kalinya.


Chi Sakuradandelion, Sabara Putra Borneo, Heriyanto Binduni dan 7 lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar