Kamis, 09 Mei 2019

Hugo Chaves dan Akhiratnya Dalam Pandangan Islam


Seri tanya jawab Ibnu Ahmad Khan dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:40 am

IbnuAhmad Khan mengirim ke Sinar Agama: Salam. Afwan mau tanya ustadz. Apakah orang semisal mendiang Hugo Chaves bisa masuk surga? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyannya: 

Saya tidak tahu secara pasti. Tapi kalau menurut perkiraan saya, dia akan masuk neraka. Hal itu karena ia sudah sangat akrab dengan Iran yang disanjungnya. Artinya dia sudah mendengar Islam yang benar itu hingga bisa menanyakannya dan mempelajarinya. Karena itu, sulit dalam akal untuk mengatakan bahwa ia memiliki alasan yang benar untuk tidak mengerti agama Islam dan memilihnya. Karena sangat mudah untuk mendapatkan keterangan tentang Islam itu baginya terlebih sudah ada contoh negaranya yang ia kagumi walau, secara akhlak, politik dan ekonomi. 

Bisa saja ia masuk surga, kalau tidak belajarnya itu memiliki alasan yang benar secara akal normal dan gamblang. Misalnya ia teramat sangat yakin terhadap agamanya dan tidak pernah mengalami problem kejanggalan agama yang dianutnya hingga merasa tidak perlu mempelajari agama lain. 

By The Way, kita serahkan saja urusan akhirat dia itu ke Allah swt. Untuk urusan dunia, karena ia anti penjajahan, baik dari sisi negara, ekonomi dan politik dan seterusnya, terutama kepada teman Indonesia, yaitu Amerika yang terkenal sekali kekejamannya di dunia ini, dan ia mengajarkan kemandirian segala bidang dan berani menentang tirani dunia, seperti Amerika dan Israel, dan karena ia menyuarakan keadilan manusia dan hak-haknya, maka kita sangat layak untuk mendukungnya dalam hal-hal yang sama dengan Islam itu dan, karenanya boleh merasa kehilangan dari sisi-sisi di atas itu. Tapi jangan sampai membacakan fatihah untuknya, he he he...., yakni sedih secara iman seperti ditinggalkan oleh teman muslim. Semoga saja, penggantinya, seperti dia dalam arti di atas itu dan tidak goyang dengan berbagai intimidasi Amerika dan semua negara yang tidak pernah mengindahkan hak-hak asasi manusia. Amin. 

Ibnu Ahmad Khan: Syukran jazilan ustadz. Wassalam. 

Anandito Birowo: Jadi orang yang sangat yakin terhadap agamanya dan tidak pernah mengalami problem kejanggalan agama yang dianutnya hingga merasa tidak perlu mempelajari agama lain (Islam), bisa masuk sorga ya? Subhanallah.. 

Sinar Agama: Anandito: Benar seperti itu. Akan tetapi kalau hati-hati dan akalnya, benar-benar tidak merasa ada kesalahan atau yang perlu dipertanyakan dari agamanya dan, sudah tentu jangkauan untuk mengkaji agama Islam yang hakiki (bukan Islam gaya wahabi yang menghalalkan muslim sendiri dimana ini bisa menjadi unsur jauhnya orang-orang yang baik dari agama kafir dari agama islam, atau bukan dari keterangan muslim yang ngawur hingga benar-benar tidak membuat Islam itu menarik............dan seterusnya, sekalipun ukuran hakikinya ini cukup profesional alias argumentatis dalam akidah saja, tidak mudah baginya, baik secara face to face atau telpon, sms, fb, buku, .....dan seterusnya. 

Minimal, sekalipun kita tidak bisa memastikan karena memang hitungan Tuhan itu sangat rinci sekalipun pasti Adil hingga tidak akan menghukum orang yang punya alasan yang benar, setidaknya kita tidak bisa langsung memasukkan orang kafir itu ke neraka. 

Doni Handoyo: Berarti, kalau agama ini bisa dikonversi ke dalam satuan Nilai/Poin, dimana Islam memiliki Poin yang tertinggi, bisa tidak kita kategorikan pada orang-orang di luar Islam menjadi : 

1. Yang mengetahui poin Islam lebih tinggi dari poin agama yang dianutnya, dan kemudian beralih ke Islam 

2. yang mengetahui poin Islam lebih tinggi, tapi ia tetap pada agama yang dianutnya (banyak berceceran di negeri kita) 

3. Menganggap poin Islam lebih rendah, sehingga ia tetap pada agama yang dianutnya 

4. Menganggap poin Islam lebih rendah, tapi ia beralih ke agama Islam (biasanya dari proses perkawinan karena ada SESUATU). Besar kemungkinan, kalau menurut saya Cavez itu masih menganggap bahwa poin agama yang dianutnya itu masih lebih tinggi dari Islam, sehingga ia tetap pada agama yang dianutnya. Atau bisa juga ia masih dalam proses mempelajari tapi belum tuntas. Dan kita tidak bisa menghukumi orang yang sedang berproses, karena pindah keyakinan itu masih lebih sulit ketimbang memindahkan sebuah gunung. Kalaupun Cavez itu kita kategorikan pada yang no.3 (menganggap poin Islam masih lebih rendah dari agama yang dianutnya), ini pun bagi saya tidaklah aneh,...karena kita semuanya mengetahui bagimana citra Islam di mata dunia yang identik dengan Terorisme akibat ulah wahabiyun salafi.... 

Sinar Agama: Doni: Pembagian antum sudah bisa dikatakan benar. Tapi penerapannya, jelas tidak bisa dibenarkan. Karena antum tidak punya dalil dan bukti terhadap apa yang terjadi pada diri Caves itu. Ahmadi Nejat, semacam memastikan seperti antum. Karena itulah, para ulama tidak bisa diam lagi dan mengkritikinya. 

D-Gooh Teguh: 1> Kenapa tidak boleh membacakan fatihah dan doa-doa untuknya? 2> Kita kan tidak tahu level spirituallitasnya? Ada doktrin taqiyyah to... jadi ya memang tidak perlu dibahas nasib orang per orang kecuali yang sudah-sudah jelas. Pertanyaannya kenapa tidak boleh bacakan fatihah dan sejenisnya? 

Sinar Agama: D-Gooh: Kalau dia dapat masuk surga, itu bukan karena kebenarannya, tapi karena ampunanNya. Artinya, jelas agama salah, tapi kalau dia punya udzur dalam kesalahannya itu, maka bisa diampuni dan dimasukkan surga. Jadi, ketinggian ruhani seseorang yang dimaafkan, bukan ketinggian seseorang yang di jalan dan agama yang benar. 

Karena itu, karena dia mengingkari Islam yang mana hal ini jelas, setidaknya karena ia tidak beragama Islam, maka berkah-berkah yang ada pada Islam, seperti pahala Qur'an, shalat sunnah, puasa sunnah, ....dan seterusnya....tidak bisa diberikan kepadanya. Jadi, secara fikihnya, tidak bisa menyolati orang kafir yang sudah mati, tidak boleh menguburkan orang kafir di pekuburan muslim....dan seterusnya...dimana jelas tidak bisa membacakan fatihah yang berdiri tegak di atas tauhid, kepada orang yang menolak tauhid dan memilih trinitas walau, sekali lagi punya udzur yang diterima Tuhan sekalipun.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Syahid dan Hutang-piutang dengan Khaliq dan Makhluq


Seri tanya jawab Andri Musmayadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:36 am


Andri Kusmayadi mengirim ke Sinar Agama: Salam, afwan ada beberapa pertanyaan yang ingin ana ajukan nih ustadz... 

1. Apakah mati syahid bisa menghapuskan utang, qadha, khumus? 

2. Kalau kita berbohong dengan mengatakan bahwa kita tidak ada di rumah kepada seseorang, padahal sebenarnya kita ada, hanya kebetulan kita memang tidak ingin ketemu orang itu, apakah itu dosa? 

3. Tanpa bermaksud mempertanyakan yang bukan urusan kita, saya hanya ingin tahu aja penjelasannya. Di riwayat-riwayat yang saya baca, bahwa nanti itu Imam Mahdi as akan memerintah dunia dari Kufah/Najaf, jadi ibu kota pemerintahan beliau itu nantinya di Irak. Pertanyaan saya, kenapa tidak di Iran? Padahal, kan Iran lah yang mempersiapkan kedatangannya selama ini? 

4. Kalau arisan itu harus dibayar khumus tidak? Jangka waktunya 10 bulan. 

Syukron. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyannya: 

1- Jelas tidak bisa. Karena itu, kalau punya warisan, maka sebelum dibagi ke ahliwarisnya, semua hutangnya itu wajib dibayar dulu. Hutang uangnya dibayar dulu, hutang khumusnya dibayar dulu, hutang puasanya dan shalatnya wajib dibayar anak lelakinya yang terbesar ketika ia syahid. 

2- Iya, hal itu dosa. Tapi kalau terpaksa, misalnya orangnya tidak bagus dan mengganggu akidah dan ketaatan, maka pakailah tauriah. Yakni menyalahpahamkan dia dalam memahami perkataan kita. Misalnya, kita berniat memberitahukannya yang kemarin di waktu antum tidak ada di rumah, lalu setelah niat itu, baru mengatakan “tidak ada di rumah”. Artinya, yang berniat itu adalah yang mengabarkan kepadanya, bukan antumnya. Karena kalau antum yang jawab, maka berarti ia tahu kalau antum di rumah. Kecuali kalau bertanya pakai telepon HP. 

3- Anggap hadits itu seperti itu, maka hal itu pasti ada alasannya tersendiri. Misalnya karena kota itu merupakan kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan imam pertama as dan sekaligus merupakan tempat makam beliau as (imam Ali as). 

Iran itu, adalah Islam yang hakiki walau tidak sampai ke tingkat makshum. Karena itu, bagi mereka penduduk Iran, sudah tidak ada lagi masalah-masalah keduniaan yang berarti. 

Mereka hanya menyintai Islam dan hidup demi Islam. Karena itu, maka dimanapun pusat pemerintahan imam Mahdi as, adalah cinta dan cinta serta idaman orang-orang Iran. 

Dan sudah semestinya seperti itu iman seseorang pada Tuhan dan ajaranNya. Yakni tidak menyintai hal-hal selainNya dan selain agamaNya. 

4- Kalau arisan itu keluar di pertengahan tahunan khumusnya dan dimulai juga dalam setahun khumusnya itu (karena dalam pertanyaan antum itu dikatakan 10 bulan), maka tidak dikhumusi kecuali kalau ada sisa di akhir tahun khumusnya. 

Tambahan: Kalau pengganti di dunianya tidak ada, misalnya tidak punya warisan, tidak punya anak mengqadhaa’kan ...dan seterusnya...maka In syaa Allah akan mencarikan jalan keluarnya di akhirat kelak. Karena itu, seseorang tidak boleh berfikir apapun ketika agama memerintahkannya berjihad. 

AndriKusmayadi: Syukron Ustadz atas penjelasannya...



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 06 Mei 2019

Muhaajiriin dan Anshaar Dijamin Surga ?!


Seri tanya jawab inbox Mazhab Ahlul’Kisa Ahlul Bait dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, April 6, 2013 at 3:14 am


Mazhab Ahlul’Kisa Ahlul Bait: Assalamu’alaikum..,surat-taubah ayat 100 bilang bahwa muhajirin dan anshor dijamin masuk surga.,pertanyaan saya apakah itu untuk mereka yang mengikuti rasulullah saww dengan baik atau itu mutlak untuk semua muhajirin dan anshor ? 

Mohon penjelasan serta rujukannya.. syukron sebelumnya. 

Sinar Agama: Salam, dimana? Tidak ada ayat seperti itu. Ayat itu benar-benar telah salah diterjemahkan. 

Ini ayatnya: 

وَالسَّابِقُونَ الَْوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالَْنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ 
تَجْرِي تَحْتَهَا الَْنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُالْعَظِيم

“Orang-orang yang berlomba-lomba (dalam taat) dan mendahului yang lain, dari SEBAGIAN Muhajirin dan Anshaar dan yang mengikuti mereka dengan baik, maka mereka diridhai Allah dan mereka juga ridha kepadaNya dan dijanjikan kepada mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya dan yang demikian itulah kemenangan yang agung.” 

Allah dalam QS: 56: 10: juga menyinggung orang-orang yang berlomba-lomba dalam taat ini: 

“Dan orang-orang yang dahulu mendahului (berlomba-lomba), maka merekalah orang-orang yang didekatkan (padaNya), berada di dalam surga yang penuh kenikmatan.” 

Kata “min” yang maknanya “dari”, pada ayat pertama itu “Mina al-muhaajiriin waal-anshaar”, adalah “min tab’idh” yakni “dari sebagian”. Artinya, ketika dikatakan “dari muhaajiriin dan anshaar”, maksudnya “dari sebagian muhaajiriin dan anshaar”. Jadi, bukan semua. 

Nah, muhaajiriin dan anshaar yang berlomba-lomba dalam taat sampai wafatnya tidak berubah, maka merekalah yang akan diridhaiNya itu.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Luasnya Fikih


Seri tanya jawab inbox Anwar Mashadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes)

AnwarMashadi: (5-4-2013) Assalamu’alikum.. wr..wb.. 

Saya sebelumnya mengira (mungkin juga umumnya awam yang lain) bahwa ketika kita tenggelam dalam fikih (baik dalam belajar dan beramal; yakni belajar agar kemudian bisa beramal secara sah/syar’i) seolah-olah kita menjadi anti-sosial. Pikiran (mindset) saya pun tersekat hanya pada soal yang benar yang begini, yang tidak begini keliru/salah. Pikiran seperti ini, orang menyebutnya dengan pikiran hitam-putih. Maka, cara berpikir seperti ini pun terbawa dalam konteks sosial, sehingga cenderung akan “mengelirukan yang tidak seperti yang saya lakukan”. Bahkan ia menjadikan dirinya (yakni, sayanya) sebagai standar; sehingga menjadi “mengelirukan yang tidak sesuai fikih”. Pandangan seperti ini menjadikan fikih sebagai orientasi diri, yang dari situ ia melihat orang lain. Maka salah benar orang pun tergantung pada dirinya. 

Sekarang saya menduga (yang mungkin juga sebagian awam lain, walau mungkin saya kira jauh lebih sedikit), bahwa fikih itu sebenarnya penyelesai masalah, yakni untuk urusan dari apa yang (mau) dikerjakan seseorang (muslim). Jadi berpikirnya adalah, permasalahannya adalah kita justru merujukkan setiap urusan pribadi dan sosial kita kepada fikih. Karena hanya fikih yang bisa menenangkan seseorang dari beban atas apa yang dilakukannya. Kalau yang dilakukan sesuai fikih maka ia (akan menjadi) tenang. Begitu pula sebaliknya. Maka ungkapan fikih yang anti-sosial dan tidak atau kurang peduli sosial/lingkungan, justru pemikiran yang tidak proporsional alias keliru. Sebab, justru karena adanya “tantangan sosial/lingkungan” pada cara kita bertingkah laku pribadi dan sosial itulah kita (jadi/harus) berfikih..(sekiranya ada kesempatan mohon tanggapan). 

Salam… 

Sinar Agama: Salam, sudah benar seperti itu. Karena fikih yang juga disebut syariat, sudah lengkap diturunkan Tuhan untuk menata kehidupan apapun dari manusia ini, baik dalam kesendiriannya, keluarga, sosial-politik, internasional atau bahkan sampai pada hubungan manusia dengan binatang, bebatuan, pepohonan, jin, malaikat, dan bahkan dunia akhirat dan Tuhannya. Tidak ada yang bisa meremehkan fikih lalu dia tetap bisa disebut muslim hakiki. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Urgensi Penilaian Mukmin dan Kafir dengan Dalil dan Tanpa Pemaksaan


Seri Tanya jawab Ais dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on April 3, 2013 at 1:07 am

Pengkafiran dengan dalil Syar’i, by Sang Pencinta (Catatan) on 6 Maret 2013 pukul 0:17 

Ais: Assalamualaikum..USTADZ bukankah hanya Allah yang berhak menentukan kafir/ berimannya seseorang hamba.. ? 

Sinar Agama: Ais: Jangankan kafir, muslim dan mukmin juga hanya hak Allah. Begitu pula hak membuat undang-undang hidup dan peraturan hidup serta hak ketaatan dimana kita tidak menerima seutuhnya aturan-aturanNya itu (karena kita meminuskan hukum-hukum sosialpolitik) dan dimana kita sering menentangNya dengan melakukan maksiat dan tidak melakukan wajib-wajibNya itu. 

Kehakan itu, bukan berarti sekaligus pemberitaannya. Karena kita, bisa dan diperkenankan oleh akal dan Allah dalam agamaNya, untuk memberitakan apapun sesuai dengan yang kita ketahui dan yakini dan dengan bukti (bukan mengada-ada dan fitnah yang tidak dibolehkan dalam agama serta akal). Karena itu, kita bisa mengatakan bahwa si fulan itu muslim. Begitu pula mengatakan bahwa si fulan itu kafir. 

Pemberitaan kita itu, tidak sama dengan pemberitaan Allah tentang muslim atau kafirnya seseorang. Karena kalau beritaNya, pasti benar dan kalau berita kita, belum tentu benar. 

Kebenaran beritaNya itu, karena Ia Maha Tahu dan Maha Benar, sementara ketidakpastian berita kita itu, karena ketidakmaha-an kita dalam ilmu dan kebenaran. Akan tetapi, bukan berarti kita tidak boleh bicara dan mengabarkannya. Akal dan agama, hanya melarang kita memfitnah dengan sengaja atau memberitakan apa-apa yang belum berdasarkan hujjah atau dalil yang kuat. Itu saja. 

Jadi kita, sebagaimana dibolehkan mengabarkan tentang kemusliman seseorang dengan dasar lahiriahnya atau dalil lahiriahnya yang jelas, maka begitu pula dibolehkan mengabarkan tentang kekafiran seseorang dengan hujjah lahiriah yang sama. Jadi, yang tidak boleh hanya pemfitnahan dan kebohongan. 

Jadi, kalau kita percaya kepada Allah dan agamaNya, maka kita harus menaati apa-apa yang diajarkanNya dalam agamaNya. Dan karena pemberitaan itu tidak dilarangNya dan tidak pula dikecam akal, dan hanya fitnah yang dilarang, maka kita tidak bisa membatasi pemberitaan itu kepada kemusliman seseorang saja dan bisa juga tentang kekafiran seseorang. 

Tentu saja, kafir dan muslimnya seseorang itu, harus dilihat dalam ajaranNya yang menggariskan tentang dua hal ini dan beda keduanya. Artinya, Tuhan dalam agamaNya sudah mengajarkan apa itu Islam dan muslimin dan apa itu ingkar dan kafir. 

Nah, kalau kita menerapkan ajaranNya itu kepada diri kita atau kepada orang lain, baik tentang kemuslimannya atau kekafirannya, maka jelas tidak dikecam akal dan tidak dilarangNya dalam agamaNya. 

Yang diajarkan akal dan agama adalah, harus dengan argumentasi yang jelas dan juga harus dengan penuh kehati-hatian. Karena itulah Nabi saww bersabda: 

“Siapa yang mengkafirkan seorang muslim, maka ia sendiri yang kafir.” 


Artinya, Nabi saww tidak melarang pemberitaan tentang kafirnya seseorang itu, tapi hanya 

melarang memberitakan yang ceroboh dan apalagi emosional hingga jatuh pada pengkafiran seorang muslim. Persis seperti yang dilakukan para wahabi yang tidak tahu apa arti tauhid itu hingga penerapan kafirnya juga ngawur. Enak banget mereka kalau diskusi. Kalau mengkafirkan orang, maka lancar. Tapi kalau melihat Syi’ah mengafirkan seseorang dimana hanya dalam masalah imamah sekalipun, mereka sok menjadi wali-wali Allah dan berkata bahwa hanya Allah yang berhak mengkafirkan. Lah, emangnya hanya pengkafiran yang hak Allah tapi pembid’ahan dan pemusyrikan hak para wahabi itu. Bahkan lebih dari itu, mereka sangat-sangat dengan mudah mengkafirkan orang lain hanya karena beda akidah dan informasi dengan mereka. 

Coba pemberitaan kafir itu dilarang dari awal, mestinya Nabi saww bersabda: 

“Jangan sesekali mengatakan si fulan itu kafir, karena pengkafiran itu hanya hak Allah.” 


Karena itu, di samping mengatakan kafir tanpa dalil yang nyata dan benar itu dilarang agama, juga melarang orang mengatakan kafirnya seseorang itu, juga dilarang agama. Dan sebagaimana mengatakan kafir pada seorang muslim itu dilarang agama, maka melarang orang berkata kafir itu juga dilarang agama. Hal itu karena hak membuat ajaran itu hanya Allah dan Allah tidak melarang pengkafiran itu dan hanya melarang kecerobohan tanpa dalil tersebut. 

Wassalam. 

Sang Pencinta: BA: 1110. Kafir Dalam Kamus Syi’ah dan Sunnah Oleh Ustad Sinar Agama =http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/486549254723209/ 

Illa Meilasari: Love it ....lantas apa sih urgensinya pemilahan identitas mukmin dan kafir? 

Sang Pencinta: Illa: saya di sini hanya merangkum dialog. Kalau mau jawaban yang kredibel, silahkan merujuk langsung ke ust sinar. Afwan. 

Illa Meilasari: Bagaimana caranya? Ust sinar tidak masuk daftar teman saya...jadi tak bisa kirim pesan langsung...saya sudah 2x ajukan pertemanan, tapi gak masuk list, hanya setiap ust. Sinar post...pasti saya dapat lihat. 

Sang Pencinta : Ok, nanti saya bawakan ya. 

Illa Meilasari: Bawakan apa ya? ....syukron ya akhi. 

Sang Pencinta: Bawakan ke ust mbak, sudah saya catat nama antum di pertanyaannya. 

Illa Meilasari: Iya barusan saya lihat....baru ngerti maksud bawakan ....syukron ya akhi. 

Sinar Agama: Illa: Saya memang sudah tidak bisa menambah pertemanan karena sudah melebihi 5000. 

Untuk masalah urgensinya ini jelas sekali. Karena
  • 1- Manfaat pada diri sendiri. Karena tanpa mengerti beda keduanya, lalu bagaimana kita bisa beriman dengan baik. Kalau tidak tahu benar dan salahnya, kafir dan mukminnya, lalu bagaimana kita bisa menjadi mukmin dan mukmin yang baik?? 
  • 2- Kalau kita tidak tahu keduanya, lalu bagaimana kita bisa mengajar keluarga dan anak-anak kita serta lingkungan yang memerlukan pengarahan kita? 
  • 3- Kalau kita tidak tahu beda keduanya, lalu bagaimana mau mengambil sikap dalam sosial kita? Bukankah nanti akan menjadikan taman sebagai musuh dan musuh sebagai teman? 
  • 4- Tuhan sendiri memerintahkan untuk menyampaikan ajaranNya walau satu ayat (yang sudah dipahami dengan benar tentunya). Nah, kalau yang benar tidak disampaikan dan tidak dikatakan benar, lalu yang salah tidak dikatakan salah, lalu apakah kita sudah bisa dikatakan mengamalkan perintahNya? 
  • 5- Terjerumusnya banyak muslimin ke perangkat barat, yaitu liberalism, karena mereka tidak mengerti beda keduanya dan konsekuensi dari beda keduanya itu. Dan liberalism ini, jelas merupakan alat keluar dari Islam dengan cara yang sangat cepat melebihi cepatnya cahaya. 
Wassalam. 


Illa Meilasari: Syukron ustad atas penjelasannya.... Sebelumnya saya pernah tahu kalau mukminun dalam alquran itu bermakna ahlubayt dan pecintanya....tapi ternyata tidak sekedar itu. 

Afwan....saya ini sedang banyak belajar tasyayu’... Berusaha mentasyayu’kan paradigma saya ustad. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 05 Mei 2019

Fikih Adalah Hiriz/Ajimat Untuk Keselamatan Dunia-Akhirat


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 11:00 am

Sang Pencinta: 8 Maret 2013, Salam, mohon penjelasan. Sebelum mandi, setiap anggota tubuh yang hendak dibasuh harus disucikan terlebih dahulu, akan tetapi tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk mensucikan seluruh tubuhnya sebelum mandi, oleh karena itu bila anggota tubuh telah disucikan sebelum mandi, maka mandinya dihukumi benar. 

(Ajwibah al-Istifta’at, no.179, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 93). terimakasih ust. — bersama Sinar Agama. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: Salam,, kalau dalam Fikih Sistani,, sesuatu yang najis dan yang berbatasan/berdekatan dengan najis teresebut,, akan seketika menjadi suci ketika proses pensucian berakhir. 

Seperti orang yang memandikan jenazah,, dia juga akan menjadi suci ketika dia selesai mensucikan jenazah ... 

Untuk fikih Ali Khamene’i,, saya menunggu ustadz Sinar Agama 

Sang Pencinta: Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: kalau punya fikih Sistani format PDF Indonesia, tolong share ya. Terimakasih. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Maksudnya adalah, yang wajib disucikan sebelum mandi itu, adalah anggota yang mau dibasuhnya. Jadi, kalau kakinya najis, tidak wajib disucikan kalau masih mau membasuh bagian pertama (kepala dan leher) atau bagian tubuh yang masih di bagian atasnya. Nah, baru setelah kepala leher dan tubuh bagian atasnya itu sudah dibasuh dengan basuhan yang diniatkan mandi besar itu, maka baru kakinya disucikan dari najis sebelum mandi-besarnya. 

Sinar Agama: Nou: Saya tidak melihat hubungan komentar antum dengan yang ditanyakan Pencinta dan saya tidak dapat memahami pertanyaannya. Dan saya mengira bahwa antum salah memahami fatwa tersebut karena yang biasanya dimaksudkan adalah, kesucian bittaba’ atau kesucian dengan mengikuti. Seperti jenazah yang najis dan menajisi tempat pemandiannya dimana ketika jenazah sudah selesai dimandikan dan menjadi suci, maka tempat pemandiannya itu juga menjadi suci. 

Sang Pencinta: Nou: Ketika seseorang menyentuh mayat/memandikannya, ia wajib untuk mandi menyentuh mayat’ jika ingin sholat dan amalan yang memerlukan kesucian. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: @ sang pecinta : afwan,, kalau memakai pc,, bisa ke http://sistani.org 

Seseorang yang menyentuh mayat yang belum dimandikan,, memiliki hukum yang berbeda dengan orang yang memandikan jenazah,, 

@ ustadz sinar : afwan,, mungkin memang saya salah memahami ... Dalam Risalah Amaliah Ali Sistani masalah 378. 

378. It is not necessary that the entire body of a person should be Pak before Irtimasi and Tartibi Ghusl. So, if the body becomes Pak while diving in water or pouring water over one’s body with the intention of the Ghusl, the Ghusl will be in order. 

Terjemah

378. Tidak perlu mensucikan seluruh tubuh seseorang sebelum mandi Irtimasi and Tartibi. Jadi, jika badan menjadi suci ketika menyelam dalam air, atau menyiramkan air ke tubuh dengan niat Ghusl, maka mandinya sah. 

Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan fatwa antara Rahbar dengan Ali Sistani. Mungkin ustadz bisa sedikit menambahkan penjelasan ... Syukran. 

www.sistani.org 

Sang Pencinta: Nou: Seseorang yang memandikan jenazah, apabila hendak shalat, maka (setelah mandi menyentuh jenazah) dia harus berwudhu, karena tidak sebagaimana mandi janabah, mandi menyentuh jenazah tidak mencukupi kewajiban wudhu. 

(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 104) 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: benar,, wajib berwudhu,, tapi tidak wajib mandi menyentuh jenazah. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: untuk fikih Ali Sistani,, link rujukan 

http://www.almujtaba.com/malay/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/www.al-shia.com/html/id/islamic-laws/65.html 

afwan,, saya belum membuat terjemahnya. 

Ghusl for touching a dead body 

www.almujtaba.com 

Sang Pencinta: Coba perhatikan kalimat di atas (setelah mandi menyentuh jenazah)), di sini terlihat wajib pemandi jenazah wajib mandi. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: hmm ... 

Tolong bantu penjelasan kalimat berikut 

532. If a person touches a dead body after it has been given three obligatory Ghusls, Ghusl for touching will not be wajib. However, if he touches any part of the dead body before the completion of 3 Ghusls he should do Ghusl for touching the dead body, even if the 3rd Ghusl of that part which he has touched may have been done. 

219. When a person washes something with water to make it Pak, his hands washed along with that thing, will be Pak when the thing is Pak. 

Sinar Agama: Nou: Belajar fikih itu tidak bisa sekali baca. Kalau antum memang taqlid pada Rahbar hf seperti yang antum katakan di inbox, maka tolong baca fikih Rahbar hf itu secara berulang kali supaya tidak terjadi kekeliruan. 

Beberapa kali saya melihat antum ada kesala pahaman memahami fatwa yang antum nukil itu. Perlu antum ketahui bahwa hal ini wajar. Saya yang puluhan tahun di hauzah dan sudah dibimbing para guru, masih saja kadang salah memahami fatwa. Oleh karena itu, jangan tambah beban lagi. Pelajari satu fatwa dari marja’ antum itu dengan seksama dan berulang kali, karena ia adalah ajimat atau hiriz menuju keselamatan dunia-akhirat. 

Kalau memang antum mau cari pelarian dari ihtiyath-nya Rahbar hf, untuk bisa memakai fatwa Sistani hf itu, maka cari yang ihtiyath-ihtiyath wajib yang punya Rahbar hf dan bandingkan dengan fatwa Sistani hf, supaya kalau ada perbedaan, antum bisa nukilkan ke diri antum dan orang lain (kalau antum mau). 

Contoh ke dua yang sempat ana lihat dari kekeliruan tentang tidak mandi junubnya orang yang memandikan mayit di atas itu. Kalau dari fatwa lain, mungkin saja seperti yang antum katakan. 

Tapi kalau dari fatwa yang antum nukil itu, jelas tidak ada hubungannya sama sekali. Karena fatwa itu mengatakan bahwa wajib mandi ketika menyentuh mayat (yang sudah dingin walau tidak disebut di nukilan fatwa antum itu) yang belum dimandikan dengan tiga pemandian sebagaimana yang sudah diatur dalam bab memandikan mayat. Dan di fatwa itu dikatakan bahwa kalaupun sudah dimandikan, tapi belum lengkap tiga kali (dengan air campur bidara, dengan air yang dicampur kafur dan dengan air murni) dan sekalipun yang ke tiga itu sudah diperkirakan sudah dilakukanpun, maka tetap wajib mandi kalau menyentuhnya. 

Saya juga tidak ada waktu dan tidak merasa perlu untuk menyimak pemahaman-pemahaman terhadap fatwa Sistani hf itu karena tidak diperlukan bagi yang taqlid pada Rahbar hf. 

Anjuranku, bacalah dengan seksama fatwa marja’ antum dan fokuskan pada hal itu karena biar sudah puluhan tahun belajar agama dengan guru sekalipun, masih bisa terjadi salah paham dan semacamnya. Kalau antum lihat ana sendiri beberapa kali meralat informasi fikih ini, maka antum akan lebih merasakannya. Lah, kalau kita kira-kira sama dalam kecerdasan, lalu yang puluhan tahun belajar spesifik masih bisa melakukan kesalahan, apalagi yang baru mempelajari fikih secara otodidak dan hanya bermodal bahasa. 

Menyentuh mayat yang tidak wajib mandi itu dalam tiga kondisi (mayat): 

1- Yang mayatnya berupa mayat syahid dan matinya di medan perang (bukan mati syahidnya di rumah sakit setelah luka di medan perang, misalnya). 

2- Yang badan mayatnya masih hangat. 

3- Yang sudah dimandikan tiga kali (sebagaimana yang sudah diterangkan di atas). 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Shalat Sunnah-Khusus dan Sunnah-Mutlak / Umum


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:54 am


Sang Pencinta mengirim ke Sinar Agama: 8 Maret 2013, Salam, ada yang bertanya, jika melakukan sholat pengampunan mampunya membaca 40x surat al-Ikhlash, apakah boleh/mencukupi? Terima kasih ustadz. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Shalat sunnah atau sunnah-sunnah lainnya yang sudah diatur caranya itu, harus dilakukan sesuai dengan cara-cara tersebut, baik aturan waktu atau pelaksanaannya sendiri. Keharusan ini, untuk mencapai pahala khusus kesunnahan tersebut dan juga efeknya yang sudah dijanjikan agama. 

Ibadah-ibadah sunnah yang sudah diatur caranya itu, diistilahkan dengan Sunnah-khusus atau Sunnah-tertentukan atau Sunnah-mu’ayyan. 


Akan tetapi ada lagi ajaran agama yang mengajarkan secara umum dan secara global dimana kita sendiri yang mengatur waktu dan cara-caranya. Ibadah-ibadah sunnah ini diistilahkan dengan Sunnah-mutlak. 

Ajaran agama yang bersangkutan dengan Sunnah-Sunnah mutlak ini, hanya membolehkan pekerjaannya, menjanjikan pahalanya, kalau shalat tidak boleh melebihi dua rokaat setiap kali shalatnya (harus salam dalam dua rokaat), tidak boleh membaca surat atau ayat yang ada sujudnya dalam shalat sunnah mutlaknya itu, kalau shalat tidak boleh memiliki dua rukuk dan tidak dua sujud dalam setiap rakaatnya ............ dan seterusnya. 

Shalat-shalat dan sunnah mutlak itu, selain bisa dilakukan, juga dijanjikan pahala. Dan kebolehan tersebut, juga diatur dari niatnya. Jadi, bisa dilakukan dengan niat taubat, niat syukur, niat hajat, niat pengampunan untuk orang lain yang masih hidup atau sudah meninggal, niat untuk lancarnya usaha, niat ............... dan seterusnya. Jadi, bisa dilakukan dengan niat ibadah itu sendiri dan hanya untuk mendapatkan pahalanya dan bisa diniatkan sebagai tawassul dan perantaraan doa kepada Allah untuk pengampunan dan hajat-hajat lainnya. 

Dengan semua penjelasan itu, kalau pelaku shalat taubat yang mesti membaca suratnya sekian kali, tapi dibaca lebih sedikit dari aturannya tersebut, maka ia akan tetap saja syah. Tapi akan masuk ke dalam shalat sunnah mutlak dan tidak masuk dalam sunnah-khusus itu. Jadi, pahala dan efeknya tetap saja ada walau, tidak sama dengan pahala dan efek manakala dilakukan sesuai dengan aturannya itu. 

Tentu saja, karena setiap amalan itu tergantung niatnya, maka kalau membaca yang lebih sedikit atau tidak sesuai aturannya itu, diniatkan sebagai shalat-sunnah-khusus itu, maka ia bukan tidak saja tidak berpahala, akan tetapi bahkan akan terhitung dosa, yaitu dosa bid’ah. Tapi kalau dilakukan karena tidak tahu hukum, karena kelelahan atau karena mengira bahwa hal itu dibolehkan agama (yang membaca tidak sesuai dengan jumlah yang ditentukan itu), maka ia tetap syah dan tetap berpahala dan berefek sekalipun tidak termasuk pahala dan efek khusus dengan seluruh tingkatannya itu. Jadi, hanya akan mendapat pahala kesunnahan umum dan efek umum yang juga tidak bisa diremehkan. Artinya tetap berpahala dan menyebabkan turunnya efek itu (seperti pengampunan) walau tidak sederajat dengan pahala dan efek dari sunnah-khusus di atas. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 04 Mei 2019

Islam dan Kekerasan, Tuhan dan Iblis


Seri tanya jawab Muhammad El’Baqir dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:53 am

Muhammad El’Baqir mengirim ke Sinar Agama: 7 Maret 2013, Salam ustadz. Kenapa Nabi Muhammad SAW suka perang?

Kalo alasannya demi membela Allah SWT, apa mungkin Allah mengajarkan umatNya berperang? Sebab mana ada perang yang baik, walaupun untuk membela agama. Buktinya Allah SWT saja tidak pernah ‘BERPERANG” dengan IBLIS, sekalipun iblis selalu menggoda seluruh umat ALLAH. Apakah Allah SWT pernah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhhammad untuk berperang? Lalu, kenapa seseorang yang sering berperang masih layak di sebut NABI? Afwan.

Sang Pencinta: Salam, sekilas saya pernah baca, tapi belum ketemu linknya.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

1- Perang itu bukan tidak baik, secara hakikat dan substansinya.

2- Damai itu juga bukan berarti baik, secara hakikat dan substansinya.

3- Pekerjaan-pekerjaan lainnya, seperti makan dan minum, tidur dan jaga,...dan seterusnya, bukan berarti baik atau tidak baik, secara dzat/hakikat dan substansinya.

4- Baik dan buruk di sini, bukan baik dan buruk yang bisa dibahas di filsafat dimana melihat dari sisi wujud naturalnya. Akan tetapi, pertanyaan antum dan jawabanku ini, dalam masalah baik dan buruk secara karakteristik atau akhlak atau perbuatan atau sosial, hingga karenanya, keduanya sama-sama ada, baik itu yang baik atau yang buruk.

5- Semua contoh-contoh di atas itu, seperti perang-damai, makan-minum, tidur-jaga,...dan
seterusnya...merupakan suatu perbuatan atau karakter diri atau sosial, yang bisa disifati
dengan baik dan buruk.

6- Kebaikan dan keburukan dari contoh-contoh itu, tidak mengidentikkan perbuatan-perbuatan tersebut secara dzat dan hakikat, tapi secara sifat dan aksidental. Artinya, ia bisa baik dan bisa juga buruk.

7- Contohnya makan: Kalau makannya di waktu kenyang atau makannya tidak bersih, maka ia akan menjadi pekerjaan yang buruk. Sebaliknya, kalau di waktu lapar (baca: sudah waktunya makan) dan makanannya bersih bergizi, maka ia akan menjadi baik. Begitu pula dengan tidak makan, tidur atau terjaga...dan seterusnya.

8- Contohnya juga, perang: Kalau perang melawan penyerbuan yang akan menghancurkan
diri, keluarga, negara atau agama, maka perang ini jelas baik. Tapi kalau untuk menjajah, memaksa, merampas kemerdekaan orang/bangsa lain, maka jelas akan menjadi buruk.

9- Dengan semua penjelasan di atas itu, maka yang antum tanyakan, yaitu perang, bukan
perbuatan buruk. Tapi merupakan perbuatan yang bisa baik dan bisa juga buruk. Jadi, tergantung mengapa berperangnya, bukan esensi perangnya itu sendiri.

10- Perang Nabi saww dan para nabi as sebelum beliau saww, semua dari jenis yang baik.
Karena sebabnya, yakni mengapa perangnya, selalu hal-hal yang baik. Seperti menahan serangan yang biasa dikatakan perang difensif atau pertahanan. Artinya, bukan penyerbuan dan penyerangan.

11- Ada lagi sebab dari perang Nabi saww dan para nabi as sebelum-sebelum beliau saww
yang menjadikannya perang yang baik. Yaitu, perang dalam mengangkat penghalang bagi sampainya agama Tuhan. Artinya, kalau di suatu tempat atau kota atau negara, tidak bisa diajarkan agama Tuhan kepada masyarakatnya secara bebas dan tidak memaksa, yang ketidakbisaan ini karena dilarang dan dihalang-halangi oleh kelompok tertentu, yakni bukan
masyarakatnya itu sendiri yang tidak mau, maka akal dan agama menyuruh kita mengangkat penghalang tersebut. Tapi mengangkat penghalang itu, tidak boleh langsung dengan berperang. Tapi harus dikabari dulu bahwa agama Tuhan mesti disampaikan ke masyarakat secara bebas dan masyarakatpun bebas mendengarkannya atau tidak mendengarkannya, dan diberitahu juga bahwa kalau mereka tetap mau menghalangi maka akan dilawan dengan kekerasan. Nah, kalau setelah diberitahu itu, mereka tetap menghalanginya, maka kita wajib menerjangnya. Dan kalau mereka menghalanginya dengan tentara dan persenjataan lengkap, maka kita wajib memeranginya.

12- Dengan semua penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa perang Nabi saww dan para nabi as yang lain, adalah perang yang baik karena kalau bukan pertahanan berarti pemberantasan penghalang bagi sampainya kebenaran agama Allah kepada seluruh manusia. Jadi, ia bukan peperangan yang buruk, karena tidak memaksa siapapun untuk menganutnya atau menerimanya. Karena itu, maka Islam tetap bisa damai dan duduk serta hidup berdampingan dengan agama-agama lain sekalipun kalau agama-agama ini tidak mengganggu/menyerang dan tidak menghalangi sampainya kebenaran Islam kepada masyarakat.

13- Tuhan, bukan hanya membolehkan perang yang baik itu, akan tetapi bahkan mewajibkannya. Terlalu banyak ayat-ayatNya yang mewajibkan hal ini dan menjanjikan surga bagi mati di jalan ini yang dikatakanNya sebagai syahid dan bahkan mengecam bagi penakut yang cinta dunia, takut mati dan takut menderita. Salah satu contohnya ayat di QS: 9: 24:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَ
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

”Katakan: ‘Kalau ayah-ayah dan anak-anak kalian, dan saudara-saudara kalian, dan istri-istri kalian, dan keluarga-keluarga kalian, dan harta-harta yang kalian kumpulkan, dan dagangan yang kalian takutkan tidak lakunya, dan rumah-rumah yang kalian merasa nyaman di dalamnya, lebih kalian cintai dari Allah dan RasulNya dan berperang di jalanNya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan adzabNya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik/rusak.”

Terdapat puluhan ayat perintah perang ini, tentang fadhilahnya dan pahalanya sampai sampai dikatakan bahwa yang mati di jalan jihad ini, tidak akan pernah mati dan akan tetap
hidup dengan mendapat rejeki dari Tuhannya (QS: 2: 154; 3: 169). Ayat-ayat perintah perang ini sangat banyak, begitu pula tentang tidak boleh berlebihan dalam membunuh (yakni kalau mereka sudah tidak menyerang lagi atau tidak menghalangi sampainya penjelasan agama kepada masyarakat lagi), begitu pula tentang kecaman bagi yang tidak perang karena takut atau karena cinta dunia seperti di atas itu. Ayat-ayat ini seperti QS: 2: 190; 2: 218; 2: 244; 3:13; 3: 146; 3: 157; 3: 167; 4: 74; 4: 75; 4: 76; 4: 84; 4: 95; 5: 54; 8: 72; 8: 74; 9: 19; 9: 20; 9: 38; ...................dan seambrek lagi ayat-ayat tentang perintah perang dan keutamaannya ini serta kecaman bagi yang tidak mau berperang di jalan Allah, yakni di jalan kebenaran itu, yakni yang merupakan perang pertahanan atau pembersihan penghalang itu.

14- Kalau syethan, memang tidak perlu diperangi karena ia hanya bisa membisikkan saja dan tidak bisa memerangi kebenaran. Jadi, sebenarnya, yang ikut syethan, ia lebih jahat dari syethan itu sendiri. Karena syethan hanya membisikkan tapi manusia melakukan. Karena itulah di akhirat syethan berlepas diri dari semua perbuatan manusia. Perhatikan QS: 59: 16:

كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلِْنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ

“Sebagaimana syethan ketika berkata kepada manusia ‘kafirlah!’, lalu ketika manusia itu kafir, ia- syethan- berkata: ‘Saya berlepas diri darimu –perbuatanmu- sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan Semesta Alam.”

وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الَْمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِنْ
سُلْطَانٍ إِلَّ أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلَ تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي
كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan berkatalah syethan tatkala perkara telah diselesaikan (telah kiamat): ‘Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepada kalian tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian, melainkan sekedar aku menyeru kalian dan kalian mematuhi seruanku. Oleh karena itu, janganlah kalian mencerca aku dan cercalah diri kalian sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolong kalian dan kalianpun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu’. Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu mendapat siksaan yang pedih.”

Tambahan:

Memang ada golongan yang sejak kemunculannya pada sekitar th 1110 Hijriah, yaitu orang arab yahudi yang bernama suku Aalu Sa’uud (keluarga Sa’uud). Keluarga cukup besar dan berdomisili di kota Madinah, salah satu kota dari negara Jazirah Arab. Karena ingin meluaskan perdagangannya sampai ke daerah utara, seperti Iraq dan lain-lainnya, maka mereka pindah ke daerah lain di utara Jazirah Arab itu yang bernama Najd. Di Najd kala itu, terdapat tujuh kabilah muslimin yang ratarata Sunni. Keluarga yahudi ini, karena tidak ingin sulit berkomunikasi dan tidak ingin diganggu oleh muslimin, maka mereka menyamar sebagai muslim.

Ketika keluarga ini bertemu dengan Muhammad bin Abdu al-Wahhab yang karena aliran sesatnya telah diusir oleh orang tuanya yang Sunni dan juga dipenjara dan diasingkan, dan tentu setelah keluarga tersebut kuat posisinya, mulai menyerang satu persatu di sekitarannya. Membantai suku-suku itu dan merampas apapun yang dimilikinya serta membantai seperti kambing orangorangnya yang tidak mau meninggalkan madzhab Sunninya.

Alasan yang dipakai untuk memerangi kaum muslimin atas nama Islam itu, adalah, karena
semua muslimin selain yang taat pada pendapat Muhammad bin Abdu al-Wahhaab itu, dianggap ahli bid’ah, ahli taqlid kepada imam-imam madzhab, ahli madzhab yang bid’ah, ahli kubur (suka beribadah di kuburan), musyrik dan kafir. Aliran dan pengikut Muhammad bin Abdu al-Wahhaab ini, dikenal di dunia sebagai aliran Wahabiah, yakni pengikut ibnu wahhaab atau pengikut Muhammad bin ‘abdu al-Wahhab. Akan tetapi diri mereka ini menamakan diri sebagai Ahlussunnah (Tapi beda dengan Sunni yang bermakna pengikut madzhab Sunni yang bermakna madzhab dan mengikuti atau taqlid pada imam-imam Sunni seperti imam Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Karena mereka menamakan diri seperti ini untuk menipu umat dan juga memaknai Sunnah dengan Sunnatullah –Qur'an- dan Sunnatunnabi –Hadits.)

Jadi, ahlussunnah bagi mereka adalah mengikuti Qur'an dan Hadits. Yakni secara langsung
tanpa melalui ulama karena hal itu taqlid dan bid’ah), Salafi (pengikut orang-orang terdahulu), Muhammadiah (pengikut nabi Muhammad tanpa embel-embel lainnya seperti taqlid, madzhab, tawassul, doa di kubur, ...dan seterusnya dari hal-hal diyakini bid’ah dan syirik), Anshaaru al-Shahaabah (penolong shahabat), Thaalibaan, al-Qaaidah, ........dan banyak lagi nama-nama yang dipakai mereka. Semuanya berujung kepada kerajaan Saudi sebagai sumber, imam, khalifah, pemimpin dan pusatnya.

Setelah menguasai Najd, yakni setelah menundukkan semua tujuh kabilah/suku itu, maka mereka semakin banyak pengikutnya. Karena yang tidak ikut dari umat Sunni yang dijajahnya itu, langsung dibunuh di depan umum lebih hina dari binatang. Setelah itu menyerang daerah-daerah lain Hijaz atau Jazirah Arab itu, terutama Makkah dan Madinah. Ribuan Sunni digorok seperti binatang kalau tidak mau meninggalkan madzhab yang dianggap wahabi sebagai bid’ah itu, atau tawassul dengan para nabi dan wali yang dianggap musyrik itu, atau beribadah di kuburan yang dianggap syirik itu, ..........dan seterusnya.

Dengan semua penjelasan ini, maka muslim dari aliran Wahabi ini saja yang suka perang dan haus darah, terutama memerangi muslimin. Tentu saja tujuan dedengkot mereka memang membantai muslimin dengan tangan muslimin sendiri, supaya muslimin tidak sempat damai, bersatu, maju dan menyerang yahudi dimanapun berada terutama di negaranya yang bernama Israel itu. Karena itulah, perang Wahabi ini dengan muslimin, dan tidak perang dengan kafirin yang terutama yahudi jahat yang memerangi dan menjajah kaum muslimin seperti Israel.

Mereka bukan hanya menggorok, mengebom tempat-tempat umum seperti pasar dan masjid dan lain-lain, dan menjarah kaum muslimin, tapi juga membuat berbagai makar seperti mengubah kitab-kitab Sunni dan Syi’ah sesuai mau mereka, mengadu domba Sunni dan Syi’ah, mengarang kitab dengan mengatasnamakan ulama Syi’ah seperti imam Khumaini ra, ayatullah Makaarim Syiraazi hf dan ayatullah Ja’far Subhaani hf,..............dan lain-lain dari makar-makar kejinya.

Semoga umat muslimin segera menyadari kekejian wahabi ini, dan melihat kenyataannya dengan mata terbuka dimana di jaman sekarang inipun mereka terang-terangan bersatu padu dengan masehi dan Israel serta kafir Amerika dalam membantai muslimin Sunni dan Syi’ah di Suriah dan tempat-tempat lainnya. Amerikapun terang-terangan di depan sorotan tv mengumumkan dukungannya kepada mereka dan bahkan terang-terangan telah mengumumkan bantuannya seperti yang sekitar dua hari lalu mentri luar negeri Amerika mengatakan bahwa telah memberibantuan 60 juta dollar untuk wahabi-wahabi itu. Belum lagi senjata dan pendidikan perang yang selalu dikirim oleh Amerika dan Israel dan dengan dana terbesar dari raja-raja negara Arab yang wahabi itu. Amin ya Rabba al-‘Aalamin.
Wassalam.

Muhammad El’Baqir: Hmmmm... Salam dan terima kasih ustad sudah berkenan menjawab pertanyaan saya, semoga antum selalu dalam lindungan Allah swt beserta rasul dan ahlul baytnya...amiiin.

Muhammad El’Baqir: Na’am ustadz.. Oh ya ustadz.. Saya meyakini kalau agama islam itu agama yang benar dan sempurna, tetapi kalau saya mengatakan Saya beragama Islam & saya tidak pernah merasa agama lain salah & masuk neraka...saya enjoy saja jika Nasrani, Yahudi, Buddha, Hindu dll masuk Surga..apakah itu salah ustadz? Syukron.

Muhammad El’Baqir: Karena menurut saya pemeluk agama yang sudah dewasa adalah mereka yang jauh dari ANGKARA MURKA...& tidak membuat statement yang mencederai hubungan antar agama.. dan ketika masing-masing pemeluk agama saling memperbaiki akhlak/etika/attitude kepada sesama pemeluk..

Sinar Agama: Muhammad: Kalau agama Islam itu mengikut kepada yang antum yakini, maka memang akan seperti itu. Tapi kalau Islam itu mengikut kepada Allah dan Nabi saww melalui Qur'an dan Hadits, maka antum sama tidak boleh memikirkan apapun tentang hal-hal seperti di atas itu kecuali dengan dalil, baik dalil akal atau Qur'an-hadits itu.

Ketika antum sendiri mengatakan bahwa Islam benar, maka otomatis yang lain pasti salah. Begitu yakin bahwa madzhab tertentu yang benar, maka sudah tentu madzhab lainnya itu salah. Begitu pula tentang kebaikan, akhlak dan seterusnya. Apa itu baik, apa itu akhlak, .... dan seterusnya, semuanya harus pakai dalil dan Qur'an-hadits. Yakni bagi orang berakal dan bagi orang muslim.

Karena itulah, maka orang berakal, sudah pasti tahu bahwa dirinya tidak tahu apa-apa hingga bisa mengatakan menurutku begini dan begitu. Kecuali kalau ia menguasai semua ilmu politik, sosial, seni, fisika, psikologi, ....dan seluruh ilmu alam dan akhirat, materi dan non materi....dan seterusnya...dan itupun harus sampai ke tingkat lengkap (mencakup semua bab dalam masingmasing ilmu tersebut) dan harus benar secara pasti seratus persen.

Karena itulah, maka tidak ada orang berakal yang berani membuat nilai-nilai hukum, politik,
akidah ...dan seterusnya hingga terangkum dalam satu susunan yang dikatakan agama. Karena itulah, maka kita sebagai orang berakal, harus memeluk agama yang dibuat oleh Yang Maha Tahu, yakni Tuhan.

Itulah mengapa ketika agama sudah terbukti kebenarannya bahwa ia dari Tuhan, maka kita harus menerima dan mengamalkannya. Memahaminya dengan benar dan argumentasi gamblang serta mengamalkannya dengan penuh ketawadhuan (karena dari Yang Maha Tahu), kekudu-an (sangat patuh dan tunduk takut) dan keikhlashan.

Nah, ketika kita menerima Islam dengan semua argumentasi gamblang terhadap kebenarannya itu, maka konsekuensinya, adalah bahwa agama lain sudah pasti salah. Mana ada tauhid yang kita katakan benar, lalu trinitas juga benar. Kalau kita terima Islam yang benar, lalu bagaimana mungkin liberalisme juga dibenarkan?

Semua itu, kalau ditambah ratusan ayat Qur'an dan hadits yang mengatakan bahwa setiap
amalan itu harus berdasarkan hukum Islam, dan harus didasari oleh keimaman Tauhid Islam (bukan berhala dan kemusyrikan) dan kenabiannya.... dan seterusnya....serta juga harus ikhlash dan bukan karena untuk uang dan jabatan atau pujian....dan seterusnya...dari syarat-syarat diterimanya amal, maka sudah pasti yang tidak sesuai dengan semua itu, akan batal. Itulah mengapa Tuhan sering mengatakan bahwa amalan mereka itu tidak berarti. Karena dasar nilai baik-buruknya saja mengikuti akal ceteknya/dangkalnya, karena dilakukan bukan demi ketundukan kepada tauhid, ....dan seterusnya.

Tentu saja, Islam juga mengajarkan pintu ampunan bagi orang-orang yang belum didatangi Islam atau madzhab yang benar. Asal mereka itu baik secara umum, yakni seperti yang antum katakan itu, maka amal-amal mereka akan diterimaNya dan dosa-dosa mereka dimulai dari tidak tauhid/ Esa, tidak bernabi ke nabi Muhammad saww, tidak berhukum baik-buruk dari Islam, sampai pada syarat-syarat lainya(lainnya), akan dimaafkanNya. Hal itu, karena mereka memang tidak menentang kebenaran agamaNya, tapi karena memang karena belum sampai agama yang benar itu kepada mereka.

Kedua hal itu, yakni pembenaran semua agama dan madzhab, dengan pengampunan bagi
yang belum didatangi kebenaran agama dan madzhab, jauh berbeda. Kata orang, jauhnya
perbedaannya itu seperti langit dan dasar lautan.

Muhammad El’Baqir: Eemm bbkheer ustadz terima kasih atas jawabannya.
Wassalam.

Nur Cahaya: Mohon penjelasannya yang dimaksud syaitan manusia yang membisikkan itu
siapakah? Bagaimana kita tahu bisikan itu menipu /dusta yang indah-indah 6:112.

Sinar Agama: Salam, kalau yang mengajak kepada kebatilan itu dari manusia, maka ia adalah syaithan itu. Dan kalau tidak nampak apalagi berupa keinginan sendiri, maka hal itu dari jin/iblis. Jadi, apa saja yang batil, maka ia adalah syaithan. Karena syaithan adalah yang menjauhkan, yakni dari jalan dan rahmat Allah.

April 4 at 6:21pm via mobile


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tikar


Seri komentar pada tikar yang diduduki beberapa teman Itrah Palu, oleh Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:44 am

TIKAR 

7 Maret 2013 


Semoga tikarmu bagai kisaa’ Nabi tercinta 

Membawamu ke ketaatan Sang Maula 

Bagai karpet ‘alaauddin yang melana 

Membawa ke surga nan baka 

Kalau di atasnya ada sara’ba 

Yang dibuat dari ramuan shadra 

Kan sempurnakanmu melana 

Ke alam kesucian fitra 

Hah ...lihatlah para pengelana 

Yang terbang mendahului kita 

Mereka sudah menjadi ‘Anqaa 

Tak pernah kecewa dengan dunia 

Porak porandanya cita 

Bingungkan manusia 

Kacau bagai badai tsunamia 

Yang dengan sekejap telah menelannya 

Oh ...betapa pendeknya usia 

Dan betapa tidak berujungnya anganna (logat sulawesi) 

Betapa rapuhnya pijakanna (logat madura) 

Namun, betapa busungnya dada 

Betapa temehnya kita 

Yang lebih suka ramai dari taqwa 

Bejat asal nampak cendikia 

Lebih disuka dari taat pada Tuhannya 

Hah ...bisa-bisanya ada filosof durjana 

Filsafati Tuhan lebihi Mulla Shadra 

Tapi hinakan ajaran fikihNya 

Dia tuhan atau Tuhan itu Tuhannya???!!! 

Mulla Shadra yang disanjungnya 

Mengecam pemaksiat dengan jelasnya 

Dia sendiri berulang haji dengan kakinya 

Tanpa menaiki kuda walau selangka 

Mengapa manusia suka menganga 

Heboh melebihi yang dikaguminya 

Tapi ia sendiri menghina 

Apapun bentuk konsekuensinya 

Lah... terus mau jadi apa dia 

Mau jadi penganga atau yang dinganga 

Mau jadi hamba atau penguasa 

Mau jadi taqwa atau durjana 


Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Ralat Fikih Qunuth


Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:40 am


Sinar Agama: 7 Maret 2013, Seingatku saya pernah menjelaskan bahwa kalau lupa Qunuth maka diqodho kapan saja ingat di dalam shalat dan kalau tidak ingat juga sewaktu shalat, bisa ketika sudah keluar dari shalat. 

Yang benar adalah, kalau ingatnya ketika masuk rukuk, maka dilakukan setelah rukuk. Tapi kalau ingatnya setelah masuk sujud, maka dilakukan setelah shalat (bukan dimana saja ingat sewaktu shalat). Kalau setelah shalat juga tidak ingat, maka kapan saja kalau sudah ingat. 


Teman-teman yang mengamalkan yang salah itu sebelumnya, tidak membuat shalatnya batal, tapi hanya qunuth-nya saja yang kemungkinan besar batal (tanpa pahala sunnah, tapi i-Allah masih dapat pahala dzikir muthlaq/mutlak). Afwan. 

Anandito Birowo: Kalau sengaja meninggalkan qunut, hukumnya bagaimana ustadz? 

Ki Herjuno Boudhitama · 13 teman yang sama: Syukron ustadz. Tambah paham. Oh ya ada batasan waktu tidak kalo sholat tidak pada waktunya yaitu diqodho. Harim ana sampe berbulanbulan belum sholat katanya nanti di qodho. Ana boleh konsultasi inbox ustadz? Masalah pribadi atau boleh minta emailnya ustadz? Syukran. Al-afwu. 

Ika Zahrra: Syukron ustadz atas penjelasannya. 

Sinar Agama: Anandito: Kalau sengaja meninggalkan Qunuth, tidak masalah, tapi sudah tidak ada lagi tempat qadhaa’nya. 

Sinar Agama: Ki: Meninggalkan shalat dengan sengaja itu jelas DOSA BESAR. Kewajibannya adalah taubat dengan segera melakukan shalat-shalat yang dihadapinya, lalu mengqodho yang telah ditinggalkannya kapan saja yang dimaui-nya. 

Antum boleh tanya-tanya masalah di sini dan kalau rahasia, bisa ditanya di inbox. 

Aqiela Ela Wan Azizah: Shiah shalat? Hehehe gak salah yahudi shalat? Capek deh. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih untuk semua jempol dan komentar-komentarnya. 

Sinar Agama: Ika: Sama-sama. 

Ki Herjuno Boudhitama · 13 teman yang sama: Syukron ustadz. Antum masih di Iran atau Jakarta? Kalau di Jakarta ana merapat aja ke tempat antum. 

Ahmed Zain-Oul Mottaqin: Makasih om ustadz. 

Sinar Agama: Ki: Untuk identitas sinar agama ini, terpaksa sekali, ana akan selalu di balik awan pagi seperti yang di gambar akunku itu. Afwan banget. Dekaplah ilmu dengan argumentasi gamblangnya, dimana kalau akidah adalah argumentasi akal-gamblang dan kalau fikih adalah fatwa marja’. Kalau antum dekat, merapat dan mendekap ini, maka akan selalu hangat dalam hidup tanpa kecemasan apapun dari sisi lahiriahnya dan tinggal memperbaiki batinnya seperti kekhusyukan, dzikir selalu...dan seterusnya. Tapi kalau tidak, maka jangankan batin kita, lahiriah kita juga tidak bisa tidak dicemasi. Ini yang kadang ana katakan sebagai filosof bejat. Masih mending kalau memang filosof, tapi kalau dari satu sisi hanya kulit-kulitnya dalam filsafat dan dari sisi lain tidak taat pada hukum-hukum fikih Tuhan, lah...bisa ditebak dimana posisinya. 

Marwah Ali · Friends with Sang Pencinta and 147 lainnya: Makasih ustadz, selalu bikin ‘ringan’ haus ini ... Allahumma shalli alaa Muhammad wa Aali Muhammad ... 

Sang Pencinta: Ustadz Sa: berarti catatan ini kudu diralat ya ustadz. 1210. Hukum Membaca Kunut Ketika Tubuh Masih Bergerak Dalam Sholat Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/524478684263599/ 

Sinar Agama: Pencinta, sudah dirubah, terima kasih pemberitaan alamat catatannya, semoga diterimaNya, amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ