Selasa, 09 Juni 2020

Filsafat Tangis dan Air Mata Untuk Para Imam as dan Syuhada


seri curhat dan tanggapan: Timex Taurus dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/238484272863043/ by Sinar Agama (Notes) on Monday, August 22, 2011 at 7:20am


Timex Taurus: Saya juga selalu menangis kalo mendenger cerita sahidnya para aimah, tp kalo di dipikir-pikir bukan sesuatu yg layak di tangisi yah? kan mereka malah memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan dalam mautnya,,,justru kitalah yang harus menangisi nasib kita yang belum tentu bisa mendapatkan lowongan sahid,,

Mukhtar Luthfi: Analogi: Jika kita punya guru di sekolah yang sangat kita cintai itu ditarik ke pusat & diangkat menjadi menteri, derajat yang lebih tinggi. Dia akan senang dengan derajat dan kedudukan itu. Tapi buat kita yang ditinggalkannya gimana, sedih gak? Kita senang karena dia naik derajat, tapi juga sedih karena harus berpisah secara fisik. Buat dia pribadi, gak ada kesedihan sedikitpun.


Timex Taurus: Iyah betuuuullllll,,,analoginya tepat,,,tapi kenapa kita gak ikut bahagia dengan kebahagiaan orang yang kita cintai?

Mukhtar Luthfi: Justru ketika kita sedih itulah yang lebih manusiawi...jangankan kita, imam Hasan & Husein pun nampak menangis, padahal mereka manusia suci, apalagi kita. kita sedih karena meniru imam Hasan & imam Husen. Antum mau meniru imam Hasanain dan sesuai dengan sisi kemanusiaan antum atau hanya ikut rasio semu yang mengajak kita senang-senang pada hari syahadah setiap imam?

Timex Taurus: Nah itu yg saya bingung,, pokoknya saya sedih banget deh kalo cerita tentang mereka,, tapi ya itu tadi, kan mereka lagi bahagia.

Mukhtar Luthfi: Kebingungan anda berasal dari logika rasio anda. padahal dalam konsep ini, logika cinta yg lebih mendominasi. Logika rasio tidak akan menerima Ibrahim akan menyembelih anak yang selama ini diidam-idamkan olehnya dan dengan izin Allah ia dapat anak tadi. tapi Ibrahim dituntut lain, ia dituntut memakai logika cinta, bukan logika rasio.

Timex Taurus: Gitu yah? Tak renung-renungin lagi yah,,,


Sinar Agama: Salam dan terimakasih tagnya. Saya tidak berani berkata terimakasih pertanyaannya, karena hanya kulihat di dindingku dan tidak bertanya padaku. BTW saya ucapkan terimakasih atas penulisannya di dindingku. Dan, BTW ijinkan saya mengomentarinya. Sebelumnya, saya ucapkan terimakasih pada kedua ikhwan (Timex dan Mukhtar) yang telah melakukan dialog sebelumnya (di atas).

Menangisi imam yang syahid itu bukan hanya sesuai dengan lokgika cinta, tapi bahkan sangat sesuai dengan logika akal. Bagi ana, yang jadi masalah antum ya akhi Timex, bukan di masalah logikanya secara esensi, akan tetapi di logika antumnya yang menurut ana kurang lengkap mukaddimah-mukaddimahnya. Dan kalau dilengkapi, maka saya yakin dapat antum atasi sendiri.

Karena itu, ijinkan saya sedikit mengurai mukaddimahnya.

Mukaddimah:

(1). Mengapa seorang imam itu tinggi kedudukannya? Jawabannya jelas karena ketaatan mereka as kepada Allah swt dan RasulNya saww.

(2). Mengapa imam as itu dikatakan syahid? Jawabnya karena mereka as mati dalam mempertahan- kan kebenaran Tuhan dan Rasul saww (bc: Islam yang kaaffah).

(3). Ketika imam as itu syahid, tandanya mereka dianiaya dalam jalannya yang sudah disebut di poin-poin di atas. Andaikan imam as itu mati karena berebut sepotong roti, maka derajat kesyahidan itu tidak akan cocok disandangnya. Yakni kesyahidan membela agama. Memang, kesyahidan membela hak pribadi mungkin dapat, tapi kesyahidan membela hak Tuhan dan Nabi saww secara kaaffah, tidak akan pernah disandangnya.

Jadi, ketika imam as itu dikatakan syahid Islam, maka syahid dalam membela kebenaran Tuhan dan Rasul saww secara kaaffah.

(4). Dari mukaddimah di atas itu kita sudah mengerti dua hal yang berhadapan: Pertama, para imam yang membela kebenaran Islam secara kaaffah, Kedua, penganiaya yang ingin menghancurkan Islam (baik dengan nama Islam itu sendiri atau atas nama khilafah atau apa saja).

Memetik logika dari mukaddimah di atas:

  • (a). Ketika kita sudah tahu dua belah pihak yang berseteru itu, dan kita menangisi yang benar, berarti kita bersimpatik kepada yang benar. Dan bersimpati kepada yang benar ini adalah tugas semua insan berakal dan beragama Islam.
  • (b). Simpatik kepada kebenaran adalah mukaddimah untuk membelanya.
  • (c). Simpatik kepada kebenaran adalah ilmu tentang jalan kebenaran itu. Sungguh tidak mudah mendapatkan hal ini. Berapa milyard muslimin yang tidak sempat mengecap hal ini. Nah, ketika kita menangsi imam, berarti kita tahu mereka as itu benar. Ini ilmu yang hanya Tuhan yang bisa membantunya menjelaskan kepada kita, setelah peristiwa itu melampaui seribu tahun ke sekarang.
Jadi, jangan remehkan tangismu!!!.
  • (d). Ketika kita menangisi kebenaran yang tertindas, berarti kita benar-benar meresapi dan meyakini kebenaran dan ketertindasannya tersebut. Dan ini, namanya ilmu al-yaqin yang, sekali lagi, tidak mudah mendapatkannya. Kuingat, aku sepertinya setelah satu tahun lebih bisa menangisi imam as walau akalku sudah membenarkan mereka as. Itulah mahalnya ilmu al-yaqin, tidak mudah. Oh Tuhan betapa banyak kebaikan yang aku tak layak menerimanya, akan tetapi Engkau berikan, Engkau berikan ...
  • (e). Ketika orang sudah bisa menangisi kebenaran yang tertindas, maka dia pasti lebih mudah membela keberanan.
  • (f). Ketika seseorang sudah bisa menangisi kebenaran tertindas itu, maka ia akan jauh lebih mudah untuk ikut andil membelanya.
  • (g). Ketika ia telah bisa menangisi kebenaran yang tertindas itu, maka ia akan lebih mudah mengorbankan harta dan nyawanya di jalan kebenarantsb.
  • (h). Ketika seseorang bukan hanya menangisi kebenaran tertindas, tapi menangisi kebenaran tertinggi, jalan lurus, hakikat Qur'an, pintu ilmuNabi saww, pewaris ilmu-ilmu Nabi saww

...., maka sudah pasti bukan hanya akan mempermudah membela dan berkorban untuk kebenaran itu, TAPI ADA RASA MALU YANG SANGAT DALAM sekalipun sudah melakukan pembelaan dan pengorbanan nyawanya sekalipun. Karena itu, ia yang sudah tercabik-cabik pedangpun dan tubuhnya dibakarpun, dan itu terjadi sejuta kali, tetap saja ia tidak akan pernah merasa sudah setingkat dengan para nabi dan imam as itu sendiri as. Jadi, walaupun seseorang itu sudah hancur seperti itu, tapi akan tetap tunduk dan tawadhu’ dan bahkan mengakui banyaknya kekurangannya.

  • (i). Lihatlah slogan-slogan orang Syi’ah yang ada di Iran: Misalnya:
    • (*): “Aku bukan orang Kuffah yang meninggalkan Ali sendirian.”. Slogan ini adalah kesimpatikan dan ilmu serta kesediaan dalam membela kebenaran itu.
    • (**): “Darahku tak semerah darah Husain”. Slogan ini adalah yang kumaksud pada poin (h) di atas itu. Jadi, sekalipun seorang ibu telah mengorbankan 5 anaknya, atau seorang pasdaran telah hancur berkeping-keping, tapi tak satupun dari mereka yang merasa bisa sejajar dengan imam as.

Semua ini karena tangisnya mereka itu dimana memiliki latar belakang dan efek-efek ke depan seperti yang sudah saya terangkan di atas.

  • (j). Hikmah menangis ini sempat tidak terlihat oleh Syariati sendiri, hingga ia mengatakan pada waktu itu di surat-surat kabar, bahwa ia akanmembentuk umat yang Islam dan maju dan tidak cengeng. Tapi imam Khumaini ra waktu menjawabnya:

“Kita mewarisi Islam ini melalui derai air mata dan tangisan”

Maksud dari kata-kata imam Khumaini ra itu memang beliau yang tahu persis. Tapi kalau boleh kita raba-raba, maka maksudnya adalah karena tangisan itu bisa memiliki filsafat yang tinggi seperti yang sudah diterangkan di atas itu.

  • (k). Ketahuilah bahwa orang yang tidak sampai ke tingkat yakin/yaqin, maka tangisan itu, tidak akan pernah terjadi.

Kesimpulan:

(1). Tangisan itu adalah baik buat kita sendiri, bukan untuk imam-imam as.

(2). Tangisan itu adalah bukan hanya baik, tapi kewajiban akal dan agama dalam menentukan sikap terhadap kebenaran tertindas. Jadi, benar-benar kewajiban syariat. Yakni tangisan dalam dimensi tadi.

(3). Tangisan itu adalah ibadah yang tinggi dan asas bagi berjalannya manusia menuju kesempur- naan berikutnya, seperti pembelaan dan pengorbanan.

Penutup:

(1). Ketika kita sudah tahu semua itu, maka tidak heran kalau ada hadits yang mengatakan bahwa sebutir air mata saja yang ditangiskan demi musibah imam Husain as atau makshumin yang lain as sudah bisa memadamkan api neraka. Karena tangisan itu, adalah keyakinan terhadap kebenaran makshumin as, siap menyintai, mengikuti dan berkorban untuknya.

(2). Ketika kita sudah tahu semua itu, maka tidak heran kalau para imam as mengatakan “Tangisilah derita kami”. Dimana bahkan diriwayatkan dalam sebuah hadits yang berbunyi seperti ini di Kitab Bihar:

من بكى وأبكى فينا مائة فله الجنة، ومن بكى وأبكى خمسين فله الجنة، ومن بكى وأبكى ثالثين فله الجنة،
ومن بكى وأبكى عشرين فله الجنة، ومن بكى وأبكى عشرة فله الجنة، ومن بكى وأبكى واحدا فله الجنة،
ومن تباكى فله الجنة

“Barang siapa menangisi kami dan membuat seratus orang lainnya menangis, maka baginya surga. Barang siapa menangisi -kami- dan membuat lima puluh lainnya menangis, maka baginya surga. Barang siapa menangisi -kami- dan membuat dua puluh lainnya manangis, maka baginya surga. Barang siapa menangisi -kami- dan membuat sepuluh orang lainnya menangis, maka baginya surga. Barang siapa yangmenangisi -kami- dan membuat satu orang lainnya menangis, maka baginya surga. Dan BARANG SIAPA BERTANGIS TANGISAN (tidak bisa menangis tapi berbuat seperti orang menangis), maka baginya surga.”

Bayangkan saja, jangankan menangis bagi yang bisa berpura-pura menangis saja (bagi yang tidak bisa menangis, asal tidak riya’ dan apalagi melecehkan), juga akan mendapat surga. Semua itu karena poin-poin yang sudah dijelaskan di atas itu, seperti simpatik, sikap tegas, ilmu al-yaqaiin, dukungan, pembelaan dan pengorbanan.

(3). Ketika kita sudah tahu semua itu, maka perintah imam as itu benar-benar bukan untuk diri mereka yang sudah naik ke derajat yang tidak bisa dicapai siapapun itu. Akan tetapi demi menghidayahi kita kepada tanggung jawab kita sendiri. Jadi, perintah-perintah mereka as seperti dihadits di atas itu, sama sekali bukan karena mereka as itu adalah mereka as. Artinya, bukan karena mereka ingin disimpati-i, tapi karena mereka benar-benar tidak perlu kepada simpatik kita (jadi anjurannya itu bukan riya' kepada umat dan apalagi sombong), dan benar- benar karena simpatik kita dan seterusnya itu (sampai ke perjuangan dan pengorbanan) benar-benar adalah tugas kita demi terselematkannya diri kita sendiri, dan demi supaya kita berada dalam kebenaran Tuhan dan Nabi saww.

(4). Simpatik dan tangisan ini tidak hanya untuk para imam as. Tapi untuk semua kebenaran apapun dan siapapun. Jadi, dia adalah memang benar-benar merupakan puncak kesimpatikan dan pembela kebanaran itu. Tentu saja, para nabi as dan imam as, paling puncaknya kebenaran itu. Jadi, kebenaran ini bergradasi/bertingkat, dan nilai serta pahala tangisannyapun ikut bertingkat sesuai dengan tingkatan kebenaran yang ditangisinya itu.

Anjuran: Setelah semua itu diketahui, maka sudah jelas posisi tangisan itu dimana dan untuk apa. Karena itu berusahalah menangisi para imam as dan, kalau tidak bisa maka berusahalah dan lakukanlah kesedihan dan bertangis-tangisan itu (bc: pura-pura nangis demi simpatik kepada musibah mereka as, bukan untuk riyaa’ dan semacamnya). Wassalam.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar