Rabu, 16 September 2020

Diskusi: Nasionalisme dalam Islam


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/272650582779745/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 8 November 2011 pukul 15:56


Aep Fadhlurrahman: Ustadz, bagaimana Nasionalisme dalam Islam?

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya.

Ketika Islam itu adalah segalanya, maka ia adalah satu-satunya. Memang Islam tidak memaksa orang untuk menjadikannya satu-satunya, karena dia bukan agama paksaan. Dengan demikian nasionalisme itu hanya untuk Islam karena ia baju seluruh umat manusia.

Tapi bukan berarti kalau kita harus ber-nasionalisme-kan Islam, dan karena kita tidak punya negara Islam lantaran tidak dipilih oleh suatu bangsa, maka bukan berarti tidak diwajibkan menjaga kehormatan agama, diri, keluarga dan, apalagi negara. Jadi, walau Indonesia bukan negara Islam, tetap wajib bagi kita membelanya manakala ada penjajah datang mau menjajah Indonesia, baik penjajahan terhadap wilayah buminya, ekonominya ... dan lain-lainnya karena itu juga merupakan kewajiban, karena menangkal yang lebih modharat itu juga kewajiban.

Abdy Ayae Nana: Islam itu tidak berdiri sendiri/terpisah/terkotak-kotak, Nasionalisme itu bagian dari dan itu Islam, saat kita membela kehormatan diri, keluarga, negara ya itu yang diajarkan Islam, itulah Islam. Pahami Islam secara kaffah.

Sinar Agama: Membela negara yang bukan Islam dan apalagi menentang hukum-hukum Islam itu bukan Islam, apalagi kaffah. Tapi membela negara bukan Islam demi menjaga kemudharatan yang lebih besar itu yang dikatakan Islam. Tapi Islam yang kaffah adalah kamu dan kita memakai hukum-hukumnya dalam segala bidang secara kaffah. Ini namanya Islam kaffah.

Abdy Ayae Nana: Tentu saja Islam tidak mengajarkan membela keburukan ustad, tapi membela itu bagian dari dan itu Islam, sekarang mencintai alam itu Islam apalagi ini mencintai tanah air/ negara.

Sinar Agama: Cinta tanah air tidak diajarkan oleh Islam, yang diajarkan adalah cinta Islam dan kebaikan. Tapi membela tanah air diajarkan Islam.

Abdy Ayae Nana: Bagaimana bisa membela kalau tidak ada rasa mencintai, terus mencintai alam itu bagaimana ustad. Maaf saya terlalu bodoh dan lemah ilmu dalam aplikatif syariat Islam.


Singgih Djoko Pitono: Ada yang mendefinisikan bahwa apa saja yang “isme-isme” itu wajib dipisah dari keterhubungannya dengan Islam, seperti nasionalisme. Alasannya karena mengandung ideologi tertentu didalamnya. Seperti misalnya kita dilarang memakai Tanda Salib dari kayu triplek yang kita gergaji sendiri, karena tanda salib itu sudah mutlak dimiliki oleh ideologi/keyakinan umat tertentu. Mohon pencerahan ustadz..

Abdy Ayae Nana: Kalau “isme” itu kebaikan apa juga dipisah dari Islam sedang Islam itu mengajarkan kebaikan, kalau dipisah berarti Islam itu Ideologi, doktrin, pemikiran manusia, padahal semua itu kan merujuk pada Islam. Mohon penjelasan, ustadz.

Singgih Djoko Pitono: Atau diringkas dalam 2 hal hasil karya manusia itu, yaitu :
  1. Hasil karya manusia yang didalamnya terkandung nilai-nilai keyakinan suatu kaum, agama, umat. Misal salib, gereja, kuil, nasionalisme, sekulerisme, dan lain-lain. Dan dikatakan bahwa haram mengadopsinya.
  2. Hasil karya manusia yang didalamnya tidak terkandung nilai-nalai keyakinan suatau kaum, ideologi, agama, umat tertentu. Misal, komputer, mobil, dan lain-lain. Dan dikatakan siapa saja boleh memakainya, mengadopsinya..
Mohon penejelasan ustadz, terima kasih..

Aep Fadhlurrahman: Cara Imam Ali mencintai....

Imam Ali (kw), “Cintailah Allah dan untuk mendapatkan cintaNya, cintai juga makhluk-makhluk ciptaanNya; engkau harus mencintai anak-anakmu dan juga orang lain selain dirimu. Aku mencintai dirimu demi cintaku kepada Allah”.


Sinar Agama: Terimakasih atas semua pertanyaan, koment dan simpatinya:

(1). Apapun di dunia ini, sekalipun halalnya bisa dikatakan dunia dan bisa juga dikatakan akhirat.

(2). Kalau kita mencintainya atau bahkan menyukainya saja, untuk dimensi keduniaannya, sekalipun anak dan apalagi uang dan lain-lainnya, dunia. Dan cinta dunia ini adalah pangkal kesalahan (al-hadits) atau permainan (ayat).

(3). Tapi kalau dunia itu disukai atau dicintai karena Allah, yakni bukan dari dimensi materinya sama sekali, seperti beli mobil untuk kemudahan kajian dan hatinya sama sekali tidak tertarik pada mobil, maka itu namanya akhirat. Dan cinta akhirat atau cinta Tuhan inilah yang dianjurkan oleh Islam.

(4). Jadi, cinta negara kalau karena materinya (apalagi tidak berhukum islam), maka sudah tentu ia permainan dan sia-sia (ayat), atau pangkal kesalahan (hadits). Karena itulah banyak orang yang merasa mencintai negara ini tapi merusaknya. Sebab dari semua itu karena mereka mencintai sisi atau dimensi permainannya dan sia-sianya itu. Tapi kalau mencintai negara ini karena Allah, dalam arti ingin menegakkan keadilah Ilahiah yang tidak tertarik sama sekali pada uangnya, jabatannya, partainya dan seterusnya, maka ini namnya cinta akhirat atau cinta Tuhan atau cinta karenaTuhan. Dan yang seperti ini yang dianjurkan Islam itu.

Abdy Ayae Nana: Itu syariat ustadz kita semua tahu, aqidah mencintai hanya Allah semata tiada yang lain, tapi yang saya kurang setuju bila mengagungkan negara/bangsa lain, ustadz sering memuji keberhasilan negara Iran, kita bangsa Indonesia mbok yao peduli dan mengapresiasi bangsa sendiri sebagai rasa Nasionalisme wujud aplikatif dari mencintai Allah, itu maksud saya.

Sinar Agama: Anda ini seperti orang yang tidak baca berita. Iran itu sudah 30 th mendirikan negara Islam. Jadi, wajib dicintai semua muslimin dimanapun berada. Karena sistemnya sudah memakai Islam. Jadi, ia harus dicintai dari sejak dimensi pertamanya. Hal ini tidak ada hubungannya dengan Indonesia. Kemajuan Iran itu, kalau tidak dibungkus Islam juga tidak akan ada artinya. Kalau Indonesia kita cintai dari dimensi keduanya, yaitu menangkis keburukan yang lebih banyak. Misalnya diserang negara lain, atau mau dikuasai komunis dan semacamnya, maka kita terpaksa memberla negara yang banyak koruptornya ini demi kemudharatan yang lebih besar itu. Anda cobalah memahami orang lain lebih halus, jangan dimaknai perkataan orang itu dengan diukur oleh ilmu dan keadaan antum. Pahamilah sesuai yang dimaksudkan pengatanya, lalu baru berkomentar.


Aep Fadhlurrahman: Maksudnya kita bisa meniru keberhasilan Iran dalam Revolusinya, karena kenyataannya kita dalam reformasi kita bisa dibilang gagal.

Abdy Ayae Nana: Maaf, kita tidak sependapat dalam memahami ini, Islam tidak sekaku itu dalam memandang sebuah Nasionalisme, 1 hal yang mungkin ustad lupa, kemaslahatan umat lebih utama didahulukan daripada mencegah kemudharatan. Coba ustad kilas balik masalah dasar fiqih ini. Maaf sekali lagi dengan perbedaan pemahaman ini.

Abdy Ayae Nana: @ Aep : Apa yang kita mau revolusi, selama bangsa ini memberi kebebasan beragama, memberikan fasilitas dalam beragama, ada ukhuwah antar umat beragama. Apa semua itu bukan cermin ajaran Islam daripada mendirikan negara berdasar syariat Islam, tolong dalam memahami Islam secara kaffah. Islam secara aqidah tidak bisa ditawar itu urusan individu dengan Tuhan pertanggung-jawaban dan secara sesama makhluk, ada hubungan dengan tuhan dan hubungan dengan makhluk.

Aep Fadhlurrahman: Saya sangat tidak memaksakan Negara Islam, dan memang tidak boleh dipaksakan. Revolusi perlu atau kalau masyarakat Indonesia tidak mampu untuk berevolusi lagi. Minimal reformasi ekonomi dan politik tapi dengan arah pembangunan yang jelas dan jauh dari liberalism seperti Revolusi Iran.

Sinar Agama: @ Abdy: Anda ini semakin jauh sekali. Anda bicara maslahat. Apakah kamu mengira ada yang lebih maslahat dari Islam? Ra’syih sekali. Jadi, kalau bagi anda ada hukum di dunia ini yang lebih maslahat dari Islam, silahkan anda ikuti, tapi kalau kami tidak akan pernah sama sekali, kecuali dari dimensi mengurangi mudharat yang lebih besar. Bagaimana mungkin ada jalan lebih maslahat dari jalan yang diberikan Tuhan? Memangnya jalan Tuhan yang diberikan kepada Nabi saww itu ketika masyarakat sudah memeluknya semuanya? Jadi, Nabi saww tetap menghormati pandangan orang lain dalam sosial, sekalipun beliau saww tetap mencintai dan mempromosikan tanpa paksaan apa yang diajarkan Tuhan kepada beliau saww. Karena itu, di awal-awal Islam, belum mampu memaksakan diri untuk mendongkel berhala-berhala yang ditempel di Ka’bah. Hal itu bukan karena suka, tapi karena ajarannya tidak ada pakasaan. Jadi, berhala-berhala itu akan didongkel setelah mayoritas umat menerima ajaran beliau saww. Dan ini juga sangat tidak bertentangan dengan demokrasi.


Abdy Ayae Nana: Kenapa malah diputar-putar? Saya kira ustad lama tidak muncul buat mengkaji makna nasionalisme tapi ternyata sama sekali tidak. Coba ustad buka kitab-kitab fiqihnya, kemaslahatan umat lebih utama di dahulukan dari mencegah mudharat, jadi Nasionalisme timbul tanpa harus menunggu mencegah kemudharatan ustad. Tapi demi kemaslahatan umat, seperti tolong menolong dalam musibah, ukhuwah beragama, mengamalkan ilmu dan sebagainya. Itu wujud Nasionalisme, apa itu bukan ajaran Islam?

Mohon, yang dewasa dalam beragama jadi memaknai agama secara luas bukan hitam putih, halal haram, dan seterusnya Islam secara kaffah.

Khommar Rudin dan 3 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar