Minggu, 18 November 2018

Shahabat dan Perang Jamal






Seri tanya jawab Sufyan Hossein dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, December 20, 2012 at 12:35 am



Sufyan Hossein: Rabu: 26-9-2012, 

Salaamun alaikum... Ya ustadz Sinar Agama dan Akhi Sang Pencinta... 

Kemarin saya sudah membaca link-link diskusi dan catatan ustadz Sinar mengenai sejarah dan kronologi, dimulai sejak wafatnya Baginda Rasul SAWW, Pengangkatan khalifah pertama (yakni Abu Bakar), proses penyerbuan dan pembakaran rumah sayyidah Fatimah az zahra (as) sampai syahidnya Az Zahra (as)... Salam atasmu Ya Zahra... 

Kemarin ketika saya membaca sejarah itu, hati saya seperti terhenyak dan tersayat melihat penderitaan Ahlul Bayt(as) sepeninggal Rasul SAWW... 

Jika benar yang terjadi seperti itu, maka kecelakaan besarlah bagi orang yang menyakiti Ahlul Bayt (as)... Sungguh, saya baru mendengar kisah tragis ini, karena saya ini seorang Sunni, dan guru- guru saya ketika saya tanyakan tentang hal ini, beliau menjawab : Para shahabat ra adalah alim dan adil, baik ketika Rasulullah SAWW masih hidup maupun ketika Beliau SAWW telah wafat, dan pengangkatan dan pembaiatan khalifah, dari Abu Bakar , Umar, Utsman adalah ijma’ (kesepakatan) seluruh shahabat , termasuk Imam Ali as dan Hz Fatimah as... Dan ketika saya tanya kepada guru saya tentang sebab terjadinya perang jamal, beliau menjawab: setelah terbunuhnya khalifah Utsman, Aisyah menuntut kepada Imam Ali as, bahwa pembunuh Utsman harus segera diadili, namun Imam Ali as, berpendapat bahwa harus menunggu situasi kondusif dulu, baru pembunuh Utsman tersebut diadili... Menurut literatur Sunni, Imam Ali as dalam posisi yang benar... 

Namun ketika Aisyah menyadari kesalahannya ia lalu bertaubat. Di antaranya sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : Artinya : “Tidaklah terjadi kiamat itu sampai berperangnya dua kelompok besar dan dakwa (seruan) mereka satu.” (HR Bukhori dan Muslim).. 

Itulah salah satu tanda kecil kiamat kubro yang diprediksikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam-, bahwa akan terjadi peperangan antara 2(dua) kelompok muslim. Dan itu terjadi pada perang Jamal dan perang Shiffin. - Terjadinya Perang Jamal. Ketika amirul mukminin Utsman bin Affan terbunuh, keesokan harinya, orang-orang mendatangi Ali bin Abi Tholib untuk membaiatnya menjadi khalifah, akan tetapi Ali menolaknya. Ali berkata : sampai berkumpulnya manusia. Kemudian berkumpullah orang-orang, di antaranya Thalhah dan Az-Zubair. mereka membaiat Ali sebagai khalifah. 

Diriwayatkan bahwa Thalhah dan Az-Zubair meminta izin dari Ali untuk pergi umrah. dan ketika itu juga istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- baru menjalankan umrah dan kemudian tinggal di Mekkah karena terjadinya fitnah sampai terbunuhnya Utsman - rodhiallahu ‘anhu. kemudian Thalhah dan Az- Zubair menemui ‘Aisyah untuk dimintai pendapat mengenai hak atas darah Utsman. Maka ‘Aisyah setuju untuk menuntut hak pembalasan bagi para pembunuh Utsman. Kemudian datang Ya’la bin Umayyah dari Yaman ke Mekkah, dia adalah orang yang diangkat Utsman sebagai wakilnya di Yaman. dan mereka sepakat untuk pergi ke Basrah guna menuntut pembalasan atas para pembunuh Utsman. ‘Aisyah, Thalhah, Az- Zubair dan Ya’la dan 1000 pengendara kuda yang lain pergi ke Basrah. dan menyusul mereka 2000 orang lagi. ‘Aisyah menaiki onta yang diberi nama Askar yang ditelakkan di atasnya seperti rumah- rumahan. 

Suatu ketika mereka berhenti di salah satu sumber air milik Bani ‘Amir. kemudian ‘Aisyah mendengar lolongan suara anjing. ‘Aisyah bertanya kepada salah seorang dari mereka : telah sampai manakah kita? Maka dijawabnya : kita telah sampai “Jauab”. setelah mendengarnya ‘Aisyah berkata : lebih baik kita kembali. Orang- orang berkata : bagaimana anda kembali sedangkan menyetujui untuk pergi ke Basrah. Dan semua orang berharap agar anda dapat menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kita. ‘Aisyah tetap bersikeras meminta semuanya untuk kembali. Ditanya kenapa ingin kembali? ‘Aisyah menjawab: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- pernah menyampaikan kepada para istrinya bahwa salah satu dari kita akan pergi dan menjadi peserta dalam perang Jamal. Keluar dan sebagai tandanya adalah lolongan suara anjing di sumur “Jauab” yang akan terbunuh di kanan dan kirinya banyak orang. Diriwayatkan bahwa Ali telah pergi bersama 900 penunggang kuda lainnya. Ali ingin meminta pertanggungjawaban Thalhah dan Az-Zubair karena mereka telah membaiatnya akan tetapi sekarang malah pergi tanpa persetujuan darinya. 

Diriwayatkan sebelum dimulainya peperangan, Ali menemui Az-Zubair dan berkata: aku bersumpah kepada Allah, apakah kamu tidak ingat ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- berkata kepadamu bahwa suatu ketika kamu akan memerangi Ali sedangkan kamu dalam posisi yang salah (dholim). Az-Zubair berkata : aku lupa sejak dikatakan seperti itu. Maka aku sekarang tidak akan memerangimu. Az- Zubair kemudian pergi dan tidak ikut dalam peperangan. Abu bakrah pernah ditanya : kenapa anda tidak ikut pergi ketika orang pada pergi? Beliau berkata : aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- bersabda : “akan keluar sekelompok kaum yang akan binasa yang pemimpinnya adalah perempuan di neraka. 

“Hudzaifah bin Al-Yaman berkata : bagaimana kalian suatu ketika akan membiarkan orang-orang di antara kalian akan saling membunuh dalam dua kelompok? Orang- orang bertanya : wahai Abu Abdillah, apa saran anda jika kami ada ketika itu? Hudzaifah berkata : lihatlah kepada kelompok orang yang membela Ali, karena sesungguhnya mereka di atas kebenaran. 

Kesimpulan: Perang Jamal terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat orang-orang pada masa itu tentang penuntutan balas atas terbunuhnya Utsman dan pendapat Ali yang lebih mendahulukan untuk menata kembali negara yang telah berpecah setelah terjadinya fitnah. Para Ulama sepakat bahwa Ali berada pada posisi yang benar. Akan tetapi telah banyak riwayat yang meriwayatkan bahwa Aisyah dan para sahabat lainnya yang menentang Ali telah bertaubat setelah itu. Dan para ulama melarang kita untuk menyalahkan salah satu dari mereka karena mereka adalah para sahabat Nabi –shalallahu ‘alaihi wasallam- dan mereka telah bertaubat. Dan karena sulitnya keadaan waktu itu, karena fitnah sedang menyebar di antara mereka. # Rujukan 

Fath Al-Bari fi Shohih Al-Bukhori, karya Ibnu Hajar Al-Asqolani. Al-Bidayah Wa An-Nihayah, karya Ibnu Katsir, 

Mohon Pencerahan ya ustadz, Jazakallah khairan 

— dengan Sinar Agama dan Sang Pencinta

Sufyan Hossein: Tentu saya tidak taqlid buta terhadap peristiwa di atas, saya ingin sekali dan berharap dapat penjelasan dari ustadz Sinar tentang kronologi perang Shiffin menurut pemahaman mazhab Ja’fari.. Supaya akal sehat saya dapat menimbang mana yang mendekati kebenaran.. 

Sang Pencinta: Sembari menunggu respon ustadz Sinar, izinkan saya komentar sedikit, secara logika sederhana jika ada dua pihak yang berperang, maka satu pihak berada di kebenaran, pihak lain salah, apala... 

{**}Ghadir Khum{/**} 

arsipsinaragama.com 

Sufyan Hossein: Salah seorang sahabat bercerita, “Suatu hari Rasulullah saw pergi bertamu. Di tengah jalan tampak Husain sedang bermain-main dengan anak sebayanya. Rasulullah menghampirinya karena ingin memangkunya, tapi Husain malah berlarian ke sana kemari. Rasulullah saw tertawa- tawa dan akhirnya berhasil menangkap Husain as. Kemudian Rasulullah mencium bibir Husain sambil mengatakan, ‘Husain bagian dariku dan aku bagian dari Husain. Sesiapa yang mencintai Allah pasti mencintai Husain as “’. 

Jabir mengatakan, “Aku melihat Hasan dan Husain sedang duduk di atas punggung Rasulullah saw. Rasulullah kemudian berjalan-jalan di atas tangan dan lututnya sambil mengatakan, ‘Unta kamu adalah unta terbaik dan barang yang dibawanya adalah barang yang ”terbaik”. Rasulullah saw adalah penyayang anak-anak bahkan ketika melakukan shalat pun beliau tidak mau mengecewakan anak-anak kecil. Salah seorang sahabatnya bercerita, “Kami sedang bersama-sama Rasulullah saw melaksanakan shalat, tiba- tiba Husain masuk. Ketika Rasulullah sujud, Husain menunggangi punggung Rasulullah. Rasulullah kemudian dengan hati-hati mendudukkan Husain di sampingnya. Setelah selesai shalat, kami bertanya kepada Rasulullah, Rasul menjawab bahwa Husain as adalah wewangianku.” 

Anas bin Maalik bertanya kepada Nabi saww: “Ahlulbait yang mana yang paling kamu cintai?” Nabi saww menjawab: “Hasan dan Husain.” (lihat riwayat-riwayat seperti ini atau semakna di: Shahih Turmudzii, jld. 2, hal 306; Faidhu al-Qadiir, jld. 1, hal. 138; Thabari dalam Dzakhaaitu al-’Uqbaan ya, hal 122; Kunuuzu al-Haqqaiq , hal. 5; Majma’ Haitsamii, jld 9, hal 175) 

Sufyan Hossein: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya. Dengan membaca pertanyaan di atas secara cepat dan global, maka sekedar untuk menambahi yang sudah-sudah: 

a- Sudah sering saya katakan bahwa ‘Aisyah itu salah satu pembenci Utsman dan sampai-sampai menyuruh orang-orang untuk membunuhnya. Misalnya riwayat-riwayat sebagai berikut: 

فلقد قالت عائشة: اقتلوا نعثال فقد كفر 

Berkata ‘Aisyah: “Bunuhlah Na’tsal (si Bodoh, maksudnya Utsman) karena ia telah kafir!” 

Lihat di: al-Futuuh, karya Ibnu A’tsam, 1/64; al-Mustarsyid, karya Ibnu Jariir Thabari, 165 (di sini malah ada sumpah ‘Aisyah bahwa ia bersaksi bahwa Utsman itu adalah bangkai di shiraathalmustaqiim); Taariikh Ibnu Atsiir, 2/206; al-Siiratu al-Halabiyyatu, 3/286; Tafsiir Aluusii, 16/108; Taariikh Thabari, 3/477; al-Kaamil fi al-Taariikh, 2/28, 3/100; 

Coba perhatikan kata-kata ‘Aisyah di tafsiir Aluusi ini (16/108): 


Ia -’Aisyah- adalah orang yang merangsang umat untuk membunuh Utsman dan berkata: 

“Bunuhlah si bodoh itu, karena ia telah berbuat fajir seperti orang-orang Yahudi dan dijuluki si bodoh.” 

Hingga ketika ia -Utsman- terbunuh dan umat membaiat Ali, ia -’Aisyah- berkata: 

“Aku tidak perduli apakah langit akan jatuh ke bumi, demi Allah, ia -Utsman- telah dibunuh secara teraniaya dan aku adalah orang yang menuntut darahnya.” 

Karena itulah, salah satu shahabat yang lain yang bernama Ibnu Ummu Kilaab mendebat ‘Aisyah. Perhatikan nukilan sejarah Sunni (yang di atas itu juga semuanya riwayat Sunni) Tariikh Thabari, 3/477 dan al-Kaamil Fii al-Taariikh, 2/28 dan 3/100 ini: 

.....kemudian ia -’Aisyah- menuju Makkah dan berkata: 

“Demi Allah, Utsman telah dibunuh secara aniaya, demi Allah aku menuntut darahnya.” Berkata kepadanya Ibnu Ummu Kilaab: 

“Demi Allah, mengapa demikian? Bukankah kamu yang pertama kali berpaling darinya -Utsman- dan kamu berkata: ‘Bunuhlah si bodoh karena ia sudah kafir?” 

Ia -’Aisyah- menjawab: 

“Sesungguhnya orang-orang itu memintanya bertaubat kemudian membunuhnya. Aku memang pernah berkata seperti itu dan orang-orang juga berkata seperti itu. Akan tetapi kata-kataku yang akhir ini, lebih bagus dari kata-kataku yang pertama.” 

Kemudian Ibnu Ummu Kilaab berkata padanya: 

“Dari kamu permulaannya dan dari kamu juga perubahannya ....”. 

b- Kalau diperhatikan, maka permusuhan ‘Aisyah dengan Utsman itu hakiki hingga karena itu ia menyuruh orang-orang untuk membunuhnya. Dan perlu diketahui, bahwa banyak sekali shahabat yang tidak mau kepemimpinan Utsman dan bahkan tidak mau shalat di belakangnya (lihat semua sejarah Sunni). 

Akan tetapi, karena umat berbondong-bondong membaiat Imam Ali as setelah terbunuhnya Utsman, di mana beliau as ini musuh paling utamanya ‘Aisyah, sebagaimana tertuang di hadits-hadits dan sejarah-sejarah Sunni, maka ‘Aisyah berubah haluan dari membenci Utsman menjadi membelanya. 

c- Ketika Imam Ali as menjadi khalifah, sudah seharusnya ditaati oleh semua orang. Kalau di jaman Abu Bakar, orang yang tidak bayar zakat ke pusat pemerintahan Abu Bakar dan membaginya sendiri saja, sudah dianggap kafir dan diperangi serta sebagian mereka dibakar hidup-hidup oleh jenderalnya Abu Bakar, yaitu Khalid bin Walid, maka bagaimana dan apa hukumnya bagi orang yang tidak ikut kebijakan Imam Ali as dan bahkan memeranginya dengan pedang dan pasukan? 

d- Tidak terima kepada keputusan khalifah yang syah, di samping sudah merupakan pelanggaran, kalaulah dianggap kebenaran juga, bukan berarti tuntutannya adalah melawan dengan pedang dan perang, hingga paling sedikitnya korban yang jatuh di perang jamal itu, sesuai dengan tariikh Sunni, sebanyak 13.000 shahabat dan taabi’iin. 

e- Sejarah hitam ini, merupakan kenyataan yang tidak bisa disangkal. Sementara taubat masing- masing orangnya, merupakan hal yang masih diperselisihkan. Terlebih lagi, taubat dari darah (membunuh), adalah qishash (dibunuh), bukan istighfaar. 

f- Ketika para shahabat itu saling berperang dan berbunuh-bunuhan dalam peperangan, bukan dalam perkelahian, di mana jelas ribuan orang melawan ribuan orang dan terjadi beberapa kali, maka yang paling sedikit bisa ditarik pelajaran darinya adalah bahwa mereka tidak bisa lolos sensor hadits. Karena sekali bohong saja haditsnya sudah dianggap dha’if, apalagi membunuh. Mengkritisi shahabat saja sudah dibilang kafir, apalagi membunuh dan bahkan membakar hidup-hidup shahabat. 

Maksud saya, adalah kita tidak bisa memukul rata bahwa semua riwayat yang ada dari mereka itu dikatakan shahih hanya dengan alasan bahwa mereka itu shahabat Nabi saww. 


g- Perkataan bahwa hal itu sudah diprediksi Nabi saww dan sebagai tanda-tanda hari kiamat, bukan berarti peperangan itu direstui Nabi saww dan sama-sama benar. Dengan demikian, maka kritikan dan kejelian terhadap masalah-masalah di atas, sangat diperlukan, karena kita harus memilih hadits mana yang mau kita ikuti dan hadits mana yang tidak boleh kita ikuti. Yakni hadits dari kelompok mana yang harus diikuti dan yang mana harus ditolak atau, setidaknya tidak dikomentari tapi tidak diikuti. Apakah kita akan mengikuti riwayat-riwayat yang diperangi atau yang memerangi, yang membunuh atau yang dibunuh...dan seterusnya. 

Intinya, kita tidak boleh mengorbankan akhirat kita hanya dengan semboyan-semboyan belaka walau, sudah tentu kita harus saling menghormati dalam arti tidak mencemooh dan tidak menindas orang-orang yang berpendapat lain. 

h- Taubat para penyerbu kepada Imam Ali as, kalaulah benar, hanya dijadikan sebagai pengesah keshalihan mereka oleh para pengikut mereka. Tapi tidak dijadikan ibrat dan penerapan secara konsekuensi kepada kehidupan beragama kita. Buktinya, tetap saja ketika berbicara tentang perang Jamal (misalnya), mereka-mereka ini tetap mengangkat dalil-dalil para penyerbu itu. Sementara ketika mereka-mereka ini mengatakan bertaubat, kan mestinya bertaubat dari semua jalan berfikir sampai kepada penyerbuan itu. Tapi anehnya, taubat itu hanya dijadikan supaya para shahabat itu tetap dihormati, tapi di lain pihak, ucapan dan dalil-dalil mereka untuk berontak itu, tetap dipakai sampai sekarang ini.

i- Semua shahabat alim dan semacamnya, sangat-sangat tidak relevan sama sekali. Kok bisa sama-sama alim saling berperang dan berbunuh-bunuhan dan, itupun sering kali dan dalam peperangan antara ribuan shahabat dengan ribuan yang lainnya (baca: bukan perkelahian biasa dan personal). Lah, kalau alim sama alim seperti ini, maka sebaiknya kita jangan menjadi orang alim, supaya tidak saling bunuh.

j- Kronologis setiap peperangan, hampir sama, baik yang diriwayatkan Sunni atau Syi’ah. Yang beda itu adalah cara menatap sejarah tersebut. Kalau di Syi’ah ditatap sebagai suatu kejadian yang harus diambil ibrat/pelajaran terutama dalam penyaringan hadits shahih dan tidak. Tapi di Sunni, biasanya dijadikan peristiwa masa lalu yang tidak boleh dibahas lagi karena mereka sama-sama adil, sama-sama alim dan sama-sama masuk surga. Walhasil.... 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

1 komentar: