Tampilkan postingan dengan label Al Qur'an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Al Qur'an. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Desember 2018

Syi’ah dan Sodomi ?!



Seri tanggapan terhadap sebuah kiriman oleh Sinar Agama
by Sinar Agama on Tuesday, January 8, 2013 at 4:30 pm



for everyone: Menjijikkan. Syi’ah Mengajarkan Sodomi! (Jun 11, ‘11 6:09 PM), 

Bicara tentang Syi’ah, seolah tak ada habisnya. Mengaku Islam, tapi ajarannya jauh dari Islam. 

Berikut ini adalah salah satu bukti kesesatan Syi’ah. Dalam hubungan suami istri, mereka punya fikih tersendiri. Dan yang pasti, menyelisihi Qur’an dan Hadits. Mengapa? karena Qur’an dan Hadits Nabi melarang sodomi, tapi Syi’ah menganjurkannya! Terjemahan 

Syi’ah: Harus Menyetubuhi Isteri Pada Dubur 

Daripada al-Barqiyy, beliau memarfu’kannya [1] daripada Abi Abdillah a.s. katanya: 

“Bila seseorang menyetubuhi isterinya pada duburnya lalu dia tidak sempat keluar air mani maka kedua-duanya tidak wajib mandi. Jikalau dia keluar air mani maka wajib mandi keatasnya dan isterinya tidak wajib mandi”. (Rujukan: Muhammad bin Ya’kob al-Kulaini al-Furu’ min al-Kafi jil. 3 hal. 47) 

Kesimpulan

> Syi’ah mengharuskan seseorang itu menyetubuhi isterinya pada dubur. 

> Syi’ah pada hakikatnya telah menghina imam-imam Ahl al-Bait dengan menghubungkan ajaran yang bercanggah dengan fitrah manusia kepada mereka walaupun mendakwa cintakan mereka. 

[1] Menyambungkan sanad sampai kepada imam makshum. 

Jadi...masih ada yang doyan ajaran Syi’ah??? 

sumber: Pena Minang Album (Facebook) 

Tags: syi’ah, sodomi 

Prev: “Kalau Aku Jujur, Maka Aku Ajur Ya Mak?” 

Next: Tidak Ada Tuhan, Selain Allah. Yakin?? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Saya sudah sering menulis tentang: 

1- Jangan main ayat dan hadits kalau bukan mujtahid seperti layaknya wahabi karena hal itu akan mengantar kepada kesesatan. 

2- Hadits di atas itu, jelas menerangkan hukum junub tidaknya orang yang mencampuri istrinya dari belakang, bukan tentang kehalalannya. 

3- Jangankan keharusan menyetubuhi dubur seperti yang ditulis si bodoh (penulis itu), menerangkan kehalalannya juga tidak. Karena sekali lagi, di sini jelas hanya menjelaskan tentang hukum junub dan tidaknya seseorang yang melakukan hal tersebut. 

4- Hukum-hukum seperti ini, jelas wajib diketahui. Misalnya, orang yang melakukan homosex atau berzina, lalu ada penjelasan hukumnya bahwa keduanya junub atau tidak, maka hal itu bukan berarti kebolehannya, apalagi keharusannya seperti yang dituduhkan penulis itu. 

5- Tentang hukum mengumpuli istri dari dubur, ada perbedaan di syi’ah. Ada yang mengharamkan seperti ayt Makarim Syirazi hf (seingatku) dan ada yang memakruhkan secara keras, terutama kalau tidak diijinkan istrinya. Hukum ini diambil dari berbagai ayat dan hadits, tapi bukan hadits di atas itu yang hanya menerangkan kejunuban atau tidaknya si pelaku. 

Yang menghalalkan tapi makruh keras itu mendasarkan fatwanya kepada ayat Qur'an, QS: 2: 222: 


“Istri-istri kalian itu adalah lahan kalian maka datangilah (campurilah) lahanmu dengan cara apapun.” 

Annaa ini bisa berarti, “dimana saja” (dari aina), atau “kapan saja” (dari mataa), atau “bagai- manapun saja” (dari kaifa). Jadi, kalau annaa itu dimaknai dengan yang ke tiga, maka artinya seperti yang saya tulis di atas itu. Walhasil, terjadi perbedaan fuqohaa di sini. Paling ringannya, makruh keras terutama kalau istrinya tidak rela. 

Tambahan

Makna ke tiga itu bisa lebih diutamakan, karena kalau maksud mendatangi istri itu hanya Qubul (afwan, lubang-depan/kemaluan-wanita), maka sudah pasti akan terlarang dari melezati yang lainnya dari bagian tubuh istri. Padahal kan tidak ada seorang muslimpun yang mengharamkan paha, susu, mulut ..dan seterusnya...dari bagian-bagian istri dan suami. Afwan agak kurang sopan. Terpaksa dijelaskan karena berkenaan dengan hukum. 

Tambahan lagi

Ada yang tanya di inbox tentang hadits pengharamannya, maka kujawab sebagai berikut: 

Sinar Agama: Salam, banyak sekali contohnya, seperti yang kitab Wasaailu al-Syi’ah ini: 


Dari imam Baqir as dari Rasulullah saww: “Mengumpuli wanita di duburnya adalah haram untuk umatku.” 

Tapi ingat, kamu tidak bisa mengambil kesimpulan haram dari hadits di atas karena kamu bukan mujtahid. Karena hadits ini harus dimasak terus dan dibanding dengan puluhan hadits lainnya dan ayat-ayat hingga menghasilkan hukum dan itupun dengan ilmu-ilmu yang diperlukan seperti ushulfiqih dan semacamnya. 

Tambahan Lagi

Makna ke tiga itu bisa lebih diutamakan, karena kalau maksud mendatangi istri itu hanya Qubul (afwan, lubang depan), maka sudah pasti akan terlarang dari melezati yang lainnya dari bagian tubuh istri. Padahal kan tidak ada seorang muslimpun yang mengharamkan paha, susu, mulut ..dan seterusnya...dari bagian-bagian istri dan suami. Afwan agak kurang sopan. Terpaksa dijelaskan karena berkenaan dengan hukum. 

Bora Sawerigading: Sepakat..Biarkan kebenaran mengujukkan jati dirinya..Para pemikir akan lebih mengerti tentang kebenaran.. 

Yuddi Masaling Batam: Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Orlando Banderas: Hadist dari Abu Abdillah AS sudah benar tapi kesimpulan yang diambil penulis itu yang salah.. 

Ali Assegaf Senat Jatim: Mungkin dijelaskan level kewenangan dan kewajiban - jika ada link bab Taqleed saya kira jelas... 

Firman Koplaks: Senang dapat jawaban langsung orang syiah, terimakasih. 

Sang Pencinta: Firman, Kiranya antum berminat mengetahui bahasan Taqlid dalam Syiah bisa merujuk ke https://www.dropbox.com/s/515vzx25gjgzh9q/Fikih%20Pemula.pdf. 
afwan. Fikih Pemula.pdf www.dropbox.com

Sang Pencinta: Dan catatan ustadz bab Taqlid, https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf?m 
WF Marja Taqlid.pdf www.dropbox.com 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 02 Desember 2018

Logika dan Filsafat dalam Qur'an



Seri tanya jawab Wirat Djoko Asmoro dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Sunday, January 6, 2013 at 3:36 pm


Wirat Djoko Asmoro mengirim ke Sinar Agama: 14 November 2012,

Salam. Ustadz sering nyinggung di sini tentang ilmu logika dan filsafat, Apakah kedua ilmu ini juga pernah diajarkan Nabi saaw? Syukron.


HenDy Laisa: Filsafat=hikmah, afwan Ustadz jika keliru

Sang Pencinta: Salam, afwan ikut bantu nukilkan link Ustadz Sinar ya,

Ada Apa Dengan Filsafat??!! (Mengapa Sebagian Muslimin Anti Filsafat?), Oleh Ustadz Sinar Agama: http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/379026705475465/,

Dalil Ayat-Riwayat Belajar Filsafat dan Ilmu-ilmu Lainnya, Oleh Ustadz Sinar Agama : http://www. facebook.com/groups/210570692321068/doc/379050932139709/,

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Coba baca dulu yang dinukilkan Pencinta itu, semoga sudah bisa menyelesaikan masalah antum, amin.

Sekedar manambahkan, bahwa dalam Qur'an dikatakan bahwa barang siapa yang diberi hikmah, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak (QS: 2: 269).

Hikmah adalah sesuatu yang kuat. Apa saja yang dalilny kuat adalah hikmah seperti fikih, filsafat, logika, matematik dan seterusnya.

Nah, logika itu mengajarkan cara berfikir benar, dan hal-hal seperti ini banyak di Qur'an dan hadits, baik berupa aplikasinya atau rangsangan menggunakan akal. Sampai-sampai ada ayat yang menantang dalil kepada orang kafir kalau mereka merasa yakin bahwa mereka benar (QS: 2: 111).

Kalau dilihat dari sisi hadits, juga terdapat berbagai perintah, rangsangan dan aplikasi terhadap logika ini.

Kalau filsafat yang membahas tentang semua wujud, maka lebih banyak lagi di Qur'an dan apalagi hadits. Perintah-perintah Tuhan untuk mengetahui DiriNya, dan dalil-dalilnya seperti “Kalau di langit itu ada Tuhan lain selain Allah, maka keduanya akan hancur.” (QS: 21: 22).

Wirat Djoko Asmoro: Syukron Ustadz, Bang Hendy dan Sang Pecinta. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Imam Ali as Itu Bukan Syi’ah, Tapi Disyi’ah-i




Seri tanya jawab Kopipaikna Thomasalle Punggawa dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:57 pm



Kopipaikna Thomasalle Punggawa mengirim ke Sinar Agama: 3-11-2012, 

Khalifah Ali Bin Abi Thalib RA, Syi’ah atau Sunni? 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Imam Ali as itu adalah imam Syi’ah (diikuti). Syi’ah artinya “mengikuti”. Jadi, imam Ali as adalah yang diikuti sebagaimana sabda Nabi saww ketika turun ayat: 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, maka mereka itulah sebaik-baik manusia.” (QS: 98: 7), di mana beliau saww bersabda kepada imam Ali as: 

“Ya Ali, mereka itu adalah kamu dan syi’ahmu.” 

Hadits-hadits seperti ini, dapat dijumpai di kitab-kitab Sunni seperti: 

Tafsiir Ibnu Jariir al Thabari, 30/171; Tafsir al Durru al Mantsuur karya Suyuthi di tafsiran tentang ayat tersebut; Shawaaiqu al Muhriqah, 96; dan lain-lain). 

Atau ketika beliau saww bersabda: 

“Demi jiwaku yang ada di TanganNya, sesungguhnya dia -Ali- dan syi’ahnya (pengikutnya) adalah orang-orang yang berjaya/menang di hari kiamat.” 

(Tariikhu Damsyq, 2/442; al Manaaqib al Khurazmi, 62; Syawaahidu al Tanziil karya al Haskaani al Hanafi, 2/362; Kifaayatu al Thaalib karya Kanjii al Syaafi’i, 245, 313, 314; Kunuuzu al Haqaaiq, 84; al Durru al Mantsuur karya Syaafi’i, 6/379; Tadzkiratu al Khawaash, 58; dan lain-lainnya). 

Atau ketika beliau saww bersabda: 

“Nanti kamu -Ali- dan syi’ahmu (pengikutmu) akan datang di hari kiamat dengan ridha dan di- ridhai,” 

(Nazhmu Durari al Simthain, karya Zarandi al Hanafi, 92; Yanaabii’u al Mawaddah, 301; al Fushuulu al Muhimmah, 107; al Shawaa’iqu al Muhriqah, 159; Kanzu al ‘Ummaal, 15/137; Majma’u al Zawaaid, 9/131; Nuuru al Abshaar, 101; dan lain-lain). 

Atau ketika beliau saww bersabda: 

“Ya Ali, sesungguhnya kamu dan syi’ahmu (pengikutmu) akan dihadapkan kepada Allah dengan diridhai dan.” 

(Nuuru al Abshaar karya al Syablanji al Syaafi’i, 73; al Shawaaiqu al Muhriqah, 152; Yanaabii’u al Mawaddah, 299; dan lain-lain). 

Dan lain-lain dari kata-kata Syi’ah yang disabdakan Nabi saww di riwayat-riwayat Ahlussunnah. Karena itulah sudah sering diktakan bahwa aliran Syi’ah itu didirikan oleh Allah dan NabiNya saww sendiri. Karena kanjeng Nabi saww tidak mengucapkan apapun kecuali wahyu (QS: 53: 2-3). Dan, sudah tentu kedua belas imam makshum as itu (Bukhari-Muslim) adalah imam yang disyi’ahi atau diikuti, bukan Syi’ah/mengikuti. 

Wassalam bagi yang menerima hidayah. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjilfarajahum 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 20 November 2018

Qiraa-atu Al-Sab’ah



Seri tanya jawab Fatimah Sekar Langit dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, December 23, 2012 at 9:50 am

Fatimah Sekar Langit mengirim ke Sinar Agama: 10 Oktober 2012 


Salam. Ustadz aku mau tanya tentang Qiro’ah Sab’ah. 

Bagaimana sejarahnya...? Kok sampai muncul bacaan yang berbeda-beda ? 

Apakah Qiro’ah yang berjumlah Sab’ah itu semua diajarkan oleh Nabi, kalau semua benar berasal dari Nabi terus yang paling otentik yang mana...? Mengingat dengan perbedaan di dalam qiro’at itu berarti berpengaruh pula terhadap perbedaan di dalam memaknai Qur’an. 

Syukron.... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Pembacaan Qur'an itu, memang bisa terjadi perbedaan karena waktu itu tidak ada titik komanya. Ditambah lagi masalah lahdzah dan logat. Semua yang ada di qiraat sab’ah itu, karena diriwayatkan secara mutawatir ke masing-masing shahabat yang membacanya, maka bisa dipakai. Di jaman Nabi saww sendiri, kadang ada perbedaan pembacaan, tapi dibenarkan oleh beliau saww. Tapi ketika beliau saww tidak ada, seperti sekarang ini, maka kita terpaksa memakai pembacaan yang tujuh itu. 

Pembacaan itu, sebenarnya lebih dari tujuh, ada sampai belasan. Tapi yang paling standar dan disepakati muslimin adalah yang tujuh itu, dan yang paling diterima adalah pembacaan yang ada sekarang ini. Yakni di Qur'an yang ada sekarang ini. 

Saya sempat punya Qur'an yang ada tiga belas pembacaannya. Entah di mana sekarang. 

Tapi ingat, bahwa perbedaan bacaan itu, tidak di semua ayat. Hanya di beberapa ayat saja dan, tidak sampai merubah esensi kehidayahan Qur'an. 

Fatimah Sekar Langit

جزاك الله بجوابك اطال الله عمرك


Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Penaklukan Qisthantaniah



Seri tanya jawab Satria Bani Hasyim dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, December 23, 2012 at 9:03 am



Satria Bani Hasyim mengirim ke Sinar Agama: 30 September, 

Salam. Ada beberapa pertanyaan ; 

1. Adakah di Al-Quran disebutkan langsung nama Imam Ali as sebegai penerus khalifah? Bila tidak ada, mengapa? Bila Rasul selalu disebutkan namanya, mengapa nama Imam Ali as sebagai wasinya, yang ana cari di Al-Quran tidak secara langsung di sebutkan namanya ? 

2. Ana ada pertanyaan dari saudara ana yang Sunni, pertanyaannya tentang hadits penaklukan Konstatinopel. Hadits itu dikatakan Rasul sewaktu perang Khandaq, tentang ramalan Konstatinopel ke depan. Mungkin hadistnya yang ini ; 

Latuftahannal konstantinniyyah falani’mal amiiru amiiruha wala ni’mal jaysu daalikal jays” 


“Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan pada saat itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan pada saat itu.” 

Afwan ustadz, ana juga belum meneliti di Sunni hadits itu apakah di Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dll. 

Pertanyaannya; Apakah ada di Syi’ah hadits serupa tentang ramalan Rasul tentang Kontatinopel ke depan, yang diucapkan sewaktu perang Khandaq ? 

Sang Pencinta
http://arsipsinaragama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=400:ghadir-khum&catid=42:arsip-faqs-imamah&Itemid=62&ml=1

Satria Bani Hasyim: Syukron sang pecinta, nanti ana pelajari. 

Satria Bani Hasyim: Ustadz yang no 2 belum dijawab. Afwan merepotkan, he2.. 

Sinar Agama: Sudah tentu hadits-hadits tentang Imam Mahdi as itu, banyak yang sama antara Syi’ah dan Sunni. Ini contoh hadits Syi’ahnya tentang penaklukan Qisthanthiniyyah (Istanbul-Turki) dan China: 



Tambahan

Ketika Tuhan mengatakan dalam Qur'an bahwa yang menguasai atau yang memimpin kita itu adalah Allah, Nabi saww orang mukmin yang melakukan shalat dan membayar zakat ketika ruku’ di mana tidak ada orang selain Imam Ali as, maka adakah kejelasan lebih jelas dari ini? Allah berfirman di QS: 5: 55: 



“Sesungguhnya pemimpin kalian hanya Allah dan RasulNya dan orang-orang yang beriman dan menegakkan shalat serta membayar zakat ketika sedang rukuk.” 

Satria Bani Hasyim: Syukron ustadz dan my brad...I love you all, he2... 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Sinar Agama: Satu lagi: Disebutkannya dalam Qur'an, tidak berarti menyelesaikan masalah. Seperti shalat tiga waktu yang terdapat di beberapa ayat Qur'an, tetap saja tidak dipatuhi. Atau adanya berbagai ayat yang mewajibkan kita ikut pemimpin yang makshum, atau seperti yang bayar zakat dalam keadaan ruku, tapi tetap saja, imamah tidak dijadikan dasar keislamannya. 

Satria Bani Hasyim: Iya ustadz. Ana itu sejak SMP selalu bertanya-tanya, kok kenapa Rasul tidak berwasiat kepemimpinan? Kok kenapa di sejarah khalifah pertama musyawarah, tapi khalifah ke-2 diberi begitu saja? Aneh kan? Kok kenapa ada ayat mutasabhihat seperti alif lam mim, tidak ada artinya, malah dikatakan hanya Tuhanlah yang tahu. Ana fikir, bukankah kitab itu diturunkan dan dipahami untuk manusia? Kok dibalikkan lagi ke Tuhan, Tuhan kan gak perlu kitab? 

Seharusnya logika-logika sederhana ini menjadi pertanyaan besar, untuk mencari jawaban- jawaban. Kalau boleh jujur...ana mencium adanya kudeta kepemimpinan dan yakin ada orang yang memahami alif lam mim (pewaris kitab), sejak SMP itu Ustadz. Mau bertanya pada guru takut dimarahi. Ana tau nama Syi’ah dari kakek ana dan perang teluk. Beliau cerita bahwa ada mahzab penganut keluarga nabi, tapi beliau seorang suni. Dia tahu Imam Ali as, pembantaian cucu Rosul dan cerita-cerita Imam Mahdi as. Beliau pernah bilang bahwa kelak kebenaran akan ditemukan. Itulah sekelumit pertanyaan, jejak, dan misteri yang ana dapatkan jawabannya di Syiah. Eh jadi curhat, he2.. 

Sinar Agama: Satria: Semoga antum sekeluarga selalu ada dalam selimut kehangatan hidayahNya dan semoga antum sekelurga juga menjadi orang yang mensyukurinya. Semoga kita semua, termasuk teman-teman fb lainnya, juga seperti itu, amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 16 November 2018

Doa Yang Tidak Akan Pernah Diterima Allah




Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, November 10, 2012 at 11:30 pm


Sinar Agama: 14 Agustus, Bismillaah: 

Salah satu doa yang pasti tidak akan pernah diterima Allah, adalah doa yang meminta tidak disampaikannya dan tidak menyebarnya kebenaran di tengah-tengah masyarakat. 


Dharma Narendra T P, Arif Muhajir dan 74 orang lainnya menyukai ini. 

HenDy Laisa: Contohnya ustadz..afwan. 

Zainab Naynawaa: Afwan jika kebenaran tersebut disampaikan oleh ustadz mungkin ga ada masalah jika kita yang menyampaikan mungkin akan dijauhi dan pasti tidak dihiraukan... 

Baskoro Juragan Tahu : Di mana keadilan Allah jika demikian??? Bukankah iblis pun meminta waktu untuk menyesatkan manusia pun dikabulkan? Afwan ^_^ 

Orlando Banderas: Baskoro. Allah adil tapi juga Maha Bijak. Allah hanya akan mengabulkan doa kalau di situ ada hikmah (maslahat) di dalamnya. Salam. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Maya Zahra: Sabar ustadz... 

Heri Widodo: Allah Humma Sholi Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad. 

Hidayatul Ilahi: Nyimak aja ah. 

Rosan Da Vinchi : kalau do’a yang isinya melaknat manusia ciptaan Allah gimana yaaaaaa ?? 

Sang Pencinta: Rosan mulai eksis lagi, tampak mulai terguncang karena kebenaran Ahlul Bait. 

Sinar Agama: Hendy: Contohnya masih anget di face book, he he he ... 

Sinar Agama: Zainab: Sampaikan kebenaran yang argumentatif dan itu yang bisa kita lakukan, lain-lainnya tetap santun pada siapapun. 

Sinar Agama: Baskoro: Syetan itu tidak meminta dihentikannya kebenaran, tapi meminta ijin untuk memerangi kebenaran. Jadi, beda doa syethan dengan doanya. 

Sinar Agama: Rosan: Mengapa kamu tidak tanya kepada Allah saja? Ia dalam QS: 3: 87, berfirman: 


“Bagaimana Allah akan memberi hidayah pada suatu kaum yang kafir setelah beriman sementara mereka menyaksikan bahwa rasul itu benar dan mendatangi mereka penjelasan-penjelasan, sungguh Allah tidak menghidayahi orang-orang yang aniaya/ zhalim (86) Balasan bagi mereka adalah laknat Allah, para malaikat dan semua manusia.” 

Orlando Banderas: Sang Pecinta dan Ustadz. Sepertinya komentar Rossan dihapus. Mungkin karena kata-katanya yang tidak senonoh. Mungkin gak untuk ke depannya kalau ada jawaban komentar tapi komentar sebelumnya di hapus agar menampilkan komentar sebelumnya tapi diedit untuk menghilangkan kata-kata tidak senonoh. Ini tujuannya agar pembaca lain juga tahu kronologisnya. Terima kasih. Salam. 

Rosan Da Vinchi · 14 teman yang sama: Aku cuma mengingatkan kaumku yang berseberangan.......... mengapa sampai ini hari belum juga menggunakan akal sehat. 

Sinar Agama: Rosan: Apakah kamu sekarang teringatkan dengan ayat yang kubawa itu? Atau masih mau ngeyel? 

Rosan Da Vinchi · 14 teman yang sama: 

Simpulkanlah sendiri dari ayat di atas, dan konfrontir dengan fenomena yang terjadi di kalangan ulama-ulama Syi’ah, apa yang terjadi itu hanyalah sebagian kecil dari azab Allah yang menimpa ulama-ulama Syi’ah, mereka khan mati hampir mayoritas memalukan... semoga ini jadi pembelajaran bagi syiah-syiah ke depannya............... Amien. 

Sinar Agama: Leiya: Selama masih berstatus istri, maka kupikir angkat saja dan apapun kata-katanya, jangan dimasukkan ke hati dan tidak usah dipikir. 

Sinar Agama: Rosan, dari dulu kamu memang suka muter-muter tidak karuan. Tanya tentang laknatnya manusia kepada manusia. Lah .. sudah dikasih ayatnya, malah muter ke komek-komek. 

Kamu mau ikut Qur'an atau komek? Dan anehnya, justru kamu sendiri yang menulis komek komek itu yang dicuatkan dari hatimu yang tidak suka argumentasi dan bukti. Ulama celaka kek, mati memalukan kek, semua dan semua, dikarang olehmu sendiri. Syukur pada Tuhan yang menjadikan pencela pada madzhab Ahlulbait as bisanya hanya mencela dan mengarang. Ketanpabuktian perkataan orang-orang semacam kalian jelas menunjukkan kebatilan kalian dan kebenaran kami. 

Leiya Melika: Sinar Agama@jJadi intinya perempuan itu harus selalu sabar. Begitu Kah ?...Terima kasih.. 

Sinar Agama: Leiya, tidak harus begitu, jadi bisa sabar atau minta cerai. Tapi keputusan ada di tangan suaminya, apakah mau menceraikannya atau tidak. Tapi kalau sabar, maka pahalanya sangat besar sampai dikatakan di riwayat-riwayat yang kita dengar dan baca di kitab-kitab, bahwa yang sabar terhadap kelakuan buruk suaminya, akan diberi pahalanya siti Asiah ra istri Fir’aun. 

Rosan Da Vinchi · 14 teman yang sama: Ustadz koq ndak mampu memberikan solusi yang baik, malah membuka peluang membubarkan rumah tangga orang... hei kalau ndak mampu kasih nasehat jangan main asal ngomong doank akibatnya yang dipikirkan tauuu. Ini masalah masa depan anak-anak orang lain koq kamu malah jadi provokator, waaah kebangetan kaleee kamu, tunggulah azab Allah atas perbuatan lidah kamu itu. 

Sinar Agama: Rosan: Solusi yang tepat itu harus mendengar dulu dari kedua belah pihak hingga dapat mengetahui apa sebenarnya yang menjadi penyebabnya. 

Reza Fauzan: Al Hamid @ROSAN DV. ROS, ENTE NI SARAP ATAU APE SEEH????!!! KELIATAN BANGAT NYARI PERMUSUHAN!!! NGOMONG AJA UDAH GA JELAS, TAPI SOK AGAMIS, LO!!!! :p 

Bulan Bintang Merah: Kasihanilah Rosan. Tuna ilmu dia. 

Bande Husein Kalisatti: @Rosan : kacian deh lo..!@ 

Edewan Abdul Majid: Coba ditenangkan dulu, soalnya panas banget dech. 

Hikmat Al Isyraq : Percaya atau tidak, kenyataannya apa yang anda tolak akan eksis (bertahan). Dan makin anda benci akan makin menguat dan berkembang. 

Rosan Da Vinchi : Cobalah memaknai suatu masalah dengan mengedepankan pola pikir sebijaksana mungkin hingga akan memudahkan turunnya rahmat jikalau rahmat Allah yang menaungi hati kita maka tak akan ada peluang hawa nafsu berbicara..... anda mengatakan harus ada sharring dari kedua belah pihak untuk menentukan solusi apa yang patut diberikan aku setuju itu, itulah yang kumaksud dengan memaknai suatu masalah, namun yang terjadi adalah antum memberikan alternatif pada suatu masalah itu sendiri, ana mengajak antum berfikir kembali......... !!! 

Dharma Narendra T P: @rosan : bijaksana sekali anda, saya sampai terharu karena kritikan-kritikan membabibutakan mata anda sendiri, muntahkan semua kritikan anda lebih banyak lagi biar saya tambah terharu ustadz Rosan .... hik hik hik. 

Wassalam 

Haidar Dzulfiqar and 15 others like this. 

Sarboz Osemon: Ayat “berdoalah pasti aku kabulkan” dikatakan secara mutlak.. qoidnya dapat darimana? 

Sinar Agama: Sarboz: Apa antum kalau minta kepada Tuhan, supaya Ia jadi makhluk akan dikabulkan? Meminta kepadaNya supaya nabi Muhammad saww dicabut jadi nabi akan diterimaNya? Meminta kepadaNya supaya Ia membatalkan pangkat keimamahan 12 imam akan dikabulkanNya? Kalau meminta supaya antum jadi nabi atau imam, apa akan dikabulkanNya? 

Kalau meminta sekarang dikiamatkan akan dikabulkanNya? Kalau meminta supaya kebenaran itu jangan disebarkan dan jangan dibelaNya, akan dikabulkanNya? 

Ayat yang antum bawa itu mutlak, tapi ayat itu bukan satu-satunya ajaran agama kita. Ribuan ayat lainnya dan puluhan ribu hadits penjelasnya, adalah pengkondisi, penjabar dan mengqoyyid dari satu ayat tersebut. Jadi qoidnya adalah dari seluruh Qur'an dan riwayat. Kan qoid itu tidak mesti muttashil/ menyambung. Bukankah qoid itu bisa munfashil, yakni dalam kalimat-kalimat terpisah???!!! 

November 11, 2012 at 1:07am


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 14 November 2018

Mengapa Selalu Nabi saww Yang Disalahkan ?



Seri tanya jawab Fadly Ilyas Dg Liwang dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, November 6, 2012 at 9:02 pm



Fadly Ilyas Dg Liwang: 10 Agustus sekitar Daerah Khusus Ibukota Jakarta 


Salam Ustadz. Semoga selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah, ilahi aamiin. Mohon dijelaskan asbab an-nuzul Q.S. Al-Anfal ayat 68. syukran :) 


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

1. Ayat yang antum maksud adalah sebagai berikut:


لَّوْلاَ كِتَبٌ مِّنَ اللهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَآ أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ


"Seandainya bukan karena ketentuan Allah yang telah ditetapkan sebelumnya, maka kalian akan mendapat adzab dari apa-apa yang telah kalian ambil.” 

2. Sebab turun ayat tersebut adalah berhubungan dengan apa-apa yang dilakukan para shahabat dalam perang. Yaitu yang berperang karena ingin mendapatkan tawanan dan tebusannya. 


Ayat sebelumnya menjelaskan bahwa tidak boleh Nabi saww dan mukiminin untuk mengambil tawanan sebelum kemenangan total (seingat saya, saya sudah menjelaskan ayat sebelumnya di fb ini, karena dikira bahwa Nabi saww telah melakukan kesalahan dengan mengambil tawanan tersebut). Atau ada juga yang menerangkan dalam riwayat bahwa sebelum membunuh siapa- siapa penyebab fitnah peperangan di perang Uhud itu. 

3. Ketentuan dalam ayat di atas itu, bukan ketentuan nasib manusia, akan tetapi ketentuan hukum. Maksudnya dalam ayat tersebut adalah: Seandainya kalian para shahabat yang berebutan tawanan sebelum kemenangan mutlak hingga kadang menyebabkan kekalahan seperti di perang Uhud, tidak tercakup ketentuan hukum Tuhan yang dituliskan bahwa siapapun yang bersalah tidak akan diadzab sebelum datang penjelasan, maka kalian, dengan perbuatan kalian itu, sudah pasti akan terkena adzab Tuhan. 

4. Sebagian riwayat-riwayat Sunni tega-teganya dibuat untuk memojokkan kanjeng Nabi saww dengan mengatakan bahwa Nabi saww telah mengambil tawanan dan ditegur Umar atau Sa’ad bin Mu’aadz hingga turun ayat tersebut. 

Kepalsuan riwayat seperti ini, sangat nampak jelas, karena Tuhan sedang menerangkan adanya orang-orang yang berperang karena ingin mendapat tawanan dan tebusannya. Sementara Nabi saww dan para mukminin yang shalih, berperang hanya dan hanya karena Allah. 

5. Kepalsuan hadits itu semakin meningkat manakala Nabi saww setelah ditegur Umar atau Sa’ad bin Mu’aadz itu, dan dituruni ayat sebelum ayat yang antum tanyakan itu, beliau saww bersabda: 

“Seandainya turun adzab/bala kepada kita semua, maka tidak akan ada yang selamat kecuali Umar/ Sa’ad bin Mu’aadz.” 

Bayangin Nabinya saww sendiri kena adzab tapi Umar atau Sa’ad tidak akan terkena adzab tersebut. 

6. Kelengkapan dalil-dalil ketidakbersalahan Nabi saww di perang Badr tersebut, yakni bantahan pada orang-orang yang menfitnah Nabi saww sembari melebih tinggikan Umar/Sa’ad dari Kanjeng Nabi saww, bisa dilihat di catatan sebelumnya. 

Wassalam. 


Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa alli Muhammad. 

Fadly Ilyas Dg Liwang: Syukran ustadz. Karena berkaitan dengan hal tersebutlah (khusus poin 4, 5) yang membuat saya miris mendengar salah satu kajian di satu majelis. Semoga Allah tidak mengadzab saya karena kelemahan ilmu untuk membela Rasulullah. Afwan ustadz, judul tema ayat sebelumnya di wall ustadz apaan yah? 

Sang Pencinta: Silahkan mas Fadly http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/403116739733128/

Fadly Ilyas Dg Liwang: Alhamdulillah...syukran SP. Semoga kemuliaan lailatul qadr menaungi anda dan keluarga, Ilahi aamiin. 

Sang Pencinta: Amin, semoga antum dan keluarga begitu juga hendaknya. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 14 Oktober 2018

Arti Tuhan Mengangkat dan Menjatuhkan Pemimpin/ raja yang Dikehendaki



Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama 

by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 4, 2012 at 11:07 pm


Heri Widodo: Ustadz, QS Ali Imron 26 = Apakah Kehendak ALLAH Menjatuhkan seseorang adalah Keadilan Tersembunyi Hikmah untuk orang tersebut ? 


Agoest D. Irawan, Nadi Ali Utomo, dan Irawati Rembang C menyukai ini.. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Naiknya seseorang menjadi raja atau pemimpin, tidak ditentukan dan tidak pula dikehendaki Allah sebagai kehendak tasyri-’ii (syariat) atau kehendak takwini (natural). 

(2). Artinya, kehendak yang bermakna kehendak, itu tidak ada. Begitupula ketidakberkehandakanNya juga tidak ada. Katakanlah, urusan mau jadi pemimpin atau tidak, semua itu, urusan manusia itu sendiri. 

(3). Akan tetapi, karena akibatnya akibat itu, akibat pula bagi sebabnya, dan karena Tuhan itu sebab akhir dari semua keberadaan, maka kemenjadian-pemimpin atau ketidakmenjadian pemimpin seseorang itu, adalah bagian dari makhluk Tuhan dan akibatNya. Dari sisi, inilah dikatakan bahwa menjadi dan tidak menjadinya pemimpin atau raja bagi seseorang itu, tergantung kepada Allah. Ini makna ayat yang ditanyakan itu. 

(4). Mengapa dikembalikan kepada Allah hingga seakan-akan Tuhanlah penentu semuanya? Karena, Tuhan adalah sebab hakiki bagi semua kejadian di alam ini walaupun hal itu adalah perbuatan dan pilihan manusia itu sendiri. Karena akibatnya akibat, adalah akibat pula bagi sebabnya. Dan Tuhan, adalah sebab hakiki dari semuanya dalam arti, tanpa Tuhan, maka sebab-sebab yang berada di tengah antara akibat akhir dengan serentetan sebab-sebab sebelumnya, semua itu, tidak akan ada gunanya dan tidak akan ada fungsinya. 

Shalat dan mencuri, atau menjadi pemimpin, adalah suatu keberadaan yang diakibatkan oleh ikhtiar manusia. Dari akibat akhir ini, untuk sampai kepada Allah sebagai sebab akhir, ada jutaan sebab-sebab perantara, seperti ikhtiar fulan yang menginginkannya, pengaruh lingkungan, mani-ovum yang telah menjadi si fulan yang mau jadi pencuri atau orang shalat atau pemimpin itu. Kemudian mani-ovum itu juga perlu kepada sebab-sebab sebelumnya, dan sebab-sebabnya itu juga perlu kepada sebab-sebab ...dan seterusnya. ... sampai akhirnya kembali kepada Allah. Nah, semua sebab-sebab perantara itu, menjadi sebab karena Tuhan yang telah menjadikannya sebab. Jadi, sebab hakiki itu adalah Allah dan sebab parantara itu adalah sebab-sebab yang tidak akan pernah berarti tanpa sebab akhir tersebut. 

Karena itulah maka sebab hakiki itu hanya Allah dan karena itulah semuanya sering dikembalikanNya kepada DiriNya di Qur'an dan hadits-hadits Nabi saww. 


(5). Akan tetapi ingat bahwa akan bertanggung jawab itu adalah manusia itu sendiri. Hal itu karena sebelum terwujudnya akibat manusia, seperti mencuri, shalat atau jadi pemimpin, harus melalui sebab yang namanya akal dan ikhtiar. Karena itulah, maka manusia ini yang harus bertanggung jawab terhadap pemahaman akalnya dan ikhtiar-ikhtiarnya. 

(6). Karena itulah maka dalam makhluk-makhluk yang berupa perbuatan manusia ini, dibagi menjadi dua bagian: 

a. Makhluk yang sesuai dengan kehendakNya secara Takwini saja, yakni sesuai dengan prosedur di atas itu, yakni dari Tuhan ke makhluk pertama dan dari makhluk pertama ke makhluk ke dua ..... dan seterusnya sampai ke makhluk yang namanya perbuatan manusia ini. Nah, setiap keberadaan di urutan-urutan ini, dikatakan terjadi dengan ijin Allah secara Takwiniyyah (ciptaan naturalinya). Di bagian ini, tidak peduli apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk, hak atau batil. Seperti shalat, mencuri, menjadi pemimpin batil atau hak. 

b. Makhluk yang sesuai dengan kehendakNya secara Tasyrii’ii (syariat atau agama atau hukum-hukum agama Tuhan). Artinya pilihan-pilihan manusianya itu, yakni makhluk yang berupa perbuatan manusia ini, sesuai dengan kehendak Allah yang sudah ditentu- kan dalam agamaNya. Seperti shalat, menjadi pemimpin hak (seperti para nabi, rasul dan Imam makshum). 

(7). Dengan penjelasan itu maka bisa saja, kemenjadian pemimpin seseorang itu dikehendaki Allah secara aturanNya dalam natural saja, dan bisa dari sisi aturan-Nya dalam agamaNya juga. Karena itu, kemasyiyyahanNya (kehendak Allah), tidak mesti membuat seseorang yang menjadi pemimpin itu senang. Karena, kalau kemasyiyyahanNya itu hanya Takwiniyyah saja, maka ia akan menanggung dosa kebatilannya sendiri dan dosa umat yang dipimpinnya ke arah yang batil itu. 

Akan tetapi, kalau seseorang itu menjadi pemimpin karena dikehendakiNya secara agama- Nya, maka dialah yang dipilih Allah dan dikehendakiNya secara agama sesuai dengan potensinya sendiri dan kelayakannya, hingga dapat menjadi bantuan dan rahmat dariNya bagi umat yang dipimpinnya. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 06 Oktober 2018

Raj’ah



Seri pengulangan Sinar Agama
by Sinar Agama on Friday, January 4, 2013 at 2:51 pm 





Sinar Agama, 21 Oktober 

Tentang Raj’ah 

Raj’ah adalah kembalinya manusia tertentu ke kehidupan dunia setelah matinya. Artinya, setelah ia mati, maka dia hidup kembali di dunia ini, baik lama atau sebentar. Semua itu dengan ijin Allah. 


Raj’ah ini banyak sekali terjadi baik di manusia sebelum Islam kita ini, atau setelahnya. 

Yang mengimani Raj’ah ini tidak hanya Syi’ah, Sunnipun mengimaninya karena ia merupakan ajaran Qur'an dan hadits. Artinya, Sunnipun mengimani terjadinya itu. Akan tetapi, mungkin saja mereka tidak percaya kalau nanti akan terjadi di jaman keluarnya imam Mahdi as

Qur'an dan hadits-hadits yang sangat mutawatir secara makna dari kalangan Sunni, membuat Raj’ah ini tidak bisa diingkari. Tafsir-tafsir dan hadits-hadits Sunni penuh dengan masalah Raj’ah ini. Tentu saja, tentang Raj’ah yang akan terjadi nanti di jaman imam Mahdi as, mungkin tidak diyakini mereka. 

Contoh Raj’ah di masa lampau seperti: 


(a). 70 orang dari shahabat nabi Musa as. yang diazab Tuhan degan halilintar dan mati seketika. Lalu Tuhan menghidupkannya kembali atas permintaan nabi Musa as. Bisa dilihat di semua terjemahan dan tafsir Sunni (QS: 7:155).

(b). Ribuan orang dari Bani Israail, yang dimatikan Tuhan lalu mereka dihidupkan kembali olehNya. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja terjemahan Depag, di surat al-Baqarah ayat ke 243 yang berbunyi:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka: ‘Matilah kamu’, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”

Terjemahan ini adalah asli di tafsir depag. Di bawah dijelaskan, bahwa sebagian ahli tafsir mengartikan mati sungguhan dan sebagian lainnya sebagai mati semangat. Tentu saja, tafsiran ke dua ini adalah mengada-ada. Karena sudah keluar dari makna lahiriah dari kata “mati”. Sementara mati dan hidup lagi, tidak ada repotnya bagi KuasaNya. Jadi, tidak bertentangan dengan akal dan Qur'an. Apalagi Qur'an juga menceritakan hidup lagi dari yang lainnya dalam Qur'an. Jadi, penakwilan ke “mati semangat” itu adalah takwil yang melawan lahiriah. 

Anggap saja, boleh menakwil seperti itu (dimana hal ini keluar dari lahiriah yang biasanya tidak diperlukan dan kadang tidak boleh kalau tanpa sebab), tetapi jelas dikatakan oleh penafsir dengan mati sungguhan. 

Dengan penjelasan ini, maka hidup lagi di dunia ini, sebelum hari kiamat yang dalam bahasanya sekalipun dikatakan Raj’ah, adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan akal dan Qur'an. 

(c). Dalam Qur'an surat Baqarah ayat 259, diterangkan tentang satu orang yang dimatikan Tuhan, lalu dihidupkannya lagi setelah seratus tahun. Dalam riwayat dikatakan bahwa nama orang itu adalah ‘Uzair. Dalam ayat yang panjang itu, Tuhan bukan hanya me-Raj’ahkan dia, akan tetapi juga keledainya. 

(d).    Saam bin Nuh as yang dihidupkan oleh nabi Isa as setelah berabad-abad. 

(e). Orang yang terbunuh dan dihidupkan lagi di jaman nabi Musa as, dimana Tuhan mengatakan dalam Qur'an bisa dihidupkan dengan memukulkan daging dari sapi yang dipotong mereka yang disuruhkanNya kepada mereka itu dimana sifat-sifat sapinya itu begitu detail ditanyakan orang-orang Yahudi sampai-sampai hampir tidak mendapatkan yang sesuai. 

Walhasil, Raj’ah itu hal yang umum. Namun yang kurang umum dibahas dan diimani, adalah Raj’ah di jaman keluarnya imam Mahdi as nanti dimana orang yang sangat baik dan buruk akan dibangkitkan. Hingga yang baik dapat membantu imam Mahdi as. dan yang buruk dikalahkan imam Mahdi as. 


(f). Walhasil banyak sekali orang mati yang hidup lagi, di masa lalu atau setelah Islam. Di riwayat- riwayat Sunni banyak sekali riwayat orang hidup setelah mati di masa Islam ini. 

Wassalam. 


24 people like this. 

Ali Assegaf: Salam di atas disebutkan Raj’ah terjadi pada sebelum nabi Muhammad saww, dan juga setelahnya dan disebut hal umum. Apakah ada catatan yang menunjukan setelah Rasulullah saww hal ini? Tentu bukan di zaman akhir nanti... mohon sedikit menjelaskan 1 hikmah raj’ah di zaman sebelum Islam dan setelah Rasul... mengingat raj’ah bukan sekedar perbuatan Allah menghidupkan tanpa tujuan bermakna.. Syukron. 

Sinar Agama: Ali: Hikmah pastinya hanya Allah yang tahu. Tapi dilihat dari berbagai ayat dan tafsiran para mufassir atau keterangan para ulama, maka hikmah dari berbagai peristiwa itu bermacam-macam. 

Misalnya, yang dilakukan oleh nabi Isa as yang berulang-ulag itu, demi menguatkan imannya umat pada waktu itu, baik iman pada Alllah atau pada hari kebangkitan. Yang terjadi pada ashhaabu al-kaafi itu, untuk menguatkan hari kebangkitan yang sudah mulai diingkari pada jaman tersebut. Begitu pula untuk menguatkan iman umat pada Tuhan itu sendiri. 

Yang terjadi pada 40 orang shahabat nabi Musa as itu, supaya mereka tidak kurang ajar lagi kepada Allah dengan mengatakan bahwa mereka ingin melihat Allah dengan mata. 

Yang terjadi pada orang yang melewati dusun yang sudah hancur itu, yang kemudian dibangkitkan lagi setelah 100 th, untuk menguatkan iman dia sendiri dan, penceritaannya dalam Qur'an, supaya menguatkan iman kaum muslimin bahwa kebangkitan itu adalah hak dan benar. 

Sedang yang akan terjadi nanti, bisa saja, untuk menguatkan bukti keimaman imam Mahdi as. Menegakkan keadilan bagi para pengejek Islam selama ini (karena sebagian yang akan diraj’ahkan itu, adalah para penjahat besar, tentu semua ini, yakni detail-detail raj’ah dimasa datang, kalau haditsnya shahih dan maknanya sesuai zhahirnya). 

Sebastian Ali: Syukron ya Ustadz atas penjelasannya. 

Alam Di Keremangan: Salam ya Ustadz, afwan, kira-kira menurut pandangan antum atau pandangan yang pernah diberitakan oleh para aimmah as, siapa sajakah penjahat besar yang mungkin akan di raj’ahkan nantinya di masa Imam Mahdi as? Afwan ya Ustadz, Syukran. 

Sinar Agama: Ahsan kita sabar saja menunggu hal itu, kita serahkan padaNya. 

Ibnu Samsuddin: Penjelasan yang lugas dan sangat bermanfaat.... 

January 14 at 3:04 am


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Kamis, 04 Oktober 2018

Apakah Tuhan Dapat Dikenali



Seri Tanya Jawab Poeput Maniez dan Ustadz Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 13:44


Poeput Maniez: Salam ustadz, ana mau bertanya, dikatakan bahwa Tuhan itu tidak bisa dikenali, jika ia dikenali maka Tuhan itu terbatas, dan berarti itu bukan Tuhan. Hal ini bertolak belakang dengan hadis Imam Ali, kenalilah dirimu maka engkau akan mengenal Tuhanmu. Apakah ini berarti pengenalan kita pada diri sendiri merupakan lawan dari pengenalan terhadap Tuhan? Lalu dikatakan pula, bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, jika ia memiliki sifat maka tidak bedanya kita mengobjekan Tuhan (brarti Tuhan terbatas), lalu bagaimana dengan sifat-sifat / asmaul husna ? Apakah sifat-sifat tersebut sifat Tuhan atau bagaimana penjelasannya? 


Sinar Agama: salam dan terimakasih atas pertanyaannya: 

(1). Kalau ingin tahu rincian jawaban pertanyaanmu ini, maka rujuklah catatanku yang berjudul “Pokok-Pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah” bagian pertama. 

(2). Ringkasnya: Tuhan itu wajib dikenali. Karena akal sendiri yang mewajibkannya. Begitu pula agama Islam. Akal mengatakan, kalau kamu tidak tahu Tuhanmu, bagaimana kamu bisa mensyukuri pemberianNya, mengabdiNya dan/atau memilih agamaNya di antara banyak agama, dan bahkan bagaimana kamu bisa memilih Tuhanmu dari berbagai penawaran tentang Tuhan sepanjang sejarah manusia ini. 

Kalau kamu tidak menggunakan akalmu, dan tidak wajib mengenal Tuhanmu, lalu mengapa kamu nekat memilih Tuhan yang satu? Mengapa tidak memilih yang dua tuhan atau lebih? 

Dan kalau kamu tidak wajib mengenal Tuhanmu, mengapa ketika kamu memilih agama Islam (dari keturunan) di Qur'an Tuhan banyak sekali mengatakan “Ketahuilah bahwa Tuhanmu itu Maha ini dan itu”. Bukankah bahwa perintahNya itu wajib dilakukan? Dan bukankah melakukan perintah Tuhan di ayat ini adalah mengetahuiNya? 

Nah, kalau Tuhan itu tidak bisa dikenali, maka sudah pasti akal kita dan Qur'an kita (bagi yang beriman) harus pula ditinggalkan. Yakni tidak boleh memilih Tuhan manapun. Karena kita tidak kenal Tuhan manapun. Jadi memilih salah satu diantaranya adalah kekonyolan yang nyata. 

Dan bagi yang beragama Islam maka Tuhan telah sia-sia memerintahkan kita semua untuk mengetahui dan mengenaliNya. 

(3). Dengan demikian maka Tuhan wajib dikenali, baik dengan dalil akal atau apa saja yang bisa disaring dengan akal. Apakah Qur'an atau Injil. 

(4). Apapun yang akan dipakai untuk mengenali Tuhan, baik Qur'an atau Injil atau Weda ...dan seterusnya, semuanya harus berakhir pada akal. Karena akal lah yang akan menerima salah satunya dan menolak yang lainnya. Karena dalam membandingkan kitab-kitab itu, tidak mungkin dengan mengikuti kitab-kitab itu. Karena kalau harus mengikuti kitab-kitab itu, berarti semua salah, karena saling menyalahkan, atau satu benar dan yang lainnya salah. Kalau yang pertama berarti kekacauan yang nyata. Dan kalau yang ke dua, maka kerancuan yang gamblang. Karena setiap orang bisa tunjuk satu kitab lalu baca dan ikuti lalu mengatakan kitab itu benar dan yang lainnya salah. 

(5). Dengan semua penjelasan di atas, maka baik mau memilih Tuhan, atau memilih agama dan kitab-kitab suci atau tidak suci, tetap berpulang kepada akal. Karena itulah akal mendahului agama dan kitab manapun, karena dalam memilihnya saja harus ikut akal dulu sebelum ikut Tuhan, agama atau kitab yang akan dipilhnya. 
Mungkin ada orang bertanya: “Kalau Tuhan itu tidak terbatas dan akal terbatas, maka bagaimana bisa mengenaliNya”. 

Jawabnya: “Lah ... kok antum tahu bahwa Tuhan itu tidak terbatas? Bagaimanakah antum memahmi kata-kata antum tentang tidak terbatas itu?” 

Kalau dia menjawab: “Tidak terbatas itu adalah yang tidak memiliki batasan, baik ujung atau pangkal, baik volume atau waktu ...dan seterusnya “ 

Maka jawaban kami: “Nah.. dengan itu berarti terbuktilah kebenaran kami, bahwa tidak terbatas itu bisa dikenali”. 

Untuk selanjutnya, yakni untuk menjawab detail-detail hal ini dan sifat-sifatNya, maka rujuklah catatan saya itu. Kalau tidak bisa di akun yang sinar ini, maka ambillah di akun ke duaku yang bernama Mekar Sari Dua Belas, wassalam. 

Syaiful Bachri: Ustadz bisa tolong add ana di Mekar Sari Dua Belas, ana sudah add tapi belum diconfirm, terimakasih. 

Sinar Agama: Syaiful: Ana sengaja tidak terima pertemanan, seperti tidak masuk tulisan-tulisan lainnya disitu hingga mengotorinya dan menyulitkan orang mendapatkan catatanku. Tapi semua tulisannya untuk semua orang, jadi diapain aj bisa in syaa Allah, artinya tidak harus berteman untuk mengambil catatan dan berkomen, walau kuanjurkan untuk komen di sini saja, jangan di sana, afwan dan terimakasih. 


Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjilfarajahum. 

Alia Yaman: Maaf... Ada celah di Notes ini buat orang lain untuk meng-edit isi notes sesuka hati... Bisa diumpetin gak “ Edit Doc” di atas? 

Hendy Laisa: Alia Yaman>gimana caranya mas supaya gak sembarang orang bisa mengedit dokumen di grup ini? Mohon pencerahannya. 

Hendy Laisa: Atau akhi Alia Yaman bisa langsung info caranya ke sang kreator notes-notes ini si Anggelia Sulqani Zahra ? 

Alia Yaman: Ana sama sekali gak tahu... Afwan. 

Alia Yaman: Sepertinya Privacy Settings atau sejenisnya. Yang bisa Setting cuma Admin... 

Hendy Laisa: Sepertinya gak ada settingannya akhi Alia Yaman... sebab saya juga lagi utak atik salah satu grup yang saya jadi adminnya gak ketemu settingannya. 

Sang Pencinta: Mas-mas, memang grup ini ga bisa dihilangkan edit note-nya. Tenang aja, Angelia selalu menimpa file-file yang terekam sudah diedit oleh orang lain. 

Hendy Laisa: Semoga web yang diasuh akhi Sang Pencinta bisa menyimpan file-file asli notes grup ini.. karena kalau sudah di web gak akan mungkin orang lain bisa mengedit..bukan begitu akhi..? Afwan.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 29 September 2018

Mut’ah Dalam Perebutan Pengumbar Nafsu (ifraath) dan Anti-pati (tafriith)

Mut’ah Dalam Perebutan Pengumbar Nafsu (ifraath) dan Anti-pati (tafriith), melengkapi 4 catatan sebelumnya tentang Mut’ah




by Sinar Agama (Notes) on Monday, June 27, 2011 at 4:37 am



Tulisan ini dibuat untuk melengkapi catatan yang sudah beberapa kali muncul dari saya tentang kawin mut’ah ini. Jadi, sangat baik untuk mendapat wawasan yang jelas, membaca semua catatan-catatan saya yang sudah terbit sebelumnya. Yaitu: 

1. Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina_Oleh Sinar Agama · 09 Oktober 2010 

2. Jawaban Terhadap Pertanyaan Salafi Tentang Mut’ah (seri percobaan)_Oleh Sinar Agama· 03 April 2011 

3. Mut’ah dan filsafatnya serta liku-likunya (seperti apakah sunnahnya bisa bertahan ditekan hukum wajib yang melawannya?)_Oleh Sinar Agama· 08 Juni 2011 

4. Taqiah Harus, Tapi Mut’ah Jalan Terus? (diskusi ringan tentang mut’ah, fikih, akhlak dan taqiah) Oleh Sinar Agama· 09 Juni 2011

Mukaddimah Pertama:


Sebagaimana sudah tidak samar lagi bahwa Mut’ah adalah kawin dalam jangka waktu tertentu. Dan sudah pula saya sering menerangkan tentang syarat-syaratnya (sesuai fatwa-fatwa para marja’), seperti bahwa bagi yang bukan janda (janda adalah yang sudah nikah dengan syah dan dikumpuli setelah itu, lihat catatan tentang “Definisi perawan dan janda menurut agama” !!!) harus ijin walinya dengan jelas, seperti siapa calon suaminya, kapan tanggal nikahnya dan kapan tanggal berakhirnya serta apa/berapa maskawinnya (silahkan rujuk ke 4 catatan di atas itu). 

Pembahasan berikut ini adalah untuk melengkapi keterangan-keterangan sebelumnya. Dan sudah tentu lebih tertata karena bukan berupa jawaban terhadap pertanyaan dan/atau serangan. Namun demikian, catatan yang terdahulu itu, jelas bisa lebih mengena ke inti masalah, karena ia langsung menanggapi pertanyaan atau serangannya. 

Kemudian, tidak seperti biasanya, dalam tulisan ini dibubuhkan ayat dan banyak riwayat. Semua itu hanya sekedar sebagai wawasan saja, bukan sandaran hukum. Karena kalau kita menyan- darkan hukum ke atasnya, sementara kita bukan mujtahid, maka jangankan salahnya, benarnya juga akan didosa oleh Tuhan. Yaitu dosa nekad atau tajarri terhadap hukum-hukum Tuhan. Jadi, jangan sampai pemaparan ayat dan hadits-hadits itu dijadikan sandaran hukum. Karena memang tujuan kita adalah membahas hikmah atau filsafat dari mut’ah ini, bukan hukumnya yang sudah kita yakini kehalalannya melalui fatwa-fatwa marja’. Tapi untuk lebih memahami fatwa-fatwa marja’ tsb, dan lebih meresapi tujuan hukum halalnya nikah mut’ah ini, maka ayat dan hadits-hadits itu disertakan dalam tulisan ini. Dan bagi yang ingin lebih rinci dan dalam bentuk pemaparan yang lain, pembaca bisa merujuk ke kitab yang dikarang oleh ayatullah syahid Muththahhari yang berjudul: “Hak-hak Wanita dalam Islam”. 

Mukaddimah ke dua

Yang diinginkan dalam penulisan ini adalah ingin mendudukkan tujuan dan kefilsafatan hukum mut’ah. Atau setidaknya “meraba hikmah yang sebenarnya”. Karena bagi orang lain agama, atau saudara-saudara muslim yang tidak menerimanya, hukum ini dikiranya sebagai jalan pengumbaran nafsu kebinatangan (sex), sementara di lain pihak, yakni bagi sebagian orang yang menerima- nya, terkadang dijadikan kesempatan untuk menyalurkan nafsu sexnya untuk mencoba berbagai wanita sebelum mati merenggutnya (dianggapnya sebagai kesempatan emas). 

Kedua tatapan itu, jelas telah membuat agama ini jatuh dari pandangan manusia yang menatapnya (baik muslim atau bukan). Karena dengan tatapan pertama, khususnya bagi muslimin yang mengharamkannya, telah banyak melahirkan banyak perzinaan (baik zina kecil atau besar) di masyarakat muslim. Dan yang lebih mengenaskan, bukan lagi perzinaannya, tapi pergaulan bebas tsb sudah merupakan hal yang wajar dan tidak buruk lagi. Karena itu, maka orang tua tidak marah lagi pada anaknya yang SMP atau SMA yang melakukan pacaran dan jalan bareng dengan teman lelakinya. Nah, budaya ini, benar-benar telah menjadi semacam penyakit AID bagi masyarakat kita, dimana kalau bukan karena mengharap rahmat Allah, sebenarnya sudah sampai ke tingkat “tidak bisa lagi dibenahi”. Karena itulah imam Ali as bersabda: 

“Kalau Umar tidak mengharamkan mut’ah, maka tidak ada orang berzina kecuali yang benar-benar keterlaluan”. 

Jatuhnya agama di hadapan penatapnya yang diakibatkan oleh kelompok pertama ini (yang mengharamkan mut’ah), adalah karena Islam itu ternyata tidak memiliki jalan keluar bagi banyak kebutuhan sex yang memang tidak bisa disalurkan melalui kawin permanen (seperti pada poin 6 di atas) dan, akibatnya menyebabkan jatuhnya Islam ke dua kalinya di hadapan mereka (penatap dan penilainya), karena telah membuat masyarakat sosial muslim sudah tidak beda lagi dengan sosial barat yang anti agama sekalipun. 

Artinya, dengan adanya budaya gaul yang sudah kronis dan sudah seperti AID yang membunuh budaya Islam yang sehat itu sendiri. Dan, akibat akhirnya, bukan hanya muslimin tidak kenal lagi dengan budaya Islam yang mengatur pergaulan (seperti hijab, rias, senyam senyum, gaul, dan lain-lainnya), akan tetapi bahkan merasa aneh dengan adanya aturan Islam tsb dan anti pati ter- hadapnya. Dan bahkan tidak jarang yg mengumpat aturan-aturan tsb sebagai “Keterikatan” dan “Kekolotan” serta “Ketertinggalan”. Karena itulah, kalau dikatakan pada seorang muslim bahwa dia bukan orang gaul, maka ia akan merasa minder dan rendah diri karena merasa memiliki ke- kurangan. 

Sedang dari ulah kelompok ke dua, yakni yang menjadikan hukum kehalalan mut’ah sebagai pembuka kesempatan untuk mencicipi berbagai wanita, telah membuat jatuhnya pamor Syi’ah di masyarakat. Karena itu, tidak heran kalau seorang Syi’ah tidak mengijinkan anak-anak perempuan mengikuti training ini dan itu, karena takut dimut’ah oleh guru atau temannya (terlebih mut’ah yang kacau dan salah karena tanpa ijin yang jelas dari walinya). Karena itu pula, maka tidak heran kalau banyak orang anti pati terhadap madzhab Syi’ah ini, karena ulah sebagian pengulah itu. Karena itu pula, maka tidak heran kalau terjadi korban-korban pelecehan terhadap para wanita syi’iyyah (Syi’ah) dan mukminah (tapi bodoh) oleh teman sekegiatannya sendiri. Karena itu pula, tidak heran kalau sebagian Syi’ah cerai sana dan kawin sini. Walhasil, benar-benar memusingkan dan membuat kita malu sementara mereka tertawanya lega dengan hanya kesana kemari bermo- dal satu hukum saja, yaitu bahwa “mut’ah itu halal”. 

Mukaddimah ke tiga

Untuk sekedar mengingatkan kepada dalil halalnya, Allah dalam QS: 4: 24, setelah menerangkan tentang wanita-wanita yang tidak boleh dikawini, berfirman: 


وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ  فَرِيضَةً وَلَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيم اتَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ  الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ ع لَِيم احَكِيمًا

Terjemahan Departemen Agamanya: 

.... dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian –wanita-wanita yang diharamkan pada ayat 23- (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu (menambah atau mengurangi atau tidak mem- bayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 

Terjemahan Bebas Kami: 

... dan dilhalalkan bagi kalian selain yang demikian itu –wanita-wanita yang diharamkan pada ayat 23- (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka kalau kalian telah mut’ah (kawin dalam waktu tertentu) dengan sebagian mereka, berikanlah upah (maskawin) mereka sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kalian -berdua- untuk saling rela (yakni kalau mau menambah waktu mut’ahnya dengan persetujuan yang baru dari sisi waktu dan upahnya/maharnya) setelah kewajiban –pertama- itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” 

Tidak cocoknya terjemahan pertama dan cocoknya yang ke dua:

1. Nafas ayat ini dapat diketahui dengan jelas bahwa ia ingin menjelaskan nikah mut’ah. Karena ia menjelaskan hukum mencari kesenangan dengan wanita melalui harta. 

2. Tuhan juga terlihat menekankan bahwa hal ini adalah kawin dan bukan zina. Yakni mencari kesenangan dengan harta melaui kawin mut’ah ini. Karena kalau kawin permanen tidak mesti dengan maskawin harta dan tidak perlu juga penekanan bahwa ini kawin. Karena sejak jaman jahiliyyah kawin permanen itu memang sudah ada. Artinya tidak perlu khawatir terhadap salah pahamnya umat terhadap hukum ini. Tapi ketika Tuhan sendiri menekankan bahwa hal ini adalah kawin, maka jelas ingin menangkal kesalahpahaman orang terhadap hukum ini yang mungkin akan mengatakan bahwa kawin seperti ini –yakni dengan harta dan dalam waktu tertentu- adalah zina.

3. Setelah mut’ah (kenikmatan) maka berikanlah upahnya. Di sini jelas, mendukung ke makna kawin sementara. Karena memberikan upah setelah kesenangannya itu. Jadi, pemberian upah setelah selesai kesenangannya. 

Allah di sini memakai kata UPAH atau UJUUR, maka ini juga bisa menguatkan kepada makna kawin sementara. Walaupun ia maknanya adalah maskawin karena pakai akad nikah, tapi ketika dipakai kata UPAH menandakan bahwa kawinnya itu adalah sementara atau setidaknya cenderung ke makna tsb, karena tabadur atau pahaman langsung begitu mendengar kata-katanya (upah). 

Tafsir Kasysyaaf, karya Zamakhsyari, juga mengisyaratkan pada makna upah yang dalam bahasa arabnya juga dikatakan tsawaab. Lihat di tafsirannya terhadap ayat mut’ah: 


وأجورهن مهورهن لأن المهر ثواب على البضع

“Dan ujuur mereka (para istri yang dikawini) adalah maharnya, karena mahar adalah upah/ tsawaab atas kemaluan-wanita.” 

Tafsir Aluusii juga menulis: 


وسمي المهر أجراً لأنه بدل عن المنفعة لا عن العين

“Mahar itu dikatakan upah/ajrun, karena ia balasan dari mamfaat, bukan barang (sehingga dikatakan harga/qiimah, penj.).” 

Tafsir Fakhru al-Raazii: 


وإنما سمي المهر أجراً لأنه بدل المنافع ، وليس ببدل من الأعيان ، كما سمي بدل منافع الدار والدابة أجرا
والله أعلم،

“Mahar itu dikatakan upah/ajrun karena berupa balasan dari mamfaat, bukan dari barang, sebagaimana disebut seperti itu (ajrun/upah) sebagai balasan dari mamfaat rumah (menyewa rumah) dan binatang (menyewa kendaraan), Allaahu A’lam.” 

5. Kemudian Allah mengatakan bahwa kalau setelah kewajiban itu (yang perempuan sudah melaksanakan tugas keistriannya dan yang lelaki sudah memberikan upahnya), maka tidak mengapa kalau mau saling rela lagi. Saling rela ini jelas dua arah. Sementara kalau mengikut terjemahan pertama, jelas satu arah. Karena merelakan maskawin itu bukan dari arah suami. Masak suami yang sudah sepakat di awal kawin untuk memberikan maskawinnya, lalu setelah itu menawar (misalnya), kemudian tawarannya ini dikatakan rela. Kan tidak klop. 

Rela itu apabila istrinya menerima tawaran suaminya, atau dari awal memang ingin merelakan maskawinnya. Ini baru klop. Tapi kalau suaminya, dari awal sudah rela memberikan seluruh maskwinnya sesuai dengan kesepakatan akad nikahnya, maka dia tidak lagi punya hak rela atau tidak, karena dari awal sudah rela. Dan kalau setelah itu dituntut sepenuhnya oleh istri, tidak ada kata rela buatnya. Karena ia, rela atau tidak, harus memberikannya. Apalagi kalau diberi keringanan oleh istrinya, maka suaminya ini jauh sekali dari kata dan istilah rela. 

Dan begitu pula, kalau si istri merelakannya, baik sebagian atau keseluruhannya, ini namanya hadiah dari istri, bukan bisnis dan mu’amalah yang tawar menawar. Artinya, tidak ada saling rela dari dua arah. Jadi, yang merelakan itu adalah istrinya, sedang suami hanya memiliki mau atau tidak saja, dalam menerima perelaan istrinya itu. Itu saja. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa mau dan tidaknya suami itu dikatakan sebagai rela menerima hadiah atau perelaan. Mau menerima hadiah itu bukanlah rela untuk menerima. Karena rela itu menyembunyikan hak yang direlakan. Sedang menerima hadiah, tidak mengandungi hak dan kewajiban yang ada di tangan orang lain. 

6. Perlu diketahui bahwa pemberian maskawin penuh itu (yakni setelah kawin permanen dan setelah dikumpuli) adalah kesepakatan Syi’ah dan Sunni. Karena itulah maka kalau cerai sebelum dikumpuli hanya wajib memberikan separuhnya. 

Nah, terjemahan pertama itu mengatakan bahwa hukum dalam ayat di atas itu adalah dalam rangka menerangkan hukum tsb. Padahal, jelas tidak terdukung konteknya. Karena dalam ayat tsb mengatakan “berikan maskawinnya”, bukan “berikan secara penuh maskawinnya”. Karena itu, maka lawan dari perintah tsb, yakni kalau pisah sebelum menikmatinya, adalah “tidak memberikan maskawinnya”. Karena lawan memberikan maskawin adalah tidak memberikan maskawin. Nah, karena lawan dari pemberian maskawin itu adalah tidak memberi maskawin, bukan tidak memberikan secara penuh, maka jelas hukum ini adalah untuk kawin sementara dan bukan permanen (karena dalam permanen wajib memberikan separuhnya, bukan tidak memberi keseluruhannya). Karena itulah dalam kawin mut’ah, kalau istrinya itu tidak melayani maka maskawinnya tidak wajib diberikan. Ini yang pertama

Yang ke dua, Allah mengatakan bahwa saling rela itu setelah kewajiban. Artinya yang wanita sudah menjalani kewajiban keistriannya, dan lelakinya SUDAH PULA MEMBERIKAN MASKAWINNYA ATAU UPAHNYA. Jadi, saling rela lagi itu, tidak bisa dikatakan bahwa si lelaki menawar maskawin dan si wanitanya merelakan sebagian atau keseluruhan maskawin. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa tawar menawar itu dalam kawin permanen (daim) setelah dikumpuli. Karena kalau dalam kawin daim, dan setelah dikumpuli, maka yang telah melakukan kewajiban itu baru istrinya, dan suaminya masih belum melaksanakan kewajibannya (memberi maskawin). Jadi, baru satu arah saja yang sudah melakukan kewajiban. Sementara Tuhan mengatakan bahwa tidak masalah kalian saling rela lagi setelah kewajiban itu. Yakni setelah kewajiban pemberian maskawin setelah menikmati. Artinya setelah keduanya melakukan kewajibannya masing-masing. 

Bayangin saja, Allah jelas mengatakan: “Kalau sudah bersenang-senang dengan wanita-wanita itu, maka berikan upahnya SEBAGAI KEWAJIBAN” lalu setelah itu mengatakan “Tidak mengapa kalau SETELAH KEWAJIBAN itu kalian saling rela lagi”, kemudian dikatakan bahwa maksudnya tidak mengapa untuk saling rela terhadap maskwinnya itu untuk diberikan semuanya, sebagiannya atau tidak sama sekali. Ini kan tidak klop sama sekali??!! Karena hukum saling rela lagi ini JELAS SETELAH PEMBERIAN MASKAWIN YANG WAJIB TERSEBUT??!!! 

Mukaddimah ke empat

Untuk penguat tafsir di atas, bisa merujuk ke tafsir-tafsir Sunni seperti: 

Al-Durru al-Mantsuur; Ibnu Katsiir; al-Zamakhsyari; al-Aluusii; al-Baidhaawii; al-Tsa’aalibii; a-Tsa’la- bii; a-Fakhru al-Raazii; al-Thabarii; al-Qrthubii; al-Manaar; dll bahkan hampir semua tafsir Sunni. Artinya, walaupun mereka menafsirkan yang sesuai dengan pandangan mereka seperti yang ter- tera pada terjemahan pertama di atas itu, akan tetapi selalu menyertakan pandangan kelompok yang menghalalkan seperti pada terjemahan ke dua itu. 

Bahkan sebagian tafsir-tafsir itu dengan jelas mengatakan bahwa mut’ah ini, di awal Islam, adalah merupakan kesepakatan para ulama. Yakni ayat di atas itu sabagai penghalalan mut’ah di awal Islam. Akan tetapi setelah itu dihapus oleh Nabi saww. Seperti: 

وقد استدل بعموم هذه اآلية على نكاح المتعة، وال شك أنه كان مشرو ًعا في ابتداء اإلسالم، ثم نسخ بعد ذلك 

“Dan bisa saja ayat di atas, dilihat dari sisi keumumannya, menunjukkan kepada nikah mut’ah. Dan memang, tidak ada keraguan bahwa ia adalah halal di awal Islam, akan tetapi kemudian di- hapus –nasakh- (lihat tafsir Ibnu Katsiir). 

Anehnya, bagaimana ayat bisa dihapus oleh hadits?!! Sebagaimana yang dikatakan oleh tafsir al-Qurthubii: 

وقال الجمهور : المراد نكاح المتعة الذيكان في صدر اإلسالم وقرأ ابن عباس وأبي و ابن جبير : فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى فآتوهن أجورهن ثم نهى عنها النبي صلى اهلل عيه وسلم 

“Jumhur –semua ulama atau setidaknya umumnya ulama- berkata: Maksud dari ayat ini adalah nikah mut’ah yang ada pada awal-awal turunnya Islam. Dan bahkan Ibnu Abbas membaca ayat itu seperti ini: ‘Dan apabila kamu bermut’ah dengan sebagian wanita itu SAMPAI BATAS WAKTU TERTENTU, maka berikanlah upahnya.’ Akan tetapi setelah itu Nabi saww melarangnya.” (lihat tafsir Qurthubii). 

Keanehan yang lain adalah mereka yang menafsirkan ayat di atas itu sesuai dengan penghara- man mut’ah, sementara ayat tsb adalah penghalalan mut’ah. Artinya, semestinya, mereka mene- rangkan maksud ayat itu tergantung penghalalan mut’ahnya, lalu setelah itu baru mengatakan bahwa mut’ah ini atau penjelasan ini, sudah tidak berlaku lagi karena sudah dihapus oleh Nabi saww. Tapi enehnya, mereka menafsir ayat itu sesuai dasar pengharaman mut’ah, hingga pema- hamanya menjadi jauh dari lahiriah ayatnya. Misalnya, ketika menafsirkan istamta’a (bermut’ah), upah dan saling rela lagi setelah kewajiban pemberian upah. 

Dan sudah tentu pelarangan Nabi saww itu, selain tidak bisa mengangkat dan menghapus hukum Qur'an, artinya bahwa hadits itu tidak bisa menasakh Qur'an, hadits-hadits tersebut juga berten- tangan dengan hadits-hadits shahih lainnya yang sangat banyak yang menyatakan bahwa para shahabat melakukan mut’ah itu di jaman Nabi saww, Abu Bakr dan Umar, dan bahwasannya yang melarang mut’ah itu adalah Umar, bukan Nabi saww. Ada lagi yang memaksakan diri untuk meng- hapus ayat mut’ah ini dengan ayat waris. Ini namanya pemaksaan. Karena tidak adanya warisan bagi anak dari kawin mut’ah itu merupakan qarinah dan qaid (kecuali) pada ayat waris itu, bukan sebaliknya. Yakni ketika Tuhan mengatakan bahwa anak dari nikah itu adalah ahli waris ayahnya, dan ketika di kawin mut’ah itu tidak ada pewarisan (karena misalnya kawinnya itu disebabkan keterpaksaan dan hanya semacam menyewa karena kawin dalam waktu sementara saja), maka hukum waris itu telah dikondisikan dengan hukum mut’ah ini. Artinya, waris yang mutlak itu di- batasi dengan kawin mut’ah. Jadi, bunyi hukum warisnya itu adalah: “Anak itu mewarisi ayahnya kecuali kalau anak dari hasil mut’ah.” 

Bukan dibalik. Misalnya, karena kawin mut’ah itu tidak ada pewarisan, dan karena anak dari kawin itu ada pewarisan, maka kawin mut’ah itu menjadi bukan kawin dan menjadi zina. Tidak bisa seperti ini. Karena waris itu adalah hukum yang diakibatkan oleh nikah daim. Jadi dia, tidak bisa menghapus hukum nikah lain yang sejajar dengan hukum nikah yang telah mengakibatkannya –waris- itu (daim). 

Mukaddimah ke lima

Untuk menguatkan tafsir di atas, yakni bahwa ayat tsb menerangkan tentang mut’ah, halalnya dan caranya, bisa juga melihat ke hadits-hadits Sunni yang banyak sekali, seperti: 

Shahih Bukhari, 3: 246; 4: 278; Shahih Muslim, 2: 1022; 2: 1023; 2: 1061; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3: 22; 3: 26; 3: 95; 3: 304; 4: 47-51; Syarhu Ma’aanii Aatsaar, 3: 24-25; al-Maghaazii, 3: 37; Sunan Baihaqii, 7: 200-201; 7: 237; Musnad imam Syaafi’ii, 162-286; Tahdziibu al-Tahdziib, 10: 371; Kanzu al-‘Ummaal, 8: 294; Sunan Abu Daawud, 7: 217; Sunanu al-Kubraa, 7: 205; al-Ishaabah, 4: 333; dll. Dan contoh haditsnya seperti: 

روى البخاري بسنده ، عن جابر بن عبد اهلل ، وسلمة بن األكوع ، قاال : كنَّا في جيش ، فأتانا رسول رسول 
اهلل صلّى اهلل عليه وآله وسلّم ، فقال : إنَّه قد أُِذن لكم أ ْن تستمتعوا 

Dari Jaabir bin ‘Abdullah dan Salamah bin al-Akwa’, keduanya berkata: 

“Kami dalam suatu kamp ketentaraan. Lalu datang kepada kami Rasulullah saww dan bersabda: ‘Kalian telah diijinkan untuk melakukan mut’ah.’” (Bukhari, 4: 278 ) 

روى مسلم بسنده ، عن أبي الزبير قال : سمعت جابر بن عبد اهلل يقول : كنا نستمتع بالقبضة ِمن التمر والدقيق األيَّام ، على عهد رسول اهلل صلّى اهلل 

عليه وآله وسلّم وأبي بكر ، حتَّى نهى عمر عنه ..... 

..... Jabir berkata: 

“Kami melakukan kawin mut’ah dengan –upah- segenggam kurma dan tepung gandum, di jaman Rasulullah saww, Abu Bakr sebelum kemudian Umar melarangnya -di masa kekhalifaannya- .......” (Muslim, 2: 1022 ; Tahdzibu al-Tahdziib, 10: 371; Sunan Baihaqii, 7: 237; Kanzu al-‘Ummaar, 8: 294: ) 

Mukaddimah ke enam

Untuk menguatkan tafsir di atas, bisa juga dilihat dari hadits-hadits Sunni yang mengatakan bahwa mut’ah itu halal sejak jaman Nabi saww dan dilakukan di masa beliau, begitu pula di jaman kekhalifaan Abu Bakr sebelum kemudian dilarang oleh Umar di jaman kekhalifaanya. Lihat hadits sbb: 

Shahih Muslim, 2: 1022-1023; Sunanu al-Baihaqii, 7: 200-201; 7: 206; Musnad imam Syaafi’ii, 132; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1: 52; 3: 325-326; Syarhu al-Ma’aanii, 2: 142; 2: 146; 3: 24; 3: 25; Kanzu al-‘Ummaal, 8: 293-294; Thabari, 293-294; Sunan Baihaqii, 5: 21; 7: 205-206; 7: 273; Sunan Abu Daawud, 8: 247; Mafaatiihu al-Ghaib, 10: 51; al-Ishaabatu, 1: 333; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3:304; Tahdziibu al-Tahdziib, 10: 371; dll. 

Contoh haditsnya seperti: 

روى مسلم بسنده ، عن أبي نضرة قال : كن ُت عند جابر بن عبد اهلل ، فأتاه آ ٍت ، فقال : إ َّن ابن عباس ، وابن 
الزبير اختلفا في ال ُمتعتين ـ يعني ُمتعتي ال َح ِّج والنساء ـ فقال جابر : فعلناهما مع رسول اهلل صلّى اهلل عليه وآله 
وسلّم ، ث ّم نهانا عنهما عمر . فلم نَعد لهما 

Abu Nadhrati berkata: Aku bersama Jabir, lalu datang seseorang mendekatinya dan berkata: “Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair berbeda pandangan tentang dua mut’ah –haji tamattu’ dan kawin mut’ah.” Jabir berkata: “Kami melakukan keduanya di jaman Rasulullah saww sebelum kemudian dilarang oleh Umar –di jaman kekhalifaannya- dan kamipun tidak melakukannya.” (Shahih Muslim, 2: 1023) 

َح ِّج كانتا ُمتعتان على عهد رسول اهلل صلّى اهلل عليه وآله وسلّم، وأنا أنهى عنهما ، وأُعاقب عليهما ، أحديهما ُمتعة النساء ، وال أقدر على ر ُجل تزَّوج امرأة إلى أجل ، إالَّ غيَّبته بالحجارة ، واألُخرى ُمتعة ال 

Umar berkata: “Ada dua mut’ah di jaman Nabi saww –haji tamattu’ dan kawin mut’ah- akan tetapi aku sekarang melarangnya dan akan menghukum bagi pelakunya. Salah satunya adalah kawin mut’ah. Sungguh aku tidak mampu melihat seorang lelaki yang kawin mut’ah dengan seorang wa- nita kecuali kurajam dia dengan batu, dan yang lainnya adalah haji tamattu’.” (Kanzu al-‘Ummaal, 8: 293 ; Sunan Baihaqii, 5: 21 dan 7: 206) 

Mukaddimah ke tujuh

Hadits-hadits Syi’ah tentang mut’ah ada tiga golongan: Menerangkan halalnya; Merangsang untuk melakukannya; Melarang melakukannya: 

(a). Hadits-hadits yang hanya menerangkan halalnya mut’ah. Seperti di kitab Ushuulu al-Kaafii, hadits ke: 9942-9948. Misalnya yang berbunyi: 

Abi Bashiir berkata: Aku bertanya tentang mut’ah pada imam Abu Ja’far as. Beliau menjawab: “Telah diturunkan hukumnya di dalam al-Qur'an yang berbunyi: ‘Maka kalau kalian telah bermut’ah dengan sebagian wanita itu, berikanlah upahnya sebagai kewajiban, dan tidak masalah bagi kalian untuk saling rela setelah kewajiban tsb.’ “ 

(b). Hadits2 yang merangsang untuk melakukan mut’ah. Seperti yang ada di kitab Wasaailu al- Syi’ati, hadits ke: 26388-26403. Misalnya yang berbunyi: 

وبإسناده عن صالح بن عقبة، عن أبيه، عن أبي جعفر عليه السالم قال: قلت: للمتمتع ثواب؟ قال: ان كان يريد بذلك وجه اهلل تعالى وخالفا على من أنكرها لم يكلمها كلمة إال كتب اهلل له بها حسنة، ولم يمد يده إليها إال كتب اهلل له حسنة، فإذا دنا منها غفر اهلل له بذلك ذنبا، فاذا اغتسل غفر اهلل له بقدر ما مر من 

الماء على شعره ...... 

Ayah Shaalih bertanya kepada imam Abu Ja’far as: “Apakah kawin mut’ah itu memiliki pahala?” Beliau menjawab: 

“Kalau pelakunya, dalam melakukan mut’ahnya itu, berniat karena Allah dan dalam rangka menentang yang melarangnya, maka tidaklah ia berbicara dengan istri mut’ahnya itu kecuali mendapat kebaikan (pahala); Tidaklah ia mengulurkan tangannya kepada istrinya itu kecuali ia mendapat kebaikan (pahala); Kalau ia mendekat padanya, Allah akan mengampuninya; Kalau dia mandi setelah itu maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak rambut yang terkena air -mandinya. .....” (hadits ke: 26390). 

Hadits-hadits yang Melarang mut’ah
Yang melarang ini ada dua golongan: 

Golongan pertama, adalah yang memang mengharamkan mut’ah dalam arti mutlak. Maka di sini, jelas bisa dikatakan sebagai hadits yang diucapkan dalam rangka taqiyyah. Seperti hadits ke: 26387 dari kita Wasaailu al-Syii’ati: 

محمد بن الحسن بإسناده عن محمد بن أحمد بن يحيى، عن أبي جعفر، عن أبي الجوزاء، عن الحسين بن علوان، عن عمرو بن خالد، عن زيد بن علي، عن آبائه عن علي عليهم السالم قال: حرم رسول اهلل صلى 
اهلل عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر االهلية ونكاح المتعة. 

Imam Ali as berkata: “Rasulullah saww telah mengharamkan daging keledai yang dipelihara dan nikah mut’ah diwaktu perang Khaibar.” 

Karena itu di penjelasan hadits di atas ini, dikatakan bahwa pengarang kitab dan lain-lainnya mengatakan bahwa hadits tsb adalah hadits taqiyyah. Karena mut’ah adalah ijma’ semua ula- ma Syi’ah dan hadits tentang halalnya terlalu banyak dan melebihi mutawatir. Atau bisa saja dimaknai bahwa mut’ah tidak dianjurkan (makruh) kalau membawa mafsadah (ketidak baikan). 

Golongan ke dua, adalah hadits yang melarang mut’ah kalau memang sudah tidak diperlukan lagi. Yakni bagi yang sudah memiliki istri dan berada dalam jangkauannya. Hadits-hadits di go- longan ini, walaupun tidak bisa diartikan sebagai haram, akan tetapi dapat ditangkap bahwa mut’ah itu kurang disukai oleh imam as dan Islam kalau dilakukan oleh yang tidak memerlu- kannya (baca hanya ingin mengumbar syahwat). 

Dalam kitab-kitab hadits, bahkan diterakan judul tentang pelarangan mut’ah bagi yang tidak perlu ini. Misalnya, di kitab Ushuulu al-Kaafii terdapat judul: 

باب أنه يجب ان يكف عنها من كان مستغنيا 

“Bab: Keharusan Untuk Tidak Melakukannya –mut’ah- Bagi Yang Tidak Memerlukannya.” (lihat Sub Judul untuk hadits ke: 9957-9960) 

Dan di kitab Wasaailu al-Syii’ati terdapat judul: 

باب كراهة المتعة مع الغنى عنها واستلزامها الشنعة أو فساد النساء 

“Bab: Kemakruhan Mut’ah Ketika Tidak Memerlukannya dan Mengakibatkan Keburukan atau Rusaknya Wanita.” (lihat Sub Judul untuk hadits ke: 26420-26425). 

Contoh haditsnya: 

علي بن يقطين قال: سألت أبا الحسن عليه السالم عن المتعة؟ فقال: ما أنت وذاك قد أغناك اهلل عنها 

Ali bin Yaqthiin berkata: Aku bertanya tentang mut’ah kepada imam Abu al-Hasan as. Beliau menjawab: “Ada apa kamu menanyakannya sementara kamu sudah tidak lagi memerlukan- nya (karena sudah kawin dan istrinya ada dalam jangkauannya)??!” (Ushuulu al-Kaafii, hadits ke: 9957; Wasaailu al-Syii’ati, hadits ke: 26420) 

كتب أبو الحسن عليه السالم إلى بعض مواليه ال تلحوا على المتعة انما عليكم إقامة السنة فال تشغلوا بها 
عن فرشكم وحرائركم فيكفرن ويتبرين ويدعين على اآلمر بذلك ويلعنونا. 

Imam Abu al-Hasan as menulis surat kepada sebagian pengikutnya: 

“Jangan membuat cela mut’ah (karena dihamburkan), hendaknya kalian melakukannya demi –menjaga- sunnah saja (sekali saja). Karena itu janganlah kalian menyibukkan diri dengan mut’ah itu di atas permadani kalian dan memuas-muaskan diri, hingga wanita-wanita itu men- jadi ingkar, berlepas diri dan mendoakan buruk pada yang memerintahkannya –makshumin as- serta melaknati kami.” (Wasaailu al-Syii’ati, hadits ke: 26423) 

Mukaddimah ke delapan (pelengkap)

Dalam fatwa-fatwa marja’ Syi’ah, telah diterangkan pula bahwa perempuan bisa memberi syarat kepada calon suami mut’ahnya. Seperti tidak pakai tidur, tidak pakai pegangan, dan semacamnya. 

Kesimpulannya


Dengan melihat semua ayat dan hadits-hadits di atas, baik Syi’ah atau Sunni, maka dapat disimpulkan sbb: 

1. Mut’ah ini halal dan berlaku sejak jaman Nabi saww sampai hari kiamat, walau dilarang oleh Umar. Karena Umar bukanlah penerima atau penerus syariat yang makshum. 

2. Kehalalan mut’ah ini melalui ayat, sedang penghapusannya dari riwayat Nabi saww yang ada di hadits-hadits Sunni atau hadits imam Ali as yang ada di Syi’ah itu. Karenanya tidak dapat menghapus hukum yang ada di Qur'an. Justru sebaliknya, bahwa hadits yang bertentangan dengan Qur'an sudah jelas ia adalah hadits yang palsu, karena Qur'an adalah ukuran untuk mengukur hadits shahih atau palsu. 

3. Kalaulah beberapa hadits-hadits pelarangan itu masih mau dipaksakan juga, maka ia tertolak oleh hadits-hadits lain yang shahih, baik di Sunni atau Syi’ah, yang mengatakan bahwa mut’ah itu dilakukan sejak dari jaman Nabi saww, Abu Bakar dan Umar dan setelahnya. Begitu juga bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih dan sangat banyak di Sunni, bahwa yang me- larang mut’ah itu sebenarnya adalah Umar di masa pemerintahnnya. 

4. Pengahapusan ayat mut’ah dengan ayat waris, adalah pemaksaan yang tidak masuk akal sebagaimana sudah diterangkan di atas. 

5. Mut’ah adalah hukum yang terpaksa diadakan. Artinya demi menutupi ketidakmampuan penanganan kawin daim/permanen. Karena kawin permanen hanya bisa menangani beberapa masalah saja tentang hubungan lelaki dan wanita, tapi tidak semuanya. Karena orang yang diperjalanan, di peperangan, atau belum mampu menafkahi istri sementara ia sudah tidak bisa menanggulangi nafsunya karena sudah berumur agak tua ...dst dari sebab-sebab keter- paksaan itu, tidak bisa diselesaikan dengan hukum kawin daim/permanen. 

6. Tujuan atau hikmah mut’ah adalah di tempat-tempat yang tidak bisa diisi dengan kawin daim itu, seperti: 

(a). Suami yang sedang jauh dari istrinya. 

(b). Lelaki yang sudah cukup tua tapi belum mampu memberi nafkah kepada istrinya kalau ia kawin. 

(c). Perawan (bc: bukan janda, dan janda adalah yang sudah pernah kawin dengan syah dan sudah pernah dikumpuli setelah kawinnya itu) yang sudah mendapatkan calon suami daim/permanen dan sudah mendapat ijin dari walinya, namun ingin saling kenal lebih jauh supaya tidak salah pilih, maka keduanya melakukan kawin mut’ah yang juga dengan ijin walinya dengan jelas dan dengan syarat-syarat tidak melakukan apapun kecuali berbincang –misalnya- untuk saling mengenal lebih jauh.

(d). Memberikan jalan keluar pada janda yang sudah tidak dipilih lagi oleh para lelaki untuk dijadikan istri permanen untuk memenuhi kebutuhan nafsunya walau tidak untuk seumur hidupnya. Atau janda yang sudah terlalu lama tidak berhubngan dengan lelaki karena sudah ditinggal mati atau dicerai suaminya. Hingga dengan ini ia tidak terjerumus ke dalam zina (baik besar atau kecil). Tentu saja dengan lelaki yang dalam keadaan dharurat di atas itu.

7. Dengan mengerti tentang hikmah/tujuan kawin mut’ah ini, ditambah dengan tidak umumnya ulama dan orang-orang shalih melakukannya kalau tidak terpaksa, ditambah dengan larang- an-larangan dalam hadits bagi yang tidak memerlukannya karena sudah punya istri yang da- lam jangkauannya, maka jelas bahwa mut’ah ini bukan hukum yang ditujukan untuk penyalu- ran nafsu birahi bagi pemburu nafsu. 

Karena itu, maka sekalipun tidak mengharamkan pekerjaan mereka, akan tetapi sangat tidak disukai para imam Makshum as. Karena itulah maka imam Makshum mengatakan, seperti: Janganlah kalian menghamburkan mut’ah ini hingga membuat para wanita (begitu pula masy- arakat seperti di hadits-hadits lainnya) anti pati pada imam Makshum as dan mengumpati ajarannya. Lihat hadits ke: 26243, dari kitab Wasaailu al-Syii’ati di atas itu. 

8. Dengan poin no 7 ini dan ditambah dengan poin 1 sebelumnya, dapat dipahami, bahwa ha- dits-hadits Syi’ah yang merangsang kawin mut’ah ini (golongan ke dua hadits Syi’ah), adalah untuk menjaga supaya hukum Tuhan ini tidak terhapus oleh penghapusan Umar yang diiku- ti kebanyakan kaum muslimin, terutama pada jaman-jaman imam Makshum as. Jadi, kalau imam menganjurkan, itu hanya agar supaya hukum ini tidak hilang dari agama Islam. Karena itu maka terlihat jelas diperijinan para imam Makshum as, adanya anjuran sekali saja (dalam melakukannya) dan hanya demi menjaga sunnah ini, yakni sunnatullah atau agama Allah ini (lihat hadits ke: 26243 dari kitab Wasaailu al-Syii’ati di atas itu). 

Dan, sudah tentu, pahala yang bersar itu bukan hanya timbul dari nikah mut’ah ini, akan tetapi karena pelakunya memiliki dimensi berjuang mempertahankan hukum yang ingin dihapus Umar dan pengikutnya ini. Jadi, pelaku ini, yakni yang memerlukan ini, yakni karena jauh dari istrinya ini atau belum mampu kawin ini, dirangsang untuk melakukan mut’ah untuk mengata- si dirinya dan menjadi pejuang mempertahankan hukum Tuhan. Jadi, dia memiliki dua pahala sekaligus. 

9. Dengan mengerti poin 8 ini dan ditambah dengan poin2: 1, 2 dan 3, maka kedua perebutan yang dilakukan dua kelompok terhadap kawin mut’ah ini, dimana yang satu memburu untuk mengharamkannya, dan yang lainnya memburu untuk mengumbar nafsunya, dapat divonis dengan poin 5 dan 6. Artinya, hukum kehalalan kawin mut’ah ini ditujukan secara utamanya, bagi yang terpaksa melakukannya sebagaimana sudah dijabarkan di poin 6. 

10. Pengharaman terhadap mut’ah adalah menentang hukum Qur'an yang telah disepakati ada- nya dan menentang hadits-hadits shahih yang mutawatir secara makna -setidaknya. Sementa- ra menghamburkan nafsu dengan mut’ah adalah menjatuhkan pamor agama dan para imam Makshum as serta tidak disukai imam Makshum as. 

Pelengkap

Untuk melengkapi tulisan di atas, perlu kiranya kita merenungi hadits yang berisi ucapan imam Ali as (seperti di tafsir al-Kabir, karya Fakhru al-Raazii) dan imam-imam Makshum as lainnya (seperti yang bertebaran di hadits-hadits Syi’ah), serta shahabat-shahabat lainnya seperti Ibnu Abbaas (di tafsir al-Durru al-Mantsuur), yang berbunyi: 

لوال أ َّن عمر نهى الناس عن ال ُمتعة ؛ ما زنى إالَّ َشق ٌّي 

“Kalau Umar tidak melarang umat dari kawin mut’ah, maka tidak akan ada yang berzina kecuali yang keterlaluan.” 

ولو ال نهيه عنها ما احتاج إلى الزنا إالَّ شق ٌّي 

“Dan kalaulah bukan karena larangannya (larangan Umar) terhadapnya (kawin mut’ah), maka sudah tentu tidak perlu lagi kepada zina kecuali yang keterlaluan.” 

Para pemburu nafsu, yakni golongan ke dua dari dua golongan yang berebut di atas itu, selalu menggunakan hadits ini untuk menyalurkan nafsunya, hingga tidak memperdulikan lagi terhadap tercelanya agama dan para imam as. Mereka berdalil bahwa mut’ah ini mesti dikembangkan demi mengurangi zina. 

Padahal, kalau diperhatikan, orang yang melakukan zina itu dikarenakan tidak dapat membendung syahwatnya. Artinya, karena syahwatnya tidak mendapat penyaluran yang halal, maka ia nekad melakukan penyaluran yang tidak halal, yakni zina. 

Jadi, pandangan yang hanya sepihak itu, yaitu yang mengatakan bahwa kita mesti mempromosi- kan mut’ah dan tidak usah malu-malu karena Tuhan saja tidak malu, karena demi memberantas zina, adalah apologi yang kurang waras dan sangat tidak aklis serta tidak mengenal Qur'an, hadits dan para imam makshum as. Artinya, pengata ini, mungkin disebabkan gelora nafsunya yang sedikit liar, atau karena kurang mengerti hikmah dan kebijakan Islam, maka ia telah membuat statmen dan pernyataan seperti itu. Dan, penyata seperti itu, tidak sedikit. 

Padahal mereka, penyata dan pelaku ini, sudah memiliki istri-istri yang selalu siap melayaninya. Dan terkadang, justru mut’ah ini telah membuat keluarganya berantakan dan terkadang berak- hir pada penceraian. Keluarga jadi korban dan agama serta madzhabpun jadi cemohan. Apalagi cewek-cewek murahan yang melakukan ini tanpa ijin walinya dengan jelas dimana bukan hanya dirinya yg jadi korban nafsunya sendiri, tapi bahkan agama dan para imam makshum as yang diikutinya juga terkorban (karena ajaran Syi’ah jadi cemohan masyarakat seperti yang ditakuti para imam makshum as). 

Padahal, kalau kita perhatikan semua penjelasan di atas itu dan poin-poin kesimpulannya, serta ditambah lagi dengan adanya penyaluran syahwat bagi yang sudah memiliki istri hingga tidak akan memilih zina karena syahwatnya terkontrol dan tersalurkan, maka jelas maksud imam Ali as dalam hadits di atas, bukan orang-orang yang punya istri. 

Jadi, maksud hadits imam Ali as tsb adalah mempromosikan kawin mut’ah bagi yang tidak men- dapatkan penyaluran syahwatnya. Tentu saja, dengan syarat-syaratnya, bukan sembarang orang. Artinya hal tsb bukan hanya tidak menyangkut yang punya keluarga, tapi juga tidak menyangkut wanita-wanita yang bukan janda. Karena separuh dari diri mereka milik walinya. 

Karena itu, tanpa ijin walinya dengan jelas, baik siapa calon suaminya, atau kapan tanggal kawin dan tanggal berakhirnya serta maskawinnya, maka mut’ah mereka ini tidak syah dan dihukumi zina. 

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, baik di dunia ini (dengan adanya peruba- han kesadaran dan aplikasi) atau di akhirat kelak, amin. Wassalam. 


Arina Rien: Tag saya ustadh.. 

Aan Ruslan Anwar: Assalamu’alaikum Wr Wb yaa ustadz, tag ana ya.. Syukran. 

Shellya Agatha: Maha Suci A££AH, A££AH Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana,, syukron ustadz ... 

Hidayatul Ilahi: Terjawab sudah semuanya....ALHAMDULILLAH.....ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD,WA AALI MUHAMMAD,WA ‘AJJIL FARAJAHUM. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya: Kuiringi antum semua dengan munajat hina ini: 

Ya Alllah .. tiada aku, tiada jagat, tiada cahaya dan tiada gelap, tiada ilmu dan tiada kejelasan, tiada lipatan-lipatan duka dan pekikan derita, tiada kebanggaan, tiada kemuliaan, tiada dan tiada, tiada dan tiada... kecuali keharusan menatapMu, memujaMu, dan membakar diri ini dan diri ini, sekali, dua kali dan berkali-kali hingga tak terhingga sampai diri dan semesta ini jadi arang dan arangnya arang, hingga tak pernah lagi tampak kemilau kecuali AsmaMu, WajahMu, JatiMu. 

Ya ...Allah .. kalau aku tak sudi tinggalkanku dan jagatku dan bahkan mayaku, maka sudilah ulur- kan tangan kasih nan lembutMu tuk selamatkan aku, hingga aku selamat dari diriku sendiri, hingga aku lari dari diriku sendiri, hingga aku terbakar dalam AgungMu dan menjadi debu tak berharga yang menempel di kaki para musafir yang bersemangat menujuMu. 

Ita Soetrisno: Terima kasih.. 

Hari Dermanto: Thanks atas penjelasannya ustadz sungguh sangat memberikan manfaat, semo- ga Allah mengkaruniakan kepada anda umur yang panjang dan ilmu yang bermanfaat, sehingga kami bisa mengambil manfaat. Salam izin share. 

Sinar Agama: Ita, terimakasih sama-sama, jaga diri baik-baik nah ... begitu pula teman-teman yang lain, jangan gampang percaya pada Islam atas nama atau Ahlulbait atas nama. Hargailah diri Anda sesuai dengan perintahNya, begitu pula teman-teman yang lain. 

Sinar Agama: Kidung: Kalau antum sudi, maka ikutlah menyebarkan tulisan ini sebanyak-bany- aknya, supaya tercapai harapan antum. Oh iya, terimakasih sebelumnya kalau berkenan ikut me- nyebarkannya. 

Sinar Agama: Syahzanan: Bersaksilah di hadapan hdh Fatimah as kelak, bahwa aku yang hina ini telah berjuang ingin menyelamatkan cucu-cucu dan kaum wanitanya dari penyalahgunaan nafsu- nafsu kurang terhormat, terimakasih dan tolong doakan. 

Sinar Agama: Hari, terimakasih perhatian dan doanya, sebarkanlah kalau memang sepakat bahwa ia adalah tulisan yang baik. Supaya kita sama-sama bisa mendapatkan pahalanya i-Allah, afwan dan terimakasih. 

Khadijah Gany: Salam.. mohon saya juga dtag-kan ustad sangat bermanfaat, syukran.. 

Sinar Agama: Khadijah, apa kamu tidak bisa mengcopynya? Kalau bisa tolong diusahakan dulu ya... dan kalau tidak bisa hubungi lagi aku. Namamu sudah kumasukkan ke group supaya mudah mengakses catatan-catatanku. 

June 28, 2011 at 2:09am · Like