Selasa, 17 Desember 2019

Sedekap Dalam Fatwa-Fatwa dan Kitab-Kitab Sunni, Bag-1


October 28, 2013 at 1:31 pm



Mukaddimah:

1- Sebenarnya, masalah sedekap ini adalah masalah yang tidak penting sama sekali. Karena di fikih Sunni manapun tidak diwajibkan melakukannya dalam shalat. Kecuali Sunni yang terlalu awam atau terlebih para wahabi yang biasa mengawamkan dirinya dengan sok tahu ayat dan hadits walau tidak pernah menyentuh pagar pendidikan agama yang jangankan universitasnya, sekolah-sekolah dasarnya saja, tidak pernah.


2- Di madzhab Sunni yang dibid’ahkan para wahabi yang anti madzhab, sedekap dalam shalat ini memiliki tiga hukum secara global:

a- Madzhab Hanafi menghukuminya sunnah bagi lelaki dan perempuan. Untuk lelaki diaf- dhalkan di bawah pusar dan untuk wanita di atas dada.

b- Madzhab Syaafi’i menghukumi sunnah untuk lelaki dan perempuan. Untuk lelaki diaf- dhalkan di atas pusar (di dada) agak miring ke kiri.

c- Madzhab Hanbali mensunnahkan bagi lelaki dan perempuan. Afdhalnya berposisi di bawah pusar.

d- Madzhab Maaliki membolehkannya dalam shalat sunnah dan memakruhkannya dalam shalat wajib serta mensunnahkan pelurusan tangan.

3- Di madzhab Syi’ah, sedekap itu tidak boleh dan membatalkan shalat. Karena itu wajib hukumnya pelurusan tangan, baik dalam shalat wajib atau sunnah.

4- Tujuan penguraian ini, bukan untuk memperuncing masalah yang tidak penting ini, akan tetapi justru ingin memberikan pengertian bahwa sedekap itu bukan hanya tidak termasuk rukun-rukun yang wajib dalam shalat, akan tetapi dalil-dalilnya bahkan merupakan dalil-dalil yang lemah menurut Sunni sendiri.

5- Penguraian kelemahan dalil Sunni menurut Sunni sendiri itu, dan penyebutan dalil pelurusan tangan di Sunni, sekedar ingin memberi tahu bahwa Syi’ah itu tidak mengada-ngada dalam Islam dan tidak mengatasnamakan Ahlulbait as sebagaimana sering dituduhkan. Akan tetapi benar-benarmengambil dari Ahlulbait as yang makshum dan bahkan dikuatkan dengan dalil- dalil Sunni.

6- Sedekap diistilahkan dengan beberapa istilah, seperti “al-Takfiir”, “al-Takattuf”, “al-Dham”, dll- nya. Sedang pelurusan tangan dengan “al-Irsaal”, “al-Isbaal”, “al-I’tidaal”, dll-nya.

7- Dalil-dalil sedekap yang akan dibawakan beserta dalil kelemahannya nanti, kalaupun dianggap kuat (dimana hal itu sangat mustahilsebagaimana yang akan kita lihat kemudian), tetap saja tidak bermakna wajib. Karena itulah maka tidak ada ulama Sunni manapun yang mewajibkan sedekap dalam shalat. Dan semua kitab dan hadits yang akan dinukil di sini, semuanya adalah hadits-hadits dan kitab-kitab Sunni.

8- Dalil-dalil sedekap, memiliki empat/lima bentuk secara global walaupun diriwayatkan dengan berbagai jalur. Akan tetapi, dilihat dari sisi makna/matan/isi, bisa dikatakan hanya dalam empat bentuk saja sebagaimana akan maklum nantinya, yaitu:

  • 8-1-Yang mengatakan bahwa sedekap itu bagian dari akhlak para nabi:

Nabi saww bersabda: “Kami para nabi diperintah untuk menyegerakan berbuka, menga- khirkan sahur dan meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri dalam shalat.”

Hadits ini, diriwayatkan oleh beberapa shahabat: Ibnu ‘Abbaas, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Abu Dardaa’ dan Ya’laa bin Murrah. Saya tidak akan menukil semua bentuk riwayatnya dan hanya akan menyebut salah satunya dari masing-masing hadits dan jalur. Hal itu untuk memperpendek tulisan dan yang terpenting adalah bahwa isi dan maksudnya adalah sama saja. Memang, dalam ilmu hadits, kebermacaman bentuk kalimat hadits dalam satu masalah yang sama dan dari perawi yang sama, bisa membuat hadits tersebut menjadi lemah yang, diistilahkan dengan Muththaribah (bermacam model kalimat). Kita akan bahas sanadnya saja sudah cukup. Karena yang mempelajarinya, akan mencapai keyakinan pasti, bahwa hadits sedekap dalam shalat ini, sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan dan hujjah sebagaimana yang akan maklum. Kalau hal ini ditambah dengan kebermacaman haditsnya, maka hadits-hadits itu akan semakin tenggelam dalam lautan kelemahan (dhaif) hingga semakin memustahilkan siapapun untuk menjadikannya hujjah.

    • 8-1-a- Yang dari Ibu ‘Abbaas, ada di kitab: al-Musnad al-Thayaalisi, 345 (2654); Sunan Baihaqii, 4/238. Jalurnya dari Thayaalisii dari Thalhah bin ‘Umar al-Hadhrami, dari ‘Athaa’ bin Abi Ribaah, dari Ibnu ‘Abbaas. Juga diriwayatkan di kitab Sunan al-Daaru Quthni, 1/284. Jalurnya dari Mukhallad bin Yaziid, dari Thalhah, dari ‘Athaa’ dan Ibnu ‘Abbas.

Kritikan hadits:

Pertama, Manuver hadits dari jalur ini, ada pada Thalhah bin ‘Umar al-Makki. Sementara dia, tidak dipakai (matruuk) oleh beberapa ulama hadits Sunni, seperti Ahmad bin Hanbal, Nasaai, Ibu Junaid dan Ibnu Hajar (lihat di: al-Jarhu wa al-Ta’diil, 4/278; al- Dhu’afaa-u al-Nasaai, 143; Tahdziibu al-Tahdziib, 5/21-22; Taqriibu al-Tahdziib, 1/379; dan lain-lain). ‘Umar bin ‘Ali dan Ibnu Mu’iin berkata bahwa ia: “Dia tidak ada nilainya, ditinggalkan dan Yahya dan Abdu al-Rahmaan tidak mau meriwayatkan darinya.” (al- Jarhu wa al-Ta’diil, 4/478).

Bukhari juga berkata: “Dia –Thalhah- tidak memiliki nilai sedikitpun dan Yahya sangat jelek pandangannya tentang dia.” (Tahdziibu al-Tahdziib, 5/21). Terlalu banyak lagi komentar-komentar para ahli hadits dan rijal Sunni yang menjadikan Thalhah bin ‘Umar itu tidak bisa diambil haditsnya.

Ke Dua, ‘Athaa’ termasuk tabi’iin (shahabatnya shahabat Nabi saww) yang meluruskan tangan dalam shalatnya (Mushannaf ‘Abdu al-Razzaaq, 2/276; al-Tamhiid, 20/75; Mu’jamu al-Maudhuu’aat al-Matruuhah, 2/774).
Jalur-jalur lain yang menyambung ke Ibnu ‘Abbaas:

      • 8-1-a-1- Dari Harmalah bin Yahya, dari Ibnu Wahab, dari ‘Umar bin al-Haarits, dari ‘Athaa’ bin Abi Ribaah dari Ibnu ‘Abbaas (lihat di kitab: Thabraani dalam al-Mu’jamu al-Kabiir, 11/199, no: 11485; Shahiih Ibnu Habbaan, 5/67, no: 1770).

Kritikan Hadits dari jalur ini:

Pertama, sebagaimana yang sudah dijelas di atas ‘Athaa’ adalah taabi’iin yang meluruskan tangannya dalam shalat. Jadi, riwayat ini dikatakan pengatasnamaan kepadanya (dipalsukan).

Ke Dua, Ibnu Wahab digolongkan oleh Nasaai dan al-Saajii, sebagai orang yang menggampangkan (sembarangan) urusan periwayatan (Tahdziibu al-Tahdziib, 6/67).

Ke Tiga, Abu Haatim berkata bahwa riwayat Harmalah itu hanya ditulis saja tapi tidak bisa dijadikan dalil (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 3/274).

Ke Empat, Ibnu ‘Uddaa menggolongkan Harmalah sebagai orang yang dha’iif/ lemah (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i, 2/863).

Ke Lima, Umar bin Haarits termasuk yang dilemahkan Ahmad bin Hanbal karena banyak kemungkaran-kemungkarannya, yakni hal-hal yang mesti ditolak darinya (Tahdziibu al-Tahdziib, 8/14). Dan al-Atsram menyerangnya dengan pedas dan berkata bahwa ia salah-salah dalam meriwayatkan dari Qutaadah (Miizaanu al- I’tidaal, 3/252).

Ke Enam, Harmalah adalah satu-satunya orang yang meriwayatkan dari Ibnu Wahab tentang hadits ini (Miizaanu al-I’tidaal, 1/472), jadi terhitung lemah. Dan masih banyak lagi dalil-dalil kelemahan jalur ini.

      • 8-1-a-2- Dari Muhammad bin Abi Ya’quub, dari Sufyaan bin ‘Iyyiinah, dari ‘Umar bin Diinaar, dari Thaawuus, dari Ibnu ‘Abbas (lihat di: al-Mu’jamu al-Kabiir, 11/7, no: 10851; al-Mu’jamu al-Ausath Thabraanii, 5/137 (4261). Jalur ini hanya dishahihkan oleh Haitsamii dalam Majma’u al-Zawaa-id-nya, 3/155. Tapi akan terlihat di bawah ini bahwa penilaiannya ini sama sekali tidak bisa diterima.

Kritikan jalur ini:

Pertama, Muhammad bin Abi Ya’quub adalah satu-satunya orang yang meriwayat- kan hadits ini dari Ibnu ‘Iyyiinah (al-Mu’jamu al al-Ausath Thabraanii, 5/137 (4261). Jadi, tidak bisa dikuatkan.

Ke Dua, Abuu Haatim mengatakan bahwa Muhammad itu majhuul atau tidak dikenal (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 8/122; Tahdziibu al-Tahdziib, 9/34).

Ke Tiga, Bukhari sendiri menyebutnya sebagai anak Ya’quub (Taariikh al-Kabiir, 1/267) dan sebagai anak Ishaaq (Taariikh al-Kabiir, 1/41). Jadi jelas terdapat kerancuan tentangnya yang membuat haditsnya menjadi lemah.

Ke Empat, Hakim mengatakan bahwa ‘Umar bin Diinaar adalah orang yang menutupi kekurangan periwayatannya atau mudallis (Ta’riifu Ahli al-Taqdiis Bimaraatibi al- Ma’ruufiina bi al-Tadliis, 42, no. 20;. Bahkan Sufyaanbin ‘Iyyiinah sendiri mengatakan bahwa telah disepakati bahwa dia seorang yang mudallis (ibid, 65, no. 52).

    • 8-1-b- Yang dari Ibnu ‘Umar. Dari Yahya bin Sa’iid bin Saalim al-Qaddaah, dari ‘Abdu al-Majiid bin ‘Abdu al-‘Aziiz bin Abi Ruwwaad, dari ayahnya, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar (al-Mu’jamu al-Shaghiir, 1/176, no. 279; al-Mu’jamu al-Ausath, 4/41, no. 3053; al-Sunanu al-Kubraa, 2/92).

Kritikan Jalur ini:

Pertama, Baihaqi mengatakan bahwa ‘Abdu al-Majiid adalah satu-satu perawi yang meriwayatkan dari jalur ini dan ia dikenal dengan Thalhah bin Umar dan seorang yang tidak kuat haditsnya (al-Sunan, 2/92).

Ke Dua, Ibnu Habbaan berkata bahwa ‘Abdu al-‘Aziiz suka meriwayatkan dari Naafi’ hal-hal yang tidak bisa diragukan hanya karangannya saja (al-Majruuhiin, 2/136-137).

Ke Tiga, Ibnu ‘Uddaa mengatakan bahwa ‘Abdu al-Majiid meriwayatkan dari ayahnya dan dari Ibnu ‘Umar dimana semua hadits-haditsnyaini tidak terjaga (dari kelemahan).

Ke Empat, Diriwayatkan dari Yahyaa al-Qaththaan bahwa ‘Abdu al-‘Aziiz bin Abi Ruwwaad itu adalah pendusta (Tahdziibu al-Kamaal, 18/286).

Ke Lima, ‘Ali bin al-Junaid juga memasukkan ‘Abdu al-‘Aziid ke dalam golongan orang- orang dha’iif/lemah (Tahdziibu al-Tahdziib, 6/302).Begitu pula pandangan Ibnu ‘Uddaa (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i).

Ke Lima, Daaru Quthnii mengatakan bahwa ‘Abdu al-Majiid tidak bisa dijadikan dalil (Tahdziibu al-Kamaal, 18/275). Begitu pula Ibnu Habbaan mengatakan bahwa hadits- haditsnya benar-benar harus ditolak (al-Majruuhiin, 2/160-161). Begitu pula yang dikatakan Ibnu Abi Haatim bahwa ia adalah tidak kuat dan dicela al-Humaini (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 6/64-65). Bukhari juga mengatakan bahwa dia itu dicela al-Humaidii (Taariikh al-Kabiir, 6/112).

Ke Enam, dalam riwayat itu ada Yahya dimana didha’iifkan/dilemahkan oleh al-Haitsami (Majma’u al-Zawaahid, 3/155). Al-Daaru Quthnii juga mengatakan bahwa dia itu tidak kuat (Lisaanu al-Mizaan, 6/257). Dzahabii bahkan mengatakan bahwa ia banyak meriwayatkan yang mungkar –manaakir (Mizaanu al-I’tidaal, 4/378). Begitu pula ‘Uqaili menggolongkanya ke dalam manaakiir yakni banyak riwayatnya yangharus ditolak (al- Shu’afaa-u al-Kabiir, 4/203). Secara keseluruhan hadits ini adalah tergolong hadits yang dilemahkan ulama Sunni (Nailu al-Authaar, 2/200).

    • 8-1-c- Yang dari Abu Hurairah. Al-Daaru Quthnii, dari al-Nadhr bin Ismaa’iil, dari Abu Lailaa, dari ‘Athaa-u, dari Abu Hurairah (lihat: Sunanu al-Daaru Quthnii, 1/284).

Kritikan jalur ini:

Pertama, di dalam jalur ini terdapat Abu Lailaa yang banyak dibicarakan para ahli hadits dan rijal. Ibnu Habbaan berkata bahwa ia banyak kelirunya dan parah dalam periwayatan dan bahkan suka meriwayatkan dengan sangkaannya, karena itu riwayatnya harus ditinggalkan sebagaimana yang dilakukan Ahmad bin Hanbal dan

Yahya bin Mu’iin (al-Majruuhiin, 2/244). Syu’bah juga berkata bahwa tidak ada yang hafalannya lebih parah dari dia (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 7/322). ‘Adbullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ayahnya mengatakan bahwa dia itu sangat buruk hafalannya dan hadits-haditsnya tidak kokoh (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 7/323). Dan masih seambrek lagi ulama Sunni yang melemahkan dia, seperti: al-Jauzjaani, al-Saajii, Ibnu al-Madiinii, Abu Haatim, Thabari, Hakim, dll-nya. Nasaai juga berkata bahwa dia tidak kuat (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin, terjemahan 214, no: 550).

Ke Dua, juga terdapat al-Nazhr bin Ismaa’il atau Nadhr bin Ismaa’iil. Ia juga banyak dilemahkan ulama hadits dan rijal. Ibnu Habbaan berkata bahwa ia banyak sekali melakukan kesalahan dan persangkaan hingga layak untuk ditinggalkan (al-Majruuhiin, 3/51). ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata bahwa ia bertanya kepada ayahnya tentang dia dimana ayahnya mengatakan bahwa ia tidak menghafal dan menjaga isnad/nama-nama perawi (al-‘Ilalu wa Ma’rifatu al-Rijaal, 2/256). ‘Abbaas al-Dauri dan Ibnu Syaibah meriwayatkan dari Yahya bin Mu’iin yang mengatakan bahwa dia itu tidak ada apa-apanya (Taariikhu Baghdaad, 13/433). Abu Daud mengatakan bahwa ia banyak meriwayatkan hadits-hadits mungkar yakni yang wajib ditinggalkan (Tahdziibu al-Tahdziib, 10/388; Miizaanu al-I’tidaal, 4/255). Abu Zar’ah mengatakan bahwa dia itu tidak kuat (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 8/474) dan begitu pula yang dikatakan Nasaai (al- Dhu’afaa-u wa al-Mtruukiin, terjemah ke: 236, no. 624). Dll-nya dari para ulama yang melemahkannya.

    • 8-1-d- Dari Ya’laa bin Murrah. Jalur ini diriwayatkan Thabraanii, dari jalur ‘Abdu al- Rahmaan bin Musallamah al-Raazii, dari Abu Zuhair ‘Abdu al-Rahmaan bin Maghzaa-u, dari ‘Umar bin ‘Abdullah bin Ya’laa, dari ayahnya, dari kakeknya (al-Mu’jamu al-Kabiir, 22/263, no. 686).

Kritikan Jalur ini:

Pertama, Manuver dari hadits ini ada pada ‘Umar bin ‘Abdullah bin Ya’laa dan ayahnya dimana keduanya sangat lemah. Al-Daaru Quthnii mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdullah itu matruuk, yakni mesti ditinggalkan (Tahdziibu al-Kamaal, 21/420). Ahmad bin Hanbal, Nasaai, Ibnu Mu’iin, Abu Haatim dan al-Saaji, semuanya mengatakan bahwa dia itu perawi hadits yang mungkar, yakni mesti ditinggalkan (Tahdziibu al- Kamaal, 21/420). Bukhari mengatakan bahwa dia itu banyak dicela (Taariikh al-Kabiir, 6/170). Jariir bin ‘Abduullah bahkan mengatakan bahwa ia peminum khamr (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i, 5/1693). Zaaidah juga mengatakan bahwa ia melihatnya sendiri minum khamr (Miizaanu al-I’tidaal, 3/211). Dzahabii juga mengatakan bahwa ia dilemahkan orang-orang banyak (al-Kaasyif, 2/274).

Ke Dua, terdapat juga yang bernama ‘Abdullah bin Ya’laa. Dia juga lemah. Bukhari mengatakan bahwa ia diragukan (al-Dhu’afaa-u al-Kabiiral-‘Uqailii, 2/318). Dalam kitab Tuhfatu al-Ahwadzii, 2/87 dikatakan bahwa kalau Bukhari mengatakan “diragukan”, maka jelas tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Dzahabi mengatakan bahwa ia dilemahkan oleh banyak orang (Miizaanu al-I’tidaal, 2/528). Ibnu ‘Uddaa dan al-‘Uqailii memasukkannya dalam golongan perawi yang lemah (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i, 4/1540; al-Dhu’afaa-u al-Kabiir, 2/318).

Ke Tiga, dalam sanad di atas ini juga terdapat orang yang bernama Abu Zuhair ‘Abdu al-Rahmaan bin Mugharraa-u. Dia juga lemah seperti yang sebelumnya. Banu al-Madiinii berkata bahwa dia tidak ada apa-apanya (Miizaanu al-I’tidaal, 2/592). Ibnu ‘Uddaa juga memasukkannya dalam orang-orang yang lemah (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i, 4/1599. Al-Saaji juga melemahkannya (Tahdziibu al-Tahdziib, 6/247). Dll ulama.

    • 8-1-e- Abu al-Dardaa-i. Dalam Mu’jamu al-Zawaa-id diriwayatkan dari Thabraanii (Majma’u al-Zawaa-id, 2/105).

Kritikan Jalur ini: Haitsami mengatakan bahwa ia tidak melihat siapapun yang mener- jemahkan para perawinya. Dia juga mengatakan, “Aku tidak berhasil mendapatkan perawinya di Thabraani sebelum kemudian dilakukan penilaian. Mungkin saja ia menukilkannya dari naskah yang sudah hilang.”

  • 8-2- Yang mengatakan bahwa Nabi saww melalukannya (sedekap dalam shalat). Hadits ini diriwayatkan oleh Syadaad bin Syurahbiil, Ghuthaif bin al-Haarits dan Halb al-Thaa-i. Begitu pula diriwayatkan secara mursal (diriwayatkan dari Nabi saww oleh orang yang tidak pernah bertemu beliau saww) melalui Waa-il bin Hajar dan Ibnu Mas’uud dari Thaawuus al- Yamaanii. Bentuk haditsnya bermacam-macam yang secara keseluruhannya mengabarkan bahwa Nabi saww melakukannya.

Saya tidak akan menyebutkan semuanya karena bermuatan sama dan kajian kita lebih banyak ke sanadnya. Artinya kalau dari sisi sanad sajasudah lemah, maka kalau ditambah dengan kebermacaman bentuk matan atau isinya, maka akan membuat haditsnya semakin tidak berharga. Jadi, saya akan menyebutkan sebagiannya saja. Misalnya, Syadaad bin Syurahbiil berkata:


“Sekalipun aku bisa lupa, tapi aku tidak pernah lupa bahwa aku pernah melihat Rasul saww berdiri dalam shalat dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam keadaan memegangnya.”

    • 8-2-a- Yang dari Syadaab. Diriwayatkan oleh Thabraanii (al-Mu’jamu al-Kabiir, 7/282, no. 7111), al-Bazzaar (Kasyfu al-Astaar, 1/254),Bukhaarii (Taariikh al-Kabiir, 4/225), dari Hayaat bin Syuraih al-Humsii, dari Baqiyyah bin al-Waliid, dari Habiib bin Shaalih, dari ‘Iyaasy bin Muannas, dari Syadaad bin Syurahbiil al-Anshaarii.

Kritikan Jalur ini:

Pertama, hadits ini mursal (diriwayatkan langsung dari Nabi saww oleh orang yang tidak melihat Nabi saww). Karena tidak ada bukti bahwaSyadaad adalah shahabat Nabi saww. Begitu pula ‘Iyaasy adalah orang yang tidak diketahui/majhuul. Ibnu ‘Abdu al-Bir berkata bahwa Syadaad tidak ada riwayatnya kecuali hadits ini (al-Ishaabah, 2/1393; al-Istii’aab, 2/137). Begitu pula yang dikatakan al-Bazzaar (Majma’u al-Zawaa-id, 2/105).

Ke Dua, hadits ini terputus silsilahnya (maqthuu’). Karena ‘Iyaasy itu adalah tidak diketahui identitasnya/majhuul. Al-Haitsamii berkata bahwa tidak ada seorangpun yang menerjemahkan dirinya (Majma’u al-Zawaa-id, 2/105; Nailu al-Authaar, 2/200). Bukharipun juga mengatakan hal yang sama (Taarii Kabiir, 4/225).

Ke Tiga, hadits dengan jalur ini juga hanya satu dari Baqiyyah dimana kehanyasatu- annya ini saja sudah membuat hadits ini lemah. Ditambah lagi diriwayatkan dari ‘Iyaasy yang tidak jelas itu. Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku mengira bahwa Baqiyyah ini tidak meriwayatkan hadits mungkar, tapi dari majhul. Seandainya meriwayatkan hadits mungkar, maka aku pasti tahu dari mana dia ini (Tahdziibu al-Tahdziib, 1/417-419). Al-Khathiib juga berkata bahwa haditsnya –Baqiyyah- banyak mungkarnya (Taariikh Baghdaad, 7/123). Abu Mashar berkata bahwa hendaknya mesti berhati-hati terhadap hadits-haditsnya karena dia tidak bersih (Taariikh Baghdaad, 7/124; Tahdziibu al- Kamaal, 4/198). ‘Abdu al-Haq berkata bahwa dia tidak bisa dijadikan dalil (Tahdziibu al-Tahdziib, 1/417-419). Dzahabi berkata bahwa dia memiliki riwayat-riwayat yang aneh dan mungkar (Miizaanu al-I’tidaal, 1/339). Ada juga yang mengatakan bahwa dia itu lemah/dha’iif, seperti: al-Daaru Quthnii (al-Dhu’afaa-u wa al- al-Matruukiin, 187), al-‘Uqailii (al-Dhu’afaa-u al-Kabiir, 1/112) dan Ibnu ‘Uddaa dalam al-Dhu’afaa-u-nya. Baihaqii berkata bahwa semua bersepakat bahwa Baqiyyah itu bukan hujjah, yakni tidak bisa dijadikan dalil (Tahdziibu al-Tahdziib, 1/417-419).

    • 8-2-b- Yang dari al-Haarits bin Ghathyaf. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 1/342, no. 3933) dan Thabraanii (al-Mu’jamu al-Kabiir, 3/276, no. 339). Diriwayatkan melalui jalur Zaid bin al-Hubaab, dari Mu’awiyyah bin Shaalih, dari Yuunus bin Saif, dari al-Haarits bin Ghathyaf. Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan melalui jalur Hamaad bin Khaalid, dari Mu’aawiyyah, dari Yuusuf bin Saif dan dari Haarits bin Gathyaf (Musnad Ahmad, 4/105 dan 5/290). Dan juga melalui jalur ‘Abdu al-Rahmaan bin Mahdi, dari Mu’awiyyah, dari Yuunus bin Saif dan dari Haarits bin Ghathyaf (ibid). Dan Thabraani meriwayatkannya melalui jalur Ibnu Wahab, dari Mu’awiyyah bin Shalih, dari Yuunus, dari Rasyiid al-Habraanii dan dari Haarits bin Ghathyaf (al-Mu’jamu al- Kabiir, 3/276, no. 3400; Haamisy al-‘Awaashim wa al-Qawaashim, 3/10).

Kritikan Jalur ini:

Pertama, jalur ini sanadnya tidak kokoh (muththarib) dan tidak bisa dipakai, karena ada yang melalui Rasyiid setelah Yuunus, dan ada yang tidak memakainya sebagaimana maklum di atas. Begitu pula ada yang mengatakan Yuunus bin Saif dan ada yang mengatakan Yuusuf bin Saif.

Ke dua, rancu dalam nama perawi pertama hadits ini, yaitu al-Haarits. Ada yang mengatakan anak Ghathyaf, ada yang mengatakan anak Ghuzhaif, dan ada juga yang mengatakan anak Ghudhaif (al-Ishaabah, 1/287; Taqriibu al-Tahdziib, 2/105). Di samping itu, orang ini dikenal meriwayatkan dari shahabat di riwayat-riwayat lain selain hadits ini (dimana menunjukkan bahwa dirinya adalah tabi’iin, tapi di riwayat di atas ia mengakatan bahwa ia melihat langsung yang menunjukkan dirinya shahabat). Karena itu, hadits ini di samping rancu nama perawinya, juga mursal. Karena itu, tidak bisa dipakai.

Ke Tiga, adanya kejelasan pernyataan dari ulama rijal/hadits bahwa ia adalah dari tabi’iin generasi pertama. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Sa’ad (Sairu A’laami al- Nubalaa-i, 3/455), al-‘Ajali (Taariikhu al-Tsiqaat, 381). Karena itu hadits ini mursal dan tidak bisa dipakai. Mursal karena ia memutus satu sanad yang dari shahabat dan menjadikannya sebagai riwayat dirinya. Jadi, sama sekali tidak bisa dipakai.

Ke Empat, dalam sanadnya terdapat orang yang bernama Mu’awiyyah bin Shalih yang menurut Dzahabi dan Abu Haatim tidak bisa dijadikan hujjah, begitu pula Bukhaari tidak meriwayatkan darinya (Miizaanu al-I’tidaal, 4/135). Masih banyak lagi ulama- ulama rijal yang tidak menilai baik dirinya, seperti: Abu Haatim, Yahya bin Sa’iid dan Ibnu Mu’iin (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 8/383). Dan masih banyak lagi yang melemahkannya.

    • 8-2-c- Yang diriwayatkan oleh Hullab al-Thaa-ii. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad, 5/226-227), Turmudzii (Shahih Turmudzi, 2/32, no. 252) dan Ibnu Maajah (Sunan Ibnu Maajah, 1/266). Mereka meriwayatkan dari Abu al-Ahwash, dari Sammak bin Harb, dari Qubaishah bin Halab, dari ayahnya.

Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah (al-Mushannaf, 1/341, no. 3934) yang mengambil juga dari Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad, 5/226), al-Daaru Quthnii (Sunan al-Daaru Quthnii, 1/285), Baihaqii (Sunan Baihaqii, 2/29). Semua meriwayatkan dari Wakii’, dari Sufyaan, dari Sammaak bin Harb, dari Qubaishah bin Halab al-Thaa-i, dari ayahnya.

Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad, 5/226) yang diambil dari jalur Yahyaa bin Sa’iid, dari Sufyaan, dari Sammaak. Di kitab al-Ishaabah, 2/517, dikatakan bahwa sebagian orang melakukan kesalahan, karena itu mereka meriwayatkan dari Sammaak, dari Tamiim bin Tharfah. Ibnu Abi Haatim dalam kitab ‘ilal, 1/142 mengatakan bahwa ia bertanya kepada ayahnya tentang dia (Sammaak) yang dijawab bahwa dia adalah Sammaak dari Qubaishah bin Halab dari ayahnya.

Kritikan Hadits dari jalur ini:

Pertama, Halab memiliki banyak masalah sebagaimana dikatakan dalam Jaami’u al- Tahshiil, 1/294 dan al-Tahshiil, 1/333. Diantaranya sulit membuktikannya sebagai shahabat karena hanya ada tiga riwayat darinya yang meriwayatkan dari Rasulullah saww dan semuanya dari jalur Sammaak dan Qubaishah, sementara Sammaak seorang yang lemah/dha’if dan Qubaishah seorang yang majhul (tidak diketahui). Dan dikatakan pula bahwa banyak beda pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Halab, ada yang mengatakanYaziid yang dijuluki Halab, hingga karena itu sulit untuk memakai hadits ini.

Ke dua, terdapat kerancuan pada kalimatnya. Ada yang mengatakan bahwa Nabi saww mengimami shalat dan ada yang tidak menyebutkannya (padahal satu jalur). Sebagiannya juga ada menyebutkan tempat peletakan tangan yang di dada hingga karenanya yang model ini ditolak oleh al-Mubaarakfauri (Tuhfatu al-Ahwadzii, 2/92-95). Semua kerancuan membuat hadits ini tidak bisa dipakai.

Ke Tiga, riwayat ini hanya satu-satunya riwayat diriwayatkan oleh Sammaak dari Qubaishah. Sementara Nasaai mengatakan bahwa kalau Sammaak menjadi satu- satunya perawi, maka tidak bisa dijadikan dalil (Miizaanu al-I’tidaal, 2/233; Tahdziib al- Tahdziib, 4/204).

Ke Empat, banyak yang melemahkan Sammaak ini. Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ia tidak kuat (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 4/279). IbnuAbi Maryam mengatakan bahwa Syu’bah bin al-Hajjaaj melemahkannya (Taariikh Baghdaad, 9/215). Ibnu al-Mubaarak juga melemahkannya (Tahdziibu al-Kamaal, 12/120; al-Mughnii fii al-Dhu’afaa-i, 1/285).

Masih banyak yang melemahkannya seperti: Shaalih Juzrah, Ibnu Kharraasy, al-Daaru Quthnii, Ibnu Jauzii, Syu’bah dan Sufyaan.

Ke Lima, Qubaishah bin Halab adalah orang majhuul (tidak dikenal). Ibnu al-Madanii dan Nasaai mengatakan bahwa dia itu majhuul dimana tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Sammaak (al-Khulaashah, 315; Tahdziibu al-Tahdziib, 8/314). Dzahabi juga berkata hal yang sama (Miizaanu al-I’tidaal, 3/384) dan begitu pula al-Syaukanii (Nailu al-Authaar, 2/200). Abu Thaalib al-Abaadii berusa membela Qubaishah ini dari kemajhuulannya. Akan tetapi terlihat sangat memaksakan diri di hadapan para ahli yang sudah disebut di atas ini.

    • 8-2-d- Yang riwayat Waail bin Hajar. Jalur ini diriwayatkan oleh banyak pengumpul hadits, seperti: shahih Muslim, 1/301, no. 401; Ahmad bin Hanbal, 4/317-318; Abu ‘Awwaanah dalam Musnadnya, 2/97; Baihaqii dalam Sunan Kubraanya, 2/28; Thabraanii dalam al-Mu’jam al-Kabiirnya, 22/27, no. 60. Semuanya meriwayatkan dari Muhammad bin Jihaadah, dari ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail, dari ‘Alqamah bin Waail dan dari pembantu mereka (keluarga Waail) yang mengatakan bahwa keduanya (anak Waail ini, yakni ‘Abdu al-Jabbaar dan ‘Alqamah) meriwayatkan dari ayah mereka, yakni Waail yang menyatakan:

“Bahwasannya ia –Waail- pernah melihat Nabi saww mengangkat tangannya ketika memulai shalat dan bertakbir (disifati Hammaam, sampai ke kedua telinga beliau saww), kemudian menyelimuti –badannya- dengan bajunya, kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.”

Riwayat ini juga diriwayatkan melalui jalur, Muhammad bin Jihaadah, dari ‘Abdu al- Jabbaar, dari ayahnya (Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/27, no. 60. Begitu pula melalui Musa bin ‘Umair al-‘Anbari dan Qais bin Saliim/Sulaim, dari ‘Alqamah bin Waail, dari ayahnya (Nasaai dalam al-Sunanu al-Kubraanya, 1/309, no.961; al-Daaru Quthnii dalam Sunannya, 1/286 -dengan kalimat bahwa Waail melihat Nabisaww kalau berdiri melakukan shalat meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya). Dan juga dari jalur Musa bin ‘Umair (dengan dirinya sendiri), dari ‘Alqamah bin Waail al- Hadhrami, dari ayahnya (Ahmad bin Hanbal, 7/316; al-Daaru Quthnii, 1/286 –dengan kalimat yang mengatakan bahwa Waail melihat Nabi saww kalau shalat meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya). Dan dengan kalimat bahwa Waail melihat Nabi saww kalau berdiri melakukan shalat memegang tangan tangan kirinya dengan tangan kanannya, diriwayatkan oleh Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/9, no. 1; Baihaqii dalam al-Sunan al-Kubraanya, 2/28; Ibnu al-Mundzir dalam al- Ausathnya, 3/90, no. 1282 tapi dengan kalimat bahwa Nabi saww kalau masuk dalam shalat memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya. Dan diriwayatkan pula melalui jalur, Hajar bin Abi al-‘Anbas, dari ‘Alqamah, dari Waail bin Hajar, dengan kalimat bahwa Nabi meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, 4/317).

Diriwayatkan juga melalui Muhammad bin Hajar, dari Sa’iid bin ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail bin Hajar, dari ayahnya, dari ibunya, dari Waail, dengan kalimat bahwa Nabi saww kalau masuk masjid dan masuk mihrab lalu mengangkat tangannya sambil bertakbir, lalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Baihaqi dalam al- Sunan al-Kubraanya, 2/30). Dan juga melalui jalur, al-Mas’uudii, dari ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail, dari Ahlu Baitihi, dari ayahnya dengan kalimat bahwa Nabi saww ketika memulai shalat mengangkat kedua tangannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, 4/316; Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/32-33 tapi di sini dikatakan dari keluarganya di kata-kata yang mengatakan dari Ahlulbaitnya). Juga diriwayatkan dengan jalur, Abu Ishaaq, dari ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail dan Waail, dengan kalimat bahwa Nabi saww kalau shalat meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dekat pergelangan tangan (Thabraanii dl, al-Mu’jamual-Kabiirnya, 22/25, no. 52). Dan dengan kalimat bahwa Nabi saww kalau shalat meletakkan lengan kanannya di atas lengan kirinya (Thabraaniidalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/25, no. 50). Dan dengan kalimat bahwa ia shalat bersama Nabi saww lalu melihat Nabi saww meletakkantangan kanannya di atas tangan kirinya (Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/25, no. 51). Dan dengan kalimat bahwa ia melihatNabi saww shalat dengan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dekat pergelangan tangan (Ahmad dalam Musnadnya, 4/318; Thabraanii dalam al- Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/25, no. 52). Dan dengan kalimat meletakkan tangan kanannya dalam shalat ke atas tangan kirinya (Ahmad dalam Musnadnya, 4/318).

Begitu juga diriwayatkan melalui jalur ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Waail bin Hajar dengan kalimat bahwa ia melihat cara Nabi saww dimana beliau saww berdiri, lalu bertakbir dengan mengangkat tangannya sampai ke telinga dan kemudian meletakkan tangan kanannya di atas punggung tangan kiri di dekat pergelangan tangan (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, 4/318; al-Daaru Quthnii dalam Sunannya, 1/314 tapi tanpa kata-kata pergelangan tangan; Nasaai dalam Sunannya, 2/126 tapi tanpa kata- kata punggung tangan; Ibnu Khaziimah dalam Shahihnya, 1/243, no. 480; Ibnu Jaaruud dalam al-Muntaqaa, 62, no. 208 tapi kata-kata meletakkan telapak tangan kanannya di atas tangan kiri; Baihaqii dalam al-Sunan al-Kubraanya, 2/28 tapi ada kata-kata pergelangan dari lengan; Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/35, no. 82 dengan sisipan kata-kata antara pergelangan dan lengan;

Dan masih banyak lagi model-model hadits atau kalimat-kalimat haditsnya dimana dapat mempengaruhi nilainya (menjadi lemah).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, terdapat kerancuan dalam sanad/perawinya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Sebagian mengatakan dari ‘Alqamah dari ayahnya. Yang lain mengatakan dari, ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail, dari ibunya, dari Waail. Yang lainnya dari ‘Abdu al-Jabbaar, dari ayahnya. Begitu pula ada yang dari ‘Abdu al-Jabbaar, dari Orang-orang dari Ahlubaitnya/keluarganya, dari ayahnya. Juga ada yang mengatakan dari ‘Alqamah, dari pembantu mereka, dari Waail. Ada juga yang dari ahlulbait/keluarga ‘Abdu al-Jabbaar, dari ayahnya, Waail.

Ke Dua, terdapat kerancuan yang banyak dalam matan atau kata-katanya. Sebagian penukilan kalimat-kalimatnya sudah saya usahakan untuk dibuat seleterleks mungkin. Ada yang menyebutkan kata-kata meletakkan (wadha’a) dan ada yang tidak. Ada yang menyebut letak peletakan tangan kanannya dan ada yang tidak menyebutkan, seperti pergelangan, lengan atau antara pergelangan dan lengan. Ada yang menyebutkan letak sedekapnya dan ada yang tidak menyebutkan. Yang menyebutkan peletakan sedekapnya juga yang mengatakan di dekat dada dan ada yang menyebut di dada. Ada juga yang mengatakan memegang tangan kiri dengan tangan kanan, ada yang hanya mengatakan meletakkan. Masih banyak lagi kerancuan kata-kata yang membuat hadits ini menjadi tidak memiliki nilai keshahihan dilihat dari sisi matan atau isinya.

Ada juga yang berusaha membela kerancuan kalimat ini seperti al-Mubaarakfauri dengan alasan kalau ada salah satunya yang bisa dilebihkan dari yang lain, maka bisa dijadikan yang shahih (Tuhfatu al-Ahwadzi dalam Syarh Sunan al-Turmudzi, 2/83).

Pembelaannya ini sama sekali tidak bisa diambil. Karena kerancuan hadits di atas sangat parah hingga bagaimanapun tidak bisa keluar dari nilai kerancuan. Lagi pula, kerancuan itu memang masih diselamatkan dengan memilih yang paling shahih. Akan tetapi kalau bukan dari jalur yang satu dan perawi yang satu. Tapi sebagaimana maklum, kerancuan matan ini banyak terjadi juga pada yang satu jalur dan perawi. Karena itu, maka hadits ini tetap rancu dan tidak bisa dipakai.

Ke Tiga, hadits ini munqothi’/terputus. Karena semua riwayatnya kalau bukan dari jalur ‘Alqamah maka dari ‘Abdu al-Jabbaar yang mana kedua-duanya anak dari Waail. Sementara Ibnu Mu’iin mengatakan bahwa ‘Alqamah tidak pernah mendengar riwayat dari ayahnya (Jaami’u a-Tahshiil Fii Ahkaami al-Mursal, terjamahan no. 536; Miizaanu al-I’tidaal, 5/134; al-Mughnii Fii al-Dhu’afaa-i, 2/442; Tahdziibu al-Tahdziib, 7/248). Abu Bakar al-Bazzar berkata bahwa yang mengatakan “Aku sangat kecil hingga tidak bisa tahu shalatnya ayahku.”, adalah ‘Alqamah, bukan saudaranya yang bernama ‘Abdu al-Jabbaar (Tahdziibu al-tahdziib, 6/95). Sedang saudaranya, ‘Abdu al-Jabbaar, maka al-Aajiri bertanya kepada Abu Daud tentang dia dan ayahnya yang kemudian dijawab bahwa ia masih dalam kandungan ketika ayahnya, Waail meninggal dunia. Begitu pula yang dikatakan Bukhari (Taariikh Kabiir, 6/106) dan al-Durri (Tahdziibu al-Kamaal, 16/394), Abu Haatim (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 6/30), IbnuHabbaan (al-Tsiqaat, 7/135). Begitu pula yang dikatakan oleh Ibnu al-Madanii, Ibnu Jariir al-Thabarii, Ya’quub bin Sufyaan, Ya’quub bin Syaibah, al-Daaru Quthnii dan Hakim (Hasyiah Sairi al-Nubalaa-i, 2/573).

Ke Empat, Kulaib bin Syahaab dan Ahlulbait ‘Abdu al-Jabbaar adalah orang-orang yang tidak dikenal (majhuul). Mungkin karena itu Bukhari tidak meriwayatkan darinya dalam shahihnya. Al-Aajiri menukilkan dari Abu Daud yang berkata bahwa ‘Ashim bin Kulaib dan ayahnya (Kulaib) dan kakeknya, tidak ada apa-apanya (Tahdziibu al- kamaal, 24/212). Kulaib bukan seorang shahabat sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar (Tahdziibu al-Tahdziib, 8/400). Sedang pembantu keluarga Abu Waail, Ahlulbait Waail dan Ahlulbait ‘abdu al-Jabbaar adalah orang-orang yangtidak dikenali siapapun hingga karena itu tidak memiliki nilai apapun.

Ke Lima, Waail bin Hajar ini adalah orang yang sangat negatif, seperti menjadi mata- mata Mu’awiyyah di pasukan imam Ali as. Yang ingin tahu keburukannya bisa melihat ke: Taariikh al-Thabarii, 4/186-213; Taariikh Ibnu al-Atsiir, 3/239-240; Sairu A’laami al- Nubalaa-i, 2/572).

Dengan semua uraian di atas ini, maka hadits dari Waail ini tidak bisa dijadikan dasar hukum dalam Islam.

    • 8-2-e- Yang riwayat Ibnu Mas’uud. Diriwayatkan oleh al-Daaru Quthni dalam Sunannya, 1/283. Ia meriwayatkan dari Ismaa’iil bin Abaan al-Warraaq, dari Mundil, dari Ibnu Abi Lailaa, dari al-Qaasim bin ‘Abdu al-Rahmaan bin ‘Abdullah bin Mas’uud, dari ayahnya dan kakeknya (yang isi haditsnya sama dengan di atas).

Kritikan jalur ini:

Pertama, terdapat perawi yang bernama Muhammad bin ‘Abdu al-Rahmaan bin Abu Laila, dimana sudah dibahas sebelum ini.

Ke dua, di riwayat ini juga ada perawi yang bernama Mundil bin ‘Ali al-‘Unziy. Orang ini dilemahkan Ahmad bin Hanbal (al-‘Ilal wa Ma’rifatu al-Rijal, 1/135) dan bahkan dinilai pembohong oleh Syariik dalam beberapa haditsnya (Bukhari dalam al-Taariikhu al-Shaghiir-nya, 2/151). Al-Daaru Quthni juga pernah ditanya tentang Mundil dan saudaranya dimana ia menjawab: “Keduanya ditinggalkan (matruuk).” (Haamisy Tahdziibi al-Kamaal ‘An Suaalaati al-Barqii. Ibnu Habbaan juga berkata bahwa Mundil itu marafa’ (menyambungkan ke Nabi saww) apa-apayang mursal (yang diriwayatkan dari Nabi saww oleh orang yang tidak pernah melihat Nabi saww) dan banyak menentang orang-orang tsiqah karena buruknya hafalannya hingga karena itu ia layak untuk dijadikan ditinggalkan/matruuk (al-Majruuhiin, 3/25). Abur Zar’ah mengatakan bahwa ia layyin/tidak kuat (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 8/434). Ibnu Mu’iin juga berkata bahwa Mundil dan Habbaan adalah dha’if/lemah (Taariikh Yahya bin Mu’iin, 2/36, no: 3057). Begitu pula dia/Mundil dilemahkan oleh Nasaai dan Ibnu Qaani’ dan Ibnu Hajar (Tahdziibu al- Tahdziib, 10/266; Taqriibu al-Tahdziib, 2/280). ......dan lain-lain dari orang-orang yang melemahkan dirinya –Mundil.

    • 8-2-f- Yang diriwayatkan oleh Thaawuus. Diriwayatkan oleh Abu Daaud, dari Abu Taubah, dari al-Haitsam (Ibnu Hamiid), dari Tsaur, dari Sulaimaan bin Muusaa, dari Thaawuus, berkata:

“Rasulullah saww meletakkan tangan kanannyadi atas tangan kirinyalalu meletakkannya di atas dadanya sementara ia sedang dalam shalat.”(Sunan Abu Daaud, 1/198, no. 759).

Kritikan jalur ini:

Pertama, Thaawuus ini adalah orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi saww. Karena itu haditsnya mursal dan tidak bisa dijadikan sandaran apapun terutama hukum.

Ke dua, salah satu perawi hadits di atas ini terdapat orang yang bernama Sulaimaan bin Muusaa al-Damasyqy al-Umawi dimana orang ini digolongkan oleh Bukhari ke dalam orang-orang yang lemah/dha’iif dan dikatakan bahwa ia memiliki hadits-hadits mungkar (al-Dhu’afaa-u al-Shaghiiru, 110). Banyak sekali ulama yang menggolongkannya dalam orang-orang yang lemah/dha’iif seperti, ‘Uqailii (al-Dhu’afaa-u al-Kabiiru, 2/140), Nasaai (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin, 122), Ibnu ‘Udda (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-u, 3/1119).

Ke tiga, juga terdapat orang yang bernama al-Haitsam bin Hamiid dan Tsaur bin Yaziid yang dalam kitab-kitab rijal tidak dianggap sebagai orang yang kuat atau penghafal hadits (ahli hadits).

  • 8-3- Sedang riwayat model yang ke tiga adalah yang meriwayatkan bahwa Nabi saww membenahi shahabat yang salah dalam sedekapnya. Riwayat ini diriwayatkan oleh Inbu Mas’uud dan Jaabir bin ‘Abdullaah al-Anshaarii. Isi dan maksud haditsnya sama saja, seperti:

Ibnu Mas’uud berkata: “Nabi saww melihat aku yang meletakkan tangan kiriku ke atas tangan kananku dalam shalat, lalu –Nabi saww- mengambil tangan kananku dan meletak- kannya ke atas tangan kiriku.”

    • 8-3-a- Yang dari Ibnu Mas’uud. Diriwayatkan oleh Nasaai sesuai jalurnya dari al-Daaru Quthni, dari ‘Umar bin ‘Ali, dari ‘Abdu al-Rahmaan, dari Husyaim, dari al-Hajjaaj bin Abu Zainab, dari Abu ‘Utsmaan dari Ibnu Mas’uud. Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Maajah dengan jalur dari Ibrahim bin ‘Abdullah bin Haatim, dari Husyaim, dari al- Hajjaaj bin Abu Zainab, dari Abu ‘Utsmaan al-Nahdii, dari ‘Abdullah bin Mas’uud. Juga, Abu Daaud dan al-‘Uqaili. Juga diriwayatkan oleh Abu Daaud dengan jalur Baihaqii, dari Muhammad bin Bakkaar, dari Husyaim dari al-Hajjaaj, dari Abu ‘Utsmaan, dari Ibnu Mas’uud. Juga diriwayatkan al-‘Uqailii dari kakeknya dan ‘Ali bin ‘Abdu al-‘Aziiz dari Hajjaaj bin al-Manhaal, dari Husyaim dari Hajjaaj bin Abu Zainab dari Abu ‘Utsmaan dan Ibnu Mas’uud.

Kritikan hadits ini:

Pertama, Manuver hadits ini ada pada Hajjaaj dimana ia terkenal dengan kedha’iifannya seperti al-Hasan bin Syujaa’ al-Balkhii, Nasaai (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin), al-Daaru Quthni, al-‘Uqailii, Ibnu ‘Uddaa (al-Dhu’afaa-u), dan lain-lainnya.

Ke dua, juga terdapat orang yang bernama Husyaim (atau Hasyiim) dimana orang ini dinyatakan terkenal dengan tadlisnya, yakni menutupi kekurangan haditsnya, seperti sanad yang tidak nyambung dan semacamnya (Huda al-Saari, 1/449).

    • 8-3-b- Yang diriwayatkan dari Jaabir bin ‘Abdullah al-Anshaari. Diriwayatkan oleh al- Daaru Quthni dari jalur Muhammad bin al-Hasan al-Waasithii, dari al-Hajjaaj bin Abu Zainab, dari Abu Sufyaan, dari Jaabir bin ‘Abdullah al-Anshaarii. Dalam hadits ini dikatakan bahwa Jaabir melihat satu orang yang dibenarkan sedekapnya seperti yang di riwayat Ibnu Mas’uud di atas.

Kritikan terhadap jalur ini:

Pertama, cukup dengan adanya al-Hajjaaj bin Abu Zainab di atas sudah menunjukkan bahwa hadits ini tidak bisa dipakai sama sekali sebagaisandaran hukum dalam agama Islam.

Ke dua, ditambah dengan perawi yang bernama Muhammad bin al-Hasan al-Waasithii yang digolongkan ke dalam perawi-perawi yang lemah/dha’iif oleh beberapa ahli rijaal seperti: Ibnu Habbaan (al-Majruuhiin), al-‘Uqaili dan ‘Uddaa (al-Dhu’afaa-u), dan lain- lainnya.


...........(bersambung ke bagian-2).........................

16 Shares

Neo Quisling, HenDy Laisa, Haidar Dzulfiqar and 44 others like this.


Sang Pencinta: Penganten Mercon

Rahmat Punggawa: Ijin share ustadz...

Dedy Setiawan Bin Ibrahim: Apa dalilnya bahwa ahlul bait itu ma’sum?

Reyza Pahlevi: Dedy Setiawan bin Ibrahim... Dalilnya ada di QS 33 ; 33 ....

Sang Pencinta: Dedy, https://www.dropbox.com/.../Imam%s20Makshum%20Urgensi%20%26...

Imam Makshum Urgensi & Wasiat Nabi Saww.pdf www.dropbox.com

Tatu: Bagaimana kalau posisi tangan orang mati di Sunni?

Sinar Agama: Tatu: Saya sudah berusaha mencari di beberapa kitab Sunni, tapi tidak dapat. Maksudnya yang berupa hadits kecuali yang di kitab: Al-Mausuu’atu al-Fiqhiyyati al-Kuwaitiyyah (insiklopedia fikih Kuwait).



Bunyi hadits Nabi saww-nya:

“Posisikan mayat kalian berbeda dengan posisi mayat kafirin. Mereka meletakkan tangan mayat di dadanya.”

By the way, kalau berupa fatwa, maka seperti Syafi’ii membolehkan pelurusan tangan mayat atau menjadikannya sedekap.


Dari beberapa perkataan ulama Sunni sendiri, dapat diraba dengan agak kuat, bahwa memang tidak ada aturan khusus tentang peletakan tangan mayat ini.

Tapi kalau di Syi’ah, maka diluruskan dan sama sekali tidak disedekapkan.

Tatu: Jadi betul-betul tidak ada perintah di Sunni untuk mensedekapkan tangan orang mati? Kalau shalat Dhuha, Taraweh dan shalat malam di Syi’ah bagaimana?

Sinar Agama: Tatu:

1- Kalau sedekapnya orang mati, memang tidak ada haditsnya di Sunni dan, imam Syafi’i juga membolehkan pelurusan.

2- Kalau shalat dhuha, sepertinya saya dulu sudah pernah menulisnya. Bisa minta ke akun Sang Pencinta.

3- Taraweh juga sudah menulisnya, seingatku. Coba minta ke pencinta.

4- Kalau shalat malam, maka tidak beda. Semua menyepakati kesunnahannya.

Rudi Suwandi: 1467. Dari Aisyah RA, sesungguhnya Aisyah membenci orang yang melaksanakan shalat dan meletakan tangannya di pinggangnya, dan ia berkata, “Karena sesungguhnya orang- orang yahudi biasa melakukannya.”

Rudi Suwandi: Pak Ustadz, hadits di bawah ini saya ambil sari kitab Bukhari yang di syarah oleh Albani....................... yang satu diterjemahkan bertolak pinggang (625) yang lainnya meletakkan tangannya di pinggang (1467)....Kelihatannya bahasa arabnya sama khoosiroti..... Mohon penjelasan 625. Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Dilarang bertolak pinggang ketika shalat.” 1467. Dari Aisyah RA, sesungguhnya Aisyah membenci orang yang melaksanakan shalat dan meletakan tangannya di pinggangnya, dan ia berkata, “Karena sesungguhnya orang-orang yahudi biasamelakukannya.”

Rudi Suwandi: Apakah orang Yahudi sholatnya bertolak pinggang? Justru saya pernah melihat di TV tentara Yahudi sholatnya sedekap.

Sinar Agama: Rudi, afwan di shahih Bukharinya, no2 yang antum sebut itu tidak cocok. Coba teliti lagi dan, khosirat itu merugi, kok bisa jadi bertolak pinggang?

Rudi Suwandi: Begini bacaan arabnya Pak Ustadz. (1467) kaanat takrohu an yaj’ala yadahu fii khooshirotihi wa taquulu: innalyahuuda taf’aluhu. (625) nuhiya ‘anil khoshri fii sholaati. Artinya seperti yang saya kutip sebelumnya. Yang pertama dari kitab terjemah sarah Bukari oleh Albani 3/5. Yang kedua 2/5.

Rudi Suwandi: 1467 riwayat Aisyah. Yang 625 riwayat Abu Huraira.

Rudi Suwandi: Yang 625 masuk Bab dilarang bertolak pinggang dalam sholat. Yang 1467 masuk Bab Bani Israil.

Sinar Agama: Rudi S, ahsantum. Tadinya antum menulis “Khoosirati” dan sekarang menulis “Khooshirati”. Kalau pakai “siin” artinya “merugi” tapi kalau pakai “shaad” artinya rusuk” atau “lambung”.

Ini haditsnya yang shahih Bukhari:


Jadi, arti yang benar dari hadits itu bukan berkacak pinggang, tapi bersedekap. Jadi, terjemahan berkacak pinggang itu semacam telah memelintirkan terjemahannya supaya ia tidak kena batunya.

Jadi, sudah benar pahaman antum yang melihat yahudi bersedekap ketika ibadah. Jadi, yang dimaksudkan ‘Aisyah adalah larangan terhadap sedekap karena sedekap itu dilakukan yahudi.

Rudi Suwandi: Syukron Pak Ustadz. Cuma yang saya heran lagi, versi Arab yang dikutip Pak Ustadz lebih panjang dibandingkan versi terjemah sarah bukhari albani..

Sinar Agama: Rudi, sepertinya antum kurang memahami bahasa arab. Haditsnya itu pendek, yang panjang itu hanya perawinya dan sedikit keterangan haditsnya. Ini hadits tentang ucapan ‘Aisyah itu:



November 3 at 1:25am · Like



Bersambung ke :
==============




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Fikih dan Berbagai Arah Datangnya Syaithan


Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 6:17 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: 16 April, Assalamu’ alaikum wr...wb. Sholawat. Ustadz, afwan. Ana pernah membaca riwayat tentang salah seorang Makshumah, seingat ana Assajad Imam Ali Zaenal Abidin Sa setiap hendak mendirikan sholat wajahnya langsung pucat, tubuhnya gemetar. Di situ dijelaskan bahwa Beliau benar-benar sangat menyadari bahwa hendak menghadap kepada Yang Maha Layak Ditakuti. yang jadi pertanyaan ana adalah apakah untuk riyadoh peningkatan ruhani kita bisa memulai dengan benar-benar merasa takut, pucat, gelisah, tegang, serius, & semacamnya di setiap sholat yang dilakukan. Untuk beberapa masa belakangan ini ana mudah lupa. Apakah karena faktor hati ana sering merasa tenang, tidak takut kepada siapapun, hati banyak berziqir, bersholawat, tidak mudah marah, gerak lahiriah tidak cepat, banyak berhati-hati,dan lain-lain. Dulu waktu kecil ana cerdas sekali apakah karena faktor masa itu gerakan mata, langkah kaki, gerak lahiriah, daya hitung, dan lain-lain ana yang sangat cepat. Mohon petunjuk apakah ana tetap dalam kekhusyuan ataukah kembali bergerak lebih cepat lagi dengan imbas-imbas yang pasti akan menyertainya.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Jalan bagi antum dan semua kita-kita, adalah hanya satu, yaitu berbuat sesuai fikih yang sudah antum baca itu. Tidak ada jalan lain. Karena di fikih itu, semua kondisi sudah diberikan jalan keluarnya.


Antum amalkan fikih itu dengan benar, sampai tidak melakukan dosa lagi. Kalau fikihnya sudah dihafal, atau sudah dibaca beberapa kali hingga banyak yang teringat, maka disela-sela itu, antum baca-baca tulisan-tulisan alfakir tentang akidah, akhlak dan irfan.

Ingat, syethan itu bisa datang dari depan, belakang, kanan dan kiri. Dari depan, adalah memberikan khayalan-khayalan yang jauh ke depan, seperti mau jadi wali, mau jadi milyuner...dan seterusnya... sementara potensinya jauh dari mencukupi. Dari belakang adalah mengenangkan apa saja yang terjadi di masa lalu yang membuat kita tersendat untuk berjalan, apakah pengalaman itu pahit atau manis. Dari kanan, biasanya berupa pertanyaan-pertanyaan akidah atau fikih atau apa saja yang memiliki ciri yang sama, yaitu berat dan tinggi hingga tidak bisa dijawabnya dan membuat yang diganggunya itu bingung dan jadi malas bergeliat untuk taqwa. Yang dari kiri biasanya imingan-imingan dunia baik manis atau pahit. Misalnya kalau kamu taqwa kamu tidak akan punya teman...dan seterusnya. Padahal keduanya tidak berhubungan. Atau kalau kamu taqwa maka kamu akan miskin....dan seterusnya.

Menurut saya, minimal setahun ini, antum fokus pada fikih, baik pengulangan-pengulangan bacaannya dan/atau pengamalannya sampai yakin tidak melakukan dosa sama sekali. Tidak usah berfikir yang makruh atau sunnah. Kalau mau tinggalin yang makruh, tinggalin yang besar- besarnya saja begitu pula kalau mau melakukan yang sunnah, lakukan dengan sedikit saja.

Saya sebenarnya ingin mengatakan “Haram bagi antum untuk merenungi maqam-maqam para nabi as dan para imam as”. Antum tidak usah berfikir maqam-maqam para wali dan berhenti dulu melakukan itu. Karena antum, bisa sangat jauh memahaminya sementara itu, kewajiban fikihnya masih banyak yang salah dan/atau belum diamalkan hingga masih ada dosa, baik besar atau kecil.

Contohnya seperti keadaan imam as yang pucat-pucat menjelang shalat. Hal itu tidak akan dipahami kecuali bagi yang benar-benar belajar, dan mengamalkan sekuatnya apa-apa yang sudah dipelajarinya itu. Karena kalau tidak paham dimana biasanya merasa paham, maka pucat itu akan dibayangkan dengan keadaan dirinya sendiri yang, tidak punya ilmu seperti imam dan tidak punya taqwa seperti imam. Akhirnya, pucat itu menjadi sangat rendah derajatnya dan, bahkan menjadi keburukan buat imam. Kan kita sering dengar, bahwa:

“Kebaikan orang yang berderajat biasanya, merupakan keburukan bagi yang berderajat atas.” ???!!!!

Ilustrasi: Beberapa waktu yang lalu, sempat beredar pernyataan salah satu mahasiswa Tehran yang kagum pada tangisannya ayt Bahjat ra kalau shalat dan karenanya ia 3 th ke Qom untuk shalat bersama beliau ra. Lama-lama, ia berhenti karena merasa percuma karena tidak paham kenapa selalu menangis dan menjerit ketika mengucap salam. Lama-lama ia penasaran lagi dan datang ke ayt Bahjat ra untuk mendapatkan jawaban terhadap mengapa beliau ra selalu menangis. Lama-lama ia merasa paham walau tidak dijelasin dan hanya disenyumi oleh beliau ra dan pulang ke Tehran. Lama-lama ia mimpi shalat jamaa’ah dengan beliau ra seperti biasanya yang ia ikuti selama 3 th itu, tapi ia kebagian shaf paling depan.Lama-lama ketika dalam shalat itu ia melihat di depan ayt Bahjat ra pintu bercahaya yang terbuka dan di balik pintu itu kebun yang indah (surga). Lama-lama setelah shalat mau selesai, begitu salam berakhir yang selalu dengan teriakan itu, pintu itu tertutup. Akhirnya ia jadi paham mengapa ayt Bahjat ra itu selalu menangis dan berteriak ketika menutup shalatnya dengan salam itu. Yakni karena harus pergi dari surga.

Bayangin, surga yang bagi para aulia itu sebagai kesyirikan karena berarti masih memandang indah selain Allah dan masih bisa bagi perhatian kepada selainNya, lah....ini dalam shalat lagi, dikira sangat-sangat merindukan surga hingga ketika mau pergi darinya berteriak dalam salam pamitannya itu, yaitu salam penutup shalatnya tersebut.

Nah, karena itu, saranku, jangan lagi memikirkan apapun. Fokus dulu pada fikih dan pengamalannya dan, di sela-selanya itu, banyak-banyak baca tulisanku yang sudah ada di facebook ini, kalau antum mau.


SAYA TIDAK BERMAKSUD MEMBANDINGKANNYA (tulisanku) APALAGI MELEBIHKANNYA DARI KITAB-KITAB KARANGAN ULAMA HINGGA MENYURUH ANTUM MEMBACA TULISAN-TULISANKU ITU. TAPI KARENA TULISANKU ITU SUDAH DIUSAHAKAN UNTUK SESUAI DENGAN IDENTITAS KEINDONESIAAN DARI SISI SEGALANYA, TERUTAMA DARI SISI PSIKOLOGI, BUDAYA DAN SEJARAHNYA SELAMA INI. SEJARAH MAKSUDNYA SEJARAHKERUHANIANNYA BAIK DARI SISI AKIDAH, IRFAN, RASA DAN CITA-CITA DAN CINTA-CINTANYA. SEMOGA TUHAN MEMAAFKANKU TELAH MENULIS INI.

YA ALLAH...’AFWAKA...’AFWAKA...’AFWAKA...


Mata Jiwa: Subhanallah...saya sampe merinding bacanya...semoga kita semua terus dalam pemeliharaan dan bimbingan ALLAH...

Zainab Naynawaa: Ijin copy.

Wassalam 2 Shares

Haidar Dzulfiqar and 29 others like this.


Daif Malakah: Salam. Ustadz. Tolong penjelasan yang lebih dalam tentang makna “menghadirkan” Imam sebelum memulai scholar. Syukron.

Daif Malakah: Maksudnya sebelum sholat.

Sinar Agama: Daif, maksudnya fokus sama imam Mahdi as dan mengucap salam dan minta ijin (secara akhlaki) untuk melakukan shalat. Setelah itu, harus fokus hanya pada Allah dalam shalatnya, tidak kepada siapapun. Jadi, ucapan salam dan ijin kepada imam Mahdi as itu, adalah anjuranakhlak dari ulama saja yang dikarenakan maqam keimamahannya itu, membuat kita mesti mendapat ijin dan restunya dalam pekerjaan yang baik dan benar. Dan fokus itu hanya kepada imam Mahdi as, karena beliau as adalah imam kita sekarang. Memang, para imam dan/atau imam Mahdi as itu, sudah pasti bukan hanya mengijinkan kita shalat, tapi bahkan memerintahkan dan mewajibkan. Akan tetapi, dari sisi wilayah dan kewenangannya, maka kapanpun imam makshum itu meminta kita, maka kita mesti memenuhinya. Nah, dari sisi inilah, maka mengucapkan salam dan minta ijin secara akhlaki sebelum melakukan kebaikan seperti shalat, belajar...dan seterusnya...adalah pekerjaan yang baik dan bagus sekalipun tidak wajib.

October 26 at 9:06pm · Like · 2



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 13 Desember 2019

Hukum Orang Sunni Yang Mau Mut’ah


Seri diskusi Tina Goncharov dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 5:30 pm


Tina Goncharov: (15-4-2013) Mut’ah dengan Putri Ulama Syiah menyebabkan Kekal di Neraka Bersama Iblis.


Sebuah Fatwa yang hanya menguntungkan ulama Syiah, dan merugikan awam Syiah dikeluarkan oleh kantor Samahah As-Sayyid Ayatullah Al-UzhmaSistani bertanggal 3/9/1421 H bernomor 333, berikut ini,

Penanya: Bagaimana hukumnya jika saya memut’ah anak Anda dan Anda memut’ah anak saya? Perlu diketahui anak saya telah berusia 6 (enam) tahun.

Jawaban: Mut’ah halal bagiku terhadap siapa saja yang saya mau. Karena saya termasuk Ahlul Bait. Saya punya hak untuk itu. Meskipun anak itu masih kecil, kami akan berikan dia wawasan tentang nikah mut’ah.

Adapun Anda memut’ah anak saya, maka itu tidak boleh! Bahkan ini termasuk dosa besar! Anda kekal di neraka bersama Iblis di Neraka. Dan Andawajib hilangkan pemikiran setan ini dari kepala Anda.

Fatwa oleh Sistani yang egois.

Sadarlah wahai Syiah. Anda cuma diperalat oleh ulama Anda. Para ulama Syiah itu mengambil wanita dan harta Anda lewat ajaran mut’ah dan khumusyang dibuat-buat. Mereka melakukan itu hanya untuk memuaskan hawa nafsu mereka.

(keterangan: Tulisan di atas disertai copy-an surat jawaban ayt Sistani hf yang berisi hal yang dipermasalahkan, sinar agama)


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Tulisan itu jelas sekali mbak maksudnya, bukan seperti yang diterjemahkan itu. Apakah mbak ini mengerti bahasa arab atau tidak?

Terjemahan yang benar:

Pertanyaan: “Apa hukumnya aku bermut’ah dengan anak anda.....” (Terjemahan pertanyaannya sudah benar).

Jawab:

“Halal bagiku untuk bermut’ah dengan yang aku mau karena madzhabku adalah Ahlulbait, karena itu aku bisa bermut’ah. Dan kalau dia seorang yang masih kecil, maka dia bisa diberi pengertian tentang kawin mut’ah itu. Akan tetapi terhadap dirimu maka tidak boleh dan hal ini termasuk dosa-dosa besar dan akan dimasukkan ke dalam neraka bersama iblis, karena itu maka hendaknya kamu membuang jauh-jauh pikiran syaitan ini dari akarnya”.

Keterangan (Sinar Agama): Maksudnya (saya tidak akan membahas palsu tidaknya surat di atas, tapi hanya ingin menjelaskan maksudnya kalau surat itu benar-benar ada dan tidak bohong) adalah:

“Halal bagiku untuk bermut’ah dengan yang aku mau (dengan syarat-syarat yang di fikih, seperti kalaupun sudah baligh tapi belum janda maka harus ijin wali-nya dan kalau masih kecil haram dikumpuli walau sudah seijin walinya) karena aku bermazdhab Ahlulbait yang menghalalkan mut’ah. Dan kalau dia anak kecil maka aku akan memberikan pengertian kepadanya, sejauh yang dia pahami karena dari awal tidak bisa dikumpuli walau sudah seijin walinya. Di fikih sudah ditulis, biasanya mut’ah seperti ini dipakai hanya untuk membuat kemuhriman keluarga yang terpaksa tinggal serumah dengan ibu dan nenek si anak itu seperti anak lelaki sepupu yang kos di suatu rumah atau karena miskinnya harus tinggal serumah dengan orang tua yang punya anak perempuan kecil, supaya ibu dan neneknya yang tinggal serumah itu, tidak mesti selalu berkerudung atau berkaos kaki di dalam rumahnya (lihat kitab-kitab fikih kami/Syi’ah).

Tapi sebaliknya kalau kamu. Jelas sekali bahwa kamu tidak boleh melakukan mut’ah. Karena kamu Sunni/wahabi yang mengharamkan mut’ah ini dan mengatakannya lebih jahat dari zina. Nah, sudah tentu, kalau kamu melakukannya, SESUAI DENGAN AKIDAHMU, maka kamu akan masuk neraka dengan iblis seperti yang kamu katakan dan yakini. Karena itu, mut’ah yang bagi kamu perbuatan iblis ini, mesti kamu singkirkan jauh-jauh dari pikiranmu sejak awal dan dari akar-akarnya.”

Salam bagi yang mencari dan menerima hidayah.


Tina Goncharov: Yang tanya bukan orang Sunni mas tapi sama-sama orang agama syiah karena si penanya mau mut‘ah-swap, alias tukeran mut‘ah. Dan anda yang pura-pura bertanya tentang syiah tapi sebenarnya syiah nyamar janganlah bersilat lidah tentang wali, karena dalam hal mut‘ah tidak diperlukan wali. Silahkan cross check di situs syiah sendiri.

http://www.schiiten.com/backup/AhlelBayt.com/www.ahlelbayt.com/articles/mutah/mutah- fatwas.html

Ahlel Bayt " Articles " Fatwas: Permission of Wali Not Required for Mutah; Shia Guy Can Take Sunn

www.schiiten.com

…It is allowed to conclude a temporary marriage with a virgin if she is an adult...


Sinar Agama: he he....mana ada orang Syi’ah bertanya seperti itu kepada wakil imam Mahdi as dan marja’ bagi dirinya. Seperti kalau ada orang tanyakepadamu yang punya suami, “kalau kamu menghalalkan kawin poligami, apa kamu mau saya poligami?” Nah pertanyaan seperti ini tidak akan muncul dari muslim, sudah pasti kristen yang mengharamkan poligami.

Tidak ada orang Syi’ah di dunia ini, yang tidak memahami maksudnya. Baik maksud penanya atau penjawabnya. Sangat jelas. Mana ada mut’ah tukeran mbak? Bukankah kalau sudah kawin dengan anak kita, maka ia sudah menjadi mertua kita dan muhrim bagi kita dan anak-anak kita.

Lah kok bisa mertua itu mengawini anak kita mbakkkkk????

Tina Goncharov: Mana ada orang syiah yang gak taqiyah. Nikah seorang MUSLIMAH dengan orang kafir mana boleh mas? Apalagi muslimah yang sudah nikah untuk poligami?

Sinar Agama: Lah.... itu dia mbak................ Kok mbak jadi pintar kalau diserang kristen, tapi kok tidak mau paham kalau mau dijelasin tentang hakikat maksud kata-kata Syi’ah???????

Di jaman yang serba canggih ini kok masih bicarakan takiah? Kitab-kitab Syi’ah tersebar dimana- mana. Mbak ini bisa cek tentang semua yang kutulis itu di fikih-fikih Syi’ah.

Nah, ketika kristen tanya tentang poligami seperti itu, maka jawaban mbak pasti banyak kan, seperti tidak boleh kawin dengan kafir lah, saya punya suami lah....dan seterusnya...?

Nah, begitu pula dengan pertanyaan di atas itu. Ketika seseorang sudah kawin dengan perempuan, maka ayah perempuan itu sudah jadi muhrim bagi dirinya dan anak-anaknya, lah ...kok bisa ayah mertuanya itu kawin dengan anak menantunya sekalipun dari istri yang lain???????????????????????

Sudah saya terangkan bahwa pertanyaan itu pertanyaan yang nakal yang, karena itu tergantung pemberi jawabannya mau menjawabnya dengan logika orang tersebut, atau dengan adem-adem. Karena penjawab bagi soalan-soalan itu adalah wakil-wakilnya, bukan dirinya sendiri. Kalau mbak perhatikan tanda tangannya, maka atas nama “Kantor Sistani”, bukan Sistaninya sendiri.

Nah, mungkin karena ia merasa bahwa yang diwakilinya itu dikurang ajari oleh Sunni/ wahabi yang mengharamkan mut’ah ini (karena tidak ada orang Syi’ah yang akan bertanya seperti itu, seperti tidak ada orang muslim yang bertanya seperti pertanyaan di atas itu), maka ia pun menjawab dengan membalikkan logikanya dan tidak memilih menjelaskan hukum-hukumnya dengan cara biasa, seperti kalau dengan anak kecil harus ijin wali, tidak boleh dikumpuli dan kalau sudah jadi mertua tidak boleh kawin dengan anak-anak kita karena sudah jadi muhrim....dan seterusnya. Jadi, wakil Sistani itu menjawab dengan logika penanya. Yakni kalau kamu yang mut’ah, maka apalagi dengan muhrimnya sendiri, maka sudah pasti itu pekerjaan iblis yang akan dikumpulkan dengannya di neraka.

Mbak, kalau ingin tahu tentang mut’ah dan dalil-dalilnya, walau ringkas, silahkan main-main ke catatan-catatanku, di sana sudah ada sekitar 4 seri tentang mut’ah ini. Tidak ada takiah dalam ilmu. Ratusan buku Syi’ah bisa dipelajari di dunia ini, dicetak di berbagai negara, seperti Iran, Libanon, Pakistan, India, Indonesia, .................................. dan lain-lain negara.

Maz Nyit Nyit-be’doa: Trimakasih ilmunya ustadz , , , salam.

Muhammed Almuchdor: Tinaa oh tina..

Syed Musyaiyah Baabud: Bagi saya, akan saya cek fatwa tersebut, dan sudah saya copy, akan saya tanyakan kepada yang bersangkutan, karena banyak kitab-kitab yang dicetak oleh orang yang ingin memecah belah, (kitab-kitab kuning, kitab hadis, dikurangi dan ditambah menurut selera,

Sinar Agama: Adzar: Terima kasih telah membantu menarik jawaban-jawabanku dari tempatnya ke sini, semoga diterimaNya, amin.

Sinar Agama: Sy.M.B: Ahlan wa sahlan. Banyak cara menanggapi berbagai hal seperti surat dan pernyataan itu. Ada yang dengan cara mencari dulu ke sumbernya apakah ada surat seperti itu atau tidak. Ada juga, yang tidak perlu karena kalaulah benarpun, tidak berpengaruh apapun. Kalau melihat suratnya dan dibesarkan, seperti nampak ada blok pada semua tulisannya, seperti penumpangan. Akan tetapi dilihat dari bunyinya, walau agak janggal, tapi masih bisa dimungkinkan terjadi. By the way, kita-kita sih untuk hal ini memilih jalan menerangkan maksud suratnya, sekalipun sudah dikatakan di atas bahwa “terlepas dari benar-tidaknya surat tersebut”.

By the way, kalau antum sudah cek dan ada hasil, tolong di tag ke kita-kita wa sa’yukum masykuraa.

Oh iya, surat itu tidak ada alamat kantor mananya. Jadi, mungkin akan sedikit merepotkan antum. Apakah salah satu dari puluhan kantor yang ada diIraq, puluhan kantor yang ada di Iran, puluhan kantor yang ada di Libanon, puluhan kantor yang ada di Pakistan, puluhan kantor yang ada di Eropa, puluhan kantor yang ada di India..............dan puluhan kantor yang ada di negara-negara lain. By the way, selamat berusaha dan tolong hasilnya diberitakan ke kita. Masykuuriin....

Tina Goncharov: Saya gak minat mut‘ah & taqiyah.

Sinar Agama: Tina: Tidak minat itu tidak masalah. Boleh tidak minat daging kambing, tapi tidak boleh mengharamkan yang dihalalkan Allah. Tidak mau mut’ah juga tidak masalah, apalagi punya suami yang pasti haram bermut’ah dan menjadi zina, tapi tidak boleh mengharamkan yang dihalalkan Tuhan (QS: 4: 24). Tidak taqiah juga tidak masalah, tapi tidak boleh mengingkari ayat taqiah (QS: 16: 106).

Tina Goncharov: Setahu saya mut‘ah gak ada di Quran mas, ada di sunnah. Dan sudah dibatalkan oleh sunnah pula...kecuali kalo mas ada Quran versi lain saya gak tau itu.

Wibi Wibo de Bowo: Diskusi agama berbasis “sejarah”.

Sinar Agama: Tina: QS: 4: 24:

فََمااْستَْمتـَْعتُْم بِِهِ منـُْهَّن فَآتُوُهَّن أُُجوَرُهَّن فَِري َضةً

“Kalau kalian menggunakan harta kalian untuk bermut’ah dengan para wanita itu, maka berikanlah upahnya (maskawinnya) sebagai suatu kewajiban”

Saya sudah sering menjelaskan tentang hukum mut’ah ini sebelumnya, kalau kamu ingin tahu, maka bacalah catatan yang sudah 4 seri atau 5 seri (lihat di jendela catatan). Kalau tidak mau, ya.... tidak cocok dengan sifat seorang muslim kalau tidak tahu masalah, terus ngomong tentang yang tidak diketahuinya itu dan sadar lagi kalau tidak tahu. Mending kalau merasa tahu dan punya dalil walau salah. Tapi kalau tidak punya dalil dan sadar kalau tidak tahu lalu banyak bicara tentangnya, maka sudah tentu di samping keluar dari sifat-sifat seorang muslim dan bahkan dari sifat seorang yang sempat sekolah walau tidak tinggi sekalipun, juga akan dimintai tanggung jawab kelak di akhirat oleh Allah. By the way, ini hanya nasehat saja. Kan mending ada kami yang Syi’ah yang siap memberikan penjelasan. Dari pada bicara di belakang. Lah, sekarang sudah ada kami, mengapa tidak menanyakannya kepada kami. Kok bisa orang yang bukan Syi’ah lebih tahu tentang Syi’ah dari orang Syi’ah?

Tina Goncharov: Owh jadi,

اْستَْمتـَْعتُْم

[ista’mta’tum] di 4:24 itu mutah ya mas? Bagaimana dengan َمتَـٌع (mta) di ayat 3:197 Barangsiapa yang melakukan mutah tempatnya di neraka? Saya setuju!!!!!

Harjuno Syafa’at: Tina Goncharov : Kalau anda tidak mampu mempersatukan ummat Islam setidaknya jangan memecah belah kaum muslimin..! Ingat dosa mbak, ingat..!

Tina Goncharov: lah sudah saya katakan Syiah bukan Islam akidahnya saja beda kok mau disatukan apanya?

Sinar Agama: Tina: Kamu ini lucu amat. Ayat mut’ah itu jelas ada dan kamu katakan masuk neraka. Lah, berarti Tuhan mengajarkan mut’ah supaya masuk neraka???????

Istamta’a di ayat mut’ah itu jelas untuk ayat mut’ah, sebab: Pertama, dikatakan di ayat itu sebagai famaa istamta’tum bihi min hunna, yakni “Kalaukalian bersenang-senang dengan para wanita itu dengan menggunakan harta”. Nah, di sini jelas dikatakan bersenang-senang dengan perempuan. Ke dua, semua mufassir Sunni sekalipun, menyatakan bahwa ayat ini untuk mut’ah mbaak. Tidak ada tafsir Sunni yang tidak menyebut tentang keterangan mut’ah ini di ayat ini.

Sedang QS: 3: 197 itu, kamu mengkorupsinya. Karena ia tidak akan dipahami tanpa menyebut ayat sebelumnya.



“Dan janganlah kamu sekali-kali terperdaya dengan kebebasan orang kafir yang bergerak di dalam negeri (yakni kelancaran dan kemajuan dalam perdagangan...). Itu hanya kesenangan sementara kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam dan seburuk-buruk tempat kembali.”

Kalau kamu wahai Tina, di dunia dengan kesadaran tidak mengerti agama dan tidak mempelajari agama secara spesifik saja, sudah berani-beraninya mengkorupsi ayat-ayat Tuhan, lalu apa yang bisa kamu bawa menghadap Tuhanmu kelak?

Ajib banget, Tuhan mengatakan bahwa yang masuk jahannam itu adalah orang kafir dengan kesenangannya yang sementara itu, lah...kamu maknai dengan kesenangan kawin mut’ah. Kan kata-kata seperti ini tidak akan pernah keluar dari orang yang sadar ketidakpahaman dirinya.

Semua mufassir mengatakan bahwa kesenangan di sini maksudnya adalah kesenangan kebebasan dan kemajuan ekonomi yang bebas tanpa terikat dengan agama Tuhan, lah....malah dikatakan olehmu sebagai kesenangan menaati Tuhan dalam melakukan mut’ah yang ada ayatnya tersebut. Kok lucu amat cara berfikirmu itu? Semoga masih ada kesempatan bertaubat untukmu.

Orang-orang kafir itu senang karena tidak terikat dengan hukum Tuhan dan senang dengan kemajuan mereka. Itulah yang dimaksudkan ayat tersebut, karena itu dikatakan Tuhan sebagai kesenangan yang sedikit, BUKAN KESENANGAN KETIKA KUMPUL DENGAN ISTRI YANG DIIKAT DENGAN FIKIH TUHAN SEPERTI DI AYAT MUT’AH ITU. Wassalam.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Ucapan Duka Untuk Hdh Faathimah as


Seri status Sinar Agama October 25, 2013 at 5:08 pm


Sinar Agama: 14 April

Bismillaah: Ucapan Duka dan Bela Sungkawa Atas Syahidnya Hdh Faathimah as.

Ucapan duka sedalam-dalamnya atas kesyahidan hdh Faathimah as ini (75 hari setelah wafatnya Nabi saww yang jatuh pada tgl 28 Shafar), saya sampaikan pada kanjeng Nabi saww, imam Ali as dan para imam makshum lainnya as terkhusus imam Mahdi as. Begitu pula saya sampaikan kepadapara ulama dan maraaji’ hf, terkhusus Rahbar tercinta hf. Dan juga kepada segenap kaum mukminin dan mukminat, terkhusus teman-teman facebook yang saya cintai.

Semoga kita semua menjadi pencinta hakiki Nabi saww dan Ahlulbait beliau saww-as, hingga bersedih dalam sedih mereka dan bersuka dalam bahagia mereka dan, ini yang terpenting, menaati ajaran mereka as hingga dapat menjadi hamba Allah yang hakiki, bukan diplomatik. amin.

Keterangan: Karena dalam penulisan gaya lama bahasa Arab tidak ada titik dan tandanya, seperti titik pada huruf “baa’ “, “taa’ “, “jiim”, “nuun” ...dan seterusnya..., maka tulisan tentang syahidnya hdh Faathimah ditulis seperti ini:

حمسه و سىعـــن يوما بعد وفات النبي ص

(karena huruf nuun tidak ada di keyboard yang tidak pakai titik, maka terpaksa memakai garis memanjang, sementara dari kata yauman ke belakang sudah tidak penting hingga karena itu, saya menulis pakai tanda/titik-nya)

Potongan yang penting itu bisa dibaca: “Khamsatu wa sab’iin yauman ...” dan bisa juga dibaca “Khamsatu wa tis’iin yauman....”. Bacaan pertama artinya75 hari dan bacaan ke dua 95 hari. Yakni syahidnya hdh Faathimah as, 75/95 hari setelah wafat atau syahidnya Nabi saww. Karena itu, 20 hari jeda antara kedua bacaan itu, dijadikan hari-hari hdh Faathimah as (ayyaamu al-Faathimiyyah). Karena itu, hari ini, yaitu hari ahad ini, tgl 3/Jumaadi al-Tsaanii atau yang bertepatan dengan 14/4/2013 ini, adalah hari ulang tahun kesyahidan beliau as.


PROSA SEDERHANA UNTUK HDH ZAHRAA’ AS

Seakan magma itu mati 
Dalam genggaman sang Nabi (saww) 
Umatpun damai lelap dalam mimpi
Senyuman menari setiap hari 
Seperti tak akan pernah terjadi

Kini menyembur tak terhalangi 
Sapu semua yang merintangi 
Kebun kurma pertama kali 
Singgasana, apa lagi
Padahal hari belum pagi

Hilang sudah 
Hancur sudah
Rumah-rumah berlian

Hilang sudah 
Hancur sudah 
Ayat-ayat pilihan

Hilang sudah 
Hancur sudah
Sabda-sabda junjungan

Asappun mengepul jadi kabut 
Kabuti semua hingga hanyut 
Ganas bagai malaikat maut 
Kafirkan semua yang mau sebut 
Hantam semua yang mau ribut

Bintang-bintang silih berganti 
Sinari bumi gantikan mentari 
Walau dicela dan ditertawai 
Walau dibantai dan diracuni 
Tetap sabar demi Ilahi

Oh betapa beratnya titipan 
Apalagi yang jadi titipan 
Lebih-lebih, yang menitipkan
Mereka bertahan dan bertahan 
Sampai datangnya janji Tuhan

Tiada sorak tiada sorai 
Tiap hari air mata berderai
Susuri Madinah dengan gontai 
Pintu-pintu tak pernah melambai 
Tertutup rapat bak dirantai

Rumah dibakar karena tangisan 
Rumah-tangis dibakar k’rna kebengisan 
Badan kurus menahan beban
Kalau diganti siang, kan jadi malam 
Padahal pagi belum jadi siang

Apa yang bisa kusajikan 
Apa yang bisa kupersembahkan
Agar bebanmu teringankan 
Atau dosaku terampunkan 
Atau jauhku terdekatkan
Atau hewaniahku terinsankan

Wassalam. 
25-3-2013



Fahmi Husein, MOhd. Arvian Taufiq, Doni Pratomo dan 150 lainnya menyukai ini.

Ramdhan Romdhon: Plis dong bro and sis... Kalo komen (walaupun mungkin antum bukan AB/ gak suka) yang sejalan dengan status yang ustadz buat, supaya gak “merusak suasana”... ‘afwan...

MukElho Jauh · Friends with Ramlee Nooh and 158 others:

اَللَُّهَّم َص ِّل َعلَى ُم َحَّمٍد َوآِل ُم َحَّمٍد َوَع ِّج ْل فـََرَجُهْم َوأَْهلِ ْك َعُدَّوُهْم ِمَن اْلاََّولِْيَن َواْلاَِخِريَْن

لعناللهظالميكيامولاتييافَاِطمه.أللُهْمأنِْيأُْشِهُدَكأنِْيُمِحْبلُِمَحّمٍدَوآِلُمَحّمٍدَوُمْبِغ ٍضلَِمْنظَلََمُهْم َوَعاَداُهْم ألِى يَوْم ألِديِْن

Muhammad Resa · 26 mutual friends: Salam.., ustadz ijin copy.

Sabrina Basyir: (𑛉𑛉𑛉𑛉_𑛉𑛉𑛉𑛉)

اَللَُّهَّم َص ِّل َعلَى ُم َحَّمٍد َو آِل ُم َحَّمٍد

Mardiansyah Cinangka Kulon · 27 mutual friends: Salam ustadz.

Edo Saputra · Friends with Sang Pencinta and 190 others: Syahidah fatimmah sebagai ikon paripurna anak istri, ibu dan pemuka, adalah sosok welas sekaligus keras ‘peramah’ sekaligus pemarah demi kebenaran. Ia adalah himpunan teladaan Hawa, Maryam, Khodijah dan para pionir muslimah di dalam sejarah kemanusiaan. Di hari ini saya mengucapkan Asalamualiki ya sayidah fatimmah zahra..as. Salam sejahtera kepadamu wahai wanita pemimpin surga.

Sattya Rizky Ramadhan:  اللَّهم صل علَى مم ٍد وآِل مم ٍد وع ِّجل فـرجهم

Irawati Vera: Salam atasmu wahai Fathimah az Zahra Salam atasmu wahai Putri Muhammad saw

Salam atasmu wahai Cahaya Mata Rasul

Salam atasmu wahai penghulu wanita semesta alam

Salam atasmu wahai ibunda penghulu pemuda surga

يَاَوِجيـَْهةًِعْنَداللِّه إِ ْشَفِع ْي لَنَاِعْنَداللِّه اللُّهَّم َصِّل َعلَْي ُمَحَّمٍدا َوآِل ُمَحَّمٍدوَعِّجْلفـََرَجُهْم

Sufyan Hossein: Assalamu Alaiki Ya Fathima tuz Zahra.. 

Assalam-u-Alaika Ya

Aabida..

Assalam-u-Alaika 

Ya Aadila..

Assalam-u-Alaika Ya Aalia.. 

Assalam-u-Alaika Ya 

Aalima..

Assalam-u-Alaika Ya Aamila.. 

Assalam-u-Alaika Ya

Adil..

Assalam-u-Alaika Ya 

Ahad-ul-Akbar..

Assalam-u-Alaika Ya 

Arfiya..

Assalam-u-Alaika Ya 

Azhra..

Assalam-u-Alaika Ya 

Aziza..

Assalam-u-Alaika Ya 

Basita..

Assalam-u-Alaika Ya 

Batina..

Assalam-u-Alaika Ya 

Batool..

Assalam-u-Alaika Ya 

Batool-e-Izra...

Alaikum Minni Jamian Salamullah Abadan Ma Baqitu wa Baqial Lailu wa Nahar.. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad. 

Mahdi Panji Wibowo · 28 mutual friends: Ijin copas ustadz.

Widodo Abu Zaki: Salam Atas kesucian ya Zahro, semoga maafmu untukku, karena aniayaku pada diriku. Maafkan kalau keberadaanku menambah luka dan sedihmu. Maafkan aku kalau tingkah dan lakuku ibarat cuka yang menyiram pedih lukamu. Ya Zahro maafkan kami, kami berlepas diri dari mereka yang kau benci.

Zainab Naynawaa: Salammualaiki ya Zahro...

Andri Kusmayadi: Ijin copas, tapi sebagian boleh ga ustadz...ana ga masukan yang ke para imamnya...?

Agus Sumardi · 6 mutual friends: Salam atas kesucianmu Ya Zahro, kami bersedih atas musibah- mu, kami menangis ...

Ammar Dalil Gisting: Ya Umi abiha.. Ya binta rasulillah.. Salam ‘alaiki.. Ya waji-hatan ‘indallah isyfa’i-lana ‘indallah...

Sinar Agama: Salam dan terima kasih atas semua jempol dan komentarnya

Sinar Agama: Yang mau copas, silahkan saja. Semua tulisan alfakir di facebook ini adalah gratis asal untuk kebaikan, tidak diedit, tidak dirubah nama dan tidak dibisniskan.

Sinar Agama: Andri: Untuk kali ini silahkan saja. Sebenarnya dalam tiap saatnya, boleh memotong. Yang tidak boleh itu, adalah mengedit. Tapi menukilsebagian, jelas boleh asal tidak menimbulkan salah paham.

Ahmad Jamaluddin Khususon: Sayyidah Fatimah Zahroo ra Alfatihah + Allohumma solli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala ali Sayyidina Muhammadin ‘adadama fi ‘ilmillahi solatan daa- imatan fidawami mulkillahi.
Sri Wastini:  عظمــ الله أجورنــا وأجوركـــم بإستشهاد السیدة فاطمة الزهراء علیها السلام

Avianto Doni · Friends with Bintu Agil and 2 others: Allahumma shalli ‘alaa Zahra wa Abuha wa Ba’luha wa banuha wa ‘ajjil faraja Ibna Zahra.

Beel Zelfana · Friends with Moxen Ali Bsa and 9 others: ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD.

“Assalamu’alaiki ya Zahra,,

Hadrah Ali · 2 mutual friends: Semua pengikut ahlul bait, atas ijin اللَّهُ akan mendapatkan pintu syafaat Al-Haqq Adzawajallah melalui Rasul Muhammad SAWW yang maha agung dan menjadi penghuni-penghuni Syurga اللَّهُ....!!! Amiin Ilahi Rabbi...

Juli Bin Haji Idris: MasyaAllah bagus banget prosanya saudara tua, semoga Rasul saww, amirulmu’minin as dan aimmah ma’shumin semua salam atas mereka, khususnya shohibal ashri wazzaman afs memberi perhatian pada anda.

Sinar Agama: Juli dan teman-teman semunya: Tidak ada yang lebih meringankan sesaknya dada yang penuh penyakit ini, kecuali do’a-do’a antum semua. Karena itu, setiap hati ini hancur dengan seluruh putus asanya, dan setiap kali sudah merasa tidak mampu lagi menyelamatkan diri karena sudah terlalu hitam dan sebegitu lemahnya untuk mencoba lagi, semua do’a-do’a antum itulah yang memberiku energi hingga tak sepenuhnya duakakiku ini menjadi lumpuh. Jadi, sekalipun tertatih dan berjuta kali jatuh ketinggalan jauuuuuh sekali dari langkah-langkah para guru dan arif besar yang tak pernah berhenti menasehati dan mengajari walau memiliki murid yang memiliki puluhan wajah species binatang yang beraneka ragam ini, tapi dengan karuniaNya yang mengkaruniaiku do’a-do’a antum itu, menjadikanku tidak sepenuhnya putus asa walau, saya yakin di mata para guru dan aulia itu, sudah tergolong putus asa.

Ya Allah, andaikan Engkau tidak membuka pintu taubat dan kesempatan itu sampai titik ajal yang penghabisan, dan membatasinya dengan sejuta kali kesempatan, maka aku yakin sekali bahwa kesempatanku sudah tidak tersisa.

Ya Allah, bantulah kami semua agar lebih mudah meraih Pertolongan, Kasih, Hidayah dan SyariatMu yang hakiki hingga kami semua dapat berjalan di atasnya, dan tidak berjalan di atas syariat, hidayah dan kasih serta pertolongan yang kami buat sendiri, yang kami bentuk sendiri, yang kami khayalkan sendiri hingga pada akhirnya kami hanya akan layak memasuki surga khayalan kami sendiri yang, pada kenyataannya adalah Murka dan NerakaMu. amin.

Beel Zelfana · Friends with Moxen Ali Bsa and 9 others: Ya Allah semoga di hari ini dan seterusnya menjadi hari-hari yang penuh dengan hikmah, yang juga Kau turunkan rahmatMu untuk orang- orang yang mencintai rasulMu & keluarganya,, 

& Kau beri semangat orang-orang yang mencintai RasulMu & keluarganya,, & terbimbing selalu berada di jalanMu. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Ingkar Sunnah Sama Dengan Ingkar Kitabullah


Seri tanya jawab Piliang Dtk Panjang dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 4:56 pm


Piliang Dtk Panjang mengirim ke Sinar Agama: (13-4-2013) Salam ustadz, habis makan siang dengan sambal kemiri, nasinya panas aduh mandi sama keringat, sambil ngadem buka-buka facebook. Muncul status di salah satu grup, yang bingung saya menanggapinya, kayaknya yang memposting (JIL) yang anti sunnah. Saya lampirkan di komentar. Salam.

Mata Jiwa menyukai ini.


Piliang Dtk Panjang: Yadi Oktomi Chaniago > SURAU MAYA PAYOBASUANG (PAYAKUMBUH).

Salaam, telah terjadi perseteruan abadi antara dua kubu di dunia Islam. Satu menamakan diri Ahlul Sunnah (Sunni), satu lagi pembela mati-matian “keturunan” Nabi Muhammad alias Ahlul Bayt (Syi’ah). Permusuhan tersebut menjelma menjadi genangan darah dan air mata di Iraq.


Dahulu, hari ini, dan mungkin esok. Salah satu pemicu awal permusuhan ini adalah ucapan Nabi Muhammad menjelang meninggalnya. Kononkabarnya kala itu Nabi mengatakan bahwa umatnya tidak akan tersesat sepanjang berpegang teguh pada dua perkara yaitu: (versi Sunni) “Al-Qur'an dan Sunnahku” atau (versi Syi’ah) “Al-Qur'an dan keturunanku”. Perbedaan versi ini berimplikasi politis dan berkembang menjadi konflik panjang hingga sekarang…Aneh juga, bagaimana mungkin satu orang dalam satu kesempatan dan satu konteks kalimat telah menyatakan dua hal yang berbeda (“sunnahku”, “keturunanku”).

Namun begitulah, kitab-kitab yang ditulis di atas nafsu manusia tidak bisa lepas dari kepentingan golongan yang menulis, karenanya pertentangan-pertentangan di dalamnya tidak akan terelakkan. BERPEGANG TEGUH VERSI AL-Qur'an Berhubung yang diajarkan oleh Nabi Muhammad tidak lain adalah Al-Qur’an, mari kita tinjau saja versi Al-Qur'an tentang frasa “berpegang teguh” ini. Ternyata, Nabi Muhammad berpesan agar kita berpegang teguh kepada Allah dan kepada Kitab- Nya sebagai petunjuk pada jalan yang lurus. “Barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah makasesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan lurus”. [Q.S. 3:101] (Ayat dengan redaksi serupa: 4:146, 4:175) Berpegang teguh kepada Allah identik dengan berpegang teguh kepada firman-Nya yaitu Al-Qur'an.

Sayangnya kebanyakan orang tidak senang kalau diingatkan kepada Allah satu-satunya. Tapi kalau membahas “sunnah” atau “hadits” atau “ahlul bayt” barulah mereka gembira “Dan apabila Allah diingatkan (disebut) satu-satunya, maka kesal-lah hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat; tetapi apabila orang-orang selain Dia yang disebut, tiba-tiba mereka bergembira”. [Q.S. 39:45]

BUTA Fanatisme Sunni dan syiah telah membutakan mereka dari kebenaran yang terang-benderang ada di hadapan mereka (Al-Qur'an). Sunni buta dari kenyataan bahwa “sunnah” dan “hadits” yang mereka agung-agungkan hanyalah klaim kosong belaka karena Nabi Muhammad dengan tegas mendeklarasikan bahwa beliau memberi peringatan dengan Al-Qur'an. Bukan dengan yangselain dari itu “Siapakah yang lebih kuat kesaksiannya? Allah menjadi saksi antara aku dan kamu, dan Al-Qur'an ini diwahyukan kepadaku supaya aku memberi peringatan dengannya kepadamu dan kepada orang-orang yang telah sampai, apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?”. [Q.S. 6:19]

Syi’ah buta dari kenyataan bahwa garis keturunan seseorang (Arab) ditarik dari laki-laki, sedangkan Nabi Muhammad mendapatkan cucu (penerus) dari anak-anak perempuannya. Buta pula dari kenyataan bahwa beliau adalah seorang rasul, bukan seorang raja yang tahtanya diwariskan kepada kerabat dan keturunan. “Muhammad bukanlah bapak seorang laki-laki diantara kamu, tetapi adalah rasul Allah dan penutup Nabi-Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Q.S. 33:40]

Piliang Dtk Panjang: Kalo ustadz ada waktu, saya mohon tanggapannya. Terima kasih, salam.

Sinar Agama: Piliang: Orang itu bukan liberal, tapi ingkarussunnah atau yang mengingkari sunnah Nabi saww atau hadits-hadits Nabi saww. Dan jawabannya:

1- Untuk mukaddimah-mukaddimahnya tentang sejarah itu, sungguh ia telah ngacau dan jawabannya banyak di catatanku, seperti tentang munculnya aliran-aliran, terutama Syi’ah dan sunnah.

2- Untuk jawaban terhadap pernyataan ingkarussunnahnya, juga sudah pernah disinggung di facebook ini bahwa, yang mengingkari sunnah dan menghanyakan mengikuti kitabullah, maka ia sama saja dengan menolak kitabullah itu. Karena Allah sendiri mewajibkan kita dan umat manusia, untuk mengikuti Nabi saww. Lalu bagaimana mengikuti Nabi saww kalau tidak mengambil hadits-hadits beliau saww?? Begitu pula Tuhan mengutus Nabi saww untuk mengajarkan kitabullah. Nah, bagaimana mengajarkan kalau hanya membacakan ayat- ayatnya tanpa menjelaskanmaksudnya, atau tanpa mencontohkannya dalam kehidupan?

............dan seterusnya. Allah berfirman dalam:

- QS: 4: 64:

“Dan Kami tidak mengutus rasul, kecuali untuk ditaati...”

- QS: 2: 129:


“Wahai Tuhan kami, utuslah kepada mereka rasul-rasul dari mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayatMu kepada mereka, dan mengajarkan mereka al-Kitab dan al-Hikmah dan mensucikan mereka, sesungguhnya Engkau Maha Mulia dan Bijaksana.”

Kalau kita hanya mau ambil Qur'an, maka berarti hanya mengambil satu dari 4 tugas kerasulan itu. Yaitu hanya menerima yang pertamanya, yakni“membacakan ayat-ayat Tuhan”.

Sedangkan ayat ini sendiri, mengatakan bahwa Rasul itu, di samping membacakan ayat-ayat Tuhan, juga menerangkan maksudnya karena itu dikatakan “dan mengajarkan kepada mereka kitab Tuhan”. Ditambah lagi dengan mengajarkan hikmah itu. Ditambah lagi dengan pembimbingan terhadap pensucian jiwa itu.

Ditambah lagi di Qs: 53: 3-4:

“Dan ia -Nabi saww- tidak berbicara apapun dari dirinya sendiri, melainkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”


Ditambah lagi QS: 33: 21:


“Sesungguhnya di dalam diri Rasulullah itu terdapat contoh-contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan akhirat dan mengingat Allah dengan banyak sekali.”

Karena itu, tugas-tugas Nabi saww itu antara lain:

1- Membacakan ayat-ayatNya.

2- Menjelaskan KitabNya.

3- Mengajarkan hikmah-hikmah, yaitu kebenaran dan dengan dalil kuat/muhkam/hikmah dan jelas.

4- Membimbing untuk pensucian.

5- Memberi contoh-contoh nyata yang wajib ditiru muslimin supaya selamat.

6- Tidak berbicara apapun kecuali dari wahyu, yakni semua ajaran beliau dan perbuatan beliau yang wajib dicontoh itu dikeluarkan dari wahyu-wahyuyang telah sampai kepada beliau saww dan tak satupun kata-kata dan perbuatan yang tidak dari wahyu sesuai dengan ayat di atas.

Nah, semua tugas-tugas itu, tidak bisa dipahami hanya dengan membaca kitabullah. Karena itulah maka hadits-hadits Nabi saww tersebut, menjadi pedoman ke dua agama Islam di sisi Qur'an, dimana hadits adalah:

“Kata-kata, perbuatan dan bahkan keridhaan Nabi saww ketika melihat suatu perbuatan dari shahabat (taqriir).”

Tentu saja Nabi saww sendiri tahu bahwa akan ada yang membakar hadits-hadits beliau saww, baik shahabat atau ingkarussunnah. Karena itu beliau saww menyampaikan pesan Allah untuk menunjuk pemimpin yang makshum dan, memberikan pedoman bahwa kalau kita mendengar hadits beliau saww, maka hendaknya dibandingkan dulu dengan Qur'an dimana kalau isinya bertentangan dengannya, maka pasti bukan hadits dari beliau saww. Itulah gunanya mempelajari hadits demi mencari setidaknya, yang terkuat. Wassalam.



Baca Juga:
==========



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ