Selasa, 21 April 2020

Kebangkitan dan Perkembangan Ruh


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/?id=224762420901895 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juli 2011 pukul 16:24


Andri Herdiyanto: Salam, Ustadz, saya ingin bertanya.

Saya pernah mendapatkan penjelasan bahwa alam nonmateri bermanifestasi dalam alam materi. Misalnya, orang yang jiwanya sedang sedih, akan memanifestasikan kesedihannya itu pada fisiknya yang nampak pada wajah dan sikap tubuhnya. Di sisi lain, kebiasaan yang dilakukan oleh fisik akan berdampak pada jiwa. Misalnya, seseorang yang tidak suka membaca buku, dengan membiasakan diri akan memunculkan rasa sukapada jiwa orang tersebut sehingga akan memudahkannya untuk membaca buku yang tebal-tebal sekalipun. Pertanyaan saya;

1. Benarkah tujuan dalam melatih/membiasakan fisik melakukan kebaikan itu agar kita dapat mencapai suatu keadaan jiwa tertentu sehinggapada akhirnya justru keadaan jiwa itulah yang memanifestasikan perbuatan baik pada fisik kita?

2. Apakah dalam melakukan gerak menyempurnanya, seorang manusia perlu kepada 'rasa suka' itu sebagai bahan bakar/penggerak/motivator ataukah tidak? Ataukah hanya diperlukan di awalnya saja? Ataukah tidak perlu sama sekali? (mengingat ustadz menjelaskan bahwa untuk mencapai alam yang lebih tinggi kita harus meninggalkan rasa suka bahkan terhadap surga sekalipun)

Terima kasih.


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya.

(1) Sebenarnya, apapun yang terjadi di badan adalah atas kontrol ruh, karena dialah yang mengatur segala yang menyangkut materi badan. Hal ini dibuktikan catatan-catatan sebelumnya.

(2) Dengan penjelasan di atas dipahami bahwa semua kerja badani baik naturalnya seperti putaran atom-atom dan darah, atau ikhtiyari seperti membaca, adalah kerja ruh. Karena itu merupakan manifestinya.

(3) Pekerjaan apapun yang dilakukan, baik suka atau tidak, tetap merupakan keputusan ruh, bukan badan.

(4). Proses ruh bisa substansial dan bisa aksidental. Yang aksidental bisa menjadi substansial. Suka dan tidak, bisa aksidental bisa substansial.Ukurannya masih bisa lepas atau tidak, kalau bisa berarti aksidental dan kalau tidak berarti substansial. Tidak suka yang dikerjakan terus hingga tak terpisah akan menjadi substansi yang biasanya pertama berproses menjadi suka lalu terikat dan tidak terpisah. Proses amal baik dan buruk dari latihan sampai tak terpisah, adalah sama.

(5). Suka dan tidak, bukan ukuran proses, terutama suka yang perasaanis, bukan aklis. Justru yang perasaanis ini yang menjadi pengganjalkesempurnaan surgawi dan sumbu kesempurnaan api-is dan nerakais. Murka atau dosa yang umumnya lezat adalah titik tolak kesempurnaan api-is.

Andri Herdiyanto: Terima kasih atas penjelasannya yang ringkas dan mencerahkan, ustadz. Mudah-mudahan ustadz senantiasa diliputi kebaikan. Kalau boleh, izinkan saya bertanya lebih lanjut;

1. Apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pekerjaan badani yang merupakan kepu- tusan/kendali ruh itulah yang berdampak pada ruh itu sendiri? Sehingga yang sesungguhnya berproses adalah ruh itu sendiri, sementara badan materi hanyalah 'penampakan' dari proses tersebut?

2. Apa yang dimaksud dengan "suka yang aklis"? Apakah kesukaan yang bersifat perasaan (suka yang perasaanis) bisa diselaraskan dengan kesukaan yang bersifat akal (suka yang aklis), ataukah mereka senantiasa saling bertentangan?

3. Bagaimanakah seharusnya kita 'menyikapi' dan 'memperlakukan' perasaaan kita? Apakah kita harus selalu mengabaikannya? Apakah semakin tidak berperasaan seseorang, semakin sempurna pula orang tersebut?


Sinar Agama:

(1). Benar demikian, badan hanyalah alat bagi ruh untuk menempuh proses ruhnya itu, dan badan itu hanyalah alat baginya, dan alat deteksi bagiorang lainnya. Karena itulah definisi ruh adalah non materi secara zatnya dan materi secara aktifitasnya.

(2) Kesukaan aklis yakni pandangan dan perbuatan yang sesuai dengan akal-gamblang dan agama. Karena akal menyukai hal itu sekalipun perasaan kadang tidak menyukainya, seperti lapar waktu puasa, cedera dan syahid waktu berjihad dan seterusnya. Untuk kesukaan yang perasaan ini, harus benar-benar dikesampingkan manakala tidak sesuai dengan kesukaan aklis. Dan kalau sesuai, maka boleh dimiliki dantidak perlu diusir. Tapi kalau ingin melampaui surga dan menjadi insan kamil, maka suka kepada yang halal, karamah, surga, kasyaf, ilmu, dan seterusnya yang jelas didukung akal tahap pertama, harus juga ditinggalkan. Karena akal tahap ke dua dan agama tingkat ke dua mengatakanbahwa kita tidak layak menyukai selainNya, karena selainNya tidak layak dibandingkan denganNya, apalagi disukai di sampingNya.

Yang harus ditinggalkan dari hal-hal mubah dan bahkan baik, seperti ilmu, surga, kasyaf dan seterusnya itu adalah Rasa Sukanya, bukan mereka-merekanya.

(3) Yang ke tiga ini saya rasa sudah terjawab di jawaban sebelumnya. Yang harus diingat adalah bahwa kalau kita masih melakukan dosa dan makruh, maka jangan membuang perasaan yang didukung akal tingkat pertama dan agama tingkat pertama. Nanti, kalau sudah bersih dari dosa dan makruh, maka baru tahap demi tahap berusaha meninggalkan perasaan suka kepada yang halal dan kemudian kepada yang baikdan seterusnya seperti surga, kasyaf...dan seterusnya itu. Wassalam.


Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Heriyanto Binduni dan 5 lainnya menyukai ini.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar