Senin, 20 Agustus 2018

Lensa (Bgn 11): Sikap Diam Imam Ali as



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:06



Dari sejarah dan riwayat, kita tahu setidaknya Sayyidah Fathimah as dianiaya beberapa kali. Misalnya, ditonjok Umar hingga memar mukanya, yaitu dikala beliau as kembali dari rumah Abu Bakar dan telah berhasil mendapat surat tanah Fadak yang dirampas oleh Abu Bakar sebelumnya. Yakni, ketika beliau as pulang dari rumah Abu Bakar itu, di tengah jalan, bertemu dengan Umar. 

Umar berkata: “Dari mana?” Dijawab: “Dari rumah Abu Bakar”. Ketika Umar melihat surat ditangannya, maka ia mengerti bahwa sudah pasti surat itu adalah surat pelimpahan tanah Fadak, karena dalam perampasannya, memang dilakukannya berdua dengan Abu Bakar sementara Abu Bakar sering menyesali dan menangis dengan keputusannya membuat kudeta kekhilafaan dan merampas tanah Fadak itu. Maka karuan saja Umar langsung merampas surat tersebut sambil memukul beliau as yang lemah itu seraya merobek habis surat tersebut. 


Ketika siti Fathimah as sampai di rumah yang sembari menangis, melihat imam Ali as sedang duduk di rumah. Beliau as mengatakan kepada imam Ali as: “Ya Ali, andaikata kamu tahu apa yang dilakukan orang kepadaku, maka kamu tidak akan duduk tenang seperti ini”. Imam Ali as menjawab: “Aku tidak akan keluar selangkahpun dari yang telah digariskan Rasulullah saww”. 

Misalnya, ketika rumah Sayyidah Fathimah as dibakar oleh Abu Bakar yang mengutus pasukan yang dipimpin Umar. Dibakar karena ingin memaksa imam Ali as keluar dan berbaiat kepadanya (Abu Bakar). Kala itu, rumah Sayyidah dibakar pintunya, dan ketika pintu dan palangnya (kunci dari dalam pada masa itu) sudah terbakar maka ditendang dari luar sementara beliau as ada di balik pintu yang selalu berteriak “Apa yang kalian lakukan, tidak takutkah kepada Allah, Nabi saww baru saja meninggalkan kalian, aku adalah putri Muhammad saww nabi kalian, dan seterusnya”. Tapi semua kata-kata itu tidak membuat mereka terhanyut, bahkan mereka menendang pintu itu dan mengenai beliau as yang sedang hamil, hingga beliau as tersungkur ke bumi dengan rusuk patah dan kandungan gugur. 

Oh...tak sanggup rasanya kuteruskan tulisan ini, tapi ada daya...harus kutulis pula, harus kutulis....ya ...Zahra’....ya.... Husain....maafkan ...maafkan....bukan maksud hati mengurai kembali masa-masa pahit dan penghinaan terhadap antum semua, tapi karena antum sendiri yang memerintahkan kami semua untuk menceritakan musibah-musibah antum, maka maafkan kelancangan jemari kami hingga melukis robohnya, gugurnya kandungannya...dan seterusnya. 

Masih banyak pengenaiayaan yang beliau as rasakan, tapi kita cukupkan di dua contoh ini saja. Pembahasan yang bisa kita lakukan pada dua peristiwa yang menyayat hati itu banyak sekali. Tapi saya akan mengurai sedikit saja, 

Pada Misal pertama

1. Imam Ali as sudah tahu peristiwa itu terjadi, baik melalui Nabi saww atau kasyafnya. Ketidak bereaksian beliau as sudah diperintahkan Nabi saww. Artinya Nabi saww dalam hal tersebut menyuruhnya sabar dan tidak bereaksi. 

Karena imam Ali as pernah membanting Umar di tempat umum sambil berkata: “Yang ini Rasul saww tidak berpesan”. Yakni ketika imam Ali as menguburkan Sayyidah Fathimah as secara tersembunyi dan membuat 40 kuburan palsu di Baqi’. Karena Sayyidah Fathimah as ingin membuat bukti bersejarah tentang adanya prahara dan kudeta terhadap imam maksum setelah Nabi saww dimana telah menyelewengkan para shahabat dan muslimin dari imam maksumnya dan jalan-lurusnya alias shiratulmustaqimnya maka beliau berwashiat kepada imam Ali as untuk tidak disembahyangi dan dikuburkan oleh musuh-musuhnya. Oleh karena itulah imam Ali as menguburkan beliau as di malam hari. 

Umar, yang memang sudah tidak disapa oleh sayyidah Fathimah as sejak masih hidup dan akan diadukan ke Allah dan Rasul saww nanti di akhirat (Shahih Bukhari, Muslim dan lain- lain), mencium taktik Sayyidah as itu, atau setidaknya takut kejahatannya disaksikan sejarah dengan tidak ketahuannya kubur beliau as. Karena itulah ia, dengan mengajak seluruh penduduk Madinah (karena takut kepada imam Ali as kalau maju sendirian) untuk berkumpul dan mengajak mereka menggali kuburan-kuburan itu lagi untuk menemukan Sayyidah as dengan alasan penghormatan dengan berkata: ”Putri Rasul saww telah meninggalkan kita, tapi kita belum menyolatinya, mari kita bongkar lagi kuburan-kuburan ini dan menyolatinya demi hormat kita dan syukur kita kepada Nabi saw. 

Setelah imam Ali as tahu apa yang dilakukan Umar, maka beliau as langsung mengambil Dzulfiqar dan memakai surban merah yang kebiasannya dipakai kalau perang sedang dahsyat. Imam Ali as datang dan langsung membanting Umar dengan sekali gibas saja sambil berkata: “Demi Allah akan kubelah kamu menjadi dua sebelum menyentuh kuburan- kuburan itu, karena Nabi saww tidak berpesan tentang hal ini”. Umar yang memang sangat takut kepada imam Ali as itu, berkata:”Bagaimana kalau kami semua membongkar kuburan- kuburan itu?”. Imam Ali as menjawab:” Sekalipun”. Yakni sekalipun semua orang Madinah berusaha menyentuh kuburan-kuburan itu, maka akan kuperangi semuanya. 

Haidar/Singa sudah keluar, pintu Khaibarpun yang buka-tutupnya perlu 12 orang diangkat hanya dengan tangan kirinya, maka siapa yang berani mendekatinya? 

2. Semua kejadian itu ada sanad dan riwayatnya, yang sebagiannya di sunni (seperti penyerangan ke rumah dan perampasan tanah Fadak serta penyesalan dan tangisannya Abu Bakar) dan sebagian lainnya di syi’ah (bc: lebih detail). 

Dengan penjelasan di atas, kita menjadi tahu bahwa semua yang dilakuakan imam Ali as, baik diam atau tidaknya, sudah digariskan Tuhan melalui Rasul saww. Dan sudah selayaknya sebagai orang Syi’ah tidak mempertanyakan apa yang dilakuakan para imam as, sekalipun boleh saja menanyakannya atau mencari hikmah di dalamnya. 

3. Guru saya, pernah saya tanyai: "Bukankah sepintas terlihat dari sejarah dan riwayat pertama itu bahwa kedua maksum beda pandangan, karena Sayyidah Fathimah as menginginkan dari imam Ali as untuk membalas Umar, sementara imam Ali as tidak menginginkan hal itu karena bersandar pada perintah dan pesan Rasul saww?”. Beliau menjawab: “Ilmu-ilmu kasyaf, tidak menjadi ukuran fikih dan kehidupan keseharian, karena kalau hal itu terjadi, maka kita, tidak akan pernah tahu apa-apa terhadap yang dialami Ahlulbait as”. Jadi, kalau sepintas kita melihat adanya dua keinginan berbeda dari dua maksum as, maka hal itu bukan berarti merusak kasyaf dan apalagi kemaksuman mereka. Karena mereka harus (kewajiban agama dan akal) sebagaimana hidupnya manusia lahiriah atau biasa. Walaupun, sudah tentu, tetap tidak keluar dari garis kemaksuman atau tidak keluar dari ketaatan atau masuk ke dalam larangan Allah (tidak maksiat). 

Pada Misal ke dua

1. Pada kejadian itu, tentu saja, setelah pintu terdobrak, mereka menyerang masuk dan mengikat imam Ali as dan ditariknya ke masjid untuk berbiat kepada Abu Bakar hingga terjadilah baiat yang terkenal itu yang, selalu dijadikan dalil oleh pembela yang pertama sebagai bukti kebenarannya karena imam Ali as sudah baiat. Padahal, dengan pintu dibakar dan didobrak dan dalam keadaan terikat dimana kalau tidak baiat pada waktu itu diancam akan dipenggal kepalanya. 

Abu Dzar yang pemberani, tidak tahan melihat kejadian itu, dan langsung mengeluarkan pedangnya dan menantang Umar untuk bertanding. Tapi imam Ali as segera memerintahkannya untuk menyarungkan lagi pedangnya dan bersabar. 

Yang mampu mengikat imam Ali as hanya pesan dan perintah Rasul saww, sementara rantai besipun tidak akan mampu menahannya sebagaimana pintu Khaibar. 

2. Pada kejadian itu, ketika imam Ali as sudah diikat dan diseret ke masjid, Sayyidah Fathimah as sempat menahan imam dan suaminya itu dengan memegangi bajunya, akan tetapi para penyerbu menebas tangannya dengan pedang yang bersarung, hingga terlepas. 

Ya ...Zahra’...ya Husain...kami bersaksi terhadap kemazhluman antum semua. ‘Alaikum minna jami’an salamullah ma baqayna wa baqiya al-lailu wa al-nahar.

Simpulan: Dari dua contoh riwayat di atas, dapat dipahami bahwa imam Ali as tidak menolong dalam penyerbuan ke rumah Sayyidah Fathimah as itu karena beliau sendiri menghadapi serangan dan justru karena beliaulah as (imam Ali as) rumah beliau as (Sayyidah Fathimah as) diserang. Dan sudah tentu keterdiaman imam Ali as, karena perintah dan pesan Nabi saww, bukan karena takut dan apalagi tidak acuh terhadap istri. Begitu juga pada kejadian pertama. Yakni, diamnya imam Ali as, karena perintah dan pesan Rasul saww. Sudah tentu demi Islam secara lahiriah sebagaimana banyak dibahas dalam filsafat sejarah. 

Bagi hemat saya, para pengkudeta itu, justru semakin menjadi-jadi karena melihat imam Ali as tidak melawan dimana dapat dipahami oleh mereka bahwa begitulah pesan Nabi saww, yakni tidak melawan. Jadi, hal itu dijadikan kesempatan oleh mereka. Karena kalau imam Ali as sudah mencabut Dzulfiqrnya, maka siapa yang berani mendekatinya? Ya....Haidar...ya ...Haidar... 

Jawaban saya ini, tidak saya ijinkan untuk dijadikan huru hara kepada saudara-saudara kita Ahlussunnah, karena kita harus menjaga persatuan. Saya menjawab ini, karena yang bertanya adalah orang Syi’ah, maka saya tidak bertakiah dalam menerangkannya. Oleh karena itu pula saya tidak terlalu melelahkan diri untuk menyebutkan alamat setiap riwayatnya. 


Artinya, saya menulis jawaban ini kepada orang syi’ah yang mempercayai gurunya yang juga syi’ah bahwasannya tidak mengarang dari kantongnya sendiri. Walau, sudah tentu, hubungan guru dan murid ini sebatas lewat alam maya fb ini. Semoga batin kita semua memanglah diikat olehNya dalam kebaikan setidaknya, sekalipun tidak dalam hubungan guru dan murid, karena saya tidak layak menjadi guru, para hati yang begitu tulus terhadap kebenaran. 

Wassalam. 

Ikhwan Abdullah JongJawi, Khommar Rudin, Irsavone Sabit dan 27 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Sulaeman Eman لّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد وعَجِّلْ فَرَجَهُ

Sulaeman Emanلّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد وعَجِّلْ فَرَجَهُ 

Sulaeman Emanلّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد وعَجِّلْ فَرَجَهُ

Alie Sadewo: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

MOhd. Arvian Taufiq: Sallam Alaika Ya Rosulullah, sallam Alaika ya Imam, Ya Zahra...sungguh membaca penjelasan Ustad, membuat mata ana tergenang air mata. Syukron ustad sudah meringankan dan memberanikan penjelasannya yang sangat tajam dan gamblang. Semoga antum selalu dalam kebaikan dan kesehatan. 

Eman Sulaeman: Allahummal’an Muawiyah wa Syiatuhum ilaa yaumil qiyamah. 

Edo Saputra: Asalamualaiki ya syaidah Fatimah,, aku ikut bersedih atas deritamu, namamu dan hatimu begitu indah, bagaikan rembulan yang sedang bersinar,,, Oh syaidah Fatimah,,, engkaulah satu- satu putri rosul yang sangat dicintai, hingga namamu selalu terukir di hati nabi, tahukah engau ya Fatimah,,, di hati ayahmu hanya ada Allah swt, dan sungguh agung diri mu wahai putri rosulluloh, tidak ada seorangpun yang mempunyai kedudukan di hati rosul hanya Allah swt, dan dirimu. Tahukah engkau wahai wanita penghuni surga, bahwa engkaulah adalah salah satu Wanita yang mendapat ridho NYA. 

2 November 2012 pukul 12:14 · Suka · 4


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 10): Tentang Mimpi



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:04


Mimpi itu adalah hujjah Tuhan akan keberadaan barzakhi (non materi yang masih memiliki sifat- sifat materi selain bebannya). Ayatullah Jawadi pernah mengatakan bahwa suatu ketika ada seorang nabi yang menceritakan hakikat surga dan neraka yang tidak terikat ruang dan waktu, abadi, dan seterusnya. Orang-orang bertanya seperti apa dan seperti apa. Akhirnya Tuhan mencipta mimpi itu. Lalu di pagi harinya, mereka datang kepada nabi tersebut dan berkata bahwa sungguh aneh karena dalam keadaan tidur dan terpejam mata, tapi telah melihat banyak hal (mimpi). Nabi as itupun berkata “Seperti itulah akhirat itu”. 

Mimpi itu biasanya memiliki makna. Tetapi maknanya tergantung pada keadaan masing-masing orang. Oleh karenanya satu mimpi bisa memiiki makna yang berbeda pada orang yang berbeda. Ta’bir mimpi artinya ‘Abara. Yakni “melewati”. Jadi dari mimpi sesuatu, ke sesuatu yang lain. Yakni sesuatu yang pertama itu menjadi jembatan dan lewatan menuju sesuatu yang ke dua yang sebagai maknanya. 

Mimpi itu bisa memiliki satu lewatan/ta’bir bisa juga lebih. Jadi tidak bisa dipastikan, karena sesuai dengan keadaan masing-masing orang dan bahkan sesuai dengan keadaannya hari itu. Biasanya, mimpi orang yang tidak suka bohong, memiliki ta’bir yang lebih sedikit, dan bahkan mungkin satu takwilan saja. Tetapi yang tahu pasti maknanya hanyalah orang arif. Sedang yang tidak arif hanya bisa menebak-nebak saja sesuai dengan kebiasaannya. 

Wassalam. 

Bande Husein Kalisatti, Khommar Rudin dan 9 orang lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad wa ajjilfarrajahum. 

14 Juli 2012 pukul 18:42 · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 9): Tentang Shufi




Oleh : Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:03


Shufi itu adalah orangnya dan tashawwuf adalah ajarannya. Jadi tidak beda dari keduanya. Dan pada awalnya shufi ini dikatakan kepada orang yang meninggalkan sosial dan pergi ke gunung atau gua-gua untuk menyendiri dan meninggalkan semua kemewahan hingga hanya memakai baju paling sederhana, yaitu bulu domba yang karenanya mereka dikenal dengan Shufi (yang memakai bulu domba). Sebagian orang mengira menafsirkan shufi dengan suci atau bersih, padahal yang bermakna bersih itu adalah Shafwan atau Shafaa’, bukan Shufi yang bermakna bulu domba. Akhirnya kata Shufi itu ditetapkan atau dinisbahkan kepada orang yang mengejar wahdatulwujud.

Di sini, mereka dibagi menjadi dua, ada yang shufi beneran, yang lurus jalannya, dan ada pula yang sok shufi yang dikatakan oleh Mulla Shadra ra sebagai Mutashawwifah, yakni sok shufi atau demam shufi. Tanda beda yang membedakan kedua kelompok itu, yakni yang menyimpang dan yang benar, adalah: Yang menyimpang memiliki ajaran Ittihad (menyatu dengan Tuhan) dan Hulul (disatui Tuhan), dan dalam ajarannya mereka mengajarkan wirid-wirid bersama, wirid-wirid tertentu dan meninggalkan dunia secara mutlak, artinya hidup miskin dan meninggalkan semua kegiatan sosial.

Sedang yang benarnya adalah yang juga disebut dengan ‘Arifin atau orang-orang Arif atau juga Irfan. Mereka mengejarkan wahdatulwujud dan mengajarkan juga pencapaiannya dengan jelas dalam pengajaran-pengajaran mereka atau dalam kitab-kitab mereka. Di sini tidak ada Hulul dan Ittihad itu, karena selainNya tidak ada, hingga bisa dimasuki atau dihululiNya atau menyatu denganNya. Dan caranya adalah dengan meninggalkan yang haram dan makruh dengan hati dan amal, lalu meninggalkan dengan hati tanpa amal apa-apa yang dihalalkan, disunnahkan, diwajibkan, dianjurkan, karamat, surga, ....dan seterusnya.

Artinya semua itu dilakukannya bukan atas dasar suka, tetapi karena ingin mencapaiNya, yakni ingin membuang tabir yang ada pada dirinya dimana karena tabir itu ia telah merasa ada, merasa bahwa selainNya itu juga ada. Jadi, semua perbuatan baiknya dan menjauhi amal-amal buruk, dan stersunya dikarenakan ingin merasakan hakikat ketiadaan selainNya. Artinya orang yang mensucikan dirinya dari selain Tuhan. Orang-orang seperti ini sudah jelas ada sejak Nabi Adam as. Karena Nabi Adam as adalah insan kamil pertama. Akan tetapi thariqat-thariqat yang ada di antara para shufi dalam Islam ini sangat hingar bingar. Alias tidak bisa dipastikan yang mana yang benarnya.

Deteksi pentingnya adalah, karena Nabi saww mengatakan bahwa syariat itu adalah perkataannya/ ajarannya, thariqat itu adalah perbuatannya sedang hakikat itu adalah capaiannya, maka deteksi yang paling penting adalah : 

a. Apapun ajaran yang akan dilakukan harus bersumber kepada Islam yang argumentatif. 

b. Apapun capaian yang akan dicapai harus tetap berdasar kepada sebab capaiannya itu, yakni syariat. Jadi tidak siapapun bisa meninggalkan syariat, karena dengan meninggalkannya maka ia akan kembali jatuh ke tempat semula. 

Pembersihan sering dikatakan shufi, oleh karenanya maka bisa dikatakan sebagai filosof, seperti Plato yang mengandalkan pembersihan diri dalam memahami yang, dikenal dengan filsafat Isyraq (iluminasi). Tetapi kalau shufi yang shufi yang sekalipun tidak menyimpang itu, sangat anti terhadap filsafat hingga mereka mengoloki filosof dengan mengatakan “siang tidak bisa diterangi dengan lilin”. Oleh akrena itulah maka Mulla Shadra ra telah berusaha dan berhasil memadukan konsep hati yang dimiliki shufi-lurus, dengan filsafat yang dimiliki filosof-Masysya’ (parepatetik), hingga menjadi Filsafat Muta’aliah (filsafat tinggi Mulla Shadra-i). 

Khommar Rudin, Pasky Wind dan 7 orang lainnya menyukai ini. 

Uki Jafar: Syukron. 

Siti Handayatini: Love 2 C U back here to assist Pak SA, Anggelia! Love & lights... 

30 Januari 2012 pukul 22:51 · Suka · 1


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 19 Agustus 2018

Lensa: 8, Inkarnasi Atau Raj’ah?



by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 6:43 am


Oleh : Ustad Sinar Agama

Bismillaahirahmaanirahiim.. Reinkarnasi tidak ada dalam kamus akal, apalagi agama. Reinkarnasi adalah masuknya ruh lain (manusia) ke dalam badan yang lain pula. Padahal dalam Filsafat setiap benda memiliki ruhnya tersendiri. Dan sebuah esensi atau spesies adalah yang mencakupi keduanya (badaniah dan ruhaniahnya). Kambing tidak bisa dikatakan kambing kecuali dengan ruh kambing yang telah terproses sejak dari ruh binatang lemah yang ada pada mani kambing.

Jadi di samping ruh manusia tidak akan bisa masuk ke esensi kambing karena kambing dikatakan kambing karena terproses dari ruh mani kambing ke ruh kambing, artinya tidak bisa mengubah dan mengusir ruh kambing, kemustahilan itu juga karena setiap materi memiliki ruhnya tersendiri yang tidak terpisahkan dan tidak mungkin dipisahkan karena ia adalah kesatuan natural, bukan kesatuan produksi yang bisa dicopot dan diganti-ganti.

Jadi, ayat–ayat al-Qur'an menunjukkan penghidupan kembali manusia di akhirat. Tetapi bisa juga di dunia ini pada raj’ah-nya sebagian orang (raj’ah adalah dihidupkannya kembali beberapa orang di dunia ini lalu dimatikan lagi).

Raj’ah itu dihidupkannya sekali lagi beberapa orang yang telah mati di dunia ini. Dalam QS: 40: 11, orang-orang ini berkata: ”Mereka berkata Tuhan kami, Engkau telah matikan kami dua kali dan hidupkan kami dua kali dan kamipun mengakui dosa-dosa kami, lalu apakah masih ada jalan keluar ?

Orang yang tidak percaya raj’ah ini mengartikan mati dua kali itu adalah mati sebelum dicipta dan setelah dicipta, sedang hidup dua kali adalah setelah dicipta dan setelah dibangkitkan nanti.

Padahal :

(1) Allah dalam Qur'an ini mengatakan ”...Mematikan kami” Yakni pakai kata kerja yang perlu kepada obyek, sementara sebelum dicipta adalah ketiadaan yang tidak bisa dijadikan obyek. Kalau memakai kata ”Mati”, maka bisa diartikan ”tiada”, tapi kalau ”dimatikan” maka tidak bisa diartikan ”tiada”.

(2) Hidup dua kali, juga demikian. Yakni hidup di dunia dan hidup setelah kehidupan pertama itu, bukan kehidupan di akhirat karena yang di akhirat itu adalah yang ke tiga. Karena ayat itu dalam rangka menukil kata-kata orang yang tidak mengabdi setelah diberi kesempatan dua kali. Jadi kehidupan dua kali itu dalam rangka beramal shaleh tetapi disia-siakan. Sedang kehidupan akhirat itu untuk dihisab dan diadili, bukan untuk usaha dan ikhtiar. Karena itulah mereka meminta lagi kehidupan ikhtiar yang lain dengan mengatakan ”..lalu apakah masih ada jalan keluar?”, yakni apakah Engkau Ya Tuhan masih berkenan memberikan kesempatan berikhtiar sekali lagi? 

Kalau QS: 2: 28, memang juga sangat terasa keraj’ahannya, karena di sana dikatakan +/-: dimana kalian dulu mati (tiada), lalu Dia menghidupkan kalian, lalu mematikan kalian, lalu menghidupkan kalian, lalu kepadaNya kalian dikembalikan.

Memang, mati pertama itu adalah tiada karena mati dan bukan dimatikan. Tetapi dari sisi dihidupkan disini, terjadi dua kali dihidupkan dan, sebelum dikembalikan kepada Tuhan. Padahal kita memahami bahwa hari pengembalian itu adalah hari kebangkitan. Sedang penghidupan ke dua di atas, sebelum hari pegembalian itu sendiri.

Tetapi kalau ayat 259 surat Al Baqarah itu hanya pendukung saja. Karena ia adalah salah satu raj’ah itu sendiri, bukan raj’ah yang kita bahas. Sekalipun keduanya adalah raj’ah.

Jadi dari sisi Raj’ah maka ayat itu sebagai bukti kebenaran raj’ah karena ianya adalah kejadian itu sendiri, bukan dalil untuk ke depan. Karena dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ada orang yang seperti sangsi terhadap Kuasa Tuhan dalam menghidupkan orang mati setelah melihat desa yang mati, lalu Allah mematikan orang tersebut dan menghidupkan kembali di kemudian hari.

Dan tentang ashabulkahfi adalah penguat raj’ah seperti ayat pertama itu. Artinya Raj’ah itu tidak mustahil karena sudah terjadi, seperti ashabulkahfi itu atau seperti orang yang ragu di atas itu. Sedang yang akan dihidupkan nanti adalah dari dua kelompok, dari yang baik dan yang jahat. Tentu tidak semuanya. Dan sangat mungkin bahwa yang akan dihidupkan nanti adalah termasuk orang-orang yang di jaman sebelum Islam kita ini.

Riwayatnya banyak sekali, diantaranya: 

عن الحسن بن شاذان الواسطي قال :كتبت إلى أبي الحسن الرضا عليه السالم أشكو جفاء أهل واسط وحملهم علي وكانت عصابة من العثمانية تؤذيني فوقع بخطه :إن اهلل تبارك وتعالى أخذ ميثاق أوليائنا على الصبر في... دولة الباطل فاصبر لحكم ربك فلو قد قام سيد الخلق لقالوا :يا ويلنا من بعثنا من مرقدنا هذا 
ما وعد الرحمن وصدق المرسلون - الكافي 247 / 8 الرقم346 

Yang artinya kurang lebih al-Hasan bin Syadzan berkata: Aku menulis surat kepada imam Ali al-Ridha as, aku mengeluhkan akan keringnya orang-orang Wasit (kota lama di Iraq antara bashrah dan Kufah) dan penyerangan mereka terhadapku, begitu pula tentang sekelompok dari pengikut Utsman yang menyakitiku, lalu beliau as menjawab: ”Sesungguhnya Allah telah mengambil janji dari pengikut kami atas kesabaran untuk hidup di pemerintahan batil, maka dari itu bersabarlah demi perintah Allah, dan nanti kalau sudah datang penghulu makhluk (imam Mahdi as) maka mereka (para mukmin itu) akan berkata: ”Duhai siapakah yang telah membangunkan kami dari tidur kami ini? (dikatakan) Inilah yang telah dijanjikan Sang Maha Pengasih, dan telah benar orang-orang yang diutus (para rasul). al-Kaafi: 8: 247.

Sekian. Alfatihah ma’a al-sholawat. Wassalam. 

In this note: Sinar Agama, Haerul Fikri, Natsir Said, Syaharbanu Bob, Noer Aliya Agatha, Nebucadnezar Pecinta Keadilan, Muhammad Yusuf S Tarigan, Annisa Asiyah Khadija, Saiful Makshum, Saiful Bahri, Fatimah Zahra, Cut Yuli, Hendy Al-Qaim, Roman Picisan, Rizky El Hallaj, Indra Gunawan, tika Maria, Bin Ali Ali, Don Flores 

Anwar Mashadi: dan 22 orang lainnya menyukai ini.

Rizky El Hallaj: -Apa sebabnya kita mengenakan hidup atau dari apa hidup itu ??? 

-Dalam hidup kita perlu tidur, siapa yang mengajak tidur ??? 

-Apa sebab orang mati, dan dalam kematian ada apa ??? 

-Apabila kita telah mati, apakah kita akan kembali menjadi bayi atau tetap tinggal di sana ??? 

Saiful Bahri: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Saiful Bahri: Syukran tag nya... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 7) “Tentang Keraguan Dan Keyakinan” (Penjelasan lanjutan Lensa Bgn : 6)



Oleh : Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:00


Ragu itu tidak buruk, sama sekali. Tapi ragu yang didakwa sebagai ilmu dan kebenaran, itulah yang buruk. Yang ke dua, manusia tidak mungkin menjangkau yang ragu itu dan membuka tabirnya, kecuali dengan ilmu-yakin-benar-gamblang. Jadi, dalam diri manusia itu memang secara fitrah ada ragu, yaitu kepada hal-hal yang memang belum diketahuinya. Tetapi dia tidak mungkin tidak punya sama sekali apa yang dikatakan ilmu-benar-gamblang-yakin. Seperti ilmu tentang keberadaannya sendiri dan sifat-sifatnya serta semua peristiwa yang terjadi setiap detiknya. 

Begitu pula pengetahuannya tentang lingkungannya, rumah tangganya, tetangga dan alam sekitarnya. Nah, ilmu-yakin-benar-gamblang manusia itu banyak sekali dan tidak bisa dihitung. 

Keberadadaan ilmu-ilmu itu juga fitrah karena dia adalah rahmatNya, karena tanpa itu, maka manusia lalu bisa kemana dan berbuat apa. Usaha atau berfikir, tanpa modal dari ilmu-ilmu yakin itu, maka tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin manusia bisa selamat dari kejaran dan terkaman harimau, kalau dia masih ragu bahwa yang mengejarnya itu haramau atau bukan, bahaya atau bukan...dan seterusnya. 

Jadi, ragu dan yakni itu fitrah. Tetapi karena akal kita tidak mau yang salah, maka yang yakin kadang diperiksa lagi supaya tidak salah, dan yang ragu harus dicari dalilnya melalui yang yakin itu. Oleh karena itulah maka teori Rene Des Cartes ‘Cogito Ergo Sum’ itu cukup aneh, karena dia melihat pikirnya lebih jelas dari dirinya sendiri. Padahal pikirnya adalah akibat dari dirinya sendiri. Tentu saja ilmu Rene benar juga, tetapi di tingkatan yang lebih rendah. Karena dirinya diteropong dari pikirnya. Padalah masih ada lagi yang namanya, jalannya, makannya, cintanya, bencinya,...... dan seterusnya. 

Memang dalam kata Ren itu tidak menolak semua akibat dirinya, tetapi pemastian adanya dengan pikirnya, adalah jelas terlalu sempit dan menyempitkan. Setidaknya, kala ia berkata dan fokus pada itu. Jadi, perlu disadarkan lagi dan fokusnya perlu dirusak lagi, dengan menyadarkannya bahwa ia juga punya jalan, tidur, cinta, benci ...dan seterusnya. 

Perlu diketahui, bahwa logika dan filsafat diwujudkan oleh para filosof untuk memudahkan memahami mana yang yakin dan mana yang ragu, dan memudahkan metodologi pencarian ragu itu dengan yakin. Jadi, filsafat itu memudahkan masalah, bukan malah meruwetkannya. Jadi, kalau ada orang berbicara filsafat tapi membuat semakin sulit masalah, maka ada beberapa kemungkinan: dia tidak tahu filsafat dengan baik; dia mau menjual filsafat dengan istilah-istilah yang trendi hingga tidak mudah dimengerti; dia sendiri tidak mengerti istilah-istilah itu; dia tidak mengerti tujuan mulia para fiosof yang ingin memudahkan; dia salah jalan dalam memilih metode penyampaian; ....dan seterusnya. 

wa’budulloha hatta ya’tiyakal yaqiin.. 

U’bud Rabbaka itu bisa memiliki makna luas. Apapun itu, tetap memerlukan ilmu yakin. Jadi harus yakin dulu pada yang akan dilakukan, baru setelah itu akan dapat keyakinan yang lain. 

Penjelasannya

1. Ibadah dalam akal dan Islam, bermakna dua, dan bisa dua-duanya, yaitu beribadah seperti puasa, shalat dan lain-lain, bisa juga bermakna taat. Dan setiap kalimat ini dibawakan dalam agama, maka yang dimaksud, kebanyakannya atau kesemuanya, adalah taat. 

Dan taat ini, bisa dalam bentuk ibadah-ibadah khusus itu, bisa dalam bentuk umum. Nah, mengerti Tuhan, itu juga diperintahkan secara banyak sekali dalam Qur'an, seperti “ketahuilah bahwa Tuhan itu Maha Mendengar dan Melihat, Maha Kuasa, Maha....dan seterusnya” dimana disana memakai kalaimat “KETAHUILAH”. Nah ketahuilah itu adalah perintah untuk mengetahui. Jadi, taat adalah maksud Qur'an yang mengatakan U’bud Rabbaka yakni taati Tuhanmu sampai datang padamu yakin. 

2. Yakin di sini bermakna dua, yakin yang bermakna yakin yang kita bahas disini, dan ada yang bermakna “mati”. Rasul yang sudah pasti Rajanya Yakin, maka beliau saww beribadah atau taaat sampai meninggal, bukan sampai yakin. Tatapi yang belum sampai ke tingkat yakin maka harus taat hingga dapat yakin. Tetapi karena taat itu tidak mungkin tanpa ilmu-yakin- benar, maka kita harus mencapai yakin dulu pada yang diperintahkannya itu. Baru setelah itu, kalau kita kerjakan, maka kita akan mendapatkan ilmu yang lebih tinggi, yakin yang lebih tinggi. 

3. Yakin, juga memiliki milyaran tingkatan, Nabi saww dan para maksum as, sudah tentu sudah sampai ke tingkat tertinggi, karena mereka guru para pemburu yakin. Nah, bagaimana mungkin guru belum sampai kepada yang dikejar muridnya. Padahal dari satu sisi, memburu yakin itu tidak terbatas. Jadi Nabi saww dan imam maksum as sudah sampai ke tingkat yang tidak bisa lagi dicapai manusia lain dalam tingkatan yakin itu. 

4. Untuk manusia selain mereka, maka keyakinan yang didapat dimanapun, tetap harus bersemangat mencapai keyakinan yang di atasnya, jagan pernah sama sekali puas dalam keyakinan lalu berhenti, tapi teruslah berjuang. Tapi tentu saja, sambil mensyukuri yakin yang sebelumnya. 

5. Imam Ja’far Shadiq as pernah berkata: Orang yang beribadah/taat kepada Allah, tatapi tidak dengan ilmu (yakin yang argumentatif), maka ibarat musafir yang melakukan perjalanan tidak di atas jalannya yang benar. Maka semakin cepat ia berjalan (semakin taat), maka akan semakin jauh dari tujuannya. Artinya, kalau kita membuat keyakinan taklidi dan non argumentatif, lalu kita lalukan hal itu hingga dikatakan taat, maka semakin banyak kita taat kepada Allah, akan membuat kita semakin jauh dariNya. 

6. Tentu yakin dalam taat yang umum itu, memiliki dalilnya sendiri-sendiri. Kalau dalam akidah maka dalilnya adalah akal dan tidak boleh taklid, dengan alasan yang sudah saya rinci di Pendahuluan Pokok-pokok dan Ringksan Ajaran Syi’ah. Sedang dalil fikihnya adalah taklid buta kepada marja’ seperti taklid buta pada dokter spesialis. Karena akal dan agama kita mengatakan bahwa masing-masing orang memiliki spesialisnya sendiri-sendiri, dan yang tidak memiliki spesialis terntentu harus mengikuti yang memilikinya. 

Perjalanan nabi Ibrahim as itu bukan dimulai dengan ragu. Beliau as justru memulainya dengan yakin. Beliau as justru bermodal dengan keyakinan akan tenggelamnya bintang, bulan dan mata hari. Dan beliau juga bermodal yakin bahwa yang sirna itu pasti bukan Tuhan. Jadi beliau as bukan memulai dengan ragu, tapi dengan yakin. 

Ayat-ayat tentang nabi Ibrahim as itu memiliki dua makna, yakni beliau sedang berdalil dengan umatnya, bukan untuk beliau sendiri, karena beliau salah seorang nabi yang sudah raja yakin. Yang ke dua, untuk beliau sendiri kalau kejadian itu sebelum beliau as menjadi nabi. Tetapi ingat bintang, bulan dan matahari di sini, bukan bermakna yang kita lihat ini. Karena beliau as tidak perlu menunggu lenyapnya untuk tahu bahwa semuanya itu akan lenyap. Sebab anak kecilpun sudah tahu bahwa bintang, bulan dan matahari itu selalu lenyap setiap hari. 

Jadi yang dimaksud bintang, bulan dan matahari pada beliau as sebelum jadi nabi, adalah kasyaf- kasyaf beliau yang dimulai dari yang kecil menuju kepada yang besar. Yang kecil lenyap karena beliau sudah sampai keduanya. 

Bintang lenyap karena beliau sudah jadi bintang, begitu juga dengan bulan dan matahari. 

Begitulah seterusnya sampai menjadi Fana’ dan melanglangi Asma-asma Allah seperti yang sudah saya terangkan di wahdatulwujud. Kemudian, antum melihat Qur'an dan hadits, seperti melihat tulisan antum sendiri yang mati. Qur'an dan hadits itu adalah sesuatu yang hidup dan nanti akan bersaksi di hadapan Allah swt tentang kita. 

Kalau Qur'an dan hadits mati, maka ia tidak layak dikatakan nur, menentramkan jiwa, menerangi kuburan, mendatangkan pahala, menenangkan orang mati....dan seterusnya. Karena itulah maka tidak heran kalau ia dikatakan Jibril itu sendiri. Tentu saja Qur'an sebagai tulisan, memang tidak bernafas, sekalipun tetap harus dihormati karena ia adalah tajalli yang hidup itu. Akan tetapi sebagai yang wahyu, maka ia jelas hidup hingga karenanya kalau kita tidak membacanya dan sampai berdebu ia akan mengeluh kepada Allah nanti di akhirat. 

Jadi, akal adalah alat mencapi hakikat, dan Qur'an juga demikian. Bedanya kalau akal bisa salah, tapi Qur'an tidak bisa salah. Tapi yang tidak bisa salah adalah Qur'an yang Qur'an, bukan yang kita pahami ini. 

Jadi, bagaimanapun, maka Qur'an akan ditentukan akal kita. Jadi, akal adalah sumber satu-satunya untuk memahami hakikat nyata dan Qur'an itu sendiri. 

Kalau nabi Ibrahim as menjadi tidak percaya kepada Allah yang dikasyafnya dengan simbol bintang yang karena beliau as sudah menjadinya, maka dalam perjalanan beliau as, tidak ada keraguan. Jadi semua kepastian. Bedanya Tuhan yang di kasyaf di tingkat rendah yang disimbolkan dengan bintang, adalah keyakinan yang menjadi punah, bukan keraguan yang punah. Inilah yang dimaksud Tuhan “KepadaNya kalian akan menjadi”, yakni dari satu sisi akan menjadi Allah, jadi Tuhan yang tersimbolkan dengan bintang itu adalah Tuhan juga, tapi dari sisi yang lain Allah berkata “KepadaNya”, yakni tak pernah mencapaiNya karena selalu kepadaNya, bukan menjadiNya. 

Jadi nabi Ibrahim as, berangkat dari keyakinan kepada keyakinan yang lain tanpa kesalahan, terlebih keraguan. 

Sekian. Alfatiha ma’a sholawat. Wassalam. 


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Sabtu, 18 Agustus 2018

Lensa (Bgn 6): Analisis Kritis Teori Rene Des Cartes Cogito Er Go Sum (aku berfikir maka aku ada),



Oleh : Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:58


Aku ada karena aku berfikir, merupakan pembuktian sebab dari akibatnya. Dalam istilah filsafat ilmu ini disebut dengan ilmu inni dimana batas tengahnya (kata terulangnya) hanya berfungsi sebagai sebab bagi ditetapkannya obyek premis besar (universal) ke atas subyek premis kecilnya (partikulir), tapi di alam nyata tidak menjadi sebab bagi penetapannya.

Misalnya: Saya berfikir. Setiap yang berfikir maka ia ada. Maka Saya ada.

Di sini batas-tengahnya adalah berfikir dimana ia telah menjadi pengikat kedua premis atau dalil itu. Dan berfikir, di alam nyata, bukan penyebab bagi adanya manusia. Jadi berfikir di sini hanya menjadi sebab bagi ditetapkannya obyek pada premis besar ke atas subyek premis kecil. Inilah ilmu inni. Dan ilmu ini, jelas tidak terlalu tinggi. Karena ianya berangkat dari akibat (berfikir) menuju sebab (saya) dimana sebab sudah pasti lebih kuat dan tinggi dari akibatnya.

Nah, mengeker sebab melalui akibat, tidak akan melebihi akibat itu sendiri. Jadi, pengetahuan kita akan sebab akan diperkecil sesuai dengan ukuran akibat.

Jadi, ilmu yang belum tinggi. Mencari Tuhan, juga demikian. Artinya, kalau mengekerNya lewat makhlukNya, maka kita secara tidak langsung akan mengecilkanNya dalam akal kita. Sejauh apa kita pahami KuasaNya, kalau dilihat dari makhlukNya, maka tidak akan melebihi ukuran makhlukNya. Terlebih lagi kalau pengetahuan terhadap makhlukNya ini tidak banyak, maka KuasaNya akan semakin diperkecil dalam akalnya. Karena itulah sebenarnya Tuhan masing- masing orang akan menjadi berbeda. Hal itu karena berangkat dari makhluk dan pengetahuan terhadap makhluk dari masing-masing orang berbeda.

Pengetahuan tentang alam, rejeki, hidayah, melihat, mendengar, datang, pergi, cepat, lambat....dan seterusnya akan berbeda-beda. Dan kalau semua itu dijadikan teropong untuk meneropongiNya, maka pasti hasilnya akan berbeda-beda. Beda halnya kalau ilmu limmi, yakni ilmu yang didapat bukan hanya dari kesebaban batas-tengah bagi tertetapkannya obyek premis besar ke atas subyek premis kecil. Akan tetapi di kenyataannya, memanglah ia adalah sebab bagi tertetapkannya obyek premis besar ke atas subyek premis kecil.

Misalnya: Saya ada. Setiap yang ada memiliki efek. Maka saya berefek. Di sini ada bukan hanya mengikat dua premis, tapi juga menjadi penyebab bagi berefek. Karena kalau tidak ada maka tidak mungkin berefek. Ilmu inilah yang dikatakan ilmu Limmi yang lebih tinggi dari sebelumnya, karena ia berangkat dari sebab menuju akibat, bukan sebaliknya. Jadi, di sini, tak perduli efek atau akaibat itu seperti apa dan bagaimana. Fokus pertama adalah pada sebab, jadi efek tidak mempengaruhi pengetahun kita kepada sebab. Kemudian dari sebab menuju akibat. Di sini, pasti ilmu kita kepada akibat yang dari sebab ini tidak akan diperkecil. Karena sebab lebih besar dan tinggi ketimbang akibatmnya.

Nah, mengenal Allah dengan mengerti makna Ada, adalah mengenalNya dari DiriNya sendiri, bukan melalui makhlukNya. Ini berarti ilmu Limmi yang lebih tnggi dari ilmu inni. Seperti saya ada maka saya berfikir, dimana jauh lebih tinggi dari saya berfikir maka saya ada.

Sekian. Terima kasih. Al-fatiha ma sholawat.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 5): Macam-Macam Keyakinan



Oleh : Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:56


Ilmulyakin adalah yakin yang didasari pada dalil. ‘Ainulyakin adalah yakin yang didasari pada penglihatan, apakah pancara indrawi atau mata batin yang biasa disebur kasyaf. Tentu saja, obyek panca indrawi adalah bendawi, dan obyek kasyaf adalah non materi. Sedang Hakkulyakin adalah yakin yang dicapai dengan dirinya secara penuh dan terkejawantahkan. Contoh umumnya biasanya mengambil orang mati.

Pertama kita tahu dengan ilmulyakin bahwa dia tidak bergerak dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kita juga yakin dengan penglihatan kita (‘ainulyakin). Tetapi kalau kita lari, ketika hanya sendirian bersamanya di suatu tempat, maka berarti kita belum sampai kepada hakkulyakin. Agama, keimanan, hukum, surga, neraka, akhlak, irfan...dan seterusnya juga begitu. Yakni dalam apa saja memiliki tiga tingkatan itu dimana mungkin kita hanya memiliki satu keyakinan dari tiga keyakinan itu, atau memiliki dua, atau ke tiga-tiganya.

Tetapi ada pula yang tidak memiliki keyakinan sedikitpun. Jadi masih berupa gambaran atau ide saja. Dan yang saya maksudkan agama dan lain-lainnya itu, bukan secara kesluruhan, tapi pada masing-masing poin atau topik atau obyek yang dihadapi. Jadi, dalam satu orang terdapat kecamuk dan campuran-campuran dari ide, yakin dengan ilmu, penglihatan dan capaian/kondisi/ aplikasi.

Karena dalam kehidupan ini terdapat jutaan masalah diri dan alam, agama ..dan seterusnya. Jadi, semakin seseorang itu rendah posisinya, maka semakin sedikit keyakinannya. Dan yang lebih parah lagi dari orang yang tidak rajin belajar dan beramal ini adalah, sering memiliki sesuatu yang hanya berupa ide dan gambaran, tapi diyakininya sebagai kebenaran atau sesuatu. Semoga Tuhan melindungi kita semua dari keyakinan palsu ini.

Sekian. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Lensa (Bgn 4): Perkembangan Ruh



Oleh : Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:54


Ruh, prosesnya seiring dengan perkembangan mani ke janin dan bayi. Yakni, mani itu sudah memiliki Ruh binatang/hewan. Ruh itu menyempurna seiring dengan menyempurnanya badannya. Ketika ia sudah berupa bayi empat bulan, maka kala itulah Ruh dia jaga sudah berproses menjadi Ruh-manusia.

Artinya, sudah sangat dekat dengan manusia. Karena manusia dimulai sejak dia mengerti universal. Jadi bayi yang umur 4 bulan dalam perut hingga lahir, Ruhnya bisa disebut dengan Ruh manusia. Artinya potensial dekat, bukan de fakto. De faktonya baru nanti setelah ia mengerti universal itu.

Jadi peniupan Ruh itu bukan dari luar badannya, dan bukan berarti Ruh manusia itu sudah dicipta sebelumnya. Jadi, Ruh manusia merupakan proses atau gerak substansial dari Ruh tambang yang ada pada daging kambing (misalnya), lalu menjadi Ruh binatang (pada mani) dan kemudian Ruh manusia kala sudah berumur 4 bulan dalam perut.

Ruh ini terus berproses hingga benar-benar menjadi manusia defakto, dan khalifatullah di kala Fana’ dimana menjadi khalifahNya untuk memimpin semua makhluk sejak dari materi sampai ke Akal-Pertama. (baca :wahdatul-wujud 1-9)

Sekian. Wassalam. 


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Lensa (Bgn 3) : Ilmu Akhlak



Oleh : Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:50


Akal selalu sejalan dengan hukum Tuhan (fikih). 

Tetapi akal disini adalah yang argumentatif gamblang, bukan yang samar. 

Nah, semua kebaikan (akaliah & fikhiyyah itu) itulah yang dikatakan akhlak yang baik. Sudah tentu masih banyak lagi yang dikategorikan akhlak namun mengapa fiqh sulit diterjemahkan dalam akal, kalau memang dikatakan fiqh itu sejalan dengan akal. 

Contoh : “Mengapa sholat subuh mesti dua rokaat..?” (apakah ini perintah dari Tuhan “dipaksa” harus dua rokaat atau akal bisa menjelaskannya). 

Akal adalah Argumentatif gamblang sebagaimana sudah diterangkan sebelumnya. 

Nah, argumen gamblang ini memerlukan pada premis-premis argumentnya yang juga gamblang. 

Dengan itu, ketika akal tidak memiliki premis-premis itu, mana mungkin ia bisa mengetahui sesuatu yang dimaksud? 

Akal tidak akan mampu memecahkan banyak rahasia fiqih. Sebabnya hanya satu, yaitu tidak memiliki premis-premis untuk dijadikan dalil. Misalnya ada di waktu subuh itu? Apa shalat itu? Apa rokaat-rakaat itu dan seterusnya. 

Maksudnya: Misalnya ada apa di waktu subuh itu? 

Dalam kehidupan ini banyak yang tidak diketahui akal karena tidak memiliki premis-premis atau mukaddimah-mukaddimah dalilnya. Atau tidak memiliki data untuk dijadikan dalil. Jadi, bukan fikihnya tidak masuk akal, tetapi akalnya belum mengerti rahasia fikihnya. 

Seperti dokter yang membelah dada orang yang dioprasinya. Pekerjaan itu sangat tidak masuk akal bagi orang bodoh yang mungkin akan segera menyerang si dokoter dengan parang. 

Jadi, yang dimaksud akal oleh agama dan para Nabi serta imam kebanyakan adalah bermaksud yang memiliki kelengkapan data dan tidak memiliki halangan seperti gila atau cinta dunia dan seterusnya. 

Itu makna akal pertama. Ada lagi akal ke dua, yakni adanya data-data lain yang menghasilkan kesimpulan lain. Misalanya, Allah Maha Tahu dan Bijak, Allah menurunkan Syariat, Allah meme- rintahkan Shalat yang diriwayatkan secara lebih mutawatir yang tidak mungkin salah, dengan demikian akal akan menyimpulkan bahwa subuh dua rokaat dan seterusnya itu sudah pada tempatnya yang kalau dirubah akan menyimpang dari kebaikan. 

Kalau kita perhatikan Qur'an, dan riwayat-riwayat, sering Allah dan Nabi saww mengatakan apakah kalian tidak menggunakan akal? Akal di sini bisa memiliki dua makna tersebut. Tentu saja masih banyak lagi maksud akal dalam syariat sesuai dengan konsteknya. 

Jadi, tugas akal adalah mengerti rahasia agama dan akhlak, tetapi kalau tidak bisa maka ia bertugas mencari kebenaran ajarannya bahwa memang dari Tuhan, lalu pasrah di hadapan Tuhannya. 

Banyak orang Indonesia yang berjubel dengan agama-agama lain seperti Hindu, telah mengambil konsep energi Yoga mereka. Hingga menafsirkan bahwa di subuh memiliki banyak energi matahari yang cukup diambil seukuran dua rokaat dan semacamnya. 

Hal ini tidak diajarkan dalam agama tidak bisa diakalkan karena 2 hal: 

1. Akal tidak memiliki data-datanya yang gamblang; 

2. Syariat tidak hanya bernafaskan badani dan materi, tetapi terlebih memiliki dimensi ruhani atau ukhrowi. 

Jadi shalat itu tekanannya di ruhaniah filosofis/hakikinya, bukan filosofis badaniahnya, sekalipun tentu memiki hikmah-hikmah badani. Oleh karena itulah maka untuk fikih ini disediakan akal ke dua, yakni dibukanya pintu ijtihad untuk menguatkan kebenaran datangnya, bahwa ianya datang dari agama, hingga orang yang awam tentang agama harus bertaqlid pada para mujtahid. 

Di sini akal pertama banyak tidak berfungsi. Yakni untuk mengerti folosofis badani dan ruhani dari fikih. Justru karena itulah maka para filosof dan orang-orang berkal mengatakan bahwa perlu Nabi dan rasul untuk mengarahkan manusia atau akal manusia untuk menata seluruh kehidupannya yang mengandungi dimensi dunia-akhirat. 

Jadi, kalau ada orang yang mengadu domba antara filosof dan para Nabi, dengan mengatakan bahwa para foosof itu tidak perlu Nabi, sebenarnya, dibuat oleh orang-orang yang anti filsafat. 

Karena dalam filsafat sangat jelas bahwa akal kita yang tidak memiliki data-data apapun kecuali sangat sedikit ini, harus dibimbing wahyu untuk hidup dengan baik secara dunia-akhirat. 

Tidak ada akal orang-orang berakal atau filosof yang tidak tunduk tawadhu dihadapan agama. 

Maka itu yang di tanah air kita, yang tidak mengatakan filosof kecuali pada seseorang yang sudah hidup ala orang gila dan stres atau menigggalkan agama, sudah penyimpangan dari akal dan filsafat itu sendiri. Tentu mungkin saja mereka dikategorikan filosof tetapi di filsafat materi. 

Filsafat materi ini hanyalah alat penunjang bagi teknologi materialis, bukan filsafat yang membhas setiap hal sesuai dengan keadaan sebenarnya walau tidak memiliki dalil atau data materi. Seperti shalat tadi, kalau di filsafat materi hanya memperlajari gerak gerik, waktu dan semacamnya dari yang berhubungan dengan materi, mereka menolak apapun hakikat yang tidak bisa dilacak dengan materinya. 

Nah, banyak orang-orang muslim, terutama wahhabi yang terjerumus pada filsafat materialis ini. Padahal, kalau kita lihat dengan kacamata tadi, bahwa shalat diriwayatkan secara lebih dari mutawatir, yang membuktikan bahwa shalat dari Tuhan; Tuhan Maha Bijak: Tujuan syariat bukan hanya lahir/dunia saja dan seterusnya, dapat disimpulkan bahwa dalam shalat ada dimensi- dimensi ruhani/ukhrowi yang pasti baik untuk manusia di ruhaniahnya dan di akhiratnya, tentu di samping hikmah-himah dunia/badani yang dapat dijangkau dari hikmah-hikmah gerakannya seperti yang diterangkan oleh para dokter atau ahli kesehatan. 

Semua ini adalah kata-kata akal, bukan agama. Yakni yang mengatakan bahwa akal tidak banyak tahu, bahwa akal perlu agama, bahwa agama harus dibawa orang maksum, bahwa agama terakhir harus dijaga maksum sampai kiamat dan seterusnya, semua ini bukan doktrin agama.

Tentu saja agama juga mengatakannya. Tetapi bukan sebagai pendoktrin atau pengajar bagi akal, apalagi pemaksa, tapi sekedar mengingatkan akal saja. oleh karena itu dalam agama dikenal hal yang menyangkut ajaran-hukum (tasyri’i) ada lagi yang bersifat mengarahkan saja (irsyadi).

Kita ambil contoh puasa.

Apa sih rahasia puasa itu? Ada yang bilang supaya merasakan laparnya orang miskin, terus untuk apa? Dibilang supaya kita tidak sombong, bisa toleransi dan membantu mereka.

Nah sekarang kalau kita sudah tidak sombong, lalu toleran serta membantu, apa sudah tidak wajib puasa, karena sudah sampai ke tujuan puasa, tentu saja tidak. Begitu pula dengan tujuan- tujuan takwa, mengingat lapar di akhirat dan lain-lain. Yakni kita tetap puasa sekalipun sudah mencapai tujuan-tujuan itu.

Mengapa kita tetap puasa sekalipun tak paham rahasia puasanya?

Karena kita terima penuh Kebijakan Tuhan setelah yakin bahwa Ia yang perintahkan puasa itu. Inilah akal ke dua yang dimaksudkan.

Sekian. Terima kasih. Al-fatihah -sholawat.

Haladap Saw menyukai ini


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 17 Agustus 2018

Lensa (Bgn 2) : "Dan janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (an-Najm: 32)



Oleh : Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:47


Ayat itu ditujukan kepada orang-orang Nashrani yang (mungkin) karena hidup kependetaannya, mereka merasa lebih suci dari muslimin dan Nabi. Jadi, bukan untuk muslimin.

Merasa paling suci itu tanda keyakinan asal memiliki argumen, kalau suci di sini maksudnya adalah suci dari kesesatan pemikiran dan akidah. Tetapi kalau merasa suci dalam perbuatan atau aplikasinya, maka kalau punya dalil dan tidak disertai kesombongan, maka itu dianjurkan agama untuk diceritakan, lihat QS:93:11. Di sana Allah menyuruh ceritakan kebaikan yang diberikan Tuhan kepada mereka. Seperti orang-orang maksum. 

Tetapi untuk selain yang maksum, dan tidak punya sandaran kepada maksum (sebab ada orang- orang yang dinyatakan suci/baik oleh maksumin), maka kurang layak mengatakan kesucian itu karena tidak adanya argument tentang benar dan diterimanya amalan yang dilakukannya. 

Merasa paling suci dengan argument adalah memahami kebenarannya dan kesalahan yang lain dengan argumentasi-gamblang, atau ilmu-mudah, atau dengan premis-premis ilmu-mudah. Ini kalau dalam pemikiran dan akidah. 

Tetapi kalau dalam amal, maka sulit perasaan itu dicapai bagi yang tidak maksum atau yang tidak memiliki sandran maksum. Apalagi akhlak kurang mendukungnya kalau diantara sesama orang baik atau yang merasa orang-orang baik. 

Beda halnya kalau orang yang lahiriahnya baik yang hidup di masyarakat yang tidak baik (dengan dalil-mudah) yakni yang meninggalkan syariat baik sebagian atau keseluruhannya, maka perasaan suci itu adalah fitrah yang, mungkin bisa dimasukkan ke dalam katagori sakinah yang diberikan Tuhan supaya orang tersebut tidak melemah dalam lautan masyarakat yang tidak Islami itu. 

Jadi, merasa suci tidak identik dengan kesombongan. Dan larangan Tuhan itu pada nasrani, bukan muslimin. 

Tuhan mengatakan kepada nasrani itu bahwa hanya Dia yang tahu yang suci, mungkin, karena mereka belum lagi satu agama dengan Nabi saww. Karena kalau satu agama, maka Tuhan akan mengatakan, bagaimana kamu mengatakan suci padahal kamu tidak menaatinya? 

Dengan penjelasan ini, berarti orang yang merasa suci, karena punya dalil, baik dari Tuhan seperti maksumin atau dari maksumin seperti beberapa shahabat maksumin yang sudah disaksikan kesucian atau kebaikannya, maka hal itu tidak terlarang.

Dan karena sombong itu ketidaksucian, maka orang suci yang merasa suci itu bukan kesombongan, tetapi perasaan benar yang muncul dari kebenaran-argumentatif yang dilakukannya secara benar- argumentatif pula. 

Sedang orang yang merasa dirinya “paling suci” (bukan “suci”), apalagi kalau tanpa argumentasi dari Tuhan yang Maha Tahu atau dari maksumin, maka ini adalah kesombongan dan kebodohan yang dilarang agama. 

Tetapi larangan terhadap hal ini ada di tempat lain, bukan di ayat ini. Karena dalam ayat ini, yang dilarang, adalah “merasa suci”, bukan “merasa paling suci”. 

Banyak sekali di muka bumi ini orang-orang yang suci dari dosa, seperti nabi-nabi dan imam- imam, apalagi syarat jadi imam itu harus suci dari dosa (QS: 2:124) dan kita tidak boleh taat pada yang tidak maksum (QS: 76:24). 

Dan kalau manusia mesti berdosa, dimana dosa itu haram hukumnya dimana wajib ditinggalkan, berarti agama Tuhan tidak bisa dilaksanakan dan melebihi kemampuan mansuai. Padahal Allah berfirman bahwa Dia tidak memerintah kecuali sesuai kemampuan QS:2:286. 

Sucinya Tuhan itu bukan dari dosa, tetapi dari kesalahan, kekurangan, keburukan, kebaikan- terbatas, kesempurnaan-terbatas, pensifatan kita-kita, materi, keterbatasan dan lain-lain. Karena itulah dikatakan Maha Suci, yakni Maha. 

Sedang manusia hanya dituntut suci dari dosa, yakni kesalahan yang disengaja. 

Tetapi kalau para nabi dan imam, terjaga juga dari kesalahan yang tidak disengaja, karena kalau kesalahan yang tidak disengaja ini terjadi, maka sekalipun tidak dosa, agama yang dibawa atau dipertahankannya, tidak akan pernah bisa diyakini manusia lain. 

Misalnya, jangan-jangan Nabi lupa mau bilang bahwa puasa itu di syawal tetapi di bilang Ramadhan, dan nabi juga lupa kalau sudah diingatkan untuk dirinya dan lupa menyampaikannya, dan nabi juga tidak sengaja menyampaikan bahwa kalau tidak ada penyalahan dari Tuhan itu bukan berarti sudah benar dan bukan karena beliau lupa, dan seterusnya. 

Sekian. Terima kasih. Al-fatihah –sholawat.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Lensa (Bgn 1) : Analisis Kritis Pluralisme dalam Al Quran « HMINEWS.COM.



Oleh : Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:44


Ketahuilah bahwa di Iran sempat muncul beberapa saat tentang pemikiran pluralisme ini, tetapi dengan gigihnya ulama dan Sayyid Ali Khamenei Rahbar kita, maka usaha Sayaurus dan sebangsannya untuk menyebarkan pluralisme ini menjadi mentah total. 

Dalam makalah yang jauh dari keselarasan dan penuh dengan kontradiksi itu, serta jauh dari spesialisasi Qur'an, penulis telah me-robek-robek tatanan berfikir logis-filosofis dan tentu saja me-robek Qur'an itu sendiri. Dan dengan tanpa memahami dasar pemikiran Rahbar kita hf, penulis juga telah merendahkan petuah-petuah Logis, filosofi dan agamisnya, menjadi sastrais- sayaairis, na’udubillah. 

Mungkin orang-orang mengira bahwa buku-buku semacam karya Sayaurus tersebut seperti “Jalan-jalan Lurus Yang Banyak” telah diberangus di Iran oleh para intelektual dan ulama serta Rahbar hf. Sama sekali tidak. Tetapi yang diberangus itu adalah dalil-dalil dan argumennya yang sastarais yang berusaha menipu manusia menjadi logis, filosofi, agamis dan Qur’anis. 

Mungkin juga Anda berkata, bahwa “Kalau ghitu berarti plural dong higga tidak dilarang bukunya terbit? “ 

Jawabanya: “Iya Plural, tetapi bukan Pluralisme”. Plural yakni majemuk, dan konsekwensinya adalah Toleransi, Bukan Pembenaran. Sementara kita tahu (bagi yang tahu bukan sok tahu), Pluralisme adalah “Semua agama dan pemikiran adalah benar” seperti yang dibawa penciptanya John Hick, walaupun dia juga terilhami dari beberapa Pastor dan tulisan-tulisan lama sekiter(sekitar) abad 18. 

Penulis makalah di situs ini, bukan hanya tidak tahu Qur'an yang memang tidak pernah ia pelajari dengan sistematis dan akademis, tetapi tentang pemaknaan dan konsekwensi Pluralisme ini saja dia tidak memahami hakikatnya. Dia kadang-kadang menukik ke Pluralisme, kadang turun lagi ke Plural. Maju mundur dan turun naiknya pemikirannya menandakan ketidakjelasannya dalam masalah ini. Buru-buru tentang Qur'an yang dia jelaskan sok tahu padahal jelas tidak pernah mempelajarinya secara akademis. 

Inti kebenaran Islam, terkhusus yang dibawa oleh Ahlulbait as, adalah Kebenaran Agama itu Satu, begitu pula tentang madzhab. Tetapi bukan berarti agama dan madzhab yang tidak benar itu mesti masuk neraka. Tidak sama sekali. Yakni, orang yang beragama atau bermadzhab yang tidak benar itu, bisa masuk surga kalau kebenaran agama atau madzhab belum sampai kepadanya, atau kalaulah telah sampai, tetapi belum terlalu jelas baginya sementara ia telah berusaha memahaminya. 

Dengan demikian, walau kita menghadapi tetangga kita yang kafir atau yang Sunni, maka kita tidak boleh menveto bahwa mereka pasti masuk neraka, karena sudah bertemu Islam atau Syi’ah dan sudah berulangkali diskusi. Karena mungkin mereka telah berusaha dan belum mendapatkan titik kuatanya kita atau agama/madzhab yang benar. 

Namun demikian, bukanlah tidak masuknya mereka ke neraka atau bisa masuknya ke surga itu karena mereka benar seperti yang dikumandangkan Pluralisme, tetapi karena memang tidak ada alasan untuk dimasukkan ke neraka lantaran tidak melakukan kezhaliman atau penganiayaan terhadap diri, agama dan orang lain. Jadi, yang masuk neraka itu hanya yang zhalim pada dirinya atau agamama/zhhab yang benar. Dan itu maknanya adalah menolak kebenaran setelah ia tahu yang ditolaknya itu kebenaran. 

Tetapi kalau dia belum benar, atau mungkin menolaknya, dikarenakan belum sampainya kebe- naran itu padanya baik secara lahir atau secara pemahaman, sementara dia sudah berusaha, maka orang seperti ini tidak layak dimasukkan ke neraka. Artinya ia akan mendapat maaf dari Allah sesuai janjiNya dalam Qur'an dan akal/fitrah. 

Jadi, masuk surganya karena dimaafkan, bukan karena dibenarkannya agama atau madzhabnya seperti yang digaungkan Pluralisme. 

Tentang pidato Rahbar hf yang tidak dipahami penulis itu, adalah bentuk dari Toleransi yang dianjurkan agama sebagai Tidak Ada Paksaan Dalam Agama. Sebenarnya bagi yang jeli dan hatinya bersih, ayat toleransi ini sadah menunjukkan bahwa yang benar itu satu, tetapi tidak boleh dipaksakan di dunia ini. Artinya mau ikut silahkan dan nanti masuk surga, dan kalau tidak mau juga silahkan dan nanti di akhirat masuk neraka. 

Toleransi, selain memiliki makna tidak memaksa, juga memiliki makna bekerjasama dalam hal-hal yang sama. 

Nah, Rahbar hf tercinta kita, dalam pidatonya itu, mengajak para agamawan selain Islam dalam forum yang sama untuk mengentas ber-sama-sama apa-apa yang bisa dientas dari kezhaliman dan ketidak adilan di dunia ini, bukan membenarkan agama dan madzhab meraka. 

Kalau kita melihat orang jatuh, apakah kita tanya dulu agama dan madzhabnya sebelum kita menolongnya? 

Atau kalau kita dirampok dan dijajah, apakah kita tanya dulu agama orang yang lewat dekat kita sebelum kita minta tolong padanya? Atau kalau kita mau gotong royong bikin jembatan di kampung kita, apa kita hanya mengajak yang Islam atau Syi’ah, dan melarang mereka yang kafir atau yang bermadzhab lain? 

Nah, Rahbar hf tercinta itu berpidato di hadapan mereka yang kafir itu dengan bahasa yang sama untuk memerangi kazhaliman dan pejajahan. Oleh karenanya sudah tentu wajar dan bahkan harus, untuk membawa dalil-dalil yang sama di antara agama-agama tersebut. 

Jadi, sangat wajar dan wajib bahkan, untuk menyebut sekalipun dalam siratan, tentang keadilan dan memerangi kezhaliman yang disebutkan dalam semua agama. Tetapi bukan pembenaran terhadap agama atau madzhabnya, tetapi pembenaran terhadap ajaran yang dinukilkannya itu. Persis kalau kita menukil hadits Abu Bakar atau Mu’awiyah tentang misalnya fadhilah imam Ali as. 

Kita dengan penukilan itu bukan membenarkan mereka, tetapi membenarkan apa yang mereka nukil Islamnya kita, Syi’ahnya kita, belajarnya kita dan seterusnya adalah bukti dari ketidakbenaran secara fitrawi dan agami (seperti yang penulis katakan) konsep Pluralisme ini. Bukan sebaliknya seperti yang dikatakan penulis. Adalah sangat tidak fitrawis, agamis, Qur'anis dan logis-filosofis, manakala kita seumur hidup jungkir balik belajar mencari kebenaran dan memintanya pada Tuhan, terkhusus jalan lurus, dan seterusnya, manakala kita dalam pada itu, mengimani dan mengatakan bahwa kebenaran itu milik semua orang, semua agama dan madzhab. 

Untuk dalil-dalil penguat lainnya mungkin di tempat dan waktu yang lain, semoga saya sempat menulisnya, karena sekarang sedang sangat sibuk hadapi kelas, seminar, wahhabi, soal-jawab wahdatul wujud dan Pokok-pokok ajaran Syi’ah yang sedang dikerjakan. 

Tambahan: Di Iran selama puluhan tahun ini, kalau ngadain seminar nasional atau internasional tentang persatuan, selalu mengatakan bahwa: “Bukan tujuan kami untuk saling pindah agama/ madzhab, atau saling membenarkannya, tetapi untuk saling toleransi dan mengerjakan hal- hal yang sama terkhusus dalam menghadapi kezhaliman global dunia dan semacamnya, oleh karenanya konsentrasi kita kepada yang sama-sama tersebut, tetapi tidak terlarang siapapun membahas yang berbeda kalau diinginkan, asal dalam koridor ilmiah dan santun serta tidak mengarah kepada perpecahan. 

Wassalam dan afwan.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ