Tampilkan postingan dengan label Fikih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fikih. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Mei 2019

Maa Fii Dzimmatii


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Monday, May 20, 2013 at 2:57 am


Sang Pencinta: 11 Maret 2013, Salam, apakah yang dimaksud dengan niat dzimmah dalam sholat fardhu? Kapan menggunakan niat ini? Kedua jika dalam kondisi 10 menit menjelang azan Suni, baru sholat zuhur dan ashar di mana masing-masing sholat kira memakan watu 8 menit, bagaimana niat masing-masing sholat tersebut? Terimakasih ustadz — bersama Sinar Agama. 

Armeen Nurzam: nyimak. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Bukan niat dzimmah tapi ”maa fii dzimmat/dzimmah”. Artinya ”Yang sesuai dengan keadaan tanggung jawabnya”. Jadi kalau wajib ya...wajib dan kalau qadhaa’ ya...qadhaa’. Atau kadang kalau sunnah-khusus ya...sunnah-khusus dan kalau bukan sunnah maka ya...sunnah-umum/sunnah-mutlak. 

Niat seperti itu dilakukan manakala seseorang sedang ragu dalam melakukan sesuatu apakah ada’ atau qadhaa’, atau apakah sunnah khusus atau umum dan lain-lain. Begitu pula seperti khumus yang dilebihkan misalnya yang dengan niat seperti itu, karena kalau memang pas ya... niatnya khumus dan kalau lebih ya...hadiah (misalnya) dan seterusnya. 

Sang Pencinta: yang kedua belum terjawab ustadz. 

Sinar Agama: Pencinta: Afwan kelewat. Dalam keadaan seperti itu, maka masing-masing niatnya tetap bukan maa fii dzimmah, tapi masing-masing shalatnya dipercepat hingga masing-masing nya tidak melebihi lima menit. Kalau perlu tinggalkan semua sunnah-sunnahnya. 

Khommar Rudinاللَّهُمَّے صَلِّے عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِے مُحَمَّدٍ وعَجِّلْے فَرَجَهُمْے

Wahyu Ibrahimmovich: Salam dan terimakasih ustadz. 
Sebelumnya ane gak tahu dzimmah tuh apaan ya?? Maklumlah dulu pas ane sekolah di sunni kagak ada.. mohon jelaskan! 

Sinar Agama: Wahyu, kan sudah dijelasin di jawabanku di atas itu? 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 12 Mei 2019

Cara Menyikapi Sumber


Seri tanya jawab Iqbal Malmsteen dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, April 11, 2013 at 11:14 pm


Iqbal Malmsteen mengirim ke Sinar Agama: Senin (11-3-2013) melalui BlackBerry Smartphones App, Assalamuallaikum Ustadz. Saya ingin mengajukkan beberapa pertanyaan. Antara lain : 

1. Bagaimana Seharusnya Etika kita terhadap Sumber ? 

2. Bagaimana sebenarnya Maksud Surah Al - Luqman Ayat 5, ada sebagian Ulama mengharamkan Musik dengan menggunakan Terjemahan Surah tersebut. 

Saya haturkan Terimakasih sebelumnya, dan Assalamuallaikuum... 

SangPencinta: Salam, ikut bantu, untuk no.2: Kita yang kelas mukalid ini dalam berhukum Tuhan (fikih), merujuknya ke fatwa marja taqlid, tidak ke Qur'an atau hadis langsung. 

Tentang taqlid oleh ust sinar: 
https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf?m, 

tentang musik: https://www.dropbox.com/s/ju8wd4f0fu8wo3o/Seputar%20Musik.pdf. 
WF Marja Taqlid.pdf 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Etika kita terhadap sumber, kalau yang dimaksudkan adalah Qur'an dan Hadits, maka wajib menghormatinya. Salah satu cara menghormatinya adalah tidak menafsirkannya sendiri dan hanya menafsirkannya sesuai dengan penjelasan ulama. Karena itulah, maka dalam fikih, cara menghormatinya adalah dengan merujuk langsung pada fatwa marja’nya dan tidak boleh memaknainya sendiri. 

Jadi, kalau sumber itu menjelaskan hukum, maka selain mujtahid tidak boleh memaknainya. 

Kalau menerangkan akidah dan akhlak, maka tidak boleh menafsirkannya selain ulama dan orang yang bukan ulama hanya bisa menafsirkan sesuai dengan tafsiran ulama itu (baca: menukilkan, baik dengan menyebut nama atau tidak, tapi isinya harus dari ulama). 

Tapi perlu diketahui bahwa sumber dalam Syi’ah itu masih ada dua lagi, yaitu akal dan ijma’ ulama yang di jaman makshumin as dimana dipahami bahwa mereka mengambil dari makshumin as. 

Kalau sumbernya akal, maka kalau bahasannya masalah akidah, maka memang harus dipakai oleh semua orang. Karena itu, harus mencapai argumentasi-gamblang dalam setiap keimanannya. Tapi kalau untuk fikih, maka akal itu sendiri mengatakan untuk merujuk kepada ahlinya seperti kesehatan yang merujuk ke dokter. 

Kalau sumbernya ijma’, maka selain ulama tidak boleh mengomentari apapun hal ini dan hanya ulama yang bisa mengulas dan membahasnya. 

2- Tentang ayat yang dimaksud itu, semestinya ayat: 5 yang berbunyi: 

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ 

”Dan ada sebagian orang yang membeli ucapan sia-sia untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa ilmu (yakni tidak ada dalil benarnya) dan mengambilnya sebagai permainan, bagi mereka adzab yang menghinakan.” 

Kalau sekedar main raba, bukan untuk memutuskan hukum dan hanya ingin membayangkan saja, maka ucapan sia-sia di sini, tidak berhubungan dengan musik. Karena sia-sia di sini, bukan yang tidak berguna dan membuang-buang umur. Karena sia-sia di sini adalah yang tanpa argumentasi dan menyesatkan. Jadi, maksudnya adalah yang menentang kebenaran itu sendiri. Sementara musik, sia-sianya dari sisi buang umur dan melenakan (bisa dibuat joget, dansa ...dan seterusnya) dimana mencakupi kata-kata yang hak dan benar sekalipun. 

Iqbal Malmsteen: Terimakasih Ustadz. Sungguh Mengesankan dan Sangat Arif. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Filsafat Vs Fikih ?!


Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, April 11, 2013 at 9:40 pm


Muhammad Dudi Hari Saputra mengirim ke Sinar Agama: Senin (11-3-2013) sekitar Kota  Yogyakarta 

Salam ustad. Apa kabar ustad? Semoga ustad selalu dalam keadaan yang baik dan sehat. Ustad, dalam proses belajar filsafat saya, saya kadang mendapatkan cibiran bahkan tak jarang dari kalangan pencinta AB sendiri, seperti ungkapan: jangan belajar filsafat nanti fiqihnya tidak dijalankan, orang-orang yang belajar filsafat itu sombong-sombong, dan sebagainya. 

Sedangkan menurut pemahaman saya, belajar filsafat itu penting karena filsafat adalah salah satu solusi untuk memahami ajaran islam sebenar-benarnya islam. 

Mohon pendapatnya ustad, terkait: 

1. Apa yang mendasari beberapa ulama, sebut saja al-gazhali sangat anti-pati terhadap filsafat bahkan mengharamkannya? 

2. Sadra pernah menyindir akan adanya para filsuf yang palsu, mohon sekiranya dijelaskan ustad filsuf yang palsu dan filsuf yang sebenarnya itu seperti apa? 

Terimakasih.. ^_^ 

SangPencinta: Salam, 652. Ada Apa Dengan Filsafat??!! (Mengapa Sebagian Muslimin Anti Filsafat?), Oleh Ustad Sinar Agama = 
http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/379026705475465/ 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Terima kasih sang pencinta, anda memang luar biasa.. 

SangPencinta: Dalam file ‘PDF serba filsafat’ ust sinar sudah lengkap mas. 

Muhammad Dudi Hari Saputra: hhe,,, saya hanya ingin sekedar melepas rindu saja dengan ustad,, kalau merujuk ke semua catatan, maka saya tidak akan silaturahmi lagi,, karena catatan-catatan beliau sudah sangat lengkap. Tapi saya masih mencari-cari pertanyaan lagi ini,,hhe 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya yang dimaksudkan silaturrahim. Tapi untung ada Pencinta yang bisa menukil Kalau tidak, maka jemariku akan semakin kram mengulang-ulang topik yang sama, semoga Tuhan mengganjarnya dengan ganjaran yang tidak terbatas, amin. 

Filsafat kalau di Indonesia, yang biasa dikaji di kampus-kampus dalam istilah hauzah disebut dengan Falsafah, yakni belajar tentang sejarah pemikiran filsafat para filosof, bukan filsafat itu sendiri dimana mempelajari wujud dari kacamata wujud. Kalau tidak belajar filsafat, tentu tidak akan membahas fikih yang termasuk wujud itu dan, apalagi dari mana dan untuk apanya. Justru orang yang pandai filsafat yang akan mengerjakan fikih sepenuh hati karena ia mengerti dengan akal gamblangnya esensi fikih itu sendiri. Beda dengan orang yang belajar Falsafah yang hanya asyik dengan sejarah para pemikir dan tidak tahu ia dari mana, hidup dimana dan hendak kemana. 

Filosof palsu adalah yang tidak memperlajari filsafat dengan cermat dan sok tahu serta tidak aplikatif. Ghazali termasuk diantaranya. Karena ia gagal belajar filsafat dan meninggalkan di tengah jalan karena beratnya dan memutuskan untuk tidak meneruskan belajar dan melihat ketidakurgennya dan bahkan bertentangannnya dengan lahiriah agama. Karena itulah ia menulis kitab yang berjudul “Kerancuan Filsafat”. Tentu saja karena ia tidak tuntas belajar. Karena filsafat itu bukan hanya tidak bertentangan dengan syariat, akan tetapi justru tulang punggung bagi pemahaman syariat secara dalam. Karena itu Ibnu Rusyd menulis jawaban kita itu dengan judul 

“Kerancuannya Kerancuan”. 

Lain-lain simak nukilan Pencinta itu. 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Syukron ustad sinar agama... amin semoga mas sang pencinta mendapat ganjaran yang tak terbatas dari Allah. Wassalam. 

Ammar Dalil Gisting: Salam. Afwan, mungkin yang di maksudkan ust adalah Ibnu Rusyd, yang menulis “Kerancuannya kerancuan”... 

Sinar Agama: Ammar: Benar yang antum katakan. Sudah diperbaiki. Terimakasih atas koreksinya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Shalat di Awal Waktu = Meninggalkan Fikih Ringan ke Fikih Berat, Bukan ke Akhlak


Seri tanya jawab Andri Kusmayadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, April 11, 2013 at 9:34 pm


Andri Kusmayadi mengirim ke Sinar Agama: Minggu (10-3-2013) Salam. Afwan Ustadz, ada yang terlewat, kalau dengan sengaja mengakhir-akhirkan shalat, tapi masih dalam waktunya itu dosa gak? Terimakasih. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Tidak dosa tapi kurang baik kalau tidak ada halangan. 

Andri Kusmayadi: Nah, sekalian Ustad Sinar Agama, pingin memperjelas perbedaan fikih dengan akhlak...bisa tidak untuk kasus di atas bahwa secara fikih tidak haram, tapi secara akhlak salah? 

Soalnya kurang baik itu kan bukan bahasa fikih? Bener tidak ustad pemahaman ana itu? Btw, ana kirim pertanyaan ke inbox juga Ustad, udah lama...masykur... 

Sinar Agama: A K: Benar dan tidak benar. 

  • - Benarnya, kalau pengamalan akhlak itu, yaitu tidak mengundurkan waktu itu, dikarenakan pembolehan fikihnya. Jadi, kita melakukan kesunnahan dalam fikih,yaitu dalam mengawalkan shalat dimana hal ini juga dikatakan akhlak. Karena itu, tidak ada pendahuluan akhlak di atas fikih. Karena mendahulukan shalat itu, diterangkan di fikih sebagai sunnah. Jadi, pindah dari fikih mubah menunda shalat yang lebih ringan, ke fikih sunnah untuk menyegerakan shalat yang tentu lebih berat. Jadi, berpindah dari fikih ke fikih dan dari fikih yang ringan ke fikih yang lebih berat. Bukan seperti yang diinginkan pindah dari fikih ke akhlak yang, biasanya untuk keringanan dan enak-enakan. 
  • - Salahnya, kalau antum memaksudkan bahwa dengan mendahulukan shalat berarti telah mendahulukan akhlak dari fikih. Alasan kesalahannya, adalah keterangan di atas itu. 
Wassalam. 

Andri Kusmayadi: Sudah jelas Ust. Sinar Agama tentang jawaban contoh kasus ini...tapi, tentang perbedaan definisi akhlak dan fikih dari contoh itu belum jelas benar. Mungkin antum sudah membahas masalah definisi akhlak dan fikih ini secara panjang lebar, atau mungkin Sang Pencinta bisa memberikan linknya. Terimakasih. 

Sinar Agama: Andri: Sudah sering kita bahas itu, coba antum cari di catatan. Intinya, akhlak itu, kalau di tatapan umum, adalah tinjauan tentang kelakuan, sifat-sifat dan karakter-karakter manusia. Jadi, bahasanya adalah baik dan tidak baik. Sedang fikih itu batasan dari baik dan tidak baiknya itu. Artinya, memiliki bobot wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. 

Karena itu, maka orang yang meninggalkan fikih demi akhlak, dalam pandangan akhlak-Islam itu sendiri, jelas tidak berakhlak. Karena bagaimana mungkin seseorang meninggalkan ketentuan Tuhannya tanpa alasan yang benar yang sudah disebut di fikih taqiah dan hanya mengikuti kesukaannya sendiri, bisa disebut berakhlak??!!! Hal seperti ini, bukan hanya keluar dari akhlak, akan tetapi menantang Tuhan seperti iblis yang menantangNya ketika diwajibkan secara fikih untuk bersujud kepada nabi Adam as. Artinya, ia bukan hanya menyalahkan Tuhan dan aturan fikihNya, akan tetapi juga menyalahkan fikih buatanNya itu. Artinya dia merasa lebih alim dan pandai dari Tuhan seperti iblis yang merasa lebih benar dari Tuhannya itu dimana karena itu ia menantangNya untuk memberikan umur panjang, hingga ia dapat membuktikan kebenarannya dan kesalahanNya. 

Andri Kusmayadi: Jelas sekarang Ustad.... nanti ana cari-cari linknya untuk lebih paham lagi... sambil nunggu dari sang pencinta. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 11 Mei 2019

Perbandingan Dosa Ghibah dan Selainnya


Seri tanya jawab Andri Kusmayadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 11:04 am


Andri Kusmayadi mengirim ke Sinar Agama: Minggu (10-3-2013) Salam. Afwan, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan. 

1. Tahapan terendah seorang muslim itu melaksanakan kewajiban atau meninggalkan yang haram? Mengingat suka ada orang yang tidak pernah shalat, tapi dia baik, tidak berzinah, mabuk-mabukan, berjiwa sosial tinggi dan lain-lain... Sebaliknya, suka ada orang yang shalatnya rajin, begitu juga kewajiban-kewajiban lainnya, puasa, khumus, dan lain-lain....tapi dia juga tetap bermaksiat kepada Allah dengan berzinah....Mohon penjelasannya..... 

2. Ketika salat zuhur berjamaah, kita masuk imam sudah rakaat ketiga, dan kita membaca alfatihah dan suratnya belum selesai, apakah itu termasuk satu rakaat atau belum sehingga harus disempurnakan ketika selesai salat? 

3. Ingin lebih paham tentang perbedaan fikih dan akhlak. Mungkin dengan memberikan contoh... seperti ini. Saya pernah membaca Imam Khomeini mengatakan bahwa ghibah itu lebih besar dosanya dibandingkan dengan membunuh atau berzinah? Nah, hal ini secara fikih atau akhlak? Bukankah, kalau membunuh atau berzinah itu ada hukumannya seperti dibunuh lagi atau dirajam, sedangkan ghibah itu tidak ada hukumannya? Demikian pertanyaan dari saya. 

Terimakasih sebelumnya. 

D-Gooh Teguh: 3. Kafir juga gak ada hukumannya di dunia. Yang kasat mata lho... bukan yang kasat-meta. 

SangPencinta: Salam, untuk no 1 kurasa ini mencukupi, 
http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/486549254723209/ 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Yang meninggalkan dosa, apapun dosa itu, maka akan ditulis dan akan disiksa atau diampuni sesuai dengan hitungan dan kebijakan Tuhan. Tapi yang meninggalkan shalat, akan menggugurkan semua kebaikannya. Karena di fikih diterangkan bahwa kalau shalat diterima maka semua amal baiknya akan diterima dan begitu pula sebaliknya. 

Sementara zina juga tidak kalah besarnya. Apalagi kalau sudah punya istri, maka hukumannya adalah dirajam. Yakni dipendam separuh badan dan dilempari batu sampai mati. 

2- Shalat makmum yang di belakang imam, hanya diwajibkan fatihah kalau tidak cukup waktu dan imam sudah pergi ke rukuk. Tapi kalau sudah membaca surat dan imam pergi ruku’, maka diselesaikan secepatnya dan mengejar imam ke ruku’. Tapi kalau belum baca surat imam sudah ke ruku’, maka surat itu ditinggalkan (tidak dibaca). 

3- Fikih itu adalah hukum Tuhan. Haramnya ghibah juga hukum fikih. Dan dalam mengerti hukum-fikih, tidak mesti ada embel-embel hukumannya, terlebih di dunia. 

Kalau bisa antum tambahkan rujukan kata-kata imam Khumaini ra itu, maka akan lebih sempurna, supaya kita semua tahu, apakah penjelasan itu memang ada dan seperti itu atau tidak. 

Sinar Agama: Teguh: Salam untuk antum dan untuk semua teman-teman. Semoga selalu dalam rahmat dan lindunganNya , amin. 

D-Gooh Teguh: Terima kasih ustadz... harapan kita hanya “Tuhan mengampuni sebagian besar dosa-dosa”. 

Sinar Agama: Teguh: Mengapa tidak mengampuni semua dosa-dosa kita??!!! he he... 

D-Gooh Teguh: Saya kutipan bebas dari salah satu ayat aja ustadz... ayat yang menenteramkan qalbu saya yang legam ini. Juga “jika Rasul memohonkan ampunan maka Tuhan akan mengampuni”. 

Pegangan ketenteraman hidup di dunia. Jadi ingat, ada juga yang terjemahnya mengampuni semua dosa-dosa. Asyik... 

Sinar Agama: Teguh: Ahsantum. 

Andri Kusmayadi: Terimakasih Ust. Sinar Agama, Sang Pencinta, dan D-Gooh Teguh atas penjelasannya... oh ya tentang pendapat imam Khomeini tentang ghibah itu ada di link ini. 
http://indonesian.irib.ir/en/hidden-2/-/asset_publisher/yzR7/content/id/5267836/pop_up?_101_ 

INSTANCE_yzR7_viewMode=print 

Imam Khomeini: Amar Makruf dan NahiMunkar Bersama Imam - Terkini indonesian.irib.ir 

Di awal kedatangan Imam Khomeini ra di... 

Sinar Agama: Andri: Ahsantum. Dalam setiap hal, memiliki berbagai dimensi. Salah satu dimensi dari ghibah itu adalah menjatuhkan orang di depan masyarakat dan membuatnya malu bahkan untuk bertaubat. Ini tentu lebih besar dari membunuhnya. Tapi dari sisi tersebut. 

Sementara kalau dilihat dari sisi menghilangkan nyawa seseorang, maka Tuhan mengatakan seperti membunuh semua orang. 

Begitu pula zina. Zina, kalau muhshaan atau zina besar, maka dipendam separuh badan dan dilempari batu sampai mati. Dosa ini terlalu besar. Tapi ghibah tidak memiliki hukum seperti ini dan taubatnyapun, menurut imam Khumaini ra sendiri cukup dengan berhenti dan (secara tersirat dipahami) harus mengembalikan harga diri orang itu di orang-orang yang diberitakan tentang keburukannya itu. Artinya, menurut imam ra tidak perlu mencari orang itu dan meminta kehalalannya. Cukup menyesal dan berhenti dan secara tersirat dipahami seperti yang di atas itu. 

Misalnya juga, menzinahi istri orang. Ini lebih dari merajang-rajang suaminya itu. Seakan telah menusukkan ribuan pisau kepada diri dan harga dirinya sebagai suami. Jadi, semua ini tidak bisa dianggap enteng. 

Akan tetapi, dari satu sisi yang lain, ghibah bisa lebih besar dari itu semua seperti yang sudah dijelaskan di atas itu. Karena zina bisa saja tersembunyi, tapi ghibah penyebaran keburukan hingga seseorang itu tidak memiliki harga dan harga diri di dunia dan di masyarakat dan bahkan bisa membuatnya lebih putus asa untuk taubat dimana hal ini tidak kalah besarnya dari semua dosa-dosa di atas itu atau bahkan lebih besar. 

Lagi pula, ghibah itu bertingkat. Semakin yang dighibah itu orang taqwa dan apalagi ulama, maka akan semakin besar dosanya, karena bisa dosa pada agama karena telah mejauhkan masyarakat dari sumber agama. 

Tapi ghibah itu memiliki syarat-syaratnya. Seperti dosanya tidak dilakukan di depan umum. 

Beda dengan kalau di depan umum, tulisan di fb atau di buku, atau rekaman di dan seterusnya. 

Dan masih banyak lagi pembahasan ghibah ini. Seperti tidak masalah menggunjing manakala di pengadilan, manakala ingin meminta nasihat pada orang yang dianggapnya bisa menyelesaikan masalahnya, atau supaya melindungi orang lain dari keburukan dan kejahatannya. 

Tambahan: 

Tujuan penjelasan ini, jangan sampai meringankan zina dan pembunuhan karena gampangnya orang melakukan ghibah dan tidak adanya hukum rajam baginya serta lebih gampangnya taubatnya. Tapi juga jangan sampai meremehkan ghibah ini karena ia dosanya, setidaknya, tidak kalah dengan dosa-dosa di atas. Wassalam. 

Andri Kusmayadi: Oh begitu ya Ustadz...terimakasih atas penjelasannya.... 

Sinar Agama: Andri: Iya, banyak sekali sudut pandang kelebihan dan kekurangan dari perbandingan satu perbuatan dengan yang lainnya. 

Misalnya dalam hal kebaikan di katakan dalam riwayat bahwa meminjamkan itu lebih baik dari memberi. Semua ini harus dipadukan dengan hal-hal lainnya, seperti kondisinya, orangnya, masalahnya, ......dan seterusnya. Karena itu, bisa satu perbuatan itu lebih besar ketimbang yang lain dari satu sisi, tapi dari sisi pandang yang lain bisa berbalikan. Karena itulah maka agama tidak bisa dipelajari dengan tidak spesifik dan dalam waktu yang lama. Dan karena itu pulalah masyarakat umum disuruh bertanya ke ulama dan karena itulah melihat wajah ulama saja bagi orang umum sudah merupakan kesunnahan yang disunnahkan agama itu sendiri. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 10 Mei 2019

Mutanajjis Memindahkan Najis


Seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:47 am


Irsavone Sabit mengirim ke Sinar Agama: Salam Ustadz, mau bertanya. Apakah baju yang ternajisi oleh lantai yang najis, yang sebelumnya lantai tersebut telah dibersihkan tetapi tidak secara fiqih, bisa menularkan lagi najisnya? Karena terkadang saya tidur di lantai yang tidak dibersihkan secara fiqih tersebut dengan menggunakan baju di badan, namun saya tidak yakin apakah badan saya berkeringat atau tidak, karena saya ragu maka baju tersebut saya ganti untuk kemudian dipakai shalat. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Jelas bisa memindahkan lagi. Kalau yang dipindahi baju itu menyentuh yang lainnya dan salah satunya dalam keadaan basah, maka akan tertulari juga. Begitu seterusnya. Penularan ini, kalau yang ditularkan itu adalah benda najisnya, maka semua yang ditulari itu dihukumi mutanajjis pertama (yang kena najis pertama). Tapi kalau penularannya itu hanya hukum najisnya, misalnya air yang mutanajjis yang tidak berubah sifat-sifatnya, atau terkena kencing lalu sudah kering, atau terkena darah tapi sudah tidak ada darahnya lagi...dan seterusnya, maka mutanajjis pertama itu dikatakan mutanajjis pertama dan mutanajjis berikutnya, dihukumi dengan mutanajjis ke dua, ke tiga, ke empat ...dan seterusnya. 

Nah, perpindahan yang ke jenis ke dua di atas, yaitu yang tidak memindahkan benda najisnya dan hanya hukum najisnya, yaitu yang benda najisnya sudah tidak ada, masih dibagi dua lagi. 

  • a- Kalau dalam setiap penularan itu didahului dengan kering dulu, baru nanti basah lagi atau menyentuh yang basah lainnya, maka perpindahan yang ke lima atau ke enam, bisa dianggap bersih/suci. 
  • b- Tapi kalau perpindahannya itu memindahkan cairan/basahan dari yang pindah kepadanya alias belum melewati proses kering, maka semuanya masih dihukumi dengan dirinya. Jadi, kalau basahan/hukum najis yang pindah ke mutanajjis ke dua yang dipindahkan ke mutanajjis ke tiga, maka yang ke tiga ini dihukumi mutanajjis kedua. Begitu pula seandainya basahan yang diterima mutanajjis ke tiga itu juga dipindahkan ke mutanajjis ke empat, maka tetap dihukumi sebagai mutanajjis kedua. Tapi kalau didahului kering dulu, dan baru basah lagi atau disentuh benda basah lainnya, maka barulah hitungan itu bisa diteruskan. Karena itu, dalam contoh di atas, yang ke tiga itu bisa dikatakan mutanajjis ke tiga... dan seterusnya... dimana mutanajjis ke empat dan ke lima (lebih baiknya yang ke lima), sudah bisa dihukumi bersih. 
Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Hukum Tinggal di Rumah Yang Mau Dibisniskan


Seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:43 am


Irsavone Sabit mengirim ke Sinar Agama: Salam, Apakah khumus itu berlaku juga terhadap rumah yang dibeli untuk bisnis, misalnya kita beli rumah untuk dijual kembali untuk mendapatkan untung? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Jelas rumah ke dua itu dihitung bisnis. Dan hitungan bisnisnya adalah uang yang dijadikan modal itu, harus dikhumusi dulu kalau diambil dari penghasilan sebelumnya. Kalau modalnya sudah dikhumusi, maka kalau masuknya labanya pada pertengahan tahunan khumusnya, dan di akhir tahunan khumusnya masih ada sisanya, maka sisanya ini yang wajib dikhumusi. 

Dan kalau modalnya diambil dari hutang, maka yang dikhumusi adalah keuntungannya dari setelah membayar hutang dengan riba-terpaksanya itu, dengan catatan seperti di atas. Yakni kalau masuknya keuntungan tersebut di pertengahan tahun khumusnya, maka kalau ada sisa dari belanja normalnya di akhir tahunan khumusnya, maka baru wajib khumus. 

Irsavone Sabit: Bagaimana ustadz, jika modal untuk membeli rumah tersebut tidak mempunyai sisa untuk dikhumusi, misalnya harga rumah atau tanah sama dengan modal yang dimiliki tentunya tidak ada sisa untuk dikhumusi dan biasanya untuk pegawai dalam membeli rumah atau tanah, ya harus terpaksa meminjam dari bank, dan biasanya juga modal yang dipinjam sama dengan harga rumah atau tanah. 

Sinar Agama: IS, Kan sudah dijawab di atas itu? Coba baca lagi dan kalau belum mendapat jawaban, maka bisa ditanya lagi. 

Irsavone Sabit: Apakah rumah yang dibisnisi tersebut, bisa ditinggali? 

Irsavone Sabit: Apakah rumah yang dibeli dengan uang hutang sekalipun tidak dibisnisi, tidak dikenai khumus? 

Sinar Agama: IS: Sebenarnya sudah banyak keterangan tentang khumus ini di fb ini. Ringkasnya, kalau seseorang punya kelebihan dari penghasilannya, maka wajib bayar khumus dari kelebihannya itu, sekalipun punya hutang milyarand rupiah. Kecuali kalau sisa-sisa yang ada dibayarkan ke hutangnya itu sebelum tutup tahunan khumusnya yang dibuat di tanggal awal kerja atau awal menerima bayaran. 

Kalau rumah yang dibisniskan itu ditinggali, sementara ia sudah punya rumah, maka mungkin sebaiknya dihitung dengan sewa dan dari sewa yang diumpamakan itu dikeluarkan khumusnya. 

Tapi kalau memang belum punya rumah, maka jelas tidak masalah meninggalinya. Rumah yang diperlukan, yakni karena belum punya rumah, dan rumahnya itu dilihat dari sisi fasilitas materinya sudah sesuai dengan tingkatan sosial dirinya secara umum , maka tidak perlu dikhumusi. Kecuali kalau uangnya ditabung sebelum itu dan tersisa di tahun penutupan khumusnya dimana yang demikian harus dikhumusi. Tapi kalau kredit, maka selama uang-uang kreditnya itu dibayarkan sebelum penutupan tahunan khumusnya, maka tidak perlu dikhumusi. 

Tapi rumah ke dua, harus dikhumusi. Begitu pula dengan mobil ke dua, motor ke dua... dan seterusnya karena sudah keluar dari keperluan darurat secara umumnya. Baik benda-benda ini dibeli secara kontan atau kredit dan hutang. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 06 Mei 2019

Luasnya Fikih


Seri tanya jawab inbox Anwar Mashadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes)

AnwarMashadi: (5-4-2013) Assalamu’alikum.. wr..wb.. 

Saya sebelumnya mengira (mungkin juga umumnya awam yang lain) bahwa ketika kita tenggelam dalam fikih (baik dalam belajar dan beramal; yakni belajar agar kemudian bisa beramal secara sah/syar’i) seolah-olah kita menjadi anti-sosial. Pikiran (mindset) saya pun tersekat hanya pada soal yang benar yang begini, yang tidak begini keliru/salah. Pikiran seperti ini, orang menyebutnya dengan pikiran hitam-putih. Maka, cara berpikir seperti ini pun terbawa dalam konteks sosial, sehingga cenderung akan “mengelirukan yang tidak seperti yang saya lakukan”. Bahkan ia menjadikan dirinya (yakni, sayanya) sebagai standar; sehingga menjadi “mengelirukan yang tidak sesuai fikih”. Pandangan seperti ini menjadikan fikih sebagai orientasi diri, yang dari situ ia melihat orang lain. Maka salah benar orang pun tergantung pada dirinya. 

Sekarang saya menduga (yang mungkin juga sebagian awam lain, walau mungkin saya kira jauh lebih sedikit), bahwa fikih itu sebenarnya penyelesai masalah, yakni untuk urusan dari apa yang (mau) dikerjakan seseorang (muslim). Jadi berpikirnya adalah, permasalahannya adalah kita justru merujukkan setiap urusan pribadi dan sosial kita kepada fikih. Karena hanya fikih yang bisa menenangkan seseorang dari beban atas apa yang dilakukannya. Kalau yang dilakukan sesuai fikih maka ia (akan menjadi) tenang. Begitu pula sebaliknya. Maka ungkapan fikih yang anti-sosial dan tidak atau kurang peduli sosial/lingkungan, justru pemikiran yang tidak proporsional alias keliru. Sebab, justru karena adanya “tantangan sosial/lingkungan” pada cara kita bertingkah laku pribadi dan sosial itulah kita (jadi/harus) berfikih..(sekiranya ada kesempatan mohon tanggapan). 

Salam… 

Sinar Agama: Salam, sudah benar seperti itu. Karena fikih yang juga disebut syariat, sudah lengkap diturunkan Tuhan untuk menata kehidupan apapun dari manusia ini, baik dalam kesendiriannya, keluarga, sosial-politik, internasional atau bahkan sampai pada hubungan manusia dengan binatang, bebatuan, pepohonan, jin, malaikat, dan bahkan dunia akhirat dan Tuhannya. Tidak ada yang bisa meremehkan fikih lalu dia tetap bisa disebut muslim hakiki. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 05 Mei 2019

Fikih Adalah Hiriz/Ajimat Untuk Keselamatan Dunia-Akhirat


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 11:00 am

Sang Pencinta: 8 Maret 2013, Salam, mohon penjelasan. Sebelum mandi, setiap anggota tubuh yang hendak dibasuh harus disucikan terlebih dahulu, akan tetapi tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk mensucikan seluruh tubuhnya sebelum mandi, oleh karena itu bila anggota tubuh telah disucikan sebelum mandi, maka mandinya dihukumi benar. 

(Ajwibah al-Istifta’at, no.179, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 93). terimakasih ust. — bersama Sinar Agama. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: Salam,, kalau dalam Fikih Sistani,, sesuatu yang najis dan yang berbatasan/berdekatan dengan najis teresebut,, akan seketika menjadi suci ketika proses pensucian berakhir. 

Seperti orang yang memandikan jenazah,, dia juga akan menjadi suci ketika dia selesai mensucikan jenazah ... 

Untuk fikih Ali Khamene’i,, saya menunggu ustadz Sinar Agama 

Sang Pencinta: Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: kalau punya fikih Sistani format PDF Indonesia, tolong share ya. Terimakasih. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Maksudnya adalah, yang wajib disucikan sebelum mandi itu, adalah anggota yang mau dibasuhnya. Jadi, kalau kakinya najis, tidak wajib disucikan kalau masih mau membasuh bagian pertama (kepala dan leher) atau bagian tubuh yang masih di bagian atasnya. Nah, baru setelah kepala leher dan tubuh bagian atasnya itu sudah dibasuh dengan basuhan yang diniatkan mandi besar itu, maka baru kakinya disucikan dari najis sebelum mandi-besarnya. 

Sinar Agama: Nou: Saya tidak melihat hubungan komentar antum dengan yang ditanyakan Pencinta dan saya tidak dapat memahami pertanyaannya. Dan saya mengira bahwa antum salah memahami fatwa tersebut karena yang biasanya dimaksudkan adalah, kesucian bittaba’ atau kesucian dengan mengikuti. Seperti jenazah yang najis dan menajisi tempat pemandiannya dimana ketika jenazah sudah selesai dimandikan dan menjadi suci, maka tempat pemandiannya itu juga menjadi suci. 

Sang Pencinta: Nou: Ketika seseorang menyentuh mayat/memandikannya, ia wajib untuk mandi menyentuh mayat’ jika ingin sholat dan amalan yang memerlukan kesucian. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: @ sang pecinta : afwan,, kalau memakai pc,, bisa ke http://sistani.org 

Seseorang yang menyentuh mayat yang belum dimandikan,, memiliki hukum yang berbeda dengan orang yang memandikan jenazah,, 

@ ustadz sinar : afwan,, mungkin memang saya salah memahami ... Dalam Risalah Amaliah Ali Sistani masalah 378. 

378. It is not necessary that the entire body of a person should be Pak before Irtimasi and Tartibi Ghusl. So, if the body becomes Pak while diving in water or pouring water over one’s body with the intention of the Ghusl, the Ghusl will be in order. 

Terjemah

378. Tidak perlu mensucikan seluruh tubuh seseorang sebelum mandi Irtimasi and Tartibi. Jadi, jika badan menjadi suci ketika menyelam dalam air, atau menyiramkan air ke tubuh dengan niat Ghusl, maka mandinya sah. 

Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan fatwa antara Rahbar dengan Ali Sistani. Mungkin ustadz bisa sedikit menambahkan penjelasan ... Syukran. 

www.sistani.org 

Sang Pencinta: Nou: Seseorang yang memandikan jenazah, apabila hendak shalat, maka (setelah mandi menyentuh jenazah) dia harus berwudhu, karena tidak sebagaimana mandi janabah, mandi menyentuh jenazah tidak mencukupi kewajiban wudhu. 

(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 104) 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: benar,, wajib berwudhu,, tapi tidak wajib mandi menyentuh jenazah. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: untuk fikih Ali Sistani,, link rujukan 

http://www.almujtaba.com/malay/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/www.al-shia.com/html/id/islamic-laws/65.html 

afwan,, saya belum membuat terjemahnya. 

Ghusl for touching a dead body 

www.almujtaba.com 

Sang Pencinta: Coba perhatikan kalimat di atas (setelah mandi menyentuh jenazah)), di sini terlihat wajib pemandi jenazah wajib mandi. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: hmm ... 

Tolong bantu penjelasan kalimat berikut 

532. If a person touches a dead body after it has been given three obligatory Ghusls, Ghusl for touching will not be wajib. However, if he touches any part of the dead body before the completion of 3 Ghusls he should do Ghusl for touching the dead body, even if the 3rd Ghusl of that part which he has touched may have been done. 

219. When a person washes something with water to make it Pak, his hands washed along with that thing, will be Pak when the thing is Pak. 

Sinar Agama: Nou: Belajar fikih itu tidak bisa sekali baca. Kalau antum memang taqlid pada Rahbar hf seperti yang antum katakan di inbox, maka tolong baca fikih Rahbar hf itu secara berulang kali supaya tidak terjadi kekeliruan. 

Beberapa kali saya melihat antum ada kesala pahaman memahami fatwa yang antum nukil itu. Perlu antum ketahui bahwa hal ini wajar. Saya yang puluhan tahun di hauzah dan sudah dibimbing para guru, masih saja kadang salah memahami fatwa. Oleh karena itu, jangan tambah beban lagi. Pelajari satu fatwa dari marja’ antum itu dengan seksama dan berulang kali, karena ia adalah ajimat atau hiriz menuju keselamatan dunia-akhirat. 

Kalau memang antum mau cari pelarian dari ihtiyath-nya Rahbar hf, untuk bisa memakai fatwa Sistani hf itu, maka cari yang ihtiyath-ihtiyath wajib yang punya Rahbar hf dan bandingkan dengan fatwa Sistani hf, supaya kalau ada perbedaan, antum bisa nukilkan ke diri antum dan orang lain (kalau antum mau). 

Contoh ke dua yang sempat ana lihat dari kekeliruan tentang tidak mandi junubnya orang yang memandikan mayit di atas itu. Kalau dari fatwa lain, mungkin saja seperti yang antum katakan. 

Tapi kalau dari fatwa yang antum nukil itu, jelas tidak ada hubungannya sama sekali. Karena fatwa itu mengatakan bahwa wajib mandi ketika menyentuh mayat (yang sudah dingin walau tidak disebut di nukilan fatwa antum itu) yang belum dimandikan dengan tiga pemandian sebagaimana yang sudah diatur dalam bab memandikan mayat. Dan di fatwa itu dikatakan bahwa kalaupun sudah dimandikan, tapi belum lengkap tiga kali (dengan air campur bidara, dengan air yang dicampur kafur dan dengan air murni) dan sekalipun yang ke tiga itu sudah diperkirakan sudah dilakukanpun, maka tetap wajib mandi kalau menyentuhnya. 

Saya juga tidak ada waktu dan tidak merasa perlu untuk menyimak pemahaman-pemahaman terhadap fatwa Sistani hf itu karena tidak diperlukan bagi yang taqlid pada Rahbar hf. 

Anjuranku, bacalah dengan seksama fatwa marja’ antum dan fokuskan pada hal itu karena biar sudah puluhan tahun belajar agama dengan guru sekalipun, masih bisa terjadi salah paham dan semacamnya. Kalau antum lihat ana sendiri beberapa kali meralat informasi fikih ini, maka antum akan lebih merasakannya. Lah, kalau kita kira-kira sama dalam kecerdasan, lalu yang puluhan tahun belajar spesifik masih bisa melakukan kesalahan, apalagi yang baru mempelajari fikih secara otodidak dan hanya bermodal bahasa. 

Menyentuh mayat yang tidak wajib mandi itu dalam tiga kondisi (mayat): 

1- Yang mayatnya berupa mayat syahid dan matinya di medan perang (bukan mati syahidnya di rumah sakit setelah luka di medan perang, misalnya). 

2- Yang badan mayatnya masih hangat. 

3- Yang sudah dimandikan tiga kali (sebagaimana yang sudah diterangkan di atas). 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Shalat Sunnah-Khusus dan Sunnah-Mutlak / Umum


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:54 am


Sang Pencinta mengirim ke Sinar Agama: 8 Maret 2013, Salam, ada yang bertanya, jika melakukan sholat pengampunan mampunya membaca 40x surat al-Ikhlash, apakah boleh/mencukupi? Terima kasih ustadz. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Shalat sunnah atau sunnah-sunnah lainnya yang sudah diatur caranya itu, harus dilakukan sesuai dengan cara-cara tersebut, baik aturan waktu atau pelaksanaannya sendiri. Keharusan ini, untuk mencapai pahala khusus kesunnahan tersebut dan juga efeknya yang sudah dijanjikan agama. 

Ibadah-ibadah sunnah yang sudah diatur caranya itu, diistilahkan dengan Sunnah-khusus atau Sunnah-tertentukan atau Sunnah-mu’ayyan. 


Akan tetapi ada lagi ajaran agama yang mengajarkan secara umum dan secara global dimana kita sendiri yang mengatur waktu dan cara-caranya. Ibadah-ibadah sunnah ini diistilahkan dengan Sunnah-mutlak. 

Ajaran agama yang bersangkutan dengan Sunnah-Sunnah mutlak ini, hanya membolehkan pekerjaannya, menjanjikan pahalanya, kalau shalat tidak boleh melebihi dua rokaat setiap kali shalatnya (harus salam dalam dua rokaat), tidak boleh membaca surat atau ayat yang ada sujudnya dalam shalat sunnah mutlaknya itu, kalau shalat tidak boleh memiliki dua rukuk dan tidak dua sujud dalam setiap rakaatnya ............ dan seterusnya. 

Shalat-shalat dan sunnah mutlak itu, selain bisa dilakukan, juga dijanjikan pahala. Dan kebolehan tersebut, juga diatur dari niatnya. Jadi, bisa dilakukan dengan niat taubat, niat syukur, niat hajat, niat pengampunan untuk orang lain yang masih hidup atau sudah meninggal, niat untuk lancarnya usaha, niat ............... dan seterusnya. Jadi, bisa dilakukan dengan niat ibadah itu sendiri dan hanya untuk mendapatkan pahalanya dan bisa diniatkan sebagai tawassul dan perantaraan doa kepada Allah untuk pengampunan dan hajat-hajat lainnya. 

Dengan semua penjelasan itu, kalau pelaku shalat taubat yang mesti membaca suratnya sekian kali, tapi dibaca lebih sedikit dari aturannya tersebut, maka ia akan tetap saja syah. Tapi akan masuk ke dalam shalat sunnah mutlak dan tidak masuk dalam sunnah-khusus itu. Jadi, pahala dan efeknya tetap saja ada walau, tidak sama dengan pahala dan efek manakala dilakukan sesuai dengan aturannya itu. 

Tentu saja, karena setiap amalan itu tergantung niatnya, maka kalau membaca yang lebih sedikit atau tidak sesuai aturannya itu, diniatkan sebagai shalat-sunnah-khusus itu, maka ia bukan tidak saja tidak berpahala, akan tetapi bahkan akan terhitung dosa, yaitu dosa bid’ah. Tapi kalau dilakukan karena tidak tahu hukum, karena kelelahan atau karena mengira bahwa hal itu dibolehkan agama (yang membaca tidak sesuai dengan jumlah yang ditentukan itu), maka ia tetap syah dan tetap berpahala dan berefek sekalipun tidak termasuk pahala dan efek khusus dengan seluruh tingkatannya itu. Jadi, hanya akan mendapat pahala kesunnahan umum dan efek umum yang juga tidak bisa diremehkan. Artinya tetap berpahala dan menyebabkan turunnya efek itu (seperti pengampunan) walau tidak sederajat dengan pahala dan efek dari sunnah-khusus di atas. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 04 Mei 2019

Ralat Fikih Qunuth


Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:40 am


Sinar Agama: 7 Maret 2013, Seingatku saya pernah menjelaskan bahwa kalau lupa Qunuth maka diqodho kapan saja ingat di dalam shalat dan kalau tidak ingat juga sewaktu shalat, bisa ketika sudah keluar dari shalat. 

Yang benar adalah, kalau ingatnya ketika masuk rukuk, maka dilakukan setelah rukuk. Tapi kalau ingatnya setelah masuk sujud, maka dilakukan setelah shalat (bukan dimana saja ingat sewaktu shalat). Kalau setelah shalat juga tidak ingat, maka kapan saja kalau sudah ingat. 


Teman-teman yang mengamalkan yang salah itu sebelumnya, tidak membuat shalatnya batal, tapi hanya qunuth-nya saja yang kemungkinan besar batal (tanpa pahala sunnah, tapi i-Allah masih dapat pahala dzikir muthlaq/mutlak). Afwan. 

Anandito Birowo: Kalau sengaja meninggalkan qunut, hukumnya bagaimana ustadz? 

Ki Herjuno Boudhitama · 13 teman yang sama: Syukron ustadz. Tambah paham. Oh ya ada batasan waktu tidak kalo sholat tidak pada waktunya yaitu diqodho. Harim ana sampe berbulanbulan belum sholat katanya nanti di qodho. Ana boleh konsultasi inbox ustadz? Masalah pribadi atau boleh minta emailnya ustadz? Syukran. Al-afwu. 

Ika Zahrra: Syukron ustadz atas penjelasannya. 

Sinar Agama: Anandito: Kalau sengaja meninggalkan Qunuth, tidak masalah, tapi sudah tidak ada lagi tempat qadhaa’nya. 

Sinar Agama: Ki: Meninggalkan shalat dengan sengaja itu jelas DOSA BESAR. Kewajibannya adalah taubat dengan segera melakukan shalat-shalat yang dihadapinya, lalu mengqodho yang telah ditinggalkannya kapan saja yang dimaui-nya. 

Antum boleh tanya-tanya masalah di sini dan kalau rahasia, bisa ditanya di inbox. 

Aqiela Ela Wan Azizah: Shiah shalat? Hehehe gak salah yahudi shalat? Capek deh. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih untuk semua jempol dan komentar-komentarnya. 

Sinar Agama: Ika: Sama-sama. 

Ki Herjuno Boudhitama · 13 teman yang sama: Syukron ustadz. Antum masih di Iran atau Jakarta? Kalau di Jakarta ana merapat aja ke tempat antum. 

Ahmed Zain-Oul Mottaqin: Makasih om ustadz. 

Sinar Agama: Ki: Untuk identitas sinar agama ini, terpaksa sekali, ana akan selalu di balik awan pagi seperti yang di gambar akunku itu. Afwan banget. Dekaplah ilmu dengan argumentasi gamblangnya, dimana kalau akidah adalah argumentasi akal-gamblang dan kalau fikih adalah fatwa marja’. Kalau antum dekat, merapat dan mendekap ini, maka akan selalu hangat dalam hidup tanpa kecemasan apapun dari sisi lahiriahnya dan tinggal memperbaiki batinnya seperti kekhusyukan, dzikir selalu...dan seterusnya. Tapi kalau tidak, maka jangankan batin kita, lahiriah kita juga tidak bisa tidak dicemasi. Ini yang kadang ana katakan sebagai filosof bejat. Masih mending kalau memang filosof, tapi kalau dari satu sisi hanya kulit-kulitnya dalam filsafat dan dari sisi lain tidak taat pada hukum-hukum fikih Tuhan, lah...bisa ditebak dimana posisinya. 

Marwah Ali · Friends with Sang Pencinta and 147 lainnya: Makasih ustadz, selalu bikin ‘ringan’ haus ini ... Allahumma shalli alaa Muhammad wa Aali Muhammad ... 

Sang Pencinta: Ustadz Sa: berarti catatan ini kudu diralat ya ustadz. 1210. Hukum Membaca Kunut Ketika Tubuh Masih Bergerak Dalam Sholat Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/524478684263599/ 

Sinar Agama: Pencinta, sudah dirubah, terima kasih pemberitaan alamat catatannya, semoga diterimaNya, amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 03 Mei 2019

Beberapa Kesunnahan Dalam Shalat


Seri tanya jawab Daris Asgar dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:35 am


Daris Asgar: 6 Maret 2013, Salam Ustadz,,,ijin bertanya 

  • 1- Apa jumlah takbir sunnah sebelum takbirotul ihrom jumlahnya 6, dan setelah salam jumlahnya 3 ? Bilakah ada namanya, takbir sunnah apakah ini? Karena saya mendengar dari teman, 3 takbir setelah salam tersebut untuk penghormatan untuk Imam Zaman As... 
  • 2- Sebelum tasyahud mustahab membaca “Alhamdulillah “atau “Bismillaah wabillah, Walaa Khoiru AsmaIllah...” Dalam Risalah amaliyah Rahbar Hf, Bab Sholat Masalah. 330... Dulu saya pernah diajarkan “Bismillaah, Wabillah, Walhamdulillah, Walaa IlaaHa Illalloh, WaKhoiru Asmaillah..” dari orang yang bertaqlid kepada Almarhum Imam Khomeini Ra.. Apakah masih benar, dan tidak masalah membaca yang mana saja? 
  • 3- Setelah sholawat dalam tasyahud mustahab membaca “Wataqobbal Syafa’atahu warfa’ darojatahu..”, Apakah kesunahan membaca ini pada tasyahud awal dan akhir,,,atau tasyahud awal saja,,,karena beberapa kali saya berjama’ah, seingat saya imam hanya membaca bacaan tersebut pada tasyahud yang pertama saja... 
  • 4- Apakah sebelum dan sesudah kunut termasuk gerakan yang mustahab untuk takbir? 
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Sudah benar jumlah takbir sunnah itu seperti itu. Dan biasanya dikatakan sebagai takbirsunnah. 

2- Bacaan yang pertama antum salah besar, karena kalau “wa laa Khaira Asmaillah........” memiliki arti bahwa Allah tidak memiliki nama-nama yang baik. 

Ada beberapa bacaan sunnah untuk ini yang boleh pilih, seperti: 

الحمد لله 

atau 

بسم الله و بالله و الحمد لله و خير الاسماء لله 

3- Setelah shalawat sunnah membaca: 

و تقبل شفاعته فى امته و ارفع درجته 

Tapi dalam tasyahhud akhir/ke-dua, hati-hatinya/ihthiyaat jangan diniati sebagai kesunnahan, hanya sebagai dzikir muthlaq/mutlak saja. 

4- Kalau mau takbir sebelum qunuth sebaiknya jangan meniatkan sunnah. Tapi kalau untuk ruku’ memang sunnah mengucap takbir terlebih dahulu. 

Daris Asgar: Terimakasih Ustadz... Mohon ijin Ustadz,,,memang saya awam bahasa arab,,,tapi sebetulnya saya juga ragu dengan tulisan yang di no 2 tersebut,,,karena di dalam e-book pdf yang merupakan Risalah Amaliah Rahbar Hf tertulis demikian.. 

yaitu pada hal 339... 

“بسم الله و بالله و الحمد لله و لا خير الاسماًء لله” 

Sinar Agama: Daris: “ لا” di tulisan itu adalah salah tulis atau sengaja dimasukin oleh pengacau. 

Dan tulisan antum yang sekarang ini, jauh lebih mengandungi kesalahan. Mestinya ditulis: 

بسم الله و بالله و الحمد لله و خير الاسماء لله 

Sang Pencinta: SA: copas Daris salah ustadz, sepertinya gangguan font Arab ustadz. Saya udah cek di sumber Daris, sudah benar. 

Sang Pencinta: Daris Asgar: Tempo hari ustadz menjawab: Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Benar seperti itu. Tapi salah tulis, yang benarnya: 

“Bismillaahi wabillaahi walhamdulillaahi wakhoirul-asmaa-i lillaahi” 

Daris Asgar: Iya ustadz,,,afwan,,,karena itu saya copas dari pdf nya langsung, jadi rusak,,,Maksud saya ingin menunjukkan bahwa sebelum Khoiru tersebut, dalam ebook pdf tersebut memang ada huruf “La”..terimakasih Ustadz.. 

Sang Pencinta: Terimakasih,,, insyaAllah tempo hari saya juga sudah mengerti, bahkan sebelum menanyakannya sudah memiliki dugaan kuat...hanya saja ingin mengkonfirmasikan bahwa pada ebook pdf tersebut memang ada kesalahan ketik... 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ