Minggu, 11 Oktober 2020

Perbedaan antara Ihtiyath Wajib dan Ihtiyath Mustahab


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/275876982457105/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 14 November 2011 pukul 22:27


Hidayatul Ilahi: Salam ustadz. Saya telah download buku “belajar fiqih untuk pemula” yang ustadz sarankan. Akan tetapi saya terhenti pada tulisan berikut:

Perbedaan antara Ihtiyath Wajib dan Ihtiyath Mustahab

Ihtiyath mustahab selalu beriringan dengan fatwa. Artinya, berkenaan dengan sebuah masalah,

pertama-tama seorang mujtahid memberikan fatwa kemudian memberikan ihti-yath. Ihtiyath ini dinamai sebagai ihtiyath mustahab. Sekaitan dengan ini, mukallid dapat mengamalkan fatwa atau menga-malkan ihtiyath mustahab, namun dia tidak boleh merujuk kepada mujtahid lain. Misalnya, jika seseorang mengerjakan salat dan dia tidak tahu pasti apakah badan atau bajunya itu najis ataukah tidak, seusai salat dia baru sadar bahwa ketika melakukan salat, badan atau bajunya najis, maka salatnya sah. Akan tetapi, atas dasar ihtiyath mustahab, jika waktu salat masih tersisa, hendaknya dia mengulangi salatnya. Ihtiyath wajib tidak berdampingan dengan fatwa. Seorang mukallid harus beramal sesuai dengan ihtiyath tersebut atau bisa merujuk kepada mujtahid lain. Misalnya, menurut ihtiyath wajib, seorang mukallid tidak boleh bersujud di atas daun anggur yang masih segar dan basah. Ihtiyath wajib tidak berdampingan dengan fatwa. Seorang mukallid harus beramal sesuai dengan ihtiyath tersebut atau bisa merujuk kepada mujtahid lain. Misalnya, menurut ihtiyath wajib, seorang mukallid tidak boleh bersujud di atas daun anggur yang masih segar dan basah.

Saya coba baca berulang-ulang, namun, saya tetap tak paham.

Sudilah kiranya ustad menjelaskan secara rinci agar saya bisa memahaminya, ustad. 

Terimakasih, salam..

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Ihtiyath itu adalah hati-hati. Maksudnya ia adalah bukan fatwa. Atau kalau mau di alam Indonesiakan adalah, fatwanya itu berupa kehati-hatian. Tapi dalam istilah fikih, manakala marja’ memberikan fatwa “hati-hati”, maka sebenarnya ia bukan fatwa. Karena itu lawan dari “hati-hati” adalah fatwa (sepert ini haram, itu halal ...dan seterusnya). Tapi kalau hati-hati, seperti ini hati-hatinya haram.

(2). Hati-hati itu ada dua macam, wajib dan sunnah.

(3). Hati-hati wajib adalah suatu kehati-hatian yang diberikan marja’ dimana yang taklid wajib melaksanakannya. Atau dalam hal tersebut pindah ke marja’ yang satu tingkat di bawahnya dari sisi kea’lamannya.

(4). Hati-hati sunnah adalah kehati-hatian yang diberikan marja’ dimana yang taklid kepadanya tidak wajib mengamalkannya. Misalnya, dzikir panjang untuk rukuk itu cukup sekali (ini fatwa), tapi hati-hatinya tiga kali. Atau contoh yang ada di pertanyaan anda.

(5). Orang pindah dari suatu marja’ dalam kehati-hatian wajib itu, karena mungkin terasa berat sementara marja’ berikutnya dari sisi kelebih pandaiannya (a’lam) lebih ringan misalnya. Tapi kalau dalam hati-hati sunnah tidak perlu pindah karena sudah ada yang lebih ringan, yaitu fatwa marja’ itu sendiri yang menentangnya. Dan sudah tentu ketika ada fatwa marja’nya maka tidak boleh pindah taklid.

(6). Untuk mengetahui apakah hati-hati itu sunnah atau wajib, maka dilihat, apakah isi kandungan hati-hatinya bertentangan dengan fatwanya sendiri atau tidak. Yakni baik fatwa yang diberikan di sebelum kehati-hatiannya itu atau setelahnya. Kalau ada fatwa yang bertentangan dengan kehati-hatiannya itu, maka hati-hati tersebut adalah sunnah (tidak wajib dilakukan). Dan kalau tidak bertentangan, maka wajib. Yakni wajib dilakukan, atau, kalau mau bisa pindah ke marja’ lain khusus dalam hal hati-hati wajib tersebut.

Reza Fauzan Al Hamid, Khommar Rudin, Hidayatul Ilahi dan 8 lainnya menyukai ini.


Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

7 Agustus 2012 pukul 15:54



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar