Rabu, 02 Januari 2019

Hukum Mencaci Simbol-Simbol Madzhab Lain



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:28 am

Sang Pencinta: (25-2-2013) Salam, bagaimana pandangan antum dan solusinya cara sebagian ikhwan, yang secara tajam mencaci simbol Suni. Mohon interpretasi fatwa Rahbar tentang peng-haraman pencacian simbol-simbol Suni. Terima kasih Ustadz. — bersama Sinar Agama. 


Fahmi Husein, Irsavone Sabit, Alia Yaman dan 23 lainnya menyukai ini. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Kalau secara umum suatu kata itu dipahami mencaci simbol-simbol Sunni, maka jelas haram hukumnya. Seperti mencaci tokoh-tokoh yang dihormati Sunni. Tentu saja, diskusi bukan mencaci dan mencaci bukan juga diskusi sekalipun sepintas bentuknya seperti diskusi. Diskusi bisa dilakukan, tapi tidak boleh menggunakan kata-kata pencacian terhadap tokoh-tokoh atau apa-apa saja yang dihormati saudara-saudara Sunni. 

Sang Pencinta: Terimakasih ustadz. 

Sang Pencinta: Apakah hukumnya sama bagi yang menyukai dan menikmati diskusi cacian ini (bukan pelaku cacian)? 

Doni Handoyo: Perlu diselidiki ikhwan-ikhwan yang statusnya mencaci simbol Sunni, jangan- jangan mereka Wahabi nyamar. 

Memburu Kebenaran: Maaf ustadz, apakah menjelaskan kepada orang suni, dan mengkritisi sahabat suni semacam AUU, yang banyak kekeliruan-kekeliruan dan penentanganya kepada Nabi apakah termasuk mencaci-caci simbol suni?? 

Sang Pencinta: Beberapa ikhwan mengklaim dengan diskusi/menanggapi seperti soalan di atas, membuat sudara lain hijrah ke AB, bagaimana syar’i memandang ini? Btw teringat pesan ustadz tentang pen-scan-an kitab mafatih. 

Sinar Agama: Pencinta: Sudah tentu yang menyetujui pekerjaan haram, ia akan kebagian haramnya, apalagi menikmatinya. Dan dosa pemecahan umat ini tidak tanggung-tanggung, imam Khumaini ra mengatakan bahwa yang memecah Syi’ah dan sunnah, maka ia bukan Syi’ah dan bukan sunnah. 

Dan orang-orang yang terutama bukan mujtahid itu, kalau berpendapat apapun yang menentang marja’nya, maka selain tidak berharga, ia juga merupakan dosa yang ke dua setelah dosa pertama di atas itu. Misalnya mereka mengatakan bahwa dengan mencaci dapat menghidayahi manusia. Anggap hal ini bukan ajib dan kegilaan (dimana memang ajib dan kegilaan), maka ia adalah pendapat bukan mujtahid yang menentang mujtahid dan, sudah jelas wajib ditolak oleh dirinya sendiri terutama oleh orang-orang yang tidak menaklidinya karena memang tidak boleh menaklidi orang yang bukan mujtahid. 

Sinar Agama: Doni: Memang setiap ada akun yang mencaci dan mengatasnamakan Syi’ah, tidak bisa dikatakan bahwa hal itu kerjaan orang Syi’ah. Karena itu, kita bukan mau mengecam siapapun, tapi hanya membahas hukum fikihnya. 

Memang, kalau pencacian itu terjadi bukan sekali dua kali, sekalipun dilakukan oleh orang Syi’ah sekalipun, maka ia harus dikecam dan kalau perlu diboikot dan diblokir atau dilaporkan. Karena kalau tidak, maka akan merugikan agama serta harta dan nyawa manusia yang tidak berdosa. 

Kalau mereka masih bisa menerima hidayat, semoga mereka terhidayahi dan kalau tidak, maka kita serahkan kepada Allah karena mereka sudah masuk ke dalam tajarri dan maksiat yang akan mengorbankan agama serta harta dan nyawa manusia lain yang tidak berdosa. Bagi pandanganku, mabok masih jauh di bawah dosa memecah persatuan ini, Allahu A’lam. Karena dosa mabok hanya dosa pada Allah secara pribadi, tapi dosa memecah umat, selain dosa pada Allah, juga pada agama dan semua muslimin yang akan menjadi korban baik harta atau nyawanya. 

Sinar Agama: Memburu: Kalau diskusi tersebut, tidak disertai caci maki, maka jelas bukan pencacian dan pemakian dan tidak termasuk dosa. Jadi, menjelaskan AUU dari kitab-kitab Sunni dan dengan bahasa ilmiah yang baik yang tidak disertai caci maki, maka jalas(jelas) tidak dosa dan bahkan suatu keharusan kalau diperlukan. 

Al Parta Ortega: Indahnya Persaudaraan....Salam Ustadz... 

Sang Pencinta: Ustadz SA: Fatwa Rahbar tentang ini berlaku untuk semua pengikut AB? Apakah larangan cacian dikeluarkan oleh marja lain atau mengikuti Rahbar sebagai wali faqih? 

Ikhwan Abduh: Afwan Sang Pencinta. Saya mengikuti diskusi kemarin tentang hal ini, meskipun tidak sempat komen (terlalu banyak komentar yang ngalor ngidul). 

Cuma ada 1 hal yang masih mengganjal. Memang kadang-kadang ada segelintir saudara kita terpancing emosinya. Biasanya saat tokoh-tokoh syiah dicaci maki duluan. Sehingga sebagian saudara kita ikut-ikutan mencaci. 

Namun, saya lihat kebanyakan dari mereka tidak mencaci sebagaimana “CACIAN” yang menggunakan kata-kata kotor dan tidak pantas. Namun hanya menjelaskan kebobrokan akhlak dan sejarah kelam tokoh-tokoh Sunni. Dan itu dalam lingkup diskusi ilmiah, karena tidak jarang dalilnya pun disertakan. Baik dari ayat Al-Qur’an, hadis, maupun pernyataan tokoh-tokoh Sunni / wahabi, guna mengcounter pernyataan mereka. 

Bagaimana menurut Antum ustadz Sinar Agama ? 

Sang Pencinta: IA: Di atas sudah dikatakan kata itu dihukumi cacian secara urf/umum. Apakah definisi cacian di Sumatra beda di Sulawesi? Dan di atas sudah dikatakan juga diskusi tentang ini boleh bahkan harus kalo memang diperlukan. Kalo antum mau, akan saya bawakan catatan ustadz Sinar tentang diskusi yang ustadz Sinar terlibat di dalamnya tentang simbol-simbol Suni? 

Ikhwan Abduh: Bukan begitu maksud saya. Supaya terang, baiklah saya kasih contoh. 

Tetangga sebelah ada yang mengatakan mut’ah sama dengan zina, orang syiah = anak zina, dan lain-lain. Ada yang mengatakan imam mahdi ngumpet di goa karena penakut dan sebagainya. Bahkan banyak kata-kata cacian yang saya tidak tega untuk menulisnya. 

Bandingkan dengan ketika saudara kita menceritakan tentang, misalnya: 
Abu Bakar yang merampas tanah fadak, membakar hadis, kabur saat perang, memerintahkan membakar rumah Fathimah, dan sebagainya. 

Umar yang menganggap nabi mengigau dan melarang menulis wasiat nabi, tidak tahu banyak tentang hal agama (misal: tidak tahu arti kalalah, malah yang bertanya tentang itu dihukum oleh Umar), dan sebagainya. 

Usman yang nepotisme. 

Khalid bin Walid yang membunuh sahabat dan langsung meniduri istri sahabat yang dibunuhnya. 

Perbedaan persepsi tentang mencaci itu bukan masalah di Sumatera, Sulawesi, ataupun Jawa. Semua itu adalah sejarah, yang bahkan tercatat oleh kitab-kitab Sunni. Namun oleh mereka (Sunni) malah dianggap MENCACI. 

Jika memang hal itu adalah bagian dari mencaci, lantas sejarah yang saya pelajari selama menjadi syiah adalah tak lebih dari cacian? Padahal saya kira itu merupakan fakta sejarah yang membuka mata hati saya untuk menerima syiah! 

Afwan, mohon penjelasannya. 

Ikhwan Abduh: Sang Pencinta : OK, tolong kasih link catatan tentang diskusi tersebut 

Sekali lagi, saya masih awam di mazhab AB ini. Dan terus terang saya sedih menyikapi fenomena ini. Jadi tolong untuk ustadz sinar agama dan ustadz lain yang sering online facebook bisa membantu memberi pencerahan untuk masalah ini. 

Baskoro Juragan Tahu: SIMBOL Sunni adalah AUU....Hem masih kah anda menganggap mereka saudara dalam islam jika SIMBOL mereka di bilang AUU bukan ALQURAN n MUHAMMAD saw ?? 

Sinar Agama: Pencinta, hukum fikih yang bersifat sosial-politik, wajib ditaati walau oleh para marja’ itu sendiri dan, fatwa tentang persatuan dan tidak boleh mengejek simbol-simbol madzhab lain ini, termasuk fatwa sosial-politik yang wajib ditaati oleh semua orang itu. Apalagi ratusan mujtahid dan belasan marja’ memfatwakan hal yang sama atau mendukung fatwa Rahbar hf tersebut. 

Sinar Agama: Ikhwan A: Kalau penjelasan tentang semua yang antum contohkan itu dengan bahasa yang tidak disertai kata-kata ejekan dan apalagi dilengkapi dengan nukilan referansi-referensi Sunninya, maka jelas tidak masuk dalam ejekan sekalipun sebagian wahabi, demi memutarbalikkan masalah, menuduh penulisnya sebagai pengejek. Walhasil, kapan kata-kata ejekan itu dikeluarkan kita sekalipun diselingi dengan nukilan-nukilan referensi-referensi Sunni, tetap saja tergolong ejekan. Karena yang dihukumi ejekan itu, bukan referensinya itu, tapi ejekannya itu. 

Di catatan saya, mungkin sangat banyak yang menukilkan tentang hal-hal yang antum maksudkan bahkan seperti Khalid bin Walid yang membakar hidup-hidup beberapa shahabat di depan umum, tangisan penyesalan Abu Bakar karena telah mendobrak rumah hdh Faathimah as, pengharaman mut’ah oleh Umar ...........dan seterusnya...tapi selalu saya usahakan untuk hanya menyampaikan apa adanya tanpa kata-kata ejekan. 

Karena itu, selama diskusi atau tulisan atau kata-kata kita tidak mengandung ejekan, maka ianya bukan dosa dan bukan pula memecah persatuan. 

Ikhwan Abduh: Syukron ustadz SA. Sekarang sudah terang bagi saya. Jadi intinya pada pemilihan kata-kata dalam menyampaikan kebenaran itu ya. Semoga saudara yang lain, terutama yang biasa “keras” dalam diskusi membaca dan memahami keterangan antum. Karena jujur saya banyak mendapat pelajaran juga dari mereka. Namun terkadang karena yang diajak diskusi suka nyeletuk seenaknya, mereka juga terbawa arus diskusi itu sehingga mungkin lepas kontrol dengan kata-katanya. 

Novalcy Thaherm: Ikhwan Abduh @ betul sekali ihkwan, maksud saya juga begitu. Bahkan ada yang lebih extrem lagi menyebut mereka itu agen~agen zionis. Padahal mereka itu banyak memberi pelajaran kepada saya juga, bahkan mereka mengenalkan saya kepada ustadz sinar agama untuk bertanya apa saja tentang syiah. 

Hambali Return: Saya pribadi belum pernah liat syiah bicara tanpa dalil meskipun dalam keadaan marah, ngapain gue ke syiah kalau sama dengan yang dulu saya anut. 

Zulfiqar Fawkes: @hambali : afwan agar dicermati penjelasan ustad SA baik-baik >>> Walhasil, kapan kata-kata ejekan itu dikeluarkan kita sekalipun diselingi dengan nukilan-nukilan referensi- referensi Sunni, tetap saja tergolong ejekan. Karena yang dihukumi ejekan itu, bukan refrensinya itu, tapi ejekannya itu. 

Ikhwan Abduh: Meskipun tujuannya baik, namun harap Lebih hati-hati aja, untuk koreksi kita bersama. Syukron ustadz SA yang berkenan memberi penjelasan. 

Muhammad Wahid: Iya intinya: ejekan itu diluar konteks diskusi argumentatif... Emosional terpancing, ya disitulah tantangan orang berlimu untuk lebih bersabar, harusnya makin berilmu ya makin tawadhu.. Kita harus banyak belajar, bagaimana ustad Sinar Agama dalam berdiskusi & berdialog, beliau juga suka dicaci maki tuh, tapi beliau ga pernah membalasnya dengan cacian.. Untuk teman-teman syiah yang mengingatkan teman lainnya, saya liat juga ga lepas dari tuduhan dan cacian juga.. Jangan menasehati orang kalo anda sendiri ga bersikap arif... Mungkin saja betul ada agen-agen zionist, tapi apa benar itu ditujukan kepada orang-orang yang dituduhkan, kita-kita ini ga bisa mengetahui dengan pasti tanpa bukti dan kenal orangnya langsung di dunia nyata.. Kalau mau menyikapi sikapnya yang kurang tepat dalam hal ini kata-kata cacian, ya tegurlah dengan cara yang baik juga, jangan malah saling ejek & tuduhan-tuduhan yang ga berdasar.. Sehingga ga ada bedanya antara anda (syiah) dengan mereka-mereka itu (wahabi).. Afwan. 

Sinar Agama: Ikhwan A: Itulah mengapa tabligh itu bukan kerjaan sembarang orang. Memang, satu ayatpun harus disampaikan. Tapi ayat yang dipahami dengan dalil dan, sudah tentu dengan kata-kata yang bagus. Karena yang wajib disampaikan itu bukan kebenaran, tapi kebenaran dengan cara yang benar. Dimana ada pembolehan penyampaian kebenaran Islam dengan cara bukan Islam alias diri sendiri atau hawa nafsu sendiri. 

Jadi, kalaulah bukan ulama dan ingin terjun ke dalam tabligh yang bukan bidangnya atau yang juga bidangnya, maka lakukan karena Allah hingga mengikuti cara-caraNya yang diperintahkan dalam Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi saww serta para imam makshum as. 

Karena kalau tidak, maka akan merusak islam itu sendiri dan kerja-kerja para nabi, para imam dan para ulama. 

Kalau tidak sanggup berhadapan dengan umat, mengapa memaksakan diri berhadapan? Siapa yang menyuruhnya? Mujtahid saja harus taqlid dalam hal-hal sosial-politik ini, apalagi awam yang hanya tahu satu atau dua ayat. 

Zulfiqar Fawkes: Syukron Ustadz. 

Sinar Agama: Teman-teman Semua: Terima kasih banget atas pengertian dan baik sangka dan segala kebaikannya yang antum pantulkan lewat komentar-komentar antum itu. Ana ini juga manusia biasa dan bahkan mungkin paling jeleknya. Karena itu, hati ini juga mendidih diejek orang. Tapi dari pada ana mendidih di neraka besok, maka kuusahakan sekuat-kuatnya untuk tidak keluar dari taqlid ana kepada Rahbar hf dan imam Khumaini ra yang didukung oleh ratusan atau ribuan mujtahid dimana beliau-beliau itu mewajibkan persatuan dan mengharamkan pengejekan kepada simbol yang disucikan di madzhab-madzhab lain. 

Sinar Agama: A.F: Ana juga berterima kasih untuk antum semua, semoga antum dan teman- teman lainnya, jangan sampai keluar dari fikih Ahlulbait as dimana fikih di Ahlulbait as itu bukan hanya thaharah, wudhu, mandi, shalat, puasa, haji...dan seterusnya, tapi juga masalah-masalah rumah tangga, sosial, budaya, politik, dakwah.............dan seterusnya. 

Ikhwan Abduh: Aamiin,,, insyaAlloh ustadz. 

Renito Husayno: Penjelasan ustadz inspiratif sekali. Adem. Terima kasih banyak ustadz....... 

Maz Nyit Nyit-be’doa: Sangat Mengagumkan dan mencerahkan.......... Terimakasih ustadz Sinar Agama. 

Novalcy Thaherm: Terimakasih juga ustadz sinar agama. 

Sinar Agama: Tambahan: 

Kalau ada orang mengejek atau melaknat/kecaman di depan Sunni/umum/facebook, lalu ia mengatakan bahwa ia tidak taqlid kepada Rahbar hf, maka hal itu juga sangat diragukan kebenarannya. Sebab setahu saya, tidak akan pernah dijumpai seorang marja’ yang membolehkan pekerjaan-pekerjaan tersebut. 


Kalau para pencela itu, semoga mereka masih bisa mendapat hidayah sebelum ajal menyapa amin, dengan tanpa merujuk kepada marja’ manapun itu, masih mau nekad juga mau melakukannya, maka silahkan mereka memakai nama asli di facebook ini dan alamat yang jelas, hingga orang-orang Sunni yang marah dan mau berbuat apapun kepadanya, bisa dengan mudah mendatanginya dan tidak mendatangi Syi’ah-syi’ah yang lain. Lucu amat, disuruh sopan, tetap saja nekad, tapi sembunyi di balik tembok China yang tebal hingga mengorbankan orang lain. 

Irsavone Sabit: Afwan ustadz, tidak maksud membela mereka, saya juga tidak paham sejauh mana sebenarnya menghina istri dan sahabat Rasulullah saww yang juga dikatakan menghina simbol-simbol Sunni, setahu saya nama yang disebut sang pecinta sebagian masih wajar saja sperti yang dilakukan ustadz ketika diskusi, menggunakan dan berdasarkan dalil Sunni sendiri, diskusi seperti itulah yang saya biasa saya like, kemudian ustadz apakah wajib bagi syiah untuk melaporkan mereka ini kepada yang lainnya secara terbuka, dan bagaimana jika yang melapor salah dalam mempersepsikan menghina simbol Sunni, hal ini bisa saja terpulang kepada saya jika saya yang melapor secara terbuka?.....Afwan. 

Ikhwan Abduh: Irsavone Sabit : Kemarin saya juga menanggapi seperti yang antum katakan. Namun ustadz sinar agama sudah menjelaskan. Bahwa yang demikian (membongkar sisi gelap tokoh Sunni) tidak apa-apa, bahkan dianjurkan ketika diskusi mencari kebenaran. Tapi yang tidak boleh adalah ketika berdiskusi dan berdalil namun kemudian terselip kata-kata ‘cacian’ / hujatan / umpatan yang tidak ada dalam riwayat / dalil itu, namun di ada-adakan sendiri (mungkin karena emosi dan sebagainya). Saya sendiri sangat menghormati saudara-saudara yang dimaksud oleh Sang Pencinta. Namun di sisi lain saya juga setuju dengan ustadz SA bahwa akan lebih baik lagi jika pemilihan kata saat diskusi bisa lebih arif dan bijaksana. 

Sang Pencinta: IS: Ustadz sudah menjelaskan di atas soalan seperti yang antum bawa untuk Ikhwan Abduh, afwan. 

Sinar Agama: I.S: Yang lain-lain sepertinya sudah terjawab selain yang satu ini bahwa apakah wajib melaporkan secara terbuka... 

Jawabnya adalah kalau kesalahannya itu terbuka, seperti di facebook ini, maka jelas penegurannya juga bisa dengan terbuka. Karena teguran itu, di samping nasihat bagi yang melakukan kesalahan secara terbuka itu, juga sebagai pengumuman atau ketidak ikutan bertanggung jawab terhadap yang dilakukannya, kepada diri orang itu dan khalayak ramai. Tapi kalau kesalahan orang itu tidak terbuka, maka haram dinasehati secara terbuka karena akan masuk dalam ghibah. 

Sedangkan kesalahan yang dimaksud itu, kalau fikih maka harus bersumber pada fikih dan kalau akidah maka pada akal dan Qur'an-hadits. Dan yang menasihati wajib tahu sebenar benarnya bahwa yang mau dicegah itu (nahi mungkar) memang benar-benar kesalahan dan ia tahu juga yang benarnya dalam masalah itu. Tapi kalau masih ragu-ragu terhadap kesalahannya atau terhadap kebenaran yang ia ketahui tentang ilmunya sendiri, maka tidak boleh melakukan peneguran itu karena bisa memfitnah orang dan dirinya sendiri akan mengatakan yang salah dan sesat karena ketidaktahuannya tadi itu. 

Karena itu, harus punya dua ilmu yang jelas untuk amar makruf dan nahi mungkar ini: Pertama tahu kesalahan yang mau dinasihati itu. Ke dua, ia tahu benarnya seperti apa secara pasti. 

Kalau terjadi perbedaan persepsi terhadap suatu kata, maka bisa dilakukan diskusi dan yang salah harus meminta maaf. Tapi persepsi terhadap suatu kata atau kalimat itu, harus berdasar kepada pemahaman umum dan tidak diputar-putar hingga menjadi remang. 

Wassalam. 

Marwah Ali: Alhamdulillah, aku masih di koridor dari batasan ustadz, aku ngeledeknya personalnya bukan AUU .... 

Abu Bakar Hangus: Tidak ada fatwa Ulama Faqih yang bertentangan dengan Nash .... = harga mati pemahaman atas segala sesuatu adalah inti dari persoalan. 

Abdurrahman Shahab: Kita ini masih sering terlihat kekanak-kanakan, tidak pernah merasa bersalah, mencari pembenaran atas setiap kesalahan yang kita lakukan, masih sering mengumbar hawa nafsu dan menganggap sepele persoalan besar dan penting yang didengungkan oleh para mujtahid dan pemimpin agama mengenai ukhuwah dan persatuan islam sehingga terus saja menjadikan perbantahan dan perdebatan yang memancing permusuhan adalah sebagai KEASYIKAN DAN MENGANGGAP SEBAGAI KECERDASAN SERTA DAKWAH AHLUL BAYT!!! 

Marwah Ali: Menawarkan Ukhuwah sama Nashibi, yang ga mau Ukhuwah ?, Malah kaya di Jawa Timur seperti al bayonet, gimana caranya ? 

Abdurrahman Shahab: Afwan, kalau menurut saya nashibi bukanlah bagian dari islam, yang harus dijaga ukhuwahnya, tapi tidak serta merta ketika kita menangkal fitnah nashibi (/wahabi) kita lantas membenamkan diri dengan perkataan yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan dari kalangan aswaja, karena kita menggunakan kata-kata yang menistakan simbol-simbol yang mereka mulyakan... DAN HAL ITULAH YANG SANGAT DIHARAPKAN OLEH PARA NASHIBI, AGAR KITA DIMUSUHI OLEH ASWAJA... 

Abu Bakar Hangus: Simbol: AHLUL SUNNAH = SUNNAH YANG BENAR [siapa sunnah yang benar ?], bukan simbol yang kufur. Kalau pembenaran atas fatwa itu adalah kepada Sunni maka, sama saja mengakui kebhatilan atau terus menyembunyikan kebhatilan. 

Marwah Ali: Bisa kasih contoh konkrit kalimat ini “kita lantas mebenamkan diri dengan perkataan yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan dari kalangan aswaja, karena kita menggunakan kata-kata yang menistakan simbol-simbol yang mereka mulyakan.” Afwan. 

Penganten Mercon: Salam semua--ikut nyimak. 

Marwah Ali: Hemm.... 

Marwah Ali: Kk Penganten Mercon , Group Dialog Ilmiah Sunni Syi’ah boleh terus tuh hehehe. 

Penganten Mercon: hehehe,,boleh terus gimana maksudnya. 

Marwah Ali: Selama berdasarkan Ilmiah , jangan sampe “kita lantas mebenamkan diri dengan perkataan yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan dari kalangan aswaja, karena kita menggunakan kata-kata yang menistakan simbol-simbol yang mereka mulyakan.” 

Penganten Mercon: Alhamdulillah, kawan-kwan semua yang ada di sana dalam menyampaikan sesuatu selalu berdasarkan ilmiyah. 

Marwah Ali: Terutama pada pinter bahasa bersayap yang bisa terbang kemana-mana qiqiqiii. 

Penganten Mercon: hehehe,,kebanyakan ikhwan syiah itu jarang bolos dalam pelajaran bahasa Indonesia, jadi ada aja bahan untuk mengembangkan sayap. 

Rizki Wulandari: Damailah Indonesiaku dengan semua perbedaan yang ada. 

Abdurrahman Shahab: Afuan Marwah Ali, ana fikir antum sudah sangat faham dengan maksud kalimat di atas.... karena kita sering terpancing dalam perdebatan, demi untuk mengungkapkan keyakinan, terkadang kita ikut menggunakan KATA-KATA CACIAN DAN PENGHINAAN terhadap SIMBOL YANG DIMULIAKAN OLEH ikhwan Sunni dan ini adalah salah satu trik yang selalu digunakan oleh para nashibi, agar kita terpancing dalam mengeluarkan kata-kata yang tidak menunjukkan akhlaq pengikut AB, dan karena kesalahan yang sering kita lakukan dalam debat- debat, yang lebih banyak membawa mudhorot dibandingkan manfaat itulah, maka timbul kebencian yang mendalam oleh sebahagian ikhwan Sunni terhadap syiah... sehingga banyak kelompok awam Sunni yang ikut terbawa emosi yang menyebabkan kebencian dan permusuhan terhadap pengikut dan ajaran syiah, sudah banyak korban yang tidak berdosa dari kalangan kita yang harus menanggung resiko atas apa yang telah kita tanamkan karena “permusuhan” yang kita anggap sebagai “dialog dan kajian ilmiah” menurut ana, dialog dan kajian ilmiah itu harus dilakukan pada tempat dan oleh orang yang tepat... Afuan... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua komentarnya yang ada di atas syariat. 

Sinar Agama: Abu: Antum ini ada dua kemungkinan: Taqlid atau mujtahid. Kalau taqlid, maka taqlid ke siapa dan mana fatwa pembolehan pencelaan itu. Kalau mujtahid, maka dari mana antum dapatkan ijin ijtihad tersebut. 

Kemudian, kalaulah antum mujtahid, maka antum juga harus taat pada paling a’lamnya mujtahid dalam urusan-urusan kebersamaan atau sosial-politik. Dan hal seperti ini, yakni wajib ikut yang a’lam itu, merupakan fatwa dari semua marja’ dalam hal-hal apa saja, baik dalam urusan taqlid atau seperti dalam perkara yang kita bahas ini dan semacamnya.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Hukum Memburu Binatang



Seri tanya jawab Bande Husein Kalisatti dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:17 am


Bande Husein Kalisatti: (25-2-2013) sekitar Kota Bogor 
Sinar Agama :”Saya pernah dengar bahwa memancing ikan menurut fatwa rahbar hukumnya haram, benarkah? Afwan. 

Sang Pencinta: Salam, beberapa minggu yang lalu, ustadz mengatakan memancing karena hobi/ untuk bersenang-senang haram hukumnya, karena tergolong menyakiti binatang. Sedangkan memancing ikan untuk kebutuhan hidup boleh. Memburu hewan seperti kupu-kupu dan lain-lain lalu dijadikan pernak-pernik yang nantinya dibisniskan untuk kebutuhan hidup/mencari nafkah boleh, kalo untuk hobi/senang-senang haram hukumnya. Demikian tukilan dari saya mas Bande. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

Seperti yang dikatakan Pencinta, memburu binatang apa saja yang karena kesenangan sebagai tujuan utamanya (sekalipun hasil buruannya juga akan dimakan atau dijual), maka haram hukumnya. Tapi kalau tujuan utamanya itu adalah untuk dimakan atau mencari nafkah dengan menjualnya (sekalipun tentu senang ketika mendapatkannya karena dapat rejeki), maka halal hukumnya. 

Hasil buruan yang buruannya haram, tetap saja halal dimakan atau dijual, kalau memang boleh dimakan dan boleh dijual (bukan seperti babi yang haram dimakan dan dijual untuk dimakan). Jadi, yang haram hanya pekerjaan berburunya. 

Ibra Hendoone: Mancing di air keruh ma yang haram. Kalo bening gak papa (tidak apa-apa). 

Sinar Agama: Pencinta, mungkin saya tidak menulis “karena tergolong menyakiti binatang”, walaupun hal itu bisa saja sebagai salah satu sebab keharaman. 

Sang Pencinta: SA: komen terakhir ustadz yang saya baca seperti itu. Afwan. 

Sinar Agama: Pencinta, kalau ada nukilannya mungkin bagus saya baca lagi, karena mungkin akan saya perbaiki. Tapi kalau pemahaman antum saja, misalnya karena ada orang bertanya tentang menyakiti binatang, maka jawaban ana itu tidak mesti beralasan menyakiti binatang. Misalnya ada yang tanya, apa hukumnya menyakiti binatang serangga yang ditangkap kemudian dibuat hiasan seperti gantungan kunci. Lalu saya jawab: Membunuh/memburu binatang halal yang untuk dimakan atau untuk mencari nafkah, hukumnya halal tapi kalau niatnya untuk kesenangan (hoby/refresing), maka haram. 

Sang Pencinta: Hoby/hobi ustadz, bukan boby. 

Sang Pencinta: Ok ustadz, nanti kalo ana temui dan baca, karena sepertinya ana belum bikin arsip tentang itu. 

Bande Husein Kalisatti: Syukron..semoga ustadz Sinar Agama tak bosan membimbing kami, serta ustadz, keluarga dan Sang Pencinta selalu dalam lindungan Allah swt. 

Sang Pencinta: Afwan komen di atas seharusnya; “yang saya baca”. mungkin juga saya salah karena mengingatnya pas ustadz komen masalah kupu-kupu itu tempo hari, afwan ustadz. 

Sinar Agama: Bande: Terima kasih doanya, semoga ia meliputi kita semua sekeluarga dan semua teman-teman facebook ini, amin. 

Sinar Agama: Pencinta: Biasanya saya memikirkan penulisan setiap satu hurufpun, terutama dalam fikih. Biasanya juga menghindari kata-kata yang multi tafsir. Karena itu, sepertinya antum menukilkan yang dipahami, bukan yang ditulis. Btw, kalau memang yang ditulis seperti itu, maka mungkin saya akan merubahnya. Jadi, kalau ada waktu, tolong dicarikan. Dan seingatku, kalau memang masalah kupu-kupu maka menyangkut yang dibuat hiasan itu yang mana hukumnya halal. 

Mata Jiwa: Berarti memelihara untuk kesenangan jauh berbeda dengan membunuh untuk kesenangan ya? Misalnya burung yang seharusnya terbang di alam bebas tanpa batas, karena untuk kesenangan dikurunglah ia dalam sangkar yang cuma sekian puluh senti ukurannya..?.. Maaf, ikutan nanya pak ustadz. 

Sinar Agama: Mata: Benar seperti itu. Memelihara itu tidak haram walau untuk kesenangan. Mungkin, karena alam ini dibuat untuk manusia. Tapi agama memberikan garis-garisnya, dimana kalau tujuan utama dari memburu/membunuh binatang itu untuk kesenangan dan hobi maka hukumnya haram. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Undian Tidak Mesti Judi dan Bahkan Bisa Keharusan



Seri tanya jawab Ivan Setiono dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:12 am


Ivan Setiono mengirim ke Sinar Agama: Minggu (24-2-2013), Assalamualaikum ustadz. Bagaimana hukumnya undian? 

Seperti kalo kita arisan atau doorprice seperti itu kan selalu diundi pake dadu atau pake gulungan kertas, apa boleh? Lalu hasil perolehannya apakah bisa dikatakan halal? 


Contohnya: 

Misalnya saya beli perangkat ektronik, kemudian setelah itu saya dapat undian dan setelah diundi saya dapat barang elektronik lagi apakah hasil undian itu halal dan kalo hasil undian tersebut saya jual lagi apa juga masih halal? Lalu apakah undian itu berarti sama dengan perjudian? Syukran ustadz. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

  1. Undian itu boleh bahkan wajib, yaitu di beberapa tempat yang tidak bisa dihindari, seperti arisan tersebut. Karena dengan undian, maka perebutan dan pertengkaran akan dapat dihindari.
  2. Saya tidak paham doorprice, karena itu saya tidak bisa komentar mengenainya, kalau bisa diterangkan dulu. Tapi kalau sudah dipahami dengan jawaban pertama itu, maka berarti sudah terjawab.
  3. Undian juga bisa dipakai ketika mau memberi hadiah kepada para siswa yang memiliki nilai rata-rata sembilan puluh sampai seratus misalnya.
  4. Dalam riwayat dan fatwa dikatakan bahwa undian atau qur’ah itu adalah mesti di tempat- tempat yang musykil, yakni yang sulit menentukan dengan penunjukan.
  5. Yang dihasilkan dari undian, jelas halal. Tapi kalau undiannya adalah judi, seperti memberikan sejumlah uang untuk mendapatkan undiannya yang menjanjikan kelipatan tertentu, maka hal ini judi dan haram.
  6. Hasil dari contoh yang antum berikan itu adalah halal.
  7. Tidak semua undian itu judi dan haram sebagaimana di atas. 

Ivan Setiono: ^_^. Terima kasih ustadz. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Marja’ dan Sejarahnya



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:10 am

Sang Pencinta: Minggu (24-2-2013), Salam, sekiranya ustadz bisa menjelaskan sejak kapan sistem ke-marja-an digunakan dalam AB? Apakah dimulai ketika Imam Mahdi ghaib? Terima kasih ustadz. 


— bersama Sinar Agama. 

Alia Yaman, Damai Slaluww, Muslimah Ad Deen dan 13 lainnya menyukai ini. 

Armeen Nurzam: Nyimak. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Kan sudah sering saya katakan bahwa mengikuti marja’ itu sudah sejak jaman Nabi saww karena tidak semua orang hidup dalam satu lingkungan (kota) dengan Nabi saww. 

Adam Syarif: Siapakah marja pertamakalinya selain nabi dan imam ma’sum? 

Sinar Agama: Adam: Nabi saww dan imam as itu bukan marja’ dalam peristilahan kita ini, tapi mereka as itu adalah sumber syariat itu sendiri. Nah, merujuk kepada yang dirujuk (marja’) untuk mengetahui syariat kepada orang-orang yang mengerti dari sumbernya itu banyak sekali dan tidak bisa dihitung. Karena semua shahabat senior adalah marja’ bagi yang yunior. Artinya, Nabi saww dan para imam makshum as, bukan hanya membolehkan umat mereka as, tapi bahkan menyuruh umat mereka as untuk bertanya dan meruju’/merujuk kepada yang tahu. Jadi, marja’ di jaman Nabi saww dan imam makshum as itu banyak sekali dan tidak bisa dihitung. 

Marja’-Marja’ itu, dalam berbagai hal. Ada yang hanya dalam satu masalah dan ada yang lebih atau bahkan yang semi lengkap. 


Menjadi marja’ di jaman itu, sangat mudah, karena mereka langsung bertanya kepada Nabi saww dan imam makshum as secara langsung untuk memahami berbagai hal yang kemudian akan dipraktekkan dirinya sendiri dan akan dijadikan rujukan oleh yunior-yuniornya. 

Akan tetapi menjadi marja’ di jaman sekarang, sudah tidak seperti dulu. Karena harus tahu arti ayat dari berbagai perbandingan, harus tahu hadits shahih dan tidak, harus tahu ini dan itu dimana sudah dibahas dan dikemas dalam satu ilmu yang bernama Ushulfiqih. Ushulfiqih inilah yang berusaha menjabarkan maksud Nabi saww dan maksud para imam makshum as ketika menjawab para shahabat-shahabat yang langsung bertanya kepada mereka as itu. 

Adam Syarif: Terima kasih ustadz. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Ada Apa Dengan Fikih ?



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:06 am


Sang Pencinta: 24-2-2013, Salam, intermezzo lagi ustadz, bagaimana menurut pandangan Antum minimnya sosialisasi ketaqlidan dan kemarjaan oleh katakanlah cendekiawan dan ulama, justru penekanannya lebih ke sejarah, ikhtilaf suni-syiah dan lain-lain, hingga yang terombang-ambing adalah kita-kita yang awam ini? Terima kasih ustadz. — bersama Sinar Agama. 

Armeen Nurzam: Nyimak,, 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

1- Apapun yang dilakukan dunia, sengaja atau tidak, terhadap pencegahan kebenaran, tidak akan berhasil selamanya. Dalam filsafat dikatakan bahwa “Gerak menekan tidak akan selamanya”. Maksud “Gerak Menekan”, adalah “Gerak yang menentang gerak natural.” Misalnya batu yang semestinya ke bawah, kalau dilempar ke atas, akan bersifat sebentar saja karena akan kembali ke jalur yang naturalnya. 

Kebenaran Islam juga seperti itu. Biar sejuta terorist menghadang, baik terorist nyawa seperti al-Qaidah dan semacamnya, atau terorist iman seperti liberalism dan ism-ism yang lainnya, tidak akan pernah bisa menghadangnya. Karena Allah mencipta alam ini atas dasar naturalisme kebenaran dan, karenanya, tidak akan pernah menerima dengan nyaman apa- apa yang menyimpang dari kebenaran tersebut. Ketidaknyamanan itulah yang dikatakan “Gerak Menekan/memaksa/melawan” dan, karenanya tidak akan bersifat selamanya. Betapa Agung Tuhan dengan firmanNya: 

Misalnya dalam QS: 6: 73: 

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالَْرْضَ بِالْحَقِّ

“Dan Ia -Tuhan- yang menciptakan langit dan bumi dengan Hak (benar, yang biasa juga dikatakan natural)....” 

Atau QS: 10: 6: 

إِنَّ فِي اخْتِلَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالَْرْضِ لَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَّقُونَ

“Sesungguhnya pada perubahan siang dan malam dan apa-apa yang Allah ciptakan di langit dan bumi, terdapat ayat/tanda bagi orang-orang yang bertaqwa (takut pada Allah).” 

Ayat dan tanda, tidak bisa diambil dari yang selalu berubah dalam arti tidak teratur. Kalau kita tidak dalam aturan tertentu, maka kita tidak dapat memastikan adanya orang lewat di 

jalanan yang berlumpur sekalipun ada bekas tapak kakinya. Kita tidak akan cari makanan kalau kita lapar kalau setiap kali makan, memiliki dampak yang berbeda-beda. Misalnya sekali makan, kepala pusing dan perut tetap lapar, atau sekali makan jadi ngantuk sementara perut tetap lapar, atau sekali makan badan jadi mengecil seperti cebol, atau sekali makan tulang- tulang badan kita menjadi terpatah-patah.....dan seterusnya. Memang, semua aturan itu tidak hanya memilki satu aturan seperti panas yang bisa keluar dari api, matahari dan lain-lainnya. Akan tetapi, setiap natural tersebut, sudah pasti melahirkan efek sesuai dengan naturalnya itu. Itulah mengapa bisa dijadikan dalil dan ayat/tanda bagi kebesaran Allah DAN KEMESTIAN TAAT PADANYA DAN PADA AGAMANYA ALIAS PADA FIKIHNYA JUGA. 

Atau QS: 38: 27: 

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالَْرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلً

“Dan tidaklah Kami mencipta langit dan bumi dan seisi keduanya secara batil (tidak benar, tidak teratur, acak, sia-sia).” 

2- Lagi pula tidak ada orang awam dalam Syi’ah sehubungan dengan fikih dan pengamalannya ini. Artinya, nanti tidak akan ada udzur dan pemaafan bagi yang meninggalkannya. Hal itu, karena dalil untuk beramal fikih ini sangat mudah diketahui setiap orang berakal dan apalagi ayat-ayat Qur'an dan hadits Nabi saww. 

Misalnya Akal berkata
  • a- Kita makhluk Tuhan.
  • b- Tuhan Maha Alim dan kita Maha Bodoh.
  • c- Tuhan yang berhak mengatur kita (fikih) dan Ia-pun telah menurunkan agamaNya.
  • d- Ia berhak karena Ia Maha Alim dan kita tidak berhak sedikitpun membuat aturan sendiri karena kita Maha Bodoh di HadapanNya.
  • e- Ia telah menurunkan agamaNya dan mewajibkan kita mengamalkannya.
  • f- Ketika kita tidak tahu agamaNya secara spesifik, maka kita harus merujuk kepada yang spesialis yang dikatakan mujtahid atau marja’ seperti merujuk kesehatan kepada dokter.
  • g- Yang merujuk pada dirinya sendiri atau orang lain yang tidak mujtahid, jelas melanggar akalnya sendiri sebelum ia melanggar TuhanNya yang menyuruh bertanya kepada yang tahu/alim.
  • h- Orang yang berlagak seperti spesialis dengan hanya belajar otodidak, sama sekali tidak akan bisa diterima akal seperti orang yang membuka praktek operasi jantung dengan hanya bermodal belajar dari buku-buku secara otodidak. Karena itu, ketika ia memberikan perintah-perintah kepada umat, sebelum ia melanggar Tuhannya, ia telah menginjak-injak akalnya sendiri. Begitu pula yang menerima perkataannya.
  • i- Yang wajib diikuti manusia adalah yang makshum dari kesalahan ilmu dan amal. Jadi, ilmunya harus lengkap dan benar 100%. Akan tetapi, ketika tidak ada yang seperti itu dan kalau Tuhan dan agamaNya tidak memberikan jalan keluar, maka sudah pasti agamaNya tidak bisa dikatakan sempurna. Karena itulah maka Tuhan sendiri, Nabi saww sendiri dan orang-orang makshum as sendiri, memerintahkan umat untuk mengikuti para wakil makshum as, baik wakil langsung atau dengan kriteria dimana yang kita bahas ini adalah wakil dengan kriteria yang ada di berbagai ayat dan riwayat, yaitu “yang tahu”, “yang alim”... dan seterusnya...dimana tentu saja akal berkata bahwa “yang tahu” itu bukan yang hanya belajar secara otodidak.
  • j- Tak ada rotan maka akarpun mesti digunakan sambil menunggu, mencari dan berdoa untuk mendapatkan rotan. Sebab kalau tidak menggunakan rotan, akan tenggelam ke dalam lautan yang dalam. Itulah mengapa akal dan agama mewajibkan kita untuk ikut spesialis dalam agama sebelum bertemu dengan makshum as. Karena tanpa spesialis agama, dunia keberagamaan akan hancur sebagaimana tanpa spesialis kesehatan yang akan menghancurkan kesehatan manusia. 
  • k- Beranjaknya manusia yang dikatakan tokoh agama dalam meninggalkan penablighan fikih ini kepada umat, bisa karena berbagai sebab. Bisa karena dirinya sendiri yang memiliki karakter seperti itu, yakni meremehkan fikih ini padahal fikih atau aturan ini jauh lebih agung dari ciptaan alam ini sendiri. Karena itu, ia akan membawa umat ini kepada karakternya sendiri dan bukan kepada karakter yang diperintahkanNya. Ada lagi karena ingin dicintai umat yang biasanya suka kepada yang ringan-ringan dan enak-enak serta tidak serius dalam beragama. Karena itu mereka memerangi fikih dan mewajibkan takiah, tapi dalam bermut’ah-liar (tanpa ijin wali bagi yang bukan janda), sangat lancar dan berlebihan. Ada lagi yang karena merasa lebih pandai dari para spesialis dan bahkan makshumin as, Nabi saww dan Tuhan sendiri, hingga berani menomer duakan atau menomer seribukan fikih dari hal-hal lain yang, terutama yang disukainya seperti politik dan semacamnya supaya mereka dapat menghampar pemerintahan kecilnya dengan berbagai kadarnya seperti yayasan, organisasi, ormas atau bahkan partai dan semacamnya. 
Semua berloncatan di mimbar Nabi saww dan memakai nama beliau saww, baik mimbar kayu yang seperti nyata, atau mimbar khayalan seperti para terorist-terorist itu (terorist nyawa dan iman). 

Hanya kepada Allah kita berlindung agar tetap kokoh mengikuti Tuhan melalui NabiNya saww, mengikuti Nabi saww melalui para washi beliau saww, mengikuti para washi/imam melalui para mujtahidin dan marja’ hf. amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Islam Bukan Obat Bagi Penyakit Akibat Menentang Islam


Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:03 am

Muhammad Dudi Hari Saputra mengirim ke Sinar Agama: Salam ustadz. Saat ini penyakit korupsi menyerang di setiap sendi masyarakat indonesia,, 

Menurut pandangan ustadz, bagaimana islam menawarkan solusinya dalam hal ini? Dan bagaimana jika dikaitkan dalam konteks keIndonesiaan?? Syukron wa afwan... 


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

Islam itu bukan alat menyulam untuk menambal, tapi ia alat untuk mendasari perubahan manusia, baik pribadi, keluarga, sosial dan politik. Karena itu, cara satu-satunya adalah kembali ke Islam secara utuh/kaafah dengan kesadaran dan tanpa paksa sedikitpun. 

Kalau dari awal sudah melarang hijab atau dari awal sudah mencampur lelaki dan perempuan di sekolah-sekolah, kalau dari awal tidak menghukum pacaran dan perzinaan karena hukum keIndonesiaan, lalu kalau sudah banyak zina meminta Islam mengobatinya tapi dalam konteks keIndonesiaan itu, maka sama dengan tidak minta diobati dan ditangani. 

Begitu pula dengan korupsi. Ketika dari awal hukum-hukum politiknya ala keIndonesiaan dimana juga hukum-hukumnya serta pengadilan-pengadilannya, maka meminta pandangan Islam mena- ngani akibat buruknya, sama dengan tidak minta ditangani. 

Sama dengan seorang murid yang berkata kepada gurunya: 

“Wahai guru, aku ini tidak shalat, bagaimana caranya supaya aku shalat tapi dalam keadaan tetap tidak shalat.” 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Saya sudah menduga jawaban ustadz akan seperti ini, saya sepakat islam adalah dasar dari perubahan itu, bukan sekedar alat atau metode, hanya saja bagaimana menjadikan islam sebagai dasar perubahan ustadz? Mengingat masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan enggan untuk menjadikan agama sebagai panglima? Afwan... 

Sinar Agama: M D: Memangnya di jaman Nabi saww tidak majemuk, hingga kata-kata barat yang disusupkan melalui Pluralisme itu dapat dijadikan pembendung perubahan mendasar yang diajarkan Tuhan melalui agamaNya itu???? Atau jangan-jangan Tuhan tidak tahu kalau dunia ini penuh kemajemukan hingga Ia hanya dan hanya menurunkan agamaNya dan menolak yang lainnya serta mewajibkan penghuni bumi ini menerima agamaNya secara utuh tanpa kecuali walau setengah ayatpun karena kalau menolak sebagiannya dikatakan kafir sebagaimana Ia jelaskan dalam Qur'anNya???? 

Atau Tuhan sia-sia mengajarkan dalam agamaNya bagaimana menangani kemajemukan itu, hingga kita menanganinya dengan konsep lain selain konsepNya? 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Iya ustadz, ana percaya itu, tapi bagaimana menghadapi kondisi masyarakat yang enggan menerima islam sebagai dasar berfikir dan bertindaknya? Setiap kali kebenaran islam yang disampaikan, masyarakat itu sudah pesimis dan antipati duluan dengan pernyataan seperti : jangan masukkan agama kedalam urusan politik, atau bagaimana dengan cara menerapkan islam yang benar di saat para ulama dan kalangan intelektual muslim di indonesia masih belum menemukan konsep yang sempurna tentang islam itu sendiri? Malahan banyak ulama Indonesia yang melakukan korupsi dan mendukung pemimpin yang despotik,, saya pun berkeinginan mewujudkan pondasi masyarakat indonesia seperti di Iran, tapi apakah mereka paham tentang syiah? Jika mereka paham, apakah otomatis menerima syiah? Dan jikapun menerima syiah, apakah mereka paham konsep wilayat al-faqih? Dan jikapun paham, apakah mereka menerimanya? Tentu perlu waktu yang panjang untuk menjelaskan itu semua, dan di saat proses menjelaskan yang panjang itulah, saya kemudian resah, bagaimana bisa menerapkan islam yang benar di tengah masyarakat yang belum paham dan siap ini? Mohon wejangannya ustadz. 

Sinar Agama: M.D: Tidak ada keharusan menjadi Syi’ah untuk kembali kepada Islam. Dari mana antum dapat hal ini? Dari satu sisi antum bertanya, tapi dari sisi yang lain antum memberikan jalan keluar, ini yang membuat antum bingung. 

Mestinya, ketika sudah dikatakan bahwa kembali muslim harus ke Islam supaya semua penyakit sosialnya bisa teratasi, maka soalan ke dua mestinya menanyakan apakah Islam punya cara dalam menangani berbagai perbedaan dan bahkan menghadapi minoritas agama lain? Bukan malah membuat jalan keluar sendiri yang antum buat. Itulah mengapa antum agak sulit kembali kepada yang gamblang (Islam), karena antum sendiri sudah mempunyai persepsi sendiri tentang islam itu. Sebenarnya hal ini bukan hanya antum, akan tetapi mungkin kebanyakan muslim Indonesia seperti itu. Yakni dari satu sisi mau mencari jalan dari Islam, tapi ia sendiri sudah mendefinisikan Islam itu sendiri dalam dirinya. Padahal, semestinya ia merombak dulu pengertian dirinya tentang Islamnya itu. 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Na’am ustadz, saya tidak berani untuk memberikan jalan keluar sebagaimana yang ustadz maksud, pertanyaan saya tak lebih hanya sekedar perjalanan intelektual dan sosial saya saja selama melihat kondisi masyarakat saat ini. Terima kasih ustadz untuk penjelasannya. Melanjutkan pernyataan ustadz bahwa ummat islam seharusnya kembali kepada islam dan kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan apakah Islam punya cara dalam menangani berbagai perbedaan dan bahkan menghadapi minoritas agama lain? Sebenarnya itu yang saya maksud dengan keIndonesiaan ustadz, yaitu sebuah bangsa yang plural dan beragam, karenanya saya bertanya bagaimana islam (yang gamblang) menghadapinya?? 

Sinar Agama: M.D: Sepertinya antum tetap dengan persepsi dan jalan keluar yang antum bayangkan itu hingga ianya terus mencari tempat penyisipan melalui berbagai lubang yang sepintas menengadah pada pemikiran tersebut untuk penyalurannya. Karena itu, pertanyaan antum yang sekarang ini kembali kepada pertanyaan antum yang pertama dan, jawabannya tetap sama, yaitu umat Islam harus kembali kepada agamanya dalam segala bidang. 

Mungkin antum tidak sengaja melakukan itu atau saya yang salah dalam menilai tulisan antum. Tapi yang antum pikirkan itu, memang merupakan pikiran ke-Indonesiaan yang sudah beratus tahun mengangker di bangsa kita tercinta ini. Yaitu dari awal berlomba-lomba meninggalkan Islam dan bahkan menghinakannya sebagai jalan hidup satu-satunya, tapi kalau mengalami berbagai penyakit sosial akibat dari hal tersebut, selalu para sok ulama dan cendikia, tampil ke depan dengan melantun-lantunkan ayat dan riwayat untuk memberikan obat penyakit tersebut sementara hati mereka anti terhadap Islam yang menyeluruh ini. Itulah yang dikatakan oleh para wali-wali Tuhan sebagai berputar di poros syethan dengan mencitrakan Islam. 

Mana ada Islam keIndonesiaan??!! Mana ada Islam keAraban??? Mana ada Islam keIranan??!! .............. dan seterusnya????!!!!! Kok bisa Tuhan menurunkan Islam, lalu dibelah-belah seperti kue tart demi untuk pencocokan kepada setiap brutalisme akhlak di depan Allah swt? 


Muhammad Dudi Hari Saputra: Sepakat ustadz,,, hanya bagaimana menerapkan islam yang gamblang itu di masyarakat Indoenesia ini ustadz,, itu saja,,, kalau kembali lagi jawabannya harus yang gamblang, iya saya terima itu,, tapi how (bagaimana)?? Sedangkan masyarakat Indonesia ini kalo denger agama itu sebagai dasar pemikiran dan tindakan, udah NO duluan,,, ini yang saya alami selama perkuliahan di Indonesia ustadz. 

Afwan ustadz jika sudah banyak nanya,, misalnya gini, dalam pemberantasan korupsi tentu islam punya jalan untuk mengatasinya, nah kemudian tantangannya bagaimana menerapkan nilai islam ke dalam negara Indonesia ini yang tidak menjadikan islam sebagai dasar konstitusinya? 

Sinar Agama: M.D: Ana rasa sudah sangat jelas jawaban alfakir di atas itu. Pertanyaan yang bertubi-tubi dan sama dari antum ini, kurasa, antum benar-benar kurang memahami tulisan antum sendiri dan begitu pula tulisanku. Coba disimak-simak lagi dan kosongkan dulu pikiran antum itu, maka i-Allah akan ketemu jawabanku itu. 

Saya tidak menyuruh antum menyepakati jawaban ana itu, tapi hanya sekedar meminta mengertinya, bukan menyepakatinya. Karena bagi ana, antum belum memahami jawaban ana itu dan bahkan ana mengira bahwa antum belum memahami dengan gamblang tulisan antum itu sendiri. Karena ana sudah mengatakan bahwa antum dalam bertanya, sambil juga membawa jalan keluar (metode) yang dibayangkan dimana hal seperti itulah yang antum inginkan dari ana, sehingga karena itulah maka jawaban ana itu tidak antum rasakan sama sekali. 

Coba antum baca-baca lagi dalam keadaan mengosongkan metode yang antum bayangkan itu dan kalau belum ketemu, coba baca lagi dan seterusnya. Baru nanti kalau sudah dapatkan jawabanku, antum teruskan membahasnya ke peringkat berikutnya, yakni sepakat atau tidak. Dan kalau sepakat, lalu apa kendalanya dan semacamnya. Kalau ana sudah tidak melihat lagi jawaban antum di sini, maka tolong diingatkan di dinding yang baru bahwa antum punya tulisan di sini. Karena di samping sudah ke bawah banget, mungkin juga ana sudah lupa seperti kemarin ana sudah lupa tentang hal ini. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Persaudaraan Yang Dituntut Agama




Seri tanya jawab Siti Munawaroh dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 7:56 am


Siti Munawaroh mengirim ke Sinar Agama: 17 Februari 2013 melalui BlackBerry Smartphones App 

Salam, hanya usulan saja ustadz, karena banyaknya saudara-saudara yang butuh bimbingan, apa tidak sebaiknya yang komentar-komentar tidak bermanfaat dan suka mengacau, antum delete saja. Karena banyak anggota baru yang daftar biar lebih efektif diskusi dan mimbar antum, kadang karena penasaran jadi membaca juga malah menghabiskan waktu. Maaf kalau kami kurang sabar seperti antum. 


Orlando Banderas: Kalau saya gak setuju di delete, karena justru pertanyaan sepele sekalipun dan kelihatan nyeleneh justru juga ditanyakan orang yang lama sekalipun di syiah cuma gengsi menanyakan dan sangat bermanfaat bagi yang baru di syiah. Afwan. 

Sang Pencinta: SM: Benar yang dikatakan mas OB. Di sisi lain teman-teman Wahabi berpotensi untuk mengambil pelajaran dan bertanya (walau dengan caci maki) pada ustadz tentang apa yang tidak diketahuinya/dilecehkan. Yang saya lihat beberapa teman Wahabi ekstrem sudah tobat. 

Irsavone Sabit: itulah yang dikatakan Ustadz Sinar Agama, bahwa agama ini sudah sangat sempurna dan mengatur segala hal termasuk diskusi dengan wahabi ekstrim sampai pada orang kafir, dari orang pintar sampai orang yang paling dungu sekalipun, tetapi masih banyak juga di kalangan orang syiah yang cerdas tidak mau terlibat dalam diskusi maupun dialog bahkan terkesan membiarkan fitnah yang merajalela dari kalangan orang yang tidak tahu dan faham benar tentang syiah, paling tidak untuk orang yang awam dapat mengambil pelajaran dari dialog tersebut, contohnya saya..he he he. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih usulannya. Seperti yang dikatakan oleh saudara- saudara lainnya, bukan hanya aku tidak ingin mendelete, tapi bahkan takut padaNya kalau mau mendeletenya. Kecuali yang keterlaluan dan sangat mengejek terus tanpa mau diskusi, seperti yang menamakan diri Cabul itu. Sebenarnya, kalau dia tidak mengulang-ulang yang dia tanyakan dan tidak selalu mengejek, misalnya dia debat dengan kita walau misalnya dengan sedikit keras hati dan kata-kata yang kurang enak sekalipun, maka sangat mungkin saya tidak mendeletenya. Tapi karena sebaliknya, maka setelah mungkin setahun baru saja aku mendeletenya. 

Semua itu bukan karena aku sabar. Aku juga kadang sampai sakit hati dan kepala. Tapi aku yang hina ini, sangat takut pada Allah untuk tidak membantu sesama saudara yang nakal sekalipun. Ketahuilah, akhirat itu sangat berat dan bukan main-main. Belum tentu yang kita kira kebaikan yang kita miliki ini benar-benar kebaikan. Untuk diterimanya sebuah kebaikan, sangat memerlukan syarat yang sangat ketat, seperti harus dengan ilmu, harus dengan ikhlash yang luar biasa yang satu atompun tidak ada unsur riya’nya. Sementara kalau dosa, maka tidak perlu syarat-syarat tersebut. 

Jadi, itulah yang membuatku lebih baik memilih diejek dari pada tidak membantu atau lebih baik memilih diejek dari pada tidak menyampaikan yang kuyakini benar secara profesional. Ketika alfakir/aku membahas mega merah, sungguh terasa sesak dadaku, karena aku tidak ingin berbeda dengan siapapun dan aku tidak ingin ibadah siapapun punya masalah. Tapi kalau tidak kusampaikan (walau tidak diambil) maka tidak ada perbandingan di masyarakat hingga bisa mencabut mawas diri dan kehati-hatian dimana kalau nanti di hadapan Tuhan punya masalah, akhirnya yang tahu juga yang akan disalahkan. Karena itulah maka dengan hati tak suka dan tak enak hati, tetap saja kusampaikan. Tentu saja, jalan kita tidak boleh memaksa siapapun. Tugas kita hanya diskusi terbuka dan dengan kalimat-kalimat santun serta dalil yang gamblang alias mudah dipahami. 

Jadi, yang mengejek-ejek itu bukan hanya wahabi, tapi yang ala wahabi juga seperti itu sekalipun mungkin secara lahiriah sudah Syi’ah. 


Kalau kita mengaplikasikan yang namanya persaudaraan saja, maka dunia ini akan jadi indah karena yang pahitnyapun akan menjadi manis di hadapanNya. Berbeda boleh saja, tapi kemesraan harus tetap terjaga. Begitu pula saling doa dan memintakan ampunan padaNya di siang atau malam hari, dalam ramai atau dalam sepi. 

Kalau cinta hanya pada orang yang sama dengan diri kita, maka ia bukan cinta orang lain/ mukminin, tapi cinta diri sendiri. Kalau cinta hanya pada orang yang sama dengan kita, maka ia bukan cinta yang diwajibkan agama. Kalau cinta hanya pada orang yang sama dengan kita, maka ia bagian dunia yang fana dan bukan bagian akhirat yang baqaa’. 

Terakhir, hati ini terlalu sakit dengan batasan 5000 pertemanan ini. Sungguh hati ini dan dekapan hinaku ini, ingin sekali menyapa dan menjalin cinta dengan semua, tak perduli dari suku bangsa apa, apalagi hanya dari yayasan mana, tak perduli ia sama denganku atau jauh berbeda nun jauh di sana. 

Ya Allah, hanya Engkau yang tahu jujur atau dustaku, kalau aku jujur, maka berikan rahmat cintaMu padaku dan pada teman-temanku semua dan, kalau aku dusta, maka hal itu hanya dari kebodohanku belaka dan, karena itu maka ampunilah aku dan teman-temanku semua, amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 28 Desember 2018

Kitabullah dan Ahlulbaitku atau Kitabullah dan Sunnahku ?



Seri tanya jawab Sufyan Hossein dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 7:53 am



Sufyan Hossein: 17 Februari 2013, Bismillaahirrahmanirrahim.... Afwan ustadz mau bertanya: bagaimana tanggapan ustadz tentang hadits-hadits di bawah ini.. Al-Hakim meriwayatkan di dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda pada Haji Wada’: 


“Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh (telaga di surga).” 

Namun ada pula hadits ini : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda: 

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Tidak akan bercerai berai sehingga keduanya menghantarku ke telaga (Surga).” 


(Dishahihkan oleh Al- Albani dalam kitab Shahihul Jami). 

Manakah yang benar dalam hal ini, SUNNAH Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam ATAU Ahlul Bayt Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam?? Dan ada lagi hadits --> Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam: 

“Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.” 

(Disahihkan Al Hakim, Ibnu Hajar dan Ath Thabrani). 

Namun ada juga perkataan dari Imam Malik bin Anas --> Imam Malik bin Anas rahimahullaahu ta’ala berkata: 

“As-Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ibarat bahtera (perahu) Nabi Nuh ‘alaihissalam, siapa saja yang menaiki (mengikutinya) maka ia akan selamat dan siapa saja yang menyelisihinya maka ia akan binasa.” 

(Diriwayatkan oleh al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, IV/124, dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, VII/336). 

MANAKAH YANG BENAR DALAM HAL INI -> SUNNAH NABI ATAU AHLUL BAYT NABI?? Jazakumullah khairan — bersama Sinar Agama dan Abu Fahd NegaraTauhid. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

1- Ada dua hadits yang dihandalkan masing-masingnya oleh Syi’ah dan Sunni. 
  • Pertama, hadits tentang peninggalan Nabi saww untuk umat yang berupa dua hal yang berat, yaitu Qur'an dan Ahlulbait as (bukan keturunan seperti yang antum katakan, tapi Ahlulbait yang makshum, yaitu 12 imam as dan hdh Faathimah as) dimana pesan ini yang dijadikan handalan Syi’ah. 
  • Ke dua, tentang peninggalan Nabi saww untuk umat yang berupa dua hal yang berat, yaitu Qur'an dan Sunnah Nabi saww. 
2- Di Sunni dan di Syi’ah, jelas yang menjadi pedoman agama itu adalah Qur'an dan hadits. Akan tetapi, Syi’ah yang mengikuti Ahlulbait as itu, karena Qur'an itu harus dijelaskan oleh makshum yang mewarisi seluruh ilmunya dari Nabi saww secara makshum dan juga tidak ada yang lebih tahu hadits Nabi saww kecuali pewaris ilmu beliau saww yang juga makshum. Jadi, pengikut Ahlulbait as itu, mengikuti Ahlulabait as karena perintah Allah dalam Qur'an dan karena perintah Nabi saww dalam hadits. 

3- Dengan penjelasan di atas, maka pengikut Ahlulbait as sudah tentu mengikuti Hadits atau Sunnah Nabi saww seperti Syi’ah, tapi yang mengikuti hadits Nabi saww belum tentu mengikuti Ahlulbait yang makshum as. Hal itu karena mengikuti Ahlulbait as itu di samping karena Ahlulbait yang makshum itu lebih tahu tentang Qur'an dan Sunnah Nabi saww, juga karena Nabi saww sendiri yang memerintahkan seperti di hadits di atas itu.

4- Dilihat dari isi dua bentuk hadits di atas itu, sudah tentu Ahlulbait as tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi saww hingga membuat kedua hadits tersebut layak dipertentangkan. Hal itu karena Ahlulbait as itu, makshum dan lebih tahu tentang Qut an dan Sunnah Nabi saww hingga karena itu, maka mengikuti Ahlulbait as sudah tentu mengikuti Qur'an dan Sunnah Nabi saww. Sedang yang mengikuti Qur'an dan Sunnah Nabi saww sendiri, sangat-sangat belum tentu mengikuti keduanya karena jelas-jelas belum tentu memahami dengan benar keduanya lantaran tidak makshum dan tidak mewarisi ilmu Nabi saww secara makshum. 

5- Tentang dalil Qur'an dan hadits Sunni tentang kemakshuman Ahlulbait as itu, sudah sering saya jelaskan di facebook ini hingga di sini saya tidak akan mengulangnya dan silahkan merujuk ke catatan-catatan tentang Ahlulbait as atau tentang imamah.

6- Kalaulah ada orang mau mempertentangkan dua jenis hadits di atas itu, dan ia ingin mengambil salah satunya saja, maka sudah tentu dia tidak boleh mengambil yang memesankan atau mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww. Hal itu bukan karena Sunnah Nabi saww itu tidak bisa dijadikan dasar agama, karena Sunnah Nabi saww itu pada esensi dan hakikatnya merupakan dasar Islam ke dua setelah Qur'an. 

Akan tetapi, berhubung banyaknya hadits dan perbedaan dan bahkan pertentangannya, di samping banyaknya hadits-hadits yang sengaja disusupkan sejarah, maka sudah tentu Sunnah Nabi saww tersebut perlu difilter dengan Qur'an secara hakiki. Dan pemfilteran atau pentesteran atau pengukuran atau penilaian hadits dengan Qur'an itu, hanya akan terjamin kalau dilakukan oleh yang mengerti Qur'an secara lahir dan batin secara makshum yang kemakshumannya dijamin Qur'an itu sendiri. 


Karena itulah, maka mengikuti Sunnah Nabi saww dengan menghilangkan atau meninggalkan Ahlulbait yang makshum as, maka hal inilah yang saya maksudkan tidak bisa dilakukan, yakni dengan kalimat “tidak boleh mengambil yang memesankan atau mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww.” 

Yakni hal itu tidak boleh dilakukan kalau bermaksud harus memilih salah satu dari kedua hadits di atas yang berarti pengikut Sunnah Nabi saww harus meninggalkan Ahlulbait Nabi saww. 

Di samping itu, perbandingan haditsnya juga jauh sekali berbeda. Karena hadits yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum, jauh melebihi mutawatir sementara yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww memiliki sanad yang sangat lemah dan mursal yang, jangankan di Bukhari atau Muslim, di kitab hadits shahih yang enam-pun riwayat tersebut tidak diriwayatkan sebagaimana nanti akan maklum. 

7- Perbandingan ke dua hadits di atas: 
  • 7-a- Hadits Nabi saww yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum as kepada umat di kitab-kitab Sunni, diantaranya sebagai berikut:
    • 7-a-1- Diriwayatkan dari berbagai kitab seperti: Shahih Muslim, 2/362, 15/179-180 (yang disyarahi Nawawi); Turmudzi, 5/328, hadits ke: 3874 dan 5/329 hadits ke: 3876; Musnad Ahmad bin Hanbal, 5/182 dan 189; Mustadraku al-Haakim, 3/148; Kanzu al-”ummaal menukil dari Turmudzi dan Nasaa-ii dari Jabir, 1/44; Kanzu al- ’Ummaal, 2/153 (1/154), 1/158 hadits ke: 899, 943, 944, 945, 946, 947, 950, 951, 952, 953, 958, 1651, 1658 dan 5/91 hadits ke: 255 dan 356; Ibnu Atsiir dalam Jaami’u al-Ushuul, 1/187 hadits ke: 65 dan 66; Thabraanii dalam al-Mu’jamu al- Kabiir, 137 dan dalam al-Mu’jamu al-Shaghiir, 1/135; al-Fathu al-Kabiir, 1/451, 1/503, 3/385; Usdu al-Ghaabah, 2/12; Dzakhaairu al-’Uqbaa, 16; al-Shawaaiqu al- Muhriqah, 147 dan 226; Majma’u al-Zawaahid, 9/162; ‘Abaqaatu al-Anwaar, 1/16, 31, 44, ,74 ,86 ,92 ,94 ,97 ,98 ,99 ,114,115 ,120 ,124 ,127 ,137 ,139 ,140 ,141 ,148 ,154, 171 ,176 ,182 ,190 ,198 ,201 ,204 ,205 ,206 ,217 ,220 ,227 ,233 ,236 ,237 ,239 ,243 ,253 ,254 ,268 ,270 ,272 ,279; al-Nihaayah Ibnu Atsiir, 1/155; Tafsiir al- Durru al-Mantsuur, 2/60, 6/7 dan 306; Tafsiir Ibnu Atsiir, 4/113; Tafsir Khaazin, 1/4, 6/102, 7/6; .....dan seambrek lagi yang lainnya. 
    • 7-a-2- Perawinya mencapai 35 shahabat dimana hal ini menunjukkan tiga kali lipat lebih dari Mutawaatir yang hanya mencukupkan 9 orang shahabat atau bahkan kurang dari itu di sebagian ulama Sunni seperti Ibnu Taimiyyah sebagaimana pernah saya jelaskan sebelumnya. Perawi tersebut adalah sebagai berikut: 
  • 7-b- Sedang hadits yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww, hanya di beberapa tempat yang jelas tidak bisa dibandingkan dengan kitab-kitab Sunni di atas. 
    • 7-b-1- Kitab-kitab yang dimaksudkan adalah: al-Muwaththa’, 2/899; Taariikh/siirah Ibnu Hisyaam, 4/251; al-Ilmaa’ karya al-Qaadhii, 9; al-Faqiih karya Khathiib Baghdaadi, 1/94.
    • 7-b-2- Sedang perawinya (yang sementara ini saya jangkau) hanya dua orang: Abu Hurairah dan Anas. 
Kalaupun Abu Hurairah mau ditsiqahkan sekalipun pernah korupsi di jaman Umar sewaktu diangkat Umar untuk jadi gubernur di Bahrain, lalu karena ia korupsi maka selain dipecat oleh Umar juga dihukum cambuk, maka tetap saja tidak bisa dibanding dengan 35 shahabat di atas. Terlebih riwayat-riwayat ini mursal dan dha’if/lemah sebagaimana disepakati ulama tentang hal tersebut. 

Kesimpulan

Hadits yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum as tidak bisa dibanding dengan hadits yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww dari sisi kitab-kitab haditsnya dan perawi-perawinya. Tidak bisa dibanding karena hadits yang pertama di samping shahih dan mutawatir juga lebih dari tiga lipat mutawatir, sementara hadits ke dua, bukan hanya diriwayatkan oleh dua orang, tapi juga bahkan mursal dan dha’iif. 

Sebagai pedoman muslim, ketika menghadapi dua riwayat seperti itu, maka jelas kewajibannya adalah mengikuti hadits pertama dan meninggalkan hadits ke dua. Ini, sekali lagi, kalau mau mempertentangkan maknanya dari kedua hadits tersebut. Tapi kalau mau dipadukan seperti yang sudah dijelaskan di atas itu, maka jelas satu sama lain bukan hanya tidak bertentangan, tapi bahkan saling mendukung. Karena Ahlulbait as yang makshum itulah yang tahu Qur'an dan Hadits secara seratus persen lengkap dan benar. Karena itu, mengikuti Ahlulbait yang makshum as, sama dengan mengikuti Qur'an dan Hadits. Persis ketika shahabat menaati Nabi saww, maka sama dengan menaati Qur'an dan Allah. Karena semua yang diperintahkan dan dijelaskan Nabi saww itu adalah seratus persen lengkap dan benar dari Qur'an dan Allah. Wassalam. 

Sufyan Hossein: Teringat hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wa sallam: 

“Pada hari penghisaban nanti sekelompok sahabatku akan datang menemuiku di telaga Al-Haudh, dan mereka itu dilarang untuk meminum air darinya. Aku kelak akan berkata: ‘Ya, Rabbi! Mereka ini adalah para sahabatku’. Kemudian Allah akan berkata: ‘Engkau tidak tahu apa yang mereka telah lakukan sepeninggalmu. Mereka telah meninggalkan ajaranmu.” (HR Muslim volume 15, halaman 53—54) 

Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad warham Imamal Khumeini wahfadh qaidana ‘Ali Khamene’i waj’alna min ansharil Hujjahal Mahdi afs. Jazakallah khayran atas pencerahannya ustadz.. 

Wassalam. 

Nur Cahaya: Ustadz Sinar Agama 

Mohon penjelasannya, apakah yang dimaksud ahlulbait, baitullah, darimana landasan perintah mengikuti hadits selain Quran dari hadits-hadits keturunan keluarga, apakah yang dimaksud sunnah nabi? Apakah benar nabi diperintah membuat sunnahnya dari dirinya sendiri? Mohon maaf jika kurang berkenan. Senang sekali jika bisa bertukar pemahaman tentang hal tersebut. Salam. 

Sinar Agama: Nur: Ketika Tuhan memerintahkan taat padaNya dan pada Rasul saww, QS: 3: 32, maka jelas bahwa kita wajib menaati semua perintahnya. Begitu pula ketika dikatakan bahwa beliau saww adalah contoh yang baik, QS: 33: 21. 

Begitu pula ketika Tuhan mengatakan bahwa apapun yang beliau saww katakan (tentu saja termasuk lakukan), adalah dari wahyu, QS: 53: 4. 

Karena itu, apapun yang dikatakan Nabi saww dan yang dilakukannya bahkan yang didiamkannya, maka semuanya itu adalah wajib ditaati dan dicontohi. Inilah salah satu dasar dari kewajiban mengikuti hadits di sisi Qur'an. 

Tentu saja banyak ayat-ayat lain seperti, QS: 2: 151, yang mengatakan bahwa Nabi saww diutus itu untuk mengajari Qur'an dan hikmah. Jadi, semua perkataan beliau saww dan perbuatannya adalah penjelasan dari Qur'an, karena beliau saww diutus untuk itu dan, sudah pasti benar semuanya alias makshum. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 24 Desember 2018

Tentang Keturunan




Seri pertanyaan inbox-page Fatimah Adz Zahra Muhammad dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, March 31, 2013 at 2:35 pm


Fatimah Adz Zahra Muhammad: 15-2-2013, 

Salam ustadz.. Apa kabarnya ustadz? Afwan saya ingin bertanya lagi ustadz, bagaimana tanggapan ustadz tentang hadist di bawah ini.. 

Rasulullah Saaw berkata; 

“Cintailah keturunanku yang ber-ilmu/Alim karena Allah SWT, dan cintailah keturunanku yang biasa- biasa saja/bukan orang Alim, karena aku.” 


Bukankah Allah SWT dan Rasulullah adalah satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan? 

Tapi belajarlah tentang syiah yang sebenar-benarnya, dari orang yang punya kapabilitas tentang Ahlulbayt, belajarlah tentang apa arti “Itrah, Qurba, dzurriyah” dengan cermat, harus bagaimanakah seharusnya memperlakukan mereka... 

*Ayatulllah Sayyid ‘Adil Alawi berkata, “Dan juga menunjukkan keharusan menghormati dzurriyah adalah apa yang telah disabdakan oleh beliau (Saaw); “Cintailah dzurriyahku ‘yang shaleh karena Allah SWT dan yang tidak shaleh karena aku..” dan juga ayat Al-Qur’an surah Al-Istifa’...” 

(Menukil dari Sayyid Asyraf Mir Damad, Fadhail as-Saadaat, 49) 

*Muhaddist agung Syekh Abbas al-Qummi (penghimpun kitab do’a Mafatih al-Jinan) ra, beliau sangat besar penghormatannya terhadap para ahli ilmu, khususnya dari kalangan para sayyid, putra-putra Rasulullah Saaw. Dan jika di sebuah majelis ada seorang sayyid, beliau tidak men- dahuluinya dan tidak mengulurkan kakinya ke arahnya. 

Beberapa saat sebelum wafatnya, orang-orang membawakan jus apel untuk Syekh Abbas al- Qummi, dan secara kebetulan dirumahnya ada seorang anak kecil dari Saadah/sayyid, maka al- Muhaddist (al-Qummi) berkata, ‘Berikan kepadanya agar ia meminumnya terlebih dulu, setelah itu sisanya berikan kepadaku’. 

Beliau melakukan itu karena demi mencari berkah. Setelah anak kecil itu meminumnya, barulah al-Qummi meminum sisanya untuk dijadikan obat kesembuhan. 

*Wasiat Ayatullah al-Udzma Sayyid al-Mar’asyi an Najafi ra. 

Sayyid ‘Adil melanjutkan, “Termasuk wasiat guru besar kami Ayatullah Sayyid al-Mar’asyi ra, ‘Hendaknya kamu sekalian menjaga dzurriyah kenabian, berbakti kepada hak mereka, membela mereka, menolong mereka dengan tangan dan lisan, sebab mereka adalah titipan maqam kenabian di tengah-tengah umat manusia. Maka berhati-hatilah kamu dari menzalimi mereka, membenci mereka, buruk perilaku terhadap mereka, menyakiti mereka, acuh terhadap mereka, 

menghinakan mereka dan tidak menjalankan hak mereka. Hal itu semua dapat menyebabkan dicabut taufik Allah. Dan jika kamu (semoga engkau Allah darinya) tidak mencintai mereka dengan hatimu, maka engkau adalah orang yang sakit hatinya, bercepat-cepatlah untuk berobat kepada dokter jiwa (ulama shalihin). Apakah ada keraguan tentang keutamaan dan keagungan mereka serta ketinggian derajat dan martabat mereka?! Jauhlah... Jauhlah, tiada keraguan lagi kecuali orang yang buta mata hatinya dan kaku hatinya...” 

(Qabasaat Min Hayati Sayyidina al Ustadz, 130) 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Yang bisa saya tangkap dengan hati yang penuh hijab ini, dari pelajaran-pelajaran dan kehidupan keilmuan maka, KURANG LEBIH: 

Pesan Nabi saww tentang keluarga beliau saww itu, yaitu kewajiban menyintai, menolong dan seterusnya, adalah Ahlulbait yang makshum as. Alasannya di tafsir-tafsir Qur'an tentang cinta Qurba Nabi saww itu adalah karena Nabi saww tidak minta upah apapun dari umatnya untuk dakwah beliau saww itu. Nabi saww sama sekali tidak memiliki pamrih apapun terhadap dakwah beliau saww itu dan Tuhan juga seperti itu. Jadi, kalau ada permintaan kewajiban menyintai keluarga beliau saww adalah yang makshumin as. Karena hal itu bukan demi Nabi saww tapi demi umat beliau saww sendiri. Beberapa hari yang lalu di inbox saya pernah membahas hal yang mirip dimana membawakan ayat-ayat itu bagus di sini. Ini kunukilkan sebagiannya dari diskusi tersebut: 

Antum tidak bisa menafsir ayat dengan kehendak sendiri dan apalagi dengan perasaan. Allah banyak menjelaskan ayat itu di ayat-ayat lainnya, seperti: 

قل ما سألتكم من أجر فهو لكم إن أجري إلاّ على الله

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang kuminta dari kalian dari upah itu, adalah untuk diri kalian sendiri dan sesungguhnya upahku hanya di Allah.” 

قل ما أسألكم عليه من أجر إلاّ من شاء أن يتخذ إلى ربّه سبيلا

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang aku minta dari kalian dari upah itu, tidak lain untuk orang-orang yang hendak mencari jalan menuju Tuhannya.” 

قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang aku tidak minta upah apapun upah dari kalian darinya -tabligh- dan aku bukanlah yang memaksa.” 

Jadi, cinta yang diwajibkan itu adalah cinta yang teriring ketaatan dan sebagainya dan, yang tidak berupa keuntungan untuk Nabi saww di dunia ini, karena Nabi saww hanya akan mendapat dari sisi Allah. Oleh karena itulah maka keuntungan apa yang kalau menyintai keluarga Nabi saww itu yang bisa didapat? Jawabannya, adalah jalan menuju Allah. Nah, jalan menuju Allah ini hanya akan didapatkan secara pasti dari keluarga makshum Nabi saww. 

2. Sedang cinta kepada yang lain-lainnya dari para sayyid atau keturunan Abdulmuthallib ra atau keturunan Nabi saww secara khusus, yang bisa saya raba, sama dengan pesan-pesan Nabi saww kepada saling cinta dan tolong sesama muslimin. Sebegitu ditekankan terhadap saling tolong ini hingga siapapun yang tidak mau menolong saudara seimannya yang minta tolong dan dia mampu menolong, maka dosanya adalah dosa besar dan taubatnya tidak diterima Allah kecuali mencari orang tersebut dan menolongnya atau meminta ridhanya. 

Akan tetapi, kalau dalam setiap hal, ada saja gradasinya, seperti shalat berjama’ah dimana kalau calon imam shalat itu sama-sama adil dan alim, baik dari kalangan sayyid atau bukan, maka diutamakan (bukan diwajibkan) yang sayyid untuk dijadikan imam shalat, dan kalau sayyidnya lebih dari satu, maka diutamakan dipilih yang ganteng/tampan, maka dalam penghormatan ini juga seperti itu. Jadi, kalau mau menawarkan air kepada dua orang dimana yang satunya sayyid dan yang lainnya bukan, maka diutamakan (bukan diwajibkan) untuk menawarkan ke sayyid terlebih dahulu. 

Satu lagi yang bisa ana raba dari perilaku para ulama, adalah bahwa mereka mengambil jalan ihtiyath/hati-hati selama tidak bertentangan dengan hukum lainnya. Artinya mendahulukan sayyid karena tidak ada salahnya dan demi mengingat Nabi saww. Jadi, sekalipun anggap tidak dianjurkanpun, maka tetap tidak keluar dari garis agama. Tapi kalau berlawanan dengan hal lainnya, misalnya yang bukan sayyid lebih tua, lebih alim, lebih taqwa, ....maka mungkin mereka tidak akan melakukan kehati-hatian itu. 

Dari hukum shalat jama’ah itu sudah dapat ditangkap, seperti di fatwa imam Khumaini ra di Tahriiru al-Washiilah, masalah ke: 8 dari bab: syarat-syarat imam shalat (saya ringkas intinya saja): 

{{Kalau imamnya lebih dari satu, maka kalau saling mendahului, maka hati-hatinya tidak bermakmum kepada semuanya. Kalau saling mendahulukan/menyilahkan yang lainnya, maka ambil yang didahulukan makmumnya. Kalau makmumnya berbeda pendapat, maka diutamakan yang mujtahid yang adil. Kalau tidak ada atau juga sama-sama mujtahid, maka ambil yang paling bagus bacaannya. Dan kalau diantara mujtahid itu sama-sama bagus bacaannya, maka ambil yang paling alim dalam masalah shalat; kalau sama juga, maka ambil yang lebih tua. 

Imam yang biasa mengimami di satu masjid tertentu, maka ia di mesjid itu lebih utama dari yang lainnya, sekalipun fadhilahnya lebih rendah dari yang lain dan seyogyanya ia mendahulukan terlebih dahulu orang-orang yang lebih afdhal darinya sebelum maju mengimami (misalnya dia bukan mujtahid lalu kebetulan ada mujtahid yang mau bermakmum, maka ia seyogyanya menawarkan dulu kepada tamu tersebut). 

Begitu pula, yang memiliki rumah, lebih utama untuk menjadi imam shalat dari tamu-tamunya (tentu saja kalau memenuhi syarat jadi imam shalat, seperti lelaki, berakal, adil atau tidak melakukan dosa besar dan kecil...dan seterusnya). 

Dan sayyid, lebih utama dari yang lainnya kalau dalam fadhilah-fadhilah atau kelebihan- kelebihan di atas itu sama dengan yang bukan sayyid. 

Semua yang disebutkan di atas itu, adalah keutamaan saja dan bukan kewajiban.}} 

Dari fatwa di atas dapat dipahami bahwa keutamaan itu setelah melewati persyaratan imam shalat yang wajib dipenuhi. Jadi, keturunan atau bukan, harus lolos dulu dari syarat wajib ini. Baru setelah 

itu kalau yang keturunan ini mau diafdhalkan, harus melewati dulu fadhilah-fadhilah yang lain seperti mujtahid, lebih alim dan lebih fashih/fasih di antara sesama mujtahid itu, lalu lebih alim tentang shalat (lebih a’lam tentang shalat di antara sesama mujtahid itu), lebih tua diantara sesama mujtahid itu. Lalu yang biasa menjadi imam shalat di masjid, lalu pemilik rumah dan setelah itu baru sampai ke keturunan kalau ia sama dengan yang lainnya dari sisi fadhilah-fadhilah tersebut. 

Catatan

1- Masih banyak lagi bahasan yang bisa dibahas dalam hal ini.

2- Tentang perakitan tiga ayat untuk mengerti siapa Qurba yang wajib dicintai dalam  Qur'an itu, diambil dari tafsir Amtsaal, karya ayatullah Makaarim Syiiraazii hf.

3- Tentang sayyid Adil hf itu kita hormati pendapatnya, sekalipun kita mungkin agak beda kalau beliau hf memaksudkan pengkhususan hal-hal cinta, pertolongan ....dan seterusnya...itu kepada keturunan dan tidak kepada yang lainnya. Kalau semacam penggradasian, asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai lainnya, maka hal itu jelas wajar-wajar saja dan bisa dikatakan lebih ahwath/hati-hati. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ