Kamis, 18 Maret 2021

Tentang Thaaghuut dan Ghuluw


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/325376907507112/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 3 Februari 2012 pukul 21:10


Abu Zahra Al Manshur: Salam pak ustadz Sinar Agama,

1. Mohon dijelaskan pengertian taghut yang benar menurut pemahaman Imam Makshum, sebab ada segolongan orang saat ini (salafi wahabi) yang telah mengkafirkan PNS karena PNS dianggap bagian dari taghut (pemerintah) karena tidak berhukum pada hukum Allah.

2. Bagaimana seharusnya sikap seorang syi’i jika dia termasuk PNS?

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Thaaghuut itu berasal dari kata Thughyaan, yakni merupakan kata hiperboliknya dari thughyaan dimana thughyaan ini bermakna permusuhan dan melampaui batas. Jadi, Thaaghuut adalah yang sangat melampaui batas.

(2). Banyak penafsiran terhadap Thaaghuut itu seperti berhala syaithan, pemerintah diktator dan zhalim, apa saja yang tidak menuju Allah, sihir, ...dan seterusnya. Tetapi semua itu dapat disimpulkan dalam satu pahaman yang luas, yaitu yang melampaui batas..

(3). Ketika suatu pemerintahan itu tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah, maka ia bisa dikatagorikan ke dalam Thaaghuut ini. Terlebih kalau ia membenci dan menolak hukum Islam.

(4). Akan tetapi di lain pihak, Islam juga mempunyai ajaran tanpa paksaan. Karena itu, sekalipun masyarakat suatu Negara muslim itu tidak memilih negara Islam, maka Islam tidak bisa memaksa mereka untuk menerimanya. Jadi, dalam hal ini dan selama di dunia laa iqraaha fi al-diin (tidak ada paksaan dalam agama).

(5). Sampai di sini kita sudah melihat dua posisi dalam hal tersebut, pertama yang menolak hukum-hukum Islam dan ke duanya sikap Islam kepada siapapun di dunia ini, yaitu yang tidak memaksa.

(6) Sekarang bagaimana sikap kita terhadap hal seperti ini? Artinya, bagaimana menyikapi orang-orang yang menentang hukum-hukum Islam dalam segala aspeknya? Jawabannya, adalah juga tidak memaksa sebagaimana agama dan Tuhan yang tidak memaksa selama di dunia ini.

(7). Tentu saja, walalupun kita tidak bisa memaksanya, tetapi hati kita tidak boleh meridhainya. Tidak boleh meridhai hukum ribanya, pembolehan judi dan pelacurannya (atau bahkan pengomplekannya atau pelokalisasiannya), tidak boleh meridhai ini dan itu yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam.

(8). Sekarang bagaimana kalau kerja di pemerintahan thaaghuut? Maka dilihat perkerjanya (tentu dengan hati yang tidak rela pada hukum-hukum yang berlaku sebagai bukan hukum Islam itu). Nah, kalau pekerjaannya halal, seperti post, KUA, guru, ... dan lain-lainnya yang banyak sekali, maka dihalalkan kerja disana sebagaimana dihalalkan kerja kepada orang- orang kafir dalam bisnis-bisnis atau pekerjaan-pekerjaan halal, sejak di jaman Nabi saww. Karena kerja atau menjadi pekerja bagi orang kafir yang tidak memerangi islam dengan terang-terangan dan dalam pekerjaan-pekerjaan halal, memang dihalalkan oleh Islam. Karena itu, maka pengharaman kerja pada pemerintah itu sebenarnya merupakan bentuk pemberontakan dari para wahabi/salafi itu. Artinya, ketika islam membolehkan kerja kepada orang kafir sekalipun asal halal, maka pemboikotan kerja pada pemerintah itu sebenarnya merupakan salah satu bentuk penentangan dan pemberontakan. Karena secara fikih halal- halal saja. Jadi, pemboikotannya itu adalah perongrongan, bukan karena melakukan fikih Islamnya.

(9). Lagi pula, ketika mereka mengharamkan kerja pada pemerintah yang dibolehkan Islam dengan catatan-catatan di atas itu, maka pengharaman ini justru bisa digolongkan kepada thaghuut itu, karena melampaui batas hukum-hukum Tuhan. Jadi, mereka itu ingin menghindari kethaghuutan pemerintah, tetapi masuk dalam kethaaghuutan diri mereka sendiri. Persis seperti Saudi Arabia itu. Lah, ajaran islam dari mana yang menjadikannya raja-raja atas nama Islam? Ayat dan hadits mana yang memerintahkan untuk membuat kerajaan dan penjajahan dan permbunuhan? Lah ... kok enak nemen, orang lain yang tidak taat pada hukum mereka dikatakan thaaghuut, sementara dasar pemerintahan mereka tidak ada dalam Qur'an dan hadits. Yang ada hanya dalam contoh-contoh shahabat yang jelas bukan musyarri’ atau pembuat syariat. Emangnya kalau Abu Bakar dibaiat beberpa orang terus itu adalah ajaran Islam yang bisa ditiru? Atau Umar yang menjadi khalifah karena ditunjuk Abu Bakar, terus itu merupakan ajaran Islam yang bisa ditiru? Atau Utsman yang dipilih oleh 4 orang, terus itu bisa ditiru untuk menjadikan ajaran Islam dalam memilih pemimpin? Atau ketika Bani Umayyah dan Bani Abbas menurunkan kekhalifaannya itu pada anak-anak dan keturunannya, terus bisa ditiru sebagai ajaran islam hingga Saudi Arabia sekarang melakukan seperti itu?

Lah ... kok wenak nemen, orang yang tidak taat pada pemerintahannya dianggap sesat dan thaghuut, tetapi dasar pemerintahannya tidak ada dalam Islam sama sekali.

(10). Kalau mereka/salafi ini harus menghindari sama sekali hukum-hukum thaghuut ini, maka mereka juga haram melakukan apa saja yang bersentuhan dengan hukum-hukum negara ini. Seperti menggunakan uangnya yang diresmikan pemerintah, sekolah yang dikelola pemerintah atau atas ijin pemerintah, beli apapun di pasar karena dikelola pemerintah, memakai baju apapun dan makan makanan apapun karena dikelola oleh pemerintah, tidak boleh naik segala macam kendaraan karena sistem jualbelinya dikontrol dengan hukum pemerintah ....dan seterusnya.....

(11). Kalau mereka berkata, bahwa semua itu dilakukan karena keterpkasaan, maka berarti mereka telah melakukan kemunafikan, atau setidaknya bisa dikatakan telah melakukan taqiah.

(12). Kalau mereka mengatakan bahwa semua itu dibolehkan, maka begitu pula halnya dengan bekerja tersebut. Jadi, kerja dengan siapa saja, asal kalau bukan sistem Islam hatinya tidak rela dan asal pekerjaannya yang dibolehkan agama, maka Islam masih membolehkannya. Wassalam.


Abu Zahra Al Manshur: Syukron pak ustad atas tanggapannya.

Kalau begitu apa perbedaan mendasar antara thaaghuut dan ghuluw?


Sinar Agama: Abu: Ghuluw itu berlebihan dalam pembaikan hingga jadi keburukan, seperti menuhankan seseorang. Tetapi thaaghuut itu adalah berlebihan dalam menentang kebenaran dan kebaikan.

Ahmad Arif: Ada juga seperti yang ana lihat di kalangan kita sendiri, mereka juga tidak meridhai pelacuran yang dilegalkan pemerintah, namun banyak para ustad di kalangan kita malah menggunakan jasa-jasa mereka dengan jalan nikah mut’ ah, yang jadi pertanyaan apakah tidak meridhai bukan berarti tidak menggunakan jasanya ? Atau apakah sikap yang benar adalah tidak meridhai dan tidak juga menggunakan jasanya ?

Nikah mut’ah memang dihalalkan dalam al Qur'an dan ajaran ahlulbayt, apakah salah kita menggunakan jasa pelacur yang kita nikahi dan menjadikan istri dalam waktu tertentu sehingga kita juga bisa membagi rezki yang halal bagi mereka ?

Apakah ada ilmu atau pandangan pemisah antara pelacuran dan mut’ah di bawah satu atap yang sama atau lokalisasi yang sama ?

Abu Zahra Al Manshur: Ahmad arif@, Kenapa menggunakan pelacur? Apa tidak takut tertular penyakit? Bukankah bisa mencari wanita lain yang “bersih dan suci” yang menjaga dirinya dari perbuatan hina/zina? Ada banyak misalnya janda, yang “butuh”, dan sebagainya.

Dan apa maksud dari pertanyaan terakhir? Seolah itu sindiran yang menyamakan nikah mut’ah dengan pelacuran.


Sinar Agama: Ahmad:

(1). Meridhai pelacuran itu jelas dosa. Begitu pula meridhai lokalisasinya.

(2). Jadi urusan untuk tidak ikut dosa itu ada pada hati kita sebagai tidak rela tadi.

(3). Tetapi kalau mut’ah dengan mereka yang halal sekalipun makruh tentu saja kemakruhannya ini bagi yang memerlukannya (semacam terpaksa, karena bagi yang ada istri tidak dianjurkan mut’ah sebagaimana sudah saya tulis di catatan tentang mut’ah yang sudah beberapa seri itu terutama yang berjudul “Mut’ah dalam perebutan pengumbar nafsu dan anti pati.”), kalau hatinya tidak rela dengan pelokalisasian itu, maka melakukannya tidak menjadi haram, baik dari sisi mut’ahnya atau dari sisi kerelaannya (karena memang tidak rela). Jadi, menggunakannya disebabkan cara yang mungkin dan bisa terhitung mudah mendpatkan yang halal (sekalipun makruh). Seperti orang membeli roko di kedai beer. Tentu saja, jangan ada kembaliannya. Karena uang kembaliannya itu haram, karena didapat dari jalan haram.

(4). By the way, hukum kehalalan itu, apalagi yang dinyatakan makruh, apalagi tidak dianjurkan bagi yang tidak perlu, adalah sesuatu yang sangat-sangat tidak dianjurkan yang, mungkin mendekati cela.

(5). Kehalalan itu juga ada syarat-syaratnya seperti mencegahnya melakukan perzinaan, setidak- nya selama menjadi istrinya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar