Minggu, 06 September 2020

Poligami


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/273260719385398/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 9 November 2011 pukul 23:26


Zainab Naynawaa: Salam. Maaf, ustadz.

Jika seorang istri menyuruh suami menikah lagi, pahala apa yang didapatkan?

Jika ada lelaki sebelum berpoligami berjanji mau mmbahagiakan lahir dan bathin istri-istrinya tapi kenyataannya lelaki tersebut tidak memenuhi janjinya. Apakah lelaki tersebut sudah berbuat dzalim?

Lalu, apakah janjinya itu adalah sebuah utang yang wajib ditagih?

Apakah ada tanda-tanda khusus (menurut agama) pada lelaki yang siap berpoligami ? Afwan..

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya.

(1). Kawin itu adalah suatu ke-sunnah-an. Tapi setelah melakukan ke-sunnah-an ini, banyak sekali kewajibannya. Seperti nafkah, adil, ...dan lain-lain. Jadi, kawinnya, baik satu atau lebih adalah sunnah. Dan kalau istri pertama menyuruh suaminya kawin lagi, bisa dikatakan bergabung dalam pahala sunnahnya itu. Atau setidaknya berpahala karena tidak menghalangi suami melakukan kesunnahan.

(2). Bisa saja, kesunnahan dan pahalanya itu akan tidak berarti kalau setelah itu kewajiban- kewajibannya tidak terlaksana. Artinya, pahala sunnahnya itu tidak bisa menutupi keharaman- keharaman yang akan dilakukannya setelah itu. Misalnya, dari awal ekonominya sudah tidak mampu, lalu kawin lagi, lalu tidak bisa memberi belanja ..dan seterusnya. Maka disini jelas, bahwa pahala kesunnahan kawinnya itu tidak bisa menutupi dosa-dosanya tersebut. Saya katakan dosa, karena ia dari awal sudah tahu bahwa ia tidak mampu memberi nafkah kepada dua istrinya itu. Tapi kalau memang mampu, lalu setelah itu jatuh bangkrut dan menjadi tidak mampu, maka hal itu tidak dosa. Tapi yang jelas harus berusaha sekuat tenaga tanpa putus asa untuk bisa memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya.

(3). Bahkan lebih parah lagi, kalau ia dari awal sudah tahu tidak akan mampu dan masih kawin juga, maka sangat mungkin hukum kesunnahannya itu sudah terangkat dan tidak berlaku padanya. Tapi tetap saja kawinnya itu halal dan tidak menjadi zina.

(4). Syarat-syarat keadilan dan semacamnya itu adalah di setelah kawin, bukan syarat sahnya kawin. Karena itu, kalau dari awal memang mampu dan tidak ingin pilih kasih, maka hukum ke-sunnah-an itu tetap berlaku. Tapi kalau dari awal tidak mampu dan dari awal ia akan pilih kasih dalam pembagian waktu dan belanja, maka sangat mungkin hukum sunnahnya itu sudah terangkat walaupun tidak menjadikan kawinnya yang ke dua itu menjadi batal dan zina.

(5). Keadilan yang dituntut dalam rumah tangga poligami ini adalah dari sisi waktu dan belanja. Itupun masih ada rinciannya di fikih. Tapi adil dalam cinta, sama sekali tidak diwajibkan dalam Islam. Tapi sikap harus diusahakan sama dan standar.

(6). Kalau suami poligami sudah menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia sudah melakukan kewajibannya dan sudah dikatakan benar. Tidak perduli rumah tangganya berantakan atau tidak. Karena penyebab berantakannya itu bisa saja dari sisi lain, seperti dari sisi anak-anaknya atau bahkan istri-istrinya itu atau salah satu dari mereka. Jadi, kegagalan suatu rumah tangga poligami tidak mesti disebabkan oleh suaminya. Karena bisa saja dari dia atau istri-istrinya atau anak-anaknya.

(7). Janji suami kepada istrinya untuk membahagiakannya, maka dilihat janji apa? Kalau janji itu adalah janji benar dan halal, maka ia layak dan bahkan harus dilaksanakan kalau mampu. Tapi kalau janjinya tidak layak dan apalagi haram, maka tidak boleh dilaksanakan. Misalnya, dijanjikan mau diambilkan harta dari istri ke duanya yang kaya.

(8). Untuk tanda-tanda bisa poligami itu tidak mesti khusus. Tapi setidaknya, bisa dilihat dari tingkah lakunya setiap harinya. Misalnya dari sisi ekonomi, dari sisi akhlak, ..dan seterusnya. Kalau ia tidak berkemampuan mengatur dengan baik istri pertamanya saja dan anak-anaknya, maka dapat dipastikan ia belum siap melakukan kawin lagi. Kecuali kalau penyebab kegagalannya itu adalah istrinya sendiri atau anak-anaknya sendiri, misalnya karena tidak patuh pada kepemimpinan suaminya. Tapi siap tidaknya ini tidak berpengaruh pada kehalalan kawinnya, tapi sangat mungkin bisa berpengaruh kepada hukum sunnahnya itu dan bahkan pada kewajiban mendatangnya.


Erfa Zahra dan 9 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar