Jumat, 03 Mei 2019

Beberapa Kesunnahan Dalam Shalat


Seri tanya jawab Daris Asgar dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:35 am


Daris Asgar: 6 Maret 2013, Salam Ustadz,,,ijin bertanya 

  • 1- Apa jumlah takbir sunnah sebelum takbirotul ihrom jumlahnya 6, dan setelah salam jumlahnya 3 ? Bilakah ada namanya, takbir sunnah apakah ini? Karena saya mendengar dari teman, 3 takbir setelah salam tersebut untuk penghormatan untuk Imam Zaman As... 
  • 2- Sebelum tasyahud mustahab membaca “Alhamdulillah “atau “Bismillaah wabillah, Walaa Khoiru AsmaIllah...” Dalam Risalah amaliyah Rahbar Hf, Bab Sholat Masalah. 330... Dulu saya pernah diajarkan “Bismillaah, Wabillah, Walhamdulillah, Walaa IlaaHa Illalloh, WaKhoiru Asmaillah..” dari orang yang bertaqlid kepada Almarhum Imam Khomeini Ra.. Apakah masih benar, dan tidak masalah membaca yang mana saja? 
  • 3- Setelah sholawat dalam tasyahud mustahab membaca “Wataqobbal Syafa’atahu warfa’ darojatahu..”, Apakah kesunahan membaca ini pada tasyahud awal dan akhir,,,atau tasyahud awal saja,,,karena beberapa kali saya berjama’ah, seingat saya imam hanya membaca bacaan tersebut pada tasyahud yang pertama saja... 
  • 4- Apakah sebelum dan sesudah kunut termasuk gerakan yang mustahab untuk takbir? 
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Sudah benar jumlah takbir sunnah itu seperti itu. Dan biasanya dikatakan sebagai takbirsunnah. 

2- Bacaan yang pertama antum salah besar, karena kalau “wa laa Khaira Asmaillah........” memiliki arti bahwa Allah tidak memiliki nama-nama yang baik. 

Ada beberapa bacaan sunnah untuk ini yang boleh pilih, seperti: 

الحمد لله 

atau 

بسم الله و بالله و الحمد لله و خير الاسماء لله 

3- Setelah shalawat sunnah membaca: 

و تقبل شفاعته فى امته و ارفع درجته 

Tapi dalam tasyahhud akhir/ke-dua, hati-hatinya/ihthiyaat jangan diniati sebagai kesunnahan, hanya sebagai dzikir muthlaq/mutlak saja. 

4- Kalau mau takbir sebelum qunuth sebaiknya jangan meniatkan sunnah. Tapi kalau untuk ruku’ memang sunnah mengucap takbir terlebih dahulu. 

Daris Asgar: Terimakasih Ustadz... Mohon ijin Ustadz,,,memang saya awam bahasa arab,,,tapi sebetulnya saya juga ragu dengan tulisan yang di no 2 tersebut,,,karena di dalam e-book pdf yang merupakan Risalah Amaliah Rahbar Hf tertulis demikian.. 

yaitu pada hal 339... 

“بسم الله و بالله و الحمد لله و لا خير الاسماًء لله” 

Sinar Agama: Daris: “ لا” di tulisan itu adalah salah tulis atau sengaja dimasukin oleh pengacau. 

Dan tulisan antum yang sekarang ini, jauh lebih mengandungi kesalahan. Mestinya ditulis: 

بسم الله و بالله و الحمد لله و خير الاسماء لله 

Sang Pencinta: SA: copas Daris salah ustadz, sepertinya gangguan font Arab ustadz. Saya udah cek di sumber Daris, sudah benar. 

Sang Pencinta: Daris Asgar: Tempo hari ustadz menjawab: Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Benar seperti itu. Tapi salah tulis, yang benarnya: 

“Bismillaahi wabillaahi walhamdulillaahi wakhoirul-asmaa-i lillaahi” 

Daris Asgar: Iya ustadz,,,afwan,,,karena itu saya copas dari pdf nya langsung, jadi rusak,,,Maksud saya ingin menunjukkan bahwa sebelum Khoiru tersebut, dalam ebook pdf tersebut memang ada huruf “La”..terimakasih Ustadz.. 

Sang Pencinta: Terimakasih,,, insyaAllah tempo hari saya juga sudah mengerti, bahkan sebelum menanyakannya sudah memiliki dugaan kuat...hanya saja ingin mengkonfirmasikan bahwa pada ebook pdf tersebut memang ada kesalahan ketik... 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kewajiban Mengetahui Dzat dan Sifat-Sifat Tuhan


Seri tanya jawab Peter Sondakh dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:30 am

Peter Sondakh: 6 Maret 2013, Peter mau nanya nih.. benar gak sih dalam islam itu “kalo mempertanyakan tentang Tuhan sama halnya mengejekNya?” 

Sepeda Ontel: Ya justru Tuhan itu harus kita kenal bukan hanya bertanya tentang Tuhan, 

Arief Fadhillah: Setahuku, yang dilarang hanyalah pembahasan mengenai dzatNya. Aku belum pernah menjumpai pelarangan dalam membahas sifat dan perbuatanNya. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Bertanya itu ada berbagai tujuan. Ada yang bertanya tapi maksudnya mengejek, misalnya “Apa Tuhan itu?” yang biasanya disertai dengan nada mengejek. Ini yang jelas tidak boleh. 


Tapi kalau bertanya ingin tahu, maka bukan lagi tidak dikatakan tidak mengejek, dan tidak lagi dikatakan boleh, tapi bahkan wajib dilakukan. 

Saya sudah sering menulis di facebook ini bahwa Tuhan sendiri mewajibkan kita untuk mengetahuinya. 

Banyak ayat yang memerintahkan kita mengetahui DiriNya dan sifat-sifatNya, seperti: 

- QS: 2: 209: 

فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ 

“Maka ketahuilah oleh kalian, bahwa Allah itu Maha Mulia dan Bijaksana.” 

- QS: 5: 34: 

فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ 

“Maka ketahuilah bahwa Allah itu Maha Pengampun dan Kasih” 

........... dan seterusnya... 

Dimana semua ayat-ayat yang banyak itu mewajibkan kita mengetahuiNya. Jadi, sudah tentu, bagi yang belum tahu tentangNya atau belum tahu banyak tentangNya, boleh bertanya. Ingat, perintah-perintah di atas itu perintah untuk mengetahui, bukan kata-kata gertakan. Tapi perintah suruhan untuk mempelajariNya. 

Zee Segaf: Tuhan itu tidak ada dan tidak akan pernah ada. 

Andre Nan Sabatang: “Tuhan itu ada dan tetap ada adaNYA”,,,,,, 

Andre Nan Sabatang: “Bila anda berkata tuhan itu dimana berarti anda menghendaki IA mempersempit keadaanNYA,,,padahal IA tak terjamah oleh ruang dan waktu,,,,bila anda berkata kenapa,, bagaimana,, berarti anda menyamainya dengan makhluk,,,,bila anda mengatakan tidak,,berarti anda menghendaki selainNYA,,,,,”,,,,,,itu yang dimaksud ranah tentang dzat,,,,bila begitu bagaimana kita mengenalNYA? Pahami sifat sifatNYA,,,sebab dzat dan sifat tak berlainan,,,,,,,semoga manfaat yah brooo,,,,,spiriittt om,,,,hehehe,,,, 

Hanifan Prasna Verdi: Ada dua kemungkinan : Apakah niatnya seperti nabi Musa atau Nabi Ibrahim yaitu mencari kebenaran, maka akan diberikan jalan untuk mengenalNYA, atau niatnya seperti kaum kafir hanya mengejek..maka disambar halilintar. Dalam artian malah dijauhkan untuk bisa mengenalNYA. semakin jauhhh. 

Zee Segaf: Sesungguhnya orang-orang tauhid (yang mempelajarinya) menciptakan Tuhan dari pikirannya sendiri dan bukan Tuhan sesungguhnya. 

Sinar Agama: Arief dan Zee: Mengenal DzatNya juga diwajibkan oleh Allah. Ayat-Ayat yang sudah saya kutip di atas itu, sudah menunjukkan hal ini. Karena ketika diwajibkan mengetahui bahwa “Allah itu Maha Pengampun”, tandanya harus tahu dulu siapa Allah itu. Kalau kita tidak tahu Dzat Yang Disifati, maka jelas tidak akan tahu sifatNya dan tidak akan pernah tahu bagaimana pensifatanNya itu. Tahu sifat tanpa tahu dzat, jelas sifatnya akan jauh dari dzat. Artinya, akan bisa membuat sifat tersebut, bahkan yang menentang dan merendahkan dzat yang disifatinya. 

Apalagi QS: 47: 19: 

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَ إِلَهَ إِلَّ اللَّهُ 

“Maka ketahuilah bahwa tiada Tuhan kecuali Allah!!” 

Jadi kita diwajibkan tahu yakni diwajibkan berilmu dimana ilmu mesti dengan argumentasi, bahwa tiada Tuhan kecuali Allah. Yakni mengapa seperti itu. Yakni harus tahu makna Tuhan dan harus tahu pula bahwa Tuhan itu hanya dan hanya Allah. 

Tentu saja, pengetahuan ini, yakni tentang Allah dan Sifat-SifatNya ini, yakni yang diwajibkan Tuhan untuk diketahui ini, semua dan semua, hanya seukuran kemampuan maksimal manusia. 

Artinya, hanya diwajibkan tahu, bukan mencapai. Karena itu, tidak usah bingung dengan perkataan bahwa bagaimana bisa tahu Tuhan yang tidak terbatas dengan akal yang terbatas? Karena yang diwajibkan tahu adalah tahu maksud dan maknanya, bukan mencapainya. 

Apa lagi ketika seseorang mengatakan seperti diatas itu, maka sudah pasti ia tahu makna tidak terbatas. Lah, kok bisa ia mengerti makna tidak terbatas, sementara melarang untuk mengerti Tuhan Yang Tidak Terbatas???!!! 

Karena itulah maka yang kita tahu itu adalah pahaman kita saja yang kita buat sesuai melalui argumentasi gamblang sesuai dengan perintah-perintahNya di ayat-ayatNya di atas itu dan, sudah tentu pahaman ini adalah buatan kita sendiri. 

Tapi buatan ini wajib dilakukan. Tapi dalam menyembah, kita tidak boleh menyembah pahaman ini tanpa sifat Allah Lebih Besar (Allahu Akbar), yakni Allah Lebih Besar Dari Pahamanku ini. 

Kalah Tuhan tidak diketahui sama sekali, lah...trus kita menyembah apa ketika menyembah?! 

Kalau kita disuruh memikirkan alam, maka berarti ketika shalat harus memikirkan alam, baik dalam tegak, rukuk dan sujud. Lah....bukankah ini namanya menyembah alam?! 

Jadi, sembahlah Allah yang, tentu saja sesuai dengan yang kita pahami itu, akan tetapi dengan pensifatan bahwa Allah Lebih Besar Dari Yang Kita Tahu itu. 

Semua ilmu ini tidak mudah tanpa ajaranNya yang disalurkan melalui kitabNya dan hadits-hadits NabiNya saww serta hadits para imam makshumNya as. 

Wassalam. 


Sciita Ali: Bagaimana memahami makna dari firman Allah SWT, “Aku sebagaimana persangkaan hambaKu” (mudah-mudahan saya tidak salah kutip) jika dihubungkan dengan penjelasan ustadz pada paragraf ke-4 dari bawah? 

Sebelum dan sesudahnya, makasih banyak ustadz.... 

Sinar Agama: Sciita: Alinea 4 dari bawah itu menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya yang wajib diketahui dengan penambahan bahwa Ia lebih besar dari yang kita tahu. Sedang baik atau buruk sangka pada kita, merupakan bayangan terhadap apa yang akan dilakukanNya terhadap kita dan, hal ini jelas beda dari yang kita bahas. 

Sciita Ali: Bisa ustadz jelaskan lebih lanjut kata-kata, “Sedang baik atau buruk sangka pada kita, merupakan bayangan terhadap apa yang akan dilakukanNya terhadap kita”?



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 28 April 2019

Beda Ulama dan Ustadz


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:12 am

Sang Pencinta: 6 Maret 2013, Salam, secara asal kata dan istilah, apakah definisi ulama’, apakah ulama sama dengan ustadz? Kapan ulama ini layak/bisa disandangkan pada seseorang? Terima kasih ustadz. — bersama Sinar Agama. 

Apakah penyandangan ulama disandarkan pada akademisi atau syarat-syarat spesifik? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Ulama (baca: Ulama Islam) menurut idiomnya dan istilahnya tentu diberikan kepada orang yang secara spesifik mempelajari agama Islam secara lama dan sampai ke tingkat tertentu yang secara ‘uruf (‘urf) dan peristilahan para ahli agama, dapat dikatakan sebagai ulama. 


Ustadz (baca: Ustadz agama) adalah para guru dan pengajar agama dengan segala bidang dan latar belakang serta tingkatannya. Misalnya ustadz tajwid, ustadz qiraat, ustadz bahasa arab, ustadz hadits kitab awal/ mukaddimah, ustadz ushulfikih kitab awal/mukaddimah atau pertengahan atau tingkat tinggi...dan seterusnya. 


Jadi, ulama menguasai semua atau banyak ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan agama Islam sekalipun tidak mengajar dan tidak menulis. Tapi ustadz, belum tentu menguasai semua ilmu dan sangat belum tentu menguasai satu bidang ilmu yang di tingkat pertengahan sekalipun. 

Singgih Djoko Pitono: Hari ini banyak yang menyandang sebutan ustadz, baru nyadar setelah penjelasan di atas, bahwa ustadz itu memang bukan ulama... Tetapi anggapan umum mengatakan bahwa ustadz itu didefinisikan seperti penjelasan “ ulama” di atas. 

Susi Noorhayati: Assalamualaikum ustadz Sinar Agama, afwan mau tanya ustadz. Bagaimana caranya agar seorang murid bisa berada di dalam hatinya sang guru?? Dan bagaimana pula kita mengetahui bahwa seorang murid telah berada di dalam hati gurunya?? Mohon penjelasannya ustadz!! 

Sinar Agama: Susi: Guru tidak akan pernah meletakkan muridnya dalam hatinya kecuali dalam arti ingin melihat muridnya bahagia dengan ketaqwaan dunia-akhirat. Dan murid yang benar, tidak mengharap apapun dari gurunya kecuali ingin selalu dalam taat yang diajarkan gurunya dunia-akhirat. 

She Lha: Ana cinta om Sinar Agama. 

Panda Bms: Asalamu’laikum wr wb, salam,? Betulkah bagi siapa yang ingin masuk surga bagi umat muslim beragama islam harus mencintai Rasulullah Nabi Muhammad saw & Keluarganya? Mohon dijelaskan makasih? Tolong jawab untuk Sinar Agama? 

Sinar Agama: Panda: Ketika setiap muslim diwajibkan bershalawat dalam shalatnya kepada Nabi saww dan Ahlulbaitnya/ keluarganya, maka sudah pasti ada maksud di dalamnya. Yaitu wajib menyintai dan menaati serta mencontohnya. Perintah ini juga ada di Qur'an dan ratusan di hadits-hadits Nabi saww. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kesamaan Islam dan Agama-Agama Lain


Seri menjawab kiriman Riani Azri berbagi foto Inilah Bukti Kesesatan Syi’ah. 
oleh Sinar Agama

by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:07 am


Riani Azri berbagi foto Inilah Bukti Kesesatan Syi’ah: 6 Maret 2013, 

Kesamaan Syi’ah dan Nasrani 

Foto sebelah kiri orang-orang nasrani (kristen) memperingati kematian Isa Al-Masih dan foto sebelah kanan Syi’ah (rofidhoh) memperingati kematian Husein Radhiallahu anhu. 

Dan apa yang dilakukan oleh Syi’ah dan nasrani tidak pernah ada di dalam syari’at islam dan tidak di contohkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam. 

Sumber: http://inilah-bukti-kesesatan-syiah.blogspot.com/ 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih tag-annya yang semakin lucu-lucu. Betapa tidak lucu, kalau nabi Isa as tidak disalib dalam keyakinan Islam dan Qur'an, akan tetapi pembantaian keluarga Rasul saww merupakan kenyataan di depan mata. Sementara keluarga Nabi saww tiap hari harus/wajib dishalawati dalam setiap shalat (tahiyyaat) oleh kaum muslimin sendiri, baik yang mengikutinya (Syi’ah Ahlulbait as), atau yang memeranginya atau bagi yang melecehkan pembantaiannya. Bukankah kalian membaca ini dalam shalat: 

اللهم صل علي سيدنا محمد وآل سيدنا محمد 

“Ya Allah, sejahterakan junjungan kami Muhammad dan Keluarga junjungan kami Muhammad”. 

Lah.....antum semua bershawalat untuk keluarga Muhammad tapi melecehkan pembantaian terhadap mereka as hanya karena pembantai-pembantainya adalah para sahabat-sahabat Nabi saww???!!! Kalau ngeritik shahabat saja disesatin, terus yang membunuh shahabat di berbagai peperangan antar mereka sendiri itu bagaimana dan terlebih bagi yang membantai keluarga 

Rasulullah yang wajib dicintai dalam Qur'an dan hadits-haditsnya seperti shahih Muslim hadits ke: 2245: 

وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ 
اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذكَِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذكَِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذكَِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي 
فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ 
الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ 

“....dan aku wariskan/ tinggalkan dua perkara yang berat untuk kalian, yang pertama adalah kitabullah yang merupakan petunjuk dan cahaya, maka ambillah kitabullah dan berpegang teguhlah padanya dan rangsanglah terhadap kitabullah dan anjurkanlah kepadanya.” Kemudian beliau saww bersabda: “Kemudian (yakni yang ke dua) adalah Ahlulbaitku/keluargaku, kuingatkan kalian kepada keluargaku, kuingatkan kalian kepada keluargaku, kuingatkan kalian kepada keluargaku!!!” Lalu Hushain berkata kepada Zaid: “Terus siapa Ahlulbaitnya/ keluarganya itu ya Zaid, bukankah istri-istrinya adalah keluarganya???” Zaid menjawab: “istri-istrinya dari keluarganya???? Bukan. Akan tetapi keluarganya adalah yang diharamkan shadaqah/ sedekah/ zakat untuk mereka setelahnya -Nabi saww.” Ia -Hushain bertanya lagi: “Siapa-siapa mereka itu???” Ia -Zaid- menjawab: “Mereka itu adalah keluarga/keturunan Ali bin Abi Thalib dan Aqiil dan keluarga/ keturunan Ja’far dan keluarga/keturunan ‘Abbaas.” Ia -Zaid- berkata: “Semua itu adalah orang-orang yang diharamkan untuk mereka shedekah/ sedekah/zakat.” 

Memangnya setiap yang ada kesamaannya sikap dengan orang kafir lalu dihukumi seperti kafir???!!! Kalau begitu jangan shalat dan berdoa, karena kafirin juga shalat dan berdoa. Jangan puasa, karena kafirin juga berpuasa. Jangan makan dan berpakaian karena mereka juga seperti itu. Jangan menolong orang karena mereka juga begitu. Jangan menyebut Allah karena mereka juga begitu. Jangan ini dan jangan itu, karena mereka juga begitu? 

Andi Zulfikar: Ahsantum! 

Bimo Mangkulangit: Betul ustadz....wahai yang kirim tag, kafirin juga berpuasa berarti saya dan anda juga kafir karena berpuasa. Kafirin juga sujud berarti anda dan saya kafir, kafirin berbuat baik kepada kaum miskin berarti anda dan saya juga kafir karena berbuat begitu. 

Riani Azri: Salam ustadz saya dan suami sudah abis abisan ngajarin dan argumentasi bahkan dah dikasi pinjami 3 buku Mafatih jinan tapi tetap aja orang ini yang ngirim status Rahman Effendi seperti otaknya sudah tertutup kebenaran sehingga nyasar kemana-mana. Seperti kebangkitan karbala yang mereka putar balikan (di inboxnya ustadz telah saya kirim sebelumnya). Apa yang harus kita lakukan untuk orang seperti ini Ustadz? 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Dzikir-khusus dan Dzikir-mutlak Dalam Shalat


Seri tanya jawab Daris Asgar dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:02 am



Daris Asgar mengirim ke Sinar Agama: 5 Maret 2013, Salam Ustadz, dalam AI, 

SOAL 341: 

Apakah badan diwajibkan tenang dan tidak bergerak (istiqrâr) sama sekali ketika membaca zikirzikir mustahab dalam shalat ataukah tidak? 

JAWAB: 

Perihal kewajiban istiqrâr dan tenang ketika sedang shalat, tidak ada perbedaan antara zikirzikir yang wajib dan yang mustahab. Kecuali jika pembacaan dzikir dilakukan dengan niat dzikir muthlaq walaupun dibaca dalam keadaan bergerak tidak bermasalah. 

Pertanyaan saya, apakah yang dimaksud niat dzikir muthlaq di sini sehingga walaupun dibaca dalam keadaan bergerak tidak bermasalah ? 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Dzikir mutlak/muthlaq adalah dzikir yang tidak ditentukan caranya. Misalnya mau baca apa saja di dalam shalat, sekalipun yang tidak ada aturan dan ajarannya, dibolehkan asal dengan niat tidak wajib dan tidak sunnah. Jadi, dzikir itu bisa wajib dan bisa sunnah. Dan yang sunnah inipun, ada yang sunnah yang diatur caranya dimana seperti dzikir-dzikir shalat itu dimana salah satu aturannya adalah tidak bergerak, dan ada pula yang tidak diatur caranya yang disebut dzikir muthlaq itu. Jadi, kesunnahan itu ada yang sunnahnya dengan aturan tertentu dan ada pula yang tidak dengan aturan tertentu. Seperti dzikir dimana hal ini jelas sunnah, baik dilakukan di luar shalat atau di dalam shalat. Seperti membaca “Ya Kariim” atau asma-asma lainnya. Atau doa juga begitu, yakni sunnah baik di luar shalat atau di dalam shalat seperti doa “Allahumma ighfirlii”. 

Nah, dzikir-dzikir dan doa-doa atau ayat-ayat yang sunnah dibaca di luar shalat itu, bisa dibaca atau dilakukan di dalam shalat. Asal tidak diniatkan sebagai sunnah-shalat atau tidak ada larangan seperti membaca ayat yang wajib sujud. 

Kalau dzikir sunnah yang diatur dan yang tidak diatur itu sudah jelas, maka ketahuilah bahwa sunnah yang diatur itupun, bisa dibaca tanpa aturan kalau niatnya dengan niat tanpa aturan alias muthlaq itu. Jadi, dzikir-dzikir sunnah shalat, seperti takbir selain takbir ihram, atau bacaan sunnah yang dilakukan duduk, atau kesunnahan dalam rukuk dan sujud seperti shalawat, ....dan seterusnya itu, dimana cara bacanya sudah diatur itu, seperti tidak boleh bergerak itu, juga bisa dilakukan dengan gerakan kalau niat kesunnahan-shalatnya dirubah menjadi sunnah-muthlaq. 

Jadi, yang bisa diniatkan menjadi dzikir atau bacaan muthlaq itu bukan hanya dzikir-dzikir yang beda dengan dzikir-dzikir shalat, tapi termasuk dzikir-dzikir shalat yang disunnahkan itu, juga bisa dirubah niatnya menjadi dzikir muthlaq. 

Wassalam. 

Daris Asgar: Salam Ustadz,,terimakasih Ustadz. 
Wassalam. 

Arief Syofiandi: Maaf akhi sang pencinta bisa minta tolong link tentang sholat tahajud oleh ustadz Sinar Agama...makasih sebelumnya... 

Sang Pencinta: Salam, waktu itu seingat saya sudah saya tukilkan, http://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/sholat-tahajud/490310481018863


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 24 April 2019

Predikasi Antara Eksistensi dan Esensi


Seri tanya jawab Muhammad Zaranggi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:57 am


Muhammad Zaranggi mengirim ke Sinar Agama: 5 Maret 2013 melalui seluler 

Salam ustadz..afwan... Mohon penjelasan kaidah wujud sebagai berikut : Di dalam akal wujud mensifati esensi. Oleh karenanya kita dapat memberikan atau menarik wujud dari esensi. Sedang di luar akal maka esensilah yang mensifati wujud. Oleh karenanya kita dapat mengabaikan esensi dan hanya memperhatikan ke-wujudan sesuatu. 


Terima kasih... 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Sepertinya ana sudah pernah menjawab soalan seperti ini. Ana tidak tahu yang bertanya itu antum atau orang lain. Kita tunggu dulu Sang Pencinta barangkali dapat membantu. 

Sang Pencinta: 1014. Wujud Tuhan dan Ketiadaan Esensi Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464411396936995/ 

Sang Pencinta: 1016. Posisi Eksistensi dan Esensi Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464412050270263/ 

Sang Pencinta: 996. Presepsi Dan Esensi yang Belum Dikenali Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464406786937456 

Sinar Agama: Sekedar meringkas mungkin (setelah antum baca nukilan Pencinta di atas): Di alam nyata, tidak ada yang bisa mendahului wujud, baik esensi atau lainnya. Karena itu, maka wujud dulu yang ada, baru esensinya. Karena esensi ini adalah batasan wujud itu. Jadi, yang dibatasi dulu harus ada, baru batasannya. Dahulu mendahului di sini, bukan dari sisi waktu. Tapi dari sisi tertib wujud. 

Dengan demikian, maka wujudlah yang harus selalu menjadi subyek dari predikat yang akan ditetapkan padanya. Yakni wujud harus jadi subyeknya dan esensi menjadi predikatnya. 

Akan tetapi di dalam akal, wujud dan esensi ini bisa dipisahkan. Karena akal dapat memahami bahkan yang tidak ada, yakni pahaman “tiada”. 

Yang ke dua, dalam akal, sepintas esensi dulu yang terlihat melebihi wujud atau eksistensinya. 

Misalnya kalau membayangkan pohon. Maka akal, pertama bisa membayangkan pohon tanpa wujud. Lalu ke dua, akal bertanya apakah pohon ini ada atau tidak? Lalu ia menjawab “ada” misalnya. Karena itu, maka di dalam akal, yakni dalam pahaman, seringnya esensi itu yang menjadi subyek dan wujud menjadi predikatnya. 

Padahal sebenarnya, yang benar, bukan “Pohon ini/itu ada”, tapi “Wujud ini berupa pohon.” 

Masih ada lagi yang lainnya hingga bagi kepahaman, wujud seperti nampak lebih jelas dari esensi seperti ketika melihat wujud dari jauh yang tidak jelas esensinya. Akal akan bertanya-tanya “apakah wujud itu?”. Ini tandanya, kurang perhatiannya akal pada beberapa kondisi, selain pada esensi itu sendiri. 

Itulah mengapa dikatakan bahwa wujud itu paling terangnya sesuatu tapi dalam pada itu, ia juga merupakan paling tidak diketahuinya sesuatu. Dan dikatakan bahwa saking terangnya wujud itu, hingga kurang diperhatikan atau kurang dipahami. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Predikat Wujud Harus Berwujud Pula



Seri tanya jawab Muhammad Zaranggi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:55 am

Muhammad Zaranggi mengirim ke Sinar Agama: 5 Maret 2013 melalui seluler, Salam ustadz. 


Mohon penjelasan dan contoh dari kaidah wujud sebagai berikut: Setiap yang mengiringi wujud dari sifat-sifat dan hukum-hukum atau berita -berita maka semua itu tidak keluar dari zatnya. Karena di luar zat-wujud adalah ketiadaan. Afwan ustadz... 



Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Wujud atau eksistensi, adalah keberadaan. Keberadaan ini, kalau dipredikati, apapun predikat itu, maka harus juga ada. Karena kalau mempredikati atau mengabarkan wujud dengan sesuatu yang tidak wujud (tiada), berarti telah membuat kontradiksi yang nyata. Karena itulah, maka wujud, tidak bisa dikabari atau dipredikati dengan sesuatu yang tidak wujud. 

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana mungkin yang tidak wujud bisa dijadikan predikat atau berita? Jawabnya, sesuatu yang dijadikan berita itu tidak seutuhnya tiada. Dia hanya tiada di alam nyata atau di alam realitas, tapi ada di akal dan pahaman kita seperti pahaman tiada itu sendiri, atau sekutu Tuhan, atau ayah nabi Isa as...dan seterusnya....dimana hal-hal itu tidak ada di alam nyata, tapi ada di pahaman kita. 

Bahkan, yang tiada di alam nyata dan hanya ada dalam pahaman kita itu, bisa dijadikan subyek, seperti: “Sekutu Tuhan itu mustahil adanya” atau “Tiada itu tidak bisa dijadikan predikat.” atau “Kontradiksi itu mustahil terjadi”.....dan seterusnya. 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu, maka dapat dipahami bahwa kalau yang diinginkan sebagai subyek itu adalah keberadaan, maka predikat-predikat atau berita-beritanya, harus pula berupa keberadaan. Karena selain keberadaan adalah tiada yang akan kontradiktif dengan keberadaan kalau mau dijadikan predikatnya hingga membuat pemberitaannya atau pempredikatannya, akan menjadi salah. Yakni proposisi atau kalimat berita atau subyek predikat itu, akan menjadi salah kalau dipredikati dengan hal-hal yang tiada. 

Karena itulah maka wujud atau keberadaan, hanya bisa dipredikati atau dengan kata lain diiringi, dengan hal-hal juga ada juga. 

Misalnya: “Ada itu adalah ada”, atau “Ada itu adalah substansi dan aksidental”, atau “Substansi itu adalah substansi”, atau “Substansi itu ada lima macam”, atau “Substansi itu sesuatu”, atau “Substansi itu sesuatu yang keberadaannya tidak perlu kepada pondasi/partner”, atau “Aksidental itu adalah aksidental”, atau “Aksidental itu perlu kepada substansi kalau ingin eksis/ nyata”....................... dan seterusnya. 

Atau seperti “Manusia itu manusia”, atau “Manusia itu rasional”, atau “Manusia itu beradab”, atau “Manusia itu memiliki ruh”, atau “Manusia itu memiliki ilmu”, atau “Manusia itu ada yang sarjana”, ....dan seterusnya. 

Semua berita atau predikat-predikat dari ada atau sesuatu yang ada itu, harus juga berupa ada dan keberadaan, tidak bisa dari hal-hal yang tiada, seperti “Ada itu adalah tiada”, atau “Ada itu sekutu Tuhan”, atau “Substansi atau Aksident itu adalah ayah nabi Isa as atau ayah nabi Adam as.”, atau “Ada/substansi/aksidental itu adalah ayah Tuhan”, atau “Isa adalah anak Tuhan”....dan seterusnya. 

“Tiada”, “Sekutu Tuhan”, “Ayah nabi Isa/Adam as” dan “Ayah Tuhan” dan “Anak Tuhan”, adalah hal-hal yang tiada. Karena itu, tidak bisa dijadikan predikat atau berita atau iringan, terhadap hal-hal yang ada seperti yang disebut dalam contoh di atas tersebut. 

Sang Pencinta: Logika (bgn 6 ): seri Tanya jawab Status Ustadz. Muhsin Labib 

(status) :Muhsin Labib: sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apapun tidak berlaku.. = http://www.facebook.com/home.php?sk=group_210570692321068&view=doc&id=212301118814692 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Batalnya Wudhu Sebelum Masuk Waktu Shalat


Seri tanya jawab Daris Asgar dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:28 am

Daris Asgar mengirim ke Sinar Agama: 4 Maret 2013, Salam Ustadz, dari AI-I Rahbar, saya memahami bahwa, Wudhu yang berdekatan (sesuai pandangan Urf) dengan Sholat fardhu, boleh melakukan Sholat Fardhu tersebut, 

Kemudian Wudhu mustahab (menjaga diri dalam keadaan wudhu) bila sampai waktu sholat fardhu, bisa melakukan sholat fardhu tersebut. 

Wudhu dari satu Sholat fardhu ke sholat fardhu lainnya masih bisa digunakan, misal wudhu maghrib untuk Isya... Yang ingin saya tanyakan: 

  1. Apakah masih boleh wudhu Maghrib untuk Sholat Isya/ Dzuhur untuk Ashar ,,,kalau pelaksanaan Sholatnya ada selang waktu yang cukup panjang baik karena dzikir/ pekerjaan lain? 
  2. Apakah boleh wudhu dari Sholat sunat lail digunakan untuk Sholat Shubuh baik berselang waktu cukup lama ataupun tidak?
  3. Saya memiliki kasus bahwa, saya harus bertakiah untuk Sholat Shubuh karena harus berjama’ah, namun saya biasa mengulangnya kembali di kamar. Apakah saya harus mengulang wudhu untuk mengulang sholat saya? 
Saya berpendapat bahwa untuk pertanyaan saya di atas, semua jawabannya iya (wudhunya bisa digunakan), tapi saya ingin memastikan Ustadz, terimakasih... 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

Mukaddimah: 

Harus diketahui bahwa wudhu itu sunnah dan wajib. Kalau wudhu wajib, adalah yang harus dilakukan manakala sudah wajib, seperti sudah masuknya waktu shalat. Karena itu, kalau berwudhu sebelum waktu shalat masuk, maka wudhunya itu tidak syah kalau diniatkan sebagai wudhu-shalat dimana ia wajib. Karena sebelum masuk waktu shalat, shalatnya belum wajib hingga wudhu’nya juga dibilang wajib. Jadi, sebelum waktu shalat masuk, maka sebagaimana shalatnya tidak wajib, maka wudhu’nya juga tidak wajib. Nah, ketika wudhu yang tidak wajib ini diambil dengan niat wajib (karena diniatkan untuk shalat yang akan datang itu), maka jelas akan menjadi batal. 

Sedang wudhu sunnah, adalah wudhu yang diambil bukan untuk kewajiban-kewajiban, seperti hanya supaya selalu bersih dan dalam keadaan suci, atau untuk mengaji Qur'an, atau untuk shalat sunnah, atau untuk doa....dan seterusnya. 

Wudhu sunnah ini, bisa dipakai untuk kewajiban-kewajiban yang perlu kepada wudhu, seperti menyentuh Qur'an dan bahkan seperti shalat wajib yang akan datang itu. Akan tetapi, wudhu wajib yang belum wajib itu, dari awal sudah batal. 

Sudah tentu, kalau sebelum masuknya itu tidak jauh, tapi berdekatan, seperti ketika mendengar tarhim (yang umum di Sunni) seseorang mengambil wudhu untuk shalat yang akan segera dikumandangkan dengan adzan setelah tarhim itu, maka wudhu ini di fatwa Rahbar hf di atas itu, adalah syah untuk shalat wajib itu. 

Sekarang jawaban soalan antum: 

1- Wudhu wajib yang diambil untuk kewajiban-kewajiban seperti shalat wajib itu, yakni kalau untuk shalat wajib berarti wudhu-nya diambil di waktu sudah masuk waktu shalat wajib tersebut, bisa dipakai untuk apapun, baik hal-hal sunnah seperti shalat sunnah atau kewajibankewajiban lain seperti menyentuh Qur'an dan/atau shalat wajib berikutnya. Tentu saja selama tidak batal. Jadi, kalau wudhu itu tidak batal sampai seminggu sekalipun, maka bisa dibuat shalat wajib selama seminggu itu. Jadi, kalau mengambil wudhu-wajib yang diambil diwaktu shalat zhuhur sudah masuk, misalnya, maka selama belum batal, yakni tidak keluar angin, tidak kencing, tidak tidur, tidak buang air besar, ...dan seterusnya... dari hal-hal yang membatalkan wudhu, maka wudhu itu tetap bisa dipakai untuk apapun kewajiban yang seminggu ke depan itu. 

2- Sudah di jawab di atas. 

3- Kalau wudhu antum yang untuk shalat shubuh menutup diri itu (bukan takiah yang umum), diambil setelah masuknya shubuh, maka jelas tidak perlu lagi untuk mengulangnya. 

Pelengkap: 

Kalau seseorang berwudhu kapan saja, tanpa berniat sunnah atau wajib dalam hatinya, dan hanya meniatkan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka wudhu ini bisa dipakai untuk apapun, baik masa sekarang atau masa yang akan datang selama belum batal. 

Daris Asgar: Salam Ustadz,,,terimakasih Ustadz... 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 22 April 2019

Sulitnya Pertanyaan “Tuhanmu Siapa?” di Alam Kubur/ Akhirat



Seri tanya jawab Bande Husein Kalisatti dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:25 am

Bande Husein Kalisatti mengirim ke Sinar Agama: 4 Maret 2013, Salam, dalam hadits-hadits diberitakan akan ada pertanyaan dalam alam kubur, misal : Siapa Tuhanmu, siapa Nabimu, siapa Imammu..dan lain-lain..pertanyaannya “Apakah Ruh serta merta dapat menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut atau apakah argumentasi-argumentasi yang dibangun dengan akal saat dunia tentang Tauhid, Kenabian, Imamah bisa membantu Ruh dalam menjawab pertanyaan tersebut..? Atau bila salah dalam membangun akidah maka apakah Ruh akan kesulitan menjawab pertanyaan dalam alam kubur tersebut..? Afwan. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 
Ilmu di dunia itu ada dua macam: Hushuli dan Hudhuri. 

1- Ilmu Hushuli adalah ilmu yang belum menyatu dengan ruh, yaitu ilmu-ilmu yang dibangun karena dalil-dalil dan argumentasi. Tentu saja argumentasi-argumentasi yang sudah benar. Sebab kalau argumentasinya salah, maka ia bukan ilmu atau bukan tahu, tapi justru ketidaktahuan ganda (jaahil murakkab). 

Nah, ilmu-ilmu yang dibangun dengan panca indra, baik yang tanpa premis-premis atau dalil-dalil argumentasi, atau dengan aturan premis-premis yang disusun hingga menjadi argumentasi yang kuat, semua itu, adalah ilmu Hushuli. 

Ilmu-ilmu Hushuli ini, jangankan di kuburan dan akhirat, di masa tua saja biasanya sudah dilupakan dan bahkan dalam beberapa jam atau hari, bisa terlupakan. 


Karena itu, ilmu-ilmu yang kuat sekalipun, seperti dengan dalil-dalil filsafat sekalipun, atau dalil-dalil irfan sekalipun, akan tetap ditinggalkan di dunia dan tidak akan pernah dibawa ke alam kubur. 

Jadi, jangan kira bahwa karena kita di dunia ini sudah alim, pandai dan kuat argumentasiargumentasinya, dan bahkan sudah menulis buku atau memiliki jutaan murid, lalu sudah aman dan di kuburan/akhirat pasti bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mudah seperti “Siapa Tuhanmu?” dan seterusnya. Karena ilmu argumentasi tersebut, tidak akan pernah bisa dibawa ke kuburan atau akhirat.
2- Ilmu Hudhuri adalah ilmu yang menyatu dengan ruh, seperti ilmu tentang keberadaan diri kita sendiri, ilmu kita tentang kondisi kita seperti marah, cinta, benci, ridha, senang....dan seterusnya. Ilmu-ilmu ini, akan selalu menemani kita kemana saja karena ia sudah merupakan bagian dari substansi diri kita atau ruh kita. 

Sedangkan ilmu-ilmu Hushuli di atas itu, bisa dijadikan ilmu Hudhuri juga dengan proses gerak-substansi. 

Sebagaimana sudah sering dijelaskan di catatan-catatan, bahwa gerak itu, yaitu perubahan dari titik potensi ke titik defacto (yang dipotensi-i), ada dua macam: Gerak Aksidental (seperti gerak volume mangga kecil ke besar, kualitas mangga masam ke manis...dan seterusnya, atau gerak ruh dari tidak tahu ke tahu seperti dalam ilmu-ilmu Hushuli itu) dan Gerak Substansial (seperti gerak mani ke darah, ke daging, ke janin dan ke bayi sempurna dan ke manusia sempurna). 

Dan sudah dijelaskan juga bahwa gerak Aksidental itu bisa menjadi Gerak Substansial, seperti sifat-sifat manusia yang sudah mengakar dan mengkarakter. Nah, ilmu Hushuli-Hushuli itu, kalau diproses dengan Gerak Substansial, maka ia akan menyatu dengan ruh manusia itu dan selamanya akan menyertainya. 

Mensubstansikan ilmu Hushuli menjadi Ilmu Hudhuri, adalah dengan cara mengaplikasikannya. 

Aplikasi ini, juga tidak bisa hanya sekali dua kali, karena ia akan tetap menjadi sifat atau aksiden. Misalnya, shalat yang dilakukan sekali dua kali, apalagi shalat yang tidak khusyu’ hingga mungkin belum masuk ke dalam kategori shalat secara hakiki, tidak akan membuat pelakunya berkarakter dengan “Pelaku Shalat”. Jadi, dia baru menjadi orang yang memiliki sifat “Pelaku Shalat”. Tapi kalau sudah dilakukan sebegitu rupa hingga mustahil ditinggalkan, maka ia akan menjadi “Binatang Rasional Pelaku Shalat” atau bisa diringkas dengan “Binatang Rasional Shalat.” 

Sudah tentu, mutu shalat yang terkarakterkan itu akan memiliki ribuan macam. Ada shalat yang tidak khusyu’, ada shalat yang agak khusyu’, ada yang shalat riya’ (karena ingin dipuji orang atau ingin sehat), ada yang shalat salah fikihnya, ada shalat.......dan seterusnya. 

Saya hanya mencontohkan satu masalah yang bisa berubah dari Aksidental/sifat menjadi Substansial/dzat. Itu saja, dan tidak membahas apa yang pada hakikatnya telah menjadi substansialnya itu. 

Begitu pula sifat-sifat lain, baik ia sifat baik seperti jujur, penolong, pemaaf (pada tempatnya), atau ia sifat buruk seperti riya’, sombong, tidak menghargai orang lain, ingin jadi pemimpin orang lain, menggunakan teman sendiri, menjual derita orang untuk kepentingan diri dan golongannya, korupsi, pemakan riba, ................dan seterusnya. 

Ringkasan: 

Dengan semua penjelasan itu dapat dipahami bahwa Ilmu Hushuli itu, yakni Ilmu yang sudah benar tentang Tuhan dan keimanan-keimanan lainnya dan sudah dibuktikan dengan panca indra dan akal argumentatif, dapat dijadikan Ilmu Hudhuri dengan mengamalkannya secara istiqomah hingga aplikasi tersebut mustahil terpisahkan dari kita hingga dengan hal tersebut aplikasi itu menjadi bagian dari substansi/dzat diri kita. 

Misalnya ilmu yang mengatakan “Tuhan itu ada”. Ketika kita mengaplikasikan ilmu ini, yaitu bahwa aturan hidup harus dari DiriNya, baik aturan pribadi, rumah tangga dan sosial-politik dan kita mengamalkannya dengan baik, profesional serta ikhlash dan istiqamah sampai mengkarakter kepada kita, maka ilmu Hushuli tersebut, akan menjadi Ilmu Hudhuri dan bagian dzat kita. 

Tapi kalau ilmu “Tuhan itu ada” tersebut tidak dibarengi dengan aplikasi, misalnya tidak meyakini bahwa Ia mengatur kita atau bahkan tahu kalau mengatur kita tapi kita malah menentangnya atau tidak menaatinya, sudah jelas keyakinan dan perbuatan seperti ini bertentangan dengan ilmu “Tuhan itu ada”. Karena keyakinan dan perbuatan seperti ini, jelas sama dengan menganggap bahwa “Tuhan itu tidak ada”. 

Ketika seseorang mengaplikasikan ilmu “Tuhan itu ada” dengan baik, profesional (melalui fikih dari mujtahid yang mengambil dari makshumin as yang mengambil dari Nabi saww yang mengambil dari Allah swt) dan ikhlash yang luar biasa, maka akan menjadi substansinya dan, karenanya, tidak akan pernah berpisah dari dirinya. Karena dirinya tidak akan berpisah dari dirinya sendiri, yaitu hakikat sesuatu itu adalah dirinya itu. Karena itu, ia akan dapat dengan mudah menjawab pertanyaan “Apakah Tuhan itu ada?” atau pertanyaan “Siapa Tuhanmu”. 

Ia akan menjawab “Tuhan itu ada”, dan “Tuhan itu Allah”, atau “Tuhan itu Maha Segala-galanya hingga Ia yang berhak mengatur kita dan berhak ditaati sepenuhnya tanpa menoleh dan mengambil prinsip lain walau nampak indah sekalipun.”.............dan seterusnya. 

Tapi kalau tidak mengaplikasikan ilmu itu, maka ia akan kebingungan tentang apakah Tuhan itu ada, atau atau apa fungsi keberadaan Tuhan bagi manusia di dunia, atau apa tanggung jawab manusia kepadaNya.....dan seterusnya. 

Ayatullah Jawodi hf sampai-sampai mengatakan bahwa saking bingungnya, bisa saja mengatakan bahwa si penanya itu sendiri tuhannya, yakni si malaikat penanya itu dan menjawab “Kamu adalah tuhanku”. Maksud beliau hf, kira-kira, bisa karena saking bingungnya menjawab hal tersebut, bisa juga menyebut siapa-siapa yang ia ikuti di dunia, bisa saja yayasan yang selalu diperjuangkannya, ormas yang diperjuangkannya, partai yang diperjuangkannya, posisi dan harga diri yang diperjuangkannya ...dan seterusnya. Jadi, bisa saja ia akan menjawab “Aku tuhan itu”, yakni kalau ia selalu mengikuti dirinya sendiri di dunia dan tidak mengikuti Tuhannya. Bisa saja ia akan menyebut partainya, organisasinya atau kekasih yang selalu dipuja dan diikutinya. Na’udzubillah. 

Penutup: Walhasil, dengan semua itu, maka jelas kita tidak bisa enteng-entengan tentang kuburan dan akhirat itu. Jangan sesekali merasa sudah mantap bisa menjawab pertanyaan yang diajukan dan diberitakan di hadits itu, yakni seperti pertanyaan “Siapa Tuhanmu”. Sebab kalau hanya enteng seperti itu, maka Nabi saww dan Tuhan, tidak perlu mewajibkan kita taat secara hebat dan luar biasa kepadaNya. Karena pertanyaan-pertanyaan itu sudah diberitakan sebelumnya dan semua manusia sekalipun kafir, sangat bisa mempersiapkan jawabannya dari sekarang. Yakni kalau masalahnya, hanya masalah ilmu Hushuli atau ingatan dan argumentatif itu. 

Dengan demikian, maka tidak ada jalan untuk selamat, kecuali dengan amal. Tentu saja amal yang profesional dan tepat. Karena itu, harus dengan ilmu akidah yang benar yang bisa dibuktikan dengan argumentasi mudah atau gamblang, lalu diaplikasikan secara profesional seperti harus dengan taqlid kepada marja’ yang mengambil dari para makshumin as, lalu harus dengan ikhlash yang luar biasa yang tidak bercampur selainNya sedikitpun hingga menjadi karakter kita (karakter taqwa secara profesional dan tepat itu) yang tidak terpisahkan selamanya, baik di dunia, kuburan dan akhirat. Wassalam. 

Bande Husein Kalisatti: Jad maksudnya, pertanyaan-pertanyaan itu bisa terjawab atau mudah dijawab saat ilmu dan amal sudah menjadi karakter atau mensubstansi, hingga menjadi diri... afwan. 

Sinar Agama: Bande: Benar begitu dan ilmu-ilmu itu akan hilang sebelum menjadi aplikatif yang mengkarakter tersebut. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Nusyuz dan Hukum Memukul Istri


Seri tanya jawab Yoez Rusnika dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:21 am

Yoez Rusnika mengirim ke Sinar Agama: 3 Maret 2013, Salam ustadz. Mohon penjelasan surah an nisa 34: “..Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Apa yg dimaksud dengan nusyuz, dan apakah dibolehkan memukul wanita/ istri? Syukron ustadz. 

Sang Pencinta: Salam, saya pernah baca di arsip, tapi belum ketemu mas. 

Yoez Rusnika: Oh ya saya tunggu mas sang pencinta. Mudah-mudahan ketemu.. . Terima kasih atas Perhatian dan bantuannya. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Sambil menunggu tambahan dari nukilan Pencinta: 

Nusyuuz adalah keluarnya istri dari ketaatan pada suami. Ketaatan yang dimaksud adalah dalam hal yang berurusan dengan hak-hak suami seperti sex/jimak atau pelezatan lainnya seperti ciuman dan seterusnya bahkan termasuk tidak memotong kuku dan merapikan/ menghias diri kalau suami menginginkannya (tentu saja menghias diri di rumah, tapi keluar rumah dimana maksiat, maka istri tidak wajib menaati). Begitu pula hak suami dalam urusan keluar rumah yang tidak diijinkan suami. 

Kalau istri melakukan nusyuuz ini, maka pertama dinasihati. Dan kalau tetap saja, maka bisa dibelakangin dicuekin/ diabaikan dalam tempat tidur atau pisah tidur. Dan kalau masih saja, maka bisa dipukul dari yang terpelan sampai kepada yang melebihinya. Kalau dengan yang terpelan sudah taat, maka tidak boleh melebihinya. Tapi kalau belum juga, maka bisa dinaikkan. Tapi tidak sampai tubuhnya menjadi memar atau apalagi kehitaman. 

Dan ketika memukul itu, tidak boleh dengan niat dendam, tapi harus dengan niat mendidik di jalan agama Allah. Dan kalau sampai memar, maka ada dendanya (dibahas di fikih denda). 


Nusyuuz juga bisa terjadi pada suami, seperti memukul istri atau tidak memberi belanja lahir dan batin. Kalau hal itu terjadi, maka istri boleh menuntutnya. Kalau tidak diberi juga, maka boleh menasihatinya, tapi tidak boleh memboikotnya dan apalagi memukulnya. Kalau tetap tidak memberikan hak istrinya, maka istrinya boleh mengadukannya ke hakim syar’i. Dan hakim mewajibkannya untuk memberikan hak-hak istrinya. Kalau tidak juga, maka hakim boleh menderanya seukuran mengembalikannya untuk bisa melakukan kewajiban-kewajibannya. 

Dan dalam pada itu, hakim-syar’i bisa memberikan belanja dari harta suaminya itu walau harus dengan paksa. 

Wassalam. 

Hidayatul Ilahi: Nyimak. 

Yoez Rusnika: Hakim syar’i yang dimaksud apakah pengadilan agama ustadz? Afwan. 

Caesar Jazuli: ijin share. 

Sinar Agama: Yoez: Hakim syar’i adalah mujtahid adil atau semacam utusannya yang bisa mengadili. Kalau di negara Islam jelas pengadilan agama, tapi kalau di negara bukan islam, bisa merujuk ke marja’nya atau wakilnya yang diberi kewenangan tersebut. 

Yoez Rusnika: Syukron ustadz.. Jawabannya sangat jelas. Allahumma shali ‘ala Muhammad wa aali Muhammad. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 21 April 2019

Belajar Agama di Facebook dan Tidak Ringannya Taat


Seri tanya jawab Gunawan Harianto dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at9:18 am


Gunawan Harianto: 2 Maret 2013, Kalau dipikir lagi beruntung banget gue bisa belajar sendiri via facebook atau youtube juga seabrek website yang bisa di akses untuk mempelajari apapun termasuk soal kajian AB, selain ada figur seperti Sinar Agama yang mau maunya ngetikin jawaban dari berbagai pertanyaan yang diajukan padanya (semoga Allah merahmati beliau) juga tak lupa posisi AYATULLAH GOOGLE yang menyimpan berbagai jawaban pertanyaan, dari jawaban yang ga jelas sampai yang logis pun tersedia, tinggal klik “search” insyaa Allah pertanyaan anda akan terjawab meskipun resiko mendapatkan jawaban ngawur sekalipun. 

Ade Mahyon: Coba saya sejago mas gun pasti ilmu saya bertambah dengan cepat tapi.... 

Gunawan Harianto: Bu Ade Mahyon waduh, saya masih jauh dari kalimat jago bu karena modalnya cuma nekad nanya sama ustadz google, hehehe..terima kasih untuk doanya ya bu. 

Adzar Alistany Kadzimi: Sebenarnya siapa sih Sinar Agama ? 

Gunawan Harianto: Adzar Alistany Kadzimi hehehehehe, mau tauuu atau mau tau banget nih? 

Adzar Alistany Kadzimi: Ana kan orang bodoh, makanya ana mau tau banget maka tolonglah diri Antum dengan berbuat kebaikan melalui memberikan informasi tentang siapakah Sinar Agama kepada ana yang bodoh ini. 

Gunawan Harianto: Waduh bang Adzar Alistany Kadzimi mohon d afwankan karena ana juga gak tau siapa beliau hiks hiks. 

Adzar Alistany Kadzimi: Kalau begitu ana tanya langsung saja ya kepada Beliau. 

Gunawan Harianto: Bang Adzar Alistany Kadzimi AHSANTUM. 

Adzar Alistany Kadzimi: Oia, sepertinya lebih tua Antum lhoh secara Umur, Bang Gunawan Harianto. 

Gunawan Harianto: Bang Adzar Alistany Kadzimi, ah antum sok tau bro wkwkwkwk, ane kan baru 17 tahun lagipula kalaupun usia Sinar Agama lebih muda, toh ilmunya lebih tua dari ane dan antum. 

Adzar Alistany Kadzimi: Kalau dari Profilenya, Sinar Agama umurnya lebih tua dari ana 5-6 tahun. 

Adzar Alistany Kadzimi: Dan ana dulu pernah baca profile Antum, Bang Gunawan Harianto, secara umur Antum lebih tua dari kami berdua. 

Gunawan Harianto: Ah bang Adzar Alistany Kadzimi ini maen KLAIM sepihak aje, namanya dunia maya kan bisa aje ane buat ngaco data pribadinya, hehehehe..pokoknye ane lebih muda dah dari antum dan Sinar Agama, hehehehe. 

Adzar Alistany Kadzimi: kholas-kholas. 

Gunawan Harianto: Nah gitu donk bang Adzar Alistany Kadzimi hehehe. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih baik sangka dan rajin belajarnya. Saya perlu berterima kasih, karena walaupun memang antum dan kita-kita ini wajib belajar secara ikhlash kepada Allah dan bukan untuk yang lain-lainnya yang biasanya berupa kewajiban, seperti menata keluarga atau lingkungan...dan seterusnya, tapi dilihat dari sisi strategi sosial, maka jelas siapapun yang tidak mengenal lelah membangun dirinya, maka ia telah membangun keluarga dan lingkungannya, sekalipun niatnya membangun dirinya karena Allah, bukan karena keluarga dan lingkungan. 

By the way, rajinnya antum ana perlu syukuri kepada antum dan kepada Allah (dalam Islam, tidak bersyukur kepada makhluk sama dengan tidak bersyukur kepada Khaaliq karena makhluk itu Khaaliq yang menciptakannya), karena dengan semakin pintarnya dan semakin alimnya serta semakin tahunya setiap individu bangsa Indonesia ini, seperti antum-antum, maka Indonesia itu yang juga pasti akan lebih baik. Terlebih tentang Ahlulbait as yang terhitung baru muncul untuk yang ke dua kalinya ini (karena kemunculan pertamanya sama dengan masuknya islam itu sendiri hingga setelah 2 atau 3 abad dapat mendirikan kerajaan Islam pertama di Perlak/Aceh, hal ini bisa dilihat di semua sejarah pribumi/Melayu tentang masuknya Islam ke Indonesia) dimana sudah sekitar 20 atau 30 th ini, masih saja kerancuan-kerancuan itu selalu ada. 

Dengan belajar kepada guru terbuka, sepert ustadz Google dan facebook, maka semuanya akan menjadi clear dan akan lebih jernih. Ini salah satu keuntungan ustadz di medan laga internasional/ nasional sekaligus. Terlebih kalau ustadznya tidak dikenal. Jadi, bisa banting-bantingan argumentasi/ dalil hingga kalau memang kuat, maka semua orang akan melihatnya karena semua akal akan mendebatnya kalau tidak kuat. 

Tapi kalau di majlis tertentu, apalagi kalau yang belajar orang Indonesia yang umumnya sungkem pada guru bukan hanya dalam sosial tapi juga dalam keilmuan, maka diskusi terbuka itu sulit terwujud. Mana karena tenggang rasa lah, mana rasa hormat lah, mana tidak enak lah, mana lagi kalau gurunya pemurka...dan seterusnya... Jadi, walau kajian terbuka ala face book dan google ini tidak bersertifikat, tapi jauh lebih terbuka dan lebih menantang. Hingga tidak sembarang orang bisa memberi teori agama tanpa dasar dimana akan jauuuuuhhhh lebih hati-hati dari memberi pengajian ke audien yang mantuk-mantuk penuh kagum, dan juga dimana setiap orang bisa didebat dan buka-bukaan. 

Karena itulah, kita melihat secara fitrah, kalau melihat satu atau dua orang jengah didebat, maka ketahuan umum bahwa dirinya bukan pengikut keterbukaan dan argumentasi terbuka itu, tapi pengikut dirinya sendiri dan malah mungkin menganggap dirinya paling arif dan paling bijak serta paling alim atau bahkan melebihi para nabi as para imam as dalam aplikasi atau karakternya (bukan dalam keyakinannya). 

Teringat pada pak cik Malaysia yang mengisykalku di awal-awal kemunculan si pendosa ini (sinar agama) dengan mengatakan “Bagaimana mungkin kalau umur antum masih 30 th -karena lahir th 1981) lalu dalam pada itu pula sudah 30 th di hauzah?” 

Aku hanya mengatakan bahwa “Identitas di facebook ini, tidak mesti asli. Minimal secara aplikasinya, bukan secara keinginan pemilik facebook. Mengapa antum tidak menyalahkan namaku saja yang jelas-jelas itu bukan namaku?” 

Nah, terlebih lagi kelahiran itu bisa banyak makna, bisa kelahiran ke dua, ke tiga ...dan seterusnya. Btw. 

Satu lagi: 

Saya sudah sering menulis di facebook ini, bahwa umur menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun ini, adalah tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Karena ia merupakan gerak dari matahari. 


Sementara umur setiap sesuatu, akan seiring dengan pergerakannya sendiri. Karena itu, walaupun seseorang itu berumur matahari 10 tahun, tapi kalau ia berilmu dan taqwa sedemikian rupa, maka bisa saja mengalahkan yang berumur matahari 50 tahun. 

Itulah mengapa sebagian imam makshum as yang menjadi imam selagi umur muda, sebenarnya dalam keadaan umur tua. Karena umur mudanya itu, dilihat dari gerakan matahari yang tidak ada sangkut pautnya dengan kesempurnaan manusia sama sekali. 

Bayangin, imam Hasan as dan imam Husain as, ketika masih berumur sekitar 3-5 th, sudah dapat mengikuti ayah-ibunda-mereka as yang berpuasa nadzar 3 hari. Padahal keduanya tidak bernadzar seperti ayah-ibunda-mereka as. Bukan hanya itu, setiap mau makan buka, selalu ada pengemis yang menyatakan diri tidak makan sudah beberapa hari hingga keduanya as, mengikuti ayah-bunda-mereka as memberikan sepotong roti satu-satunya makanan yang dimiliki mereka as. Yakni, dalam tiga hari itu, mereka hanya bersahur dan berbuka air tanpa secuil roti yang dapat dimakan mereka as. Karena itulah Tuhan lalu menurunkan satu surat yang bernama surat al-Insaan untuk mereka as demi ketabahan dan ketaatannya. 

Nah, pertanyaan, ketika imam Hasan as dan imam Husain as dalam umur matahari yang hanya 3-5 tahun itu dapat melakukan hal seperti di atas itu, maka jelas kalau bukan karena ilmu dan ketaqwaan yang tinggi, tidak mungkin dapat melakukannya. Kita yang berumur matahari 100 tahun sekalipun, sangat-sangat belum tentu dapat melakukan hal tersebut. Paling banter, rotinya dibagi separuh. Tapi mereka memberikan semuanya karena yang datang itu lebih lapar dan, mungkin lebih kurang sabar dari mereka as. 

Karena itu, apalah arti umur matahari ini. Muda dan tuanya, tidak mempengaruhi apapun bagi kita. Biar tua tapi tidak berilmu dan tidak taqwa, yakni tidak mengamalkan ilmunya, maka ia bagai anak kecil yang masih makan tanah. Atau lebih parah lagi. Karena maksiat itu sama dengan makan api. Jadi, masih lebih kecil dari anak-anak yang masih makan tanah itu walau, rambut kita pada beruban dan tulang belulang kita sudah membungkuk serta ijazah kita bertumpuk sampai Doktor atau Profesor, HujjatulIslam atau Ayatullah. 

Karena itulah, mari kita hormati umur kita (gerak diri kita sendiri, bukan gerakan matahari), ilmu dan ketaqwaan. Menjaga umur dengan belajar dengan argumentasi terbuka dan gamblang, menjaga ilmu dengan aplikasi yang tinggi, dan menjaga aplikasi, dengan keikhlashan yang tidak berujung. 

Hanya orang seperti itulah yang akan selamat di dunia, kubur dan akhirat kelak. Wassalam. 

Gunawan Harianto: Ustadz Sinar Agama saya pun bersyukur Allah menggerakkan hati antum untuk bisa berbagi ilmu yang dititipkan Allah pada diri antum juga rasa terima kasih yang tak terhingga pada diri antum yang mau maunya menjawab berbagai gundah kegelapan informasi ilmu ahl bayt, tak perduli siapapun jatidiri antum meskipun dugaan siapa pemilik asli akun Sinar Agama tapi tak jadi soal selama ilmu yang tergores lewat ketikan tangan antum bisa jadi jembatan saya untuk lebih mengenal ajaran mulia ahl bayt yang saya idamkan, meski ku akui ikut ajaran antum terasa sulit namun akal ku takluk pada dalil dan argumentasi yang antum jabarkan, semoga kelak usahaku mengamalkan ilmu tersebut diberi kemudahan dari Allah, semoga antum sudi mendoakan saya dan saya pun akan doakan antum ketika ingat akan jasa antum memberi ilmu tersebut, maju terus ustadz semoga kelak kau sinari agama yang diajarkan ahl bayt di tanah kelahiranmu Indonesia, amiiin 

Sinar Agama: Gunawan: 

Allah berfirman dalam QS: 2: 45: 

وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ 

“Sesungguhnya shalat itu adalah hal yang sangat besar, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” 

- QS: 2: 143: 

وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ 

“..Dan sesungguhnya hal itu -ujian tentang kiblat untuk mengungkap siapa yang taat dan yang membangkang- adalah sesuatu yang sangat besar kecuali bagi yang hatinya mendapat petunjuk dari Allah.” 

Nah, kalau shalat dan kiblatnya saja sudah dikatakan Tuhan sesuatu yang berat kecuali bagi yang khusyuk dan benar-benar mengambil hidayahNya, maka apalagi hal-hal lain yang memiliki banyak unsur penghalang yang ditimbulkan dari kelemahan dan kemaksiatan kita sendiri. 

Misalnya lingkungan yang sama sekali tidak mendukung lantaran tidak adanya amar makruf nahi mungkar dari pihak kita sendiri. Ketika seorang pemuda ingin menjaga imannya, tapi ia juga harus sekolah dan kuliah dimana harus bercampur dengan para wanita yang dengan mudah membuka auratnya, maka sudah tentu akan sulit menjaga agamanya. Begitu pula tentang perintah-perintah lain dari thaharah, wudhu, ...sampai ke kewajiban-kewajiban sosial. 

Itulah mengapa ustadz/ayatullah facebook dan google ini (meminjam istilah antum) saya katakan salah satu hujjah yang bisa memiliki posisi lebih kuat dari majlis taklim itu sendiri, dilihat dari sisi keterbukaannya itu. Jadi, medan argumentasinya akan dilihat dan diuji oleh sejuta umat. Inilah yang saya maksudkan salah satu cara menempuh Islam yang hakiki itu sebelum kemudian kita mengamalkannya dengan penuh ketulusan dan keikhlashan yang tiada berujung. 

Kalau ada orang yang beragama tapi merasa ringan, maka ana pikir perlu koreksi diri dari sisi semua argumentasinya tentang keimanan dan fikihnya. Maksudnya merasa enteng di kehidupan sosial yang bisa dikatakan sudah tidak berkonsep lagi pada budaya Islam dan, apalagi politiknya. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ