Minggu, 27 September 2020

Thariqat Keshufian, Bukan dari Syi’ah




seri tanya jawab Gunawan Harianto dengan Sinar Agama
August 1, 2013 at 4:28am

Gunawan Harianto mengirim ke Sinar Agama: (20-3-2013) Salam wa rahmah ustadz sinar agama:

1) Apa hukumnya mengikuti dan mengamalkan thariqah yang marak di kalangan ahlussunnah nusantara seperti naqsyabandi, qadiriyyah dan sebagainya?

2) Ketika mengikuti tasawuf tersebut di awali dengan metode bay’at (sumpah) demi Allah untuk patuh pada guru mursyidnya dan ketika ikut terbukti bahwa ajaran guru tersebut misalnya jauh dari syariat, lantas apakah sumpah setia (bay‘at) tadi gugur dengan sendirinya ataukah dikenai hukum kaffarat?

3) Hampir jarangnya di dapati guru guru irfan yang bernafaskan syiah di nusantara, apakah boleh mempelajari hal hal tersebut melalui buku saja?

4) Bagaimana menyikapi berbagai fenomena batin yang sering di alami para pengamal sufistik tersebut? Seperti bertemu para ruhani dan sebagainya?

5) Lalu bagimana hukumnya orang yang mengamalkan semacam ilmu hikmah (hiriz) dengan tujuan tujuan duniawi seperti kelancaran rejeki atau bahkan menghancurkan lawan?

6) Bagaimana hukum membaca hiriz yang menyebutkan nama nama muwakkil ayat (khodimul asma)?

Syukron ustadz.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Thariqah itu bid’ah di Syi’ah hingga karenanya tidak boleh mengikutinya.

2- Saya yakin tetap kaffarah. Karena ada sumpah untuk melakukan sesuatu di mana hal ini tidak dibatasi dengan satu perbuatan saja. Kaffarah ini bukan menunjukkan kebenaran thariqat itu, tapi karena hal yang sudah disebut tersebut.

3- Belajar irfan itu tentu saja boleh lewat buku dan semacamnya, tapi kalau tidak paham, harus bertanya kepada yang mengerti dari orang yang berguru kepada guru-guru besar irfan.

4- Ketika Syi’ah sudah membid’ahkan aliran-aliran itu, maka urusan-urusan mereka, biarlah ditanggung mereka sendiri. Ketemu Nabi saww itu sangat bisa. Akan tetapi yang ditemui itu sama sekali tidak bisa dipastikan bahwa beliau saww adalah Nabi saww.

Karena syaithan bisa menampakkan diri dengan wajah bersinar dan mengatasnamakan Nabi saww. Karena yang demikian bisa dilakukan. Yang tidak bisa adalah menyerupai wajah Nabi saww. Karena itu, kita yang tidak pernah tahu wajah Nabi saww yang sebenarnya, maka tidak mungkin bisa mengatakan bahwa orang yang bercahaya itu adalah Nabi saww.

5- Hiriz yang diajarkan di Syi’ah, jelas tidak masalah. Dan, justru hiriz-hiriz itu untuk urusan dunia, seperti keselamatan, lancarnya rejeki, ...dan seterusnya..selain pahala sunnahnya. Saya sudah menulis tentang hubungan cincin ini dengan urusan manusia, silahkan merujuk ke catatan.

6- Kalau diajarkan di Syi’ah, maka hal itu bisa dipakai. Tapi kalau diajarkan di kitab yang memang  disyahkan oleh marja’nya. Begitu pula hiriz-hiriz di atas itu.

Wassalam.

Gunawan Harianto: Ustadz sinar agama : bisakah lebih di detailkan point pertama soal kebid’ahan tariqat tersebut? Apakah dalam syiah tidak dikenal konsep syariat tarikat hakikat dan makrifat?

Apakah buku buku mujarabat syiah seperti tuhfatur radhwiyyah bisa dijadikan rujukan untuk menyelesaikan hajat duniawi kita ustadz?

Oh iya ustadz, untuk point nomor 2 bagaimana cara membayar kaffaratnya?

Sinar Agama: Gunawan:

1- Saya sebenarnya sudah pernah atau mungkin sering membahas ini di catatan. Kalau di Syi’ah, tidak ada yang tidak tahu dan sudah menjadi pengetahuan yang mudah dan gamblang, bahwa keshufian itu bagian ajaran Sunni dan tidak ada di Syi’ah. Ayatullah Jawodi Omuli hf, dengan tegas mengatakan bahwa cara-cara mereka itu tidak diajarkan di Ahlulbait as dan merupakan bid’ah.

Di Syi’ah, jangankan ulama, orang awam biasa yang bahkan tidak pernah sekolahpun, tahu bahwa shufi itu kekhususan Sunni dan bukan ajaran Syi’ah.

Hanya sebagai tambahan untuk antum bahwa bagaimana mungkin kita bisa merujuk kepada para penghulu shufi dan para mursyidnya, sementara kita mendakwa diri sebagai pengikut para imam-imam makshum as???!!!!

2- Biasanya marja’ mendukung kitab-kitab doa yang umum sudah diterima, seperti Mafaatiihu al-Jinaan. Jadi, kitab-kitab seperti mujarrabat yang antum maksud itu, kalau tidak berupa ajaran aneh, seperti hanya doa-doa yang tanpa mempengaruhi orang lain dan seterusnya.., maka lakukan sebagai dzikir atau doa yang mutlak, yakni yang tidak diajarkan khusus dan hanya diatur secara umum dan mutlak, seperti baiknya berdoa, dzikir kepada Allah.

3- Membebaskan budak, atau memberi makan atau baju sepuluh orang miskin. Kalau tidak mampu, maka bisa puasa tiga hari. Ini kaffarah melanggar sumpah dengan nama Allah untuk melakukan sesuatu.

Gunawan Harianto: Ustadz S.A : untuk kaffaratnya ke tiga opsi tersebut merupakan pilihan yang bebas ditentukan langsung oleh saya sendiri atau ada ketentuan dan syarat berlakunya? Seperti bolehkah saya langsung ambil pilihan puasa 3 hari sebagai kaffarat sumpah tersebut? Dan jika saya juga masih ada hutang qadha puasa wajib apakah boleh saya dahulukan kaffarat sumpah saya terlebih dahulu atau mesti bayar qadha puasa wajib dahulu?

Sinar Agama: Gunawan:

1- Untuk membebaskan budak, karena sudah tidak ada lagi, maka keluar dari pilihan. Untuk pilihan ke dua dan ke tiga, yatu memberi makan atau baju pada 10 orang miskin, bisa dipilih. Tapi untuk pilihan ke empat, yakni puasa 3 hari, maka disyarati dengan tidak mampunya melakukan pilihan ke 2 dan ke 3 di atas itu.

2- Kalau masa qadhaa’ puasa yang tahun lalu (yakni bukan tahun-tahun yang sebelumnya) dan masih tersisa banyak waktu untuk melakukannya sebelum Ramadhan yang akan datang itu tiba, maka boleh saja memilih yang mana yang mau didahulukan. Tapi kalau waktu qadhaa’nya sudah mepet, maka wajib mendahulukan qadhaa’ puasanya. Karena qadhaa’ puasa tidak boleh melewati Ramadhan berikutnya sementara kaffarah melanggar sumpah tersebut, waktunya panjang dan tidak dibatasi.
Wassalam.

Gunawan Harianto: Ustadz @sinar agama : persoalan memberi baju untuk 10 orang miskin atau memberi makan pada mereka itu ada batasan atau syarat lainkah? Misalnya baju dan celana atau cukup baju saja, dan makanannya bebaskah seperti apa bisa hanya dengan membeli mie ayam atau makanan lengkap dengan lauk pauk yang beragam?

Sang Pencinta: Gunawan Harianto: saya pernah menanyakan dan melakukan kaffarah memberi makan ini, untuk 1 porsi makanan @6000 rupiah sudah mencukupi: nasi telor, tahu, tempe, sambel.

Gunawan Harianto: Mantab bro pecinta, terimakasih.

Sinar Agama: Ahsantum semuanya, bisa juga dengan menyalurkan ke marja’nya dengan memberi­
kan uang seukuran anggap 1 kg untuk hati-hatinya. Tapi sekali lagi, siapa yang mengirim uang ke
marja’ atau wakilnya, harus diberitahu untuk apa dan kalau kaffarah sumpah untuk berapa hari
walau, dengan keterangan pendek seperti: “Kaffarah sumpah 1 hari”. Atau “Kaffarah sumpah untuk
10 orang fakir.”.......dan seterusnya.

Gunawan Harianto: Ustadz sinar: isi dari bay’at atau sumpah tatkala belajar tersebut ada 3 point, jadi ada 3x sumpah dengan nama Allah akan mengamalkan - mematuhi - menyebarkan (jadi 3x sumpah).

Nah kalau kasusnya demikian apa kaffaratnya 10 nasi bungkus untuk orang miskin tersebut berlaku atas ke 3 sumpah tersebut ataukah hanya berlaku pada 1 sumpah, jadi kalau 3x bersumpah dihitung jadi 30 nasi bungkus untuk orang miskin?

Dan 10 makanan tersebut cukup sekali saja kah pemberiannya? Perlukah diberitahu pada si penerima bahwa makanan itu untuk tebusan atas sumpah kita atau tidak perlu?

Sinar Agama: Setiap satu sumpah yang dilanggar, kaffarahnya memberi 10 fakir miskin makan/baju. Kalau melanggar 3 kali sumpah, maka tinggal dikalikan 3 saja. Dan tidak wajib memberi tahu bahwa makanan itu (sampai kenyang) adalah kaffarah ini dan itu.ِ Wassalam.

Khommar Rudin : اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Armeen Nurzam and 26 others like this.

Tika Chi Sakuradandelion: Salam ustadz. Afwan. Jawaban ustadz ke Gunawan tentang tariqat,
ada tulisan “lihat selengkapnya”, afwan, jawabannya jadi tidak lengkap. afwan.

Abdul Rahman Riza: Salam Ustadz, maaf, saya kurang sependapat. Dalam buku “akhirnya kutemukan kebenaran” dalam kisah perjalanan sheikh tijani bertemu ayatollah Khoei kemudian kemudian bertemu Ayatollah Muhammad Baqir Shadr beliau menanyakan tentang masalah tariqat (backgorund sheikh tijani dari tunisia yang marak dengan tariqat). 

Ayatollah Muhammad Baqir Shadr tidak membid’ahkan thariqat tetapi memandang dari dua sisi positif dan negatif. Ayatollah Muhammad Baqir Shadr memandang thariqat positif dalam sisi mendekatkan diri
kepada Allah tetapi juga melihat dari sisi negatif tidak seimbang dari sisi sosial terutama hal politik dimana kalangan tariqat tidak peka menentang penguasa yang zalim. Afwan..

Abdul Rahman Riza: Dalam ushul agama, syiah memandang Sunni masih islam hanya saja dalam ushul mazhab perbedaan dari sisi wilayah. Bagaimana mungkin Sunni masih dicap islam sedangkan tariqat yang lebih dekat kepada syiah (mengakui tawassul dan tabarruk) dianggap sudah keluar dari islam?

Dari apa yang saya pelajari dari kalangan tariqat saya temukan nasab-nasab mursyid mereka masih bertemu dan menjadi murid imam-imam terakhir dari 12 ma’shumin. Jika kita pelajari anak-anak keturunan imam-imam terakhir seperti RIZVI (keturunan imam ridha as), TAQVI (keturunan imam jawad as), NAQVI (keturunan imam ali hadi as) semuanya berdomisili di Pakistan/India sebagai bukti yang jelas syiah dan keturunan imam-imam terakhir terpaksa lari jauh ke timur dari tekanan bani abbas. 

Demikian pula generasi awal mursyid-mursyid tariqat yang berguru kepada imam-imam terakhir terpaksa lari dan bertaqiyah dari luar berbaju mazhab ahlu sunnah sampai sekarang namun dari sisi ilmu ma’rfiat mereka masih berpandu kepada nahjul balaghah.

Haydar Syarif Al-Husayni: Salam..menarik sekiranya jika sekali-sekali membawa ‘kajian’ ulama klasik dan kontemporer dalam kitab rijal syiah.. bahkan MUNGKIN jika diteliti lebih dalam mengenai riwayat tentang “titik di bawah huruf ba” beredar dari kalangan shufi.. wassalam.

Gunawan Harianto: Ane nyimak lagi dah banyak agan sesepuh muncul.

Alam Di Keremangan: Salam ya ustadz, afwan, Karena qadhaa’ puasa tidak boleh melewati Ramadhan berikutnya.. Bagaimana jika qadha ramadhan tahun-tahun yang sudah terlewat beberapa tahun sehingga lupa berapa hari batal puasanya, lalu hukum qadhanya bagaimana ya ustadz? Syukran..

Abdul Rahman Riza: Sepatutnya dilakukan dialog yang konstruktif dengan kalangan tariqat daripada buru-buru melabelkan bid’ah. Kalangan tariqat belajar dari mursyid yang hidup mengajarkan mereka level-level dzikiri seperti ismudzat, lathaif dan nafi isbat. 

Kalangan tareqat jika membaca buku-buku tasawuf dari orang yang tidak belajar dari mursyid hidup katakanlah buku “tasawuf modern” karya buya hamka, maka mereka memandang buya hamka tidak tau apa-apa mengenai tasawuf tetapi jika diberikan kepada mereka buku hakikat dan rahasia shalat karya imam khomeini mereka tau bahwa imam khomeini sudah sampai level ma’rifat kepada Allah, dari tulisan imam khomeini mengenai tawajjuh, tuma’ninah, dzikr lidah qalbu mereka tau imam khomeini mengetahui apa yang ditulisnya.

Saya berikan suatu contoh yakni tariqat samaniyah. Dari sanad mursyidnya sampai kepada Daud Thayyi yang diklaim sebagai murid Imam Ali as, padahal Daud thayyi ini adalah generasi setelah abu hanifah. 

Seharusnya dilakukan dialog dengan kalangan tariqat tersebut, “Jika kalangan tariqat mendakwa seseorang itu harus belajar dari mursyid yang masih hidup lantas bagaimana Daud Thayyi’ belajar dari Imam Ali yang sudah wafat seabad sebelumnya?” 

Dari sinilah dilakukan langkah konstruktif agar kalangan tariqat kembali mengenal jati dirinya bahwa Daud Thayyi itu adalah murid Imam Ali Ar-Ridha as, dimulai dari langkah kecil membantu mereka merekonstruksi nasab mursyid-mursyidnya ada missing link dari Daud Thayyi kepada Imam Ali as yakni dari imam ke-8 sampai ke imam-1 (imam ali). 

Langkah konstruktif selanjutnya adalah mengundang ayatollah ahli irfan datang ke Indonesia berdiskusi dengan para mursyid-mursyid tareqat tersebut. Shalawat..!!

Zaenal Abidin: Konsep iluminasi cahaya (the man of light) yang diajarkan Sohrawardi al maqtul (Iran) adalah salah satu masterpiece dalam ilmu sufi, lho tadz?

Halim Gani Safia: Jika mengikuti “pattern” pemikiran kaum ulama masa kini di Iran, emang kecenderungannya lebih tektualis karena persoalan sosial yang butuh tindakan praktis sehingga tasawuf dinafikan.

Tapi saya mula mengenal tasawuf yang sesuai diajarkan oleh guru saya malah dari buku Imam Khomaini. Piye iki :v

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua jempol dan komentarnya.

Sinar Agama: Chi: Ia benar, terimakasih pemberitahuannya dan saya sudah membenahinya, alhamdulillah. Semoga menjadi tambahan info bagi komentator-komentator catatan ini, amin.

Sinar Agama: A.R.R:

1- Antum ini ada ra’syihnya. Ketika Khui ra Syahid Shadr ra ditanya tentang shufi oleh orang Sunni, dan keduanya menjawab dengan jawaban tertentu yang diplomatik, maka mengapa antum lebih mengambil jawaban kepada tamu tersebut, kok nggak mengambil apa-apa yang diyakini dan dilakukan kedua penjawab itu? 

Ketika kedua ayatullah itu tidak mengimani dan tidak mengamalkan thariqat kesufian ini, maka itu yang lebih kuat untuk diambil. Karena iman dan amal mereka itu jaminan bagi keduanya, bukan jawaban kepada tamu Sunni yang mendatanginya.

2- Kera’syihan yang lain dari antum adalah mencampur aduk antara keyakinan dan fikih Syi’ah dengan fikih Sunni dan, menghubungkan fikih Syi’ah ke keislaman Sunni yang tidak ada hubungannya sama sekali.

Ketika Syi’ah mengatakan bahwa thariqat itu bid’ah dan haram diikuti, bukan berarti orang Sunni yang melakukannya telah melakukan keharaman dan apalagi telah keluar dari Islam. Ini apa hubungannya?

Mas, sunnni Islam dan muslim dan mukmin. Tapi bukan berarti orang Syi’ah boleh mengamalkan sebagian yang mereka amalkan seperti tarawih atau thariqa keshufian ini.

Antum tidak sepaham itu masalah lain dan hak antum. Akan tetapi antum tidak berhak mengatakan kami telah buru-buru mengatakan hal itu. Karena kami puluhan tahun belajar di hauzah Syi’ah dan tahu dengan yakin di kalangan Syi’ah dan ulama bahwa thariqat keshufian itu adalah bid’ah. Saya pada catatan pertama jawaban saya kepada Gunawan itu tidak lengkap (karena masih ada tulisan “lihat selengkapnya...”). Dan saya sudah melengkapinya maka silahkan merujuknya.

Jangan dikira kami tidak tahu bahwa sumber dari segala keshufian itu semuanya bermuara kepada imam-imam makshum as, terutama imam Ali bin Abi Thalib as. Tapi itu merupakan aliran sempalan yang diakibatkan tidak meyakini keimamahan mereka as dan tidak mengambil seluruh pelajarannya dari mereka para makshum as itu.

3- Untuk kesamaan istilah itu masalah lain. Bukan yang terus sama istilahnya itu berarti sama ajarannya. Karena itulah Mulla Shadra menjuluki para sok shufi itu, yakni yang tidak memahami makrifat dengan benar itu, yakni yang biasanya lari dengan cara-cara thariqat-thariqat shufiah itu, sebagai mutashawwifah. Yakni Sok Shufi atau Berlagak Shufi.

Emangnya perbedaan yang ada di kalangan muslimin itu seperti dengan agama lain hingga semua istilah dan keilmuannya asing sama sekali? Tidak demikian. Karena semua ilmu Islam itu, bersumber dari ayat dan riwayat dan bahkan kata-kata para salaf yang shalih (bukan salaf yang dimaksud wahabi). seperti para shahabat terutama imam Ali as sebagai sumber ilmu Nabi saww dan rujukan semua para shufi, baik langsung atau tidak langsung.

Jadi, sudah pasti banyak istilah yang sama dan, bahkan lebih banyak samanya ketimbang bedanya. Akan tetapi, dalam pemaknaannya dan konsekuensi yang diambilnya, maka masing-masing madzhab memiliki jalannya sendiri-sendiri.

Jadi, semua Syi’ah, baik awam atau mujtahidnya, baik ahli fikih atau ahli irfan dan makrifatnya, sepakat tanpa ada kecuali, bahwa thariqat shufiah itu adalah bukan ajaran Ahlulbiat yang makshum as dan, sebagian ulamanya jelas-jelas mengatakan sebagai bid’ah seperti ayatullah Jawodi Omuli hf itu.

Tapi kesepakatan terhadap bid’ahnya di madzhab Ahlulbait as ini, bukan berarti mereka para pencetus dan pelaku thariqat shufiah itu bukan Islam. Justru sebaliknya, dikatakan sebagai Islam. Tapi Islam Sunni, dan bukan Islam Syi’ah yang mengambil dari Ahlulbait as secara menyeluruh. Dan tidak ada yang tahu di Syi’ah, bahwa ujung-ujung dari thariqat-thariqat shufiah itu, bersumber dari para imam-imam suci Ahlulbait as. 

Tapi sekali lagi, hanya satu dimensinya saja dan, sudah dimaknai secara tidak benar serta tidak lengkap dan diaplikasikan secara salah pula. Wassalam.

Sinar Agama: Zaenal: Semoga penjelasan-penjelasanku di atas ini, dapat memeberikan jawaban pada antum. Untung kita tidak dialog dengan orang Budha. Kalau nggak maka syuhrowardi akan dikatakan budha atau hindu, karena prinsip cahayanya itu sama dengan di agama budha atau hindu. 

Intinya, tidaklah kesamaan itu pertanda sama seratuspersen secara esensi, dan sama maksud dan sama tujuan. Istilah dan sebagian esensinya boleh sama, tapi bisa sangat beda secara hakikatnya. Atau esensinya sama 100% tapi beda asal dan beda tujuannya.

Manusia selama hidup ini, tidak gila. Sekalipun agama-agama yang kita katakan kafir itu, bukan orang-orang gila. Mereka memiliki pemikir dan keimanan dan kepercayaan dan ekperiment hidup lahir batin. 

Karena itu, maka jangan heran kalau banyak sekali pandangan antar agama dan apalagi madzhab, yang saling sama dan bersentuhan. Tapi semua itu, bukan berarti semuanya telah menjadi satu agama atau satu madzhab. 

Nah, bagi yang belum didatangi Islam yang hakiki dan jelas, maka mereka bisa diampuni. Kenapa diampuni? Karena mereka telah berusaha. Beda dengan orang kafir yang jahat. Maka mereka sekalipun jauh dari agama Islam dan tidak pernah mendengar nama agama Islam sekalipun, akan tetap diadzab. Hal itu, karena mereka itu jahat dan kejahatan ini, dapat diketahui semua orang
sekalipun di hutan, bahwa kejahatan itu tidak baik.

Jadi, usaha-usaha para pemikir dan para pengelola batin, dalam ribuan tahun ini, telah banyak menguak hakikat. Tapi bagi Islam dan Ahlulbait, semua yang terkuak itu tidak murni dan kalau murni, tidak lengkap. Karena itulah, bagi orang Syi’ah, haram mengikuti thariqat keshufian.

Sinar Agama: Halim: Antum harus ngerti thariqat shufi itu. Bukan sembarang yang mengurai makna-makna adalah shufi. Iran sekarang bisa dikatakan justru semakin lebih bermakna dari sebelum-sebelumnya dalam arti semua orang semakin banyak yang ikut makna-makna ini dari sebelum revolusi. 

Bayangin, tadarus di salah satu masjid di Qom saja, yaitu haram Makshumah ra, diikuti 12.000 peserta. Rahbar hf mencangkan 20.000.000 hafizh Qur'an. Antum kalau ke Iran, akan kebingungan bagaimana mereka menangis dalam perayaan doa-doa mingguan seperti doa Kumail dan doa-doa tahunan seperti lailatulqadr.

Buku irfan dan makrifat bukan tambah sedikit, tapi semakin banyak. Di hauzah sudah lama ditaruh/dibuat jurusan filsafat-irfan.

Karena itu, jangan sesekali menatap bahwa buku imam Khumaini ra itu adalah kitab thariqat shufiah. Thariqat shufiah itu tidak ada apa-apanya kalau dibanding dengan apa yang beliau ra tahu dan yang beliau tulis (asal paham tulisan beliau ra). 

Beliau ra juga pernah menulis syarahan doa sahar yang dibaca di sahar bulan Ramadhan, Beliau ra menulis umur 23 tahun, tapi tidak bisa dipahami dengan baik, kalau kita belum mempelajari filsafat dengan baik.

Ulama-ulama kita itu belajar sejak kecil dan di usia muda sudah banyak yang mujtahid. Karena itu, jangan bandingkan kitab-kitab mereka dengan kitab thariqat shufiah. Memang kitab-kitab shufiah itu tidak rendah. Tapi dalam pandangan madzhab Ahlulbait, penuh dengan kekurangan dan, kesalahan maksud serta aplikasinya.

Karena itulah di Iran dan di mana saja orang Syi’ah berada di dunia ini, untuk hal-hal yang maknawi  dan makrifat keTuhanan dan pensucian diri itu, SAMA SEKALI TIDAK MEMAKAI ISTILAH SHUFI ATAU APALAGI THARIQAT, tapi biasa memilih istilah IRFAN, ALAM MAKNA, MAKNAWIAH, MALAKUT dan seterusnya.

SAYA JUGA SUDAH PERNAH MENULIS BAHWA DI SYI’AH JUGA ADA ISTILAH SYARIAT, THARIQAT DAN HAKIKAT ITU, TAPI MAKNA DAN MAKSUDNYA BEDA DENGAN YANG DIIMANI DAN DIAJARKAN SERTA YANG DIAMALKAN PARA SHUFI ITU (silahkan merujuk ke sana atau mintalah ke akun Sang Pencinta). 

TAPI KARENA MUNGKIN TAKUT CAMPUR BAUR DENGAN THARIQAT SHUFIAH ITU, SAMA SEKALI ISTILAH ITU TIDAK PERNAH DIPAKAI DAN HANYA MENYAMPAIKAN DAN MENGAJARKAN MAKSUDNYA YANG, SUDAH TENTU DIKEMAS DALAM PERISTILAHAN IRFAN ATAU MAKRIFAT ITU.

Sinar Agama: Alam, qadhaa’nya tetap. Tapi karena sudah melewati bulan Ramadhan berikutnya, maka di samping tetap qadhaa’ itu, juga untuk satu harinya dikenai denda 8 ons yang diberikan ke fakir/miskin.

Haydar Syarif Al-Husayni: Belum bisa baca komen semua, pakai hp..yang jelas kalau tidak salah
baca ma’sumin as ada yang mengecam shufi..

Abdul Rahman Riza: Ustadz, jika antum mengklaim penjelasan Ayatollah Muhammad Baqir Shadr kepada Sheikh Tijani (yang mana buku akhirnya ketemukan kebenaran adalah konsumsi public) merupakan “diplomatic answer”, kenapa penjelasan nota ini yang merupakan konsumsi public tidak simpatik jika dibaca kalangan-kalangan tariqat?

Pembiasan tradisi yang menjadi bid’ah pada zaman keghaiban imam zaman afs wajar terjadi tetapi perlu diingat terjadi juga pada zaman imam ma‘sum as masih hidup. Sebagai contoh paling gamblang adalah pelajaran sejarah yang kita pelajari di sekolah umum bahwa raja pertama di syiah peurlak adalah cucu imam shadiq yakni Ali bin Muhammad bin Ja’far as-shadiq tahun 820 M jauh sebelum Sayid Ahmad bin Isa Al-Muhajr berhijrah dari Basrah ke Hadramaut tahun 890 M (syiah sudah bertapak di nusantara jauh sebelum generasi wali songo). 

Menurut buku sejarah di sekolah kerajaan syiah peurlak berjalan sampai beberapa generasi sebelum kaum Sunni datang ke nusantara. Karena raja-raja syiah peurlak bukanlah imam ma’shum sangat boleh terjadi pembiasan ajaran hukum ahkam dari raja-raja syiah peurlak generasi awal yang diamalkan rakyat
syiah peurlak setempat.

Pada saat itu tidak ada internet untuk minta email istifta kepada Imam Ridha AS yang merupakan sepupu langsung raja peurlak pertama demikian pula generasi-generasi selanjutnya di peurlak melakukan amalan-amalan yang diajarkan sang raja padahal otoritas agama (imam ma’shum) berdomisili di timur tengah. Apakah ustadz selama berpuluh-puluh tahun belajar di Qom pernah membaca riwayat Imam Ridha As, Imam Jawad AS atau Imam Hadi AS menulis surat jawaban fatwa ke masyarakat Aceh pada saat itu?

Jika masyarakat Aceh ada melenceng dari hukum ahkam sebab raja mereka meskipun syiah tetapi tidak ma’shum apakah fair mengklaim masyarakan syiah aceh peurlak saat itu adalah ahlu bidah yang berkonsekuensi ahli neraka?

Sebenarnya kalangan tareqat ini relatif mudah ditrigger untuk berwilayah daripada Sunni keba­nyakan. Sebagai contoh tradisi tareqat untuk menjaga adab kepada mursyid, sepatutnya dilakukan dialog konstruktif kepada mursyid-mursyid tareqat, “Jika pak mursyid menghendaki murid-murid patuh dan menjaga adab kenapa antum masih toleransi kepada sekumpulan shahabat yang kurang ajar kepada Sang Maha Guru (tragedi hari kamis)”. 

Kalangan tareqat mengimani bala dan kualat jika kurang ajar kepada mursyidnya dan sangat mudah bagi mereka untuk bertabarra kepada manusia-manusia yang kurang ajar kepada Sang Maha Guru (Rasulullah SAWW).

Afwan Ustadz.. menurut saya potensi dialog kepada kalangan tareqat lebih besar manfaatnya daripada secara publik membidahkan yang membuat mereka malah antipati.

Sinar Agama: Abdul: Waduh antum kok semakin membiaskan keruwetan bahasan dan mencampur
adukkan berbagai masalah?

1- Pertama antum mencampurkan urusan bid’ah ini dengan kemusliman Sunni yang mana hal ini jelas-jelas tidak ada hubungannya dan sudah dijawab di atas.

2- Lah, sekarang menghubungkan thariqat dengan para pendahulu yang datang ke Perlak. Lah ini kan campur aduk tidak karu-karuan? 

Hal itu karena:

a- Yang datang ke Aceh dengan sekitar 60 perahu itu, adalah orang-orang Syi’ah yang lari dari Baghdad-Iraq dan Ishfahan-Iran. Mereka terdiri dari para ulama dan pedagang.

b- Mereka lari dari penindasan kerajaan Bani Abbas, kalau mengikut yang berkata bahwa mereka itu sampai ke Perlak di pertengahan abad ke 2, yakni tahun 173 Hijriah. Tapi kalau mengikut sejarah yang lain, yakni pada akhir abad pertama (sekitar tahun 80 Hijriah), maka mereka lari dari penindasan kerjaan Bani Umayyah.

c- Setelah mereka sampai di Perlak (diringankan tulisannya dari Perlak) mereka berhasil berdakwah dengan baik hingga di abad ke 3 Hijriah sudah dapat mendirikan kerajaan Islam Syi’ah.

d- Karena mereka-mereka itu terdiri dari para ulama juga di samping para pedagang dan saudagar, maka sudah tentu fikihnya akan mengikuti fatwa ulama-ulama tersebut. Hal ini, sangat tidak ada masalah sedikitpun hingga perlu internetan kepada makshumin as.

e- Antum harus tahu ajaran Syi’ah, bahwa taqlid kepada ulama itu sejak jaman Nabi saww. Karena tidak semua orang hidup dalam satu kota dan bertetangga dengan Nabi saww dan para imam makshum as. 

Juga, jangan dikira fikih taqlid itu hanya setelah ghaibnya imam Mahdi as. Karena ghaibnya imam Mahdi as, sama sekali tidak beda dengan orang yang ada di jaman makshumin as, tapi tinggalnya di kota lain yang perlu dengan menempuh perjalanan berhari-hari naik onta. Emangnya mau sms-an dengan makshumin kalau ada berbagai pertanyaan?? Nah, para Syi’ah yang jauh dari imam makshum as itu, merujuk kepada ulama-ulama yang shalih.

f- Poin e yang tidak antum pahami itulah yang terus membuat jalan pintas bahwa kalau bukan makshumin as maka harus thariqat. Ini apa hubungannya dengan bahasan kita?

Jadi, jawabannya, kalau tidak ada makshumin as maka merujuk ke ulama dan, di beberapa puluh perahu itu, sudah dikatakan dalam sejarah Indonesia, bahwa mereka terdiri dari ulama dan pedagang.

g- Nah, sebagaimana punahnya ajaran Syi’ah di Perlak itu, maka punah pula kedisiplinan fikih ini dan, yang tersisa beberapa halnya saja, seperti kuburan, seperti perayaan ‘asyura, seperti pukul dada imam Husain as yang sudah jadi nyanyian bahagia budaya Aceh itu, seperti juga penisbahan atau penghubungan thariqat-thariqat itu.

h- Jadi, thariqat-thariqat yang ada di Aceh itu, yang dinisbahkan dan dihubungkan dengan para pendahulu itu, ada dua kemungkinan:

h-1- Sisa-sisa ajaran makrifah Syi’ah yang sudah terlepas dari baju akidah Syi’ah dan fikih Syi’ah. Jadi, sudah merupakan ajaran mandiri yang diambil dari secuil ajaran Syi’ah tersebut.

h-2- Dari ajaran Sunni setelah mereka berhasil menggulingkan kerajaan Syi’ah di Perlak itu.

3- Sekali lagi, thariqat shufi ini di Syi’ah adalah ajaran bid’ah dan menyesatkan. Tapi itu bagi Syi’ah. Dan orang-orang Sunni yang melakukannya, maka mereka tetap dihukumi muslim dan beriman. Hal ini tidak ada hubungannya sama sekali. Jadi, kalau jawaban diplomatik itu diberikan, maka bukan untuk melecehkan tapi untuk menghormati tamu yang datang dengan akidahnya sendiri. 

Coba ada Syi’ah yang bertanya kepada kedua marja’ itu dengan pertanyaan “Bolehkan saya mengikuti thariqat keshufian?”, maka sudah pasti jawabannya akan lain, seperti “tidak boleh”, atau “bid’ah”, atau “sesat” atau “bukan ajaran Ahlulbait as”.

4- Di Syi’ah, ada ulama arif besar yang bernama ‘Alaamah Majlisi ra. Tapi bukan pengarang Bihaaru al-Anwaar, melainkan ayahnya yang juga biasa dijuluki dengan Al-Majlisi Ayah ra. Beliau ra terkenal dengan irfan dan suluknya dan dalam masa ghaib ini, berkali-kali bertemu imam Mahdi as dan bermukasyafah dengan para imam makshum as yang sudah syahid berabad-abad tahun yang lalu. Karena beliau ra hidup di abad ke 11 Hijriah. 

Beliau dengan tegas mengatakan bahwa ajaran dan cara-cara thariqat shufiah itu, bukan ajaran dari Ahlulbait as (ini saya dengar langsung dari ulama arif besar masa kini, yaitu ayatullah Jawodi hf). Kalau
ayatullah Jawodi hf jelas mengatakan bid’ah.

5- Perlu diketahui bahwa di hauzah-hauzah, shufi-shufi itu sering menjadi percontohan. Yakni percontohan yang tidak benar dalam memahami Islam. Dan selalunya, kalau seorang guru sudah menyebut shufi, maka murid-murid sudah mulai senyum-senyum. 

Ingat, ketidakbenarannnya itu bukan karena mengajarkan dzikrullah dan tazkiah nafas, tapi keimanan dan cara-cara yang dipakai itulah yang tidak benar. Orang Syi’ah bukan orang gila hingga mengatakan bahwa yang membaca dzikir “laa ilaaha illallaah” itu sesat. Tapi ketika dzikir itu dipercayai dengan salah, dipahami dengan salah dan diamalkan dengan cara-cara bid’ah yang pakai goyang kanan dan
kiri misalnya, maka sudah tentu para murid-murid hauzah itu pada tertawa atau setidaknya menahan tawa dan geleng-geleng kepala.

6- Saya sudah terlalu banyak menerangkan di fb ini, bahwa Tuhan itu tidak bisa dicapai dengan thariqat shufiah itu. Tapi hanya dengan irfan yang diajarkan secara utuh oleh Nabi saww dan para makshumin as.

7- Saling simpati itu, bukan harus saling mendukung keimanan. Jadi, kedua marja’ yang sudah menjawab dengan diplomatik itu, sudah melakukan tugasnya dengan baik dalam menghormati orang lain. Persatuan dan saling hormat itu bukan harus saling membenarkan.

Karena itulah, maka ayatullah Bagir Shadr as itu mengatakan bahwa shufi itu ada baiknya. Itu maksudnya bahwa ada tidak baiknya. Dan baiknya ya....seperti dzikir-dzikirnya itu sendiri. Tapi pahamannya, kepercayaannya dan cara-caranya, maka itu hal lain yang, tidak perlu dikatakan sudah dapat dipahami oleh pelajar agama.

8- Cerita percontohan dari salah satu kesalahan shufi berikut ini, sering didengarkan di mimbar-mimbar umum agama atau kelas-kelas agama/hauzah, yaitu (+/-):

Suatu hari ada seorang darwis (salah satu sebutan shufi) yang mencari mursyid. Ia mendengar bahwa di suatu kota, ada orang arif besar dan terkenal. Iapun datang ke kota itu dengan mengarungi padang pasir yang panas berhari-hari atau berminggu-minggu. Setelah sampai di kota tersebut, iapun tidak menunda untuk menanyakan hal arif yang pernah didengarnya itu dan juga tidak lupa menanyakan alamatnya.

Akhirnya, iapun semakin mantep karena memang di kota tersebut, sang arif juga dikenal dan disegani dari sisi ilmu dan makrifahnya. Pendek kata, ia sudah bahagia karena sudah menemukan mursyid yang layak dan pantas.

Iapun mendatangi alamat yang dikatakan masyarakat. Akan tetapi, betapa terkejutnya, ketika ia melihat rumah sang arif itu. Karena rumahnya nampak besar dan megah. Wah, kok rumahnya seperti ini, kata dia di hatinya. Bukankah arif itu harus meninggalkan dunia, masih kata hatinya. Dengan serba kebingungan, iapun memaksakan mengetuk pintu. Habis, sudah kadung datang, gumamnya.

Begitu rumah itu dibuka, iapun melihat seorang yang sudah bisa dikatakan tua dan iapun langsung bertanya. Apakah anda Fulan itu? Dijawab, benar. Yakni si Fulan yang dikenal arif itu? Tanyanya seperti tidak percaya. Sang arif inipun menjawab “yah...begitulah kata orang.”

Sang murid shufi ini sudah tidak tahan lagi. Langsung ia berceramah di depan pintu sang arif tadi dan berkata, “Wah tidak pantas antum menyandang titel arif ini kalau begitu?” 

Sang arif bertanya: “Mengapa?”, ia menjawab “Karena rumah anda besar dan mewah”. Sang arifpun
berkata, “Baiklah kalau begitu, masuk dulu. Antum datang dari jauh dan lelah.”

Setelah masuk dan minum dan memakan jamuan yang dihidangkan, sang arif bertanya kepadanya, “Menurut antum, saya ini harus bagaimana?” Sang shufi menjawab, “Ya....harus meninggalkan semua kenikmatan dunia ini.” 

Sang arif bertanya, “Bagaimana caranya?”. Ia menjawab “Kita pergi ke gunung dan menyepi di sana.” (Sebelum diteruskan, ketika saya menyebutkan salah satu kesalahan shufi ini, adalah uzlahnya ini, yakni meninggalkan dunia dan pergi menyepi. Tapi selain ini, masih banyak percontohan-percontohan yang salah dari ajaran shufi yang dipaparkan oleh para guru di hauzah selain di masalah ini, yaitu seperti di masalah-masalah makrifat dan semacamnya)

“Baiklah, ayo kita pergi”, kata sang arif. Akhirnya keduanya pergi meninggalkan rumah itu menuju penyepian di gurun pasir. Akan tetapi, di tengah jalan, sang shufi berkata “Oh temanku, sepertinya kita harus kembali dulu nih ke rumah antum.” 

Sang arif bertanya “Mengapa harus kembali?”. Sang shufi berkata “Karena aku ketinggalan tasbih di rumahmu.”

Sang arif berkata “Hah....kamu mengajakku meninggalkan rumahku yang mahal, akupun meninggalknnya, dan sekarang kamu mengajakku kembali hanya karena sebuah tasbih yang
teramat murah itu?”

Sang shufi baru terhentak dan seperti menyadari kesalahannya. Karena itu sang arif melanjutkan: “Ketahuilah bahwa cinta dunia itu bukan memiliki dunia, tapi menyukainya. Aku walaupun memiliki rumah sebesar itu, tidak menyukainya. 

Karena itu, ketika kamu mengajakku pergi meninggalkannya, maka aku pergi meninggalkannya tanpa rasa sayang sedikitpun. Jadi, sekalipun aku kaya, aku tidak menyintai dan tidak menyukai kekayaanku. 

Sementara kamu yang miskin ini, bukan tidak cinta dunia, tapi karena tadi memilikinya. Karena itu, tasbih yang murahan itu saja, kamu menyukainya dan mengajakku kembali karenanya. Nah, aku tidak
cinta dunia walau memilikinya, tapi kamu cinta dunia sekalipun kamu tidak memilikinya.”

Catatan:

Saya tidak mau debat di contoh. Karena tujuannya hanya memberi kabar bahwa di hauzah (pesantren Syi’ah) sejak turun temurun dari abad-abad tahun yang lalu, yang namanya shufi itu jadi percontohan bagi yang salah. 

Kalau dalam ilmu kalam, contoh-contoh salahnya dari Mu’tazailah dan Asy’ariyyah, kalau masalah fikih contoh-contoh salahnya mengambil dari 4 madzhab Sunni, kalau masalah terorisme mengambil dari wahabi (karena Sunni mengharamkan terorisme seperti Syi’ah), kalau filsafat mengambil filsafat barat seperti marxisme dan kapitalisme, kalau hadits-hadits mengambil dari shahih yang 6 Sunni dan lain-lainnya, kalau dalam masalah makrifah dan akhlak serta pensucian diri, maka contoh-contoh salahnya diambil dari para thariqat shufi ini.

Sekali lagi dari yang sudah berkali-kali dikatakan, bahwa tidak ada hubungannya antara penyesatan dan pembid’ahan di Syi’ah dengan ketidakIslaman golongan lain. Karena yang dimaksudkan dengan sesat dan bid’ah itu, hanya bagi Syi’ah dan bukan bagi madzhab lain. 

Sementara yang lain, kalau ia membaca syahadat, shalat, puasa dan semacamnya, maka jelas tetap dihukumi muslim dan wajib dijaga hak-haknya. Karena itu haram menindas mereka, halal kawin dengan mereka.... dan seterusnya. Tidak seperti wahabi yang sekali bilang bid’ah, langsung diwajibkan neraka. Yang sekali bilang musrik dan kafir, maka dihalalkan darahnya.

Karena itu di Syi’ah, jangankan orang muslim yang bermadzhab lain, yang kafir juga bisa masuk surga. Yaitu kalau ia belum didatangi Islam dengan jelas, dan ia tidak malas belajar seandainya Islam sudah mudah terjangkau, atau ia masih dalam pembelajaran tapi keburu mati sebelum ada kejelasan bahwa agama Islam lebih baik dari agamanya sendiri, ia baik dalam agamanya itu dan bukan tergolong dalam golongan orang-orang jahat kepada sesama, ....dan seterusnya.

Tapi dalam ilmu, yang sesat harus dikatakan sesat, yang kafir tetap harus dikatakan kafir. Begitu pula yang bid’ah harus dikatakan bid’ah. Tapi semua itu, tidak mesti masuk neraka kalau pelakunya selain Syi’ah. 

Karena yang masuk neraka itu adalah kalau pelakunya orang Syi’ah dan/atau orang-orang penganut agama dan madzhab-madzhab itu kalau sudah tahu bahwa agamanya dan/atau madzhabnya dan/atau thariqahnya itu, memang tidak benar tapi masih juga tetap diikuti dan meninggalkan yang benar.

Tambahan sedikit:

Sebagaimana Syi’ah tidak tersinggung dengan disesatin Sunni dan ahli thariqat, dalam pelajaran-pelajaran mereka yang tidak disertai segala macam penekanan dan pelecehan kepada Syi’ah di depan Syi’ah, maka Sunni dan ahli thariqat juga, semestinya bisa memaklumi pendapat Syi’ah tentang diri dan ajarannya yang, sudah tentu di tempat-tempat yang berbeda akan berpendapat beda (kasarnya menyalahkan atau mebid’ahkan). 

Karena itu, tidak ada istilah “jawabannya tidak simpatik bagi shufi”. Karena kata-kata itu memiliki arti, bahwa yang simpatik itu adalah pembenaran di hal-hal yang berbeda sekalipun dan pada orang-orang dan golongan-golongan yang berbeda sekalipun. Lah, ini kan tidak logis dan tidak masyarakatis. Karena itu, yang salah ya harus dikatakan salah. Yang beda ya..harus saling beda dan tidak bisa melebur menjadi satu. Yang wajib dikerjakan adalah saling toleransi dan memberikan kebebasan kepada masing-masing pengikutnya dan saling menolong dalam hal-hal yang sama. Karena kesamaan itu, jauh lebih banyak dari perbedaannya. Wassalam.

Abdul Rahman Riza: Ustadz, mengenai sejarah Perlak dari sisi kurun waktu tidak dapat diperdebatkan sebab raja pertama Perlak itu sudah jelas namanya Ali bin Abdullah bin Jafar as-shadiq yakni sepupu imam ali ar-ridha, jika individunya sudah jelas bermakna kurun waktunya juga jelas.

Namun, poin saya bukan pada kerajaan Perlak tersebut tetapi ada suatu masyarakat syiah yang secara geografis terpisah jauh dari imam ma’shum pemegang otoritas mutlak (sebagai contoh masyarakat syiah Peurlak yang sezaman dengan imam-imam terakhir dari 12 ma‘sumin di timur tengah). 

Adakah raja-raja syiah Perlak generasi awal itu meskipun masih sepupu imam ma‘sum diiktiraf imam sebagai a’lam sebagaimana imam shadiq mengitiraf Abu Bashir sehingga orang ramai boleh merujuk kepadanya?

Sebelumnya saya sudah menjelaskan kabilah anak-anak imam terakhir (RIZVI, TAQVI, NAQVI) berdomisili di India dan Pakistan bukti historis mereka melarikan diri dari kekejaman Bani Abbas. Dari 2 point ini apalagi cuman sekedar murid-murid imam terakhir (yang tercatat sebagai nasab awal mursyid-mursyid tareqat) tentunya mengalami tekanan dan bertaqiyah sehingga sekarang pembelokan.

Banyak kalangan tariqat kecenderungannya mencintai ahlul-bayt namun jika belum apa-apa dikecam bid’ah tentu mereka mundur berkecil hati. Afwan, tidak ada salahnya mengundang ayatollah ahli irfan ke Indonesia berdiskusi dengan mereka, potensinya jauh lebih besar dari sekadar menyalahkan dan membuat potensi ini hilang sebab mereka sakit hati dibidahkan, lantas apa bedanya kita dengan wahabi yang sikit-sikit bilang bid’ah?,

Sinar Agama: Abdul:

1- Saudara-saudara imam as itu tidak harus a’lam dan alim. Mereka bisa menjadi raja dalam arti mengatur umat ini dalam kaidah hukum bermasyarakat asal alim atau kalau tidak alim, asal adil dan mendengar pendapat alim. Jadi, selain para makshum as, sudah tidak punya otoritas apa-apa terhadap umat ini. Kalau alim dan adil, siapapun dia, maka bisa menjadi rujukan umat Islam dalam hal-hal keagamaan, baik umat itu orang biasa atau raja, baik umat itu keluarga para imam sendiri atau siapapun saja.

2- Thariqat itu memang wajib mencintai Ahlulabait, tapi yang dimaksudkan adalah saadaat dan keturunan Nabi saww. Karena mereka tidak meyakini kemakshuman setelah Nabi saww. Beda dengan Ahlulbait di Syi’ah yang hanya memaknai kepada yang makshum, tentu dari sisi istilah yang khusus seperti yang termuat dalam QS:33:33 itu. Tapi kalau ahlulbait secara umum, maka siapa saja dari keluarga Nabi saww akan dikatakan Ahlulbait beliau saww. Tapi istilah yang bahasa ini jarang sekali dipakai. Jadi, kalau orang Syi’ah mengatakan Ahlulbait, maka yang dimaksudkan adalah yang makshum ini.

3- Sekalipun thariqat itu tidak mengkhususkan Ahlulabit as itu kepada yang makshum, akan tetapi yang diyakini makshum oleh Syi’ah ini, masih termasuk Ahlulbait menurut mereka dan wajib dicintai.

4- Karena itu, menarik diri dari cinta kepada mereka, akan merusak dasar-dasar thariqat mereka sendiri.

5- Lagi pula, menarik diri atau tidaknya dari cinta kepada imam makshum as, tergantung kepada orang dalam menghadapi berbagai masalahnya itu sendiri. Dan kalau tidak mampu untuk tidak menarik diri sekalipun, maka orang-orang Syi’ah tetap saja tidak mungkin hengkang dari ajaran para makshum itu walau, jelas sedih melihat orang yang tidak bisa memilah masalah hingga menarik diri dari cinta dan simpatik kepada para imam makshum as.

6- Ajaran Syi’ah itu jelas seperti matahari dan terbuka sejak dari jaman Nabi saww. Dasar-dasar imannya, fikihnya dan akhlaknya serta irfannya atau maknawiahnya, juga jelas tanpa tedeng aling-aling. Ribuan kitab yang telah ditulis sepanjang sejarahnya dari sejak jaman shahabat sampai sekarang. 

Karena itu, orang Syi’ah, hanya bisa memberi penghargaan dan penghormatan kepada madzhab-madzhab dan thariqat-thariqat yang lain dalam pendapatnya dan aturan hidupnya serta keimanan dan makrifatnya. Artinya, Syi’ah tidak akan pernah merubah ajarannya yang sangat jelas itu dan hanya bisa saling santun dan membebaskan serta saling menolong dengan golongan lainnya.

Tapi saling santun ini bukan saling membenarkan. Tapi hanya saling menghormati pendapat dan tidak saling memaksakan pendapatnya serta hidup rukun dalam tolong menolong sebagaimana layaknya kehidupan manusia berbudaya yang bukan barbarian.

Ahlulbait makshum as dan ajarannya, tidak pernah tidak jelas sekalipun mereka tidak diberi kesempatan memimpin umat ini dalam bentuk politisnya. Ajaran Syi’ah ini jelas menderang sejak sebelum tokoh shufi itu lahir ke dunia. Dan Syi’ah ini juga tetap jelas dan kokoh, sampai tokoh-tokoh shufi itu lahir dan mengajarkan keshufiannya. Syi’ah tidak pernah bergeming dari ajarannya yang gamblang itu. Karena itulah, yang terhitung tetangga Syi’ah itu, selain Sunni dalam artian fikih, juga Sunni dalam artian thariqat ini.

Terakhir:

Duhai indahnya kalau antum berdalil dengan Syaikh Tijani yang entah berapa tahun menjadi tetanggaku itu, sampai ke dalam kehidupannya setelah dialog dengan dua marja’ itu. Karena beliau hf setelah menjadi Syi’ah, sudah pasti meninggalkan semua thariqat-thariqatnya yang ia anut sebelumnya itu. Jadi, kalau kita bedalil dengan dua marja’ yang tidak mengimani dan mengamalkan thariqat itu, dan  ditambah dengan kehidupan Syaikh Tijani setelah itu, maka sudah pasti akan menghasilkan, bahwa thariqat shufiah, bukanlah ajaran Syi’ah dan bukan ajaran para imam makshum Ahlulbait as.

Tentu saja, karena kita bicara perbedaan dalam Islam, maka sudah pasti akan banyak kesamaannya dan tidak mustahil bersumber dari para imam makshum as itu sendiri. Tapi yang sudah tidak asli lagi. Karena barangkali tidak dipahami dengan benar atau tidak diamalkan dengan benar atau dipahami  dengan benar dan diamalkan dengan benar pula, akan tetapi hanya satu dimensi dari jutaan ajaran Ahlulbait as yang makshum itu.

Aku sebagai saudaramu, kalau antum akui, hanya bisa berdoa dan bisa menjawab sebisanya apa-apa yang barangkali antum ingin ketahui dari ajaran Syi’ah dan makrifatnya. Itupun, bukan berarti saya sudah mengetahui semuanya (walau sudah sekitar 30 tahun lebih, belajar agama Syi’ah yang bisa dikatakan bahwa saya tidak pernah mengerjakan hal lain selain belajar) dan, bukan berarti yang saya tahu ini sudah jaminan benarnya. 

Karena itu, maka dialog dan dalil, adalah jalan tunggal untuk mencari kebenaran setelah tidak bisa mencapai makshumin as. Memang, guru-guru saya adalah para ayatullah agung dan para arif agung, tapi siapalah saya hingga bisa menimba semua ilmu mereka itu.

Karena itu, kalau ada kesalahanku, maka semua itu hanya dan hanya dari diri saya dan bukan dari guru-guru saya dan, apalagi imam-imam saya dan madzhab saya (Syi’ah). Tapi sudah tentu, saya sebagai orang yang masih ada iman di hati (semoga begitu ya Allah), berusaha untuk tidak berkata kecuali yang kutahu dengan meyakinkan dan berdalil gamblang. Ya Allah, ampunilah kesalahan-kesalahanku yang tersisa dan dosa-dosaku yang tidak kuduga, amin.

Fadly Abbas: Tentunya kami lebih rendah lagi ustadz.. karena mampunya hanya bisa menimba
ilmu dari orang-orang seperti ustadz.

August 25 at 11:11am via mobile



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar