Rabu, 25 Desember 2019

Hutang Khumus Itu Dihitung Sejak Kerja (awal mendapat bayaran), Bukan Awal Menjadi Syi’ah?!


Tanya-jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 5:15pm


Sang Pencinta: 23-4-2013, Salam, ada yang bertanya, jika seorang Sunni lalu hijrah ke Syi’ah dan ketika di Sunni.

1) Tahu bahwa khumus itu wajib tapi tidak membayarkannya, apakah sekarang wajib bayar bagian yang harus dikhumusi?


2) Tidak tahu apa itu khumus, apakah wajib membayarnya sekarang? Terimakasih.


Jika wajib bayar, bagaimana dengan ibadah sholat dengan pakaian dari bagian yang belum dikhumusi, semasa Sunni dulu? — bersama Sinar Agama.

Indah Kurniawati, Achmadi Al Fauzi, Haladap Saw dan 32 lainnya menyukai ini.


Hidayatul Ilahi: Nyimak.

Ayuning Wins: Salam, ikut nyimak.

Hambali Return: Nyimak, saya belum mudeng itu khumus.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Yang tahu tapi tidak membayar khumusnya itu, wajib membayarkannya. Dan cara menghitung qadhaa’nya adalah dikira-kira setelah setahun masa kerjanya itu, apa ada kelebihan dari uang atau barang-barang konsumsinya seperti bensin, beras, nasi, tempe mentah, tempe goreng, pulsa, rokok dan seterusnya. Kalau ada, maka dikirakan jumlahnya, lalu dikeluarkan seperlimanya. Begitu pula, tahun-tahun berikutnya. Tapimengqadhaa’ khumus itu, harus dari uang yang bersih seperti harta yang sudah dikhumusi (kelebihan tahun sekarang yang sudah dikhumusi).

2- Kalau tidak tahupun, tetap wajib bayar khumus. Karena kewajiban ini tidak tergantung kepada pengetahuan sekalipun mungkin dimaafkan atas keterlambatannya kalau memang tidak tahu dan tidak ada jalan untuk mencari tahu. By the way, yang telah lalu wajib dikhumusi walau dengan mengira-ngira kelebihan dari hasil pengurangan pendapatan setahun dikurangi belanja normal (tidak berlebih) selama setahun juga.

Untuk yang telah lalu yang belum dikhumusi di kala Sunni itu, biasanya tetap harus diqadhaa’ (setidaknya sebagai kehati-hatian), dan dalam hal ini, bisa mencicil tapi dengan keridhaan marja’ atau wakilnya yang memiliki ijin perelaan terhadap penyicilan tersebut sesuai kemam- puan. Tapi kalau tidak mau melakukan kehati-hatian itu, maka cukuplah mengkhumusi apa- apa saja yang tersisa dari uang ketika Sunni yang tersisa sampai menjadi Syi’ah dan begitu pula barang-barang yang tersisa dari yang mesti dikhumusi, seperti rumah ke dua, mobil ke dua, tanah yang bukan untuk rumah, modal yang didapat dari hasil kerja dan semacamnya. Saya sudah memintakan ijin ke kantor Rahbar hf dan bahwa kalau tidak mau melakukan kehati-hatian tersebut dimana memang tidak wajib menurut kantor Rahbar hf (akan tetapi hanya baik), maka wajib mengkhumusi yang tersisa di kala sudah menjadi Syi’ah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas itu. Lihat juga poin Tambahan di bawah.

Mata Jiwa: Pak Uztadz, jika ada kasus suaminya belum mau mengeluarkan khumus karena beranggapan bahwa setiap bulannya telah mengeluarkan sekitar 10 % dari penghasilannya untuk menyantuni faqir miskin dan beberapa sayyid/syarifah yang terhitung masih kerabat, bagaimana hukumnya?

Willy Bulao: Kalau tiap akhir tahun (bulan Desember) dapat uang kaget seperti bonus perusahaan apakah wajib dikhumusi?

Sang Pencinta: Mata Jiwa: terhitung wajib khumus, khumus itu wajib diserahkan pada marja’, tidak disalurkan sendiri oleh mukallaf.

Reyza Pahlevi: Persoalan marja bagaimana kita menentukan marja buat kita ya. Mohon penje- lasannya.

Sang Pencinta: Reyza, Penentuan seorang mujtahid yang diangkat sebagai marja di antaranya dilihat dari kelebih-pandai-an seorang mujtahid dalam menjelaskan dalil-dalil sebuah fatwa dibanding mujtahid lain, dan beberapa syarat lainnya. Kalau berminat untuk memahami lebih dalam silahkan rujuk ke sini,

https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf?m

Reyza Pahlevi: Terimakasih banyak Akhina.

Sasando Zet A: Barang apa saja yang dikhumusi?

Kalau beli barang seperti motor sewaktu masih di Sunni, bagaimana hukumnya? Tapi belinya dengan cara hutang?

Sinar Agama: Willy: Kalau uang tersebut adalah hadiah yang tidak wajib dikeluarkan perusahaan dan bukan hak karyawan, atau bukan karena ada pemotongan bayaran di perbulannya yang akan diberikan di akhir tahunnya, maka ia terhitung hadiah dan tidak ada khumusnya.

Memang, pemberi hadiahnya, kalau banyak dan di luar keumuman, maka ia yang wajib mengeluar- kan khumusnya dari hadiahnya tersebut. Tapi yang diberi hadiah, tidak wajib khumus.


Sinar Agama: Mata: Penyantunan itu bisa dianggap pengeluaran belanja. Tapi tidak sebagai khumus. Artinya belanjanya boleh dipotong untuk sedekah dan membantu orang atau Islam. Yakni yang dimaksudkan dengan belanja yang boleh dipakai dari penghasilan itu, termasuk di dalamnya hal-hal seperti sedekah itu.

Jadi, kalau pada akhir tahun Khumusnya masih ada sisa dari uang dan barang-barang konsumsinya, maka wajib dikeluarkan seperlimanya dan diserahkan ke marja’ atau wakilnya untuk disalurkan kepada yang berhak dan tidak bisa disalurkan langsung karena bisa salah dan sebagainya. By the way, harus disetor ke marja’-nya atau amil khumus dari marja’nya itu.

Kalau suami tersebut Sunni, maka jangan dipaksa supaya tidak terjadi hal yang lebih buruk seperti pertengkaran atau perceraian, karena itu cukup diingatkan saja. Tapi kalau istrinya yang syi’ah, maka setiap ada kelebihan dari belanja atau uang apa saja yang diberikan dari penghasilan suaminya di tahun khumusnya, maka keluarkan khumusnya tanpa harus ijin kepada suaminya. Karena khumus itu hak Allah, Nabi saww, Ahlulbait dan para sayyid/syarifah (keturunan ‘Abdulmuthallib) yang fakir, baik yatim atau tidak, atau yang kehilangan uang di perjalanan.

Mata Jiwa: Maaf Pak Ustadz, ada teman yang minta dihitungkan khumusnya dari seluruh harta dan penghasilan dan lain-lainnya, merepotkan Pak Ustadz tidak ya? Saya sudah minta pada Sang Pecinta secara garis besarnya, tapi dia minta Pak Ustadz yang hitungkan secara detail. Teman saya ini baru masuk Syi’ah, bagaimana Pak Ustadz Sinar Agama?

Arief Syofiandi: Afwan Ustadz kalau seseorang mendapatkan hadiah, misalnya berupa uang 4 juta rupiah dari saudara atau seseorang yang kitatahu pekerjaan dia bergelut di bidang MLM dan bisnis lainnya yang halal, apakah hadiah tersebut harus dikhumusi? Yang kedua; kalau seseorang mendapat honor menulis sebagai tambahan penghasilan apakah juga wajib dikhumusi? Terima kasih sebelumnya.

Sang Pencinta: Arief Syofiandi, kalau tidak diketahui status harta itu haram atau tidak (hanya menduga-duga), harta itu halal dan hadiah itu tidak kena khumus. Sepahaman saya, honor tambahan itu dikenai khumus.

Sinar Agama: Mata: Sudah tentu saya bisa membantunya, in'syaa Allah. Karena itu, tentukan dulu kapan ia mulai bekerja, baik di Sunni atau di Syi’ah. Artinya yang penting awal kerjanya atau awal menerima bayarannya, bukan awal Syi’ahnya. Lalu kirakan apa-apa yang tersisa di tahun berikutnya pertahunnya. Baik sisa uang di kantong atau di tabungan, atau sisa-sisa dari barang- barang konsumsinya (beras, nasi, tempe, minyak goreng, minyak wangi, pulsa, rokok, gula, dan seterusnya) dan semua itu, bisa dengan dikira-kira saja. Kalau ada barang-barang yang cukup satu, lalu dibeli dua, seperti motor, mobil, handphone dan seterusnya maka juga dimasukkan ke dalam sisa-sisa harta dalam pertahunnya. Begitu pula kalau membeli tanah atau rumah yang tidak diperlukan untuk tinggal karena sudah punya dan seterusnya. Tapi jangan dilanjutkan di sini, karena semakin ke bawah, biasanya saya lupa atau tidak terjangkau karena berbagai hal. Jadi, tulis di dinding yang baru. Hari ini saya roll ke bawah, hanya karena mau mencopy yang perlu dicopy sebagai data, dan ternyata ada pertanyaan lanjutan.

Sinar Agama: Arief: Saya sudah menjawabnya di pertanyaan baru yang antum buat di dinding. Ahsantum. Kalau pertanyaan antum tidak terjawab dalam beberapa hari, terutama di kolom, maka tolong tanyakan lagi di dinding yang baru.

Tambahan:

Memang ada yang mengatakan (seperti kantor Rahbar hf) bahwa kalau selagi di Sunni itu uang-uang kelebihannya sudah habis terpakai di waktu Sunninya, dan sudah tidak tersisa sampai sekarang (sampai menjadi Syi’ah), apakah dalam bentuk uang atau barang (barang yang mesti dikhumusi seperti barang ke dua dimana sebenarnya cukup memiliki satu saja, seperti rumah ke dua, mobil ke dua dan seterusnya), maka sudah dimaafkan. Tapi saya memilih menganjurkan yang pertama karena lebih hati-hati dan disyahkan juga oleh salah satu wakil Rahbar hf kalau mau hati-hati sekalipun tidak wajib. Hal itu karena untuk kemudahan penerapannya daripada salah hitung dan salah lacak. Mungkin kalau ada teman-teman yang kesulitan amat karena besarnya hutang khumus itu dan tidak mampu mencicilnya (mencicil ini juga harus dengan ijin marja’ atau wakilnya), maka mungkin bisa shuluh/berunding atau meminta keringanan kepada marja’nya. By the way.

Ramlee Nooh, Alie Sadewo Nsc and 18 others like this.

Reyza Pahlevi: Kalau untuk yang marjanya Rahbar bayar khumusnya ke siapa di Indonesia.

Sinar Agama: Reza: Benar, tanya pada Sang Pencinta di inboxnya.




Baca juga, tentang Khumus lainnya:
==========================


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Air Hujan Di Bulan Niysaaan (April)


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 5:01 pm


Sang Pencinta: 23-4-2013, Salam, tentang riwayat ini “Rasulullah saww bertanya:

“Apakah kalian mau aku ajari satu pengobatan yang telah diajarkan Jibril as padaku sehingga aku tidak butuh kepada pengobatan dokter?”


Para Shahabat pun bertanya: “Pengobatan apa itu ya Rasul?” Nabi Bersabda :

“Ambilah air Hujan di bulan Niysaaan (April) dan Bacalah AlFatihah, ayat kursi, al Ikhlas, anNas, alFalaq & alKafirun masing-masing 70x”. Apakah bacaan suratnya dibacakan ke air atau tidak? Terimakasih Ustadz. — bersama Sinar Agama.

Fahmi Husein, Maya Zahra, Indah Kurniawati dan 35 lainnya menyukai ini.


Sang Pencinta: Ustadz Sinar Agama: tambahan, bolehkah air hujan tersebut ditambahin dengan air dimasak/air kemasan, baru diminum, terimakasih Ustadz.

Armeen Nurzam: Menyimak.

Fahmi Husein: Umumnya air hujan yang baru turun (melalui seng) di buang dulu karena jelas bercampur kotoran.

Air hujan yang tinggi zat kapurnya sangat bagus untuk kesehatan, juga tetap ada efek sampingnya bila mengkonsumsi berlebihan.

Di Kalimantan banyak yang menampung air hujan untuk keperluan air sehari-harinya (minum, masak, dan lain-lain).

HenNy Chie-Cwityy: Berarti nunggu hujan tahun depan donk, ikut nyimak ya ustad.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Terlepas haditsnya shahih atau tidak, tapi kalau urusan-urusan tidak terlalu mendasar dan, yang bersifat kesunnahan, biasanya Makshumin as sendiri sudah memberikan keluasan. Hingga dalam satu riwayat dikatakan bahwa kalaulah hadits yang dikira benar itu tidak benar, maka tetapakan diberi manfaat dari isi haditsnya. Jadi, kalaulah bukan sunnah melakukan ini dan itu seperti yang tertera dalam suatu riwayat yang diyakininya benar tapi ternyata tidak benar, maka tetap akan diberi pahala kalau mengerjakannya sebagai rahmat dari Tuhan bagi orang yangkarena ingin mengikuti Makshumin as mempelajari dan mengamalkan hadits-hadits makshumin as.

2- Biasanya hadits-hadits tentang pengobatan itu, bersifat kondisional. Jadi, bisa saja hanya memiliki berkah dan manfaat di jaman pengucapan haditsnya tersebut.

3- Kalau mau mengamalkan hadits di atas, maka niatkan karena Allah. Dan dalam petunjuknya air hujan yang dibacai itu, diminum di pagi hari dan di permulaan malam (isyaa’) selama tujuh hari.

Jawaban Soal:

Karena di haditsnya dikatakan “Bacakan KE ATAS air itu”, maka yang paling tidak meragukan dengan meniatkan dan memfokuskan pembacaannya untuk air tersebut dan, supaya tambah yakin, meniupkannya ke atas air tersebut. Minimal, niat dan fokus bahwa pembacaannya untuk air tersebut.


Anjuran:

Kalau bisa sediakan dua tempat. Tempat pertama diletakkan di awal-awal hujan. Tempat ke dua, diletakkan setelah hujan turun sekitar 5 menit. Tujuannya, kalau air yang ke dua itu cukup, maka jangan pakai yang pertama. Karena biasanya hujan yang pertama itu masih membawa banyak bakteri, beda dengan hujan di jaman Nabi saww yang manusianya belum milyaran dan belum ada berbagai penyakit terutama di negara arab yang mungkin kala itu memiliki kondisi beda sekali dengan tempat lain dan, terutama hari ini.

Kalau air ke dua itu tidak cukup dan/atau tidak hujan lama, maka pakailah air pertama itu. Semoga bacaannya itu dapat membuang dimensi penyakitnya (kalau ada).


Sang Pencinta: Riwayat di atas dikutip dari Mafatih Ustadz.

Sinar Agama: Henny: kan sekarang masih tanggal 23?

Sinar Agama: Pencinta, ahsantum, sangat mungkin memang shahih. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 24 Desember 2019

Meniti Shirat Yang Ada di Dalam Neraka Selama 50.000 tahun Dalam 50 Estafet/Pintu


Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:55 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: 22-4-2013, Assalamu’alaikum, wr. wb. Sholawat. Ustadz, afwan. Apa saja yang terjadi ketika seseorang berada di Alam Kubur. Mohon deskripsikan perjalanan seseorang dari mulai ajal menjemput, diurus jenazahnya, setelah berada di liang lahat, hingga dibangkitkan lalu digiring di Padang Mahsyar, kemudian ditimbang di Al Mizan, dipaksa melewati jembatan Shirathal Mustaqim hingga kecemplung di Neraka lalu menikmati kehidupan Alam Surga hingga menuju ke Alam diatasnya lagi. Apakah Almarhum setiap hari memantau aktifitas-aktifitas keluarga atau orang-orang yang dicintainya yang masih hidup. Apakah putaran waktu pagi, siang, sore, malam, dan sebagainya masih dirasakan bagi si mayit. Mungkinkah orang yang meninggal masih bisa merayu Allah untuk kemaslahatan siapapun yang masih hidup. Surat al Fathihah yang dikirimkan untuk Almarhum di alam kubur langsung mewujud sebagai apa. Faktor apa saja yang melatarbelakangi Hadhrat Maryam binti Imran Sa menjawab seperti ini “bila Allah mengizinkan aku hidup kembali, aku amat merindukan untuk berpuasa diterik siang hari dan bangun munajat didinginnya malam”.

Sulis Kendal, Al Asghar, dan Yoez Rusnika menyukai ini

Sang Pencinta: Salam, ini pernah saya tanyakan, 1162. Ke Dahsyatan Menjelang Kematian Oleh Ustad Sinar Agama:

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/496962047015263/

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Seingatku sudah ada di catatan tentang semua yang antum tanyakan itu. Tolong Pencinta, berikan katalog yang lima seri itu, biar dicoba untuk dicari dulu di sana. Karena kalau ana tulis lagi, akan sangat panjang dari berbagai pertanyaan di atas itu.

Kalau mau cari, carilah pembahasan tentang: Ruh dan pembagiannya; Ruh manusia ketika sudah mati; Makna jalan lurus di akhirat; Makna timbangan di akhirat; Posisi neraka dan surga; Syafaat; Tawassul; Hubungan manusia dengan orang mati; Pengaruh amalan yang hidup seperti hadiah- hadiah ibadah kepada yang mati; dan semacamnya.

Untuk Hadhrat Maryam as itu, sudah tentu karena berbagai faktor yang diantaranya adalah faktor cinta sejati kepada Allah, karena keindahan cinta itu terletak di tiadanya diri yang sudah tentu tidak akan pernah melihat dirinya, deritanya dan seterusnya. Ini yang bisa kita raba dan, hakikatnya, sangat jauh dari yang dapat kita tangkap.

Dan untuk tambahan jalan lurus di akhirat itu, dimana jembatannya sudah pernah dijelaskan sebelumnya bahwa diterangkan dengan dua keterangan hadits yang juga mengatakan bahwa ada di dalam neraka yang memiliki lima puluh pintu pertanyaan dan proses tanya jawabnya. Karena itu cari juga catatan yang menerangkan bahwa semua orang pasti masuk neraka sekalipun para Nabi as dan Imam as, tapi tidak panas bagi mereka karena diselamatkan Tuhan (QS: 19: 71-72):


“Dan tidak seorangpun dari kalian kecuali akan memasukinya -neraka- dan yang demikian itu sudah merupakan ketentuan pasti Tuhanmu. Kemudian Kami akan menyelamatkan yang bertaqwa dan membiarkan yang aniaya di dalamnya dengan keadaan telungkup/membungkuk.”

Tambahannya diambil dari pertanyaan inbox:

Harun Aprianto Baru: Salam Ustadz, pada QS 32:5 satu hari kadarnya seribu tahun pada QS 70:4 satu hari kadarnya lima puluh ribu tahun, apa maksud perbedaannya?

Sinar Agama: Salam:

Banyak tafsiran untuk yang 1.000 tahun itu. Tapi yang terkuat adalah waktu di akhirat kelak.

Sedang di QS: 70:4 itu, dimana menyatakan 50.000 tahun, maka imam Ja’far as pernah ditanya dan jawabannya adalah: Bahwa di akhirat kelak itu ada 50 tahapan dimana masing-masing tahapannya memiliki waktu 1.000 tahun.

Jadi, proses tanya jawab di pintu-pintu Shirathalmustaqim yang berada di dalam neraka itu, memiliki masa waktu 1.000 tahun pada masing-masing proses dan pintunya hingga keseluruhan 50 pintu itu akan memakan waktu 50.000 tahun lamanya. Jadi, selama itu kita akan berada di neraka sampai keluar ke surga atau tenggelam bahkan di pintu awalnya.

Sedang yang taqwa dan terutama para Nabi as dan Imam as, sudah pasti akan terasa ringan dan cepat sebagaimana juga diterangkan oleh Islam bahwa banyak yang bahkan tanpa hisab untuk masuk surga. Tanpa hisab ini, maksudnya adalah dengan penghisaban yang super cepat hingga 50.000 tahun itu, bisa ditempuh dengan sepersejuta detik.

Karena itu, kalau ingin cepat pemeriksaannya di sana, lakukankah pemeriksaan selalu di dunia ini. Dan alat periksanya, tidak lain kecuali akidah dan fikih sebagaimana sudah sering diulang.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Hukum Menutup dan Melihat Aurat


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:50 pm


Sang Pencinta: 21-4-2013, Salam, ada yang bertanya, bagaimana hukum mandi bareng dengan anak yang berlawanan/sesama jenis dengan orang tua, yang belum menginjak usia akil baligh? Terimakasih Ustadz — bersama Sinar Agama.

Muhammad El’Baqir, Zainab Naynawaa, Bintan Arca dan 11 lainnya menyukai ini.


Beel Zelfana: Nyimak. Syukron.

Maya Zahra: Dalam buku Ibrahim Amini, hal tersebut tidak dibolehkan (dilarang), ikut nyimak juga.

Iis Ismanah: Nyimak.

Sang Pencinta: Maya, fatwanya beliau atau tafsiran hadits dari beliau?

Maya Zahra: Ana baca sudah lama banget tuh, dan itu buku tidak tahu kemana. Jadi tidak tahu pasti itu fatwa atau bagaimana. Ana juga tunggu/nyimak Ustadz aja.

Sebby Syihab Haura Suprayogi: Menyimak.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Anak itu dibagi menjadi tiga keadaan:


  • a- Kecil banget dan belum bisa membedakan baik-buruk dan belum bisa mengerti kalaupun diajari, seperti belum bisa mengerti bedanya lelaki dan perempuan, bedanya aurat lelaki dan perempuan, bedanya wajib dan sunnah dan seterusnya.
  • b- Kecil tapi sudah tahu baik-buruk di atas dimana diistilahkan dengan “Mumayyiz”, tapi belum baligh.
  • c- Baligh yang bisa diketahui dengan tiga cara:
    • c-1-Tumbuhnya bulu yang tebal di sekitar kemaluan, yakni selain bulu yang masih lembut yang biasa disebut dengan bulu kucing.
    • c-2-Mengeluarkan mani, baik dalam keadaan terjaga atau tidur/mimpi dan baik dengan halal atau haram.
    • c-3- Umur, dimana kalau perempuan setelah lengkap 9 tahun dan kalau lelaki 15 tahun.

2- Aurat:


  • 2-a-Aurat Lelaki adalah kemaluan, telur, lubang dubur dan bulu disekitarnya serta antara kemaluan dan lubang dubur.
  • 2-b-Aurat wanita kalau untuk lelaki adalah seluruh tubuhnya selain wajah dan tapak tangannya sampai ke pergelangannya. Kalau untuk sesama wanitanya, adalah kemaluan dan lubang dubur.

3- Jawaban Soal:


  • a- Sesama lelaki, tidak wajib menutup apapun kecuali auratnya di atas itu.
  • b- Sesama wanita, tidak wajib menutup apapun kecuali kemaluan dan duburnya. 
  • c- Tidak wajib menutup apapun dari anak kecil yang belum Mumayyiz.

Catatan:

  • a- Masih ada hukum-hukum lain dari hal di atas seperti hukum melihatnya. Jadi, hukum di atas adalah hukum wajib tidaknya dalam menutupi bagian-bagian badan dari orang yang akan melihatnya (di hadapan kita).
  • b- Ketika tidak wajib ditutupi di hadapan orang-orang yang sudah disebutkan di atas itu, maka orang-orang tersebut boleh melihatnya. Akan tetapi kebolehan ini, disyarati dengan tidak adanya pelezatan atau keraguan untuk melezati. Karena kalau melezati, sekalipun yang dilihat tidak wajib menutupinya karena tidak tahu kalau dilezati, maka tidak boleh dan hukumnya haram.
  • c- Kalau kita sudah melihat anak kita sudah mengerti setidaknya beda kemaluan lelaki dan perempuan, walaupun mungkin belum sepenuhnya dikatakan Mumayyiz, akan tetapi sebaik- nya, menjaga diri untuk menutup kemaluan dari mereka. Setidaknya, untuk melatih mereka agar cepat mengerti kebaikan dan keburukan (Mumayyiz) dan menghindari hal-hal yang kurang baik yang barangkali timbul daripadanya.

Mata Jiwa: Untuk sesama wanita tetapi antara muslimah dan non muslimah, bagaimana hukumnya melihat atau terlihat auratnya, Pak Ustadz?


Zainab Naynawaa: Salam ijin copy.

Sinar Agama: Zainab: Hati-hati dalam mencopas. Kalau memotong, maka harus mengerti maksudnya dulu supaya tidak salah seperti khumus di copasan hari ini (22-4-2013). Tapi kalau tidak memotong, maka in'syaa Allah sudah aman. Jadi kalau memotong kalimat dan menukil sebagiannya saja, antum harus paham betul maksudnya hingga tidak keliru menukil sebagian tulisanku. Terimakasih.

Sinar Agama: Mata: Untuk sesama wanita dan lain agama, sementara ini saya tidak melihat bedanya. Yakni boleh-boleh saja, tapi kalau nanti ada kesalahan akan diralat. Saya biasanya tidak berani berkata kalau tidak tahu. Tapi yang ini berani, karena memang belum pernah melihat bedanya itu atau saya melihatnya tapi lupa. Jadi, setidaknya untuk sementara, bisa memakai fatwa yang sudah dinukil itu karena di fatwa kebolehan melihat sesama wanita itu, tidak disyarati dengan muslim dan non muslimnya.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wajib Khumus Walau Sebatang Rokok dari Orang Yang Dipenjara Karena Hutang Milyaran


Seri tanya jawab Zainab Naynawaa dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:45 pm


Zainab Naynawaa mengirim ke Sinar Agama: 21-4-2013, Salam, semoga keberkahan Ustadz yang saya harapkan.

Afwan Ustadz ada teman minta dijelaskan rincian-rincian apa saja yang harus dikeluarkan untuk membayar khumus?


1. Barang atau bahan makanan tersisa saat waktunya membayar khumus apakah wajib dikeluar- kan dan bagaimana cara menghitungnya misalnya dari 1kg beras masih ada 1/4 beras.

2. Jika kita pinjam modal untuk usaha sementara dari keuntungan dalam 1 tahun diputar lagi untuk usaha lain, bagaimana cara menghitungnya apakah dari keuntungan pertama atau setelahnya?

3. Jika kita masih punya hutang apakah ada kewajiban membayar khumus? Sementara yang kita tahu kewajiban hutang lebih utama dari pada bayar khumus. Wassalam.


Sang Pencinta: Salam, silahkan rujuk ke sini Bu, In'syaa Allah terjawab, https://www.dropbox.com/s/61p2wbrjvbfga2u/Khumus.pdf

Zainab Naynawaa: Ko sulit untuk dilacak ya? Apa internetnya yang lagi tidak beres.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Sekedar menambahi nukilan Pencinta:

1- Semua uang tunai atau di simpanan dan barang-barang konsumsi yang tersisa sampai masuk tanggal tahunan khumusnya, seperti pulsa internet, pulsa telepon, makanan, bensin, nasi, tempe, apa saja wajib dikhumusi dan dihitung sesuai dengan harga belinya dan dikeluarkan seperlimanya yang diuangkan tentunya.

2- Keuntungan yang diputar, sudah tentu harus dikhumusi. Dan setelah itu, baru bisa dibuat usaha lagi. Dan hutang yang berupa modal usaha yang sudah dibayar, juga wajib dikhumusi dengan uang bersih alias uang yang sudah dikhumusi. Misalnya, pinjam modal 50 juta. Dalam setahun, sudah dibayar 20 juta dan ada kelebihan hasil setelah dipakai hidup sederhana sebesar 10 juta. Maka 30 juta itu harus dikhumusi. Caranya, yang 10 juta dikhumusi dulu. Karena itu, maka yang 10 juta itu akan tersisa 8 juta yang berupa uang bersih karena sudah dikeluarkan khumusnya yang 2 juta. Nah, membayar khumus yang 20 juta itu, kan tidak bisa diambil dari modal yang sedang terputar untuk usaha itu. Jadi, 20 juta, dimana khumusnya 4 juta, maka dibayar dengan uang bersih yang tersisa tadi. Karena itu, sisa bersih seluruh keuntungan setelah dipotong khumus: Berupa uang tunai 4 juta(hasil pengurangan dari 8 juta uang bersih dipotong 4 juta khumus yang ada dimodal) dan berupa modal 20 juta. Jadi, modal yang 50 juta itu, sekarang sudah menjadi dua, pertama sebagai milik sendiri yang berjumlah 20 juta dan yang masih berupa pinjaman yang berjumlah 30 juta.

3- Khumus itu tidak ada hubungannya dengan hutang. Khumus berhubungan dengan uang dan barang-barang konsumsi yang lebih setelah mencapai tahun khumusnya. Jadi, biar punya hutang 1 miliyar rupiah, lalu ada sisa uang di kocek 1000 rupiah, di bank 1 juta, 5 potong rokok, 2000 rupiah sisa pulsa, satu gorengan tahu, satu sendok gula dan seterusnya, maka semua dijumlah dan wajib dikeluarkan khumusnya. Dan bahkan sekalipun si yang punya hutang itu, sedang meringkuk di penjara sekalipun karena hutang-hutangnya itu, maka kalau kelebihan itu ada, maka wajib membayar khumusnya.

Kalau tidak mau bayar khumus, maka sebelum tutup tahun khumusnya, bayarkan semua hal yang diperkirakan akan lebih itu, kepada hutang-hutangnya hingga tak tersisa satu rupiahpun, satu goreng tempepun dan secentong nasipun di tanggal tahunan khumusnya.


Wassalam.




Baca juga, tentang Khumus lainnya:
==========================



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Pengembalian Sebagian Uang Riba dari Diri Kita Kepada Kita Sendiri


Seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:39 pm


Irsavone Sabit mengirim ke Sinar Agama: 20-4-2013, Salam, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa boleh meminjam uang di bank selama tidak ada lagi tempat meminjam yang tidak memakai bunga, nah bagaimana kalau kita meminjam uang di bank syari’ah, kemudian pihak bank, memberikan pengembalian uang Rp. 100.000 rupiah/bulan dalam bentuk tabungan, apakah uang tersebut halal?

Bande Husein Kalisatti dan Uthman Hapidzuin menyukai ini.


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Tapi afwan saya belum paham. Bisa diterangkan lebih jauh, sekalian dengan berapa pinjamannya, berapa harus membayarnya, dan mengapa bisa ada pengembalian tiap bulan Rp. 100.000 itu? Terimakasih.

Irsavone Sabit: Misalnya kita meminjam uang di bank syari’ah Empat Puluh Juta selama lima tahun, dengan cicilan tiap bulannya pada bank kurang lebih Sembilan Ratus Ribu Rupiah tiap bulannya, nah bank mengembalikan dalam bentuk tabungan sebesar seratus Ribu rupiah tiap bulannya pada nasabah, kenapa dikembalikan Seratus Ribu rupiah, hal itu sudah ketentuan bank, apakah uang pengembalian seratus ribu rupiah tersebut oleh bank pada nasabah halal?

Sinar Agama: Terima kasih penjelasannya: Dengan contoh yang antum berikan itu, berarti antum harus mengembalikan pinjaman 40 juta itu sebesar 54 juta (900,000 x 12 x 5 = 54 juta). Jadi, antum harus membayar bunga/riba sebesar 14 juta. Lalu bank mengembalikan kepada antum 100,000 sebulan dimana akan menjadi 100,000 x 12 x 5 = 6 juta. Dengan demikian, sebenarnya antum membayar riba-nya itu sebesar 8 juta hasil dari 14 juta - 6 juta = 8 juta.

Dengan perhitungan itu, maka antum tidak memakan uang riba, tapi uang antum sendiri yang semestinya dibayarkan untuk ribanya itu. Yakni bagian dari uang antum yang mesti dibayarkan ke bank.


Menurut saya, uang itu bukan uang riba, karena uang sendiri. Artinya, pembagian riba tapi dari riba yang kita bayarkan ke bank. Kalau riba itu dari pembayaran orang lain, maka jelas riba buat antum.

Namun demikian, supaya tidak bermasalah sama sekali, maka antum niatkan saja pada setiap pembayaran itu, bahwa yang 100,000 itu hanya dititipkan saja ke bank. Yakni jangan diniatkan sebagai pembayaran riba. Atau niatkan saja dari awal memang sebagai tabungan antum.

Semua ini, kalau memang pasti bahwa bank syari’ah itu tidak syari’ah, sebagaimana kita kira selama ini seukuran sampainya informasi kepada kita dalam diskusi-diskusi di facebook ini. Tapi kalau ternyata suatu saat terbukti syari’ah, maka jelas 100.000 itu bisa dihitung sebagai bonus tambahan bagi hasil.

Irsavone Sabit: Terimakasih atas penjelasan Ustadz Sinar Agama.

Vito Balataw: Salam, sekedar informasi bank syari’ah apapun di Indonesia tidak mungkin syari’ah, karena semua bank baik non syari’ah (konvensional) maupun “syari’ah” di bawah naungan Bank Indonesia (BI) yang menerapkan sistem keuangan Kapitalis/ribawi. Afwan.

Sinar Agama: Vito: Itu juga masalah buat bank syari’ah. Dulu, sekitar 20 tahun yang lalu, ketika awal-awal bank syari’ah ini dipromosikan, bahkan ada yang berkata bahwa dana yang masuk, tidak sepenuhnya dialokasikan dengan permodalan mudharabah atau bagi hasil. Karena hal itu perlu kepada program yang luas, serius dan dengan penuh ketekunan dan perombakan ekonomi Indonesia. Karena itu, katanya, dana-dana itu kebanyakannya masih diputar di bank yang bagian bukan syari’ahnya, yakni bank yang menaungi bank syari’ah yang memang bukan syari’ah itu.

By the way, menurut alfakir dalam penerapan pemahaman fikih Ahlulbait as, tidak menyentuh apapun hasil/bunga-nya adalah kewajiban yang tidak bisa dianggap ringan mengingat dosa riba terlalu besar buat manusia.


Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 23 Desember 2019

Hukum Bagian Binatang Haram dan Shalat


Seri tanya jawab Mata Jiwa dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:35 pm


Mata Jiwa mengirim ke Sinar Agama: 19-4-2013, Salam,

Pak Ustadz, apa hukumnya memeluk-meluk binatang seperti kucing? Bagaimana pula hukumnya dengan pakaian atau kursi-kursi, tempat tidur yang ditiduri kucing berkaitan dengan sholat, maksudnya apakah kucing yang katakanlah kucing rumahan yang bersih itu meninggalkan/ menempelkan najisnya? Terimakasih untuk jawaban Pak Ustadz.

Sulis Kendal, Indah Kurniawati dan 2 orang lainnya menyukai ini.


Sang Pencinta: Salam, ikut bantu. Tidak ada yang najis dari binatang yang diharamkan itu kecuali anjing darat dan babi darat. Yang lainnya tidak ada yang najis. Tapi kalau ada di tubuh atau baju kita, misalnya bulunya, maka sebelum shalat harus dibuang. Karena badan dan baju kita di samping harus bersih dari najis, keduanya harus bersih pula dari yang diharamkan.

Sang Pencinta: Sudah tercantum di kamus makanan mbak.

Laksana Cipta Usaha: Ahsan.

Mata Jiwa: Terimakasih banyak mas akhi bro Sang Pencinta.

Sulis Kendal: Salam Ustadz dan teman-teman, maaf ikut bertanya,

~ Bagaimana jika bulu kucing tadi ada yang menempel dalam mukena dan diketahui setelah sholat selesai, apakah kita wajib mengganti sholat tadi.

~ Waktu haid kita baca tawassul dan tidak sengaja kita mengeluarkan air mata (nangis) dan air mata tadi jatuh membasahi tulisan Arab tawassul tadi, hukumnya bagaimana Ustadz, karena hasil akhirnya lembaran tadi kering dan membentuk pulau-pulau dan jika waktu sholat kadang-kadangbisa sampai nangis berat, maaf-maaf sampai keluar air hidung, apakah shalat tadi jadi batal Ustadz?

Sulis Kendal: ~ dan jika bulu kucing tadi diketahui waktu do’a Qunut, sholat jadi batal, apakah wajib wudhu lagi atau sekedar membersihkan bulu kucing tadi, afwan Ustadz dan terimakasih sebelumnya.


Sinar Agama: Pencinta: Ahsantum.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Sudah benar yang dikatakan Pencinta.

Sinar Agama: Sulis:

1- Sementara ini, tidak perlu diqadhaa’. Kalau bulu kucing itu diketahui ada di baju kita, setelah shalatnya selesai. In'syaa Allah, kalau ada perbedaan setelah konfirmasi, akan diumumkan.

2- Air mata itu tidak najis, begitu pula ingus, baik dalam keadaan bersih atau haidh. Jadi, tidak mengapa jatuh ke tulisan arab, Qur'an, baju, dan seterusnya.

3- Kalau bulu kucing itu diketahui ada di baju ketika dalam keadaan shalat, untuk sementara ini, buang bulunya dan teruskan shalatnya, lalu setelah itu ulang lagi shalatnya.

Tambahan: Bulu kucing itu tidak najis, tapi tidak boleh ada di badan atau baju ketika shalat, karena baju dan badan, selain wajib bersih dari najis, juga wajib bersih dari binatang haram.


Mata Jiwa: Maaf Pak Ustadz, untuk memperjelas: saya punya banyak peliharaan hewan yang saya gendong-gendong, peluk setiap harinya, berarti untuk kehati-hatiannya, saya mandi dulu sebelum sholat ya? Oya, jika saya mencium-cium kucing, tidak dihukumi haram kan?

Sinar Agama: Mata:

Apapun bagian binatang haram yang menempel pada kita, sekalipun ia tidak najis (karena yang najis kan hanya babi darat dan anjing darat), maka harus dibersihkan dulu sebelum kita melakukan shalat, apakah itu bulunya, air liurnya dan semacamnya. Tapi dibersihkan di sini, bukan karena najisnya, tapi karena keharaman binatangnya itu.

Jadi, memeluk binatang haram adalah tidak haram, begitu pula menciumnya (kecuali kalau dengan kelezatan yang berhubungan dengan sexual). Tapi kalau ada bagian tubuhnya yang menempel ke badan atau baju, maka wajib dibersihkan atau dibuang sebelum melakukan shalat karena membatalkan shalat. Karena salah satu syarat shalat adalah bahwa badan dan baju kita bersih dari segala macam binatang haram.

Alie Sadewo Nsc and 19 others like this.


Van We Er: Afwan Ustadz bagaimana hukumnya dengan air yang di minum sama kucing Ustadz, di rumah ana lagi susah air jadi banyak penampungan air di bak-bak pendek tanpa tutup yang kadang ana lihat ada kucing yang minum darinya?

Sinar Agama: Van, tidak masalah. Kucing itu tidak najis dan moncongnya tidak menajiskan air hingga karena itu, tidak membuat airnya menjadi najis dan tidak menjadi haram untuk diminum atau digunakan untuk wudhu dan lain-lainnya.

Mata Jiwa: Kalau kucingnya baru dimandikan bersih dengan sabun, bagaimana status bulunya Pak Ustadz? Maksudnya yang menempel dipakaian ketika sholat?

Sinar Agama: Mata: Kan badan dan pakaian shalat itu harus bersih dari beberapa hal:

1- Najis.

2- Haram (seperti binatang haram seperti kucing).

3- Ghashab atau harta haram seperti korupsi atau riba atau tidak bayar khumus.

Nah, kucing sekalipun tidak najis, tapi ia masuk di binatang haram yang tidak bisa dibawa shalat. Ingat-ingatlah rumus ini. Karena memang beberapa orang sepertinya hanya melihat bahwa masalah badan dan baju shalat itu sehubungan dengan najis saja. Padahal masih ada dua lainnya, yaitu benda haram dan harta haram/ghashab.

Jadi, satu bulu saja dari kucing yang menempel di badan dan/atau baju shalat, maka shalatnya akan batal. Tentu kalau diketahui ada bulunya.



Mata Jiwa: Baik Pak Ustadz.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 22 Desember 2019

Minum Al-Kohol Karena Terpaksa dan Makan Binatang


Seri tanya jawab Hikmah Munirah dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:30 pm


Hikmah Munirah mengirim ke Sinar Agama: 19-4-2013, Salam Ustadz. Suatu hukum itu universal atau kondisional? Karena ada kasus seperti ini :

1. Ada penumpang pada sebuah kapal yang berlayar mengarungi samudera atlantik yang terkenal sangat dingin itu, karena ketakutan kapalnya mulai tenggelam, dia minum alkohol sebanyak- banyaknya, tujuannya agar ketika dia mati nanti dia dalam keadaan tidak sadar (meskipun dia bisa berenang tapi dia tidak sanggup menahan dinginnya air samudera atlantik itu sedangkan sekoci terbatas di utamakan penumpang wanita dan anak-anak) ternyata minuman alkohol itu yang menyelamatkan hidupnya karena alkohol yang mengalir ke tubuhnya telah menaikkan suhu tubuhnya, berbeda dengan teman-temannya yang mati dalam kedinginan karena tidak mengkonsumsi alkohol.

2. Hadits Imam Ali as. “bahwa kita tidak boleh menjadikan perut sebagai kuburan binatang”, bagaimana dengan penduduk eskimo yang setiap hari harus makan daging karena mereka tinggal di daerah dingin alias dekat kutub?


Sekian dan terimakasih sebelumnya. Wassalam.

Sulis Kendal, Chipoet Asli, dan Muhammad Faisal menyukai ini.


Sang Pencinta: Salam, ikut bantu Bu, setiap sesuatu dalam fikih ada hukumnya, tidak satu hal yang luput yang mana fikih akan menjelaskannya. Adalagi hukum tsanawi atau ke dua di samping hukum tsanawi di atas yaitu yang masalah darurat itu. Yaitu berbenturannya dengan hukum lain yang tidak dapat dihapus dengan hukum pertama itu. Tapi bisa saja hukum lain itu, tetap harus diabaikan manakala tidak bisa menghambat hukum pertama itu karena besar dan pentingnya. Seperti haramnya daging babi yang tidak bisa dihapus hanya dengan hukum menghormati orang lain. Atau seperti fikih Syi’ah yang tidak bisa dihapus hanya karena untuk menghormati orang Sunni. Beda kalau Sunni-nya ini jahat hingga bisa membunuh, memukul, memperkosa dan mengambil harta kehidupannya.

Salah satu hukum yang banyak bertabrakan dalam kehidupan, adalah hukum makruh dan sunnah. Misalnya, diberi makanan makruh oleh mukmin yang disunnahkan untuk menghormatinya. Atau kadang sunnah lawan sunnah yang lebih besar. Seperti puasa sunnah yang dapat dikalahkan dengan sunnah menghormati orang lain hingga karena itu, kalau kita puasa sunnah lalu diajak makan teman muslim, maka lebih besar pahalanya kalau kita berhenti puasa sunnahnya dan makan bersamanya, sebagai rahmat dari Allah.

Nah, salah satu hukum yang bisa dikatakan bertabrakan ini dimana harus dilihat mana yang paling pentingnya, adalah pakaian hitam. Misalnya, di kala pakaian hitam ini, dapat menjaga jelalatannya mata lelaki, maka bagi wanita, akan lebih baik kalau memakai baju hitam. Begitu pula kalau memakai pakaian hitam bisa menjadi syi’ar kesedihan atas kemazhluman pada Aulia dan Makshumin atau muslim yang tertindas, maka ia bisa menutupi kemakruhannya itu dan menjadikan yang afdhal memakainya.

Jangan katakan bahwa hal ini menentang Nabi saww atau para Imam as itu sendiri. Karena Syi’ah, tidak seperti wahabi yang sama sekali tidak memahami ayat dan riwayat dimana bahkan mewajibkan semua orang untuk berijtihad sekalipun tidak mengerti bahasa Arab sekalipun dan mengharamkan taqlid, tentu saja selain taqlid pada Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab.

Kembali ke masalah hukum tsanawi. Dalam hukum tsanawi ini, perlu diketahui bukan karangan ulama. Tapi ia memang hukum Allah, Qur'an, haditsdan para Makshum itu sendiri. Karena itulah, di Syi’ah, sebagaimana juga di Sunni (pengikut dan penaklid 4 madzhab, dan jelas bukan wahabi ygngaku-ngaku Sunni), seseorang untuk menjadi mujtahid yang bisa memahami ayat dan riwayat, diharuskan dulu mempelajari berbagai ilmu seperti ushul fiqih tersebut.

Kenapa begitu? Karena banyak sekali ayat dan riwayat yang tidak akan dipahami kecuali dengan meneliti dan membandingkan satu sama lainnya.

Intinya, hukum tsanawi ini diajarkan Islam itu sendiri seperti kebolehan makan babi ketika tidak ada makanan, menyentuh bukan muhrim ketikamenolongnya seperti dokter atau dari tenggelam di sungai, dan seterusnya.

Karena itu, maka baju hitam itu, akan menjadi dianjurkan kalau nilai syi’ar atau kebaikannya itu jauh melebihi kemakruhan yang biasanya hanya bersifat pribadi itu.

http://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/ttg-kemakruhan-memakai-baju-hitam-dan-hukum-tsanawi-dalam-fikih/497063433676901

Hikmah Munirah: Maaf, mohon memperhatikan poin-poin pertanyaan saya, jazakumullah atas jawabannya yang normatif dan universal, tapi maaf saya belum menemukan kejelasan dan ketegasan jawaban untuk poin-poin tersebut.

Sang Pencinta: Tukilan di atas adalah untuk menjawab poin 1, di mana si peminum alkohol dalam kondisi terpaksa untuk meminumnya. Saya rasa tukilan tersebut dapat menjelaskan soalan pertama.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Yang dinukilkan Pencinta itu, tidak tepat untuk menjawab pertanyaan pertama. Karena peminum tersebut, tidak meminum alkohol tersebut untuk menyelamatkan diri, tapi justru ingin membuat dirinya mabok dan tidak sadar hingga kalau mati tidak terasa dingin dan deritanya. Hal seperti ini, jelas haram. Kalau ternyata selamat karena panas badannya dan menjadi hidup, tetap saja meminum alkoholnya itu tetap haram. Karena setiap sesuatu tergantung kepada niatnya.

Tapi kalau dengan ilmu pengetahuan yang sudah diketahuinya, bahwa kalau meminum alkohol tersebut, bisa menghangatkan badannya dan bisa menyelamatkan diri karena bisa berenang atau terlepas dari sebab kematian yang akan dihadapinya, maka kaidah terpaksa, bisa dipakai dan, sudah tentu nukilan Pencinta akan menjadi benar.


2- Yang dimaksudkan hadits nukilan antum itu adalah maksimalnya makruh. Itupun kalau haditsnya sudah benar dan shahih sebagaimana yang diteliti oleh marja’ yang kita taqlidi. Karena itu, kita tidak bisa merujuk hadits tersebut. Anggap makruh, itupun kalau tidak ada hukum tsanawi/ke-dua yang mengharuskannya seperti orang Eskimo itu. Di kala sudah darurat, jangankan makruh, haram juga bisa terangkat dengan sendiri. Tentu saja, dengan pengaturan yang sudah ada di fikih.

Sang Pencinta: Ustadz Sinar Agama: iya, komen saya yang pertama tidak tepat, saya membaca soalan yang tertulis, tapi memaknainya berbeda, entah mengapa. Afwan kurang fokus.

Mata Jiwa: Oh, jadi untuk kondisi-kondisi darurat pun niat harus diluruskan ya? Insyaa Allah sekarang saya tambah mengerti mengapa kita tidak boleh berhenti belajar. Semoga pak Ustadz panjang umur dan sehat serta terus dalam kesabaran membimbing kami.

Mata Jiwa: Sang Pencinta : doa yang sama juga untuk mas akhi bro. Selalu siap sedia membantu.

Sinar Agama: Mata: Kita semua memang tidak bisa berhenti untuk terus belajar walaupun sudah mujtahid sekalipun. Karena itulah Nabi saww bersabda:

“Menuntut ilmu itu, dari timangan ibu sampai ke liang lahad.”

Sinar Agama: Pencinta: Hal itu memang biasa. Yang sudah dibimbing guru juga bisa salah memahami. Di depan para Nabi as dan para Imam as jugabisa salah memahami. Karena itu, kita harus selalu saling mengingati.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Ukuran Wewangian Bagi Wanita


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:25 pm


Sang Pencinta: 19-4-2013, Salam, sekedar konfirmasi, ada yang bertanya, bolehkah pakaian wanita menggunakan pewangi pakaian ketika mencuci untuk mengurangi bau tengik/amis matahari saat aktifitas? Terimakasih — bersama Sinar Agama.

Indah Kurniawati, Achmadi Al Fauzi, Daris Asgar dan 24 lainnya menyukai ini.


Pangeran Terasing: Ya boleh lah.

Sebby Syihab Haura Suprayogi: Ikut nyimak.

Indah Kurniawati: Saya juga suka pakai tapi tidak berlebihan ditambah pelicin pakaian dan parfum sedikit. Afwan ikut nyimak. Bagaimana dalam fiqih nya.

Zahra Pencari Ilmu: Saya juga ikut nyimak.

Tania AzZahra: Ikut nyimak ustadz.

Siti Ruqoyah: Nuwun sewu. Nderek niyimak.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Bagaimanapun, kalau ketika bajunya dipakai, bau harumnya tercium ke orang lelaki yang bukan muhrim, baik di dalam rumah atau di luar rumah, maka jelas tidak boleh. Ini untuk pakaian wanitanya. Tapi kalau untuk pakaian lelakinya, maka tidak masalah.

Sang Pencinta: Yang dilarang itu wanginya bisa tercium dari dekat atau dari jauh, berapa meter? Ada batasannya? Konfirmasi 2 tahun yang lalu pernah saya tanyakan tapi kurang saya simak. Afwan

Sinar Agama: Pencinta: wanginya itu tidak masalah, tapi begitu tercium lelaki bukan muhrim, maka jadi haram. Jadi, harus dihindarkan dari penciuman lelaki bukan muhrim. Karena itu, tidak ada ketentuan berapa meternya. Artinya, kalau dalam jarak dua meter tercium, maka tidak boleh dekat dengan lelaki bukan muhrim sebesar dua meter. Begitu pula dengan jarak-jarak tercium yang lain.

Jadi, intinya bukan berapa jarak tercium dan tidaknya, tapi penghindaran dari lelaki bukan muhrim sesuai dengan jarak terciumnya dari wewangian yang dipakai. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 21 Desember 2019

Cerai


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:22 pm


Sang Pencinta: 18-4-2013, Salam, ada yang bertanya, suami istri (Syi’ah) sudah bercerai di pengadilan agama dan sudah keluar akte cerainya, akant etapi syarat cerai secara fikih Syiah tidak terpenuhi yaitu 2 saksi adil, walhasil perceraian tersebut tidak sah. Pertanyaannya adalah saya mengalami rasa gelisah menjalani hubungan dengan suami, karena orang di lingkungan saya kan hampir semuanya Sunni, saya dan suami menjalaninya secara sembunyi-sembunyi karena orang- orang juga sudah tahu bahwa kami sudah cerai, terutama keluarga saya sendiri dan keluarga suami. Bagaimana mengatasi rasa gelisah ini ustadz. Saya sudah baca uraian Ustadz Sinar Agama tentang kegelisahan dalam berfikih, tapi persoalan saya adalah tentang lingkungan sosial saya yang kebanyakan Sunni, selain itu doktrin Sunni juga masih melekat, jadi ada rasa was-was seolah saya melakukan dosa besar, ketika berhubungan dengan suami. Terimakasih. — bersama Sinar Agama.

Indah Kurniawati, Achmadi Al Fauzi, Maymuna Zahra dan 28 lainnya menyukai ini.


Irawan As-sidhoqui: Ikut juga.

Beel Zelfana: Nyimak. 

Yayan Iyay: Nyimak. 

Nida Zainab: Nyimak.

Alkham Ismail Zahra: Nyimak.

Maymuna Zahra: Ikut nyimak juga.

Sasando Zet A: Ikut nyimak juga. Ilmunya bermanfaat.

Hard Smoker: Nyimak.

Supartiningsih Al Karim: Nyimak.

Nadi Ali Utomo: Hemmm. Kalau masih mau berhubungan dan masih saling suka, kenapa tidak nikah lagi kembali?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Ingat, syarat syahnya cerai itu bukan hanya 2 saksi yang tidak melakukan dosa itu. Tapi juga ada hal-hal lainnya, seperti tidak terjadi di masa haidh, tidak terjadi di masa bersih yang di dalamnya terjadi jimak.

Untuk masalah yang ditanyakan itu, dapat dipahami ada dua masalah. Pertama, masyarakat umum. Ke dua, diri sendiri.

  • - Kalau masyarakat umum, maka untuk terlepas dari gunjingan mereka, bilang saja sudah kawin lagi, tapi belum ke KUA. Atau sudah kembali (ruju’) sebelum iddah selesai/habis.
  • - Kalau mengenai perasaan sendiri, yah harus diatasi dengan fikih yang sudah jelas. Dan ketika sudah jelas, sebagaimana sudah dikatakan batal karena tidak ada 2 saksi adilnya, maka tidak usah lagi dipikirkan tentang kebenaran fikih Syi’ah itu. Karena ketika keduanya sudah Syi’ah, maka sudah pasti bahwa hal tersebut sudah jelas belum jatuh cerai.

Tambahan:

Tapi kalau masalahnya hanya bingung dan sugesti, maka lawanlah dengan sugesti pula. Anjuranku, nikah lagi ke KUA dan jalanilah hidup bahagia dengan saling memaafkan dan menerima kekurangan masing-masing sambil berusaha sekuat tenaga untuk mengurangi segala kekurangan dari masing-masing pihak. Karena musuh terbesar kita itu adalah diri kita sendiri yang ingin memaksakan ke lingkungan kita tanpa peduli kemanusiaan dan keikhtiaran orang lain. Kalau masalahnya bukan selingkuh, maka anjuranku, kembalilah dengan damai dan urus surat nikahnya lagi.

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Hukum Menggerakkan Badan Dalam Shalat


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:19 pm


Sang Pencinta: 18-4-2013, Salam, mohon penjelasan; Apabila mushalli sedikit menggerakkan tangan, mata, atau alisnya pada pertengahan shalat untuk memberitahukan sesuatu pada orang lain atau untuk menjawab pertanyaannya, jika hal ini tidak bertentangan dengan ketenangan dan keadaan shalat, maka tidak membatalkan shalat. (Ajwibah al Istifta’at, no. 504)

Terimakasih Ustadz — bersama Sinar Agama.

Indah Kurniawati, Achmadi Al Fauzi, Agoest D. Irawan dan 23 lainnya menyukai ini.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Sebagaimana yang sudah sering dijelaskan bahwa bergerak selain dalam hal-hal shalat (ketika shalat) atau melakukan sesuatu yang di luar pekerjaan shalat (di dalam shalat), tidak membatalkan shalat kalau tidak mengeluarkannya dari pekerjaan shalat. Tapi kalau mengeluarkan, seperti loncat-loncat, tepuk tangan, dimana menurut ‘urf/uruf mengeluarkan dari pekerjaan shalat, maka hal itu membatalkan.

Tapi bagaimanapun, kalau hal itu darurat, seperti loncat karena menghindari ular atau binatang yang berbahaya, atau jalan untuk menyelamatkan anaknya yang mau jatuh dari tempat tidurnya atau karena main pisau yang membahayakan, maka tidak membatalkan shalat tapi diulang satu ayat terakhir dari bacaannya dan usahakan untuk tidak menyimpang dari arah kiblat selama masih bisa.

Sang Pencinta: Bagaimana kaitannya dengan mendehem orang yang ribut ketika sedang sholat, apakah status di atas mencakupi hal ini? Konfirmasi Ustadz.

Sinar Agama: Kalau masalah berdehem itu, masuk dalam pembatalan shalat yang lain, yaitu yang berbicara. Beda kalau dehemnya karena gatal tenggorokan. Tapi kalau maksudnya menyapa atau menyampaikan maksud tertentu kepada orang lain, maka terhitung “bicara” dimana termasuk salah satu dari sekitar 11 hal yang membatalkan shalat.

Khommar Rudin : Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jin, Iblis dan Syaithan


Seri tanya jawab Achmadi Al Fauzi dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:16 pm


Achmadi Al Fauzi mengirim ke Sinar Agama: 17 April 2013, Salam Ustadz; apakah jin, syaithan, dan iblis itu beda? Beri penjelasan perbedaannya dan kesamaannya. Yang tidak mau sujud sama Nabi Adam syaithan, jin atau iblis?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Jin, adalah makhluk yang badannya dicipta dari api atau, yang juga biasa dikenal dengan materi ringan (api) atau materi tidak padat atau tidak terlalu padat. Mereka ini memiliki taklif juga dari sisi Allah hingga yang taat dan taqwa, akan ditempatkan di maqam yang tinggi dan yang sebaliknya, maka sebaliknya.

2- Iblis, adalah jin yang taqwanya hebat yang taat kepada Allah selama kurang lebih 50.000 tahun hingga diletakkan oleh Allah di maqam malaikat. Karena itu, ketika malaikat diperintahkan sujud kepada nabi Adam as, jin yang taat ini, tercakup dalam perintah sujud itu. Karena itu, ketika ia tidaksujud, maka ia diturunkan dari maqam itu dan akan diadzab oleh Allah. Tapi dia meminta penundaan untuk membuktikan kebenarannya dan kesalahanNya. Karena itulah ia dipanjangkan umurnya sampai hari kiamat tiba. Nah, jin yang taat hingga mencapai maqam malaikat itu, laludikeluarkan dari surga dan maqamnya itu dan akan dimasukkan ke jahannam kelak karena setelah tidak sujud pada nabi Adam as, ia bukan malah bersedih, tapi semakin sok yakin terhadap kebenaran dirinya dan kesalahan Tuhannya, maka jin inilah yang dikenal dengan Iblis itu.

3- Syaithan ada beberapa arti. Yang pentingnya, adalah yang menjauhkan dari Tuhan. Nah, apa saja yang menjauhkan dari Tuhan, maka ia adalah syaithan. Apapun bentuk dan esensinya. Jadi, jin iblis atau jin pengikut iblis atau manusia pengikut hawa nafsu dan iblis dimana semuanya itu menjauhkan yang diganggu dari Tuhan dan hidayahNya, maka mereka disebut syaithan. Wassalam.


Achmadi Al Fauzi: Syukran Ustadz 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ