Senin, 06 Mei 2019

Luasnya Fikih


Seri tanya jawab inbox Anwar Mashadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes)

AnwarMashadi: (5-4-2013) Assalamu’alikum.. wr..wb.. 

Saya sebelumnya mengira (mungkin juga umumnya awam yang lain) bahwa ketika kita tenggelam dalam fikih (baik dalam belajar dan beramal; yakni belajar agar kemudian bisa beramal secara sah/syar’i) seolah-olah kita menjadi anti-sosial. Pikiran (mindset) saya pun tersekat hanya pada soal yang benar yang begini, yang tidak begini keliru/salah. Pikiran seperti ini, orang menyebutnya dengan pikiran hitam-putih. Maka, cara berpikir seperti ini pun terbawa dalam konteks sosial, sehingga cenderung akan “mengelirukan yang tidak seperti yang saya lakukan”. Bahkan ia menjadikan dirinya (yakni, sayanya) sebagai standar; sehingga menjadi “mengelirukan yang tidak sesuai fikih”. Pandangan seperti ini menjadikan fikih sebagai orientasi diri, yang dari situ ia melihat orang lain. Maka salah benar orang pun tergantung pada dirinya. 

Sekarang saya menduga (yang mungkin juga sebagian awam lain, walau mungkin saya kira jauh lebih sedikit), bahwa fikih itu sebenarnya penyelesai masalah, yakni untuk urusan dari apa yang (mau) dikerjakan seseorang (muslim). Jadi berpikirnya adalah, permasalahannya adalah kita justru merujukkan setiap urusan pribadi dan sosial kita kepada fikih. Karena hanya fikih yang bisa menenangkan seseorang dari beban atas apa yang dilakukannya. Kalau yang dilakukan sesuai fikih maka ia (akan menjadi) tenang. Begitu pula sebaliknya. Maka ungkapan fikih yang anti-sosial dan tidak atau kurang peduli sosial/lingkungan, justru pemikiran yang tidak proporsional alias keliru. Sebab, justru karena adanya “tantangan sosial/lingkungan” pada cara kita bertingkah laku pribadi dan sosial itulah kita (jadi/harus) berfikih..(sekiranya ada kesempatan mohon tanggapan). 

Salam… 

Sinar Agama: Salam, sudah benar seperti itu. Karena fikih yang juga disebut syariat, sudah lengkap diturunkan Tuhan untuk menata kehidupan apapun dari manusia ini, baik dalam kesendiriannya, keluarga, sosial-politik, internasional atau bahkan sampai pada hubungan manusia dengan binatang, bebatuan, pepohonan, jin, malaikat, dan bahkan dunia akhirat dan Tuhannya. Tidak ada yang bisa meremehkan fikih lalu dia tetap bisa disebut muslim hakiki. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar