Kamis, 18 Juni 2020

Shalat Jum'at (sekelumit filsafat tentang esensi dan hikmah kewajibannya)


seri tanya jawab: Astamin Zayi dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/239468876097916/ by Sinar Agama (Notes) on Friday, August 26, 2011 at 1:41pm


Astamin Zayi: Mau nanya ustadz. Dalam alquran kita diseru untuk melakukan sholat jumat, kenapa hukum wajibnya hanya disaat adanya Imam Makshum. ? Begitu pula dengan sholat Ied.

Terimakasih.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Sebenarnya seruan shalat Jum'at itu juga tidak meliputi semua orang walau dalam kacamata Sunni. Karena perempuan, atau lelaki yang dalam musafir atau sakit, tidak terseru untuk shalat Jum'at.

Di Syi’ah, salah satu syaratnya adalah adanya imam makshum.

Rahasianya hanya Tuhan yang tahu dan para makshum as karena diberitahuNya, begitu juga murid-murid mereka yang diberitahu mereka.

Tapi kalau boleh merabanya, maka kemungkinan salah satunya adalah, kesamaan pesan dari pusat kepemimpinan.

Shalat Jum'at itu kan intinya adalah ibadah politik. Politik kebersamaan dan ketanggapan terhadap apa-apa yang menimpa kaum muslimin. Karena itulah, maka dianjurkan untuk mengisi ceramah khotbah itu dengan membahas apa-apa yang dihadapi kaum muslimin hari itu.

Dari sisi ini, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa dengan adanya imam makshum as, kita akan mengarah dalam satu arah dan keseragaman.

Misalnya, kalau di tengah-tengah kaum muslim sedang menghadapi satu petaka tertentu seperti penyakit atau bencana alam, maka semua kaum muslimin bisa difokuskan ke arah itu, hingga bisa dapat cepat teratasi.

Contoh yang paling nyata sekarang tentang urusan Israil ini. Mengapa sampai bisa negara yang mengaku modern yang berkumpul di persatuan bangsa-bangsa itu menerima suatu penjajahan dan mengesyahkan adanya negara asing dalam negara berdaulat?

Imam Khumaini ra berkata, kalau muslimin bersatu, maka cukup membawa air semangkok, israel sudah banjir. Karena semangkok kali semilyard muslimin, bisa membuat israel banjir. Aplagi bawa ketepel, apalagi bawa pistol, apalagi membawa F16, tank dan alat-alat tempur lainnya, maka sehari israel itu sudah kukut/lenyap dari dunia.

Mengapa barat selalu menekan Iran, dan membuat gaduh di Suriah dengan memasokkan teroris- terorisnya dimana dibantu oleh Saudi wahabi?

Jawabnya, karena israel sudah merasa terkurung. Kalau Mesir semakin jadi, begitu pula Yordan dan lain-lainnya, maka akan manambah terkepung israil dari berbagai arah. Karena selama ini belum merasa terdesak karena yang mengurung hanya suriah dan hizbullah. Tapi kalau mesir dan Yordan sudah jadi seperti iran setidaknya dalam menuntut keadilan, maka bisa dibayangkan bahwa israil akan kencing-kencing di celana di tengah pasar sekalipun.

Semua itu, terjadi tanpa adanya khutbah-khutbah Jum'at yang satu dan mendunia. Nah, ghimana kalau dalam satu kepemimpinan orang makshum dan searah? Maka jelas israil tidak akan berumur lebih dari satu menit saja.

Jutaan masjid yang ada di muka bumi ini sekarang, dan satu milyard lebih kaum muslimin sekarang, tidak menggigit sedikitpun. Karena mereka di samping memang tidak ada fokus yang sama, ditambah lagi dengan perpecahan yang sengaja dicipta oleh barat dan wahabi serta disantap kita-kita semua.

Coba satu arah, maka jangankan jutaan masjid, ribuan saja sudah akan membuat gigitan yang bermakna.

Demo yang dibuat imam Khumaini ra di hari Jum'at terakhir itu, kira-kiranya memiliki 2 dimensi:

  • a. Meneriakkan keadilan dan dukungan pada perjuagan Palestina serta mengecam israil dan PBB (dunia) yang mengesahkan penjajahan di siang bolong itu.
  • b. Persatuan muslimin dunia. Nah, dipilihnya hari Jum'at mungkin karena pada hari itu semua muslimin berkumpul di masjid. Karena itu, kalau setidaknya pada khothbah hari itu saja, di dunia ini menyuarakan Palestina, maka sudah lebih dari cukup. Apalagi kalau setiap saat. Dan dipilihnya Ramadhan, mungkin, karena ada semangat ruhaniah yang khusus di bulan itu, sekaligus supaya teringat derita Palestina. Kalau teman-teman sudah merasa serak dan menderita hanya dengan berteriak di demo karena berpuasa, apalagi mereka yang ada di Palestina, yang dengan lapar melempar batu dan dibalas peluru.

Kalau kita membayangkan itu semua, maka betapa tidak berartinya hidup kita dan Islam kita ini. Ratusan tahun jadi permainan barat. Dulu dengan penjajahan negara dalam arti bumi. Sekarang dengan penjajahan kedaulatan, seperti politik dan senjata serta ekonomi. Dimana sekarang ini dapat ditemui negara yang bebas dan merdeka seperti Iran? Yang bisa bicara bebas di dunia ini tanpa harus takut ekonominya ditekan, militernya ditekan, persenjataannya ditekan, tidak diberi gelar jendral, dibilangin teroris, dibilangin tidak menjaga hak asasi manusia,. dst.???????????!!!!!!!!

Antum lihat negara kita ini dan tanyakan. Adakah negara paling merdeka darinya? Adakah negara paling bermartabat darinya? Adakah negara lebih tahu dan menjaga hak-hak asasi manusia darinya? Adakah yang lebih modern dan berwawasan darinya? dst ????

Tentu saja jawabannya: "Tidak ada", bukan?

Tapi lihat kenyataannya. Ia adalah negara yang paling tak punya gigi dan wibawa di dunia. Musliminnya mayoritas, tapi maksiatnya, mungkin tidak beda dari barat atau lebih parah???

Semua itu dan semua itu, kunci dan rahasia serta sumbernya bisa dilihat di shalat Jum'at itu. Artinya, kalau shalat Jum'at itu benar-benar memikirkan umat manusia, dari sejak urusan maksiat pribadi sampai pada maksiat sosial, ekonomi, politik, kemiliteran, hak-hak asasi manusia. dst

lalu digodok dengan jujur dan terliti serta ilmiah, lalu ditangani dengan bijak (tanpa paksa) tapi terfokus dan seragam, dimana penggalangannya melalui khutbah-khutbah Jum'at itu, maka i-Allah, apapun problem kita, maka akan teratasi.

Tapi kalau sendiri, seorang ustadz hanya ingin menunjukkan ilmunya dalam khuthbah itu, atau mau menampilkan gayanya saja, atau ikhlash dan bermutu tapi kocar kacir tidak seragam dengan masjid-masjid lainnya, maka kita lihat hasilnya sekarang ini. Karena itu, kalau Indonesia yang terbanyak muslimnya, kalau nanti di akhirat ternyata satu barisan dengan orang-orang amerika, maka hal itu tidak aneh.

Sebenarnya, para penjajah itu sudah tahu, karena itu tekanan yang diisukan di dunia ini adalah ibadahnya. Shalat jum'at ini juga tidak lepas dari campur tangan mereka. Karena bagi mereka, kalau kita mau ibadah sampai jidat hitampun tidak masalah, asal tidak menuntut keadilan. Karena itu, mereka juga ikut mempromosikan semacam shalat jum'at ini tapi)dari sisi ibadahnya, bukan dari sisi esensinya yang sebenarnya dimana ia adalah ibadah politik. Karena itu, issu wajibnya shalat jum'at dan kafirnya bagi yang tidak pergi 3 kali (hal itu memang ada di hadits, tapi maksudnya kalau ada makshum seperti Nabi saww), dijadikan isu pemecah belah diantara kaum muslimin.

Wahabi paling senang dengan isu ini. Karena mereka, yang sudah punya hutang ribuan darah muslimin Sunni dari dulu sampai sekarang (hinngga bisa menjajah Makkah dan Madinah sampai sekarang), ingin dilupakan dosanya dan terlebih lagi mereka ingin sekali disebut ahlussunnah waljamaah. Padahal madzhab (seperti ahlussunnah) bagi mereka adalah bid'ah.

Wahabi ini, dengan goyangnya saudaranya, yakni israil, dia lebih merasa tegoyang dan sedih. Karena itu, pamor mereka yang sudah jatuh di negara arabpun (menyusul setelah jatuh di Iran), seperti Yaman, Bahrain, Mesir, ...dll-nya ini berusaha dinaikinya. Jadi, tidak heran kalau UI kita indonesia ini akan memberikan Doktor kehormatan bagi pemimpin wahabi yang menebar teror di muka bumi ini.

Bayangin, dari dulu orang Indonesia yang syafi'i kalau pergi haji dipentungi kepalanya kalau mencium Ka'bah atau kuburan atau mimbar Nabi saww. Dari dulu para kiyai diam saja. Tapi sampai kapan?

Sekarang muslim arab seperti Yaman, Bahrain, Mesir ...dst itu sudah tahu keyahudian wahabi ini. Dan para rakyat arab itu sudah mengutuk wahabi ini. Nah, apakah Indonesia kita masih tetap mau dipentungi dan TKW-nya tetap mau diperkosanya, dan setalah itu masih mau memberi gelar Doktor kemanusian lagi???!!!!!


Ulul Albab: Pak Sinar Agama kok menyebarkan kebencian... katanya sudah doktor yeh..

Sinar Agama: Ulul, tidak boleh saling benci itu kepada dan diantara muslimin yang tidak suka mensyirikkan, mengafirkan dan membunuh kaum muslimin lainnya.


Wassalam.


Hidayatul Ilahi and 20 others like this.



Yana Al: Afwan Ustadz Minta ditag.

Pramudya Yanuanto: Kalau boleh saya minta dalilnya dari ahlul bayt tentang wajibnya imam makshum sebagai syarat wajibnya shalat Jum'at dan shalat ied. Maaf pertanyaan bodoh karena saya baru belajar. Syukron Ustadz. Allahumma shalli ala Muhammad wa alii Muhammad wa ajil farajahum ...

Achmad Ghalib Alaydrus: Tolong dalilnya masalah sholat jum'at kok bisa nunggu imam ma'sum??? Masalah perempuan dan laki-laki, sholat jum'at ya memang perintah dari Nabi bahwasanya sholat jum'at wajib bagi kaum pria dan ga wajib bagi kaum wanita...

Dan masalahnya sholat jum'at sama Khumaini ga nyambung banget pak... Maaf.... Dalilnya ya... Ana harap jangan pake sangkaan untuk masalah hukum wajib harus pake dalilnya pak... Coba baca Suroh Yunus ayat 36.

Radenmas Murdianto: Maaf pak mau nanya dari keterangan di atas yang diminta bantuan masalah Israel secara fisik/pikiran?

Sebab dalam penyampaian ustad ada kebencian di dada, padahal yang ustad ajak bicara adalah orang-orang yang membutuhkan pendapat ustad.

Radenmas Murdianto: Dan bukan orang-orang Israel yang anda kecam.


Sinar Agama: Yana, tolong antum berusaha ambil sendiri ya...afwan banget nih atau antum klik
"bagikan" itu lalu kirim ke dinding antum sendiri.

Sinar Agama: PY, kalau dalam Syi’ah, selain mujtahid tidak boleh langsung merujuk ke ayat atau haditsnya, karena ribuan masalah di sana yang, bisa diatasi dengan belajar beberapa puluh tahun di hauzah/pesantren yang tertata secara akademis Islamis. Karena itu, bagi kita-kita yang taqlid dalam urusan-urusan fikih ini, karena bagi yang tidak mujtahid itu adalah wajib bertaqlid, maka dalilnya adalah fatwa marja'. Nah, semua yang diungkapkan di atas tentang syarat-syaratnya itu adalah dari fatwa marja' yang sudah diambil dari Qur'an dan hadits.

Pramudya Yanuanto: Syukron Ustadz...... tolong abaikan inbox saya karena pertanyaan saya sama.

Achmad Ghalib Alaydrus: Sinar@: kata ente: DI AMBIL DARI QURAN DAN HADITS. Ya mana buktinya??? Kalo ga ada marja'nya gimana bisa bersumber dari ALQURAN dan HADITS. Nanti yang kita takutkan bisa-bisa kayak orang Yahudi yang mengatakan hukum ini adalah hukum ALLAH, padahal mereka yang membut-buat dengan pemikiran dan keinginan mereka untuk menipu umat manusia....

Sinar Agama: AGA, dalil Qur'an dan hadits itu tidak bisa dipahami tanpa alat-alatnya, mulai dari bahasa arabnya, sampai ke ushulfikih, rijal, hadis, matan, tafsir dst. Jadi, di Syi’ah hanya mengikut fatwa mujtahid. Artinya, kalau dipaparkanpun, tetap tidak membuat orang yang tidak memiliki spesifikasi ijtihad itu tidak akan memahaminya. Kita di Syi’ah tidak seperti wahabi yang dengan terjemahanpun sudah berdalil.

Sebenarnya, yang ditulis di catatan itu sudah merupakan dalil bagi shalat Jum'at ini, tapi ia tidak akan dipahami kecuali memang telah mempelajari agama bertahun-tahun di pendidikan yang sudah sistematis.

Apalagi jelas di ayat itu dikatakan : "Wahai orang-orang yang beriman, kalau kalian dipanggil untuk shalat Jum'at, maka bersegeralah kepada dzikrullah dan tinggalkan perdaganganmu "

Sekarang masalahnya siapa yang memanggil shalat Jum’at itu. Kalau di jaman Nabi saww, biasanya setelah Nabi saww duduk di atas mimbar baru panggilan shalat Jum’at itu dimulai. Dalam sejarah hal seperti itu diikuti terus oleh Abu Bakar dan Umar pada masa kekhalifaan mereka. Yakni duduk dulu di mimbar lalu mu'adzdzinnya menyeru shalat Jum'at dan adzannya itu. Tapi dimasa Utsman, ia menambahkan lagi satu adzan. Adzan sebelum khalifahnya duduk di mimbar dan adzan setelah duduk.

Jadi, kewajiban adzan dan penyeruan kepada shalat Jum'at itu setelah pemimpinnya sudah duduk di mimbar. Artinya, yang menyeru kepada shalat Jum'at itu adalah si yang duduk itu. Artinya, yang duduk itu menyeru melalui mua'dzdzin untuk mendengarkan caramahnya dimana acara seperti itu dengan ditambah dengan dua rokaat, disebut dengan ibadah shalat Jum'at.

Jadi, penyerunya adalah khatibnya, bukan Tuhan. Dan yang memahami Tuhan, maka sungguh naif.

Nah, setelah kita tahu bahwa penyerunya itu adalah si khatib itu, mk sudah tentu ia akan wajib didengarkan seruannya, kalau ada dari Allah akan kewajiban taat pada dirinya. Karena itulah, maka shalat Jum'at yang tidak ada imam makshum as di dalamnya, atau tidak ada perintah makshum di dalamnya, maka seruannya tidak bisa dikatakan wajib ditaati.

Sinar Agama: RM, tolong baca lebih teliti, dan tanyakan lebih terang pemaparannya.

Pramudya Yanuanto: Baiklah Ustadz, saya paham dengan dzikrullah ... Kenapa saya tidak dijawab dengan jawaban yang sama? Saya tidak berusaha menjadi mujtahid, tetapi sekedar menenangkan hati karena sebenarnya ada hal yang ingin tanyakan seandainya ada orang yang telah berjumpa dengan Imam Zaman. Tetapi jawaban di atas telah menjawab semua pertanyaan saya. Syukron ...

Sinar Agama: PY, Antum dan siapa saja, jangan sesekali sungkan untuk bertanya dan berdebat dengan alfakir ini, tapi ijinkan alfakir ini untuk menjawab dengan leluasa tanpa basa basi (bc: bukan untuk tidak hormat, tapi demi keilmuan semata). Itu saja. Jadi, sama-sama melakukan apa-apa yang dianggap perlu dan wajib (secara relatif) dan tidak ada yang merasa tersinggung atau apalagi sakit hati. Jadi, kita sama-sama rileks, dan tidak ada apa-apa di balik diskusi-diskusi keilmuan ini.

Untuk ketidaksamaan jawaban itu, karena antum sudah Syi’ah. Jadi, masuk ke fikih berdalil, jangankan salahnya, benarnya juga dosa. Maksunya, kalau antum nanti misalnya merasa shalat Jum'at itu tidak wajib secara tertentu (yakni hanya wajib ikhtiari yang bisa memilih shalat zhuhur seperti perempuan atau orang sakit dan musafir), karena dalil yang saya ajukan (ketika antum menerima dalil ana itu), maka antum sudah melakukan dosa. Karena yang antum lakukan dengan berdalil tsb disebut sebagai tajarri (melampaui batas kemampuan dan nekad) atau berani kepada Tuhan. Jadi, sudah tentu jawaban saya beda dengan kalau saya menjawab Sunni atau wahabi.


Pramudya Yanuanto: Saya pernah menjadi wahabi (tahunya sih ane itu salafy). Lalu bagaimana dengan masalah taqlid tersebut. Saya juga belum paham dengan masalah tajarri.

1. Apakah dengan taqlid itu kita sudah pasti tidak tajarri?

2. Apakah dengan taqlid itu kita tidak melawan ayat untuk berfikir? Menurut saya, Jika saya bertanya tentang hadits ahlul bayt itu tentunya agar saya bisa berhenti berpikir karena sumbernya sudah final.

Ketika sebagai wahabi, dan beberapa mazhab lain yang pernah saya ikuti, di level dasar semuanya OK, tetapi ternyata di level yang menjadi inti ibadah, semuanya berantakan. Jika kita tidak tahu hadits rujukannya, apakah ada jaminan bahwa tidak ada 'sesuatu' pada level tertentu? Maaf dengan pertanyaan ini. Sebagai orang yang sudah tersandung beberapa kali ane tentu pingin ini menjadi pilihan terakhir. Setidaknya ane sudah sangat yakin dg masalah Ahlul bayt, tinggal kaitannya dengan Marja dan pola berpikir taqlid ini ...


Sinar Agama: PY, :

1. Taqlid itu sudah pasti tidak tajarri, karena sudah mengakui ketidaktahuannya tentang ayat dan hadits yang ribuan itu. Jadi, mengikuti yang alim dan belajar puluhan tahun di pendidikan yang sudah teratur ratusan tahun, sudah merupkan tuntuan akal. Begitu juga tuntutan agama (Qur'an dan hadits). Karena Qur'an mengatakan, hendaknya sebagian kita belajar untuk mengajari yang lainnya. Jadi, yang belajar adalah belajar sampai ke dalil-dalilnya, kemudian mengajarnya adalah berupa hukum-hukum matangnya, kecuali kepada yang tertarik pada spesifikasi agama.

Intinya, mengikuti yang alim itu yang dikatakan tidak berani pada hukum-hukum Tuhan dengan mengarang-ngarangnya sendiri dengan hanya tahu hadits dari terjemahannya yang juga tidak tahu shahih tidaknya itu.

2. Yang taqlid itu justru mengikuti Qur'an yang mewajibkan berifikir. Karena kalau kita punya pikiran, maka sudah tentu tidak akan ikut campur dalam urusan yang tidak dibidanginya. Bukankah di Qur'an sangat dikecap orang yang berkata tanpa ilmu dan pengetahuan? Apakah termasuk orang berakal dan berfikir ketika seorang ahli antariksa atau Doktor hadits, kemudian dia mengoperasi dirinya sendiri atau temannya ketika sakit jantung? Atau dikatakan berakalkah Doktor itu ketika bertanya tentang jantungnya itu kepada mortir atau ahli mesin dan mobil?

Tambahan: Jangankan hadits, ayat saja tidak bisa menjadi pemfinal bagi masalah-masalah kita. Terutama masalah-masalah fikih. Karena Qur'an itu sangat global dan untuk memahami satu ayat, perlu memahami ayat-ayat lain yang berhubungan. Begitu juga tahu mana yang turun duluan dan belakangan, mana yang dihapus dan mana yang menghapus, mana yang mutlak dan mana yang terkondisikan, makan yang umum dan mana yang khusus dst.

Alapagi hadits yang jumlahnya puluhan ribu dan ratusan ribuan perawinya itu dan dengan seambrek pendapat tentang masing-masingnya, apakah tentang perawiannya, apakah tentang matannya dst.

Di Syi’ah, jelas tidak seperti wahabi yang bisa berfatwa hanya dengan bermodal terjemahan Qur'an dan Hadits. Itulah yang dikatakan dengan nekad atau tajarii itu yang konsekuensi logisnya menentang hukum Tuhan dan ketentuanNya bahwa "jangan bicara kalau tidak tahu."

Cara seperti itu bukan cara akal dan bukan cara Qur'an. Karena di Qur'an dan akal semua menyerukan untuk merujuk kepada ahlinya. Kan, kasihan banget, ketika merujuk ke terjemahan dimana terjemahannya saja sudah tergantung madzhab atau aliran penerjemahnya. Belum lagi si penerjemah tsb ahli apa tidak, hanya bermodal bahasa arab atau juga memahami tafsir dst.

Kalau hanya mengerti ayat dan haditsnya secara lahiriah lalu dikatakan alim dan mujtahid, maka orang arab, semuanya adalah alim dan mujtahid serta dapat dikatakan sudah final memahami Islam. Karena itu Mesir yang mendirikan al-Azhar atau wahabi saudi yang mendirikan Universitas al-Madinah, semua itu sia-sia semata.

Begitu pula di jaman Nabi saww atau di jaman-jaman permulaan Islam, tidak perlu ada imam Ali as, imam Hasan, ....Ibnu Abbas tidak perlu juga ada ayat yang mengatakan tanyakan kepada ahludzdzikr kalau kalian tidak mengatahuinya. Kenapa, karena Qur'an dan hadits, sudah lengkap. Jadi, ngapain lagi tanya pada mereka-mereka itu.

Tapi kenyataannya kan tidak begitu. Di antara shahabat, atau tabi'in, atau orang-orang Arab dari dulu sampai sekarang, ada orang alimnya, ada orang tidak alimnya, ada orang bodohnya (maaf), ada orang ahli hanya di bidang tafsirnya, ada yang ahli hanya di bidang haditsnya, ada yang ahli hanya di bidang ushul fikihnya, ...ada yang ahli dalam beberapa bidang dst.

Nah, karena itu, merujuk ke Qur'an atau hadits dan, apalagi terjmahannya, sama sekali bukan pemfinal bagi urusan-urusan agama, khususnya di bidang fikih dan apalagi akidah.

3. Selain hal-hal di atas, taqlid itu memang benar-benar suruhan dan perintah Allah, Nabi saww dan para imam as. Karena itu sejak jaman Nabi selalu ada murid-murid para makshum yang mengajari yang lainnya dan menjadi rujukan dan panutan bagi yang lainnya.


Achmad Ghalib Alaydrus: Sinar@: dalilnya harus nunggu seruan dari imam ma'sum untuk sholat jum'at ada ga??? Alulama Warosatul Anbiya. Kok ga alimam ma'sum warosatul Anbiya??? Kita ngikutin ulama atau harus nunggu imam dulu??? Kayak mau mudik naik bis aja pake nunggu supirnya...

Yus Ta Nur: @ Ustad dari sekian banyak catatan? Note yang ustad tulis nyaris bahkan sedikit sekali yang mengemukakan dalil-dalil, baik dari argumen ataupun hadist, kalau dikatakan ustad tidak mengetahuinya saya tidak yakin, dan kalau ustad dikatakan takut melanggar adab-adab dalam shiah, saya perhatikan ustad juga jarang mengutip apa-apa yang disampaikan oleh para Imam-imam bahkan semuanya boleh dikatakan keluar dari diri ustad sendiri!, Saya kwatir jangan- jangan ustad termasuk imam yang 12..


Sinar Agama: AGA, nah ...itu kan....... sudah kubilang kamu tidak akan memahami dalil. Karena itu, yang tersisa dalam dirimu hanya tinggal ejekan. Katanya tadinya mau ikut dalil, eh....... sudah dikasih dalil malah dalilnya tidak diutak-atik, tapi malah mengejek. He he he kasihan sekali umat Islam kalau seperti ini.

Sinar Agama: YT, :

1. Saya sungguh heran dengan apa yang antum katakan ini, bahwa saya tidak menyertakan tulisan dengan dalil-dalil. Karena semua tulisan sungguh tidak ada harganya tanpa dalil. Dan kita-kita justru mempromosikan hal itu. Yakni tidak menerima atau menolak, kecuali dengan DALIL GAMBLANG. Karena itu, seandainya antum sebutkan mana yang tidak berdalil itu, maka dakwaan antum ini sudah tidak akan bermasalah di diskusi-diskusi ilmiah dan sidang akhirat kelak. Tapi kalau hanya dakwaan saja, maka sebaliknya.

2. Dalil itu ada dua dalam Islam:

  • (a). Dalil akal. Dalam masalah-masalah keimanan, seseorang tidak sempurna kalau tidak memakai dalil akal. Jadi, kalau dalam keimanan-keimanan ini seseorang menggunakan dalil ayat dan riwayat, maka imannya tidak sempurnya. Di QS: 49: 14, dikatakan bahwa Tuhan menolak imannya orang-orang yang sudah beriman karena Qur'an dan Nabi saww. Semua itu, karena mereka belum berdalil dengan akalnya. Antum kalau lihat semua tafsir Syi’ah, akan mendapatkan keterangan seperti ini. Jadi, yang beriman itu ditolak karena masih taqlid dalam keimanan, sekalipun yang ditaqlidinya itu Nabi saww sendiri. Karena itu Tuhan hanya menerima mereka sebagai muslim. Aneh banget antum tidak tahu hal ini dan tidak mendapatkan dalam tulisan-tulisanku sementara antum mengatakan sudah membacanya dan mendakwa hampir semua tulisanku tidak berdalil.
  • (b). Dalil akal ini juga dipakai di fikih. Tapi bukan akalnya orang yang tidak belajar. Sebab akalnya orang yang tidak belajar secara spesifik/khusus itu, pada hakikatnya adalah akal- akalan, bukan akal yang hakiki. Karena itu orang yang bisa menggunakan akal dalam berdalil fikih ini, harus mempelajari logika dan ushulfikih selama kurang lebih 20-30 tahun. Nah, kalau orang itu, tidak mengikuti ilmu-ilmu ini, maka biar dijejelin dalilnya, juga akan melongo saja (bc: tidak paham).

Begitu juga kalau ditambah dengan ilmu Rijal, Hadits...................... dll yang menjadi unsur dan bagian dari berdalil AKAL DALAM FIKIH.

  • (c). Karena itu, maka dalam masalah-masalah fikih ini, justru dalil itu terlarang bagi yang bukan mujtahid. Karena itu di Syi’ah, jangankan salahnya, biar benarnya juga adalah dosa. Artinya, kalau seseorang berdalil dengan dalil akal atau ayat atau hadits, terhadap masalah-masalah fikih, maka jangankan salahnya, benarnya juga dihitung sebagai salah dan dosa. Yakni bagi pelaku yang bukan mujtahid. Karena itu, pelakunya melakukan dosa dan membudayakan hal yang dosa, bisa digolongkan ke dalam dosa.

Karena itu yang dipakai dalam masalah-masalah fikih, adalah fatwa dan taqlid. Karena itu, maka argument-argument dan dali-dalil yang dipakai oleh para muqallid atau yang taqlid ini, adalah dalil fatwa dan pemahamannya. Jadi, kalau mau berdiskusi tentang fatwa dan pemahamannya, maka dalilnya juga fatwa dan uruf. Karena satu fatwa bisa menjeleskan fatwa yang lainnya dan, bahasa yang dipakai dalam fatwa adalah bahasa yang dipakai dalam ‘urf peristilahan fikih.


Kesimpulan:

Kalau akidah dan keimanan, maka dalilnya harus dengan akal. Dan kalau mau membawa ayat dan riwayat, maka harus dilihat dari sisi akalnya, bukan dogmanya.

Kalau fikih, maka dalilnya adalah fatwa, kecuali bagi yang mujtahid maka bisa merujuk ke Qur'an, Hadits, Akal dan Ijma' (ijma' yang terjadi di jaman imam makshum as).


Nasihat:

Kalau bisa, sesuai dengan anjuran dan kemauan antum yang harus berdalil itu, maka jangan menulis sesuatu yang tidak pakai dalil seperti di atas itu dimana hanya pakai dakwaan saja. Jadi, biasakanlah pakai dalil, karena Tuhan itu akan memaafkan kita kalau sudah pakai dalil yang sportif dan gamblang, sekalipun, mungkin belum mencapai kebenaran.

Lihat itu si AGA: Dia minta dalil ayat tentang fikih shalat Jum'at, dan aku baru sedikit menjelaskannya, dia sudah tidak memahaminya. Dan tulisan antum di atas itu, juga bisa menandakan bahwa antum tidak memahami juga dalil tsb. Aku menjawabnya dengan dalil karena dia Sunni, barangkali bisa sedikit tawadhu' hidup di dunia ini dan tidak meremehkan orang lain (mungkin antum juga termasuk di sini, tapi semoga tidak). Coba dia orang Syi’ah, maka saya tidak akan mengutarakan dalil fikih tsb, kecuali kalau sebagai pendekatan ide dan bayangan, tapi bukan sebagai dalil fikih sebagaimana mestinya yang mengkonsekuensi-i keyakinan akan hukum fikihnya.

Memang banyak orang yang sering membawa hadits makshumin as, tapi seringkali, atau setidaknya terkadang, pemahamannya kacau balau dan jauh dari yang semestinya. Mengapa demikian, karena bisanya pelakunya itu, tidak belajar di hauzah dengan sabar dan lama. Akhirnya, mereka merujuk ke hadits-hadits, tanpa melengkapi diri dengan alat-alat pemahamannya yang sudah diajarkan di hauzah. Hasilnya, sudah bisa diperkirakan. Yaitu, tidak benar memaknai hadits, dan lebih parah lagi, sering menyindir orang-orang yang lebih menekankan akal (itupun dalam hal yang sudah benar yaitu dalam akidah yang tidak boleh pakai taqlid sekalipun taqlid ke riwayat, atau sudah benar juga walau dalam fikih karena sudah mujtahid). Karena itu, yang layak diolok sebagai imam makshum itu adalah orang-orang yang membawa hadits-hadits mereka tapi tidak dengan modal yang cukup. Bukan yang dari awal memang sudah jelas mengatakan sebagai orang biasa dan menggunakan akalnya sendiri (karena kesalahan orang seperti ini, jauh lebih gamblang dari yang punya modal yang tidak cukup itu).


Ummu Azizah: Terima kasih banyak ustadz pencerahannya.

Yus Ta Nur: Alhamdulillah...saya haturkan terimakasih yang sedalamnya pada ustad, karena telah berlapang dada menghadapi orang tidak berilmu semacam saya ini...inilah yang saya minta dari ustad selama ini penjabaran secara gamblang dan maknawi, sekarang ustadz telah menyampaikan bagaiman cara mendapatkan buah, sebelum mencarikan buah itu sendiri ini baru masuk akal! Artinya adanya tali yang selalu terhubung tidak terputus saya harap ustad memaklumi yang saya maksudkan! Saya berkeyakinan ustad dahulunya sama seperti saya...

Dan saya berkeyakinan orang yang ada iman di dalam dadanya sedikitpun tidak akan memper- tanyakan atau menyanggah apa-apa yang disampaikan oleh rasulullah dan ahlilbaith..apalagi Alquran saya mohon maaf atas kelancangan saya ini wassalam. Allahumma shalli ’alaa saidina Muhammad waala alisaidina Muhammad.

Oh ya perlu saya koreksi lagi ustad Kata sedikit yang saya maksudkan pada koment diatas adalah sedikit berbanding dengan banyaknya tulisan yang disampaikan seakan-akan atau cuman segitu aja rujukan yang dapat kita ambil sebagai pedoman...

Achmad Ghalib Alaydrus: Ya sudahlah kalo ga bisa menunjukkan dalilnya... Ana sich bukannya Su'udon, tapi khawatir aja... Sbb banyak org yg ga tau tapi sok tau dan tidak bisa menunjukkan kebenaran (dalil)... Al'afu ana ga komentar lagi di sini karena ga ada yang bisa menunjukkan ana dalil dari ajaran Syi’ah tentang tidak wajibnya sholat jumat saat ini dan harus nunggu imam ma'sumnya Syi’ah...

Seakan-akan ga ada dalam ajaran Syi’ah wa tawasaubil haq wa tawasaubis sobr sebelum imamnya muncul... Hehehe... Ajaran penantian dan pengharapan....


Zullius Sp: "Berlian banget ustadz"


August 30, 2011 at 11:41am · Like



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Tidak ada komentar:

Posting Komentar