Kamis, 06 Agustus 2020

Muhkamaat dan Mutasyaabihaat


seri tanya-jawab: Al Louna dengan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250780541633416/ by Sinar Agama (Notes) on Saturday, September 17, 2011 at 6:43am


Al Louna: Salam ustadz. Mohon penjelasan maksud dari ayat muhkamat dan ayat mustasbihat? Dan mohon sertakan contoh dari ayat-ayat tersebut?!

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Ayat muhkamat itu adalah yang jelas dan tidak ada keraguan akan artinya. Seperti ayat wudhu’, ayat kewajian shalat dan zakat, ayat tentang kewajiban puasa, ayat tentang ADANYA TUHAN, ayat tentang malaikat, jin, ayat tentang kewajiban menggunakan akal, ayat tentang adanya orang makshum selain Nabi saww di umat Islam ini dan seterusnya.

(2). Ayat mutasyaabihaat adalah yang tidak jelas maksudnya. Seperti Tuhan memiliki dua tangan, alam ini disebut bayangan, alam ini disebut wajahNya, alam ini sekarang dalam keadaan binasa, gunung itu tidak dalam keadaan diam tapi bergerak bagai kabut.
(3). Tambahan:

Sebagian muslimin mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu hanya Allah yang tahu, dan sebagian yang lain semua manusia bisa tahu. Beda mereka itu terjadi pada peletakan koma pada ayat tersebut yang berbunyi (QS: 3: 7):
"Dialah -Tuhan- yang menurunkan kepadamu -Muhammad- sebuah kitab (karena itu bukan kumpulan lembaran-lembaran atau surat-surat yang dikumpulkan Utsman lalu menjadi kitab) dimana sebagiannya adalah ayat-ayat yang jelas dimana ia adalah inti (bc: tempat kembali) dari kitab dan yang sebagian lainnya adalah tidak jelas (samar). Dan orang-orang yang di hatinya ada penyakit, maka mereka akan mengikuti ayat-ayat yang samar itu untuk mewujudkan fitnah dan mengikuti takwilannya (bc: takwilan mereka sendiri), sementara itu tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang ilmunya jernih/kokoh/ menyatu dengan dirinya, yang mengatakan kami beriman kepadanya -Qur'an- semua itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidaklah menjadi teringat (terinasihati) kecuali orang-orang yang berilmu."

Nah, kalau kelompok pertama meletakkan komanya setelah Allah di kalimat ". kecuali Allah.....". Jadi, kalimat "...dan orang-orang yang ilmunya kokoh menyatu dengan dirinya -jernih- mengatakan " merupakan kalimat baru yang di dan-kan pada kalimat sebelumnya.

Jadi, orang-orang pandai itu juga tidak tahu dan hanya beriman secara dogmatis dan menyerah hingga mengatakan bahwa Qur'an itu, baik muhkamatnya atau mutashabihatnya, adalah dari Tuhan.

Tapi kalau di Syi’ah tidak seperti itu. Karena kalau ada ayat yang tidak bisa dipahami, terus buat apa diturunkan? Belum lagi manusia bisa beda pandangan mana-mana yang mutasyabihat. Ditambah lagi di ayat lain dikatakan bahwa Nabi saww itu mengajarkan kitab Qur'an, dan tidak dikatakan sebagian kitab Qur'an yang berarti muhkamatnya. Lagi pula, bagaimana mungkin seorang berilmu jernih dan kokoh, bisa tahu kalau ayat mutasyabihat itu dari Allah kalau mereka tidak tahu makna dan maksudnya? Atau bagaimana mungkin Nabi saww sendiri yang harus tidak tahu maknanya setelah pengkomaan setelah Allah itu, bisa tahu bahwa Jibril as tidak keliru menurunkan ayat, karena Nabi saww sendiri tidak tahu maksud ayat tersebut? Dan masih ada dalil-dalil lainnya.

Karena itu, maka setelah "...Allah. " itu tidak ada komanya, hingga yang tahu takwilnya itu

hanya Allah dan orang-orang belilmu kokoh atau tinggi tersebut dimana termasuk Nabi saww sendiri. Karena itulah maka orang berilmu yang tahu maksud ayat mutasyabihat itu mengatakan bahwa semua ayat-ayat itu sudah pasti dari Allah tanpa keraguan.

Di samping itu, di ayat itu sendiri dikatakan bahwa ayat muhkamat itu sebagai ummulkitab yang bisa diartikan sebagai ibu ayat-ayat mutasyabihat. Nah, karena itulah untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat tersebut harus dikembalikan ke ayat-ayat muhkamat.

Kalau alfakir yang banyak dosa dan banyak hijab dan kebodohan ini, sering berkata bahwa ukuran taklif kita mencari ilmu itu adalah keterbukaan dan adu dalil hingga sampai kepada tingkat ilmu mudah dan dalil gamblang, maka sebenarnya sumbernya adalah ayat tersebut. Karena Allah sendiri menyuruh kita untuk mendasari pahaman kita tentang yang mutasyabihat itu dengan yang jelas dan gamblang yang alias muhkamat.

Jadi, kalau Tuhan, agama, Nabi saww, para imam makshum as, Qur'an dan hadits, guru ...dan seterusnya itu merupakan dalil dan hujjah luar kita, tapi kalau akal dan pahaman serta argument gamblang itu adalah dalil dan argument dalam diri kita. Dan hujjah-hujjah atau dalil-dalil luar itu tidak akan bisa dipahami dengan baik dan benar, kecuali dengan dalil dalam kita itu, yakni pahaman dan dalil gamblang. Karena itu bagi yang membunuh fitrah gamblang ini dari dalam dirinya disebabkan kecenderungannya pada suatu golongan, kitab, ustadz, partai, non partai, penampilan, tangisan dan seterusnya, maka ia tidak akan bisa

menyentuh hidayah yang hakiki itu, karena hidayah yang hakiki itu jelas seperti matahari dan tidak pernah berhenti menyinari. Sedang kejelasannya bagi kita tergantung kepada mata/ kesadaran kita, butakah, melekkah, kelilipkah dan seterusnya. Nah, akal kita kalau tidak dipakai, yakni tidak mengejar pahaman dan dalil gamblang itu, maka jelas mata/akal/hati kita menjadi buta. Jadi, kalaupun kita sudah memakai akal, tapi tidak memakai pahaman gamblang sebagai dasarnya, dan menggantikannya dengan kecenderungan-kecenderungan, maka mata kita akan menjadi kelilipen dan, akibatnya hampir tidak beda dengan yang buta itu. Kadang mendingan orang buta sekalian, karena lebih mudah mengakui ketidaktahuannya, tapi kalau yang kelilipen ini bukan hanya sulit mengakui ketidaktahuannya, akan tetapi sering mengira dirinya adalah seorang ahli.

Salah satu tujuan terpenting dari penutupan identitasku dengan nama samaran Sinar Agama ini, supaya kita bisa membiasakan diri dengan budaya yang mesti kita wujudkan, yaitu menjadikan semuanya, apapun itu, baik ilmu-ilmu agama, filsafat, politik, budaya, ekonomi, fikih,....dan seterusnya... untuk diatasdasarkan pada pahaman dan dalil mudah dan gamblang serta terang benderang yang, kalau dalam bahasa Qur'an adalah muhkamat itu.

Wassalam.



Zul Fikar: Afwan Ustadz, saya ingin tanyakan alasan soal menutupi identitas ustadz. Contoh, jika saya ditanya oleh orang-orang dimana sumber saya, terus saya mengatakan dari Ustadz yang di FB yang namanya Sinar Agama, menurut saya itu tidak epistemologi karena bicara sumber harus jelas. Bagaimana jika hal itu terjadi ustadz kepada teman-teman ustadz yang ada di FB? Hehehe maaf ustadz hanya pendapatku sendiri.


Sinar Agama: Kewajiban antum, hanya sebatas mengatakan dari Sinar Agama. Sudah cukup. Karena pencari kebenaran itu tidak akan pusing dengan nama, ketika mendapatkan dalil yang jelas dan gamblang. Karena itulah, kalau ia tidak percaya, maka di samping sudah keluar dari tanggung jawab kita, ia berarti bukan teman pencari ilmu dan kebenaran. Jadi, hanya teman dan saudara dalam seagama. Dengan kata lainnya, ia sudah tidak lulus sensor dari busa argument terbuka nan gamblang itu. Artinya, ia pengikut perasaan dan bukan pengikut dalil.

Bayangin saja, kalau minta dalil kita sudah kasih (tentu kalau kita mampu). Misalnya kalau akidah yang tidak boleh taqlid, maka kita sudah memberinya dengan dalil akal gamblang, kalau fatwa kita juga bisa menukilkan sumbernya. Nah, kalau dengan semua dalil-dalil itu masih saja tidak percaya, lalu kalau ia tahu identitasku jadi percaya, maka kepercayaannya itu jelas bukan ilmu, tapi cerita dan penukilan ilmu. Karena ilmu itu harus argumentatif. Kalau sudah demikian, maka apalagi yang bisa menjadi tanggung jawab kita di depan Tuhan (anggap kita ini sudah benar menurut Tuhan) ?!!!!


Zul Fikar: Apakah dengan menutup identitas, yang ustadz inginkan dapat terwujud?.Alasannya apa? Menurut saya ustadz,nama itu penting, bukan dipahami sekedar nama saja, tetapi di balik nama itu, karena itu merupakan salah satu sumber pengetahuan?


Zul Fikar: Satu lagi ustadz, menurut saya ilmu yang argumentatif salah satunya disertai dengan sumber-sumber(dalam hal ini nama) yang jelas. Agar dikemudian hari tidak menyebabkan suatu perkara yang dimana seharusnya tidak menjadi perkara.


Sinar Agama: Zul: Ketika nama itu diperlukan sebagai sumber, maka itu yang saya katakan penukilan. Penukilan ini penting, karena itu sampai-sampai ada ilmu rijalnya segala. Tapi dalam bahasanku di sini tekanannya bukan pada penukilan. Karena itu, kalau antum sendiri yang punya masalah hingga tidak bisa mempercayai si sinar agama ini, maka itu tidak menjadi masalah dan benar-benar merupakan hak antum. Antum mau di langkah pertamanya, yaitu penukilannya, atau mau di isinya, terserah dan berpulang kepada antum sendiri dan, saya tentu saja sangat menghormatinya dan tidak merubah rasa cinta dan hormat saya kepada antum.

Kalau tentang pertanyaan antum apakah tujuan saya terpenuhi, maka saya merasa heran kok masih ditanyakan. Karena, kalau antum tidak tertarik sama sekali, maka tidak akan ngoyo dalam mencari tahu identitasku. Memang untuk antum yang masih nyandet di penukilannya, masih ada kendala, tapi bagi yang tidak nyandet di penukilan dan hanya memperdulikan isi, maka tidak akan memiliki masalah seperti yang antum hadapi.

Menurut antum ilmu itu seperti apa, itu terserah kepada antum. Tapi antum sendiri tidak menyertakan pendapat siapa itu? Yakni sumber ilmu yang mengatakan bahwa dalil itu tidak bisa diterima sekalipun sudah jelas maksud dan kuat dalilnya, kalau tidak ketahuan siapa pengatanya. Nah, dari mana ilmu antum ini dan siapa pengucapnya? Di sini antum sendiri tidak menyebutkan penukilannya dari mana, kecuali kalau antum merasa diri antum itu meyakini sebagai sumber ilmu. Kalau hal ini yang antum yakini maka akan banyak masalah yang timbul, yaitu dari mana antum menimba ilmu hingga jadi sumber, lulusan apa ...dan seterusnya.

Tapi kalau sumber ilmu-ilmu kami yang dari dari Qur'an dan hadits Nabi saww dan hadits para imam makshumin as, sebagaimana dibahas di ilmu-ilmu filsafat dan akhlak, maka kita dianjurkan untuk menerima hikmah (kuat dari sisi dalil dan argumentnya) dari manapun datangnya dan dianjurkan untuk tidak memperhatikan siapa pangatanya. Karena itu dalam riwayat dikatakan:

"Ambillah hikmah (berdalil kuat dan gamblang) dari manapun datangnya!" "Perhatikan yang dikatakan dan jangan perhatikan yang mengatakan!"

Dalam ilmu hadits saja, dimana pembahasan penukilnya dipentingkan, semua itu karena masalahnya adalah penukilan dari ucapan atau perbuatan para makshum as, bukan kajian ilmu.

Dan kalaupun sudah shahih, yakni perawinya sudah jelas dan jujur semuanya, tetap saja masih dibahas isinya. Karena kejujuran penukil hanya di langkah pertama. Sementara isi/matan adalah masalah asli dan intinya.

Nah, kalau bukan masalah penukilan hadits, dan hanya berupa kajian dan diskusi ilmu, maka perhatikanlah yang diucapkan dan jangan perhatikan yang mengucapkan. Sedang penukilan fatwa, kan kitabnya atau situsnya marja'nya berserak dimana-mana, lalu apa kendalanya penukilan matan kitabnya dilakukan dan diambil dari kitab-kitab berserak itu walau yang menukl tidak menyebutkan nama aslinya?

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar