Kamis, 05 Desember 2019

Qur'an Sunni dan Syi’ah, Berbeda ?!


Seri tanya jawab Chandra Dewi dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 2:28 pm


Chandra Dewi mengirim ke Sinar Agama: (9-4-2013) Salam Ustadz..

1. Ketika kita membaca al-Qur’an, untuk surah-surah yang tidak diawali dengan basmalah, harus kita baca demikian (tanpa basmalah) atau boleh diawali dengan basmalah?

2. Mohon penjelasan kenapa surah-surah tersebut tidak diawali dengan basmalah. Syukron atas penjelasannya Ustadz..

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

1- Inilah salah satu beda Qur'an Sunni dan Syi’ah. Kalau Qur'an Sunni, semua Bismillaah di awal surat selain Faatihah itu, adalah tambahan dari tim Utsman. Jadi, Qur'an bagi mereka sudah tidak suci lagi karena ada tambahan 112 Bismillaah. Karena surat-surat Qur'an ada 114 surat, dan Bismillaah yang ada di Faatihah itu asli (itupun bagi sebagian Sunni) dan surat Taubat tidak memiliki Bismillaah, maka berarti ada 112 ayat Bismillaah yang telah dicampurkan ke dalam Qur'an. Bagi saudara-saudara kita Sunni, tidak perduli Qur'an itu sudah tidak murni lagi atau tidak, sudah tidak suci lagi atau tidak. Karena yang penting bagi mereka, hanya dan hanya, dapat meninggikan shahabat Utsman. Karena itulah, berbagaifikih Sunni yang muncul karena ini. Misalnya, ketika shalat, mereka tidak membaca Bismillaah dengan jelas, dan ketika membaca suratnya barukeras.

By the way, kalau Qur'an ala Syi’ah dan sesuai dengan keyakinan Syi’ah, adalah Qur'an yang ada ini. Yakni yang ada ini bukan hanya Bismillaahnya, susunan surat-suratnyapun dari Allah. Memang, Syi’ah keburu difitnahi sebagian Sunni. Hal itu karena mereka ingin menutup diri bahwa sebenarnya merekalah yang tidak meyakini bahwa Qur'an yang ada ini adalah Qur'an yang asli. Jadi, mereka memakai taktik bertahan dengan menyerang, seperti di sepak bola.

Nah, kalau di Syi’ah, semua Bismillaah itu adalah asli dan wajib dibaca dan, bahkan harus meniatkan dulu mau baca surat yang mana baru membaca Bismillaah. Kalau tidak niat dulu sebelum Bismillaah maka bacaan suratnya menjadi batal. Misalnya, setelah seseorang membaca Bismillaah dalam shalat, lalu berpikir untuk membaca surat apa dan baru memilih surat yang mau dibaca. Ini tidak boleh. Hal itu karena ketika membaca Bismillaah tanpa ketentuan surat apa, maka ia Bismillaah yang mutlak. Yakni yang bukan merupakan ayat pertama dari surat apapun. Nah, kalau setelah membaca Bismillaah itu baru memilih surat, maka kalau Bismillaahnya tidak dibaca lagi, berarti surat yang dipilihnya itu, telahdibaca tanpa Bismillaah. Jadi, surat tersebut dibaca dengan kurang satu ayat dan, akhirnya membuatnya menjadi batal.

Jadi, dalam pandangan Syi’ah, semua surat itu diawali dengan Bismillaah dan ia merupakan ayat pertama setiap shalat walau, demi keseragaman, maka penghitungan ayatnya dalam dialog-dialog dan percakapan, kita mengikuti hitungan Sunni yang memulai penghitungan ayatnya dari ayat ke dua.

By the way, ketika semua surat itu memiliki Bismillaah, berarti bukan hanya wajib dibaca Bismillaahnya itu, akan tetapi wajib dibaca setelah meniatkan diri untuk membaca surat pilihannya.

Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa satu-satunya surat yang tidak memiliki Bismillaah hanya surat Taubat dan, sudah tentu kalau mau membaca surat Taubat dalam shalat, tidak wajib membaca Bismillaah. Tapi kalau mau bacapun tidak membatalkan shalatnya asal dengan niat dzikir mutlak yang dalam hal ini bermakna “bukan bagian dari surat”.

2- Dengan penjelasan di atas, maka pertanyaan antum yang ke dua ini tidak benar. Karena antum menanyakan surat-surat yang tidak ada Bismillaahnyadengan kata ulang yang berarti banyak. Padahal, yang tidak memiliki Bismillaah, hanya satu surat saja yaitu surat Taubat. Sedang mengapa surat initidak memiliki Bismillaah, karena surat ini turun untuk menyatakan perang dengan para kafirin yang terus menerus mengkhianati muslimin terutama mengkhianati perjanjian damai yang mereka tanda tangani sendiri. Jadi, surat Taubat ini, diturunkan sebagai pernyataan perang kepada para kafirin yang berkhianat itu.

Nah, ketika surat ini pengumuman perang, maka jelas tidak pakai Bismillaah. Karena Bismillaah itu tanda kelembutan dan kasih sayang. Karena artinya: “Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Kan tidak cocok menyebut nama ini untuk berperang. Yang cocok seperti: “Dengan Nama Allah Yang Maha Perkasa”, misalnya. Persis ketika mau membaca Bismillaah atau menyebut nama Allah ketika maumenyembelih binatang. Biasanya tidak menyebut “Bismiillahirrahmaanirrahiim”, tapi cukup “Bismillaah”.

Chandra Dewi: Syukron atas semua penjelasannya Ustadz.. sangat membantu. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sampai Kapan Takdir ?!


Tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 2:25 pm



Irsavone Sabit: (9-4-2013)

(g). Karena itulah saya sering menuliskan bahwa kita tidak mengimani takdir yang bermakna nasib, yakni yang mengatakan bahwa apapun dan tentangapapun, termasuk ikhtiar-ikhtiar manusia itu, sudah ditentukan Tuhan. Karena kepercayaan ini disamping hanya ada di Hindu dan Kristen, juga tidak sesuai dengan akal dan turunnya agama itu sendiri, serta tidak sesuai dengan pembuatan surga dan neraka serta tidak sesuai dengan pembalasan dengan keduanya.

Akan tetapi, takdir yang bermakna SISTEM ALAM, seperti kalau memegang api maka tangannya terbakar, kalau sedikit tapi beriman pada Tuhan sertayakin denganNYa dan juga percaya dengan kesyahidan dan balasan Tuhan, akan menjadi jauh lebih kuat dari yang lebih banyak, atau seperti kalau jumlahnya banyak dan tidak percaya Tuhan dan maknawiat seperti syahid dan balasan serta pertolongan Tuhan, maka akan menjadi sombong dan meremehkan musuh yang lebih sedikit hingga akan menjadi banyak salah hitung dan gampang kalah ... dan seterusnya... maka takdir yang berupasistem ini, jelas ada dalam Islam dan sangat sesuai dengan akal dan ayat-ayat yang banyak dan hadits-hadits yang tidak terhitung serta sesuai denganditurunkannya agama itu sendiri, begitu pula hari hisab dan surga-neraka.

Ustadz Sinar Agama.

Haladap Saw, Adehan Munadi dan 2 orang lainnya menyukai ini.

Ichsan Palawa: Diskusi takdir agak menarik...hehe. Masuk dalam arena tersebut menimbulkan kesalahan fatal yang mewariskan dua firkah ekstrim yakni jabariyyah dan qadariah... dua-duanya jauh dari pokok.....hal ini disebabkan mereka mencoba masuk dalam arena nalar Allah.....takdir ga perlu didiskusikan. Cukup diimani bahwa Allah punya skenario/iridah...kehendak Allah ga bisa dikendalikan dan nalar oleh siapapun....tapi Allah hanya berikan kita anugrah berupa akal, mau pilih duduk malas-malasan atau mau kerja, minum teh atau sirup pilihan...Ada dimensi pilihan bebas dan ada dimensi suratan dari sananya as a given....misal hidung pesek, mancung dan seterusnya. Yang dimintai tanggung jawab kelak yang pilihan bebas, dan yang sudah dititahkan ga ditanyai kenapa hidung anda pesek, kenapa lahir di Jakarta dan seterusnya ga akan ditanyai itu...ehhehe.

Sinar Agama: Ichsan:

1- Allah itu tidak menalar. Kalau menalar, sudah pasti terbatas.

2- Yang kita bahas itu bukan natural manusia, tapi nasib manusia atau perbuatan dan apa saja yang akan menimpanya.

3- Naturalpun, selain kaki dua, tangan dua, mata dua....dan seterusnya...juga bukan dari Tuhan. Misalnya, hidung pesek, kulit hitam, ...........karena semua itu, sekalipun bukan ikhtiar manusia yang kita sendiri, tapi ikhtiar manusia yang orang tua kita.

4- Bahkan wujud kita sendiri, sama sekali bukan kehendak Tuhan dari sononya. Karena Tuhan tidak pernah merencanakan kelahiran kita dan tidak pernah merancangnya dalam arti tidak pernah menginginkannya dari awal. Karena adanya kita atau tidak, lahirnya kita atau tidak, tergantung kepada ikhtiar orang tua kita. Jadi, Tuhan hanya mengijinkannya ada dan, sudah tentu tahu sejak azali dan sejak sebelum diciptakannya alam ini.

5- Jadi, penegasannya, hidung pesek, lahir di Indonesia, kena kangker dari kelahiran, kena aid dari kelahiran, kena tbc dari kelahiran, cacat badan............dan seterusnya...bukan dari Tuhan, tapi dari ikhtiar orang tua kita atau efek dari ikhtiar lingkungan kita.

Saya sudah banyak membahas hal ini di catatan dimana kalau antum minat, silahkan merujuk kesana.

Wassalam.

1 Share

16 people like this.


Apriyano Oscar S: Ustadz, yang saya pernah dengar, dosa-dosa kita juga bisa menyebabkan bala untuk kita. Jika benar demikian, maka saya ada 2 pertanyaan di bawah ini: 1. Apakah bala itu terjadi atas kehendak Allah untuk mengurangi / menghapus dosa-dosa kita. 2. Apakah bala itu juga bisa dalam bentuk kecacatan / ketidaknormalan yang terjadi pada anak dari si pendosa. Mohon penjelasan Ustadz.

Sinar Agama: A.O:

1- Saya sudah pernah menjelaskan beberapa waktu yang lalu bahwa bala itu belum tentu karena dosa sebelumnya tapi bisa saja karena kesalahan kalaitu juga. Misalnya, habis zina dan dalam keadaan mengantuk menyetir mobil. Nah, ketika menabrak, mana bisa dikatakan bahwa hal itu direncanakan Tuhan untuk mengurangi dosanya? Karena itu, maka bala yang sangat bisa diperkirakan mengurangi dosa, adalah bala yang datang bukan karena kesalahan kita, baik langsung atau tidak langsung. Karena kita harus selalu berhati-hati dan memperhitungkan segalanya, dan dari sisi yang lain, kalau mendapat bala, jangan memastikan bahwa hal itu direncanakan Tuhan. Berdoa saja, seperti “Ya Allah, kalau bala ini datang dari kesalahanku yang terdahulu atau yang sekarang, maka ampunilah dosa-dosaku.”

2- Ya Allah, bala kok bisa diturunkan kepada orang lain. Mana bisa satu orang yang berdosa lalu orang lain yang menanggungnya? Cacatnya anak itu,kalau ada kesengajaan atau kelengahan, maka orang tuanya yang akan dimintai tanggung jawab di akhirat kelak. Hal itu, mirip dengan fulan A memukul fulan B dan membuatnya cacat. Sedang B yang menghadapi hal itu, baik yang dipukul atau anak yang cacat karena orang tuanya itu, maka bala itu adalah ujian dia yang datang dari sistem Allah. Sekali lagi, bukan dari Allah, tapi dari fulan A atau orang tuanya. Tapi kalau si B itu,sabar dan tetap taat dalam menghadapi hidupnya yang cacat akibat sistem alam yang dibuat Allah itu, maka ia akan mendapatkan banyak pahala. Baik pahala sabarnya itu sendiri dan pahala ketaatannya.

Maksud dari rela dengan sistem Allah, adalah karena dalam sistem Allah telah dibuat sistem yang secara lahiriah, dapat saling mengganggu. Misalnya, kalau satu orang memukul daerah tertentu orang lain, maka bisa cacat. Atau kalau orang tua tidak menjaga maninya atau kehamilannya, maka bisa melahirkan anak yang cacat.

Nah, ketika kita rela dengan sistem Allah ini, maka kita akan mendapat pahala yang tinggi. Jadi, cacat pada si B dan si anak itu, bukan rencana Tuhanyang dikatakan takdir. Tapi kejadian yang disebabkan oleh fulan A dan orang tua yang terjadi dengan ikhtiar mereka dalam memilih sistem-sistem yang ada yang telah dibuat oleh Allah itu.

October 25 at 6:32pm · Like · 3



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Dari Mendoakan Orang Tua Sampai ke Sambel Kemiri


Seri tanya jawab Fatimah Zahra dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 2:22 pm


Fatimah Zahra mengirim ke Sinar Agama: 8 April 2013, Salam. Bagaimana efek spiritual kepada orang tua yang dikirimkan shalawat sebanyak-banyaknya. Dimana orang tua itu dalam kondisi sakit dan Sunni pula. Dan apa bila orang tua meninggal dunia, apakah dido’akan dan dikirim shalawat akan meringankan dosa-dosa mereka? Amalan apa yang harus dilakukan seorang anak, agar orang tuanya terbebas dari dosa-dosa?

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

Sunni itu, sudah berkali-kali saya katakan, bahwa sangat-sangat tidak ada masalah. Bahkan kafir sekalipun. Yang menjadi masalah itu, kalau sudah sampai kepadanya kebenaran Islam dan Ahlulbait secara profesional dan tanpa cacat baik ilmiah atau aplikatif, yang juga dipahami dengan benar dan profesional dimana dengan itu sudah mengerti bahwa agama selain islamnya itu atau madzhab selain Ahlulbaitnya itu, adalah agama atau madzhab yang salah dan sudah mengerti bahwa Islam atau madzhab Ahlulbait itu yang benar, tapi ia tidak mengikuti Islam atau Ahlulbait, maka sejak inilah dia memiliki masalah dengan Tuhan.

Tapi bagi yang belum jelas karena tidak sampainya kejelasan profesional itu kepadanya dan iapun bukan karena malas, tapi mungkin karena memang tidak mendengar tentang Islam atau Ahlulbait, atau mendengar juga, tapi ia merasa dengan ikhlash bahwa tidak memiliki sedikitpun keraguan dalam agama atau madzhabnya hingga iapun merasa yakin dan ikhlash bahwa tidak wajib mencari tahu tentangnya, atau mendengar penjelasannya tidak dengan ikhlash pula ia berfikir bahwa agamanya atau madzhabnya masih dipahami lebih benar...dan semacamnya dimana hanya Tuhan yang tahu alasan atau udzur yang hakiki yang mana, maka sangat mungkin dia ini masih diterima Allah. Memang, keadaan udzur yang hakiki hanya Tuhan yang tahu, mana yang beralas-alasan dan mana yang udzur hakiki.

Akan tetapi, kita sebagai muslim Ahlulbait as, tidak boleh langsung menerakakan orang lain karena agama atau madzhabnya. Kita boleh menyatakan salah, tapi harus dengan argumentasi yang kokoh dan santun serta lembut dan tidak memaksa dan tetap menjaga hubungan persaudaraan seagama atau semanusia.

By the way, mendo’akan orang tua dalam segala kondisi di atas itu, sangat-sangat dianjurkan oleh Islam Ahlubait dan in'syaa Allah tetap sangat mungkin sampai kepadanya dan dapat meringankannya atau bahkan meninggikan derajatnya (yakni kalau dalam madzhab Sunninya yang ma’dzur-diterima udzurnya oleh Tuhan seperti kemungkinan-kemungkinan di atas itu- itu ia termasuk orang yang memang taqwa dan menjaga agamanya.

Semua perbuatan baik dapat dilakukan, seperti mendoakannya, melakukan kebaikan dan pahalanya dihadiahkan padanya (seperti sedekah, shalat-shalat sunnah, umrah, ziarah, bacaan Qur'an, wakaf, bahkan sekalipun hanya berupa senyum sunnah kepada sesama jenis, dan seterusnya).

Fatimah Zahra :Makasih ustadz, ringan bebanku sekarang. Minta do’a antum ustadz, bapak saya kena struck ringan sekarang.

Piliang Dtk Panjang: Fatimah Zahra@ struck ringan bisa ditolong dengan pijit saja ada tempatnya, pembayaran seridhonya in'syaa Alloh banyak yang berhasil.

Fatimah Zahra: Piliang, iya kah? Makasih banyak info nya akhi.. Alhamdulillah..

Sinar Agama: Fatimah, ikut mendoakan in'syaa Allah. Oh iya, kalau struknya itu disebabkan tekanan darah tinggi, maka kalau makan, beli lalapan rebusan timun. Tapi tidak boleh banyak- banyak. Misalnya sehari dua biji atau dua biji pertiap makan. Tempo hari, ada nenek teman di Sulawesi yang sudah tidak bisa jalan bahkan karena darah tingginya itu (struk), lalu dengan makan timun rebus tersebut, maka sekarang sudah pulihkembali. Kalau kebanyakan bisa droup. Karena itu satu buah permakan atau dua, sudah cukup. Enak lo biar untuk orang sehat, apalagi sambelnya sambel kemiri (untuk kesehatan otak), lalu lauknya ikan mujaer, emas atau gurame yang digoreng. he he ... betul-betul, semoga cepat sembuh dengan keberkahan dan kesyukuran, amin.

Piliang Dtk Panjang: Eh aku jadi lapar, pak ustadz boleh juga tuh resepnya.

Sinar Agama: Piliang: Cukup sediakan nasi panas. Lalu sediakan pula rebusan timun itu. Ketika merebus bisa juga badan timunnya ditoreh pakai pisau. Lalu sediakan pula sekitar 5 kemiri yang digoreng bersama cabe pedas (secukupnya) dan satu buah tomat sebesar telur ayam. Setelah digoreng, lalu ketiga unsur itu diulek dengan disertai garam secukupnya. Jadilah ia sambel kemirinya. Sediakan juga ikan emas atau gurame atau mujair yang juga digoreng. Sudah deh, selamat makan sehat in'syaa Allah. Di sambalnya itu bisa dikasih sedikit kemangi yang bisa juga diulek-ulek tapi tidak sampai hancur. Oh iya, untuk sayurnya, selain timun rebus itu, juga bisa diganti dengan terung bakar (tapi ini bukan obat darah tinggi).Untuk rebusan timun itu, kalau kita tidak sakit, bisa makan lebih dari dua buah seperti yang ditulis di atas itu. Dan timun tersebut, membuat tidak keselekan dengan makan keringan ini. Karena ia mengandung air. Walhasil, enak deh in'syaa Allah. Semoga berkah dan disyukuri. amin.

Silver’dj Bama: Hmm.

Piliang Dtk Panjang: MasyaAlloh,,, ustadz. Bukan masalah agama saja yang dikupas, yang di dapur juga ustadz ahlinya. Syukron ustadz, saya akan coba tentang timun rebus dan sambel kemiri itu, suer, sambel kemiri saya baru dengar dari ustadz. Pasti saya akan coba membuatnya. He he Salam dan sholawat.

Allohumma sholli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad wa ajjil faroja aali Muhammad.

Fatimah zahra@ pijit yang saya katakan adanya di cipanas, tepatnya taman bunga, dengan bapak haji Ning, no hpnya nanti saya inbox.

Fatimah Zahra: Tenyata manfaat kemiri bagus juga yah ustadz. Alhamdulillah, kemiri itu bumbu idola saya. Selain bikin gurih juga bikin kental masakan. Alternatif untuk yang tidak suka MSG. Syukran ustadz.

Sinar Agama: Piliang: Hati-hati goreng kemirinya. Apinya jangan terlalu besar, karena ia cepat sekali gosong/hangus. Dan, sudah tentu jangan sambil facebookkan, karena benar-benar bisa gosong. Selamat mencoba semoga berkah dan tersyukuri.

Sinar Agama: Fatimah: Kemiri itu memang untuk otak dan ini ada dalam hadits tapi makruh kalau dimakan sendirian. Kemiri ini juga bisa dijadikangantinya micin yang kurang sehat itu. Baik untuk masak nasi goreng dan semacamnya.

Sang Pencinta: Ustadz sa: saya belum nyobain resep kemirinya nih ustadz, kayaknya kudu cari istri dulu, hehe. By the way Fatimah: semoga ayah lekas sehat seperti sedia kala, in'syaa Allah struk ringan cepat recovery-nya.

Sinar Agama: Pencinta: Kan bisa dipesan ke pembantu rumah atau kalau tidak ada, kan bisa pesan ke ibu he he...

Sang Pencinta: Iya sih ustadz, tapi saya ga biasa rikues-rikues gitu. Apa yang ada aja dimakan. Nanti deh saya bikin sendiri. By the way tiap hari makannya ustadz ?

Sinar Agama: Hati-hati kalau tidak biasa masak. Walaupun hanya goreng tomat itu tidak mudah. Karena kalau tidak dilobangi, maka bisa meletupdan bagian isinya bisa muncrat ke wajah atau ke mata. Dan kalau dilubangi terlalu besar, maka air di dalam tomatnya bisa keluar. Saya tidak ingin antum punya masalah gara-gara hanya ingin coba sambel kemiri, he he ..

Sang Pencinta: Saya dulu pernah punya warung kaki lima, ya minimal bikin sambel semoga bisa deh. hehe.

Sinar Agama: Ya..kalau begitu pintar atuh masaknya? he he ...

Zainab Naynawaa: Ustadz SA@ ko dengan resep sambel kemiri jadi ingat seseorang beliau juga jago buat sambel kemiri kalo tidak salah saya makan di rumah beliau sekitar tahun 15 tahun yang lalu, cuman waktu itu ga pake ikan mujaer hanya tempe dan lalapan, saja tapi sekalipun menunya sederhana wewnak dan nikmat itu disebabkan yang masak ahli dalam berfilsafat jadi rasanya penuh dengan argumen dan dalil dalil...semoga hal ini bisa mengingatkan beliau..semoga beliau selalu diberkahi...illahi amin.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 04 Desember 2019

Hukum Menolak Wali Faqih Muthlaqah

Sinar Agama: Bismillaah: Hukum Menolak Wali Faqih Muthlaqah (inbox) Terharu terhadap penanya di inbox yang menunjukkan kepahamannya dalam membaca tulisan-tulisan si hina ini dan semoga ia selalu mendapatkan inayah dariNya dan perlindunganNya, begitu pula si hina ini dan semua teman-teman yang dimuliakan, amin. Sebagaimana biasa, saya akan menginisialkan namanya karena takut dia tidak rela dimuat di status:

Hari Ini (inbox)

Y: Ass wr wb, afwan ustad. Saya telah membaca diskusi antum tentang hukum penolakan wali faqih muthlak bagi orang Syi’ah. Dan saya alhamdulillah merasa memahami maksud antum (kalau salah tolong dikoreksi sebelum antum menjawab pertanyaan saya) bahwa menolak wali faqih mutlak itu adalah hal besar yang sekalipun belum dapat dipastikan kemurtadannya, akan tetapai ia merupakan hal yang sudah sampai ke derajat yang berbahaya sekali. Ini yang saya pahami dari penjelasan antum baik di asal penjelasannya atau dalam diskusi-diskusinya. Karena itu, saya juga melihat antum menolak mengomentari teman kita yang berisial Z.H, karena ia telah salah kira kepada antum. Ana memahami seperti itu ustad. Tolong kalau salah diluruskan.

Yang menjadi pertanyaan saya, sudikah kiranya antum menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya tentang masalah ini, supaya saya sendiri tidak sekedar berhati-hati sesuai dengan pesan antum, melainkan lebih jelas melangkah. Syukran ustad dan semoga antum sehat selalu dan sudi menerangkan pada ana yang ingin mendapatkan kepastian ini. Hari Ini (inbox)

Sinar Agama: Salam, ahsantum. Pemahaman antum sudah benar mengenai tulisanku itu. Yakni maksud saya untuk menghati-hatikan tindakan teman-teman supaya tidak sampai ke arah dan arena terebut karena sudah sangat berbahaya.

Menolak wali faqih muthlaqah itu, bisa bermacam bentuk seperti:

1- Bisa karena mujtahid yang memiliki pandangan tidak wajibnya wali faqih muthlaqah/muthlaq.

2- Muqallid (taqlid) pada yang mujtahid poin 1 di atas itu.

3- Jaahil, tidak tahu hukumnya.

4- Tahu bahwa hukum itu dari Islam dan menolaknya.

Hukumnya:

1- Tidak murtad, tapi haram membuat perpecahan di kalangan muslimin. Yang saya pahami seperti menghalang-halangi orang lain untum mempercayainya, atau membuat perseteruan dengan pengikutnya, atau memusuhi wali faqihnya itu sendiri.

2- Sama dengan hukum poin 1 di atas.

3- Sama dengan hukum poin 1 di atas.

4- Untuk poin 4 ini, ada dua pandangan dari sama-sama wakil Rahbar hf. Bagian fatwa bahasa Parsi mengatakan murtad. Dengan alasan karena sudah tahu hukum Islam akan tetapi terang-terangan menolaknya. Itu sama dengan menolak Islam. Ini penjelasannya. Bagian fatwa bahasa Arab, hanya mencukupkan kepada dosa dan tidak memurtadkannya. Saya juga kebetulan punya nomor telpon ayatullah Khatami hf, imam Jum’at Tehran dan mengatakan sama dengan yang bagian fatwa Parsi itu bahwa kalau seseorang tahu bahwa wali faqih muthlaq itu dari Islam dan ia menolaknya dan ia tahu bahwa penolakannya itu menolak Islam atau Nabi saww, maka ia murtad.

Kesimpulan: Kalau kita mau melakukannya, maka bentengilah diri kita ini dengan hukum yang berat itu, yakni murtad. Tapi kalau melihat orang lain melakukannya, maka hati-hatinya tidak perlu memurtadkannya. Hal itu karena di samping berbagai kemungkinan di atas itu, juga barang kali penjelasan bagian bahasa arab itu yang benar. Dan kita juga tidak rugi tidak memurtadkannya. Tapi kalau mau hati-hati tentang kenajisannya, asal tidak disebar-sebar ke orang lain, maka hal itu bagus dan sama sekali tidak bertentangan dengan agama.

Saya sendiri, dengan bekal informasi yang terlalu cetek/dangkal ini, memang memahami fatwa itu seperti yang dipahami wakil fatwa bagian bahasa Parsi itu. Akan tetapi, karena urusan memurtadkan seseorang itu tidak mudah, maka lebih baiknya kita hati-hati kalau berhubungan dengan orang. Karena barangkali sebenarnya ia belum tahu bahwa hal itu ada dalam Islam. Tapi kalau jelas ia mengatakan tahu bahwa hal itu ada dalam Islam, dan menolaknya, maka sekalipun tidak memurtadkannya kepada khalayak yang karena demi kehati-hatian itu, akan tetapi saya pikir, wajib kita berhati-hati pada kenajisannya untuk diri kita pribadi dan ingat, hati-hatinya juga tidak mengheboh-hebohkannya atau bahkan tidak mengatakannya kepada orang lain.

Kalau saya menulis ini, karena harus menjelaskan hukumnya. Sedang yang dibicarakan di atas itu, adalah masalah penerapannya manakala kita bertemu dengan penolak wali faqih muthlaq seperti yang terpahami di buku sms itu.

Karena itu, kembali ke tulisan sebelum-sebelumnya bahwa cukup mengatakan “bisa terhukumi murtad”, yakni tidak pasti murtad, dan sangat dianjurkan untuk tidak melakukannya dan tidak pula menghukumi orang lain.

Semoga suatu saat saya bisa menanyakannya langsung kepada Rahbar hf sendiri. Kalau antum masih penasaran dan tidak cukup dengan semua penjelasan di atas itu. Wassalam.

Sinar Agama: Syukur padaMu ya Rab, ada saja orang yang meringankan beban ini karena kejelian dan kecerdasan pahamannya, semoga Engkau sudi membantuku dan semua teman, untuk jeli, teliti dan cerdas dalam memahami apa-apapun hal sebelum Engkau ambil amanatMu ini, amin.

Abdurrahman Shahab: Maaf ustadz SA, point no 4 dan no satu memiliki ambiguitas yang sangat parah, seolah olah antum ingin mengatakan bahwa para mujtahid yang berada di point satu itu bukan islam...Mohon point no.4 antum koreksi kalimatnya agar antum tidak membuat perpecahan di kalangan kaum muslimin !!! Afuan sebelumnya...

Sinar Agama: Fahmi, opo gletek iku?

Bima Wisambudi: Apanya yang ambigu?

Abdurrahman Shahab: Semoga Ustadz SA diberi Allah ketulusan hati nya untuk dapat menjauhkan dari “kesombongan kaum berilmu” sehingga ia tidak pernah mau menundukkan hatinya dari nasehat dan peringatan...Afuan...

Ali Heyder: Maaf ustadz, apakah ada pandangan dari marja yang menyatakan bahwa wilayatul faqih itu bagian dari ushuluddin ?

Aries Wahyu Hidayat: Pembahasannya berat untuk saya yang bodoh ini.... semoga semua mendapat petunjuk dari Allah...... shalawat....

Sinar Agama: A.Sh dan lain-lainnya: Semua yang ditulis di atas itu sudah diambil dari fatwa. Misalnya

poin 1, Rahbar hf mengatakan:

نمز يف - اديلقت وا اداهتجا - ةقلطملا هيقفلا ةيلاوب داقتعلاا مدع)دئاقلا ديسلل لئاسملا ريرحـ( 14 :ةلأسم
ناهربلاو للادتسلاا هلصوا نمو زملاسلاا نع جورخلاو دادترلاا بجوي لا )هجرف للها لجع( ةجحلا ماملاا ةبيغ
نيملسملا نيب فلاخلاو ةقرفتلا ثب عل زوجي لا نكلو روذعم وهف اهب داقنعلاا مدع يلا

“Yang tidak meyakini wali faqih muthlaqah secara ijtihad atau taqlid, di masa ghaibahnya imam Mahdi (ajf) tidak membuatnya murtad dan keluar dari Islam. Siapa yang mendapatkan dalil dan argumentasi hingga penyimpulan tidak mesti meyakininya, maka ia ma’dzur (dimaafkan). Akan tetapi tidak boleh baginya untuk membuat perpecahan dan perbedaan di kalangan muslimin.”

Dan untuk nomor 4 itu kurasa sudah sangat terang benderang.

Sang Pencinta: Abdurrahman, hal itu sudah jelas, sepertinya antum sedikit emosi saat membacanya.
Mujtahid yang menolak WF mutlak sesuai ijtihadiiyahnya tidak menyebabkan murtad, coba lihat fatwa Rahbar berikut:

SOAL 59: Apakah orang yang tidak meyakini wewenang mutlak wali fakih dianggap muslim sejati? 

JAWAB: Tidak meyakini wewenang mutlak wali fakih pada masa kegaiban Imamul Hujah (semoga jiwa-jiwa kita menjadi tebusannya), baik berdasarkan ijtihad atau taqlid tidak menyebabkan kemurtadan atau keluar dari Islam.

Sinar Agama: Ali, bukan bagian dari ushuluddin, tapi cabang dari ushuluddin. Rahbar hf sendiri berfatwa:

عمتجملا ةدايق نع ةرابع يهو نيدلاب فراعلا لداعلا هيقفلا ةموكح ينعت هيقفلا ةيلاو)لئاسملا ريرحت( 14 :ةلأسم
روذج اهلو يرشع ينثلاا بهذملا ناكرا نم نامزو رصع لك يف ةيملاسلاا ةملال ةيعامتجلاا لئاسملا ةراداو
.ةماملاا لصا يف

Masalah ke 41 (bagian pertama dan yang di nukilan kolom sebelum ini adalah bagian ke duanya): “Wali faqih adalah kekuasaan seorang faqih (mujtahid) yang adil (tidak melakukan dosa) dan mengerti betul agama. Wali faqih adalah kepemimpinan sosial dan pengaturan masalah-masalah kesosialan terhadap kaum muslimin di setiap waktu dan jaman, dan DARI RUKUN MADZHAB SYI’AH DUA BELAS IMAM, DAN JUGA MEMILIKI AKAR DI USHULUDDIN-IMAMAH.”

Ali Heyder: Apakah sama posisi Rahbar sebagai wali faqih dan sebagai marja? Wilayatul Faqih adalah urusan tata negara, berbeda dengan marja. Misalnya seorang Iran yang bertaqlid bukan pada Rahbar tetap terikat pada keputusan konstitusionil Wali Faqih. Vis a vis, seorang yang bertaqlid pada rahbar namun bukan warga Iran, berarti tidak ada keterikatan kenegaraan. Dari sini ada dikotomi fungsi antara marja dan wali faqih, mohon pencerahan.

Bima Wisambudi: Afwan, ustadz, bagaimana dengan sebelum adanya revolusi Iran? Apakah sudah ada WF? Afwan, saya pernah baca catatan ustadz mengenai hal ini namun lupa belum ketemu.

Sinar Agama: Bima, itu antum lupa mulu sih he he.... Wali faqih itu tidak beda dengan imam Makshum as itu sendiri. Mereka memiliki wilayah itu baik diakui orang atau tidak. Jadi, wali faqih itu selalu ada dan mengatur umat, tapi sebatas penerimaan umat itu sendiri. Di dunia, tidak ada paksaan seprti yang sudah sering dijelaskan. Karena itulah, saya katakan terlalu naif kalau ada orang membuat wali faqih ini momok untuk Indonesia. Sebab Nabi saww sendiri hidup dalam berbagai keadaan, berkuasa dan tidak berkuasa, Umat Nabi saww juga demikian, ada yang dalam kekuasaan Islam dan ada yang dalam kekuasaan lain. Pada jaman imam Makshum as, apalagi.  Karena itu, jangan lupa mulu he he...

Sinar Agama: Ali, sepertinya antum harus baca lagi jawaban-jawabanku. Wali faqih itu dalam segala kondisi, tidak hanya negara. Lihat definisi yang diberikan Rahbar hf di atas itu. Antum simpan dulu ajaran orang, dan tatap ajaran Rahbar hf, nanti ketemu benang merahnya. Wali faqih itu seperti imam Makshum as, selalu ada dan wajib ditaati walau tidak ada negara Islam.

Ahmad Haidar:



ALito Alfian Mehmud: Abdurrahman Shahab, afwan silahkan antum pahami dulu kedudukan mujtahid dalam Syi’ah. Saya yakin jika antum pahami hal ini antum tidak akan berkomentar “....memiliki ambiguitas yang sangat parah.....” dan seterusnya. Apalagi sampai antum mengatakannya agar tidak membuat perpecahan di kalangan muslimin. Bagi saya pribadi apa yang disampaikan oleh beliau sangat jelas & tidak ada ambiguitas sama sekali. Apakah antum tidak mengetahui bahwa seorang yang telah sampai pada tingkatan mujtahid maka ia sudah harus mengambil keputusan sendiri berkenaan dengan hukum-hukum agama. Apabila dalam ijtihadnya yang benar-benar didasari qurbatan ilallah mereka benar maka dapat dua pahala & apabila salah dapat satu pahala. Olehnya itu bagi mereka sudah tidak dikenai lagi hukum dosa dalam apa-apa yang mereka ijtihadkan. Sedangkan pada poin 4 jelas-jelas berbeda di atas tertulis jelas coba antum perhatikan kalimatnya “,Tahu bahwa itu dari Islam dan menolaknya”. Ia mengetahuinya secara sangat yakin bahwa wilayatul faqih adalah wajib akan tetapi ia menolaknya/mengingkarinya. Maka bagaimana mungkin antum ini menilai hal ini ambigu.

Deddy Prihambudi: Salam. Teruslah diskusi. Jangan terputus. Terlepas apakah substansi diskusi ini kita terima atau kita tolak, namun KEBEBASAN untuk menyampaikan ide dan gagasan harus tetap dihormati, dan dijaga.

Sinar Agama: @Alito dan teman-teman lainnya, semoga antum semua dan saya yang terlalu hina ini, selalu dalam peluk hangat perlindungan Allah dan syafaat Nabi saww serta Makshumin as amin.

Bima Wisambudi: Afwan ustadz, bagaimana jika ada yang menerima WF namun menolak rahbar?

Sinar Agama: Ada teman seorang sayyid di inbox yang mengatakan “Ustadz, katakan yang haq itu haq dan yang batil itu batil, jangan menyembunyikan kebenaran.”

Dalam kondisi sesak dada seperti belakangan ini, karena tidak suka membahas buku sms itu akan tetapi karena terpaksa, maka sokongan sayyid luar Jawa itu, telah membuatku semakin merasa nyaman dan tenang. Rupanya hati-hati suci dan bersih yang tanpa kepentingan apapun, masih terlalu banyak di bumi pertiwi kita ini, syukur padaMu ya Rab.

Apapun itu, teman-teman tidak boleh keluar dari akhlak karimah walau panas dada sekalipun melihat Tuhan, Nabi saww, para imam as dan ulama dilecehkan. Kita memilih cara ilmiahnya saja yang indah tapi tefas seperti bunga merah.

Ali Heyder: Maaf ustadz, ana sudah baca, justru karena keterbatasan pemahaman ana minta penjelasannya. Ada definisi baru yang antum kemukakan dan baru buat ana, khususnya mengenai posisi wali faqih yang tidak terikat ada negara. Apakah mungkin terdapat beberapa wali faqih baik berbeda negara maupun di negara yang sama? Dan mengenai maulay Rahbar, ketika beliau naik menduduki jabatan wali faqih apakah benar beliau belum memproklamirkan marjaiyahnya? Hal tersebut menarik perhatian karena justru inilah yang membuat ana tiba pada kesimpulan bahwa wali faqih dan marjaiyah itu berbeda. Mohon pencerahannya ustadz.

Sinar Agama: @Bima, ana rasa bahasannya bercabang. Misalnya dia menolak Rahbar hf itu dengan alasan apa. Misalnya, apakah dia meyakini wali faqih yang lain? Misalnya apakah wali faqih yang lainnya itu mengaku wali faqih? ... dan seterusnya.

ALito Alfian Mehmud: Amien, terimakasih Pak Ustadz Sinar Agama....Btw, saya sangat berharap semoga suatu saat saya bisa bersahabat dengan antum di Fb ini. Apabila ada lowongan persahabatan sudilah antum memasukkan saya yang hina ini sebagai sahabat antum. Afwan....

Sinar Agama: Deddy, kita akan terus sesuai dengan fatwa marja’ in syaa Allah. Menjelaskan masalah merupakan tugas yang tahu. Setelah itu, maka terimalah dengan jelas, atau tolaklah dengan jelas. Bagi kami urusan di dunia ini hanya menjelaskan saja. Siapa yang mau tolak atau terima, maka hal itu sudah menjadi urusan masing-masing.

Bima Wisambudi: Semoga ustadz tidak keberatan menjelaskan di tengah kesibukan ustadz, dan semoga dirahmatiNya. Bagaimana bisa wali faqih yang lainnya itu mengaku sebagai wali faqih, sementara sudah ada rahbar yang disepakati ulama-ulama a’lam sebagai yang paling a’lam (wf)?

Sinar Agama: @Ali, silahkan merujuk ke catatan-catatan sebelumnya. Ringkasnya, wali faqih itu fungsinya adalah memberikan pengaturan umum, bukan fatwa khusus seperti ibadah-ibadah. Jadi, bersifat sosial dan politik. Dan di bidang sosial politik ini, sekalipun marja’, wajib mengikutinya.

Sebelum negara Islampun wali faqih ini ada, seperti pengharaman rokok oleh ayatullah Syirazai ra. Walhasil, kurasa tengok-tengok catatan yang sudah ada, bagus kalau antum ada waktu dan mau.

Sinar Agama: @Alito, apa antum sudah menjadi pendaftar?

Sinar Agama: Sebenarnya perndaftar pertemanan sampai sekarang masih sekitar seribu (900 lebih). Mungkin kalau antum sudah mendaftar, bisa dipertimbangkan untuk dikonfirmasi.

Ali Heyder Toyeb: Ustad, syukran atas waktunya wal afu.

Sinar Agama: @Ali, ahlan bikum.

ALito Alfian Mehmud: Afwan ya sayyidi, saya sudah sejak awal-awal dulu mencoba untuk menambahkan antum sebagai teman di fb ini. Akan tetapi saya bingung selalu ada pemberitahuan seperti ini dari fb : anda belum dapat menambahkan Sinar Agama sebagai teman anda saat ini. Afwan ya sayyidi, jadi saya belum bisa menjadi pendaftar.

Deddy Prihambudi: Salah satu ‘buku pengantar’ saya untuk memahami WF adalah 2 buku Kang Jalal itu, yang kini telah menjadi buku ‘klasik’ di antara kita. Sangat jelas sebenarnya. Seingat saya , yang awam ini, dahulu, Imam Khumayni QS, jika tidak keliru, memberikan syarat “mujtahid mutlak” untuk seorang Wali Faqih. Namun, karena beratnya beban syarat ini, konon syarat ini diubah menjadi agak lebih rendah. Jika saya keliru, mohon dikoreksi.

Deddy Prihambudi: Dan seingat saya pula, Imam Al Khamene’i HF tatkala ‘terpilih’ menjadi Wali Faqih, (atau menjadi Rahbar ? (mohon koreksi) juga belum sampai pada derajat Mujtahid. Bahkan konon, Imam Ali Khamene’i HF adalah pribadi yang sangat enggan untuk segera menjadi mujtahid.

Deddy Prihambudi: Saran saya : jika tema diskusi ini sudah dianggap cukup, maka tugas Sang Pencinta untuk merapikan semua tulisan, dikompilasi dengan baik, dan dijadikan buku. Agar semua diskusi ini menjadi “milik publik”. Salam.

Bima Wisambudi: Jangan buru-buru pak Deddy, masih menunggu jawaban ustadz.

Deddy Prihambudi: Ha ha ha... setuju ! Beta selalu ‘ingatkan’ agar kita semua menjadi peramu ilmu dengan baik. Dalam contoh sederhana yang pernah saya sampaikan di waktu lalu, perdebatan sengit antara almarhum Cak Nur dengan tokoh Masyumi Mohammad Roem, berhasil menjadi buku dengan baik. Dan publik mampu membacanya. Artinya : jadikan tradisi debat dan diskusi menjadi tradisi tulis dengan baik. Salam.

Dadan Gochir: Deddy Prihambudi, setahu ana ustad SA sudah menjelaskan bahwa rahbar hf sudah mujtahid, bahkan sebelum terpilih jadi Wali faqih.. mungkin Sang Pencinta bisa nukilkan..

Deddy Prihambudi: Ya, matursuwun pada Tuan Gochir. Mungkin benar Ustadz Sinar Agama sudah menjelaskan. Saya mungkin tidak menyimak kala itu, karena sedang terjadi ‘ketegangan’ yang tidak perlu tatkala item ini dibahas sehingga, saya ikut malas membacanya. Tapi, tetap saja terimakasih. Tetaplah bersuara, jangan takut !

Fahmi Husein: Sinar, gak tau nang bangil antum? Gletek, agak susah diartikan ke bahasa Indonesia. Yang ana maksud, sebelumnya dianggap murtad gak taunya tidak, gletek ae.

Satria Pmlg: Matur suwun ustadz.

ALito Alfian Mehmud: Salam Deddy Prihambudi dan juga teman-teman yang lainnya, silahkan antum merujuk kesini : https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/rahbar-hf-imam-khumaini-qs-dan-shirazi-bersaudara/676398572410052

Dan juga kesini

https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/seluk-beluk-wilayatul-faqih/657291477654095
ALito Alfian Mehmud: Kesini :

https://www.facebook.com/sinar.agama/posts/138429356210985

Juga yang ini :

http://sinaragama.org/111-kesaksian-2-orang-adil-atas-ke-alam-an-rahbar-hf.html

Widodo Abu Zaki: Alhamudullah baru ngerti maksudnya.

Sinar Agama: Deddy, seperti yang telah diterangkan sekitar satu dua tahun lalu, dan juga yang dinukil Alito, Rhabar hf atau sayyid Ali Khamenei hf itu, sudah mujtahid muthlaq sejak 30 tahun sebelum diangkat menjadi Rahbar hf.

Wali faqih itu wajib mujtahid muthlaq. Yang dirubah itu bukan kemujtahidannya akan tetapi kemarja’annya. Artinya, yang dipilih itu tidak mesti dari marja’. Karena yang paling dipentingkan adalah wali faqih itu a’lam dari mujtahid lain termasuk marja’ dari sisi urusan-urusan sosial dan politik.

Sinar Agama: Fahmi, ahsantum tentang gleteknya.

Fahmi Husein: Sinar, sebelumnya ana tidak meneliti komentar-komentar, setelah ana baca dengan seksama, ada dua hal yang ingin ana tanggapi/tanyakan.1. Antum memuji ALito Alfian Mehmud dengan pernyataannya, mujtahid kalau salah dapat pahala satu kalau benar dapat dua. Ini bukannya di Sunny?? Emangnya di Syi’ah juga demikian?? 2. Tentang Sayyid yang antum juga puji karena sarannya (meneruskan katakan yang haq..). Apakah antum kira yang menolak kritikan antum pada buku sms itu karena ‘ras’-nya?? Bahwa ada kepentingan golongan?? Bukannya yang menolak kritikan antum pada buku tersebut banyak juga yang bukan Sayyid?? Dan afwan, satu orang yang berbicara juga di inbox kepada ana bahwa kalian (ustadz sa dan iip) tidak muhibbin (kurang dalam penghormatannya pada durriyah), ana balas dengan menanyakan daerah dia, setelah dia bilang dari daerah ini (afwan ana gak bisa sebutkan), ana tanggapi yang ana tahu dari daerahmu itu juga gak ada muhibbin. Perlu alfaqir perjelas, tiada Sayyid yang mengikuti ashobiyah jahiliyyah, hanya tuduhan nashibi saja. Dan perlu alfaqir ulang lagi, alfaqir menolak sikap/cara mengkritik, bukan kritikan terhadap buku tersebut. Dan itupun tidak merubah sikap penghormatan alfaqir kepada antum tentang keilmuan antum (merasa banyak hutang budi, semoga dibalasNya).

Chai Syahrie: .

Sinar Agama: @Fahmi:

1- Itu justru di Syi’ah, sebab di Sunni sudah tidak ada mujtahid.

2- He he,,,,terimakasih banget ya sayyid. Saya mengatakan seorang sayyid, karena hanya ingin menghormatinya saja. Bukan mau menjadikannya sebagai alat untuk berkelahi dengan sayyid lain, na’udzubillah. Atau bukan saya ingin mengatakan bahwa beberapa sayyid yang diskusi beberapa hari ini membantahku karena kesayyidan mereka.

Antum peka banget dan saya pikir itu baik karena antum merasa harus menjadi insan kamil dan menemani, mengayomi dan mengasihi selain sayyid. Dan saya juga tidak perlu mengatakan siapa saya sebenarnya, dalam masalah ini. Btw, terimakasih perhatiannya.
Terimakasih banget pula telah mendoakan, semoga diterimaNya untuk kita semua, amin.

3- Kalau saya dalam puisi kemarin mengatakan di sini Indonesia dan bukan Yaman, sebab menurut sejarah, para Syi’ah yang saadaat yang hijrah ke Yaman, melalukan taqiah habis-habisan hingga keturunannya sendiri, tidak tahu tentang kesyi’ahan aba mereka. Hal itu demi supaya tidak terbunuh.

Nah, di Indonesia yang tidak ada bunuh membunuhnya. Karena itu, saya meminta dalam puisi itu, untuk tidak meYamankan Indonesia dan meminta untuk menghormati budaya kami di sini yang tidak suka kepada pertikaian dan bunuh membunuh seperti arab-arab barbar kala itu di Yaman.

Fahmi Husein: Ke masalah nomer satu dulu, betul-betul ana baru tau neh (tentang mujtahid yang salah dapat pahala satu, dan benar pahala dua, karena itu yang kami kritiki selama ini), di Sunny sudah tidak ada mujtahid? Mujtahid versi Syi’ah kali?? Anggap benar (udah gak ada mujtahid), berarti dulu juga dapat pahala satu kalau salah? AUU itu? Ajib. Mohon lebih dijelaskan lagi (detail lagi) 3. Perlu antum ketahui (kalau belum tahu), yang hijrah ke Yaman (hadramaut) tetap Syi’ah, hingga Al-Faqih al-muqaddam yang bermula ‘pindah madzab’ yang emang para nashibi sangat menentang mereka pada jaman beliau. Betul antum taqiyah habis-habisan hingga keturunan mereka sendiri tidak tahu tentang kesyiahan kakek mereka. Masalah nashibi ini dimana-mana, Indonesia juga demikian, juga Syi’ahnya. Kalau aman jelas Imam Mahdi afs muncul, hanya perlu 313 orang saja kan?!

Fahmi Husein: Tentang Ijtihad dalam Sunny (kebetulan majlas dengan staf Mufti Kerajaan Brunei), Dalam Sunny menggunakan hukum hakam, kalau ada sesuatu perkara (yang tidak jelas hukum hakamnya) yang pertama merujuk pada Alqur’an, kalau tidak menemukan jawabannya maka merujuk kepada hadits, bila masih belum juga menemukannya maka merujuk pada Qiyas (contoh, al-homru muskirun, kullu muskiriin haram, fal homru haram. Disini tentang semua yang memabukkam itu haram. Tentang narkoba misalnya yang tidak ada dalam al-qur’an dan hadits), lalu bila tidak menemukan di qiyas baru ke ijmak (kesepakatan), setelah tidak ada di ijmak baru ijtihad. Contohnya merokok. Fatwa mufti brunei rokok haram. Kalau benar dapat pahala dua, kalau salah dapat pahala satu.

Sinar Agama: Fahmi, saya tidak merasa perlu menambahkan penjelasannya. Saya kalau menulis lagi, sama dengan yang tulisan sebelumnya itu.

Ida Faridah: Heuheu rafidhah...Allah Yahfadz...semoga Allah menjaga iman umat Islam agar tidak terperosok ke dalam kehinaan..aamiin Ya Rabb...

Ida Faridah: Imam jafar ash shadik..»jangan banyak bicara dengan kaum Syi’ah terutama rafidhah kerna di setiap perkataannya penuh dusta....

Fahmi Husein: Sinar, cukup dapatnya diberikan dalilnya (Al-Qur’an atau Hadits) bahwa Ijtihad mujtahid (dalam Syi’ah) kalau salah dapat pahala satu kalau benar dapat pahala dua. Karena sepertinya kontradiksi dengan status antum di atas, Mujtahid menolak WF, (salah, dapet pahala satu dong) ??

Fahmi Husein: Dalil al Quran tentang Mujtahid sebagai Pemimpin/Pembesar yang diikuti, kalau salah disiksa 2x lipat:

﴾ Al Ahzab:67 ﴾ Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).

﴾ Al Ahzab:68 ﴾Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.

Nagie Alcatraz: Hmmm

ALito Alfian Mehmud: Fahmi Husein, afwan ya sayyid. Antum Sunni atau Syi’ah. Jika antum Sunni maka saya maklum dengan permintaan antum kepada Ustadz Sinar Agama mengenai dalil dari hal ihwal pahala seorang mujtahid. Namun jika antum Syi’ah maka sebagaimana yang sudah sering disampaikan oleh Pak Ustadz bahwa seorang tasyayyu tidak boleh asal minta dalil. Karena kalaulah diterangkan juga, maka kita tidak akan mengerti. Karena penjelasannya akan memakai semua alat dan perangkat ijtihad itu sendiri. Seperti ilmu-ilmu, bahasa Arab, Logika, Ushul fikih, Kaidah fikih, Hadits, Rijal, Tafsir.....dan seterusnya yang diringkas dalam 4 perkara, Qur’an, Hadits, Akal dan Ijma’. Nah apakah kapasitas kita (antum & saya juga yang lainnya yang belum mujtahid) sudah sampai atau menguasai semua perangkat itu....

Fahmi Husein: ALito, afwan, mungkin itu Syi’ah versi anda. Syi’ah versi saya mesti berdalil, dan apa-apa yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits jelas batil. Andaikan Fatimah mencuri niscaya aku potong tangannya. Syd Fatimah aja gak kebal hukum, apalagi ulama. Hanya karena ulama yang bilang gitu, ra’sye. Jadi keraknya neraka ulama yang ngaku-ngaku salah dapat pahala itu!!

Nagie Alcatraz: Kalau merasa Syi’ah ya harusnya malah kritis..bisa dicerna dengan logika akal sehat..Syi’ah kalau ga boleh minta dalil ga beda jauh dengan wahabi..ajarannya hanya penuh dengan doktrin,pokoknya kalau ustadnya sudah ngomong ya harus di iyakan, ga boleh banyak nanya...ckckck

ALito Alfian Mehmud: Fahmi Husein, ya sayyid nampaknya antum belum begitu memahami dengan apa yang saya nukilkan dari yang sering disampaikan oleh Ustadz Sinar Agama. Justru tidak dilarang meminta dalil asal sudah memenuhi atau menguasai perangkat-perangkat ijtihad tersebut di atas. Btw, saya tidak akan mengulanginya lagi karena kalau mengulanginya akan menulis sama seperti yang di atas & saya cukupkan hanya sampai disini. Syukron wa afwan ya sayyid.

Muhammad Zakariya: Kata siapa ga boleh minta dalil, yang disampaikan oleh marji’ itu bahasa yang sederhana yang dapat dicerna oleh pengikutnya.

Muhammad Zakariya: Kemudian nash dan dalilnya saya ingin tahu terkait wajib mengikuti WF. Kemudian kalau ga ikut maka murtad.

Muhammad Zakariya: Syarat seorang mujtahid itu apa sich? Kenapa kok bisa dikatakan dia mengeluarkan fatwa yang salah.

Muhammad Zakariya: Fatwa yang SA sampaikan ini mana teks aslinya kemudian dalil dan nashnya apa.

https://www.facebook.com/sinar.agama/posts/758563474197567



Artikel sebelumnya:
====================



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 02 Desember 2019

Republik Islam Iran

Republik Islam Iran menurut Buku SMS

https://m.facebook.com/notes/abil-ghifari/republik-islam-iran-menurut-buku-sms/748826935200716/?refid=21


Anggelia Sulqani Zahra: Salam ustadz Sinar Agama, mau tanya tentang Republik Islam Iran yang termuat dalam buku Syi’ah Menurut Syi’ah pada halaman 342 – 343:

“hal penting yang kerap tidak diperhatikan ialah bahwa Republik Islam Iran tidak berarti islam telah menjadi sistem negara di Iran. Disebut Republik islam Iran, yang lebih tepat diartikan Republik Islami di Iran ( jomhouriye islami-te Iran atau Al-jumhuriyyah Al-Islamiyah Al-Iraniyyah), karena bersifat islam. “islam” objektif bukan substantif. Artinya, dalam republik (negara yang kedaulatannya dibangun dengan kontrak sosial melalui referendum) itu, islam merupakan sifat yang diprediksikan atas “Republik” sebagai subtansi, bukan islam menjadi substansi dan Republik menjadi predikat. Dengan kata lain, undang-undang negara Iran disarikan (melalui penafsiran) dari teks suci Alquran dan sunnah...

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya, yang kalau sudah sampai masalah SMS ini, jantung berdebaran mata ingin menangis dada bergemuruh karena takut salah langkah. Akan tetapi, karena saya sudah sering menjelaskan bahwa bahasan kita di fb ini, hanya dan hanya masalah keilmuan dan tidak bernuansakan politik dan saya juga tidak menghalalkannya seperti itu, terutama perpecahan umat, maka saya beranikan terus menulis setegas mungkin tanpa taqiah sedikitpun.

Hal ini perlu, karena kita baru Syi’ah yang mana kalau tidak didudukperkarakan secara benar dalam keilmuan, maka akan mengekarkan pohon yang tidak diharapkan dari tunas-tunas seperti

kita ini di masa sekarang dan terutama masa mendatang, dan juga membuat selain Syi’ah bukan hanya salah memahami Syi’ah, akan tetapi bahkan akan terombang ambing.

Karena itulah, maka ajaran harus jelas dan gamblang, sementara persatuan umat dan keutuhan bernegara, mengikuti perintah dan fatwa para ulama dan marja’ yang tidak asing dalam sepanjang sejarah mereka sampai sekarang di seantero dunia ini dimana mereka selalu mengajarkan santun pada sesama muslimin dan bahkan sesama manusia (kafirin), seperti perintah imam Ali as kepada

Malik Astar ra ketika mengutusnya untuk menjadi wakil beliau as di Mesir. Karena itu, maka jawabanku terhadap pertanyaan antum adalah:

1- Untuk mengomentari masalah yang dinukilkan di atas itu, perlu memperhatikan beberapa hal.
Tapi saya tidak akan membahas terlalu rinci, sebab di samping sebagiannya sudah dibahas di diskusi sebelumnya, juga adanya berbagai hal. Semoga saja tidak terlalu mengecewakan.

2- Sepintas, tulisan di atas, berakar pada beberapa peristilahan yang perlu diketahui bersama hanya sebagai penegasan dengan merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indoneisa –KBBI- dan Kamus Ilmiah Populer Kontemporer –KIPK-, seperti:

  • a- Ajektif. Antum menulisnya Objektif. Yang benar di bukunya yang saya juga punya, adalah Ajektif. Ajektif artinya adalah kata sifat; selalu disertai dengan sifat.
  • b- Substantif. Artinya adalah indipenden; berdiri sendiri; merdeka; hakiki; sesungguhnya.
  • c- Predikasi. Artinya adalah pendapat; pernyataan; ceramah tentang pelajaran (KPK).
  • d- Predikat. Artinya, gelar; sebutan; julukan; sifat; bagian kalimat yang menandai apa yang dikatakan oleh pebicara tantang subyek; sebutan; kehormatan; ..dan seterusnya.
  • e- Republik. Artinya bentuk negara yang pada umumnya dipimpin oleh presiden. Atau bentuk pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang presiden.
  • f- Jumhuuriy (bahasa Parsi).

هديزگرب دودحم یارب روشک مدرم یوس زا نآ سيير هم یتموکح زا یعون :یروهمج :نيعم همان تغل -
یروهمج ،یسارکومد یروهمج ،یتسيلايسوس یروهمج ،یملاسا یروهمج :دراد فلتخم عاونا نآو دوش
هريغ و لاردف


Kamus Mu’iin: Jumhuuriy adalah bentuk pemerintahan yang pemimpinnya dipilih oleh rakyat untuk memimpin dalam waktu tertentu. Ia memiliki beberapa bentuk: Jumhuuriy Islaami; jumhuuriy Sosialis; jumhuuriy Demokrasi; jumhuuriy Federal.


ناونعب ینيعم تدم یارب مدرم فرط زا نت کي هاشداپ یاج هب هک یتموکحو ماظن -1 :ديمع همان تغل -
یروهمج :تسا مکاح نآ رد ماظن نيا هک یروشک }زاجم{ )مسا( 2 .دوش یم باختنا روهمج سيير
.ناريا یملاسا

Kamus ‘Amiid: 1- Sistem dan pemerintahan yang sebagai gantinya kerajaan, satu orang yang dipilih rakyat, untuk memimpin dalam batas waktu tertentu, dipilih sebagai presiden. 2- (nama) [majazi/tidak-hakiki] Sebuah negara yang sistem pemerintahan ini (makna no.1 di atas, yakni yang dari rakyat) berkuasa: Jumhuuriye Islaamiye Iran (Republik Islam Iran).

3- Untuk memahami makna kalimat di atas (yang dipertanyakan itu), perhatikan potongan-potongan berikut ini:

  • a- “Hal penting yang kerap tidak diperhatikan ialah bahwa Republik Islam Iran tidak berarti islam telah menjadi sistem negara di Iran.”
  • b- “ Disebut Republik islam Iran, yang lebih tepat diartikan Republik Islami di iran...karena bersifat islam”
  • c- “”Islam” ajektif bukan substantif.”
  • d- “Artinya, dalam republik .... itu, islam merupakan sifat yang diprediksikan atas “Republik” sebagai subtansi, bukan islam menjadi substansi dan Republik menjadi predikat.
  • e- “Dengan kata lain, undang-undang negara iran disarikan (melalui penafsiran) dari teks suci Alquran dan sunnah.”

4- Perkiraan makna dan maksud kalimat:

  • a- Mengingkari kesistemIslaman republik Islam di Iran. Hal itu, dapat diperhatikan melalui perakitan poin a yang jelas-jelas mengingkarinya. Dan poin d yang menerangkan bahwa Islam di Iran hanya “dipredikasikan”, artinya hanya dinyatakan dan dipendapatkan. Kasarnya, keIslamanrepublik di Iran, hanya sebagai dakwaan, pengakuan, pendapat (orang Iran) serta perkiraan dan penafsiran sesuai dengan poin e.
  • b- Mengingkari kehakikian Islam, dalam sistem yang dipakai oleh pemerintahan Iran pasca revolusi, dimana sangat tampak di poin c. Yaitu keajektifan Islam pada republik, bukan sebaliknya.

5- Perkiraan sasaran kalimat:

Melihat dari berbagai sisi di atas, maka sangat dimungkinkan bahwa kalimat itu memiliki sasaran seperti berikut:

  • a- Negara Islam di Iran itu, bukan hakiki. Karena itu, jangan dianggap sebagai suatu yang benar secara mutlak.
  • b- Apapun itu, mau hakiki kek atau tidak kek, kita orang Indonesia tidak harus mengikutinya. Karena ia adalah sebuah keIslaman yang dipredikasikan alias dipendapatkan alias dinyatakan orang Iran terhadap sistem pemerintahannya. Sementara ia adalah bukan sistem Islam yang substantif.
  • c- Meneruskan poin b, yang juga bisa menjadi sasaran penulis adalah, bahwa kalaulah substansifpun, maka itu urusan Iran dan bukan urusan kita bangsa Indonesia.
Terutama kalau dihubungkan dengan dua paragraf setelahnya yang memulai penulisannya dengan:

“Iran yang relatif homogen (terdiri dari jenis yang sama, SA) berbeda dengan Indonesia yang heterogen (terdiri dari jenis yang berbeda, SA). Karena itu, pengalaman negara Islam di Iran, tidak serta merta bisa diterapkan di Indonesia.......”

Yang kemudian dilanjutkan di paragraf ke tiga setelahnya, yaitu:

“Sebagai warga negara Indonesia ketaatan kepada wali faqih (bukan Rahbar) – yang saat ini sebagian besar percaya dipegang Ali Khamenei – adalah sebatas ketaatan dalam hal fikih atau ibadah, bukan ketaatan politis tentunya.”

6- Komentar terhadap penafsiran-penafsiran di atas:

  • a- Dalam bedah buku SMS itu, dimana lebih tepat dinamai SMTPABI (Syi’ah Menurut Tim Penulis Ahlulbiat Indonesia) yang dilakukan di UIN Jakarta, dikatakan bahwa orang-orang yang tidak tahu Syi’ah, diminta diam. Saya tahu maksud utamanya adalah wahabi-wahabi atau yang bukan Syi’ah walau, mungkin juga selain golongannya. Akan tetapi, menurut saya, obyek tergamblang dari pernyataan itu, adalah tim penulis sendiri. Karena di samping tidak tahu Syi’ah, telah menyombongkan diri dengan mengatasnamakan Syi’ah dan telah sangat tidak mengormati ulama Syi’ah di dalam sepanjang sejarahnya hanya karena mereka mengajarkan bahwa imamah Makshum itu meliputi vertikal dan horisontal, dengan diperintah-perintah dan diejek dengan gontok-gontokan, seperti yang ditulis di hal. 357:

“Selanjutnya para pemikir kedua kelompok (ulama Syi’ah dan Sunni, SA) ini harus mengubah energi gontok-gontokan menjadi energi saling mendukung dan membahu mencerdaskan akar rumput dan awamnya serta membuang semua isu elementer yang menjadi biang kebencian mutual (imbal-balik, SA).”

Perhatikan kalimat yang sangat tidak sopan di atas itu. Para ulama dan bahkan para imam Makshum as yang selalu dipenjara dan dibunuh sampai sesadis di Karbala karena mengajarkan kemencakupan imamah untuk hal-hal vertikal dan horisontal itu, disalah- salahkan dan diperintah-perintahkan serta diolok sebagai penggontok-gontokan dan, sudah tentu juga sebagai tidak mencerdaskan akar rumput. Na’uzhubillah. Semoga Tuhan menghidayahi mereka kalau masih mau menerimanya, dan mengembalikan semua ini kepada mereka sendiri, kalau tidak mau menerima hidayahNya, amin.

Emangnya para ulama kedua belah pihak, di samping tetap bersikokoh dengan pendapatnya masing-masing, selalu gontok-gontokan dan tidak bersatu dan saling toleran? Emangnya kalau kita lihat di ilmu hadits, para masyaayiikhulhadiits (guru besar, sumber perawi dan penghafal ribuan hadits) tidak saling menghormati yang sama-sama tsiqah di antara mereka.

Emangnya di dalam berabad tahun ini, para ulama dari kedua belah pihak itu saling perang?

Emangnya murid imam Ja’far as dan murid-murid pada imam Makshum as yang lain itu semuanya adalah orang Syi’ah???!!! Bukankah yang saling perang itu secara globalnya hanya wahabi yang kebiasaannya main kafir dan paksa atau para raja-raja Bani Umayyah dan Bani Abbas yang berkepentingan politis dan kekuasaan? Emangnya persahabatan para ulama itu tidak terjalin dari seribu tahun lebih itu sampai detik hari ini??? Emangnya di Iran itu ulama dan umat golongan Syi’ah dan Sunni saling berperang, begitu pula di Iraq, Pakistan, Hindia, Libanon, Mesir, Libia, Suriah, Turki, .................dan semua negara? Bukankah yang ribut memerangi itu hanya wahabi dan, segelintir ulama dan umat madzhab-madzhab yang tidak pernah merusak keutuhan mayoritas ulama dan umat masing-masing dalam seribu tahunan lebih ini???!!!

DIMANA ADA AJAKAN DAN DENGUNGAN PERSATUAN DENGAN MENGORBANKAN AJARAN MASING-MASING DALAM SEPANJANG SEJARAH MANUSIA DAN ISLAM KECUALI OLEH ORANG-ORANG TIDAK TAHU TAPI MERASA TAHU SERAYA MENYERU KEPADA KETIDAKTAHUANNYA ITU DAN MEREKAPUN TIDAK MENYERU KEPADA APA DAN DARI MANA??!! BUKANKAH LEBIH BAIK PARA PENGAJAK INI BELAJAR BAIK-BAIK HINGGA JADI ALIM DAN BARU MENYERU KEPADA YANG DIWAJIBKAN TUHAN, BUKAN KEPADA YANG DIWAJIBKAN KETIDAKTAHUANNYA DAN KEPENTINGANNYA???!!!

  • b- Mengingkari keIslaman sistem pemerintahan di Iran, sama dengan mengingkari adanya matahari di siang bolong. Dan, sudah tentu bertentangan dengan semua marja’ dan wali faqih sendiri serta para Makshumin as.
  • c- Saya sudah sering menjelaskan sesuai dengan terlalu cetek dan relatif dari informasi yang saya dapatkan dari “belajar di hauzah” bahwa mengikuti dan menaqlidi marja’ itu adalah perintah Tuhan dalam Qur an, Nabi saww dalam Hadits dan perintah para imam Makshum as dalam Hadits-hadits mereka as. Itulah mengapa dalam pendapat semua ulama sepanjang sejarahnya, dengan mengambil dari Qur an dan hadits-hadits serta akal dan ijma’ itu, selalu menfatwakan bahwa AMALAN SEORANG HAMBA YANG TIDAK SAMPAI KE TINGKAT MUJTAHID DAN MUHTAATH, KALAU TIDAK BERTAQLID, MAKA AMALNYA BATAL. AMALAN dalam fatwa mereka itu, bukan hanya ibadah-ibadah seperti shalat, puasa dan semacamnya. AKAN TETAPI MENCAKUP SEMUA KEGIATAN HIDUP BERBUDAYA, BEREKONOMI, BERSOSIAL DAN BERPOLOTIK.
KARENA ITU, YANG BERAMAL APAPUN, APAKAH IBADAH KHUSUS SEPERTI SHALAT, ATAU IBADAH UMUM SEPERTI POLITIK, KALAU TIDAK BERTAQLID, MAKA SEMUA MENJADI BATAL.

Tentu masih ada kerinciannya (taqlid) di kitab fikih. Saya hanya menukilkan pokok-pokoknya saja karena tujuannya hanya ingin menerangkan bahwa dasar keabsyahan atau kebenaran dan penerimaan Tuhan, Nabi saww dan imam Makshum as, terhadap perbuatan manusia yang bukan mujtahid dan muhtaath, adalah taqlid kepada marja’ dan tidak bisa tanpa taqlid.

KARENA ITU, MENGINGKARI KEISLAMAN SISTEM NEGARA DI IRAN DAN MENGINGKARI KEWAJIBAN SEORANG MANUSIA UNTUK MENAATI WALI FAQIH (marja’, baik mutlak atau tidak, baik marja’ atau ulama seperti di golongan Akhbariah) DALAM SEGALA HAL SEPERTI POLITIK, BUKAN HANYA MENGINGKARI DHARURIAT AGAMA (yang mudah dipahami dan bagian mesti ciri agama Islam), AKAN TETAPI JUGA MENGINGKARI –SECARA KONSEKUENSI- KEWENANGAN PARA IMAM MAKSHUM as, NABI saww DAN WILAYAH TUHAN ITU SENDIRI.

  • d- Hubungan Islam dan Negara Islam. Islam sebagai ajaran yang meliputi akidah, ibadah, fikih, ekonomi, sosial, akhlak dan politik, sudah tentu lebih luas cakupannya dibanding dengan Negara Islam yang “boleh dikata secara global” hanya mengatur secara politisnya, baik politisnya politik, politisnya ekonomi, politisnya pertanian, politisnya pertahanan, politisnya kepemimpinan, politisnya budaya, politisnya pendidikan, politisnya kenelayanan, pertanian, pertamabangan.....dan seterusnya.
Dengan demikian, maka Islam dan Negara Islam atau Sistem Kenegaraan, hubungannya adalah “Lebih Umum dan Lebih Sempit”. Yakni lebih umum Islam dan lebih sempit pemahaman Negara Islam atau Sistem Negara Islam.

Kalau kita sudah mengerti hal ini, yakni melihatnya dari ilmu logika tentang pengertian dan hubungan keduanya, maka kita sekarang bertanya, apakah keduanya adalah substansi (substantif) atau keduanya aksident (ajektif) atau salah satunya aksident dan yang lainnya substansi?!!

Sebelum menjawab hal itu, perlu diberikan isyarat, apakah setiap subyek kalimat itu berupa substantif dan predikat itu ajektif, atau sebaliknya, atau bebas-bebas saja. Dengan melihat benarnya kalimat-kalimat berikut ini:

“Manusia itu binatang rasional” + “Husain itu adalah manusia” + “Manusia itu berpendidikan” + “Yang berpendidikan itu adalah manusia” + “Berpendidikan itu adalah baik” + “Kebodohan itu jelek” + ............ dan seterusnya =

Maka subyek dan predikat itu, yakni mubtada’ dan khabar itu, keduanya bebas-bebas saja, apakah sama-sama ajektif seperti dua kalimat terakhir, atau sama-sama substantif seperti dua kalimat pertama, atau campuran seperti kalimat ke tiga dan ke empat (dengan saling bergantian posisisi dimana kalimat yang ke tiga subyeknya yang subsntantif dan di kalimat yang ke empat, predikatnya).

Sekarang mari kita lihat maksud dari Jumhuuriye Islaamiye Iran atau Republik Islam Iran.

Penulis SMS (SMTPABI, baca: bukan semua anggota ABI) menuliskan bahwa Republik yang menjadi obyek dan dipredikati dengan Islam, dipahaminya bahwa Islam di sini, adalah ajektif dan Republiknya adalah subtantif.

Padahal bisa saja keduanya adalah substantif, yaitu kalau dilihat dari bahasa Indonesianya, Republik Islam. Dan bisa juga satu substantif dan lainnya adalah ajektif sebagaimana dikatakan tim penulis, yaitu manakala melihat ke bahasa Parsinya.

Keduanya tidak penting, karena tidak membawa kepada esensi masalah. Sebab inti masalahnya adalah apakah keIslaman sistem negara di Iran itu hakiki atau tidak.

Sebagaimana saya sudah pernah menulis sebelum ini, tim penulis sepertinya tidak fokus dalam beberapa atau banyak tulisannya. Alur tata arugmentasinya agak tidak teratur. Seperti yang sekarang ini. Karena tim penulis ingin membuktikan bahwa di Iran itu bukan bersistem negara Islam, lantara Islam di sini, adalah ajektif. Padahal, tidak ada hubungannya antara keajektifan Islam di sini atau kesubstantifannya.

Karena ketika menjadi ajektif dan sifat sekalipun bagi nizhaam atau sistem atau pemerintahan negara di Iran, maka tidak serta merta menjadikannya relatif dilihat dari sisi keIslamannya atau kepastian Islamnya.

Saya sudah sering menjelaskan bahwa kalau yang dimaksudkan relatif itu, selain makshum, maka tidak ada pemerintahan atau ilmu siapapun, yang tidak relatif dan tidak predikatif.

Artinya, walaupun belajar kepada Makshum atau sedang menjalankan pemerintahan Makshum, maka akan tetap bersifat predikasi atau penafsiran.

Kalau maksud penulis adalah mentidakhakikatkan Islam pada sistem negara di Iran lantaran Islam pada penyebutan negara Islam itu predikasi dan penafsiran, di hadapan Islam substantif yang makshum, maka jelas tidak hanya di Iran sekarang, akan tetapi di jaman Nabi saww dan para imam Makshum as serta pada pemerintahan imam Mahdi as sekalipun, yang memahami dan mengikuti Islam substantif.

Kehakikatan Islam itu, bukan hanya dilihat dari kemakshuman pemahamannya. Akan tetapi, bisa dilihat dari beberapa sisi sebagai berikut:

    • d-1- Dari sisi kewajiban memahaminya dan mengaplikasikannya sekalipun pada hal-hal yang bersifat relatif atau predikasi (pendapat, penafsiran). Saya sudah sering menerangkan bahwa belajar agama itu wajib kifayah untuk jadi panutan umatnya kalau sudah menjafi faqih (maksudnya bab taqlid dan umat tidak mesti umat tertentu dan faqihnya mesti a’lam sebagaimana dirincikan dalam hadits-hadits dan akal sehat serta gamblang), sebagaimana yang ada di QS: 9:122:

“...mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”


Nah, di sini, yang belajar dan ditaati, atau yang menaatinya, jelas merupakan nash Qur an yang gamblang dan muhkamaat. Tidak ada keraguan sedikitpun. Sementara dari satu sisi, Islam juga menerangkan bahwa yang makshum dalam ilmu dan amal itu (ilmunya tentang Islam lengkap dan benar seratus persen) hanya Nabi saww dan Ahlulbait as beliau saww.

Ini berarti, bahwa belajar sampai pada tingkatan faqih/mujtahid dan mengeluarkan pengajaran dan perintah serta fatwa, serta mengikuti mujtahid dan faqih, adalah hakikat Islam sekalipun mujtahidnya tidak makshum alias relatif dan predikasi serta penafsiran. Persis seperti kalau belajar ke Makshum as atau menerima perintah dalam pemerintahan Makshum as. Sebab bagaimanapun, yang namanya tidak makshum, ilmu dan kepahamannya untuk dijadikan pedoman taatnya dalam suatu pelajaran dan pemerintahan Makshum as, tetap bersifat tidak makshum dan tetap bersifat relatif dan penafsiran serta predikasi.

ITULAH MENGAPA SAYA KATAKAN BAHWA YANG MENGINGKARI KEHAKIKATAN ISLAM DI PEMERINTAHAN IRAN, YANG APALAGI DITAMBAHI DENGAN MENGINGKARI KEWAJIBAN TAAT PARA MARJA’ WALI FAQIH (baik mutlak atau tidak, baik marja’ atau ulama seperti di Akhbari) DALAM POLITIK LANTARAN BEDA NEGARA DAN SEMACAMNYA, ADALAH MENGINGKARI YANG SANGAT JELAS DAN MERUPAKAN CIRI YANG TIDAK BISA TIDAK, DARI AGAMA ISLAM. KALAULAH PENGINGKARNYA MUNGKIN TIDAK SAMPAI KE TINGKAT NAJIS, AKAN TETAPI, SUDAH SAMPAI KE TINGKAT SANGAT BERBAHAYA.

AKAN TETAPI KALAU TENTANG WALI FAQIH YANG MUTLAK, MAKA MENGINGKARI KETAATAN PADANYA, DARI SEORANG YANG BUKAN MUJTAHID YANG JUGA BUKAN KARENA TAQLID PADA MARJA’ YANG TIDAK MEWAJIBKAN TAQLID MUTLAK (dalam segala urusan seperti politik) KEPADA SEORANG WALI FAQIH, MAKA SANGAT BISA MASUK KE DALAM MURTAD DARI AGAMA DAN MENJADI NAJIS. PERHATIKAN FATWA BERIKUT INI:


اديلقت وا اداهتجا اهب داقتعلاا مدعف هيلعو ‘لقعلا هديؤي يدبعت يعرش مكح هيقفلا ةيلاو :71 ةلأسم

ملاسلاا نع جورخلاو دادترلاا بجوي لا


MASALAH KE 17 (dari kitab fatwa Rahbar hf, Muntakhabu al-Ahkaam):


“WALI FAQIH ITU (yang mutlak/muthlaq) ADALAH HUKUM SYARI’AT YANG BERSIFAT KETAATAN (kepada agama) YANG JUGA DIDUKUNG AKAL. KARENA ITU, BAGI YANG TIDAK MEYAKININYA SECARA IJTIHADI (bagi yang sampai ke ijtihad dan sudah menjadi mujtahid) ATAU TAQLID KEPADA MUJTAHID YANG TIDAK MEWAJIBKAN HAL ITU (taat mutlak dalam segala bidang kepada wali faqih), MAKA TIDAK MENYEBABKAN KEMURTADAN DAN KELUAR DARI AGAMA ISLAM.”

ITU TANDANYA, KALAU TIDAK MEWAJIBKAN TAAT PADA WALI FAQIH DAN DIA BUKAN MUJTAHID DAN TIDAK TAQLID PADA MUJTAHID YANG TIDAK MEWAJIBKAN TAAT MUTLAK KEPADA WALI FAQIH TERSEBUT, MAKA BISA DIANGGAP DAN DIHUKUMI, MURTAD DAN TELAH KELUAR DARI AGAMA ISLAM.

    • d-2- Dari sisi banyaknya hukum Islam yang bersifat nash yang muhkaamaat atau gamblang atau jelas. Dari sisi ini, maka sistem negara Iran yang telah dirumuskan oleh marja’ dan bahkan dibantu oleh para mujtahid-mujtahid yang lain, setidaknya di dalam masalah-masalah yang muhkam dan gamblang ini, seperti wajib mengikuti mujtahid adil, wajibnya qishaash (hukum rajam), cambuk bagi penzina, keadilan uang negara, dan ribuan hukum lainnya, adalah pasti merupakan hakikat Islam.
    • d-3- Kalau dalam yang tidak muhkaamaat sekalipun, tetap bisa dikatagorikan hakikat hukum Islam. Hal itu karena di samping dilihat dari kewajiban berusaha tahu sampai mencapai faqih dan kewajiban memimpin umat dan kewajiban taatnya umat seperti yang sudah dijelaskan di atas itu, juga dari sisi bahwa seringnya, para marja’ itu, mengambil jalan yang paling hati-hati yang mana maknanya adalah dapat diyakini sebagai kepastian benarnya. Misalnya, kalau tidak jelas apakah membaca dzikir dalam rukuk itu tiga atau cukup satu, maka dihati-hatikan tiga. Hal ini, jelas merupakan kepastian benarnya. Sebab satu itu dikandung dalam tiga. Sementara pentigaannya, tidak dikatakan wajib, sehingga kalau salah dikatakan bid’ah dan menambah hukum, melainkan dikatakan hati-hati atau ihtiyath. Begitu pula dalam hukum-hukum pemerintahan. Seperti tidak memerangi kafirin kecuali kalau diperangi mereka.
    • d-4- Saya tidak mau berkata bahwa sistem di Iran sudah sempurna seperti yang dipahami dan dibuat Makshum as. Akan tetapi saya hanya mau berkata bahwa sistem pemerintahan Islam di Iran itu, sekalipun ia berupa tafsiran dan predikasi serta relatif, akan tetapi ia adalah hakikat Islam yang wajib dihormati, dicintai, dibelai dan ditaati. Sebab, sekalipun kelak imam Mahdi as sudah keluarpun (semoga dipercepat keluarnya beliau as, amin), tetap saja pemahaman kita dari pengajaran beliau as dan perintah beliau as dalam pemerintahan dan sistemnya, adalah predikasi, relatif dan tafsiran. Karena itu, kehakikatan Islam itu, tidak melulu apa yang dipahami dan diamalkan secara makshum.
    • d-5- Jangan lupa, bahwa yang saya bicarakan di sistem pemerintahan Iran, adalah sistemnya, bukan pelaksanaanya. Sebab dalam pelaksanaannya, sebagaimana di jaman Nabi saww, imam Ali as, imam Hasan as, imam Husain as, dan kelak di jaman imam Mahdi as, bisa saja ada kekurangan, kesalahan atau bahkan pelanggaran. Hal seperti ini, akan selalu ada kecuali kelak di surga.
7- Penutup:

Sekali lagi, tulisan ini hanya dalam rangka menjawab pertanyaan dan merupakan tanggapan keilmuan saja. Tidak ada hubungannya dengan sisi lainnya, seperti politisnya. Tulisan saya ini, tidak mewakili siapa-siapa dan bisa saja telah terjadi kesalahan yang kalau nampak dengan jelas di kemudian hari, apakah kesalahan tulisan atau materinya, in syaa Allah akan dirubah.

Apalagi saya sering tidak memeriksanya lagi, karena di samping seringnya kelelahan, juga mengandalkan mas Daris yang selalu setia mengedit dan memeriksa tulisan-tulisanku dengan sabar.

Saya tidak rela, kalau tulisan saya yang ditujukan secara ilmiah ini, atau setidaknya ingin ilmiah ini, dipergunakan di jalan-jalan politis yang terutama kalau membuat perpecahan di tengah-tengah umat muslimin atau bangsa tercinta Indonesia. Wassalam.

Irsavone Sabit “WALI FAQIH ITU (yang mutlak/muthlaq) ADALAH HUKUM SYARI’AT YANG BERSIFAT KETAATAN (kepada agama) YANG JUGA DIDUKUNG AKAL. KARENA ITU, BAGI YANG TIDAK MEYAKININYA SECARA IJTIHADI (bagi yang sampai ke ijtihad dan sudah menjadi mujtahid) ATAU TAQLID KEPADA MUJTAHID YANG TIDAK MEWAJIBKAN HAL ITU (taat mutlak dalam segala bidang kepada wali faqih), MAKA TIDAK MENYEBABKAN KEMURTADAN DAN KELUAR DARI AGAMA ISLAM.”

ITU TANDANYA, KALAU TIDAK MEWAJIBKAN TAAT PADA WALI FAQIH DAN DIA BUKAN MUJTAHID DAN TIDAK TAQLID PADA MUJTAHID YANG TIDAK MEWAJIBKAN TAAT MUTLAK KEPADA WALI FAQIH TERSEBUT, MAKA BISA DIANGGAP DAN DIHUKUMI, MURTAD DAN TELAH KELUAR DARI AGAMA ISLAM.

......................................

Afwan Ustadz, saya belum paham betul antara paragraf pertama dan kedua diatas meskipun saya membacanya berulang-ulang takutnya saya salah memahaminya, apakah bisa diuraiakan dan dijelaskan lagi...kalau saya bisa memahami nya, paragraf pertama dan kedua diperuntukkan pada tingkatan orang yang berbeda, atau bagaimana?

Sinar Agama:

I.S, kalau antum baca atau ingat catatan-catatan sebelumnya, maka wali fakih itu setidaknya dibagi dua, mutlak (yang meliputi semua hal) dan tidak mutlak (seperti yang tidak memasukkan hal-hal politik dan semacamnya). Nah, wali faqih sebelum dua paragraf yang antum tanyakan itu, mencakup keduanya dan bahkan ditambah sosok keulamaan di Akhbariah yang tidak mayakini ijtihad dan hanya memakai sosok keulamaan.

Akan tetapi, di dua paragraf yang antum tanyakan itu, maka keduanya membaha wali faqih muthlaqah atau mutlak saja. Yang hukumnya, kalau tidak mengimaninya, sementara ia bukan mujtahid yang berpandangan lain (tidak wajib adanya dan menaati wali faqih yang umum seperti politik) tentang wali faqih mutlak ini, atau dia bukan mujtahid dan tidak taqlid pada mujtahid yang berpandangan lain tersebut, maka bisa terancam murtad dan kafir.

Sinar Agama: Jadi, paragraf pertama itu fatwanya, yang menuturkan tentang tidak murtadnya orang yang tidak mayakini wali faqih mutlak (bagi yang Syi’ah tentunya) kalau disebabkan karena ia sendiri mujtahid dan berpandangan tidak adanya wali faqih mutlak dan tidak wajibnya taat pada yang diangkat dan dianggap wali faqih mutlak, atau disebabkan ia taqid kepada mujtahid yang beda ini.

Nah, kalau ketidakmurtadan itu disyarati dengan ijtihad dan taqlid, maka konsekuensinya, bagi orang Syi’ah yang tidak meyakini wali faqih mutlak ini, sedang dia bukan mujtahid dan juga bukan karena menaqlidi mujtahid yang beda tersebut, maka ia murtad. Tapi saya, menghaluskan konsekuensi ini dengan mengatakan “bisa terancam murtad”.

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=860827723968198&set=a.427089434008698.120077.100001229357851&type=1




Artikel Lainnya:
=================

Hubungan Antara Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (5)

5. Hubungan Antara Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (5)

https://m.facebook.com/notes/abil-ghifari/hubungan-antara-tuhan-yang-mutlak-dan-suci-dengan-manusia-5/750247881725288/?refid=21


Surya Hamidi: Ga pake kayaknya, ini post yang sudah jelas arah dan tujuannya. Begitu juga post di wall kamu. Kalian memang suka menyulut perpecahan.

Hendy Laisa: Surya Hamidi, Bener-bener kasyaf, beliau tau sekali ya mata ana dah tertutup kebencian mendalam kepada tim pengarang buku tersebut.. but you make big mistakes brotha.. that’s wrong!!!

Surya Hamidi: Up to you lah mau ngomongin ana apa, yang jelas ana gak pernah musuhi antum.

Azmy Alatas: Hahahahaha... Ta pikir sughulnya emang bikin kritikan mas Abu Alief Al Kepri.

Surya Hamidi: Kalau kalian tidak benci, dan ingin bahu membahu dalam kemajuan Syi’ah di Indonesia ini, datangi kantor ABI atau datangi Rumah Ustadz Muhsin Labib. Kalau kalian tidak tau alamatnya, biar aku antar sampai ke depan pintu rumahnya.

Hendy Laisa: Azmy Alatas> Baiknya antum cari nukilan seperti yang di komen ustadz.

Surya Hamidi: Membedah buku tanpa pengarangnya padahal pengarangnya masih hidup, alamatnya jelas, organisasinya jelas, kantornya jelas... Intinya kalian hanya tim sorak yang sorakan kalian adalah bomb-bomb waktu yang suatu saat akan meledakkan rumah sendiri.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Bukunya jelas, tim nya jelas, penerbitnya jelas, kantornya jelas, organisasinya jelas, maksud dan tujuan penulisan jelas, sasarannya jelas, harapannya jelas. --->tanpa menunggu keterangan dan respon dari keseluruhan yang jelas tersebut muncul nukilan yang bersandarkan pada fatwa: Haram dan Sesat.

Padahal antara penyeru dan yang diseru sama-sama tak punya otoritas dalam keagamaan.

So, cobalah pakai metode akademik yang lazim dalam membangun kritik otokritik. Sama-sama di bidang akademik dan pengajaran, bukan? Sama-sama kelas terdidik, bukan? Buatlah ruang berbantah yang adil...

Hendy Laisa: wah kayaknya Surya Hamidi gak baca penjelasan ustadz soal kritik mengkritik karya ilmia.

Surya Hamidi: Siapa ustadz? Bagiku yang dinamakan ustadz itu yang mendidik, bukan yang menjerumuskan dan berlindung di akun bodong.

Hendy Laisa: Seperti antum gak pernah punya akun bodong aja.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Hihihi..ana tau maksud antum supaya membuktikan bahwa ana punya bukunya..lalu ana supaya nukilkan...karena antum lagi ga pegang buku, secara di yayasan itrah cuma ada 1 buat barengan semua umat kan...

Males banget menukil, wong saya peserta diskusi kok, ada fasilitator buat apa...ini kan lagi penyidangan dan penghakiman sepihak tanpa dihadiri pihak yang diadili... Mestinya kalian punya tim fasilitator yang menyiapkan data lengkap dong... Masak cuma menukilkan saja kok susah amat....atau ga pake data? Ah, ga mungkin... Heheeheehe... Piss..

Hendy Laisa: Bagi antum bodong tapi bagi ana itu gak jadi soal, yang jelas penyampaiannya argumentatif, mendidik, logis bagi ana yang goblok ini...

Azmy Alatas> Owh gak seperti dugaan antum, punya bukunya tau gak itu bukan urusan ana besok antum juga bisa beli kok.

Surya Hamidi: Aku pernah punya akun bodong tapi bukan untuk mengkritik Syi’ah dan menciptakan benih-benih perpecahan. Akun pertamaku dengan nama asli ini juga dan diblok oleh admin. Sekarang akunku ya ini.

Hendy Laisa: Iya iya mas ana tau akun-akun antum kok. Sekali lagi itu pendapat antum soal ciptakan benih-benih perpecahan, bagi kami di sini gak begitu kok.

Said Hasnizar: Surya Hamidi dan Azmy Alatas, Ada yang minta agar diadakan diskusi panel di Ithrah Institude. Saya hanya tolong menyampaikan dan mungkin hanya sebagai pemerhati soalnya buka fb paling cuman sekali seminggu. Saya rasa ini ide bagus, diskusi tentang buku SMS, dari pada di bahas di sebarang dinding.

Surya Hamidi: Ini juga bagian dari sembarang dinding Abu Alief Al Kepri..!! Siapa yang menjadikan ini dinding resmi yang disepakati?

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Hah..ngapain cuma di itrah? Roadshow dong, setiap kota dan basis kita buat! Tentunya setelah ustadz SA melakukan dan menyampaikan tabayun, apakah mungkin...??? Bukankah ustadz SA itu tokoh fiksi, mana mungkin akan terjadi panel. Kalau dia di panel, ya mustahil yang di panel adalah SA. Bukti bahwa yang di panel adalah SA apa.

Hendy Laisa: Azmy Alatas> ide bagus tuh..ente head to head dengan kami..hitung-hitung sebagai warming up.

Azmy Alatas: Hahahaaaha....sama-sama interpretator ngapain menjadi sok tahu atas konten buku...

Mau bikin tambah kabur dan kagak jelas jluntrungannya? Semua yang berkaitan dengan buku SMS adalah JELAS dan wujud. Penerbitnya, teballnya, halamannya,, penulisnya, alamatnya, dan sebagainya. Bisa antum sentuh dan bisa didengar suaranya.

Lantas bagaimana dengan ustadz SA ?

Apakah beliau nya juga siap?!
Bagaimana mewujudkan yang samar itu?

Pake hijab, pake asap, awan, kabut, topeng atau bagaimana pas kelak di panel...
Hhaahahajahahahaha....seru nih...

Hendy Laisa: kita berdua aja dulu, gak usah libatkan orang lain..SIAP GAK???

dr

Said Hasnizar: Surya Hamidi, Ini juga bagian dari sembarang dinding Abu Alief Al Kepri..!!

Siapa yang menjadikan ini dinding resmi yang disepakati?

========================

Kok jadi ga nyambung ya brey?

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Hah..ngapain cuma di itrah? Roadshow dong, setiap kota dan basis kita buat! Tentunya setelah ustadz SA melakukan dan menyampaikan tabayun, apakah mungkin...??? Bukankah ustadz SA itu tokoh fiksi, mana mungkin akan terjadi panel.

Kalau dia di panel, ya mustahil yang dipanel adalah SA. Bukti bahwa yang di panel adalah SA apa.

=========================

Kok bisa dua-duanya ga nyambung nih.

Azmy Alatas: Yang saya maksud diskusi antara antum berdua dengan tim Ithrah Institude, saya ga bilang ada ustadz SA-nya.

Ongen Amq: Man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu. Mudah-mudahan bisa tau diri masing-masing aja.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Ya sama lah..ga penting situ tau ana bukunya atau enggak, yang pasti di hal.269 paragraf terakhir tertulis:

4. Imam Ahmad meriwayatkan hadis berasal dari Jabir bin Samurah tentang dua belas khalifah/ amir....dan seterusnya.

Silakan dicek...hehehehe...pisss..

;-D

Andika Karbala: Mas Surya di balik akun walaupun nama disamarkan bukan berarti tanpa tanggung jawab. Saya jadi saksi bahwa Ustadz- SA adalah seorang terpelajar yang selalu berhujjah dengan dasar ilmu bukan hujatan dan cacimaki dengan kata kotor tanpa dalil. Justru saya melihat orang yang kata-katanya kotor itulah yang bodong karena tidak sadar bahwa setiap ucapannya walaupun di dunia maya ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Saya sependapat dengan Ustadz-SA bahwa Imamah itu merupakan Usuludin dalam keyakinan Syi’ah kalau ada pihak Syi’ah yang meragukan kemakshuman Imam as, lah.. apalagi yang kita banggakan bagaimana kita bisa meyakini marja/ulama kita padahal ulama itu wakil dari Imam Mahdi afs. Ini bukan masalah benci atau tidak benci, hasad atau tidak hasad tapi masalah Usuludin dalam keyakinan kita.

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Ajiiibb...antum mau panel ana dan Surya Hamidi yang tidak terkait dengan bagaimana buku SMS itu terbentuk?

Tujuannya apa?

Apakah tim itrah tidak bisa mengundang tim ABI?

Bukankah antum-antum di sana butuh kejelasan maksud dari buku SMS tersebut?

Atau punya tujuan lain?

Said Hasnizar: Azmy Alatas, Saya hanya menyampaikan saran teman.

Azmy Alatas: Andika Karbala, Emang menurut SMS bukan ushuludin.... Atau menurut arahan dari penjelasan ustadz atas nukilan tersebut sehingga anda berpersepsi bahwa dalam SMS imamah bukan ushuludin? Hehehe...

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Tanya sama Hendy Laisa itu yang dekat dengan orang-orang ABI untuk bisa mempertemukan itrah sama ABI... Hahaha.. Jangan repot-repot..

Said Hasnizar: Azmy Alatas, Mungkin teman itu bermaksud baik dengan mengajak anda dan om Surya Hamidi buat diskusi. hemmm

Hendy Laisa: Nih ada saran nih, saya ga ngerti yang ginian.. Maaf saya mau istirahat. Salam.

SatriaPmlg: Bikinaturanitugampang,,yangsusahitusportifitasdalammelaksanakannya,,,,,khusus buat ,,bang azmiy,,afwan akhiy,,,,

Sang Pencinta: Saya tidak suka menulis ini, tapi karena bahasa ikhwan yang satu ini sudah tidak normal lagi, maka terpaksa saya tulis, ‘Apakah ia pernah bertanya pada Tuan Guru Sinar Agama di wall kami tentang hukum waris’. Kok bisa orang yang dikatai ‘sampah’ dijadikan tempat bertanya!!!. Raksyih. Memang ketika emosional, daya hewaniah membalut akal, maka kebencian begitu mudah menyambar.

Kamal AvicenNa: Jadi betul kalau orang sedang terbawa emosional terlihat sperti orang bodoh..

Sang Pencinta: Perlu dicatet, apa-apa yang terpampang di sini akan kami dokumentasikan sebagai arsip dan khalayak luas ratusan bahkan ribuan pasang mata bisa menyaksikan..

Azmy Alatas: Satria Pmlg, Sudah dibuka halaman bukunya?

Azmy Alatas: @satria pmlg: Anda kasih dong teguran ke akademisi yang sudah puluhan tahun belajar... tapi ga paham gimana kritik ilmiah itu berlaku....

Ini lagi kritik ilmiah atau galang umat buat sepaham sana subyektifitas seseorang? Hehe..piss

Hendy Laisa: Azmy Alatas, Bener-bener gagal paham ckckckck ahsan antum gak usah komen lagi.

Azmy Alatas: Hendy Laisa oh... Hahahaha...

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Oh, antum minta di panel diskusi sama ana? Emang nya elu siapa, dan ane siapa? Tujannya kan bredel buku? Anu, bukannya antum punya kontak orang-orang ABI ya?

Kenapa itrah tidak berani datangkan tim ABI sekalian sebagai narasumber, entar Sinar Agama pake teleconference ya juga gapapa seperti yang biasa dilakukan temen-temen via onlen..... tapi ahsan datengkan Sinar Agamanya entar dipakein topeng biar ga ketauan, ...ada fulusnya kan?!

Hehehe...piss...

Hendy Laisa: Azmy Alatas,

Ali Assegaf sedang saya coba undang ABI dari salah satu ormas NU dan semoga mereka diberi hak bicara ... tidak boleh kita dzalim padanya ... walau ormas dzalim ABI tidak berlaku keadilan ...

Ada bentuk yang jelas ... semoga punya rasa malu itu ormas ABI ... tidak terputus rahmat ALLAH yang menyeretnya pada golongan yang dikutuk ALLAH SWT.

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=854952831222354&set=a.427089434008698.120077.100001229357851&type=1