Rabu, 16 September 2020

Sifat Dzat Dan Sifat Perbuatan


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/272187939492676/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 7 November 2011 pukul 15:36


Adil Priyatama: Assalaam. Ustadz, mau tanya tentang :
  1. Apakah “Allah” itu pengertiannya sama dengan “Tuhan”? Dalam artian, cakupannya bisa lebih dari satu, sehingga untuk menyatakan ke-Esa-an Allah perlu kepada argumentasi?
  2. Bila Allah itu adalah bentuk lain dari Al-ilah, yang berarti “Yang Disembah” atau “Sesembahan”, bukankah itu berarti Allah adalah sifat perbuatan?
  3. Bukankah baru bisa dikatakan sebagai “Sesembahan” bila ada yang menyembah, seperti halnya Pencipta hanya bila ada yang dicipta?
Terimakasih sebelumnya.Wassalam.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya.

(1). Allah itu bahasa arab dan Tuhan itu bahasa Indonesia, dan God itu adalah bahasa inggris. Memang, lebih tepatnya Tuhan dan God itu sepadan dengan Ilaahun, bukan al-Ilaah yang kemudian menjadi Allah. Karena, Allah itu sudah menjadi Tuhan Yang Esa, yakni Satu Tuhan, tapi kalau Tuhan saja, bisa diartikan lebih dari satu. Akan tetapi, ke-Esa-an Tuhan ini, bisa dilihat dari qorinah baik pemakaiannya atau pemakainya. Kalau pemakaiannya di agama Islam atau pemakainya orang Islam, maka Tuhan disini dimaksudkan Allah itu, bukan Ilaahun yang umum. Atau ketika dipakai orang Islam T-nya memakai huruf besar.

Intinya, dari sisi maksud bisa saja Tuhan itu sama dengan Allah itu. Yakni yang satu bahasa Indonesia dan lainnya bahasa Arab. Tapi kalau diteliti dari akarnya, maka seperti yang dijelaskan di atas itu.

Akan tetapi, sekalipun maksudnya sama saja, dalam ibadah-ibadah yang telah diatur pemakaiannya memakai bahasa arab, maka kata Allah tidak boleh diganti dengan Tuhan. Seperti takbir dalam shalat yang tidak bisa diganti dengan Tuhan Akbar.

Tuhan itu artinya adalah segala-galanya, Tidak Terbatas, Maha Sempurna, Pencipta, Pengatur, ...dan seterusnya.

(2). Dengan penjelas di atas, maka dapat dipahami bahwa Tuhan memiliki makna Dzat dan Sifat sekaligus. Ketika maknanya Keberadaan Yang Maha Luas, atau Tidak Terbatas, Tidak Dicipta, Tidak Bermula, maka ia melukiskan Dzat Yang Tidak Terbatas itu. Karena itu semua sifat-sifat Qadim-Nya, mengikuti-Nya, seperti Tidak Berawal, Tidak Berakhir, Kuasa, Hidup, Maha Pandai, Ada Secara Mandiri.

Begitu pula, akan mengikuti-Nya sifat-sifat barunya yang harus dikembalikan kepada sifat Dzat- Nya sebagaimana yang sudah diurai di tempatnya. Yaitu di ilmu Kalam seperti catatan yang berjudul Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah, bagian pertama. Seperti sifat- Disembah, Pencipta, dan seterusnya.


Adil Priyatam: Imam Ali dalam khutbah pertama di buku nahjul balaghah mengatakan,”Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat tentang Dia ialah membenarkan- Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan”. Nah, bagaimana memadukan keterangan ini dengan teologi yang menyatakan Tuhan memiliki sifat tasybih, sifat tanzih, sifat dzat dan sifat perbuatan? Bukankah setiap sifat merupakan bukti bahwa sifat itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan? Adakah ini menjadi salah satu kemungkinan alasan/hikmah mengapa dalam bahasa Qur’an yang digunakan adalah term ‘asma’ atau ‘nama’, dan bukan ‘sifat’ (sehingga diistilahkan sebagai asma’ul husna, bukan shifatul husna)?

Adil Priyatama: Terimakaksih atas jawaban poin pertama dan kedua yang telah diungkapkan Ustadz Sinar Agama di atas, karena sudah memberikan saya pengertian yang lebih utuh mengenai masalah tersebut.


Sinar Agama:

(1). Nama atau Asma itu lebih luas dari Sifat, karena bisa juga Dzat. Jadi tidak ada bedanya antara Nama dan Sifat atau Dzat tersebut kecuali di hal itu.

(2). Sifat atau Asma Sifat itu dibagi dua, Sifat Dzat dan Sifat Perbuatan. Sifat Dzat adalah Qadim dan tidak terbatas, sedang Sifat Perbuatan sebaliknya.

(3). Ketika Sifat-sifat Dzat itu tidak terbatas, seperti IlmuNya, HidupNya, WujudNya, KuasaNya dan seterusnya, maka berarti sesama mereka dan begitu pula mereka dengan Asma Dzat, yaitu Allah, adalah sama saja. Karena kalau berbeda, maka masing-masingnya menjadi terbatas. Dan kalau terbatas, maka semua Asma itu, termasuk Adma Dzat, juga akan menjadi terbatas. Dan kalau terbatas, maka campuran Dzat dan Sifat Dzat itu juga akan menjadi terbatas. Dan kalau Tuhan terbatas, berarti memiliki awal dan akhir. Dan kalau memiliki awal, berarti sebelum awal itu, maka Allah dan seluruh Sifat DzatNya itu berarti tidak ada dan baru ada setelah awal itu. Dan kalau Allah dan seluruh Sifat Dzat-Nya itu pernah tidak ada dan menjadi ada, berarti ia makhluk dan bukan Khaliq.

(4). Karena itulah maka kesempurnaan ikhlash itu harus menafikan atau menolak SifatNya. Yaitu Sifat yang berlainan dengan DzatNya. Tapi kalau Sifat itu tidak berlainan dan tidak beda, maka Sifat itulah yang dimaksud di Qur'an dan tidak bisa serta tidak boleh ditolak. Sebab kalau ditolak, berarti Allah itu, Tidak Ada, Tidak Pandai, Tidak Kuasa, Tidak Hidup, dan seterusnya.

Jadi, Sifat yang ditolak itu adalah Sifat yang beda dengan Dzat-Nya.

(5). Dalil KESAMAAN DZAT DAN SIFAT DZAT itu, adalah ke-Tidak Terbatas-an Dzat dan Sifat-sifat Dzat tersebut. Nah, kalau Allah, Wujud-Nya, Ilmu-Nya, Hidup-Nya, Kuasa-Nya dan seterusnya sama-sama tidak terbatas, maka berarti mereka itu adalah HAKIKAT YANG SATU, bukan hakikat kesatuan, tapi benar-benar satu.

(6). Dengan penjelasan di atas itu, maka dapat diketahui bahwa perbedaan Allah dan Ilmu-Nya dan Kuasa-Nya dan Hidup-Nya dan Wujud-Nya ,. dan seterusnya dari Sifat-sifat DzatNya itu, hanyalah dalam pahaman kita saja, akan tetapi hakikat mereka itu benar-benar satu semata. Seperti mengatakan bahwa benda ini air, benda cair, untuk minum, untuk cuci baju dan seterusnya. Semua itu memilki perbedaan di pahaman kita, akan tetapi hakikat nyatanya adalah satu benda saja. Ini memang bukan penyamaan yang mutlak, tapi hanya sekedar mirip saja.

(7). Nah, yang dimaksudkan imam Ali as untuk menolak Sifat-sifatnya itu adalah Sifat yang diyakini beda dengan Dzat-Nya (walau menyatu) di hakikat nyatanya. Yakni bukan hanya beda di pahamannya saja.

(8). Sedang Sifat Perbuatan, seperti Pencipta, Pengampun ..dan seterusnya. Maka tidak bisa dikatakan sama dengan Dzat-Nya atau hakikat Dzat-Nya. Karena semua itu adalah baru dan bermula. Akan tetapi Sifat-sifat Perbuatan ini memiliki rumpun Sifat Dzat, seperti Kuasa. Memang Tuhan sebelum mencipta dan mengampuni tidak bisa dikatakan Pencipta dan Pengampun, akan tetapi Ia Kuasa untuk mencipta dan mengampuni. Nah, setelah Sifat Perbuatan itu kembali ke Sifat Dzat, baru disanalah disamakan dengan Dzat-Nya.

Untuk rinciannya lihat di ilmu Kalam seperti catatan yang berjudul Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah.

Wassalam.



Doeble Do, Safril Rasainy, Kariza Syahnimar dan 6 lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar