Jumat, 10 Mei 2019

Bank Syari’ah Yang Belum Tentu Syari’ah


Seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:55 am


Irsavone Sabit: Salam Ustadz. Afwan, pertanyaan initerinspirasi dengan pembahasan di TV one tentang bank syariah. Menurut keterangan yang saya dapatkan bahwa tidak seluruhnya bank syariah itu 100% syariah. pertanyaannya, apakah boleh menyimpan uang dibank syariah, dan kemudian mendapat keuntungan bagi hasil dari penyimpanan uang tersebut, dan diniatkan keuntungan di ambil dari uang yang halal? — bersama Sinar Agama. 

RenDieyKoplak: 6k t’u ach, 6k ikutan yua 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Bagi hemat saya yang tidak mengetahui kecuali sedikit ini, bank syari’ah di Indonesia itu, belum syari’ah. Karena ketika meminjamkan modal untuk pengusaha, tetap saja diharuskan bayar kelebihan yang diistilahkan dengan bagi hasil. Sementara kalau rugi, peminjam itu tetap saja diwajibkan mengembalikan modalnya. 


Memang, masih banyak kerincian fikih bisnis ini dan kejelasannya harus diadakan riset terhadap alasan pensyari’ahan mereka itu. Dalilnya apa dan bagaimana prakteknya. 

IrsavoneSabit: Jadi kalau ragu apakah haram atau halal, walaupun pihak bank bilang halal, apakah dihukumi haram ustadz? 

BagaskaraManjer Kawuryan: Perbankan Syariah di Indonesia kebanyakan cuma nama doang nebeng “syariah“ isi nya sama saja sama perbankan konvensional. 

SangPencinta: IS: Ustadz pernah menjawab: 

Sinar Agama: Aira: Meminjam di bank biasa, jelas riba. Dan meminjam di bank syari’ah di Indoneisa, sangat mungkin masih riba. 

Akan tetapi meminjam dan meminjamkan, ada perbedaannya sekalipun sama-sama haram. 

Kalau meminjam, maka keharamannya itu bisa terangkat kalau memang tidak ada lagi tempat meminjam yang tidak berbunga. Syarat ke dua, adalah hatinya tidak boleh rela terhadap sistem riba itu dan ketika membayar riba tersebut. 

Tabungan itu, sebaiknya dilakukan dengan ijin suami walau secara global. 

IrsavoneSabit: SP, afwan, yang saya tanyakan bukan meminjam, tetapi menyimpan uang di bank syariah, yang keuntungannya, katanya bagi hasil, begitu informasi pihak bank syariah yang di bank konvensional seperti bunga bank ... kalau bagi hasilkan tidak haram. 

Nita Ahmad: Sehubungan dengan pertanyaan saya kepada ust Sinar Agama beberapa hari lalu sehubungan dengan bagi hasil di bank syariah akhirnya saya sempatkan untuk mencari info ke 2 bank syariah besar dan mereka menjelaskan bahwa untuk meminjam harus ada agunan dan jika usaha yang di jalankan merugi/bangkrut totalpun pihak nasabah wajib mengembalikan pinjaman atau jalan terakhir dengan melelang agunan yang bisa berupa BPKB sertifikat rumah/tanah dan lain sebagainya...artinya pihak bank tidak mau merugi dan merujuk pada penjelasan ustadz Sinar Agama bisa disimpulkan bahwa bagi hasil tersebut adalah haram. 

BagaskaraManjer Kawuryan: Irsavone Sabit...bagi hasil atau nisbah ditentukan oleh kedua belah pihak secara ikhlas, tapi kebanyakan bank syariah di Indonesia nisbah telah ditentukan oleh bank itu sendiri, kita juga yang menabung tidak tahu apakah bank tersebut untung atau rugi dalam menjalankan usahanya? 

Nita Ahmad: Sepanjang pengertian saya atas jawaban ustad Sinar Agama halal haramnya bagi hasil dari tabungan kita berdasarkan sistem pinjam meminjam yang di jalankan . 

BagaskaraManjer Kawuryan: Kalau dalam menjalankan usahanya bank tersebut rugi dari hasil investasi kita (uang tabungan kita), secara prinsip syariah kita juga harus menanggung rugi.. berhubung nisbahnya sudah ditentukan dan usahanya tidak dijelaskan untung atau ruginya, mungkin saudara Irsavone dapat memahami dari sudut agama. 

SangPencinta: IS: Di komen ustadz di atas dan tukilan saya sudah tertulis, bank Syariah Indonesia belum Syari’ah. Sangat diperlukan riset lebih dalam, apakah sesuai dengan fikih ekonominya, (apalagi kita yang Syiah yang merujuk fatwa marja). Jadi bagi hasil tersebut adalah sangat mungkin haram. Sejauh yang saya pelajari tentang ekonomi kapitalis dan ekonomi (yang konon) Syariah di Indonesia, bank Syariah kita tidak menerapkan Syariah secara full, banyak hal adaptif sesuai dengan ekonomi global yang kapitalis. 

Nita Ahmad: Jujur saja setelah keluar dari 2 bank syariah tersebut dan mendapat kan penjelasan tentang sistem yang di jalankan ...saya meyakini bahwa bagi hasil itu haram dan mereka hanya akal-akalan saja dengan merubah istilah dari bank konvensional. 

BagaskaraManjer Kawuryan: Seperti yang saya bilang pada komen sebelumnya bahwa perbankan syariah yang ada di Indonesia cuma nama doang “syariah“ isinya seperti perbankan konvensional (walaupun di dalam sistem perbankan syariah di Indonesia ada yang namanya dewan pengawas syariah)...maka dari itu kita harus “mensyariahkan“ perbankan syariah sesuai dengan fiqh muamalah. 

Sinar Agama: Teman-teman semua: Memang masih banyak yang perlu dikaji untuk hal ini. Dari keterangan Nita dapat disimpulkan bahwa yang saya tahu sebelumnya adalah benar, bahwa bank tidak mau rugi. Jadi, bagi hasil itu sebenarnya, kalau diistilahkan dengan bahasa lama bank, disebut “Pinjaman Ringan”. Artinya, kalau rugi tidak perlu bayar bunga, tapi kalau berhasil maka harus bayar bunga. Walaupun masih ada makna lain sebagai pelengkap dari “pinjaman ringan” itu, seperti bunganya tidak tinggi. 

Tapi sekali lagi, masih ada rincian-rincian lain tentang hal tersebut di atas yang memang perlu study khusus untuk itu. 

IS: Kalau semuanya dikatakan halal atau bersih kecuali kalau setelah itu tahu bahwa hal itu haram atau najis, hal itu dikatakan kepada yang secara umum halal. Tapi kalau kita sudah tahu bahwa bank di Indonesia itu haram, maka hukum lahiriah ini tidak bisa dipakai. 

Karena itu, saya sering mengatakan bahwa uang haram itu, karena tidak ketahuan pemiliknya sekalipun ketahuan besarnya, maka tidak boleh diambil sendiri dan mesti diberikan ke orang Syi’ah yang fakir atau miskin. Tapi boleh riba itu dipotongkan untuk semua biaya administrasi di bank itu, seperti pajak bunga dan lain-lain. Intinya, kita bisa menabung 1 juta dan bisa mengambil 1 juta. Itu saja. Kelebihannya mesti disalurkan sebagaimana di atas itu. 

Kita mesti hati-hati dengan dosa riba ini, karena dosanya teramat besar. Dikatakan dalam hadits yang dinukil dalam kitab fikih Imam Khumaini ra, bahwa “satu dirham riba, dosanya sama dengan tujuh puluh zina yang semuanya dengan muhrimnya “ seperti saudarinya. Dan bahkan ada hadits dari Nabi saww bahwa “riba itu ada tujuh puluh macam yang paling ringannya, dosanya sama dengan dosa zina dengan ibunya di dalam ka’bah”. 

Di samping itu juga kalau terbawa shalat, maka shalatnya batal, baik sebagai baju, sajadah, lantai... dan seterusnya. 

Irsavone Sabit: Afwan lagi ustadz, mungkin ini case yang berbeda, misalnya saya meminjam uang di bank syariah, tentunya saya dikenakan bunga untuk itu, kemudian uang tersebut saya simpan lagi di bank syariah, apakah bisa saya mengambil bunga dari tabungan saya tersebut sebagai kompensasi dari bunga uang yang diambil bank syariah? 

Sinar Agama: IS: Tetap tidak bisa. Yang antum tanyakan ini sama dengan yang sudah dijelaskan. Ia beda contoh tapi tidak beda esensi. Karena yang menjadi intinya adalah ketidakmeyakinkannya kesyari’atan bank yang akan menjalankan uang antum itu, yang baik uang itu berasal dari pinjaman bank syari’ah juga atau uang sendiri atau apapun dia. 

Wassalam. 

Anandito Birowo: Apa dianggap tidak syariahnya “bank syariah” di Indonesia ini karena jika rugi dalam berbisnis, peminjam tetap diwajibkan mengembalikan modalnya? Bagaimana dengan perbankan di Iran, apakah jika rugi maka kreditur tidak diwajibkan mengembalikan modal pinjamannya? 

Sinar Agama: A.B: Pertama, biasanya diselidiki dulu prospek bisnisnya hingga mencapai hitungan pasti secara manusia bisnis, bukan kepastian ilmu ghaib. Ke dua, kalau tidak terjadi kesalahan pelakasananya dan sudah sesuai dengan program proyek serta hati-hati hingga tidak ada keteledoran, maka seyogyanya sudah tidak perlu mengembalikan modalnya. Ke tiga, kalau tidak ada persyaratan dari salah satu dari kedua belah pihak, bahwa ada jaminan akan peminjaman tersebut dan kalau rugi dengan apapun sebabnya maka akan ditanggung peminjam, maka seyogyanya sudah tidak mesti ada pengembalian. 

Karena masih banyak rincian itulah di judul saya katakan “....Belum Tentu Syariah” dan, di dalam bahasan juga sudah dikatakan bahwa perlu adanya kajian yang menyeluruh. 

Menyepelekan salah satu unsur saja, bisa memasukkan mu’amalah tersebut ke dalam riba. Misalnya peminjaman yang diatasnamakan modal dan semacamnya. 

Asad Syahab: Afwan saya ikut nimbrung. 

Saya hanya ingin sdikit menjelaskan dalam pembiayaan di Bank Syariah, dalam bank Syariah sendiri terdapat dalam skim, dalam hal pinjam meminjam di Bank Syariah ada jenis pembiayaan Al murabahah. Kita ambil contoh kasus ada seorang pengusaha muda yang memiliki usaha digital printing nasabah membutuhkan modal sebesar RP 50 jt untuk beli mesin print seharga 50 jt, dalam hal ini maka bank akan membelikan mesin print sebesar 50 dan akan di jual ke nasabah sebesar 70 jt bank memiliki keuntungan sebesar 20 juta pembayar nasabah ke bank secara angsuran yang sudah di tentukan bank,. 

Namun realitanya bank tidak mau repot dalam membelikan barang yang di inginkan nasabah oleh karena itu dana akan di cairkan langsung ke rekening nasabah. 

Dan ini menggunakan akad murabahah atau jual beli di saat pembiayaan di ACC oleh bank maka ada proses pengikatan layaknya sebuah akad pernikahan yakni di hadiri nasabah, saksi, notaries sebagai legalisasinya, nah di sini lah terjadi kesepakatan pinjamnya berapa? Pengembaliannya berapa bagaimana pembayarannya? Tiap bulan harus bayar berapa? Adminiistrasinya berapa semua di buka secara gamblang tanpa ada yang di tutupi . Jadi pinjam meminjam di Bank Syariah menggunakan jual beli, 

Sinar Agama: Asad: Kalau seperti yang diterangkan antum itu, maka saya pribadi yakin sekali bahwa hal itu adalah riba. Karena aqad jual-beli yang dipakai itu hanya pelarian saja. Karena pada hakikatnya tidak ada yang dijual. Jadi, aqad jual-beli tersebut sama sekali tidak dapat mengeluarkannya dari pinjaman dengan bayaran lebih/riba (20 jt). Jadi, istilah murabahah itu, atau jual-beli itu, di pengetahuan saya yang cetek ini, adalah hilah syaithani atau berkelit yang tidak benar untuk membenarkannya. Jadi, saya yakin sekali perbuatan di atas itu adalah pinjaman dengan bayaran lebih walau berulang-ulang membaca shighah/aqad jual-beli. Karena tidak ada yang dijual dan tidak ada yang dibeli. Yang ada, hanya transfer uang ke rekening nasabah. Allau A’lam. 

Zaynab Alaydrus: Tapi ustad poin yang terpenting dalam akad di bank Syariah saat pengikatan di sana di jelaskan kepada nasabah harga belinya berapa harga jualnya berapa cara pengembaliannya gimana kalau ada cacat tidak di kenakan denda. 

Anandito Birowo: Afwan kalau saya pahami di sini masih ada ikhtilaf (silang pendapat) tentang bank syariah, lalu apakah kita sesama muqallid bisa menghukumi riba? Kecuali marja’ yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa, menetapkan bahwa aqad tersebut termasuk riba. 

Sinar Agama: Zaynab: Penjelasan itu tidak ada gunanya. Karena jual beli itu adalah jual beli bohongan, hanya berkilah dari riba dengan kilah yang tidak benar. Jadi, tidak tergantung aqadnya saja, tapi tergantung kepada kenyataannya. Jadi, kalau jual beli, ya...harus ada barangnya atau setidaknya suratnya dan semacamnya. Bukan hanya aqad jual beli tapi yang ditransfer uangnya. 

Ini yang juga bisa dikatakan Tuhan sebagai “bukan jual beli” ketika orang-orang arab kala itu memasukkan hal seperti ini sebagai jual beli. 

Sinar Agama: Anandito: Kita ini justru sedang berusaha menerapkan fatwa itu sendiri, bukan sedang berfatwa. Kalau antum ingin tahu, maka silahkan baca fikih jual-beli atau fikih riba.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar