Jumat, 25 September 2020

Kewajiban Suami-Isteri Dalam Rumah Tangga


oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/268691753175628/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 30 Oktober 2011 pukul 17:17


Zainab Naynawaa: Salam, afwan ustadz.

Pertama, salah satu kewajiban seorang istri melayani istri jika menolak berdosa, jika ada seorang istri meminta apakah ada kewajiban bagi suami untuk melayani dan apakah hukumnya jika suami menolak?

Kedua, jika dalam rumah tangga yang berperan mencari nafkah istrinya apakah hukumnya jika uang yang dihasilkan dari usahanya diputar dari usaha makanan menjadi usaha lain tanpa dibicarakan dulu sama suami sebab yang tahu pasaran dilingkungan tempat jualan istrinya.

Ketiga, hukumnya apa jika yang mengelola uang dalam rumah tangga seorang istri sebab untuk lebih memahami apa dan untuk apa uang dikeluarkan sementara laki-laki cenderung boros . Afwan, syukron.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya.

(1). Kewajiban istri adalah melayani suaminya kala memintanya, tapi tidak sebaliknya. Tapi kewajiban suami memberi belanja, pakaian dan tempat tinggal yang layak dan semampunya, tapi juga tidak sebaliknya. Tentu kewajiban suami ini, manakala istrinya ada di rumah suaminya itu dan tidak menolak ketika diminta. Jadi, kalau istrinya tidak mau ikut dengan suaminya dan/ atau tidak melayaninya walau tinggal dalam satu rumah, maka kewajiban nafkah itu menjadi gugur.

(2). Istri yang kerja dengan ijin suaminya adalah halal untuk bekerja. Dan uangnya adalah milik istrinya hingga bebas digunakan apa saja. Kecuali kalau suaminya dalam memberi ijin keluar itu meminta semacam saham dari kerugian yang dideritanya karena ketidak-adaan istrinya di saat-saat ia memerlukannya. Tapi walaupun tidak meminta bagian (terlebih karena dia makan dari istrinya dan bisa saja itu sudah merupakan bagian dia), dan walaupun sudah merupakan hak istrinya, akan tetapi kalau memang bisa dimusyawarahkan bersama, maka hendaknya dilakukan, demi menjaga romantisasi rumah tangganya. Tapi kalau sekiranya suamiya tidak tahu hal-hal karena pengangguran, maka bisa saja dengan memberitahukannya saja.

(3). Kalau uang yang mau dikelolah itu uang istrinya, maka silahkan saja dan tidak haram, tentu dengan penjelasan di atas itu. Tapi kalau uang itu milik suaminya, maka istri tidak berhak mengaturnya kecuali belanja yang diberikannya itu. Karena istri hanya berhak menerima nafkah saja, bukan semua uang suami yang didapat dari kerjanya atau dari warisan atau apa saja.

Nasihat:
  • - Dalam banyak kesempatan, syethan biasanya datang dengan banyak ide-ide yang nampak mulia. Tapi karena yang diwaswasi itu cinta dunia, maka idenya yang dianggap bagus itu diperjuangkan sebegitu rupa tanpa memperhatikan hukum-hukum Islam dalam mengatur keluarga. Hal seperti ini, tidak jarang membuat romantisasi keluarga menjadi hilang dan tidak mustahil akan berakhir kepada kebangkrutannya sendiri, yaitu cerai.
  • - Ketika berpegang pada hukum juga tidak boleh terlalu kaku demi romantisasi keluarga. Jadi, harus ada semacam tarik ulur selama masih memungkinkan. Seperti isteri yang bisnis di atas yang menafakahi suaminya yang pengangguran. Begitu pula sebaliknya, tapi bukan berarti harus menyerahkan secara total hak-haknya, karena hal itu bisa menimbulkan keburukan di masa datang, seperti keserakahan dan semacamnya. Jadi, tarik ulurnya itu dalam arti ada saling memaafkan pada perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji dari kedua belah pihak, tapi dengan usaha memberikan pengertian akan hak-hak Islaminya dan berusaha mencegah ketidakjelasan atau perampasan hak yang lainnya. Karena itu hukum fikih harus dijadikan paduan awal dan dasarnya, lalu akhlak romantisasi dan tarik ulur (yang masuk akal), selama masih bisa dilakukan, sudah selayaknya dilakuakn demi kelanggengan keluarga.

Agoest Irawan, Ali Nurhadi, Jokowi Karim dan 5 lainnya menyukai ini.


Sinar Agama: Salam, kok bisa suaminya merasa? Perasaan dia itu tidak bisa diterima dalam Islam. Kecuali kalau dia mensyarati ketika istrinya mau kerja dan ia membolehkan dengan syarat semua pendapatannya diberikan padanya dan menjadi haknya. Tapi suami seperti ini, walau mungkin tidak melakukan dosa, tapi benar-benar tidak bijaksana kepada istrinya.

Sinar Agama: Kalau harta warisan milik istrinya itu jelas tidak bisa diambil oleh suaminya, begitu pula harta-harta istrinya yang lain yang didapat dari kerjanya itu (dalam kondisi yang ditanyakan ini). Jadi, haram suaminya mengambil harta istrinya itu kecuali dimaafkan dan diridhai istrinya. Jangankan harta istrinya, masak memasak dan cuci mencuci baju saja bukan hak suami. Hak suami itu hanya dalam kamar, mengijinkan atau tidak istri keluar rumah dan dalam kepemimpinan rumah tangga yang legal-legal atau halal-halal, bukan seperti mengambil harta istrinya atau bahkan sekalipun hanya dalam mencuci piring dan mamasak di rumah.

1 November 2011 pukul 3:07



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar