Senin, 08 Oktober 2018

Filsafat Kesempurnaan



Seri Tanya Jawab Ustad Sinar Agama

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:04


ENg’guh Al Ghifari: Salam ustadz, afwan sebelumnya, begini ustad saya dapat pertanyaan dari teman saya, pertanyaan seperti ini ustad: sempurna: 

  1. Tuhan itu Maha Sempurna?
  2. Manusia itu makhluk yang sempurna?
  3. Islam itu agama yang sempurna? 

Dengan apa untuk membuktikan bahwa sempurna itu dapat di ketahui? Apakah sempurna itu perlu adanya proses? Syukron ustad. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Sempurna itu adalah pemahaman yang jelas alias badihi. Karena itu maka kalau seseorang tidak paham akan arti sempurna, maka ia tidak akan bertanya “Dengan apa untuk membuktikan sempurna itu dapat diketahui?” Yakni kalau makna pertanyaannya adalah bagaimana mengerti sempurna. Nah, kalau pertanyaannya adalah demikian, yakni dengan apa mengerti sempurna? Maka jawabannya adalah apa sempurna yang anda tanyakan? Artinya anda mengerti tentang sempurna itu atau tidak? Kalau tidak mengerti berarti anda bertanya tentang sesuatu yang tidak ditanyakan. Misalnya saya bertanya tentang Z, tetapi karena saya tidak membayangkan apa arti Z itu sama sekali, maka saya bertanyanya seperti bertanya di kala tidur. Yakni tidak mengerti dan membayangkan apa yang ditanyakan. 

Akan tetapi kalau maksud pertanyaannya adalah dengan apa membuktikan kesempurnaan Tuhan, manusia, agama dan semacamnya, maka berarti kita sudah mengerti dan membayangkan apa arti sempurna itu. Karena itu, jawaban pertamanya, sebagai mukaddimahnya, adalah bah- wa sempurna itu adalah tidak memiliki kekurangan. Akan tetapi ketidak pemilikan terhadap kekurangan itu harus sesuai dengan derajat dan keberadaannya sendiri. Artinya sesuai dengan jati dirinya. 

Karena itulah maka dalam Islam atau Qur'an, dikatakan bahwa Tuhan itu Sempurna, dan Semua makhluk (bukan hanya manusia) adalah sempurna. 

Bukti kesempurnaan Tuhan adalah di ilmu Kalam bab Tauhid. Silahkan merujuk ke sana. Intinya, karena semua keberadaan yang kita lihat ini adalah terbatas, maka semua memerlukan kepada sebab yang tidak terbatas, baik langsung atau tidak. Karena kalau tidak ada sebab yang tidak terbatas, maka semua keberadaan adalah terbatas. Dan kalau demikian maka semuanya memiliki awal dan akhir dimana sebelum permulaannya itu, semua keberadaan ini adalah tidak ada. Kalau demikian halnya, maka dari mana keberadaan ini, sementara semuanya pernah tidak ada, dan tidak ada keberadaan yang selalu ada yang, berarti tidak memiliki batasan awal dan akhiran. Dengan demikian dapat diketahui dengan yakin, yaitu dengan adanya kenyataan wujud terbatas ini, maka berarti ada wujud yang tidak terbatas yang telah menyebabkannya. 

Dengan demikian kesempurnaan Tuhan adalah ketidak terbatasannya dan ketidak pemilikanNya terhadap apapun kekurangan. 

Dan karena perubahan pada DiriNya, rangkapan pada DiriNya, ketidaktahuan, kebakhilan, ketidak adilan, kelupaan, kengantuan, kelengahan, kebosanan, kelelahan, kebendaan, kedilangitan, kedi’arsy-an, .....dan seterusnya adalah bentuk-bentuk keterbatasan, maka Tuhan bersih dari semua itu. Itulah makna kesempurnaan Tuhan. 

Tentang kesempurnaan semua makhluk, adalah bahwa Tuhan yang tidak terbatas itu, tidak mungkin mencipta apapun dengan yang tidak utama. Karena kalau masih ada kucing yang lebih hebat dari kucing yang ada ini, begitu pula pohon pisang, pohon jagung, air, manusia, ular.... dan seterusnya tapi Tuhan tidak menciptakannya, berarti Tuhan yang tidak menciptakannya itu bisa karena kikir, bakhil, tidak tahu, lengah, takut disaingi, takut merusak, takut ini dan itu ...dan seterusnya dimana semua hal itu bertentangan dengan hakikat DiriNya Yang Tidak Terbatas itu. 

Begitu pula tentang agamaNya. Tentu saja setelah kita sudah yakin bahwa agama itu atau madzhab itu adalah agamaNya dan madzhabNya. 

Tentu saja, kesempurnaan itu harus yang benar-benar sempurna. Artinya, kesempurnaan yang sesuai dengan eksistensi dan hikmah dari eksistensinya itu. Inilah qadar yang tidak bertentangan dengan ikhtiar dan agama. Yakni qadar yang ada pada setiap esensi suatu eksistensi atau pada setiap species. Misalnya, kesempurnaan api adalah membara dan membakar dan mati kalau terkena air. Kesempurnaan air adalah cair, mendinginkan tenggorokan dan menguap kalau terkena panas. Kesempurnaan badan manusia adalah tumbuh dengan natural dan luka terkena pedang yang tajam. Begitu seterusnya. Yakni kesempurnaannya itu sesuai dengan takaran atau qadar keberadaannya yang sesuai dengan hikmah penciptaannya. Karena itu kalau leher manusia tidak tertebas pedang, maka leher itu tidak sempurna. 

Agama juga demikian. Yakni kesempurnaannya harus kesempurnaan. Yakni harus sesuai dengan jaman diturunkannya. Karena kalau tidak, berarti kesempurnaan itu menjadi kehinaan. Seperti anda mengajar filsafat kepada anak TK. Atau menyuruh anak TK untuk puasa dan berjihad di jalan Allah dengan membawa pesawat tempur. 

Kesempurnaan-kesempurnaan yang ada di makhluk Tuhan itu, semuanya bisa menyempurna lagi kecuali kalau non materi dengan sebab yang sudah dijelaskan di ilmu filsafat dan ada juga di catatan-catatanku yang entah berjudul apa (bisa dicari di ruang catatan). Semua kesempurnaan yang ada pada setiap makhluk yang juga mengandung unsur materi ini, masih menyempurna lagi. Dan penyempurnaan selain manusia adalah menjadi manusia. Dan kesempurnaan manusia bisa terus melanglang ke derajat sebab, dari sebab dekat kepada sebab yang lebih jauh, dan begitu seterusnya sampai kepada Akal-satu dan Asma-asma Allah, seperti yang sudah sering dijelaskan di irfan. 

Dengan demikian maka kesempurnaan yang naturalis berproses sesuai dengan alamiahnya. Karena ia datang dariNya secara proses. Maka itu sudah tentu dengan proses (tentu selain non materi). 


Dan kesempurnaan yang alami ini masih bisa berproses untuk menyempurna lagi. Kalau penyempurnaan dari kesempurnaan selain manusia kepada manusia, maka juga melalui proses alamiah. Sedang kesempurnaan alamiah seperti manusia, yang masih bisa berproses untuk menyempurna selama masih dengan badannya, maka di sini prosesnya adalah ikhtiari alias bukan natural lagi. 

Agama juga berproses seiring dengan proses perkembangan daya pikir dan daya tangkap serta potensi aplikasinya yang ada pada manusia secara sosial. Tentu saja juga merupakan proses dari awal turunnya sekalipun. Jadi dari awal turunnya sudah dengan proses, seperti dari Tuhan ke materi, seperti proses yang ada pada calon penerima pertamanya yakni rasulnya (karena tanpa potensi ikhtiari manusia tidak bisa menjadi rasul utusan), begitu juga proses dari umat yang mau menerimanya. 

Kesimpulan:
Kesempurnaan itu adalah tidak adanya kekurangan. Akan tetapi ketidak adaan kekuarangan ini harus sesuai dengan ekstensinya masing-masing. Kalau ekstensinya tidak terbatas, maka kesempurnaannya adalah tidak adanya kekurangan apapun sekalipun perubahan. Dan kalau terbatas alias terqadar, maka sempurnanya adalah tidak adanya kekuarangan sesuai dengan qadarnya itu. 


Wassalam. 


Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Khommar Rudin dan 4 lainnya menyukai ini 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 


8 Juli 2012 pukul 10:22 · Suka




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Krisis Kepemimpinan, Kemakmuman, Kemanusiaan, Akal, Agama dan Keadilan

Krisis Kepemimpinan, Kedipimpinan/ kemakmuman, Kemanusiaan, Akal, Agama dan Keadilan



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:00


Bintang Ali: Salam ustadz, 

Beberapa waktu belakangan ini saya melihat (dengan subjektif) bahwa setiap negara memiliki ujiannnya masing-masing, seperti negri Palestina diuji dengan penjajah zionis, Iran diuji dengan Amerika + kacung-kacungnya, Indonesia diuji dengan inkompetensi kepemimpinan negara (KKN) dan bencana, Jepang diuji dengan gempanya, dan lain-lain. 

Khusus untuk Indonesia ustad, apa yang mesti dilakukan/tidak dilakukan secara sosial dan individu untuk lulus ujian?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Untuk mengerti ujian dan harganya serta jalan keluarnya, maka kita mesti tahu dulu apa itu manusia dan kemanusiaan serta tujuan atau hikmah penciptaannya. Karena tanpa itu, maka nantinya akan merasa sejajar semuanya hanya gara-gara sama-sama dapat ujian. 

Misalnya ujian bobroknya sosial dan lingkungan seperti negara kita ini disamakan dengan ujian zionist dan seterusnya. Padahal bedanya seperti langit dan dasar lautan. 

Petaka yang menimpa itu, bisa berupa hukuman dan bisa berupa ujian murni. Yakni kapan saja musibahnya itu merupakan hasil dari kerja-kerja kita, maka itu adalah hukuman. Bobroknya sosial kita, itu adalah petaka yang ditimbulkan oleh tangan kita sendiri, jadi ia adalah hukuman dan azab. 

Tentu saja untuk sebagian orang yang tidak bobrok sekalipun memiliki kemampuan untuk bobrok (sebab ada yang tidak bobrok karena belum ada fasilitasnya), dan kalau sudah beramar makruf dan nahi mungkar, maka petaka itu baginya adalah ujian, bukan hukuman. Tetapi kalau ketidakbobrokannya itu karena belum punya fasilitas, dan/atau tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar, maka semua petaka yang menimpanya adalah bala’ dan hukumannya juga. 

Bagi saya KKN bukan problem terbesar bangsa Indonesia, sekalipun termasuk besar. Yang terbesar bagi saya adalah kepotensian bangsa secara umum untuk itu. Artinya, secara umum (yang pasti ada kecualinya) bangsa kita memang punya potensi untuk tidak benar seperti itu. 

Bukti nyatanya, adalah kerilekan dan bahkan kecenderungan menerima kesalahan atau kebobrokan orang atau diri sendiri. Orang tua –misalnya- baru akan marah tentang pergaulan anak perempuannya kalau sampai hamil. Tetapi di bawah itu, sepertinya, sudah tidak ada lagi yang menolaknya. Seperti anak perempuan keluar sendiri, sekolah campur, teman campur, kuliah campur, budaya amburadul, musik tidak karu-karuan. dan seterusnya sudah tidak ada lagi yang jangankan marah, nolak saja sudah tidak ada. 

Dulu, di jaman Jahiliyyah Arab, serusak apapun, kejujuran masih disanjung tinggi. Di Indonesia coba, maka pasti dikatakan bodoh (misalnya menjual barang dan menceritakan keburukan yang ada pada barangnya, atau duduk di DPR tetapi tidak melakukan apapun, baik untuk rakyat yang ada di luar atau dalam partainya sendiri). Karena itu, orang lain dikatakan KKN, tapi mereka tidak merasa KKN, karena semua sudah mencari alasan dan apologi untuk dirinya sendiri. Artinya, budaya yang memang didasari potensi untuk rusak itu yang, telah dipupuk dengan kepenerimaan (bc: memaafkan) kebobrokan orang, semua itulah yang telah membuat kebatilan itu benar-benar tidak terasa batil dan bahkan terasa baik kalau sudah didapatkan apologinya. 

Misalnya juga, dalam profesi. Hampir semua profesi dijaga ketat kecuali agama. Karena itu, semua orang bisa jadi ustad hanya dengan pendidikan training, baca buku dan semacamnya. Semua sudah pada jadi pemikir dan pemecah masalah-masalah sosial dan keislaman, hanya bermodalkan semua itu. 

Nah, kepenerimaan bangsa kita ini terhadap semua itu, yang saya katakan problem terbesarnya. Artinya kenyamanan dalam hidup seperti itu, makan enak dan bisa tidur nyenyak dalam lingkungan seperti itulah, problem terbesar kita semua di Indoenesia. Info yang amburadul, ilmu yang simpang siur, Islam yang ampuun lebih simpang siur lagi (sunni dan syi’ahnya) hingga membuat Indonesia tidak pernah bisa melihat langit nan biru itu, semua itu, ditimbulkan dari hal- hal di atas tersebut. 

Nah, semua yang menimpa kita ini, adalah hasil tangan kita sendiri, bukan jajahan seperti zionist. Jadi, nilai petakannya justru membuat kita jatuh dari kemanusiaan, keadilan dan keislaman. Yakni tidak menjadi mulia karena ujian itu. 

Dan sudah tentu jalan keluarnya juga tidak ada. Tidak seperti kalau melawan Belanda dulu atau Israil sekarang. Kegelapan kita di Indonesi) ini, tidak ada jalan keluarnya. Karena ianya adalah perbuatan kita sendiri. 

Jalan keluar satu-satunya adalah bunuh diri secara massal. Yakni membunuh ego kita secara massal. Artinya meyakini dengan sepenuh argumentasi gamblang bahwa kita ini bukan hanya tidak memiliki kebaikan apa-apa, tetapi malah menjadi sumber bagi semua keburukan yang ada. 

Kalau hal ini bisa dilakukan, maka di masa datang masih ada harapan. Tetapi kalau tidak, maka selamanya kita tidak akan selamat. Bagaimana bisa menyelamatkan diri wong merasa selamat. Bagaimana bisa mengislamkan diri wong merasa dan meyakini dirinya Islam. Bagaimana bisa berjuang untuk keadilan wong merasa penegak keadilan. Bagaimana bisa berjuang untuk kemanusiaan wong merasa dirinya paling manusianya manusia. 

Percayalah, kalau Allah mengutus nabi ke negeri kita ini, maka nabi itu akan dibunuh tidak lebih dari sebulan setelah diutus. Artinya akan dibunuh oleh orang yang bertauhid, bukan oleh orang- orang kafir musyrik secara lahiriah. Artinya akan dibunuh oleh manusia yang merasa manusiawis, adil dan agamis. 

Beda halnya dengan bangsa yang memang jujur, tidak punya potensi untuk bobrok sekalipun punya fasilitas, maka biasanya ujian yang ada, datang dari luar. Mereka-mereka inilah yang dengan mendapat ujian, menjadi labih hebat dan lebih bermaqam tinggi. Dan jalan keluarnya juga ada dan jelas dan jauh lebih mudah. Karena yang dikorbankan bukan harga dirinya, tetapi harta dan nyawanya. Beda halnya kalau yang harus dikorbankan itu adalah ego dan harga dirinya serta kemerasatahuannya. Dan sudah tentu, manakala ego dan kemerasatahuan dan hebatannya tidak mau dikorbankan untuk kemanusiaan, keadilan dan agama, maka sudah pasti harta dan nyawanya juga tidak akan pernah dikorbankan. 

Di Indonesia, banyak juga yang ingin berjuang, ingin jadi adil dan agamis. Tetapi keinginannya itu, karena dasar-dasar kehidupannya seperti di atas itu, maka keinginannya hanya perasaanis hewanis, bukan manusiawis dan aklis. Artinya hanya keinginan perasaan seperti ingin makan bagi yang lapar. Artinya tidak ingin secara hakiki dan kenyataan atau secara filosofis. Karena itulah, hampir seluruh kehidupannya hanya berkisar di perut dan syahwatnya. Artinya hanya berkisar di fasilitas kehidupannya. Artinya, selalu berusaha supaya bisa hidup nyaman –sekalipun dalam sosial seperti itu? Oh Indonesiaku. 

Bintang Ali: Waduh ustadz,, repot juga ya kalau begini, kalau semua orang udah ‘’paling merasa”. Tetapi apa mungkin membunuh ego dari orang yang “paling merasa”?? Seperti tidak ada jalan keluarnya ustad, jadi ini hukuman seumur hidup dong ustad ? 

Sinar Agama: Jadi, sebenarnya Tuhan tidak pernah mengeluarkan panas, hukuman, sakit dan seterusnya, tetapi berpaling dariNya itulah yang dikatakan hukuman dalam berbagai jenis dan tingkatannya. Akan tetapi karena sistem itu ada dalam sistemNya, maka dari sisi itulah Dia menisbahkan atau menghubungkan semua itu kapadaNya, seperti menyesatkan, mengazab dan seterusnya. 


Bintang Ali: Satu lagi ustadz,, secara individu, jika ujian/cobaan/masalah/kesulitan yang ditimpa- kan kepada seseorang namun tiap orang tersebut berusaha mencari solusi dari cobaan (keluar dari masalah) itu merasa sangat kesusahan dalam mencari solusi (penyelsaian) bahkan selalu mandeg dan mandeg lagi apakah bisa dikatakan cobaan/ujian ini adalah ujian yang dikatakan para aimmah sebagai ujian penghapus dosa dosanya di masa lalu? 

Sinar Agama: Kalau ujiannya itu dari tangan kita sendiri, maka dosa itu tidak bisa dihapus seluruhnya, apalagi dosa yang kita lakukan itu merupakan dosa yang dibanggakan. Jadi petaka yang datang di dunia adalah mukaddimah bagi petaka akhirat. Tetapi kalau dosanya dilakukan dengan sedih, yakni dalam kesinambungannya itu merasa sedih, maka mungkin saja petaka yang datang itu dapat mengurangi dosanya, tetapi tidak terhapus karena memang dilanjutin oleh dirinya sendiri.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 06 Oktober 2018

Raj’ah



Seri pengulangan Sinar Agama
by Sinar Agama on Friday, January 4, 2013 at 2:51 pm 





Sinar Agama, 21 Oktober 

Tentang Raj’ah 

Raj’ah adalah kembalinya manusia tertentu ke kehidupan dunia setelah matinya. Artinya, setelah ia mati, maka dia hidup kembali di dunia ini, baik lama atau sebentar. Semua itu dengan ijin Allah. 


Raj’ah ini banyak sekali terjadi baik di manusia sebelum Islam kita ini, atau setelahnya. 

Yang mengimani Raj’ah ini tidak hanya Syi’ah, Sunnipun mengimaninya karena ia merupakan ajaran Qur'an dan hadits. Artinya, Sunnipun mengimani terjadinya itu. Akan tetapi, mungkin saja mereka tidak percaya kalau nanti akan terjadi di jaman keluarnya imam Mahdi as

Qur'an dan hadits-hadits yang sangat mutawatir secara makna dari kalangan Sunni, membuat Raj’ah ini tidak bisa diingkari. Tafsir-tafsir dan hadits-hadits Sunni penuh dengan masalah Raj’ah ini. Tentu saja, tentang Raj’ah yang akan terjadi nanti di jaman imam Mahdi as, mungkin tidak diyakini mereka. 

Contoh Raj’ah di masa lampau seperti: 


(a). 70 orang dari shahabat nabi Musa as. yang diazab Tuhan degan halilintar dan mati seketika. Lalu Tuhan menghidupkannya kembali atas permintaan nabi Musa as. Bisa dilihat di semua terjemahan dan tafsir Sunni (QS: 7:155).

(b). Ribuan orang dari Bani Israail, yang dimatikan Tuhan lalu mereka dihidupkan kembali olehNya. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja terjemahan Depag, di surat al-Baqarah ayat ke 243 yang berbunyi:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka: ‘Matilah kamu’, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”

Terjemahan ini adalah asli di tafsir depag. Di bawah dijelaskan, bahwa sebagian ahli tafsir mengartikan mati sungguhan dan sebagian lainnya sebagai mati semangat. Tentu saja, tafsiran ke dua ini adalah mengada-ada. Karena sudah keluar dari makna lahiriah dari kata “mati”. Sementara mati dan hidup lagi, tidak ada repotnya bagi KuasaNya. Jadi, tidak bertentangan dengan akal dan Qur'an. Apalagi Qur'an juga menceritakan hidup lagi dari yang lainnya dalam Qur'an. Jadi, penakwilan ke “mati semangat” itu adalah takwil yang melawan lahiriah. 

Anggap saja, boleh menakwil seperti itu (dimana hal ini keluar dari lahiriah yang biasanya tidak diperlukan dan kadang tidak boleh kalau tanpa sebab), tetapi jelas dikatakan oleh penafsir dengan mati sungguhan. 

Dengan penjelasan ini, maka hidup lagi di dunia ini, sebelum hari kiamat yang dalam bahasanya sekalipun dikatakan Raj’ah, adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan akal dan Qur'an. 

(c). Dalam Qur'an surat Baqarah ayat 259, diterangkan tentang satu orang yang dimatikan Tuhan, lalu dihidupkannya lagi setelah seratus tahun. Dalam riwayat dikatakan bahwa nama orang itu adalah ‘Uzair. Dalam ayat yang panjang itu, Tuhan bukan hanya me-Raj’ahkan dia, akan tetapi juga keledainya. 

(d).    Saam bin Nuh as yang dihidupkan oleh nabi Isa as setelah berabad-abad. 

(e). Orang yang terbunuh dan dihidupkan lagi di jaman nabi Musa as, dimana Tuhan mengatakan dalam Qur'an bisa dihidupkan dengan memukulkan daging dari sapi yang dipotong mereka yang disuruhkanNya kepada mereka itu dimana sifat-sifat sapinya itu begitu detail ditanyakan orang-orang Yahudi sampai-sampai hampir tidak mendapatkan yang sesuai. 

Walhasil, Raj’ah itu hal yang umum. Namun yang kurang umum dibahas dan diimani, adalah Raj’ah di jaman keluarnya imam Mahdi as nanti dimana orang yang sangat baik dan buruk akan dibangkitkan. Hingga yang baik dapat membantu imam Mahdi as. dan yang buruk dikalahkan imam Mahdi as. 


(f). Walhasil banyak sekali orang mati yang hidup lagi, di masa lalu atau setelah Islam. Di riwayat- riwayat Sunni banyak sekali riwayat orang hidup setelah mati di masa Islam ini. 

Wassalam. 


24 people like this. 

Ali Assegaf: Salam di atas disebutkan Raj’ah terjadi pada sebelum nabi Muhammad saww, dan juga setelahnya dan disebut hal umum. Apakah ada catatan yang menunjukan setelah Rasulullah saww hal ini? Tentu bukan di zaman akhir nanti... mohon sedikit menjelaskan 1 hikmah raj’ah di zaman sebelum Islam dan setelah Rasul... mengingat raj’ah bukan sekedar perbuatan Allah menghidupkan tanpa tujuan bermakna.. Syukron. 

Sinar Agama: Ali: Hikmah pastinya hanya Allah yang tahu. Tapi dilihat dari berbagai ayat dan tafsiran para mufassir atau keterangan para ulama, maka hikmah dari berbagai peristiwa itu bermacam-macam. 

Misalnya, yang dilakukan oleh nabi Isa as yang berulang-ulag itu, demi menguatkan imannya umat pada waktu itu, baik iman pada Alllah atau pada hari kebangkitan. Yang terjadi pada ashhaabu al-kaafi itu, untuk menguatkan hari kebangkitan yang sudah mulai diingkari pada jaman tersebut. Begitu pula untuk menguatkan iman umat pada Tuhan itu sendiri. 

Yang terjadi pada 40 orang shahabat nabi Musa as itu, supaya mereka tidak kurang ajar lagi kepada Allah dengan mengatakan bahwa mereka ingin melihat Allah dengan mata. 

Yang terjadi pada orang yang melewati dusun yang sudah hancur itu, yang kemudian dibangkitkan lagi setelah 100 th, untuk menguatkan iman dia sendiri dan, penceritaannya dalam Qur'an, supaya menguatkan iman kaum muslimin bahwa kebangkitan itu adalah hak dan benar. 

Sedang yang akan terjadi nanti, bisa saja, untuk menguatkan bukti keimaman imam Mahdi as. Menegakkan keadilan bagi para pengejek Islam selama ini (karena sebagian yang akan diraj’ahkan itu, adalah para penjahat besar, tentu semua ini, yakni detail-detail raj’ah dimasa datang, kalau haditsnya shahih dan maknanya sesuai zhahirnya). 

Sebastian Ali: Syukron ya Ustadz atas penjelasannya. 

Alam Di Keremangan: Salam ya Ustadz, afwan, kira-kira menurut pandangan antum atau pandangan yang pernah diberitakan oleh para aimmah as, siapa sajakah penjahat besar yang mungkin akan di raj’ahkan nantinya di masa Imam Mahdi as? Afwan ya Ustadz, Syukran. 

Sinar Agama: Ahsan kita sabar saja menunggu hal itu, kita serahkan padaNya. 

Ibnu Samsuddin: Penjelasan yang lugas dan sangat bermanfaat.... 

January 14 at 3:04 am


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Bada’ (Perubahan)



Seri pengulangan Sinar Agama 
by Sinar Agama on Friday, January 4, 2013 at 2:47 pm



Sinar Agama, 21 Oktober 

Tentang Bada’ oleh: Ustadz Sinar Agama Seri 1 


Bada’, secara bahasanya adalah “tampak”, “nyata” dan “lahir”. Dan secara istilah dalam bahasanya, adalah “Merubah rencana di tengah jalan setelah tampak dan nyata”. 

Tetapi dalam istilah ilmu Kalam, adalah merubah ketentuan dari sesuatu yang sudah ditentukan. Misalnya, ketika seseorang itu melakukan dosa, maka ditentukan dan ditulis oleh Allah melalui malaikatNya sebagai “Pendosa” dan sebagai “Yang terazab”. Tetapi kalau nanti orang itu bertaubat, maka ketentuan tadi dirubah menjadi “Yang bertaubat” atau “Masuk surga”. Atau misalnya, seseorang karena dosanya, Tuhan ingin memperingatkannya dengan petaka. Tetapi karena dia bertaubat, atau melakukan kebaikan lain, seperti sedekah, shalawat pada Nabi Saww dan Ahlulbaitnya as dan semacamnya, maka Tuhan tidak jadi memperingatkannya dengan petaka itu. 

Yang harus diketahui, bahwa keyakinan akan bada’ ini, adalah keyakinan yang sebenarnya bukan hanya Syi’ah yang punya, tetapi semua muslimin mempercayainya. Karena dalam Qur'an (13: 39) dikatakan: “Allah menghapus dan menetapkan yang dikehendaki dan Dia memiliki ummulkitab lauhulmahfuuzh.” 

Akan tetapi, karena hal itu sering dibahas dalam Syi’ah dalam judul Bada’, dan secara peristilahan bahasanya adalah merubah rencananya atau ketetapan yang dikarenakan pengetehuan yang baru, maka seakan-akan makna Bada’ secara istilahnya itu, menjadi kekhususan Syi’ah. 

Karena itu yang harus diketahu juga, adalah bahwa semua perubahan-perubahan itu, sudah diketahui oleh Allah swt sebelum perubahannya dan bahkan sebelum alam ini diciptakanNya. Karena itulah Allah menjelaskan dalam ayat di atas itu, bahwa Dia juga mememiliki ummul kitab. 

Jadi ada dua kitab, ada kitab yang berubah-rubah yang biasa disebut dengan kitab Qadha dan Qadar. Dan ada juga kitab yang induk/ibu/ummu, yaitu yang tidak berubah yang biasa disebut degan lauhu al-mahfuuzh. Artinya ada tulisan-tulisan yang berubah-ubah, yakni yang seiring dengan perjalanan manusia dan ikhtiar dan usahanya. Ada yang tidak berubah, karena sudah ketahuan apa hasil akhirnya. 

Sudah saya jelaskan tentang ke-Adilan Tuhan dalam catatanku yang berjudul “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syiah” bagian kedua, bahwa semua tulisan itu bukan berarti menakdirkan kita (determinist/jabariah) manusia. Artinya, baik tulisan di kitab Qadha’ dan Qadar itu atau tulisan yang ada di kitab lauhu al-mahfuuzh itu, semua itu, bukan menulis apa-apa yang kita tidak lakukan dan pilih. Artinya, tulisan-tulisan itu, walaupun ditulis sebelum penciptaan, akan tetapi bukan tanpa dasar dari perbuatan manusia. Artinya, Tuhan hanya menulis apa-apa yang Dia ketahui tentang pilihan dan perbuatan kita. Artinya, kitab-kitab itu sebenarnya adalah tingkatan ilmu-ilmu Tuhan yang dijaga oleh malaikat sesuai dengan tingkatannya. 

Ilmu yang ada di tingkatan Qadha dan Qadar, tidak meliputi semua pilihan manusia dan apalagi pilihan akhirnya. Dia, atau ilmu itu, sesuai dengan perjalanan hidup dan ikhtiar masing-masing manusia. Katakan ilmu yang dimiliki malaikat Raqib dan Atid. Tetapi ilmu yang ada di tingkatan ‘Arsy atau lauhu al-mahfuuzh, maka ia lebih tinggi dan dijaga oleh malaikat yang lebih tinggi pula. Ilmu yang ada di sana adalah detail sampai ke pilihan akhir manusia dan bahkan surga nerakanya. 

Dari keterangan di atas itu, maka sudah jelas bahwa nasib dan takdir yang umum dipahami banyak orang khususnya di Sunni yang bahkan dijadikan rukun iman ke enam itu, tidak ada dasar Qur'an dan haditsnya, serta sesuatu yang diada-adakan. Karena kalau semua sudah ditentukan Tuhan, lalu agama ini buat apa diturunkan? Lalu buat apa kita berdebat dan beramar makruf dan nahi mungkar? Toh yang ditentukan selamat dan terhidayahi maka akan demikian walau tanpa ceramah, dan yang sebaliknya pasti sebaliknya walau diceramahi dan dikader. 

Lihatlah detailnya di catatan yang disebut di atas itu. 

Jadi, penulisan itu tidak lain adalah ilmu Tuhan tentang apapun yang akan kita pilih dan lakukan, bukan penentuanNya. Baik tentang jodoh, rejeki, iman, umur....dan seterusnya. 

Bersama Zaranggi Kafir dan 19 lainnya. Wassalam.


Bahasan Susulan: 

Tentang Bada’ Oleh: Ustadz Sinar Agama Seri 2 


Tentang Bada’ sepertinya saya sudah menjelaskannya dulu. Intinya, adalah perubahan ketentuan Tuhan yang seiring dengan keadaan hambaNya. Misalnya, ketika orang berbuat dosa, maka ia ditetapkan olehNya sebagai pendosa. Tetapi ketika orang itu bertaubat, maka ketentuanNya tadi dirubah menjadi taubat dan dihapus dosanya atau bahkan dosanya dirubah menjadi pahala. 

Misalnya, ketika seorang berusaha dari jelek ke baik, maka efek-efek jeleknya yang tadinya merupakan ketetapannya akan dirubah menjadi ketentuan-ketentuan lain. Misalnya, bagi pemalas, maka fakir adalah ketentuannya. Jadi, si Fulan yang malas, maka ia pasti miskin (tentu malah yang kondisinya memang ke miskin, bukan malas tetapi punya warisan ribuan perusahaan). Tetapi ketika ia berubah menjadi rajin dan gigih serta profesional, maka Tuhanpun akan merubah ketentuanNya kepada kaya dan semacamnya. 

Sebenarnya bada’ itu adalah ijin Tuhan terhadap usaha-usaha manusia dan perubahan- perubahannya dari satu kondisi ke kondisi tertentu dimana bisa melahirkan akibatnya sendiri- sendiri. Jadi, Tuhan tidak pernah menentukan nasib manusia dari awal. Tetapi dari kondisi sosial setiap manusia yang lahir dari manusia sebelumnya itu adalah sebagai awal kondisi dia yang akan melahirkan akibatnya sendiri. Jadi, kondisi asal atau fitrahnya setiap orang, ditentukan oleh ikhtiar manusia lain, seperti ayah-ibu dan lingkungan mereka. Misalnya, ayah-ibunya koruptor dan negara Indonesia yang seperti ini, maka si Fulan bayi itu akan terkondisikan oleh ikhtiar yang berupa keadan tersebut. 

Jadi, ketentuan awalnya si Fulan bayi tersebut ditentukan oleh ikhtiar orang lain yang memang logis alami. Jadi, Tuhan mengijinkan si Fulan bayi untuk lahir sesuai dengan ikhtiar kedua orang tuanya. Di sini, Tuhan tidak menentukan si Bayi tadi, tetapi hanya mengijinkanNya lahir atas usaha kedua orang tuanya. Inilah yang dikatakan ketentuan awal Tuhan. 

Sudah tentu ketika seseorang lahir di keluarga koruptor dan selalu makanan haram rakyat, dan kondisi pergaulan seperti di Indonesia ini yang sudah tidak perlu dibahas lagi dimana pacaran di dalam aktifis Islam saja sudah merupakan hal-hal yang wajar dan tidak aib, maka sudah tentu ia akan menghadapi pemandangan batil. 

Ketika si anak mulai dewasa, maka sudah pasti gen, keluarga dan lingkungannya, akan sangat memberikan pengaruhnya yang, bisa dikatakan dengan was-was syaithan (jin dan manusia). Nah, kalau dia tidak menggunakan akal gamblangnya dan bahkan mengikuti was-was atau pengaruh itu, maka ketentuan dia sudah pasti ke dalam kesesatan yang nyata. Yaitu memandang bahwa koruptor itu tidak jelek (ini dari sisi ilmunya sebagai akibat dan kesesatan awal yang sangat menentukan berikutannya), pacaran itu tidak jelek. Setelah ilmu yang dia ikuti ini perasaanis dan bukan akalis, maka sudah tentu dia akan meneruskan kepada akibat berikutnya, yaitu melakukannya sendiri. 

Semua akibat-akibat dari pilihan yang ikhtiari (baik dari lingkungan atau diri sendiri) itulah yang dikatakan ketentuan Tuhan yang, sebenarnya adalah Ijin Tuhan. 

Jalan naturalis, baik individualis atau sosialis itulah yang dikatakan ketentuan awal. Alias jalan normal. 

Namun demikian, ketika si anak tadi melakukan perubahan, ia mulai mengikuti akal gamblangnya dan meninggalkan perasaannya atau akal yang bercampur perasaannya, dan memulai dengan usaha-usaha yang bersifat pilihan-pilihan ikhtiari yang lain yang lebih baik atau mutlak baik, maka sudah tentu akan melahirkan ketentuan lain yang juga lebih baik. 

Nah, perubahan dari rel pertama ke rel kedua itulah yang dikatakan bada’ atau Perubahan Ketentuan Tuhan. Tentu saja, masih banyak lagi bentuk bada’, seperti perubahan perintah Tuhan kepada nabi Ibrahim as dari perintah menyembelih anak ke kambing ...dan seterusnya dimana penjelasannya banyak sekali, seperti untuk ujian dan sebagainya. Yang jelas, kalau bada’ terjadi pada makhluk, biasanya tanpa disertai pengetahuan sebelumnya. Akan tetapi bada’ Tuhan tentu saja disertai pengetahuan sebelumnya dan bahkan sebelum alam ini dicipta. Namun, ruh dari ajaran bada’ ini sebenarnya ingin memberikan optimisme kepada manusia (yang gagal dan berdosa) agar hendaknya tidak pernah berputus asa atas rahmat Tuhan dan, dari satu sisi yang lain (bagi yang sukses dan taat) untuk tidak berlaku sombong dan terlalu percaya diri (hingga selalu hati-hati). Semua itu karena semuanya bisa terjadi perubahan. Tetapi bukan perubahan yang dirubahNya, melainkan perubahan yang kita lakukan sendiri. 

Kesimpulan: 
Ajaran Bada’ ini sebenarnya pengumuman Tuhan tentang luasnya kebebasan seorang hamba dalam memilih rel-rel kehidupannya, dan luasnya kesempatan yang diberikanNya untuk melakukan perubahan dan taubatan nashuuha. 


Bersama Artia Sari dan 18 lainnya. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Filsafat Laknat Allah



Seri Tanya Jawab : Bande Huseini dan Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra, pada 28 Juni 2011 pukul 20:56



Bande Huseini: Sinar Agama semoga antum dan keluarga selalu dalam perlindungan Allah swt dan antum tak bosan membimbing kami..ana mau tanya ustadz: Apa makna atau falsafah “laknat Allah atas orang-orang yang zholim “ dalam alqur’an atau di dalam ziarah asyuro..? afwan.. 

Sinar Agama: Bismillahirrahmanirahiim. 

Falsafah Laknat

Laknat dari bahasa Arab, yaitu La’ana yang berarti menjauhkan dari kebaikan. Jadi, laknat Allah kepada orang zhalim berarti menjauhkannya dari kebaikan. 


Dari penjelasan kata di atas, dapat diketahui, bahwa kepenjauhan orang zhalim dari kebaikan oleh Allah itu, jelas sebagai hukuman terhadapnya, bukan kesemena-menaanNya. Dan bahkan, tidak semua orang zahlim yang dilaknatiNya, tetapi yang sudah keterlaluan. 

Kalau dilihat dari kacamata filsafat, yakni hakikat atau niscayanya, maka hal itu sulit diterima akal yang sudah terdidik dengan ilmu-ilmu hakikat tersebut. Karena dalam hakikatnya, Allah adalah Zat yang sudah tentu tidak terbatas. Artinya, Dia tidak akan mengalami perubahan, baik dari ridha ke murka atau sebaliknya. Ini yang pertama

Yang ke dua, Dia yang sebagai keberadaan tidak terbatas itu, sudah pasti tidak akan memiliki kekurangan apapun. Karena itu, tidak mungkin Dia mengeluarkan gelap, sesat dan semacamnya. Jadi, bukan hanya tidak berproses atau berubah atau bereaksi atau berinteraksi. 

Mengapa yang tidak terbatas itu tidak berubah dan tidak mengeluarkan keburukan sama sekali? Karena kalau berubah, misalnya dari satu kondisi ke kondisi yang ke dua (seperti dari ridha ke murka), maka di dalam ZatNya akan ada bagian-bagian. Yaitu dari sini ke sana, atau dari kondisi itu ke kondisi yang ini dan semacamnya. Itu berarti di dalam ZatNya ada bagian-bagian. Dan kalau ada bagian-bagian itu, maka sudah pasti masing-masing bagiannya terbatas, karena masing-masing saling membatasi. Kalau demikian halnya, maka ZatNya merupakan kumpulan dan gabungan dari hal-hal yang terbatas. Dan kalau demikian, seluas dan sebanyak apapun rangkapan itu, hasilnya tetap akan terbatas. Dan kalau Tuhan terbatas, berarti memiliki awal dan akhir dimana sebelum awal pasti tidak ada. Dan kalau sebelum awal Dia tidak ada maka pasti diadakan. Dengan demikian Dia keluar dari keTuhanan dan masuk ke dalam golongan makhluk. Padahal Dia adalah Tuhan. 

Begitu pula kalau Tuhan memiliki kekurangan, seperti gelap, salah, sesat dan seterusnya. Karena ketika memiliki kekurangan jelas ZatNya menjadi terbatas. Dan kalau dmikian maka Dia memiliki awal dan akhir yang akhirnya berakhir pada kemakhlukanNya, bukan ke TuhananNya. Padahal 

Dia adalah Tuhan. 

Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa Tuhan adalah Zat yang tidak terbatas. Dan karenanya Dia hanya memiliki kesempurnaan dan tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Karena itu, Dia selalu menyinari, menghidayahi, menyantuni, merahmati dan seterusnya dan tidak pernah sebaliknya. 

Dengan demikian pahaman laknat, menyesatkan, murka dan semacamnya, harus dicarikan makna yang sepadan dengan ZatNya. Artinya, yang sesuai dengan kesucianNya yang tidak terbatas dan tidak terangkap itu. 

Pemaknaan yang paling tepat dalam hal ini, adalah bahwa sekalipun Tuhan selalumenyinari dan merahmati serta meberikan kebaikan, akan tetapi bukan berarti manusia ini dipaksa untuk menerimanya. Tentu selain kebaikan badani, seperti tubuh, sehat dan semacamnya. Kita kan sekarang lagi membahas akhlak dan prilaku. Jadi, fokus pembahasannya kepada moral manusia. Jadi kebaikan di sini yang berupa hidayah. 

Nah, hidayah ini, sekalipun tidak pernah putus dari sumbernya, yakni Allah, dan Allah juga tidak pernah mengeluarkan hal lain selain hidayah ini (bc: tidak pernah melahirkan dan mengeluarkan kesesatan), akan tetapi tergantung kepada manusianya sendiri, apakah ia akan menerimanaya atau tidak. Karena itulah orang yang tidak menerimanya itu, berarti ia telah menolak kebaikan dan rahmat Tuhan. Yakni menolak dengan ikhtiarnya sendiri. 

Dan menolak rahmat Tuhan, itu maknanya menjauhkan diri dari rahmatNya. Menolak hidayah Tuhan, itu maknanya masuk dalam kesesatan. Jadi, masuk tidak masuknya seseorang ke dalam hidayah dan rahmat, itu tergantung pada manusianya itu sendiri. 

Dengan keterangan di atas dapat dipaami, bahwa bukan Tuhan yang menjauhkan manusia dari rahmat dan hidayahNya, tetapi manusia itu sendiri. 

Akan tetapi karena keberadaan dan sistemnya ini, semuanya bersumber dariNya, termasuk keluarnya manusia dari rahmat dan hidayahNya, atau masuknya manusia ke dalam sesat dan jauh dari rahmat, maka sering dalam Qur'an dikatakan bahwa Allah-lah yang menghidayahi yang mendapat hidayah dan yang menyesatkan orang yang keterlaluan atau melaknat orang zhalim (menjauhkan dari rahmatNya). Wassalam. 

Haura Samira: Ketidakberbatasan Allah dipersepsikan dalam keterbatasan hamba. Artinya bahwa seorang hamba berusaha menggambarkan kemutlakanNya dalam framenya yang sangat terbatas. Maka dalam pemahaman ini dapat menciptakan jarak antara seorang hamba dan Allah. Dan hamba (manusia) dalam segala keterbatasan sifat kemakhlukannya tidak mungkin menjangkau kesempurnaan Allah dan mengenalNya, kecuali Allah memperkenalkan diriNya. Dia tidak memiliki sifat buruk secara substansial sebab hal tersebut menunjukkan keterbatasan. Dan ini berarti juga bahwa laknat Allah bersifat aksidensial bagaimana dengan pemahaman seperti ini ustadz? 

Sinar Agama: Haura: Dalil akal itu tidak memiliki perkecualian. Jadi kalau akal mengatakan bahwa akal itu tidak bisa menjangkauNya, maka apapun itu tetap tidak bisa menjangkau. Jadi, sekalipun Tuhan mengenalkan DiriNya juga tidak akan bisa dijangkaunya. 

Tapi dalil akal tidak mengatakan bahwa akal tidak menjangkau. Karena yang ingin dijangkau akal bukan hakikat kesempurnaanNya, tetapi pemahaman terhadapNya. Jadi, akal tidak mengatakan harus menjangkau ketidakterbatasanNya itu, tetapi hanya mengharuskan memahami dan meyakini ketidakterbatasanNya tersebut dengan dalil akal. 

Allah itu bukan substansi dan apalagi aksidental. Karena substansi dan aksidental itu adalah dua bagian esensi. Sedang esensi adalah batasan dan juga rangkapan yang terdiri dari genus/ jenis dan deffrentia/ pembeda. Sementara Allah tidak memiliki batasan apapun. Karena itulah dikatakan dalam filsafat bahwa “Tuhan tidak ber-esensi dan hanya ber-eksistensi.” Atau untuk basa basi dikatakan “Esensi Tuhan adalah EksistensiNya itu sendiri.” Sedang selain Tuhan memiliki dua hal, eksistensi dan batasannya yang, biasa disebut dengan esensi. 


Dengan semua penjelasan ini, maka apa yang sudah kuterangkan di jawabanku di atas itu, sudah pada tempatnya dan sesuai dalil gamblangnya. 

Wassalam. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjilfarajahum.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Dialog Tentang Pluralisme



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra, pada 28 Juni 2011 pukul 20:52



Sabara Putra Borneo: Teologi Pluralisme: “Hanya DIA yang Tunggal, selain DIA adalah plural”. 

Sinar Agama: Kata-kata antum itu bermakna: “Hanya Dia yang Tunggal, selainNya adalah beda- beda tetapi sama-sama benar.” Jadi artinya “Dia/Haq itu bisa tunggal dan bisa tidak tunggal, karena semua pandangan adalah benar.” Semoga antum segera taubat dari jalan-jalan di tepian agama dengan menyiarkan agama. 

Pluralisme bukan plural. Yang pertama bermakna sama-sama benar (lihat buku John Hick sang bapak Pluralisme), sedang plural adalah banyak atau majemuk. Tetapi plural di kata-kata antum di atas itu kita maknai pluralisme, karena judulnya adalah “Teologi Pluralisme”. 


Sabara Putra Borneo: Siapa yang bilang kalo yang beda-beda itu sama-sama benar? Kok kesimpulan antum sampe kesitu? 

Sinar Agama: Ketika antum katakan selain Dia itu adalah Plural, dan maksud Plural di sini adalah Pluralisme (semua yang berbeda sama-sama benar), maka arti tulisan antum itu seperti itu. Dengan demikian semua akidah tentangNya, karena temasuk selain Dia, maka Pluralisme, yakni sama-sama benar. 

Sabara Putra Borneo: Afwan antum membatasi defenisi pluralisme sebatas yang diucapkan oleh john hick saja. 

Afwan. Dengan defenisi John Hick tentang pluralisme antum langsung memberikan judge tunggal tentang pluralisme bahwa yang majemuk itu sama benarnya. Bukankah masih banyak tokoh- tokoh yang mendefenisikan pluralisme bukan pada penyamaan kebenaran sebagamana john hick? Sekalipun John Hick dianggap sebagai bapak pluralisme, dapatkah defenisi pluralisme hanya dapat diambil dari dia saja? 

Augusto Comte disebut sebagai bapak sosiologi, tetapi apakah pendefenisian & penjelasan tentang sosiologi hanya bisa melulu dari dia? 

Afwan apakah antum yang menyatakan/mengkalaim diri sebagai sinar agama telah berjalan di tengah-tengah agama? Afwan. 

Sinar Agama: Sabara, Inilah akibat berjalan di tepian, tetapi merasa di kedalaman dan menerangi manusia lagi. Belajar dulu mas Islam itu dengan benar. Ini tentang agama. Tentang Pluralisme itu adalah bahasa yang sudah diletakkan pada arti kata keseharian oleh peletaknya. Dan alam bahasa istilahnya sudah diletakakan pula oleh pencetusnya, yakni John Hick. Jadi, kalau antum mau buat bahasa tersendiri silahkan saja, tetapi untuk antum sendiri. Dan kalau masalah Pluralisme ini, maka orang yang layak didengar maknanya adalah Peletaknya, bukan tokoh. Antum jangan menutupi kekurangan dengan yang lebih menghancurkan, karena malu-maluin. 

Sekarang kalau kita mau keluar dari makna yang meletakkannya, maka silahkan antum katakan apa maksud antum itu. Tetapi ingat bahasa kita sudah tidak lagi bahasa paten, jadi sudah karangan sendiri. 

Nah, ok sekarang dengan bahasa sendiri itu, tolong terangkan maksud antum itu apa. 

Kalau aku pakai bahasa antum, yakni ngarang-ngarang sendiri, atau tidak merujuk kepada peletaknya, maka sinar agama itu bisa kumaknai dengan sinar matahari, yakni maksud agama adalah matahari. Nah, kalau hal itu terjadi, jadi bahasa kita ini sendiri-sendiri. Lalu mengapa harus ada dialog? Antum tanya aku ini sudah dalam agama selalu atau tidak. Maka kujawab iya, yang maksudnya tidak. Atau kujawab tidak yang maksudnya iya. Atau kujawab iya dan tidak dilihat dari karepku sendiri dan dari dimensi-dimensi yang berbeda-beda. Kan kacau kalau ghitu mas? Lalu anggap aku berbahasa dengan yang paten, lalu apa gunanya mengatakannya kepada antum yang tidak punya ukuran kebenaran agama? Karena kalau kubilang aku di jalan agama, antum mau jawab apa? Dan kalau kujawab tidak selalu dalam agama, maka antum juga bisa berkata apa? Aku mengira kalau kubilang selalu dalam agama antum akan cenderung tidak percaya dan kalau kubilang tidak selalu, maka antum akan cenderung percaya? Jadi, heran banget apa hubungannya namaku dengan kesalahan antum tentang pluralisme itu? Apa maksudnya kalau aku sesekali salah berarti antum mengakui kesalahan antum? Tetapi dari koment-koment antum ini antum sepertinya tidak ngakui. 

Yono Jelangkung: Guru Sabbara, kadang pluralisme susah di terapkan kehidupan sosial, tetap ada sentimen mayoritas dan minoritas, kaum minoritas selalu di abaikan. 

Sinar Agama: Mas Yono: Tunggu dulu mau dia itu apa dari kata Pluralisme itu. Karena dia mendakwa memiliki makna tersendiri yang tidak dibuat oleh pencetus dan penemunya (John Hick). 

Yono Jelangkung: Guru Sabbara dia yang tunggal, selain dia plural, maksudnya ? 

Sinar Agama: Mas Yono: Plural di kalimat itu akan ditentukan maknanya dari kata Pluralisme di awal kalimat statusnya itu. Nah, biar dia sendiri jelasin dulu “Opo kareppe”. Dan biar dia juga sebut tokoh yang mengatakannya itu, supaya kita tahu tokoh itu pengarang pluralisme itu atau ikut-ikutan dan salah, seperti almarhum cak Nur dan Abdurrahman Wahid... 

AnZi Ahmad: Salam. Afwan ustadz, ana coba untuk memahami pemaparan ustadz tentang pluralisme dan plural, mohon koreksinya: 

Ketika ustad membedakan antra pluralisme dan plural, apakah garis pembedaannya itu karena pluralisme jadi bermakna lain dari plural karena telah menjadi pandangan-dunia (di isyaratkan dengan -isme)? 

Kemudian, ketika ustad menyatakan pluralisme = berbeda tetapi benar semua. Siapakah yang menjadi sumber adanya perbedaan? Kalau Allah yang menjadi sebab, apakah teori pluralisme di atas menjadi benar? Karena semua perbedaan itu bersumber/bersebab dari al haq. Mohon koreksinya stad. Syukran. 

Sabara Putra Borneo: Kenapa sebuah istilah harus dibatasi maknanya menurut pencetusnya? Berart (misalnya) makna istilah sosiologi dibatasi berdasarkan maksud pencetusnya (Augusto Comte)? Ohya, bagaimanadengandefenisi& kategorisasi pluralismeyangdibuat oleh Legenhausen yaitu pluralisme aletic, pluralisme soteriologis, pluralisme epistemologis, & pluralisme deontis (& Legenhausen sepakat dengan istilah terakhir), apakah yang dilakukn Legenhausen ini salah? Btw, ada yang salah ga dari proposisi: selain DIA adalah plural? Kalaupun dilekatkan dengan pluralisme yah proposisi inilah yang menjadi basis teologis mereka, selain DIA plural, adalah sebuah fakta. Pemahaman tentang DIA saja berbeda-beda (plural) & tidak selamanya didudukkan dalam nalar benar-salah, perbedaan tersebut bisa juga disebabkan tingkatan pemahaman yang brbeda. Oh ya, antum suruh saya belajar Islam yang benar, maksudnya yang benar yang sesuai dengan yang antum pahami ya? Hehehe... Hebat. 

Sinar Agama: Anzi: Salam dan terimakasih atas pertanyaannya, karena sepertinya aku yang ditanya: 

(1). Plural itu artinya “majemuk”. Itu arti katanya. Akan tetapi setelah John Hick mengalami proses batin nan bergejolak, ia mencetuskan apa yang ia istilahkan sebagai “Pluralism”, yakni “Kebenaran Majemuk” atau “Semua Benar”.

(2). Peristiwa itu bermula dari pergaulannya. Ia yang beragama Nasrani itu, banyak memiliki teman-teman dari agama lain. Terutama Islam/muslim. Teman-teman dia itu, setelah ia perhatikan, juga sangat taat dalam beragama sesuai dengan agamanya masing-masing. Terutama muslim yang tiap hari melakukan lima kali shalat, tidak mabok-mabokan, tidak judi, tidak zina dan seterusnya. 

Akhirnya batin dia bergejolak dan berkata, masak iya orang-orang taat ini, walaupun salah dalam agamanya, akan diazab oleh Tuhan Bapak? Jadi, batin dia itu berantem dalam dirinya dengan keyakinannya selama ini, terutama dengan apa-apa yang sering didengarnya dari pendeta-pendeta gereja. 

Akhirnya, renung punya renung, dia menuliskannya dalam bentuk makalah-makalah yang diseminrkan dan kemudian dikumpulkan menjadi buku. Nah, ia dalam tulisannya itu membuktikan dengan dalil, kebenaran kayakinannya yang mengatakan “Semua agama dan bahkan pemikiran apapun itu adalah benar”. Karena “benar” bagi dia, bukan yang sesuai dengan obyeknya, tetapi karena sangat dipengaruhi oleh subyeknya. Karena tidak ada ukuran nyata yang, sekalipun dikatakan obyek. Yakni semua obyek itu tetap subyek, yakni subyeklah yang menentukan ke-obyekan obyek itu. Tentu saja banyak lagi dalil-dalilnya. 

(3). Antum “kalau” tidak mengalami pendidikan sistematis akademis tentang filsafat agak susah memahami dimana letak tindihan dan kekuatan argument itu dan bagaimana membantah- nya. Memang, secara umum bisa digambarkan dan dipahami, tetapi pahaman yang tidak menge-ruh dan membatin, yakni hanya pahaman badaniah saja, alias lahiriah. 

Beberapa tokoh kampusan Iran (yang ada) sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari yang terpengaruh dengan keyakinan dia itu. Seperti Syurus. Syurus ini memperkaya dalil-dalil Hick itu dengan dalil Qur'an, Islam dan filsafat serta Irfan dimana sebagiannya tercium dalam pertanyaan antum itu. 

Salah satu dalil Syurus adalah dalil irfan yang ringkasannya sebagai berikut: 

Syurus berdalil bahwa sumber semua yang ada di alam ini, apakah nabi atau iblis, Musa as atau Fir’un, semuanya bersumber dari al-Haq. Yakni materi (yang memiliki salah-benar) dari Malakut (barzakh), Malakut dari Jabarut (makhluk-makhluk Akal) dan Jabarut dari al-Haq. 

Artinya semua warna dan beda, bersumber dari Maha Sederhana, yakni Al-Haq. Karena itu, maka Musa as dan Fir’un di dalam maqam Ahadiyyah, yakni di Zat al-Haq itu, adalah bertemu dan sama. Jadi, semua beda adalah benar semua, karena dari Dia dan menyatu di Dia. 

Si Syurus ini, sekalipun merasa guru filsafat, tetapi sangat dangkal, karena di Iran, kekuatan filsafat itu ada di Hauzah (pesantren) bukan di kampus (hal ini diakui barat, sekalipun filosof medern), maka ia lupa bahwa secara umum tidak ada orang yang sampai ke maqam Zat Tuhan itu. Artinya, sekalipun hidayah dan sesat bersumber dariNya, sebagai Tuhan Tunggal (tidak seperti yang meyakini Tuhan baik yang buat kebaikan dan Tuhan jahat yang mencipta kejahatan), akan tetapi terlepasnya nilai buruk itu, yakni semuanya menjadi benar dan baik serta Haq, hanyalah di maqam Zat Tuhan itu. 

Padahal kita, membicarakan hal-hal yang di bawah, baik di alam materi sebagai maqam terendah yang di dalamnya terdapat kandungan nilai-nilai akhlak dan kebiasaan (karakter), atau di Barzakh sebagai tempat Surga dan Neraka. 

Jadi, memang bisa dikatakan bahwa yang di bawah itu adalah manifestasi dan bersumber dari yang di atas (al-Haq), akan tetapi tanggung jawab dan balasannya juga bersumber dari atas, dan kita tidak akan pernah naik ke atas (Dzat Tuhan). 

Artinya, sekalipun Fir’un itu tajaalli murka Tuhan, tetapi ia bukan terus menjadi Tuhan dan tidak tersiksa. Bahkan sebaliknya, ia akan sangat tersiksa, karena dia hanya manifestasi secara selamanya (sebab selamanya siapapun tidak bisa jadi Tuhan). 

Bagitu pula, yang di atas (al-Haq), menghendaki kita mengikuti tajalli hidayahNya, bukan murkaNya, dan kita diberinya akal dan ikhtiar. Jadi, yang sesat harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. 

Maksud saya, bahwa sekalipun Fir’un itu tajalli murka Tuhan, tetapi dia telah mengingkari tajalli hidayah Tuhan dengan ikhtiarnya sendiri dan harus mempertanggung jawabkannya, yakni masuk neraka dan kepanasan tersiksa di sana dimana neraka itu juga tajalli dari Tuhan tapi dari sisi murkaNya, bukan ridhaNya. 

(5). Kalau di tingkatan lokalan Indonesia, sepertinya banyak yang salah memahami Pluralism ini dan rata-rata mengembalikannya ke makna katanya itu, yakni “Plural” dan “Majemuk”. Saya sendiri sekitar 15 th lalu pernah baca makalah almarhum Cak Nur yang mengatakan bahwa kita mesti hidup “Plural” dalam penjelasannya tentang “Pluralisme”. Artinya, kita harus mengakui keberadaan agama-agama lain dan menghormatinya. Nah, ini namanya “Toleransi”, bukan “Pluralisme”. 

Saya juga pernah ditanya tentang pendapat almarhum Gus Dur yang sependapat dengan Cak Nur itu. Jadi, Pluralisme bukan bermakna menghormati perbedaan karena hal itu adalah Toleransi. Akan tetapi Pluralisme itu bermakna semua agama dan apapun pandangan, adalah benar. 

Kesimpulan sementaranya: 

(a). Maksud “Pluralisme”, sesuai pengarang nama, kata dan istilahnya, bukan pengarang rumus dari sebuah nama (misalnya sosiologi), adalah semua agama dan bahkan semua pandangan, seperti Marxisme dan Kapitalisme adalah benar. 
Karena kebenaran agama dan pemikiran, tergantung penilai Subyeknya (subyektif) dan tidak akan pernah menjadi Obyektif. 

(b). Karena itu kebenaran di Pluraisme adalah kebenaran siapa, bukan kebenaran sesuai nyata karena baginya yang dikatakan nyata itu juga subyektif yang bukan nyata yang sebenarnya. 

(c). Perbedaan itu mencakupi semuanya, mulai dari agama, pemikiran, ide-ide dan pemahaman agama dan seterusnya dari semut terkecil sampai kepada Tuhan Yang Maha Besar. 

(d). Ingat, tekanan dan maunya Pluralisme ini adalah di dalam bidang “Keyakinan”, sedang “perbuatan” itu hanyalah sebagai aplikasinya, bukan dasar dari pemaknaan “Pluralisme” yang dimaksud. 

Kesimpulan Akhir: 

Jawaban terhadap pertanyaan antum tentang kebenaran semua beda karena kebersumberannya dari al-Haq, sudah dapat dirasakan. Yakni, sekalipun sudah merupakan keseyogyaniaan, bagi yang mayakini Satu Tuhan, bahwa semua benar dan salah itu bersumber dariNya, yakni pahaman dan aplikasi salah dan benar itu bersumber dariNya, karena keduanya adalah ada, dan yang ada adalah dariNya, akan tetapi kita tahu bahwa kita ini bukan Dia. 

Artinya, kita bukan Dia yang Maha Tidak Berangkap. Kita adalah hakikat rangkapan-rangkapan yang warna warni dimana yang satu benar dan yang lainnya yang bertentangan dengannya adalah salah. 

Jadi, di sini, di derajat ini (bukan di derajat Zat Allah) ada yang namanya keberadaan yang tidak terpengaruh dengan akal dan aplikasi kita sebagai manusia. Itulah yang kita katakan kenyataan. 

John Hick juga kenyataan. Kalau kita ikut John Hick, keberadannya pun harus diingkari dan apalagi pikirannya. Karena kesungguhan adanya Hick tergantung pada subyeknya (kita-kita), apakah ia dihitung ada atau tidak, berfikir dan punya ide atau tidak, punya kepercayaan atau tidak. Padahal, pasti Hick tidak menginnginkan hal ini, karena itu ia menulis dan berseminar. 

Nah, kalau dia-nya sendiri dan audiennya itu, ada-tidaknya tergantung kepada subyek penilainya (subyek), maka tidak mungkin akan ada pemikiran, tulisan dan seminarnya itu, dan debat-debat yang ada di ruang seminarnya itu. 

Nah, ketika kita mengakui adanya kenyataan dan keberadaan, maka itulah yang akan dijadikan ukuran kita menilai ilmu-ilmu kita itu apakah benar atau salah. Karena itulah dalam logika ada Ilmu Mudah dan ada Ilmu Pikir. 

Nah, Ilmu Mudah itulah yang jadi ukuran kebenaran Ilmu Pikir, dan dijadikan premis-premis untuk membuktikan kebenaran Ilmu Pikir/dalil. Seperti ilmu panca indra dan semacamnya yang menjadi landasan bagi ilmu-ilmu pikir dan dalil. 

Jadi, Tuhan, satu atau tidak dalam pikiran manusia, tidak akan terpengaruh karenanya. Bagitu pula alam ini, agama ini, surga neraka ini, ide-ide ini, sosial politik ini, budaya ini dan seterusnya. 

Artinya wujud nyatanya tidak akan terpengaruh dengan apa yang dipahami manusia. Kalau si Sabara ini mengatakan Tuhan Tunggal, itu hanyalah pandangan dia. Belum lagi apa maksud tunggal disini, itu hanya ide dia. Coba saja tanyakan apa arti Tunggal padanya, pasti dia tidak akan bisa menjawab dengan benar. Karena dalam aplikasi, dia kadang menentang ke-TunggalanNya itu. Saya tahu, dia tidak sengaja melakukan itu, artinya kedangkalannya memahami Tunggal itu, akan tetapi sebab-sebabnya, bisa saja disengaja. Misalnya tidak mau belajar agama, atau malas 

belajar agama yang akademis, tetapi merasa tahu tentang agama dan bahkan mengajar orang. 

Kalau dia tahu makna Tunggal, maka pasti dia tidak akan melakukannya, apalagi mencerca orang yang belajar agamaNya dengan berkata “apakah kamu selalu benar dalam agama”. Padahal, apa hubungan salah dengan tanggung jawab dan usaha? 

Apakah kemestian adanya salah pada setiap insan bisa dijadikan alasan untuk tidak profesional? 

Jadi, kebenaran itu ada standarisasinya dimana dengan itu manusia ini juga bisa berkomunikasi, berdialog dan tukar pendapat. Karena kalau tidak ada standarisasinya, maka semua itu tidak akan terwujud. Nah, kebenaran itu harus bersumber kepada ilmu-mudah, dan dalil gamblang, karena sekali lagi, hal-hal mudah dan gamblang itulah dasar pikir kita dan hidup kita serta sosial kita ini. 

Tambahan

Hal mudah dan gamblang itu bisa mengantar manusia bahkan untuk memahami Tuhannya sekalipun. Jadi, jangan remehkan yang mudah dan gamblang itu. Karena ia adalah alat tunggal untuk memahami apapun hakikat dan kenyataan. Karena itulah di filsafat, selama argumen itu belum bersandar pada Ilmu Mudah, maka ia belum dikatakan argumentatif. Wassalam untuk Anzi. 

Untuk Sabara

(1). Ana sebenarnya tidak ingin heboh dengan antum karena setidaknya kita sama-sama muslim dan syi’ah. Karena itulah, maka ana tidak langsung tancap gas. Karena itulah saya, sedikit- sedikit menaikkan tancapan gasku. Jadi, afwan dalam hal ini. 

Bagi ana tidak penting antum percaya atau tidak, menerima atau tidak, karena aku bukan Tuhan dan Nabi serta bukan juga ukuran kebenaran. Karena ana hanya melakukan yang kurasakan secara GR sebagai tugas dan kewajiban (itupun secara relatif). Dan yang ke dua, yang penting bagi ana, adalah menuliskan sebagai perbandingan untuk orang lain yang membacanya. Biar mereka menilainya sebelum kita nanti melihat penilaian Tuhan di akhirat. 

Jadi, siapkanlah dalil-dalil antum di sana, karena lebih berat dari di dunia ini. Ana juga akan mempersiapkannya semampunya, sejujur dan seakademis mungkin.

(2). Ana menyuruh antum belajar Islam itu adalah demii antum sendiri. Dan belajarnya sudah pasti yang akademis, metodologis, bukan otodidak yang biasa melahirkan pemahaman- pemahaman siksak dan berubah-rubah dari setiap halaman buku yang dibacanya. Belajar Islam itu tentu di sekolah Islam, kampus Islam atau pesantren dan hauzah Islam. Itu kalau antum mau jadi guru dan menulis-menulis tentang agama. 

Tetapi kalau mau untuk diri sendiri, ya di kajian-kajian, buku-buku, bulletin-buletin, status- status dan seterusnya, juga boleh dan harus. Tetapi kalau mau jadi guru kek, pemikir kek, penulis kek, pentrainer kek...dan seterusnya, maka harus belajar secara akademis. 

Dan antum harus tahu bahwa kalau sudah belajar, bukan berarti terus menjadi benar. Saya yang puluhan tahun belajar ini, sangat-sangat ketakutan padaNya, jangan-jangan banyak tulisan dan ceramah-ceramahku yang salah atau tidak ada yang benar sama sekali. Karena itu, kita akan tahu salah benarnya, kelak di akhirat. 

Tetapi di dunia ini, kan sudah menjadi konsekuensi ilmiah dan akal sehat untuk tidak sembarangan, apalagi diskusi di fb yang dilihat orang banyak. Dalam kesendirian saja, kita tidak boleh sembarangan karena akan dipertanyakanNya kelak. Jadi, belajar agama tidak mesti berpandangan benar, apalagi sama denganku, tetapi usaha secara akalis dan akademis untuk tidak ceroboh, itu saja. Dan itu adalah tanggung jawab kita. 

Dalam bidang selain agama juga begitu. Antum tidak bisa mengoperasi ginjal orang kalau antum bukan dokter dan bukan ahli bedah. Padahal untuk jadi dokter bedah itu, paling-paling 10 tahun sudah cukup. Tetapi menjadi sarjana agama, 20 tahun bisa sangat tidak cukup. Jadi, kalau aku menyuruh belajar agama, itu kalau antum mau jadi pendakwah. Dan belajarnya terserah, tetapi tidak otodidak. Seperti jangan otodidak belajar kedokteran supaya pasien antum tidak mati. Dan kalau otodidak dalam agama, bisa-bisa pasien antum masuk neraka. 

Ingat, kesalahan yang tidak akan dimaafkan Tuhan adalah yang dilakukan dengan ceroboh, bukan yang sudah hati-hati, tulus dan akademis. Antum kalau dimarahi dokter karena membedah ginjal orang, tidak bisa berdalil dan mengatakan “Emangnya dokter tidak pernah salah?” Karena tanggung jawab asli kita itu bukan di salah benarnya, tetapi di tidak cerobohnya dan di mestiprofesionlannya itu. Inilah ruhnya Deontis, sebagaimana yang akan saya ulas secara awam di bawah ini. 

(3). Kalau Legenhausen itu, semoga Tuhan meninggikan derajatnya, sudah tentu bukan pencetus Pluralisme. Karena itu maka dalam penjelasannya tentang Pluralisme, dimana ia mengakui tentang makna yang diberikan Hick yakni “benar semua”, akan tetapi dalam masalah deont atau aksinya, ia mengatakan bahwa Islam menerima hal itu. Ini adalah kontradiksi dia. 

Karena dalam “Aksi” tekanannya kepada profesionalisme yang biasa saya katakan akademis kalau dalam hal ilmu. Yakni kalau boleh dikatakan dengan ekstrim, deontis itu maksudnya tergantung kepada pelaksanaan tanggung jawab. Jadi, kalau seseorang telah melakukan kewajiban akidah dan aplikasinya dengan profesional secara akalis, maka sekalipun salah, akan tetap dimasukkan ke surga. Nah, Legenhausenpun menyandarkah hal ini kapada syahid Muthahhari ra dalam buku ke-Adilan Ilahinya. 

Artinya berdasar pada ke-Adilan Tuhan, maka siapapun yang telah melakukan tanggung jawabnya dengan profesional, maka layak mendapatkan ganjaran dan surga, sekalipun salah. Karena kesalahannya pasti tidak disengaja atau tidak semi disengaja (seperti tidak belajar agama secara akademis, tetapi menjadi pengajar agama, dan kalau ditegur mengatakan “Kamu yang ustadz juga belum tentu benar atau tidak selalu benar”). 

Jadi, kalau seorang itu sudah benar-benar berusaha dan profesional, misalnya tidak belajar agama ke dokter gigi atau sarjana ekonomi, atau sebaliknya, maka ia layak mendapat ampunan dan bahkan pahala dalam kesalahannya itu. Karena dilihat dari usahanya tersebut. 

Nah, semua itu, bukan Pluralisme, karena bukan pembenaran kepada semuanya. Akan tetapi, yang benar masuk surga dengan keridhaanNya, dan yang salah masuk surga dengan ampunanNya (tentu bagi yang sudah gigih secara profesional itu). 

Karena itulah Legenhaussen berkata –yang isinya kurang lebih- bahwa kalau Islam tidak perlu Pluralisme, karena ia sudah memiliki konsep ke-Adilan Tuhan itu. Tetapi kalau Masehi, dimana nabi Musa-pun dan nabi-nabi sebelum nabi Isa as, tidak bisa masuk surga karena belum dibabtis (tetapi tidak dimasukkan ke neraka karena tergolong orang-orang yang baik, karenanya akan diletakkan di tempat yang tidak sakit dan tidak nikmat), maka mereka dalam melihat kenyataan keberbedaan yang alami karena jaman dan tempat yang beda ini, sangat perlu kepada Pluralisme. Artinya untuk mencari pemecah masalah perbedaan, hingga selain Masehi juga bisa masuk surga. 

Akan tetapi, seakan-akan Legenhaussen lupa bahwa pemasukan orang salah ke surga dalam Islam, tidak lewat pembenaran, tetapi pengampunan. Sementara kalau Pluralisme, melewati pembenaran terlebih dahulu, atau pemasukan ke Masehi dulu seperti pandangan Raner. 

Jalan yang diambil oleh Raner, yang menganggap orang baik itu, sekalipun Islam atau Budha, adalah sebagai Masehi di Mata Tuhan, tidak dianggap cukup oleh Hick untuk mengasasi Pluralismenya. Karena itulah ia mencetuskan Pluralismenya itu yang, terus menjadi dasar bagi pemikiran-pemikiran barat baik Liberalisme, agama, politik...dan seterusnya. 

Dengan demikian, maka deontis itu adalah Islam yang berdasar kepada aksi dan tanggung jawab profesional yang sesuai dengan ke-Adilah Tuhan. Artinya yang benar layak mendapat 2 pahala karena usaha dan benarnya, sedang bagi yang salah layak mendapat satu pahala karena usahanya dan satu ampunan karena ketidakcerobohannya. Ini adalah Keyakinan Islam, Bukan Pluralisme. 

Jadi, kalau ini maksud antum, maka jangan berteriak bahwa hal di atas itu keyakinan Pluralisme. Karena ia adalah Islam. Islam adalah Islam, dan Pluralisme adalah Pluralisme. 

Tentang masalah plural dalam status antum itu, sudah ana jawab dengan jelas di komen sebelumnya, harap renungi dengan baik, kalau mau. 

Tambahan

Sebagai tambahan: Untuk Legenhaussen itu (semoga Tuhan meniggikan derajatnya), sekalipun beliau bisa dihitung adik kelas sepupu dari hamba hina ini dalam filsafat Islamnya, dan sekalipun beliau itu adalah doktor dalam filsafat baratnya, begitu pula, sekalipun beliau itu penuh fadhilah dan kemuliaan dalam bidang keilmuan (semoga Tuhan mengganjarnya hingga bisa bersama para imamnya) dan sangat kuhormati, namun sekali lagi, bukan ukuran penilaian terhadap Pluralisme ini. 

Jadi, hanya bisa dijadikan bandingan bagi kakak kelasnya, sekelasnya dan seperingkatnya. Artinya tidak dijadikan panduan dasar bagi penilaiannya. Semoga Tuhan selalu menyertai orang-orang yang mengutamakan pencarian dari pemberian, tapi bukan pencarian yang diniatkan untuk pemberian. Dan semoga Tuhan memaafkanku yang kadang merasa harus tancap gas karena kecemburuan dan kecintaan yang tiada batas bagi sesama manusia ini, amin. Wassalam dan afwan. 

Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Eman Sulaeman dan 10 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Eman Sulaeman: Allahumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad. 

Muh Kasim: Allahumma sholli alaa Muhammad Wa aali Muhammad....mantaap Sinar Agama. 

Agil: Ahsantum.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ