Selasa, 26 November 2019

Kontradiksi-Kontradiksi Isi Buku Syi’ah Menurut Syi’ah

7. Kontradiksi-Kontradiksi Isi Buku Syi’ah Menurut Syi’ah

https://www.facebook.com/notes/teguh-ibnu-suhedi/kontradiksi2-isi-buku-syiah-menurut-syiah/10152635709793937


Anggelia Sulqani Zahra: Penolakan Hadis Ghadir Khum

Halaman 301 Tanggapan :

Begitu pula setelah pengankatan Abu Bakar yang berlangsung di Saqifah, Ali menolak memberikan baiat selama kurun waktu enam bulan dari pembaiatan Abu Bakar tersebut. Enam bulan adalah sebuah waktu yang cukup panjang. Dalam kurun waktu itu, Ali tak henti-hentinya membuktikan hak kewaliannya atas umat islam. Peristiwa ini dimuat di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. (kemudian penulis mencantumkan beberapa kitab hadis tentang hak kekhalifaan imam Ali as ; ASZ)

halaman 302 :

Muhammad Abduh dalam kitab Nahjul Balaghah, Khutbah Nomor tiga, Dr. Subhi Shalih menahkik Kitab Nahj Al-Balaghah tentang surat imam Ali kepada Penduduk Mesir dan kepada Malik Al-Asytar.

Ibnu Qutaibah dalam Al-Imamah wa Al-Siyasah h. 20

Dengan demikian hujjah dan argumentasi Ali dengan hadits Al-Ghadir’ terhadap khalayak dalam menetapkan kekhalifaan dan kepemimpinan atas ummat, adalah adil dan kuat, bahwa maksud kata ‘maula’ dalam hadits Rasulullah Saw adalah keutamaan dalam bertindak dan berbuat dalam masalah-masalah umat dan kepemimpinan..

Sangat bertolak belakang dengan penjelasan dalam buku yang sama (“Syi’ah Menurut Syi’ah” Penulis Tim Ahlulbayt )

Pada Topik Epilog “Tafsir Rekonsiliatif tentang Kepemimpinan Setelah Nabi Halaman 345”
Dalam konteks Nabi sebagai pemimpin, terdapat dua fungsi, yaitu: kepemimpinan vertikal dan kepemimpinan hirisontal. Karena itu, person yang diyakini sebagai pengganti Nabi, mesti diperjelas apakah ia merupakan pengganti Nabi dalam konteks Vertikal ataukah horizontal. Dan Perbedaan Khalifah dan Imamah Point 6. Mekanisme Hal. 348 :’Ali Bin Abi Thalib diyakini sebagai imam dengan proses deklarasi pengangkatan oleh Nabi Saw saat di Ghadir Khum sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt dalam Alquran. Sementara Ali bin Abi Thalib memberikan baiatnya kepada Abu Bakar sebagai pemimpin masyarakat (Khalifah), karena tidak menganggapnya sebagai pemimpin umat. Baiat merupakan kontrak sosial politik. Karena itu pula, Syi’ah tidak mensyaratkan baiat untuk menjadi pengikut Ali (sebagai pemimpin umat). Dalam Syi’ah, baiat memang bukan syarat.

Sekian wassalam..

Khoirul Huda: Praktis agama dengan ritual sakit hati penuh cacian dan laknat dan yang keblinger mencaci maki orang yang sudah mati bisa masuk surga ‘surga-e mbahmu!

Azmy Alatas: Yaelah...kayak gitu aja kagak paham... Tafsir rekonsiliatif itu seolah mau bilang, “ ayo kita tatap keduanya (Syi’ah-Sunni), setelah membaca penjelasan tentang apa itu Syi’ah di depan”.

Makanya baca dari depan sampe belakang, karena buku tersebut berupa narasi, bukan bantah berbantah. Saling terkait dan punya alur.

Pahami tafsir rekonsiliatif sebagai pandangan kesalingpahaman Sunni-Syi’ah, bukan dakwaan kebenaran Syi’ah atas Sunni ataupun Sunni atas Syi’ah.

Neo Hiriz: Sebaiknya buku ini didiskusikan di kalangan terbatas....

Satria Langit: Ini di pestain oleh wahaby takfiri tau.

Azmy Alatas: @neo: biarin aja kita turuti mau nya genk sinar jaya...hehe..

Fahmi Husein: Kesalahannya dimana? Kalau cuman harus membawakan alur cerita secara detail (6 bulan yang lama bla bla bla) itu hak penulis mau detail atau tidak, kecuali ada bukti (riwayat) sebaliknya. Buktinya, Abu Bakar digantikan Umar lalu Usman ya Imam Ali as manut aja.

Fahmi Husein: Nampak sekali kan, kalian tukang pleset, menolak hadits ghadir, emang ada yang mengaku pengikut Ahlulbait as menolak hadits ghadir?? ABI selalu merayakan Idul Ghadir kok!!

Firdaus Said: Iya... Jelas sekali kontradiksinya...

Azmy Alatas: Menurut upin ipin ya kontradiktif...

Fahmi Husein: Iya... Jelas sekali kontradiksinya...

Firdaus Said: Hehehe.... Setidaknya saya faham kontradiksinya ....hehehe.

Fahmi Husein: Kalau saya faham upin ipin-nya, betul betul betul.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-annya.

Itu bukan kontradiksi, melainkan yang satu menafsirkan yang lainnya. Karena yang di halaman-halaman sebelumnya itu adalah mukaddimah bagi halaman-halaman berikutnya. Penjelasan normal, umum dan logisnya seperti ini:
  • a- Di halaman yang menerangkan bahwa imam Ali as membuktikan kebenaran hak beliau as, adalah membuktikan pengakuan imam Ali as. Bukan iman penulis.
  • b- Iman penulis yang saya maksud di sini, BUKAN IMAN DI DADA PENULIS, TAPI DI YANG TERTERA DI BUKU PENULIS.
  • c- Dan penulis, mau membuktikan bahwa dakwa imam Ali as itu ada dan dimuat di hadits-hadits Sunni.
  • d- Apalagi didukung oleh pernyataan penulis tentang Muhammad Abduh dan lain-lain-nya itu yang membenarkan bahwa hadits Ghadir Khum itu adalah benar dan menunjukkan pada makna maula yang berarti: “.....keutamaan dalam bertindak dan berbuat dalam masalah-masalah umat dan kepemimpinan..”.
  • e- Artinya, wahai saudara-saudara Sunni, akuilah bahwa imam Ali as itu lebih utama dari Abu Bakar.
  • f- Paling ekstrimnya, penyimpulan logis dari tulisan-tulisan itu adalah bahwa imam Ali as, adalah Pemimpin.
  • g- Nah, dari sejak atau sekitar halaman 345 itulah, maka kesesatan buku ini mulai unjuk gigi. iNGAT, saya tidak mau menilai orangnya yang barangkali beriman dan wali Allah. Itu urusan mereka. Saya hanya mau membahas tulisan bukunya yang dapat dipahami secara umum, logis dan tidak mengada-ada.
  • h- SAYA ULANGI BAHWA DARI PENULISAN SEBELUM HALAMAN 345 ITU ATAU SEKITARANNYA ITU, MAKSUD PENULIS YANG DAPAT DIPAHAMI SECARA UMUM HANYALAH BAHWA IMAM ALI as ITU ADALAH PEMIMPIN. TIDAK LEBIH TIDAK BUKAN. ARTINYA, BUKAN BERARTI ABU BAKAR TIDAK SYAH DENGAN PERNYATAAN IMAM ALI as ADALAH PEMIMPIN ITU.
  • i- Nah, ketika sampai pada penjelasan PEMIMPIN, penulis menjelaskan bahwa PEMIMPIN ITU ADA DUA FUNGSI, Vertikal dan Horisontal.
  • j- Dalam perjalanan penjelasannya itu, ia masih kadang menukil pandangan Syi’ah. Sudah tentu, dengan banyak hal yang kacau dalam tulisannya. Lihat komentar sebelumnya atau sebelum buku itu resmi terbit atau marak dibahas. Yaitu ketika ustadz ML menulisnya di fb pada 10 September. Dan saya baru menjawabnya pada tgl 25 Oktober lantaran diberitahu bahwa ada tulisan nyeleneh itu.
  • k- Kekacauan tulisannya, sudah saya bahas satu-satu di sana. Yang ingin tahu, silahkan merujuknya. Semakin terus menulis, penulis semakin menunjukkan kesesatannya. Ingat, kesesatan dalam tulisan. Saya tidak membahas orangnya, tapi tulisannya.
  • l- Bagi yang jeli, sudah tahu mau kemana. Sampai akhirnya, betul juga, kecongkakannya tidak ditutupinya lagi, yaitu dengan mencela para tokoh ulama Syi’ah dan Sunni, yang tidak memahami imamah dan khilafah ini. Karena imamah tidak mesti khalifah dan sebaliknya walau bisa saja bersamaan, yakni imam yang juga khalifah. Artinya, imam hanya vertikal dan khalifah adalah horisontal.
  • m- Artinya, apapun yang dinukil benar sebelumnya tentang Syi’ah itu (karena diantara nukilan-nukilan rancunya itu ada benarnya dan ada salahnya) bukan suatu yang benar bagi penulis. Karena itulah, di akhir tulisannya tersebut, yakni yang menyangkut imamah dan khilafah itu, semua ulama dihajarnya habis-habis dengan diolok sebagai GONTOK-GONTOKAN yang tentu karena mengajarkan bahwa imamah itu meliputi keduanya, vertikal dan horisontal. Karena bagi penulis, imamah itu hanya vertikal dan khilafah itu horisontal. Jadi, mengapa gontok-gontokan? Itu logika penulisnya. 
ITULAH MENGAPA SAYA SERING MENGATAKAN BAHWA PENULIS BUKAN HANYA MENCELA ULAMA SYI’AH DAN SUNNI (dalam tulisannya, bukan dalam hatinya yang saya jelas tidak mengetahuinya dan hal itu tidak kita bahas ketika membahas sebuah tulisan), MELAINKAN PARA IMAM MAKSHUM as ITU SENDIRI, YANG TELAH BERJUANG MEMBELA KEHORISONTALAN MEREKA as ITU SAMPAI MENGARBALA. DAN JUGA MENCELA NABI saww YANG TELAH MENGAJARKAN IMAMAH DAN TUHAN YANG MENGAJARKAN KEULILAMRIAN ITU. YAKNI MENCELA DENGAN GONTOK-GONTOKAN.
  • n- Saya tidak akan memperpanjangnya lagi di sini, dan hanya ingin mememberikan garis bawah pada Anggelia, bahwa tulisan-tulisan itu, bukan kontradiksi, tapi saling menafsirkan. YANG PERTAMA ADALAH PENUKILAN SYI’AH DIMANA HAL INI MASIH BERCAMPUR ANTARA BENAR DAN SALAHNYA DAN YANG BERIKUTNYA, MAKNA YANG SEBENARNYA YANG DIINGINKAN OLEH PENULIS. SEMENTARA YANG DIMAKSUKAN JUDUL BUKUNYA KAN SYI’AH MENURUT SYI’AH. INI YANG KITA KATAKAN MENYESATKAN. KARENA PENDAPAT SYI’AH JUSTRU DIHABISI SETELAH PENUKILAN ITU DAN BAHKAN DIOLOK SEBAGAI PENGGONTOK-GONTOKAN LANTARAN MENGAJARKAN TIDAK SEPERTI YANG DIPAHAMI PENULIS TENTANG KEVERTIKALAN IMAMAH DAN KEKHORISONTALAN KHALIFAH.
  • o- Penutup:Teman-teman yang ingin mendiskuikan buku sms itu secara tertutup, maka suruh tarik dulu buku itu dari peredaran. Tapi kalau masih belum ditarik dari umumnya masyarakat, dan itu hak mereka, maka merupakan hak setiap orang untuk membahasnya di medsos. Tidak usah bersembunyi di ketiak wahabi dan perpecahan umat. Karena yang tidak setuju kepada pembahasannya itulah dan apalagi dengan kata-kata penuh penilaian tanpa adu argumentasi itulah, yang sebenarnya perpecahan. Wassalam.
  • p- Tambahan: Teman-teman mesti tahu bahwa penamaan buku itu dengan SMS, bukan dinukilannya yang kadang disampaikan dengan benar dan kadang salah itu, akan tetapi di pendapat penulisnya. Karena maksud dari Syi’ah di buku itu, adalah penulisnya. Karena itulah, maka apapun hujatan kita kepada buku itu, bukan pada nukilannya yang kadang benar itu, akan tetapi pada pendapat penulisnya.
Dan ingat, bahwa kita membahas tulisannya sesuai dengan pemahaman uruf, logis dan tidak diada-ada. Bukan membahas apa dan siapa serta apa keyakinan penulis. Itu urusan batin mereka yang kelak akan dikeluarkan di akhirat sebagaimana dada kita semua.

Fahmi Husein: Wah Firdaus Said jenius berarti, langsung dapat melihat kontradiksinya yang Sinar Agama-pun menyatakan bukan kontradiksi.

Firdaus Said: Nggak sulit kok menerima kritikan.. Kenapa harus bertahan dengan pandangan yang tidak berdalil... Fahmi Husein mestinya antum kalau tidak melihat itu sebagai kontradiksi juga memberikan argumentasi sebagaimana yang dilakukan ustadz... Kan diskusinya tetap berada pada zona ilmiah...

Fahmi Husein: Kalau saya gak sejenius anda,, belum bisa mengatakan kontradiksi-atau tidak, di komen saya diatas malah menanyakan kesalahannya.

Sinar Agama: Fahmi, sayyid. Mengapa antum beberapa hari ini, seperti ini. Emangnya antum ini tidak gelisah seperti ana. Gelisah takut tidak diterima Allah?

Kalau tidak gelisah, yah... silahkan gunakan umur antum untuk hal-hal tak penting. Tapi kalau gelisah seperti saya, maka ayo diskusi yang benar. Pakai dalil dan sambil menangis kepada Allah meminta ampunan dan petunjuk.

Tapi ingat sayyid, harus baca dulu yang sebelumnya kalau mau diskusi, he he... hingga tidak dikhozak khoyal he he...afwan.

Firdaus Said: Alhamdulillah kalau antum jenius... Tidak usah kuatir.. Saya ini pengagum orang-orang jenius.. Kalau antum jenius maka saya juga pengagum antum ...

Fahmi Husein: Dapat kita lihat semua, yang ditanyakan halaman 301 & 302, dari keterangan Sinar Agama, tidak ada masalah (kesalahan ataupun kontradiksi), herannya beliau meloncat ke pembahasan halaman 345 yang isinya tidak ada diatas.. itu bukan “belepotan” namanya??? Jelas yang mau ngikuti pusing duluan..

Sinar Agama: @Firdaus, ahsantum. Semoga antum menulisnya dengan sesuai hati, hingga semangat itulah yang akan mengantar antum padaNya. Karena itu, antum bisa iringi dengan Demi Allah, supaya tambah mantep. Kalau tidak juga tidak masalah.

Sinar Agama: @Fahmi, marilah jangan main keras-kerasan bib. Kalau antum disuruh baca tulisan sebelumnya tidak mau karena tidak ada waktu, mengapa diskusi yang putus-putus seperti ini banyak waktu antum?

Firdaus Said: Iye ustadz insyaAllah.. Demi Allah tidak ada niatan sejak awal untuk melakukan ini hanya untuk gontok-gontok dan musuh-musuhan... InsyaAllah sejak dahulu dan insyaAllah ke depan kita di itrah institut.. Senantiasa menjaga silaturahmi dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan IJABI dan ABI di Sulawesi Tengah...

Fahmi Husein: @Sinar, astaqfirullah al-adzim, afwan, tidakkah antum tahu dengan alfaqir yang selalu mengikuti bahkan seringkali bertanya kepada antum?? Antum alfaqir jadikan rujukan pertanyaan di fb ini. Tapi melihat hari-hari ini IIP yang provokasi dan antum ikut di dalamnya yang juga alfaqir udah ulang-ulang ketidaksetujuan alfaqir antum membahas person (ustadz) atau lembaga.. Mari, ana sangat berterima kasih atas diskusinya dan ajarannya, tapi jangan gunakan cara yang gak betul dong!!! Diskusi hanya isi buku ahlan wasahlan, bukan tau-tau gelambyar ke ustadz-ustadz, yang tau-tau di captur oleh Anggelia Sulqani Zahra, dengan olokannya!!! Jangan mengolok dan membiarkan pengolok di wall-wall kalian agar kalian juga tidak diolok-olok!!!

Sinar Agama: @Fahmi, itulah yang saya katakan antum ini khoyal bib. Sudah saya katakan bahwa diskusi ini sudah ada sejak oktober lalu. Dan tidak ada yang bahas orangnya. Kalau sebagian teman menyebut ustadz ML, karena dia yang memuatnya di fb ini. Itulah bib, baca yang sudah saya anjurkan itu.

Ya Allah.....jamaa’aahhhh la-at softoh, waktu ana tidak banyak. Sementara ana harus menerangkan apa-apa yang tidak dipahami atau yang tidak disetujui. Nah, kalau ngulang terus, muter terus, lalu apakah antum sudah membantu sesama, terutama alfakir ini yang banyak tugas menumpuk di pundak? Post ana bukan hanya di fb ini bib. Tapi masih banyak yang lainnya. Di fb ini saja, antum bisa lihat berapa puluh pertanyaan di dinding, baik status atau di kolom komentarnya. Apalagi kalau dicampur dengan inbox nya. Ini baru fb nya. Belum lagi yang lainnya. La-at pakai emosi.

Tidak ada gunanya. Hdh Faathimah as melihat kita semua. Dimana ana pernah bahas orang bib? Ana ini bahas isi buku dan tulisan. Ana ini sedang kepanggang bib. Kalau mau ikut diskusi, baca tulisan sebelumnya itu. Nanti antum nilai kita ini sudah keluar dari syariat atau tidak, kejam atau tidak, mengerikan atau tidak....dan seterusnya?

Fahmi Husein: Kita lihat diroom ini aja, bagaimana Firdaus Said, dengan entengnya bilang ‘jelas sekali kontradiksinya’, sebelum antum menjawabi, eh setelah antum menjawabi bukan ada kontradiksi, yang ana katakan jenius malah dibalik kepada ana, dan ujung-ujungnya.. dapat pujian dari antum. Hebatnya Akun Sinar Agama dengan ketua yayasan IIP.. ana acungi jempol, dengan terbalik.

Sinar Agama: @Fahmi, kalau Firdaus salah dalam memahami, dan aku yang benar, seandainya begitu di hadapan Allah, maka sms itu tambah parah bib. Lebih bagus Firdaus yang benar ketika mengatakan kontradiksi. Sebab bisa saja orang itu melakukan kontrasiksi tapi tanpa ada niatan apapun dan/atau kesalahan penulisan.

Lah, kalau ana yang benar, maka sungguh siapapun penulisnya, tulisannya itu, ingat tulisannya itu, sudah sejengkal dari kekufuran bib. Kalau ditambah pengingkaran pada wali fakih, maka tambah bahaya bib.

Fahmi Husein: Wallahi ana lihat dan baca dengan jelas bagaimana tanggapan antum terhadap ustadz ML. Ana tahu antum sibuk, jangan menyiksa diri. Tolong, sekali lagi tolong, jangan ikut dan terbawa ke pembahasan person atau lembaga. Ingatkan juga penanya bila udah keluar jalur, dan upayakan tidak perlu foto buku itu diulang-ulang upload dengan taq-taq, cukup dengan menanyakan halaman/isi yang perlu dibahas. Harap.. mohon.. dengan sangat, untuk kali ini aja alfaqir mau didengar sarannya.. demi ukhuwah, demi Ahlulbait as, khususnya demi Syd Fatimah as.. Ini kita sudah main api Allah. Doakan Firdaus yang benar, bukan ana.

Sinar Agama: @Fahmi, antum memohon kebalikan dari yang kita inginkan. Saya menganjurkan kepada teman-teman untuk selalu membahas buku itu, tapi dengan ilmiah. Supaya buku itu, pada akhirnya ditarik dari peredaran karena merugikan orang Syi’ah dan madzhab Syi’ah.

Jadi, ampunkan hamba. Karena saya sementara ini sudah sampai pada tingkat keyakinan, bahwa buku itu menyesatkan dan mesti ditarik dari peredaran karena akan membawa korban kesesatan yang terlalu banyak. Ana sudah nulis semuanya sebelum ini dimana antum tidak mau membacanya itu.

Ana hanya bisa dan selalu dari awal seperti itu, menganjurkan untuk tetap dengan bahasa ilmiah yang baik. Tanpa ejek mengejek. Itu saja bib. Kalau antum marja’ ana, sudah pasti ana akan ikuti anjuran antum. Tapi ana tahu dengan relatif bahwa marja’ tidak menginginkan seperti itu.

Tentu saja, marja’ tidak ingin melihat umat ini terpecah. Akan tetapi jalannya, bukan menutup pembahasan kita, tapi menarik buku yang menyesatkan Syi’ah yang atas nama Syi’ah itu. Ini yang ana pahami dari fatwa-fatwa marja’ dan aplikasi penggalangan persatuannya. Karena itu, sekalipun teman-teman atau kita- kita sendiri sudah benar sekalipun, akan tetapi kalau tidak dengan bahasa yang santun dan mengejek, maka bisa masuk dalam kategori perpecahan.

Jadi, menjaga persatuan itu bukan menarik protes terhadap yang diprotes, tapi bisa dengan menarik yang diprotes kalau yang diprotesnya salah secara gamblang. Jadi, yang membuat perpecahan itu bukan kami yang dirugikan ini, akan tetapi yang telah menyebarkan ketidakbenaran dan merugikan kita semua itu. Karena itu antum baca baik-baik diskusi sebelumnya. Kalau benar, maka ramai-ramai memohon, INGAT, MEMOHON kepada penerbit untuk menarik buku tersebut, bukan menyuruh diam kami dan semua orang.

Fahmi Husein: @Sinar, ana rasa antum dapat memahami kalimat ana dengan baik, tapi, apa karena antum ikut-ikut IIP atau IIP yang ikut antum dengan memplesetkan apa yang ana mohon dan harapkan. TIDAK ADA SEDIKITPUN SATU KATA/KALIMAT ANA UNTUK MENUTUP DISKUSI ATAU PEMBAHASAN ISI BUKU, ATAU MEMPROTESNYA!! Tapi antum bilang kebalikan...La haula wala quwwata illa billah.. silahkan dah lanjutkan..

Nampak sekali kok bagaimana rapuhnya hujjah antum untuk sikap, (SIKAP, BUKAN DISKUSI ILMIAH YAH, NTAR DIBELOKKAN LAGI), Ini adalah sikap pembenaran dan berandai-andai antum (hoyal teriak hoyal) ---->Fahmi, kalau Firdaus salah dalam memahami, dan aku yang benar, seandainya begitu di hadapan Allah, maka sms itu tambah parah bib.

Lebih bagus Firdaus yang benar ketika mengatakan kontradiksi. Sebab bisa saja orang itu melakukan kontrasiksi tapi tanpa ada niatan apapun dan/atau kesalahan penulisan.

Lah, kalau ana yang benar, maka sungguh siapapun penulisnya, tulisannya itu, ingat tulisannya itu, sudah sejengkal dari kekufuran bib. Kalau ditambah pengingkaran pada wali fakih, maka tambah bahaya bib.

Basu Dewa: Wah..rame juga disini... saya baru dapat kiriman dari kawan buku ini,.. jadi penasaran juga.. : judulnya sangat mengejutkan “SYI’AH MENURUT SYI’AH”...penulis TIM AHLUL BAIT INDONESIA. Artinya Buku ini ditulis oleh orang syi’h (Ahlul bait Indonesia) dan tentunya pasti mewakili SYI”AH kalau dilihat dari judul dan ditegaskan juga pada pengantarnya di point 5, buku SMS ini menjadi rujukan bagi Muslim Syi’ah dan siapa saja yang ingin memahami madzhab Syi’ah.

“APA IYA..??”...

Sinar Agama: @Fahmi, kalau ana salah dalam memahami antum atau menulis tentang antum bahwa antum meminta diskusi ini dihentikan di medsos, maka maafkan hamba. Yang lain-lainnya, saya rasa sudah jelas. Afwan.

Keongracun: Syi’ah menurut Syi’ah itu yang sekehendak hatinya dan se sesat-sesatnya hahaaaa.......

Gaģak Rimanģ: Basu Dewa, muslim Syi’ah ?? Sejak kapan Syi’ah jadi muslim ???

Meyo Yogurt: Saya belum baca bukunya tapi mungkin maksudnya begini, khalifah atau pengganti Nabi saw. , meliputi vertikal dan horizontal. Sedangkan kalau menurut Sunni, hanya horizontal saja. Buktinya AUU kalau menghadapi kasus fikih atau tafsir Al Qur’an sering membutuhkan bantuan shahabatnya, karena mereka tidak menguasai dari sisi kepemimpinan agama atau vertikal. Imam Ali as. membaiat mereka sekedar untuk kepemimpinan horizontal itu, itupun terpaksa, bukan kepemimpinan vertikal. Begitupun Syi’ah Imam Ali as. Tetap jadi Syi’ah meskipun mereka terpaksa juga membai’at orang lain. Sekedar opini saya.

Meyo Yogurt: Tulisan di atas tidak menafikan kekhalifahan Imam Ali as. meliputi baik vertikal maupun horizontal.

Sang Pencinta: @Meyo, antum jangan mengkalau-kalau dulu, silahkan baca dulu dengan teliti baru mengkomentari,

https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/bedah-buku-sms/773797299336845

Meyo Yogurt: Saya coba tanggapi link pertama. Disini pak ustadz Muhsin Labib menjelaskan tentang imamah dan khalifah. Untuk imamah beliau menggunakan definisi Syi’ah, untuk khalifah beliau menggunakan definisi Sunni. Makanya beliau mengatakan khalifah butuh pengakuan bai’at, ada keterbatasan teritorial dan lain lain. Padahal kalau khalifah itu berarti pengganti Nabi dalam menjalankan fungsinya, khalifah dan imam itu sama saja.

Meyo Yogurt: Iya saya sudah membaca 5 link pertama. Sepanjang yang saya baca kata pengantar pak Muhsin Labib itu tidak salah kalau mengingat pembacanya adalah Sunni yang mengidentikkan makna khalifah dengan AUU. Kalau hanya diambil kalimatnya sepotong sepotong, dan dimaknai dengan paradigma Syi’ah memang salah. Sekedar opini saya.

Khommar Rudin: Allohuma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum



Artikel selanjutnya:
====================

Senin, 25 November 2019

Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 6

6. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 6

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-6/10152453831143937


Sinar Agama: @Ali, hanya sekedar nimbrung diskusi di atas yang nyampur antara dengan ana dan yang lain:

1- Pemimpin di negara manapun yang menjadikan hukum Islam itu sebagai hukum negaranya, sudah tentu WAJIB wali faqih. Jadi, president, parlemen (MPR), ... dan seterusnya...hanya merupakan bawahan wali faqih. Emangnya Nabi saww dan para imam as, mengerjakan semua pekerjaannya sendiri? Jadi, ada bagian-bagiannya. Karena itu, maka apapun keputusan MPR itu, wajib disetujui dulu oleh wali faqih yang diwakili 12 orang dan baru bisa dikerjakan oleh presiden. Presiden ini dipilih rakyat sebagai mukaddimahnya, bukan pengangkatannya.

Karena pengangkatannya, harus melalui wali faqih.

Untuk menjadi presiden, dua kali harus melewati persetujuan wali faqih. Pertama, di awal-awal mau mencalonkan diri. Kalau diluluskan wali faqih yang melalui wakilnya (majlis nigahbon yang terdiri dari 12 orang), maka bisa mencalonkan diri untuk dipilih atau tidak oleh rakyat.

Ke dua, kalau sudah terpilih, maka mesti juga diangkat oleh wali faqih. Kalau dalam masa kelulusan mencalonkan diri sampai dengan terpilih itu, tidak terjadi apa-apa terhadapnya hingga membuatnya tidak layak menjadi presiden, maka dia baru akan diangkat dan diresmikan oleh Wali Faqih. Jadi, presiden itu hanya pembantu wali faqih, bukan pemimpin negara. Dan wali faqih ini, juga dipilih rakyat melalui majlis Para Ahli (khubregon) yang dipilih rakyat. Yaitu yang terdiri dari ulama mujtahid.

Jadi, posisi wali faqih bukan formalitas, akan tetapi asas. Karena tanpa wali faqih, maka tidak bisa dikatakan negara Islam yang atas nama Tuhan. Karena jabatan wewenang mengurus umat itu, hanya diberikan kepada para nabi as, para imam as, dan wakil-wakil para nabi as dan imam as tersebut. Wakil-wakil ini ada yang ditunjuk langsung oleh para Makshumin as itu, dan ada yang melalui kreteria. Nah, para marja’ itu, dipilih menjadi wakil para Makshumin as melalui kriteria sebagai banyak dalam perintah dan hadits-hadits mereka yang memerintahkan umat untuk menaqlidi dan mengikuti serta menaati faqih yang mujtahid, tidak melakukan dosa besar dan kecil (adil) dan tidak tamak kepada dunia sekalipun halal.

Nah, ketika para Makshum dan Tuhan sendiri mewajibkan kita mengikuti para ulama yang memenuhi syarat tersebut, maka inilah yang disebut dengan WEWENANG itu yang, kalau disebutkan lengkapnya menjadi WEWENANG FAQIH atau WALI FAQIH.

Jadi, wali faqih itu aktif tiap harinya. Bukan hanya aktif mengikuti perkembangan pemerintahan wakil-wakilnya, akan tetapi, aktif dan terlibat dalam keaktifan bawahan-bawahan itu secara hakiki. Memang, ada perintah-perintah yang sudah diberikan sebelumnya. Dalam hal-hal seperti itu, wali faqih hanya mengawasi kerjanya dimana kalau keluar dari garis, diadakan peneguran dan perubahan. Hal ini tidak ada anehnya sedikitpun. Karena siapapun pemimpin dan dimanapun dan apapun sistemnya yang dipakai, maka pemimpin tertingginya, tidak langsung mendayung perahu di laut, menjadi jendral perang di lapangan. Tidak mesti seperti itu. Karena itulah, maka ada mentri-mentri dan wakil-wakil. Nah, untuk pemerintahan wali fakih ini, hanya ada semacam wakil-wakil saja, seperti presiden itu sendiri. Baru mentri-mentri ada di bawah presiden. Jadi, jangan dikira bahwa kalau presiden yang membawahi mentri lalu wali faqihnya tidak memerintah langsung secara aktif. Terlebih langsung tidaknya presiden, dilihat dari hal ini, juga tidak langsung. Karena dibawahi para wakil dan mentrinya.

Btw, hal ini sangat mudah. Koncinya, jangan samakan dengan pemerintahan yang pemimpin tertingginya presiden atau raja. Pemerintahan Islam yang disalurkan melalui Nabi saww dan Ahlulbait as adalah melalui kewenangan atau kewalian. Yakni wewenang yang diberikan Allah, baik langsung seperti Nabi saww, atau tidak langsung, seperti para imam dan wakil-wakil Nabi saww dan para imam as, baik melalui penunjukan langsung atau dengan kriteria sebagaimana sudah dijelaskan.

2- Tentang syaikh Shaduq ra dan syaikh Mufiid ra itu, sama sekali tidak bisa disamakan dengan bahasan kita ini. Karena mereka berdua adalah mujtahid yang telah mengeluarkan pendapatnya. Karena itu, mereka juga tidak menerakakan siapapun yang berbeda dengan ijtihadnya. Artinya, sekalipun mereka saling menyalahkan walau dengan kata-kata yang pedas sekalipun, mereka sama-sama menyadari bahwa sesama mujtahid sama-sama memiliki pandangan yang syah. Apalagi sudah menjadi kemuttafaqan ‘alaihi bahwa mujtahid yang salah itu tetap mendapat satu pahala dan kalau benar mendapat dua pahala.

Lah,...kalau tulisan dan penulis dari tulisan itu terlalu sangat beda. Wong belajar agamanya baru alif dan baa’, kok sudah mengeluarkan pendapat DAN, menyalahkan semua ulama termasuk syaikh Shaduq dan Syaikh Mufiidnya dan SELURUH ulama dari sejak jaman Nabi saww. Dan bahkan menyalahkan Nabi saww dan imam Makshum as itu sendiri, lantaran mereka mengajarkan makna imamah itu. Para mujtahidpun tidak sembarang berbeda mas.

Ada hal-hal yang jelas dan samar. Di yang samar itulah mereka berbeda. Lah...kalau hal makna imam ini, tidak ada kesamaran sedikitpun dan sepanjang sejarah adalah merupakan kesepakatan.

3- Warisan diskusi ilmiah itu memang wajib dipertahankan. Akan tetapi, tidak semua bisa mengutarakan pendapatnya. Kalau orang awam leluasa mengutarakan pendapatnya di media masa tentang kedokteran, maka jelas tidak ilmiah sama sekali. Mana ada diskusi dikatakan ilmiah kalau pemberi pendapatnya saja, orang awam walau, sarjana di bidang lainnya, atau sama-sama sarjana tapi di madzhab lainnya.

4- Tentang kecaman yang terhadap orang yang tidak percaya bahwa Nabi saww pernah ketiduran, hal itu bukan karena hal tersebut. Akan tetapi maknanya adalah “Yang tidak mempercayai bahwa Nabi saww itu bisa melakukan ketidaksengajaan”. Kan ada akidah yang mengatakan bahwa Makshumin, seperti Nabi saww, mustahil melakukan kesalahan walau tidak sengaja. Nah, hal ini, oleh sebagian orang/ulama, sudah dikatagorikan sebagai ghulu-kecil dan, karenanya dikecam/dilaknat. Nah, jadi terhitung masalah besar, bukan kecil. Itu dalam pandangan mereka. Karena kalau masuk ghulu, sebentar lagi sudah masuk ghulu besar dan akan menjadi syirik serta kafir, yaitu menuhankan Makshumin. Nah, ini yang dirasakan mereka hingga, di samping karena tidak masuk akal bahwa Makshumin tidak lupa dan kelupaan (bagi ijtihad mereka tentunya), juga berbahaya karena bisa masuk keksyirikan.

Kasarnya, tidak meyakini kelupaan Makshumin as, hampir menyamakan dengan Tuhan yang tidak pernah lupa. JADI, bagi mereka masalah sangat besar. Akan tetapi, bagi ijtihad mereka.

Hal sepeerti ini, sudah dijawab oleh meyoritas ulama setelah generasi mereka. Ijtihad mayoritas ulama setelah mereka, malah sebaliknya. Yakni yang tidak meyakini bahwa Makshumin tidak pernah lupa itulah, yang melakukan kesalahan fatal. Karena kalau Makshumin as bisa lupa dan terlupakan, maka bagaimana manusia/umat bisa yakin terhadap kebenaran ucapan dan perbuatan mereka hingga dijadikan ajaran dan hadits??? Tentang ketidaklupaan mereka, jelas karena Allah menjaga mereka dari lupa, lantaran mereka sudah makshum sesuai dengan ikhtiar mereka hingga karena itulah, maka masuk akal sekali kalau Allah memberikan pahala yang berupa penjagaan dari lupa yang walau tidak dosa tersebut. Apalagi hal itu sangat diperlukan menjaga keyakinan dan kemantapan beragama bagi umat.

5- Tentang syura, maka silahkan antum mau meyakini yang mana. Akan tetapi, dalam pandangan Islam yang diajarkan Nabi saww dan Ahlulbait as, syura untuk kepemimpinan umat, sangat menyesatkan. Karena itu, syura itu tidak ada ajarannya sedikitpun dalam hal kepemimpinan ini. Yang ada, hanyalah syura dalam pelaksanaan tugas keseharian para Makshumin as atau wakil-wakil Makshumin as seperti yang ditunjuk langsung atau dengan kriteria itu (mujtahid/faqih).

Artinya, syura dalam ajaran Islam, hanya bisa dilakukan untuk hal-hal di selain masalah kepemimpinan tertinggi. Karena itulah, maka sebagaimana kenabian tidak disyurakan, maka wakil mutlak nabi (imam) juga tidak disyurakan bahwa wakil yang tidak mutlak (seperti ketika Nabi saww menunjuk satu orang untuk menjadi panglima atau memimpin Madinah ketika Nabi saww keluar kota). Bagitu pula dengan wali faqih ini. Jadi, syura hanya bisa berlaku di masalah-masalah aplikasi, seperti perang harus bagaimana, ekonomi harus bagaimana.... dan seterusnya. ITUPUN, sudah diterangkan oleh semua ulama, bahwa kalau Makshumin as mengajak rapat/syura para pengikutnya, bukan karena mereka tidak tahu, akan tetapi supaya umatnya ikut berfikir, aktif dan terdidik hingga bisa menjadi lebih dewasa dan matang serta bermutu.

Wali faqih di jaman Makshumin as, juga tidak disyurakan. Bahkan wali faqih di jaman dan tempat yang jauh dari Makshumin as, juga tidak disyurakan. Karena wali faqih adalah mujtahid yang a’lam yang sangat menguasai ilmu dan keadaan. Yakni melebihi yang lain dari sisi ilmu agamanya, pengetahuan jamannya dan taqwanya. Jadi, pada hakikatnya, di Mata Tuhan, wali faqih itu tertentukan dengan sendirinya.

Akan tetapi di mata umat, karena umat tidak tahu lahir batin seseorang, maka Islam mengajarkan: Pertama, pembuktian siapa yang a’lam. Ke dua, kalau masih sama-sama a’lam, maka dibuktikan siapa yang paling taqwa.....dan seterusnya...sebagaimana sudah tertera dalam kitab-kitab fikih dan semacamnya. Saya sudah pernah menulis hal ini sebelumnya.

Di Iran, sekalipun pembuktian dalam Islam tentang kea’laman dan semacamnya itu, cukup disaksikan dua orang alim yang adil, dilakukan penyempurnaan. Yaitu tidak mencukupkan dua orang alim yang adil saja (ahli khibrah). Akan tetapi, bahkan mengikutkan umat semuanya. Akan tetapi, karena umat tidak alim agama, maka dibuatlah pemilu untuk memilih ulama/mujtahid untuk duduk di majlis para ahli yang disebut khubregon itu. Maka duduklah puluhan ulama adil yang telah dengan suka rela dipilih umat secara langsung dalam pemilu ulama khubregon tersebut.

Majlis khubregon ini, bertugas mengangkat wali faqih dan mengawasi kerja-kerjanya selama menjabat. Akan tetapi, karena seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa sebenarnya wali faqih itu adalah yang ter-a’lam, maka sebenarnya ia sudah tertentukan dengan sendirinya di Mata Tuhan. Karena itulah, maka ayatullah Jawadi Aamuli hf, mengatakan (maksudnya):

“Sekalipun dalam UU negara menyebutkan bahwa majlis Khubregon ini, bertugas mengangkat wali faqih, akan tetapi sebenarnya, mereka hanya mengumumkan keberadaan dan siapanya dari wali faqih itu. Karena wali faqih yang lebih a’lam dari mereka dimana sudah tertentukan di Mata Tuhan. Jadi khubregon pada hakikatnya hanya mencari siapa yang sebenarnya wali faqih itu dan bertugas mengumumkan kepada umat.”

6- Tentang wali faqih, maka kebijakannya adalah, “Mengesahkan semua pendapat yang diambil oleh para wakil, walau tidak sama dengan pandangan wali fakih, selama masih tidak bertentangan dengan UU yang sudah disyahkan oleh wali faqih.”

Jadi, sebenarnya, sekalipun ada perbedaan pandangan antara atasan dan bawahan, antara wali faqih dan wakil-wakilnya seperti presiden, maka hal itu bukan berarti bertentangan yang dalam makna pembangkangan atau tidak diijinkan wali faqih. Karena wali faqih sudah memutuskan dari awal, sejak imam Khumaini ra, bahwa apapun keputusan yang diambil oleh para bawahan, maka ia syah selama tidak bertentangan dengan hukum yang ada sekalipun, berbeda dangan pandangan wali faqih itu sendiri.

Hal seperti ini sangat wajar. Karena wali faqih, sekalipun sudah mendapat wewenang dari Tuhan, Nabi saww dan Imam Makshum as, akan tetapi mereka semua mengajarkan bawah wali faqih ini tidak makshum dan harus menghormati ijtihad orang lain dan pendapat orang lain selama masih dalam kategori Islam.

Jadi, bedanya bawahan dengan wali faqih, disyahkan oleh wali faqih selama tidak keluar dari ketetapan yang ada. Jadi, bukan perbedaan yang memaksiati wali faqih. Tentu saja, kalau perbedaannya itu sudah menyimpang dari UU yang sudah disyahkan wali faqih, maka wali faqih akan bertindak sesuai dengan kondisi yang ada, apakah memecat presidennya, atau menasihatinya dan semacamnya.

7- Dengan semua penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa GAMPANGNYA,

a- Wali faqih itu amanat dari Tuhan yang diberikan kepada faqih/mujtahid melalui Nabi saww dan juga para imam Makshum as.

b- Wali faqih itu adalah pewenang mutlak di dunia ini selama tidak ada imam Makshum as. Pewenang adalah pewali, yaitu yang berwenang.

c- Karena hanya faqih yang memiliki kewenangan dalam segala hal ke atas umat, maka selain wali faqih, akan memiliki kewenangan juz-ii atau partikular atau bagian/bidang, dalam bidang masing-masing, SETELAH DIANGKAT OLEH WALI FAQIH.

d- Jadi, Tuhan mengangkat Nabi saww sebagai pewali/pewenang mutlak (dalam segala urusan dan jaman), dan Nabi saww mengangkat wakil mutlak (dalam segala urusan dan jaman) yang makshum dan mengangkat wakil tidak mutlak (seperti dalam perang, utusan, wakil di semua tempat selain Madinah....dan seterusnya) yang tidak makshum. Lalu para imam Makshum as mengangkat wakil mutlak yang tidak makshum (karena tidak ada yang makshum, tidak seperti Nabi saww yang tidak mengangkat wakil mutlak kecuali makshum yakni imam Ali as).

e- Wakil mutlak yang diangkat imam-imam Makshum as itulah yang dikatakan wali faqih. Dan imam Makshum as, juga bisa mengangkat wakil tidak mutlak sebagaimana yang dilakukan Nabi saww, kalau diperlukan di jaman mereka as masih hidup.

f- Jadi, kesalahan teman-teman dalam menatap presiden, karena dikira pemimpin tertinggi, adalah penyebab kebingungannya. Karena presiden di pemerintahan Islam Ahlulbait, sama sekali bukan pemimpin tertinggi. Karena pemimpin tertinggi yang aktif dan keaktifannya melebihi presiden itu (bc: bukan hanya simbol agama) hanya dan hanya, wajib diterima dari Allah dan, karena itu, hanya faqih a’lam dari segala hal, yang bisa mendapatkannya.

8- Ketika seseorang tidak bisa mengerti tentang kewenangan dan tugas makshum, yaitu tentang kepemimpinan umat secara mutlak, baik wewenang Nabi saww atau para imam Makshum as, maka sudah jelas akan kebingungan sendiri hingga berkata, para Makshum as itu, tidak harus duduk sebagai pejabat. He he...ini namanya pendapat softoh/gurau. Terlebih hanya bernulis riya tanpa dalil sedikitpun. Karena itu, layak dikatakan sebagai asnul (asal nulis).

9- Semoga teman-teman yang ngalor ngidul tidak karuan berpendapat tentang imam Makshum as, dapat melihat betapa marahnya imam Ali as, hadh Faathimah as dan para Makshumin yang lainnya ketika tugas mereka diganggu dengan perampasan kewenangan di masyarakat.

Betapa imam Ali as di Nahju al-Balaghah mengatakan bahwa sampai-sampai hidup beliau as seperti orang yang ditenggorokannya makan tulang, di matanya ada pasir. Yakni tidak bisa membuka mata dan tidak bisa makan. Dan betapa para imam mengatakan bahwa Islam sudah dibawa ke waadi/tempat yang jauh dari yang diajarkan Nabi saww. Andaikan mereka punya pasukan, bahkan wasiat Nabi saww kepada imam Ali as yang tergambar dalam ucapan imam Ali as sendiri, bahwa kalau beliau as memiliki 40 orang saja yang berani mati, maka mereka para imam sudah berperang. Betapa imam Hasan as juga ditinggalkan tentaranya.

Lah, ngapain perang kalau penguasa itu bisa dilakukan orang yang tidak makshum dan tugas makshum hanya memonitor seperlunya??? Buat imam Husain as, karena sudah sampai waktunya menghentak umat yang hanyut pada sistem khilafah/politis atau syura (dalam kepemimpinan mutlak, bukan juz-i dan bagian/bidang tertentu) yang sama sekali tidak diajarkan Islam itu, bangkit walau tahu akan dirajang-rajang di Karbala.

EMANGNYA IMAM HUSAIN as BERPERANG DENGAN TEKAD KEMENANGAN PEMBANTAIAN

DAN PERAJANGAN TERHADAP DIRI BELIAU as DAN KELUARGA BELIAU as ITU (ingin meraih kemenangan dengan kesyahidan yang mengenaskan), HANYA KARENA YAZID TIDAK SYAH KARENA PEMINUM KHAMR TAPI KALAU ORANG LAIN YANG TIDAK MINUM BIR MAKA BOLEH-BOLEH SAJA KARENA YANG PENTING TUGAS IMAM HUSAIN as ADALAH MENGAWASI DAN MENGENDALIKAN SISTEM POLITIK???!!! ATAU KARENA YAZID TIDAK MAKSHUM DAN TIDAK LAYAK JADI PEMIMPIN MUTLAK UMAT, ARTINYA SIAPAPUN TIDAK BERHAK MENJADI KHALIFAH???!!! HAIHAAT (jauh dari kami) HAIHAAT KECEROBOHAN SEPERTI ITU DARI KAMI.

10- Saya sudah bersusah payah menulis hal di atas, begitu sampai ke giliran tulisan antum yang ini, saya jagi kaget:

“Nah pandangan itu berbeda dengan ustadz SA yang (dari yang saya tangkap) mewajib-mutlakkan imam sebagai PEMIMPIN POLITIS (bukan cuma sekedar mengamati seperti di Iran). Artinya dari sudut pandang ustadz SA mengimplikasikan bahwa seharusnya juga gak perlu ada Ahmadinejad wala Rouhani, semua kebijakan politis jadi mas’uliyah wali faqih. Ini yang saya hendak konfirmasi kepada beliau” Saya kaget, jangan-jangan antum tidak baca tulisan yang didiskusikan penulis (ML) dan jawaban-jawaban sebelumnya. Atau antum sedang membahas hal lain? Hal itu, karena imam yang harus dijadikan pemimpin politik itu, yakni di selain kepemimpinan vertikal itu, adalah imam Makshum mas, bukan imam-imam lain yang tidak makshum seperti wali faqih.
Jauhnya....

Memang, wali faqih sama sekali tidak beda dengan wali makshum (Nabi saww atau imam Makshum as), dari sisi kemestian dijadikan pemimpin politik. Yang membedakan wewenang mereka, adalah bahwa mereka bukan pemimpin vertikal atau, setidaknya tidak harus menjadi atau memiliki kepemimpinan vertikal. Karena itu wali faqih tidak harus ulama irfan yang bisa memiliki berbagai karamat atau mukjizat. Wassalam.

Sinar Agama: Nuhu, sepertinya antum mengetawakan diri antum sendiri. Sebab, tertawa antum itu, tertuju pada penolakan spesialisasi. Coba antum pergi ke ahli bedah syaraf, lalu tanyakan ini dan itu.

Apakah antum akan tertawa juga kalau ia menjawab:

“Kalau ingin tahu, maka jadilah dokter umum dulu, lalu ambil mejester dan baru nanti kuterangkan ilmu yang di tingkatan pertanyaanmu itu!” ???!!!

Sinar Agama: Untuk komentar-komentar yang lain-lain, afwan ana tidak menyempatkan membacanya.

Sinar Agama: Haidar, sudah jelas seperti yang mewenangi wali faqih, yakni internasional.

Tapi nanti kalau imam Mahdi as sudah datang, maka biasanya, akan menjadi lokal sesuai dengan kebijakan yang diambil oleh para Makshumin as sebelumnya.

Akan tetapi, kalau nanti ada perkembangan yang luar biasa, hingga wali faqih harus ada di negara tertentu karena hal-hal yang membuatnya seperti itu, TAPI, dari sisi kea’laman tidak kalah dengan yang ada di Iran, maka bisa saja di negaranya tersebut, ada wali faqih. Tapi kalau tidak a’lam, maka faqih yang ada di negara manapun, hanya bisa menjadi wakil dari wali faqih yang ada di Iran karena sudah dipilih dengan kea’lamannya dari segala bidang.

Ali Zayn Al-Abidin: Terima Kasih atas jawabnya ustadz..

Untuk pembahasan Ikhtilaf ahlul muhaddits Syaikh Shaduq dan ulama’ segolongan beliau (seperti Syaikh Majlisi, Syaikh Kulayni dan lain-lain) dengan ahlul kalam seperti Syaikh Mufid sudah ada tempatnya ustadz... Yang jawaban lain masih saya cerna..

Haidar Husein: Kalau WF secara internasional berarti pemilihan WF yang di lakukan oleh dewan marojik adalah juga dari dewan marojik dari luar Iran pula..

Apakah begitu yang terjadi?

Dan apakah kewajiban WF juga menyelesaikan urusan-urusan orang-orang yang ber WF (yang di luar Iran ) ????

Abdurrahman Shahab: Meyakini Imamah sebagai kewajiban dan keharusan yang harus saya pegang, adalah keyakinan mutlak bagi saya sebagai seorang Syi’ah, tapi kewajiban itu bagi saya, tidak serta merta harus dimiliki oleh saudara suni, sehinga menyebabkan mereka menjadi kafir dan masuk neraka karena mereka tidak memiliki keyakinan yang sama dengan saya. DAN JIKA ADA ORANG MENGANGAP BAHWA KEYAKINAN SYI’AH ADALAH YANG MENGANGGAP BAHWA ORANG SUNI TELAH “KAFIR” DAN MASUK NERAKA KARENA TIDAK MENG-IMAN-I IMAMAH, MAKA SAYA MENYATAKAN BERLEPAS DIRI DARI SYAIH SEMACAM ITU !!!

Secara sederhana, mungkin hal inilah yang tersirat yang ingin diutarakan oleh Ustadz Muhsin Labib dalam tulisannya, agar akar masalah yang krusial yang menyebabkab perseteruan awal yang terus berlanjut hingga kini antara Sunni-Syi’ah bisa dipertemukan, paling tidak dalam perspektif kesadaran untuk salin mencari kesejajaran/pertemuan dalam keyakinan baik suni maupun Syi’ah dalam perfektif sejarah.... Wallahu a’lam bissowab...

Sinar Agama: @Haidar, tidak begitu untuk sementara. Karena mujtahid yang terbukti menyintai hukum Islam dan telah mengorbankan dirinya sepanjang hidupnya lantaran menegakkan negara Islam dan mempertahankannya, adalah mujtahid dan marja’-marja’ yang ada di Iran. Lagi pula, sangat tidak mungkin ada mujtahid luar Iran yang a’lam tentang kondisi yang ada di Iran sehubungan dengan kenegaraIslaman. Karena itulah, maka mujtahid-mujtahid dunia yang berijtihad tentang wali faqih mutlak ini, semua sepakat dengan apa yang dipilih di Iran. Beda dengan para awam (bukan mujtahid) atau mujtahid yang hasud dan dengki seperti selama ini yang selalu berusaha merongrong wibawa negara Islam yang ada di Iran.

Sinar Agama: @Abdurrahman, wong tulisan ada di depan mata kok antum bermungkin-mungkin.

DIMANA ADA ORANG ATAU ULAMA SYI’AH MENGAFIRKAN DAN MENERAKAKAN SUNNI MASS??? DAN DIMANA TULISAN ML ITU BERKATA SEPERTI ITU MASSS???

TERLALU BANYAK TULISAN SAYA YANG SAYA TULIS DI FB INI, YANG ISINYA TENTU SAYA DAPATKAN DARI PARA GURU, BAHWA ORANG KAFIR SEKALIPUN, JUGA BISA MASUK SURGA. KARENA TERGANTUNG SEJAUH MANA HUJJAH TUHAN YANG SAMPAI KEPADANYA. APALAGI SAUDARA-SAUDAR SUNNI YANG BERTAUHID DAN BERNUBUWWAH DAN LAIN-LAIN. TOLONG JANGAN BERMUNGKIN-MUNGKIN KETIKA TULISANNYA ADA DI DEPAN MATA KITA SEMUA.

Abdurrahman Shahab: Maaf Ustadz SA, sangat banyak “orang Syi’ah” terutama yang dimotori kelompok pemecah belah ukhuwah, yang memulai kembali misi konflik Sunni-Syi’ah dengan mengatakan bahwa suni itu kafir dan di neraka karena menolak imamah... apakah Ustadz, menganggap kelompok ini tidak ada ?

Lalu bagaimana Mungkin Rahbar HF dan marja’-marja’ Syi’ah lainnya juga harus turun tangan untuk mengeluarkan fatwah, HARAM HUKUMNYA MELECEHKAN TOKOH-TOKOH YANG DIMULIAKAN OLEH SAUDARA SUNNI. Atau mengadakan berjuta-juta upaya untuk membuat agar terjalin ukhuwah dan persatuan Sunni-Syiah. Sepakat tidak sepakat sumber masalah utama dari timbulnya dua kelompok utama islam (Sunni-Syiah) adalah karena masalah imamah/khilafah.... lalu salahkah jika ada yang ingin membuat sebuah persfektif tengah (mungkin dalam taqihnya) agar sumber persolaan itu bisa dilihat dan memiliki jalan tengah yang lebih baik.

Singgih Djoko Pitono: Dari tulisan Ustadz ML itu malah berkembang di luar sana pembicaraan, bahwa Syi’ah sedang kebingungan, akhirnya mereka bertanya-tanya beneran yakin engga sih mereka dengan pemahaman Syi’ah mereka?

Maksud ustadz ML suci... Kita paham itu...

Tetapi ketika cara yang ditempuh memakai kaidah-kaidah yang mengkompromikan sesuatu yang tidak mungkin dikompromikan, maka alih-alih mencapai tujuan suci itu, yang ada malah menghancurkan bangunan yang kokoh itu sendiri...

Afwan.

Sinar Agama: @Haidar, para mujtahid yang tidak cinta dunia itu, tidak berlomba untuk jadi pemimpin. Ini secara umum. Karena itu, mereka sama-sama tahu diri, terhadap apa yang diraihnya dalam ilmu, apa yang telah dilakukannya untuk Islam dan seterusnya. Yakni tahu siapa yang selalu mengorbankan nyawanya untuk Islam. Memang ada orang-orang sakit, seperti sayyid Kamaal Haidari, yang besar di Iran dan belajar di Iran serta dilindungi dan dipromosikan Iran di TV Kautsar, akan tetapi, belakangan, sudah merasa sok jago padahal guru-guru besarnya ada di depan hidungnya dan masih hidup. Karena itu, ia sekarang sudah tidak diberi waktu untuk siaran langsung di TV Kautsar tersebut, walaupun ia berkoar-koar di youtube bahwa video yuotube yang mengkritiki Rahbar hf itu adalah fitnah.

Lah wong dia kok yang bicara, kok dikatakan fitnah. Btw, secara umum, dari sepuluh ribu ulama, mungkin ada satu dua yang punya penyakit. Akan tetapi secara umum, mereka itu sangat-sangat mementingkan umat dan agama Islam, bukan diri mereka sendiri. Mereka para mujtahid dunia sangat bersyukur karena Iran dan umat Iran sudah berani menegakkan syariat Islam walau menyumbangkan syahid sekitar satu juta dan walau ulamanya disiksai di penjara-penjara. Jadi, mereka dari awal sudah malu. Tapi kalau punya penyakit hati, maka bukan hanya tidak malu, melainkan mau berebut dengan wali faqih Iran yang dipilih dengan sangat hati-hati dan melalui puluhan mujtahid yang duduk di majlis para ahli tersebut.

Walau begitu, sayyid Kamaal tidak diapa-apain dan dia bebas hidup di Iran dengan seluruh kegiatannya dan bahkan tetap dibantu. Hanya saja yang di kautsar sudah tidak diberi lagi siaran langsung, dan hanya siaran rekaman saja. Karena takut ada yang gila-gilaan seperti yang direkam kaula Inggris yang kemudian tersebar kemana-mana itu.

Haidar Husein: Apakah benar bahwa Sayyed Fadhlullah tidak sepakat dengan adanya Wilayatul Faqih???

Sinar Agama: @Haidar, tidak benar. Beliau paling getol dengan wali faqih. Sampai-sampai sewaktu kantornya ditanya tentang MLM (menurut teman yang bertanya langsung), mengatakan bahwa sistemnya halal asal tidak di Iran. Kalau di Iran haram. Maksudnya, karena di Iran, dalam wilayah mutlak wali faqih yang tidak bisa diganggun gugat. Yakni dalam menaati kepemimpinan politiknya.
Jadi, sudah bukan hanya masalah fatwa yang beda, tapi sudah logika taat pada wali faqih.

Fatimah Umukulsum: Subhannallah, MaasyaAllah, Laa haula wala quwata illa billah. --- betapa gamblangnya penjelasan ustadz SA.

Haidar Husein: Masalah MLM kan itu berkenaan dengan hukum fiqih...dan bisa jadi sama dengan Rahbar...akan tetapi kesamaan hukum itu kan tidak menunjukkan urusan sepakat or tidak nya dengan masalah WF.

Sinar Agama: @Haidar, sepertinya antum tidak teliti. Justru di MLM itu ayt Fadhlullah berfatwa beda dengan Rahbar hf. Rahbar hf mengharamkan sistem tersebut, begitu pula marja’-marja’ yang lain, akan tetapi yang diberitakan kepada kami dari salah satu teman yang taqlid kepada ayt Fadhlullah, bahwa beliau menghalalkan MLM selama tidak di Iran.



Artikel selanjutnya:
====================

Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 5

5. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 5

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-5/10152453769278937

Ali Zayn Al-Abidin: Karena yang horizontal itu bukan hanya politis, tetapi bahkan kalau kata ayt syd Kamal, itu sya’nun min syu’un..

Pertanyaan saya khusus di bab politis.

Sinar Agama: @Ali, ahsantum, semoga selalu dalam hidayahNya, begitu pula saya dan teman-teman yang lainnya, amin. Ketidakberfungsian imamah itu, sudah tidak lagi merupakan tanggung jawab konsepnya. Karena ia merupakan hal yang memerlukan kepada banyak unsurnya.

Ilustrasi:

Saya mendengar satu kisah menarik dari ulama hebat Indonesia yang mana sekarang sudah tidak ada lagi, semoga Tuhan merahmati beliau, amin. Beliau adalah ustadz Husain al-Habsyi ra yang bercerita tentang diri beliau ra sendiri dikala masih dalam mempelajari Syi’ah.

Beliau ra kagum sekali dengan umat Iran yang begitu hebatnya menyintai dan MENAATI imam Khumaini ra. Karena itu, beliau ra memiliki masalah keilmuan yang sulit dipecahkan. Yaitu tentang imam Ali as (sebagai wakil Ahlulbait as) dan imam Khumaini ra. Kebingungan beliau ra adalah apa yang menjadi sebab dari keberbedaan yang mencolok dari kedua pemimpin tersebut, mana yang lebih hebat diantara keduanya.

Ketika beliau ra berkesempatan berkunjung ke Iran untuk pertama kalinya, beliau ra bertanya kepada salah satu ulama Iran dan mengutarakan kebingungannya tersebut. Beliau berkata ketika bercerita itu:

“Ketika ulama Iran itu saya tanya, masyaAllah, dengan mudah dan gampangnya beliau menjawab.”

Almarhum ra meneruskan penuturannya: “Ulama Iran itu menjawab: ‘Imam Ali as dan imam Khumaini ra itu, bagaikan matahari. Keduanya mengeluarkan sinar tanpa tedengan halangan apapun. Akan tetapi, umat ini ibarat bumi. Karena itu, siapa saja yang menghadap matahari, maka ia akan mendapatkan kecerahan dan hidayah. Dan barang siapan yang membelakanginya, maka ia tidak akan mendapatkan cahaya tersebut dan sebagai gantinya, akan menjadi gelap gulita sebagaimana gelapnya malam. Nah, yang membedakan imam Ali as dan imam Khumaini ra, adalah di umatnya. Karena umat imam Ali as tidak menghadap beliau as dan bahkan membelakangi beliau as, maka umat imam Ali as hidup dalam kegelapan. Sementara umat imam Khumaini ra, menghadap kepada beliau hingga karenanya, menjadi cerah dalam hidayah. Jadi, kehebatan Iran terletak pada umatnya selain pada imamnya.’.”

Sang Ulama Iran, memang tidak menjelaskan posisi sebenarnya. Karena yang bertanya, waktu itu masih dalam madzhab Ahlussnnah Waljamaa’ah (Syafi’ii). Karena itu, walaupun imam Khumaini ra tidak ada apa-apanya dibanding imam Ali as yang makshum, dan imam Khumaini ra sendiri justru bangga menjadi Syi’ah mati-matian imam Ali as, akan tetapi, sang ulama, hanya mencukupkan penjelasannya, pada sebab keberhasilan Iran sekarang dan kegagalan umat di jaman imam Ali as.

Intinya, tugas/rahmat keTuhanan, tugas kenabian dan imam, sudah dipenuhi oleh yang memiliki wewenang di dalamnya, sementara yang lainnya, tergantung kepada umat itu sendiri.

Ali Zayn Al-Abidin: Amin, wa iyyakum bi haqqi Muhammad wa aalih. Kalau boleh saya lnjut bertanya, bagaimana dengan seorang wali faqih dalam tatanan kenegaraan Iran yang dibangun oleh Syd Imam Khumainy? Apa fungsi politisnya sama?

Maksud saya begini.. Seorang waly faqih kan tidak menjadi presiden (pemimpin politik)? Lalu dimana letak kepemimpinan politisnya?

Haidar Husein: Apakah wali faqih itu berwenang dalam skala internasional ataukah hanya di suatu negri???

Sinar Agama: @Ali, wali faqih itu adalah pengganti imam Makshum as. Ini menurut pandangan agama dan akal. Karena itulah, untuk mengirim surat saja, kalau beberapa orang sekaligus, Nabi saww memilih wakil diantara mereka untuk menjadi pemimpin. Nah, wakil tersebut wajib ditaati dan maksiat padanya sama dengan maksiat ke Nabi saww itu sendiri.

Nah, kalau dalam hal menulis surat dan demi kepentingan di jalan saja sudah seperti itu, maka apalagi kepemimpinan agama. Di jaman Nabi saww dan para imam Makshum as juga seperti itu. Yakni wakil-wakil agama itu ada dan diangkat, lantaran tidak semua orang ada bersama Makshumin as (satu kota) dan, wakil itu jelas wajib ditaati.

Begitu pula dengan wali faqih ini. Wali faqih adalah wewenang faqih. Dari mana wewenang itu datangnya? Jawabannya sudah tentu dari Tuhan yang disalurkan melalui Nabi saww dan para imam Makshum dari sejak jaman Nabi saww dan diukirkan di Qur an (QS: 9:122).

Jadi wali faqih itu bukan ijtihadiah biasa, tapi merupakan bagian dan cabang juga dari keimanan. Maksudnya, walau ia merupakan bagian dari keijtihadan sesuai dengan NASH YANG JELAS (Qur an dan hadits serta akal), akan tetapi kewenangannya itu, kalau sudah tepat kepada orangnya, maka merupakan cabang dari keimanan pada imamah. Memang, kecabangan ini, tidak menentukan seseorang jadi kurang beriman kalau tidak percaya wali faqih, akan tetapi, setidaknya masuk dalam maksiat kalau dia bukan mujtahid atau tidak taqlid pada mujtahid yang kebetulan memfatwakan tidak wajib taat pada wali faqih yang mutlak. Karena dia sendiri pasti beriman dengan wali faqih hingga karenanya mengeluarkan fatwa atas nama Tuhan, Nabi saww dan para Makshumin as. Tapi yang tidak mutlak. Rincian wali faqih mutlak dan tidak mutlak ini, bisa dilihat di tulisan-tulisan terdahulu atau mintalah ke Pencinta.

Jadi, wali faqih itu bukan mainan politik dan bukan buatan imam KHumaini ra. Akan tetapi dari sejak dulu sudah ada dan disepakati kebanyakan mujtahid dan marja’. Yang membedakan masa imam Khumaini ra dengan sebelum-sebelumnya, adalah umat yang mendukungnya. Sebelum jaman imam Khumaini ra bisa dikatakan tidak ada dukungan yang memadahi dari umat, baik kwalitas atau jumlahnya. Akan tetapi di jaman Imam Khumaini ra, dukungan itu ada dan jadilah negara Islam pertama di dunia ini yang dipimpin dan berundangan dasar di atas hukum Islam ajaran Ahlulbait as yang hakiki, tidak berupa kerajaan yang dipimpin orang Syi’ah seperti raja Iran yang digulingkan oleh imam Khumaini ra dan umat itu. Jadi, negara Islam itu bukan hanya menghukumkan negaranya dengan hukum-hukum Islam. Akan tetapi, termasuk dasar keIslaman pemimpinnya, harus syah sesuai dengan agama. Beda dengan raja-raja wahabi yang mengatasnamakan negara Islam, tapi posisi dia dari mana, ceritanya apa, kewenangannya dari apa dan akan diapakan, .... dan seterusnya...tidak mengikuti ajaran Islam.

Ali Zayn Al-Abidin: Saya terlalu sepakat kalau bab wilayatul faqih ustadz, wong saya cinta sama Sayyid Imam Khumainy, setiap saya sudah mulai “males” shalat saya baca buku-buku imam seperti adab shalat, sirr shalat, arbaun haddist, dan buku itu obat mujarab buat saya.

Ali Zayn Al-Abidin: Maksud ana yang gak paham-paham ini ustadz, apa waliy faqih yang tidak menjadi presiden (pemimpin politis) tidak menyalahi konsep tersebut? Alafu sebelumnya ustadz, semoga Allah mengganjar ustadz pada setiap hurufnya dengan CahayaNya, amin.

Ali Zayn Al-Abidin: Meski waliy faqih memiliki otoritas politis, tapi kan tidak menjadi pemimpin politis? Bagaimana itu ustadz?

Abu Alief Al Kepri: Alhamdulillah, sudah tahu masalah yang menjadi heboh ni. Sangat banyak kesalahan tulisan ML yang bisa melemahkan Syi’ah dalam hal wala dan baraahnya. Yang hitam mau dianggap biru donker oleh ML sehingga terkesan sah-sah saja karena bukan hitam. Hahaha.

Wajar saja jika U. Sinar Agama agak esmosi, soalnya tulisan ML ini bisa meracuni orang yang baru mengenal Syi’ah. Sebaiknya Tulisan ML ini dihilangkan saja agar tak meracuni banyak orang.

Nuhu Nuhu: Loh, bukunya dah beredar tuh. Justru dengan adanya hal seperti ini bisa menambah wawasan berpikir yang kritis.

Abu Alief Al Kepri: Judulnya diubah saja Syi’ah menurut Muhsin Labib itu baru cocok.

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau gitu gak bakal ada Syi’ah menurut siapapun. Bisa jadi juga buku-buku ulama dulu tentang aqidah Syi’ah juga salah judul. Atau salah isi mungkin.

Abu Alief Al Kepri: Memang benar ko, tulisan ML sangat jauh dari apa yang diyakini Syi’ah.

Nuhu Nuhu: TOLONG DI JELASKAN MAKSUD TEKS INI.
Begitu pula dengan wali faqih ini. Wali faqih adalah wewenang faqih. Dari mana wewenang itu datangnya? Jawabannya sudah tentu dari Tuhan yang disalurkan melalui Nabi saww dan para imam
Makshum dari sejak jaman Nabi saww dan diukirkan di Qur an (QS: 9:122)

Ali Zayn Al-Abidin: Gimana dengan pandangan syaikh shoduq bahwa Syi’ah yang tidak meyakini bahwa rosul pernah ketiduran gak sholat subuh maka dilaknat juga Salah mutlak dan harus dibuang embel-embel syaikhnya dan diragukan ke-Syi’ah-an beliau.

Ali Zayn Al-Abidin: Syaikh Shoduq juga harus diragukan gak kesyiahannya dengan aqidah beliau itu? Harus dicap “baru mengenal Syi’ah” dan lain-lain gak?

Ali Zayn Al-Abidin: Syaikh mufid yang mendebat aqidah syaikh shoduq juga apa harus dicap merusak aqidah Syi’ah, mencela ulama-ulama, dan lain-lain?

Ali Zayn Al-Abidin: Diskusi ilmiyah dari dulu kalau kecampur emosi memang jadinya ga masuk dan rusak.. Antum bisa cek bagaimana “pedes”nya komentar syaikh Mufid pada syaikh shoduq di kitab beliau “risala fi adam shahw nabiy” atau “tashih i’tiqadat imamiyah”

Ali Zayn Al-Abidin: Syi’ah ini unggul dalam bidang perkembangan keilmuannya, khususnya di bidang filsafat, aqidah dan irfan. Nah di bab filsafat dan aqidah itu memang sangat disayangkan adanya komentar-komentar yang berbau opini emosional yang merusak isi diskusi ilmiyahnya.

Ali Zayn Al-Abidin: Tapi memang saya akui sangat sulit sambil berdiskusi ilmiyah sambil mengendalikan emosi.. Nah intinya mari kita bangun warisan budaya diskusi ilmiyah yang baik ini dan kita minimalisir sisi negatifnya itu.

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau antum sebagai pengikut (seperti ana) yang masih jahil sudah berani melecehkan ulama, sekarang juga ana tunggu jawaban antum untuk memilih melecehkan syaikh Shoduq atau syaikh Mufid.. Perdebatan mereka lebih fatal.

Aqilla Husein Aqilla Husein: Diskusi /Apapun yang sejenisnya, akan berjalan Mulus. Tanpa di iringi rasa Emosi. Afuan.

Ali Zayn Al-Abidin: Itu sulit, bisa diminimalisir aja bagus.

Abu Alief Al Kepri: Nuhu Nuhu apa yang mau dijelaskan, emang begitu lah Islam menggariskannya.

Ali Zayn Al-Abidin: Saya ga pernah baca kisahnya. Jadi ga mungkin bisa bandingkan. Saya rasa esmosinya Ustadz Sinar Agama itu wajar saja, jangankan beliau, saya juga ga bisa terima apa yang ditulis ML itu, meski tak semuanya salah, namun sedikit argumen beliau itu punya dampak fatal dalam hal imamah lho.

Ali Zayn Al-Abidin: Iya, sy maklumi emosi beliau, itu wajar. Tapi baiknya dikurangi. Antum minta penjelasan deh sama ustadz Sinar Agama tentang perdebatan itu dan komentar-komentarnya yang pedas.

Abu Alief Al Kepri: Buat Ustadz Sinar Agama saya setuju dengan SEMUA JAWABAN USTADZ DI ATAS. Ali Zayn Saya rasa orang yang mengatakan bahasa SA sangat pedas dan tak punya etika, mungkin perlu mandi kembang 7 rupa. Hahaha. Maaf saya of dulu, anak minta laptop. Salam.

Ali Zayn Al-Abidin: Lebih fatal mana, mempunyai pandangan masalah kepemimpinan politik itu tidak harus selalu ditempati imam karena point akseptabilitas, atau aqidah bahwa nabi pernah ketiduran gak sholat subuh dan jika ada Syi’ah yang tidak percaya dengan hal itu maka dilaknat oleh aimmah?

Ali Zayn Al-Abidin: Antum ana sarankan baca buku itu biar tau gimana komentar syaikh Mufid yang jauh lebih pedas.

Aqilla Husein Aqilla Husein: @Sinar Agama. Ahsantum.

Abu Alief Al Kepri: Ali Zayn Saya rasa tak ada hubungan sama sekali antara status dengan apa yang anda sarankan. Kritik Ustadz SA adalah sangat tepat, karena tulisan ML bukan mewakili Syi’ah yang sebenarnya. Apakah dengan krikitkan ini menyebabkan Syi’ah itu terpecah lagi???? Adalah keterlaluan orang yang menyangka demikian. Tulisan ML bisa jadi hanyalah sebuah perbuatan taqiyahnya sebagai individu yang akan duduk di pemerintahan, dan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan untuk Islam. Tidaklah sama taqiyah persatuan yang tidak mengorbankan prinsif wilayah, ianya sah-sah saja karena tidak sedikitpun menganjurkan bahwa selain faqih bisa dijadikan imam atau pemimpin.

Beda dengan tulisan ML, yang jika saya simpulkan adalah mengaburkan makna wilayah, sehingga orang akan beranggapan tak berdosa jika menganggap pemimpin pilihan manusia sebagai khalifah yang sah. Ini sangat bahaya.

Ali Zayn Al-Abidin: Ahmadinejad dipilih oleh rakyat juga kan? Hasan Rouhani? atau bahkan Sayyid Ali Khamenei? Apa dengan ijtihad itu tidak menyalahi pakem “imamah/khilafah” pada dairoh siyasah formalitas pada orang yang dipilih oleh bukan Allah membuang keyakinan wilayahnya pada Imamah Insan Kamil?

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau antum telah mengkaji banyak pandangan-pandangan dan ijtihad-ijtihad ulama syi’i khususnya pada bab aqidah, antum akan kebingungan mencari pandangan mana yang asli milik Syi’ah, antum tunggu ulasan ustadz SA tentang syaikh Mufid dan Shoduq.

Nuhu Nuhu: Begitu pula dengan wali faqih ini. Wali faqih adalah wewenang faqih. Dari mana wewenang itu datangnya? Jawabannya sudah tentu dari Tuhan yang disalurkan melalui Nabi saww dan para imam Makshum dari sejak jaman Nabi saww dan diukirkan di Qur an (QS: 9:122)

BAGAIMANA MENJELASKAN AYAT TERSEBUT DI ATAS SEHINGGA DAPAT DI AMBIL SEBUAH KESIMPULAN BAHWA WALI FAQIH (Iran) ADALAH WAKIL IMAM AS ?????

Ali Zayn Al-Abidin: Kadang kepemimpinan secara syuro dan lain-lain yang bukan asli dari Allah ini memang tetap harus ada.. Saya meyakini kepemimpinan tasyri’i maupun takwiny aimmah di bidang politik bukan me”wajib-mutlak”kan posisi teratas/pemimpin politis, tetapi me-”wajib-ideal”kan. Tapi saya hormati pandangan ustadz SA, apalagi beliau hujjatul islam sedang saya cuma siapa..

Ali Zayn Al-Abidin: Saya analogikan dengan posisi wali faqih di Iran yang TIDAK MENJADI PRESIDEN. Bahkan yang Hjt.Islam Hasan Rouhani ini dari kalangan moderat yang dalam sebagian kasus “tidak sependapat “ dengan Sayyidul Qaid.

Abu Alief Al Kepri: @Ali Zayn. Pemilihan Rahbar jangan disamakan dengan pemilihan PM oleh rakyat. Rahbar itu dipilih oleh para faqih dan merupakan yang terfaqih.

@Nuhu Nuhu

Artinya: “Hendaklah ada sekelompok dari orang-orang yang beriman yang mendalami masalah-masalah agama untuk memberikan peringatan kepada kaumya.” (Qs. at-Taubah: 122)

PENJELASAN

Ayat tersebut menunjukkan wajibnya menunjukkan “indzar” (memberikan dan menyampaikan peringatan kepada umat manusia akan adanya siksa Allah Swt ketika mereka tidak mentaati dan melanggar huku-hukum-Nya). Sudah barang tentu tidak sema orang mampu menentukan, menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt tersebut selain para ulama dan mujtahid yang mengkaji masalah-masalah agama puluhan tahun.

Dengan demikian, ayat tersebut tidak secara langsung mewajibkan orang-orang Muslim yang awam untuk bertaqlid kepadapara ulama, maraji’ dan mujtahidin yang telah memenuhi syarat Sehubungan dengan ayat tersebut sebagian ulama Ahli Sunnah berkata: “Maka dengan demikian Allah Swt telah mewajibkan kaum Muslimin untuk menerima “indzar” dan peringatan yang disampaikan oleh para ulama, dan hal itu berarti ‘taqlid’ kepada mereka.”

Ali Zayn Al-Abidin: Gampangnya gini lho..kalau kepemimpinan politis adalah hak mutlak imam, kenapa wali faqih tidak jadi presiden? Kenapa ada pemilu? Kenapa insan-insan kamil sepanjang sejarah hanya sedikit yang menduduki posisi itu. Saya yakin memang idealnya Insan Kamil pemimpin di semua bidang, itulah nanti zaman ideal dipimpin oleh alqaim afs.

Ali Zayn Al-Abidin: Kenapa wali faqih yang menurut konsep imam khumayni (ra. qs. syarif) harusnya mengemban mas’uliyat aimmah di masa ghaib kubro, tetapi di Iran tidak dijadikan presiden (pemimpin politis). Huna isykal ustadz..

Ali Zayn Al-Abidin: Ana tidak membahas tentang urgensi wali faqih dan lain-lain karena saya juga meyakini benar atas adanya waliy-waliy imam Mahdi.

Ali Zayn Al-Abidin: Dan komentar saya jauh dari penghinaan, dan lain-lain kepada ustadz Hjjt.Islam Sinar Agama. Saya menghargai adanya perbedaan cara pandang oleh para ulama, apalagi saya cuma muqallid semata.

Abu Alief Al Kepri: Ali Zayn: Bukankah Presiden itu di bawah Rahbar. Dan ketentuan dalam WF menyebutkan “Mendahulukan kepentingan WF atas Kepentingan Masyarakat Umum”, jadi apa saja kepentingan presiden yang bertentangan dengan WF adalah batal.

Jika presiden itu dibawah wali faqih, anggap saja mereka sebagai wakilnya WF. Saya rasa tak jadi soal.

Ali Zayn Al-Abidin: Dan nuqtah muhimmah (point penting) lainnya adalah bahwa PERBEDAAN

PENDAPAT DALAM SYI’AH ITU SUDAH TERJADI SEJAK ZAMAN SYAIKH ASSHODUQ, TETAPI HAL ITU MALAH MENGUATKAN KEILMIYAHAN MADZHAB SYI’AH.

Ali Zayn Al-Abidin: Makanya saya katakan IMAM TIDAK HARUS MENJADI PEMIMPIN POLITIS, TETAPI BAGAIMANA MENGENDALIKAN SISTEM POLITIK ITULAH MAS’ULIYYAHNYA. Kalau begitu antum artinya sependapat dengan ana.

Nuhu Nuhu: Saya pernah menanyakan terkait hal penunjukkan wali fakih yang ada di Iran. Lalu orang tersebut berkata : ANTUM BILA MAU TAHU TENTANG BAGAIMANA IJTIHAD DALAM PENUNJUKKAN WALI FAKIH, MAKA ANTUM MESTI JADI MUJTAHID... wak...wauw...

Aqilla Husein Aqilla Husein: @Ali Z. & Abu Alif. “Sepedapat juga kaaan.”. Afuan.

Aqilla Husein Aqilla Husein: @Nuhu-Nuhu. “Ngawur Kamu”. hehehehee

Abu Alief Al Kepri: Agama dan politik itu 1 adanya, adanya presiden yang mengurusi politik negara Iran namun masih dalam kepentingan WF bukanlah pemisahan politik dan agama, namun adalah pembagian kerja. Tak ada alasan orang buta agama diangkat menjadi pemimpin seperti di kebanyakan negara Islam, dan inilah yang menyebabkan terjadi pemisahan antara agama dan politik.

Nuhu Nuhu: Jawabannya sudah benar, anda saja yang ga faham.

Ali Zayn Al-Abidin: Nah pandangan itu berbeda dengan ustadz SA yang (dari yang saya tangkap) mewajib-mutlakkan imam sebagai PEMIMPIN POLITIS (bukan cuma sekedar mengamati seperti di Iran). Artinya dari sudut pandang ustadz SA mengimplikasikan bahwa seharusnya juga gak perlu ada Ahmadinejad wala Rouhani, semua kebijakan politis jadi mas’uliyah wali faqih. Ini yang saya hendak konfirmasi kepada beliau.

Nuhu Nuhu: Lalu siapa yang memberi otoritas kepada wali fakih Iran adalah wakil imam as ?

Abu Alief Al Kepri: @Aqilla Husein Aqilla Husein: ya iya dung, si Nuhu ini termasuk jenis produksi Gagal faham @Ali Zayn: Saya belum jumpa tulisan SA tentang hal itu.

Abu Alief Al Kepri: Maaf ya Sdr Ali Aqilla Husein Aqilla Husein...saya terpaksa of lagi. Soalnya sibuk di rumah. Salam.

Ali Zayn Al-Abidin: @nuhu : afwan sebelumnya, saya saran agar antum berkomentar tentang WF di catatan yang lain. Agar tidak memecah diskusi sehingga merusak kesimpulan.

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau otoritas politis mutlak dipegang oleh WF maka kebijakan politik antara adanya Ahmadinejad dengan Rouhani tidak akan beda seperti sekarang..tapi nyatanya?

Nuhu Nuhu: Apakah di Indonesia atau di negara lain tidak ada wali fakih (rahbar) seperti di Iran ?Kok cuman Iran doang sih yang punya rahbar.

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau kita mau flashback kembali ke zaman presiden Khattami, bagaimana dengan kebijakan Khattami (yang berbeda 180 drjt) dengan kebijakan Ahmadinejad. Kalau kebijakan ini otoritas mutlak bagi WF bagaimana perbedaan itu bisa terjadi? Lalu jika bukan otoritas WF maka artinya sepakat dengan pandangan saya dan ustadz Labib.

Ali Zayn Al-Abidin: Saya juga sarankan disini untuk menyimak penjelasan syd Kamal Haidary tentang perbedaan pendapat pada intern Syi’ah. Judulnya “masyru’iyah ta’addud al-qira’ah fi madrasah ahlbayt” (dalam bahasa arab) ada 2 bag video, bisa dlihat di youtube penjelasan beliau. Sebagai khazanah saja.

Haidar Husein: Ooo jadi WF itu hanya berlaku di Iran saja??? Bukan internasional?



Artikel Selanjutnya:
====================

Minggu, 17 November 2019

Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 4

4. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 4

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-4/10152453662393937


Sang Pencinta: Teman-teman, ini terakhir saya akan blokir dari pekaranganku kalau masih ngeyel laknat ini dan itu.

Sa Yang: Kalau mau melaknat ayoo sini ajak saya melaknat ya bocah pembunuh dajjal ? Kita cuba nak tengok setajam apakah efek laknat pengikut neo Yazidiyyan semacam ko dan kawan-kawan.. Biar ko bisa tau dan berasa seelok ape laknat ku hei salah satu calon penghuni neraka.. Ko nak tau kah musabab saya katakan ko salah satu calon penghuni neraka ? Yaaah saya nak beri tahu ko bahwa perangai yazid dan muawiyyah sudah mendaging pada ko. Karenanya orang yang ko laknat tu same dengan pribadi ko juga..

Sa Yang: Saran ku pada mu pak Sinar Agama cukup konsen saja menanggapi soalan yang memperkecil kisruh.

Dari pada antum membuat statement yang dapat dimanfaatkan oleh puak pelaknat dan kaula radikalis. Pada akhirnya selain antum dihujat, diisolir dari komunitas dan sebagainya..

Sebagai orang yang lama belajar di bawah bimbingan ulama Syi’ah, sebaiknya antum tidak segampang ini diperalat oleh oknum tak bertanggungjawab.

Kalau antum mencintai ilmu yang sudah antum gali, waspadalah dari manusia seperti si Rud. Di balik pertanyaan dan pernyataan pujian dia pada antum ada misi penting yang dia perjuangkan, yaitu keamanan diri setelah kawan-kawannya terdesak.

Dalam istilah psikilogis dia tu sedang main karakter. Banyak pihak yang terpana dengan kelicikan jenis ini.

Seolah begitu sangat sabarnya, begitu sangat santunnya, begitu sangat perhatiannya yang ditampilkan.

Hakikatnya busuk..

Rud balik lah ke dunia servis jam tangan mu. Jangan terlalu jauh berharap perpecahan dalam internal Syi’ah demi melindungi si bentet yang minus agama, minus akhlaq.

Cukup nashiruddin albani dari puak nashibi sahja yang mendapat pengalaman dihujat kerana masuk ke area di luar disiplin keahliannya sebagai tukang jam..

Babah: Salam ustadz Sinar Agama... kiranya antum bisa baca ulang tulisan ust Muhsin Labib, dan coba antum untuk lebih jelih memahami secara seksama, agar kritikan yang dihasilkan antum tidak ngawoor.. Sekali lagi perhatikan tulisan ustadz ML dan coba perhatikan juga dalam konteks apa ustadz ML menulis buku itu, agar antum tidak terjebak dalam ruang spekulasi. Kebenaran sebuah teks dapat dijangkau karena memiliki “kebenaran dalam dirinya sendiri yang permanen dan konstant, ini membuat pemahaman yang bersifat metodis dan pasti merupakan keniscayaan”.

Para pembaca diyakini akan mampu menjangkau kebenaran sebuah teks jika memahami hubungan antata ungkapan dan muatan(isi) dengan memakai empati. Dan untuk memahami konsep empati ini, orang pertama-tama harus memahami hubungan antara isi(pesan) dengan bentuk ungkapan. Kiranya antum bisa memaklumi kesalahan dan salah sasaran dalam kritikan antum terhadap tulisan ustadz ML.

Afwan jiddan..

Yudhas Kopula: Babah@sepakat. Coba ustadz Sinar Agama baca ulang, maksud dari ustadz Muhsin Labib.

Irsavone Sabit: Saya menjadi penasaran, seperti apa tanggapan balik Ustadz Muhsin Labib?

Muhammad Wahid: Hehe,. seandainya judul bukunya “SYI’AH menurut perspektif Liberalism/ Pluralisme”,.. mungkin ustad SA ga perlu capek-capek ngomentarinya, yah biarin saja.. tapi isi maksud dan judul ga nyambung alias kontradiksi,. karena ada justivikasi menurut Syi’ah, maka ya harus diterima kalau dikritisi dan diobrak abrik isinya,.. karena sudah menjadi tanggung jawab para ulama berilmu untuk meluruskan seperti dalam hal ini ustadz SA.. Namun semuanya dikembalikan kepada masing-masing, ga ada paksaan kok untuk mengikuti ini dan itu,.. mau ikut ustadz ML ya monggo, mau cendrung ke ustadz SA juga ga ada yang larang,.. semuanya tergantung akal masing-masing mencerna mana yang lebih bisa dipertanggung jawabkan kelak.. ustadz SA juga sudah menjabarkan dari sisi pendapat para ulama a’lam.. jadi kurang apalagi,. sebaiknya bukunya dirubah saja judulnya, dan kasi lebel dalam kajian sastrais/ hiperbolik atau harapan.. non-ilmiah.. hehe,. Afwan.

Andika Karbala: Salam Ustadz Sinar Agama, Salam Mas Babah orang terganteng se Jawa barat.. Saya kurang mengenal Ustadz ML ini oleh karenanya Informasiku terhadap beliau dan tulisannya sangat minim sekali.. tapi dari tulisan Ustadz ML dan sanggahan dari Ustadz SA saya sangat setuju dengan Ustadz SA bahwa Imamah atau Khalifah itu haruslah makshum karena Allah telah mewajibkan kita untuk mengikutinya.. Imamah ini adalah janji Allah terhadap senantiasa adanya jalan yang lurus.

Menurutku inilah pembeda kita dengan keyakinan madzhab lain.. bahwa kita mencintai Ahlul Baith dan menjadikan mereka sebagai Imam/kahlifah kita secara kaffah sempurna (Lahir-Bathin, Dunia-Akherat, Vertikal dan horizontal) oleh karena itu tidak ada ruang untuk pemimpin lainnya selain mereka para Imam as dan wakil-wakil mereka. Bahkan seandainya Rahbar dan Ustadz SA tidak melarang untuk melaknat saya akan laknat tokoh-tokoh yang telah menyakiti Imam-Imam kita di wall ini agar keyakinanku tidak dimasuki keraguan atas Keimamahan a-Immah as.. Afwan hanya pandanganku mohon diluruskan jika ada yang salah.. Afwan Ustadz SA.

Bima Biru Hitam: Sa Yang, kalem bro... Ustadz ML menyebut pengertian secara etimologis, ustadz SA pun mnanggapi secara etimologis. Ustadz mengkritik ustadz itu biasa. Mari kita nikmati saja. Perkara ada provokator di balik batu, biarkan saja mereka. Piss.

Bima Biru Hitam: Teman-teman yang lain, marilah kita nikmati saja, ustadz Sinar Agama kan hanya menanggapi karena ada rikues, dan beliau menjawab sesuai disiplin ilmu beliau. Bagi yang memberikan sanggahan, alangkah nikmatnya jika sanggahannya menunjuk kalimat mana yang salah dari ustadz SA, dan bagaimana sangghannya. Biar kita-kita ini ikut menikmati layaknya diskusi. Kopi untuk semua...

Hasnulir Nur: Sayang sekali! Tema ushul pada akhirnya diiringi lebih banyak komentar yang tidak berisikan pendalaman tentang tema!

Karena ini di sosial media, jadinya penyebaran pengetahuan ushul madrasah ahlul bait ke masyarakat luas berpacu dengan penyebaran indikasi adanya ketidakharmonisan. Bisa jadi yang kedua mengungguli yang pertama karena mental gossiping tingkat awam di Indonesia lumayan bisa diandalkan.

Tapi, yah bukankah yang lebih berpengetahuan dan bijak lebih tahu tentang mana yang lebih didahulukan dan bagaimana caranya!

Yudhas Kopula Hasnulir: Nur@sepakat. Seharusnya dijaga keharmonisanya.

Hidayat Constantian: Kounter yang dahsyat untuk pengatas-namaan, Syukran Katsira Ustadz SA.

Hasnulir Nur: Ustadz Sang Pencinta; Soal Imamah dan khalifah yang dijelaskan bagi saya sangat meyakinkan walau saya harus merangkak. Dalam hal ini saya ikut Ustadz SA sebagaimana persoalan-persoalan lain yang sering disajikan oleh beliau melalui akun ini.

Saya cuma, terkadang harus berhenti mencerna tatkala membaca kalimat yang (bisa jadi karena salah mengerti) saya anggap bukan bagian argumentasi Imamah. Misalnya “mengaku Syi’ah padahal bukan” dan ada beberapa lagi.

Saya bisa bilang bahwa saya bisa memahami duduk soalnya dan memperoleh penjelasan yang cukup meyakinkan seperti biasa dari Ustadz SA. Dan ternyata dapat “bonus” yang tak saya harapkan berupa kesan adanya indikasi perseteruan. Diperkuat kemudian dengan “jual beli” komentar yang mengiringinya.

Soal istidlal, terutama naqli, banyak sekali saya dapat dari ustadz SA. Ustadz ML sendiri “kalau tidak salah ingat” pernah buat status yang di dalamnya berisi pengakuan kalau dirinya masih “sabuk kuning” dalam hal “kitab kuning”.

Sa Yang: Tidak perlu dirobah begini begitu judul bukunya. Yang perlu dirobah itu cara pak sinar memahami tulisan objek sanggahannya. Sekali lagi pak sinar tidak membaca dengan baik tulisan pak Labib , itu yang perlu dirobah.

Sa Yang: Biru hitam justru itu saya tengok kritikan yang pak sinar ajukan ke pak Labib inkonsisten dengan apa yang pak Labib kemukakan.

Pak Labib sedang mencermati peristilahan imamah dan khilafah di sepanjang sejarah Sunni Syi’ah. Sementara pak sinar berupaya bicara tentang peristilahan imamah dan khilafah sebagaimana mestinya Syi’ah memahami dua istilah itu, sampai-sampai menukil tulisan empu tafsir almizan, Thabathaba’i.

Buat apa merepotkan diri buang energi menanggapi secara tidak tepat penasaran.

Apalagi sepertinya pengakuannya di awal komentar pak sinar seolah sebegitu gusarnya dia dengan tulisan pak Labib.. buat apa seorang ustadz kayak begituan ber uneg-uneg ?

Mengenai adanya provokator yang nunggang lewat pertanyaan itu sangat urgen dicermati. Masa sih pak cik Sinar Agama seceroboh itu bersikap sampai-sampai menurunkan sanggahan yang tak da kualitasnya. Hanya kutipan satu dua kitab, hadits dan pelengkapnya saja yang tampak ilmiah. Karna memang kutipan pak cik sinar itu bagus mutunya. Namun komentarnya yang tidak bermutu. Karena salah sasaran.

Atau apa itu karena soal maqom antara ustadz yang seharusnya saling membahu malah saling menuding kualitas kesyiahan selain dirinya..

Sang Pencinta: Hasnulir Nur, ini dialog yang antum maksud.


http://sinaragama.org/947-logika-bgn-6-seri-tanya-jawab...
http://sinaragama.org/933-logika-bgn-5-seri-tanya-jawab...


Sang Pencinta: Nuhu Nuhu, meneruskan pesan ustadz, jangan kaitkan beliau dengan siapapun, ustadz Sinar tidak ridha jika ada yang mengaikatkan dengan ustadz ini dan itu.

Sang Pencinta: Rudi, lebih baik antum tidak mengira-ngira (atau memastikan) terkait ustadz Sinar seperti bemarja’ pada siapa.

Rudi Suriyanto:
Oke bro,, harap dimaafkan.

Hasnulir Nur: Ustadz Sang Pencinta: yang kumaksud adalah penjelasan panjang ustadz SA di status ini. Link yang Ustadz tautkan tidak saya tanggapi, karena toh keduanya saling dialog dan itu beda di sini.

Di beberapa tempat dalam penjelasan itu ada yang nyerempet ke personal (kualitas dan sikap) penulis tulisan yang ditanggapi. Dan jujur saja, saat saya sedang menyibukkan diri untuk bisa memperoleh pengetahuan yang begitu penting, muncul “buruk sangka”, jangan-jangan ada maksud membanding-bandingkan dua orang yang (saya anggap tokoh) itu? Sangkaan yang ustadz pasti tidak inginkan sebagaimana saya pun tak ingin. Dan itu cukup mengusik. Sangkaan itu usikannya kian menguat ketika mengikuti komentar-komentar yang lebih banyak menyangkut orang dan sikap ketimbang komentar yang bersifat mengeksplorasi tema.

Karena itulah di awal saya (merasa perlu) walau agak canggung turut komen sekedar ingin minta tanggapan, jangan sampai saya salah masuk kelas.

Sa Yang: Rud sebaiknya ko fokus sahaja sebagai tukang jam tangan. Tak usah mencampuri apa yang bukan bidang keahlian ko tu..

Nuhu Nuhu: Ga pake taqiyah...bila anda tidak suka dengan statement ane. Monggo di hapus. Rapopo.

Sinar Agama: Salam untuk semuanya dan terimakasih tanggapannya. Tapi saya masih tidak perlu menanggapi, karena memang tidak ada yang perlu ditanggapi. Kata-kata kasar yang terlihat mata, pasti saya hapus, karenanya mohon dimaafkan. Kasar ke saya boleh saja dan tidak saya hapus. Tapi kalau kepada sesama tamu, atau laknat sana sini, bisa dipastikan akan saya hapus. Afwan.

Rudi Suriyanto: Hajar aja stadz.

Sinar Agama: Ada sebagian teman yang harus baca tulisan awalnya dengan sangat teliti tanpa berpihak. Lalu teruskan ke tulisanku tanpa berpihak. Karena saya benar-benar sudah melakukan yang terhati-hati, dan kalau ada nada yang naik, karena memang benar-benar perlu dinaikkan. Misalnya, pengusikan ushuuluddin, peremehan pada ulama, seperti kata gontok-gontokan,....dan seterusnya..., maka saya tidak akan mentolerir hal-hal seperti itu. Kalau antum ejek saya, monggo saja, karena kalaulah saya tidak memaafkanpun, maka kalau saya benar, dosa saya yang akan antum ambil.

Dan kalau saya memaafkan, tentu kalau saya benar, maka saya akan bertambah pahala. Tapi kalau mengejek ushuuluddin, ulama, saya dengan menangis air mata darah, tidak akan mentolerirnya. Btw.

Semoga kita semua kembali ke kebenaran, baik isi atau cara. Selama hayat masih dikandung badan, maka Tuhan selalu menunggu kita tanpa bosan.

Rudi Suriyanto: Amin,, insyaAllah stadz,, bihaqqi Muhammad wa aali Muhammad.

Sinar Agama: Semua bisa salah (termasuk saya, apalagi), tapi jalan perubahan selalu dibuka Tuhan. Akan tetapi, menunjukkan kepada jalan benar, wajib dengan argumentasi, tidak boleh hanya persepsi dan nasihat ala umum. Nasihat harus benar, dan kebenaran harus dapat dibuktikan dengan argumentasi yang gamblang yang tidak menyisakan jalan lain kecuali menerimanya. Nasihat-nasihat sebagian antum yang panjang, sulit untuk dilakukan. Karena tidak didasari dengan argumentasi, baik akal atau syariat. Andaikan ada diantara kita yang nabi, masih mending diterima dulu baru kelak dipikirkan hikmahnya. Lah...wong nabi sudah tidak ada, lalu bagaimana mungkin menerima nasihat orang yang tidak ada argumentasinya sama sekali?

Saya sudah sering menjelaskan bahwa nasihat jangan dicampur dengan diskusi ilmiah. Kita tidak boleh meniru wahabi yang bisanya hanya berdalil di depan orang awam, tapi kalau sudah menghadapi orang yang mempu, maka langsung mengatakan nasihat-nasihat dan menolak debat karena tidak disukai Tuhan. Lah...wong dari awal dia sendiri yang nyesatin orang kok. Bisa-bisanya tidak mau debat tapi membid’ahkan, mensyirikkan dan mengafirkan orang, sangat mau? Nah, wahabi seperti itu. Kita tidak boleh menirunya. Btw, selamat berenung terus sampai menyala titik penting yang dapat membantu kita semua, amin.

وتنيره ناونغ : Akhirnya ketemu juga...ijin menandai dulu.

Sa Yang: Si rudi tukang jam tangan penghasud yang terselubung sila pak cik sinar belasah.
Dia dan kawannnya yang ketika antum menulis keculasan si yassir annajis , lewat akun-akun lain mereka memperolok-olokkan pak cik sinar.
Syaitan jenis Rudi perlu diagamai dengan baik pak cik sinar.

Sa Yang: Pak cik sinar sebaiknya antum tak usah nak kata siapa pun seenak hati antum tidak berargumentasi. Karena mereka atau dia bukan Nabi as. dan terkesan hanya antum seorang yang ahli. Merendah itu jangan setengah-setengah pak cik sinar.

Sedari awal saya tengok antum di sebalik kata merendah antum ada tekanan nada ego yang seolah anti kritik, anti nasehat kerana antum dipandang seorang ustadz.

Ketika orang mengejek antum jangan seenaknya juga antum tuding orang melakukan itu karena tanpa argumentasi.

Saya tengok antum tergesa-gesa menyikapi tulisan pak Labib dan tangan gatal serta pikiran gatal antum terlalu berani menggiring opini yang pada akhirnya membuat stigma bahwa Syi’ah nya pak

Labib itu batil dalam kacamata antum. Pada hal apa yang pak Labib tulis, apa pula yang antum sanggah.

Masa hanya kerana asumsi lewat ratusan kata-kata antum, imannya pak Labib dikerdilkan dan dianggap sudah di luar kaidah shahih. pada hal saya sekali lagi menengok antum keliru merespons tulisan pak Labib.

Lucutilah setingkat demi setingkat perasaan risih dikritik pada diri antum agar tampak di mana galat tulisan antum.

Terlepas ini dianggap ceramah atau nasehat oleh antum. Saya hanya berpesan, sebaiknya antum fokus sahaja menjawab soalan dengan kapasitas antum bisa lakukan.

Tanpa mendikte orang lain harus diakui benar bila setakat dengan antum pak cik sinar.

Saya berterimakasih antum tidak mengomentar lagi, dari pada semakin ngawur dan menguntungkan puak cuti logika model si Rud dan kawan-kawannya yang suka melaknat.

Yang semodel dengan bentet dan emilia adalah person yang diuntungkan ketika Syi’ah dan Syi’ah non pelaknat saling “memecut”.

Merekalah sebagai oknum yang pantas disebut dajjal oleh user “bocah pembunuh dajjal”.. dan sekali lagi harus diagamai.

Termasuk si tukang jam(si rud) , albani versi pelaknat.

Adzar Ali: Dari komentar-komentar Sinar Agama ini sudah ke tiga kalinya Sinar Agama merasa paling tinggi sehingga dalam komentarnya menyiratkan dia anti kritik dan anti nasihat. Itu yang pertama.

Yang kedua, ini kedua kalinya kasus Sinar Agama mudah dipengaruhi dan mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu apalagi khususnya dalam kasus ini malah dimanfaatkan oleh mereka yang anti wilayatul faqih.

Ketiga, karenanya saya sendiri akhirnya meragukan gelar-gelar akademisi yang sering disematkan pada sinar agama, karena secara emosionalitas Sinar Agama masih labil dan belum pandai menyikapi ikhwan wa akhwat yang lainnya, kecuali kalau gelar-gelar akademisi itu sekedar honoris causa yang salah tempat.

Keempat, memang dapat dinyatakan lamanya seseorang sekolah dan dimana dia sekolah belum tentu dapat dijadikan sandaran dalam menentukan kedewasaan dan kepiawaian seseorang dalam menyikapi masalah-masalah yang dihadapi walau itu mempunyai kaitan dengan keilmuan yang dia pelajari, namun pernyataan itu hanya dapat terjadi ketika sekolahnya diluar negeri para mulla yang kondisi pengajarannya tak seimbang, karenanya yaa seperti saya katakan di point ketiga tadi “kecuali kalau gelar-gelar akademisi itu sekedar honoris causa yang salah tempat”.

Sinar Agama: Salam untuk semuanya. Saya belum melihat ada yang perlu dikomentari. Pengulangan dan pengulangan. Yang diulang hanya dakwaan dan nasihat. Mending kalau ada dalilnya. Btw, bisa mengulang bacaan dengan lebih baik, dari pada mengulang komentar yang sama sekali tidak menyentuh sedikitpun pada permasalahan dan ditulis dengan perasaan yang ngalor ngidul tidak karuan. Tuduh sini dan sana, ejek sini dan sana. Persepsi, kecenderungan dan perasaan kok dituliskan, terlebih mengharap ditanggapi.

Oh iya, siapapun mengejek yang lainnya di sini (bukan mengejek saya), maka saya akan hapus dengan penuh maaf.

Rudi Suriyanto: Dihapus saja stadz merusak kenikmatan dalam membaca.

Sang Pencinta: Ustadz, berhubung ini di pekarangan saya hanya saya yang bisa hapus komen.
Beberapa komen ejekan yang ditujukan ke selain ustadz sudah saya hapus. Kalau ada yang perlu
dihapus, kabari saya saja ustadz.

Andika Karbala: Salam ustadz SA semoga Ustad dan keluarga senantiasa dalam perlindungan Allah swt tetaplah sudi berbagi ilmu pengetahuan kepada kami dan jangan bosan untuk mendidik kami..

Joko Kendil: Cukup saya baca tanggapan nak Sinar Agama di atas .... Memang menurut saya nak Sinar Agama ini lumayan pinter .... Tapi maaf dalam hal ini (tentang mengomentari pendapat ustad ML) nak Sinar Agama ini menurut pendapat saya pribadi ... Tidak menggunakan kepinteran nya secara bijaksana .... Sehingga yang tertangkap dalam pandangan saya ... Dalam hal ini nak Sinar Agama ini cuma KEMINTER .... sehingga MINTERI kalau sudah MINTERI (menggurui) motif yang saya tangkap adalah kalimat ( saya lebih tau dari dia ) .... Dan ini memang penyakit khusus yang biasanya menjangkiti para ahli .... Seperti kisah iblis yang juga terkena penyakit ini ..... Afwan .... Urun rembug tapi mungkin agak vulgar .... Hahahaha.

Babah: Salam. Ustadz Sinar Agama... dalam komentar antum kepada ust Muhsin Labib, anda mengatakan kepada beliau (ustadz ML) Dengan klaim bahwa ustadz ML menggurui seluruh ulama Syi’ah bal aimmah sekalipun, dan antum juga mengatakan bahwa ustadz ML telah mengaburkan pemahaman Syi’ah, antum juga mengatakan bahwa ustadz ML berpaham abu-abu.

Padahal tidak ada istilah Syi’ah abu-abu, karena yang menjadi standart konsep seseorang bisa diklaim Syi’ah itu jika orang tersebut termasuk dalam kategori konsep dalam kurung ini( siapakah orang yang layak dosebut Syi’ah? Hum , al-ladzina ya’taqiduna bi imamati ‘aliyyin wa naslihi nash-shan wa ta’yienan) yaitu orang-orang yang meyakini Ali dan keturunan-nya as sebagai imam (pengganti Rasulullah saww) berdasarkan nash dan ketentuannya.

Berarti antumlah yang sudah mengaburkan paham kesyiahan karena antum sudah menyalahi konsep dasar yang saya tulis dalam kurung tadi. Sebab antum sudah mengklaim bahwa ustadz Mountain Lion berpaham abu-abu.

Afwan.

Babah: Padahal ustadz ML sama sekali tidak menggurui para ulama Syi’ah apalagi aimmah ma’shumah.. jadi antum jelas ngawooor..

Muhammad Wahid: Sekedar ngulang ==> “Ada sebagian teman yang harus baca tulisan awalnya dengan sangat teliti tanpa berpihak. Lalu teruskan ke tulisanku tanpa berpihak. Karena saya benar- benar sudah melakukan yang terhati-hati, dan kalau ada nada yang naik, karena memang benar-benar perlu dinaikkan. Misalnya, pengusikan ushuuluddin, peremehan pada ulama, seperti kata gontok-gontokan,....dan seterusnya..., maka saya tidak akan mentolerir hal-hal seperti itu. Kalau antum ejek saya, monggo saja, karena kalaulah saya tidak memaafkanpun, maka kalau saya benar, dosa saya yang akan antum ambil. Dan kalau saya memaafkan, tentu kalau saya benar, maka saya akan bertambah pahala. Tapi kalau mengejek ushuuluddin, ulama, saya dengan menangis air mata darah, tidak akan mentolerirnya. Btw. Semoga kita semua kembali ke kebenaran, baik isi atau cara. Selama hayat masih dikandung badan, maka Tuhan selalu menunggu kita tanpa bosan.” Ustadz SA.. afwan.

Muhammad Wahid: Mengejek ushuluddin dan ulama yang dimaksud ustadz SA disini, adalah bahwa ustadz ML tidak menempatkan pahaman Imamah yang seharusnya. Dan lebih parahnya tidak merujuk kepada para ulama a’lam terdahulu juga riwayat-riwayat Makshumin as (dalil).. jadi ustadz ML terkesan berlogika hayal dengan pemikirannya sendiri,. padahal Imamah itu ranah USHULUDDIN loh, .. masih mending kalau beliau itu marja, mungkin bisa difahami maksudnya, lah ini kan tidak.. mujtahid saja tidak.. itu maksudnya mas bro. Afwan.

Babah: Loooh... mengejek ushuluddin gimana nya?? Antum ngerti gak Muhammad Wahid..? Ustadz ML dalam penulisannya sama sekali tidak meruntuhkan ushuluddin, itu hanya sekedar persepsi ustadz SA saja.. dan sangat terlihat ustadz SA terjebak dengan persepsinya..

Muhammad Wahid: Lah kan tinggal dibandingkan mas,. tulisan ustadz ML dan tulisan ustadz SA.... jangan lihat gaya penyampaiannya. Lihat isi dan muatan tulisannya.. mana yang berdalil dan mana yang tidak? Gitu lo mas, afwan.

Muhammad Wahid: Ushuluddin harus jelas dalilnya,. kalau tidak, maka setingkat ustadz ML yang harusnya lebih mengerti, jelas namanya mengejek-ngejek,. dan pendapat ulama yang jauh lebih alim dari beliau merasa direndah-rendahkan..

Babah: Hehehh... eh mas.. kalau cuma membawa seabrek dalil yang kagak nyambung mah, saya juga bisa.. Anda itu kayak orang baru lihat tulisan arab... hadeeecch.. udah dech. Yang ane butuhin bantahan ustadz SA bukan ente..

Muhammad Wahid: Ya sudah, jangan mengulang-ngulang kata-kata yang anda terlihat jadi tambah bodoh,.. ustad SA juga tidak akan menanggapi anda dengan komentar seperti itu,. Di atas aja.. saya sudah terkesan mengajari anda cara mencerna/ memaknai sebuah tulisan,.. kasihan sekali antum ini.

Babah: Justru yang terlihat tambah bodoh ya antum.. hehe.. makanya ana gak mau ngladenin antum. Heheh..

Muhammad Wahid: Ya sudah, ga apa-apa.. berarti antum bisanya cuma segitu, sukron.

Babah: Gara-gara nglihat tulisan arab langsung dibenarkan.. wkwkwk.. laaahhm. Gimana kalau gue bawain injil dari mesir... huhajahah

Babah: Untuk ustadz Sinar Agama.. coba antum ss tulisan ustadz Muhsin Labib yang menurut antum sudah meruntuhkan usuluddien.. Saya bener-bener nunggu jawaban-nya..

Joko Kendil: Nak sinar jaya kok ga nongol lagi ....?

Bintang Az Zahra: Ribut terus kapan damaiannya,,,,tatap muka aja deh ,,,,biar clear beda argument kalau di fb jadi bahan tertawaan orang bodoh.

Muhammad Kamal: Mudjahit itu apa ya? Tukang jahit? wkwkek.... mujtahid keleeesss.

Sinar Agama: Pencinta, saya juga bisa menghapus dan sudah saya hapus yang mesti dihapus. Entah mengapa saya bisa menghapus komentar di pekarangan/dinding antum, saya tidak tahu. Kalau benar saya bisa menghapus, maka biar saya yang menghapusnya, jangan antum. Afwan.

Sinar Agama: Teman-teman, saya merasa belum perlu menanggapi. Karena tidak ada yang berdalil sesuai dengan tulisan yang dibela dan yang dikritikinya. Saya tidak mau mengatakan bahwa ribut-ribut itu hanya mau mengkaburkan, akan tetapi, bisa saja demikian. Karena itu, di samping saya lihat tidak ada dalilnya, saya juga sangat merasa tidak perlu mengomentari komentar orang terhadap tulisan yang sama sekali tidak dipahaminya, baik dari tulisan yang dibelainya, atau yang dikritikinya.

Anjuranku, baca yang benar maka akan ketahuan. Wong tulisannya jelas dan saya sudah katakan tidak pakai taqiah kok.

Rudi Suriyanto: Bukan menghapus barangkali ustadz, tapi menyembunyikan komentar yang kita tidak mau melihatnya, hanya ustadz yang tidak melihat komentar itu, tapi yang lain masih bisa meihatnya., yang kuasa menghapus komentar di thread ini cuma Sang Pencinta.

Abi Dzar Algifari: Babah-babah...antum ini kalau dipewayangan kayak sicepot...

Sinar Agama: Wahid: Hampir bisa dikatakan bahwa hampir seluruh tulisannya itu adalah pengusikan ushuluddin dan pelecehan pada ulama, imam Makshum as, Nabi saww dan Tuhan sendiri. Jadi, bukan hanya penempatan masalah imamah, tapi termasuk hal-hal lain seperti kenabian itu sendiri. Kalau seseorang teliti, tentu setelah tahu apa arti nabi bagi Nabi saww, maka ia akan sangat melihat dengan gamblang, kerancuan apa yang tertulis di sana. Sementara kenabian ini termasuk ushuluddin yang ke tiga. Kalau imamahnya mah....sudah diludesin dengan tulisan itu. Sudah tidak tersisa sampai ke akar-akarnya. Yang tersisa hanya bahwa orang Syi’ah berimam pada Ahlulbait as, tapi apa yang semestinya harus diimaninya tentang mereka as di selain menerima mereka sebagai pemimpin, sudah tidak tersisa lagi.

Kalau pengejekan itu seperti “ngajari semua tokoh” dan bahkan mengatakan bahwa mereka gontok-gontokan. Bisanya ulama Syi’ah, dikatakan gontok-gontokan sementara mereka hanya mempertahankan ajaran yang diterima dari para imam as yang bersumber dari Nabi saww dan Tuhan.

“Selanjutnya para pemikir kedua kelompok ini harus mengubah energi gontok-gontokan menjadi energi saling mendukung dan mem-bahu mencerdaskan akar rumput dan awamnya serta membuang semua isu elementer yang menjadi biang kebencian mutual.”

Kata-kata seperti ini, jelas tidak bisa diterima karena sudah mencederai semua tokoh Syi’ah sepanjang sejarah yang rajin dan ulet serta kokoh mengajar dan menulis kitab yang menerangkan ushuuluddin keimamahan. Kata-kata di atas itu, di samping ulamanya yang serius menjaga agama itu, dikatain sebagai penggontok-gontok-an, juga secara tidak langsung dikatain sebagai tidak jelas melihat masalah dan akar rumput imamah ini DAN, tidak mencerdaskan umat. Karena itu ia menasihati para tokoh kedua kubu yang termasuk para ulama Syi’ah, untuk berhenti melakukan itu dan menjadi seperti dia supaya jadi paham apa akar masalahnya atau akar rumputnya dan supaya umat ini menjadi cerdas.

Jadi, para ulama yang gontok-gontokan (menurut dia) dengan pengajaran dan penulisan kitab-kitabnya itu, adalah kitab yang tidak benar karena tidak memahami akar rumput masalahnya DAN, tidak mencerdaskan umat.

Sinar Agama: Yang lain tidak boleh ngiri pada wahid, karena dia semacam bertanya dan konfirmasi, bukan dalam keadaan berdebat dan membantah. Kalau membantah, maka sudah semestinya memahami kedua tulisannya dulu, baru menuliskan bantahannya. Tapi kalau seseorang itu sendiri belum paham lalu membuat bantahan, maka saya hanya bisa merujukkannya kepada asal kedua tulisannya. Btw.

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau boleh saya izin bertanya..

1. Apakah kewajiban seorang Imam menjadi pemimpin secara sosial dan politik (pemimpin negara) adalah wajib mutlak atau ‘idealnya’ wajib?

Keterangan :

Maksud beda wajib mutlak dengan ideal seperti “Syahadat” pada syarat ke-islam-an..
Kan idealnya syahadat itu Kesaksian Dzati, tetapi diumumkan oleh fikih hanya “ucapan” saja.

2. Apakah Nabi Ibrahim melakukan langkah-langkah politis begitu pula setelah menjadi IMAM?

3. Apakah dengan tidak menjadinya 9 imam Syi’ah yang lain (mulai maulana wa sayyiduna Imam Husein hingga Imam Hasan al-Askary) sebagai pemimpin politis “menggimplikasikan” hilangnya fungsi/peran imam?

4. Jika adanya imam itu mengharuskan berfungsinya kepemimpinan politik, apa peran Imam/ Insan Kamil mulai nabi ibrahim hingga imam Askary dalam bidang politik tanpa menjadi pemimpin?

Titik berat soal saya pada “apakah kepemimpinan politis imam adalah mas’uliyah dan fungsinya imam atau hanya pengembangan saja dari wilayah mereka”.

Artinya wajib mutlak bagi imam untuk menjadi pemimpin politis dunia, atau itu hanyalah idealnya semata.

Arjuu tashrihaatakum. Terima kasih.

Ali Zayn Al-Abidin: Jika imam WAJIB mutlak menjadi pemimpin politis, dimanakah para insan-insan kamil semenjak nabi Ibrahim hingga imam Askary (kecuali imam Ali hingga imam Husein)? Mana pergerakan politik mereka sebagai aktualisasi tugasnya?

Sinar Agama: @Ali, sekedar mengulang yang sudah ada di tulisan-tulisan di atas:

1- Imam itu wajib berkuasa dan memimpin. Jadi, kalau Allah sudah mengangkat seorang nabi/ rasul atau hamba makshum (seperti Ahlulbait as) menjadi imam, maka maksudnya diperintah untuk menegakkan pemerintahan dengan hukum Islam. Bukan idealnya saja. Perintah Tuhan itu wajib dilaksanakan. Jadi, imamah ini adalah kewajiban dan perintah yang mutlak. ARTINYA, tidak bisa ditawa-tawar.

2- Sudah tentu.

3- Tidak. Karena imam ini, akan tetap imam. Yakni baik dia berkuasa atau tidak. Imam tetap imam yang memiliki dua hak dan kewajiban, yaitu memimpin vertikal dan horisontal. Karena makna imam, adalah memimpin di dua bagian tersebut. Sedang tidak bisa berlakukan salah satu dari tugas itu, atau dua-duanya, maka penyebabnya, akan diminta tanggung jawab di akhirat.

Kalau imam itu tidak melaksanakan dua tugasnya, sudah pasti imamnya tidak salah karena mereka Makshum as hingga sudah pasti berbuat sesuai tugas yang diberikan, baik tersalurkan lewat memerintah secara politik, atau diam taqiah atau bahkan baiat taqiah (seperti yang dilakukan imam Ali as yang tidak baiat kecuali setelah diseret ke masjid dan dihukumi oleh khalifah bahwa kalau tidak baiat kala itu juga, maka kepalanya akan dipenggal, tidak seperti yang dikatakan orang yang sok tahu yang mengatakan bahwa imam Ali as berbaiat karena menerima kepemimpinan horisontal khalifah pertama). Walhasil yang dilakukan Makshumin as, sudah pasti sesuai dengan tugas yang diberikan Tuhan.

Karena itu, kalau imam itu tidak menjabat pemerintahan horisontal, maka yang akan dimintai tanggung jawab kelak, adalah umatnya.

Masih mending kalau tidak berkuasa saja. Sebab bisa lebih parah dari itu, yaitu dibunuh sebagaimana seluruh imam Makshum dibunuh dimana yang terparah seperti imam Husain as yang kepalanya dibuat mainan oleh umat Islam ini sendiri.

Jadi, kebertugasan para imam atau kepemberian tugas imamah oleh Tuhan, sama sekali tidak berhubungan dengan de faktonya. Persis seperti syariat dan para nabi yang diutus Tuhan itu. Apakah syariat dan nabiNya akan diterima orang secara de fakto atau tidak, maka hal itu tidak ada urusan. Karena Tuhan, hanya melakukan hidayah dan membantu manusia mencapai kesempurnaannya, dan para nabi dan rasul hanya menjalankan tugasnya. Diterima atau tidak, di alam nyatanya, maka hal itu sudah bukan lagi tanggung jawab Tuhan dan para nabi yang diutusNya. BEGITU PULA DENGAN IMAMAH PARA AHLULBAIT as ATAU PARA NABI SEBELUMNYA as. KARENA BERKUASA ATAU TIDAKNYA MEREKA as, SUDAH BUKAN LAGI TANGGUNG JAWAB KETUHANAN DAN KEIMAMAHAN.

4- Fungsinya tidak berfungsi. Artinya, ketika umat mengingkarinya dan tidak mengikutinya, maka imamahnya tidak berfungsi. Persis seperti kalau Tuhan mengutus nabi dan rasul akan tetapi ditolak dan bahkan dibunuh seperti nabi Yahya yang bahkan dibunuh dengan digergaji secara perlahan-lahan itu.

Akan tetapi, karena tidak ada rotan akarpun jadi, artinya tidak ada pemaksimalan imamah, amar makruf sebisanyapun jadi, maka para imam Ahlulbait as, tidak pernah berhenti untuk menjadi pembimbing umat Islam ini (begitu pula imam-imam masa lalu terhadap umat mereka masing-masing) SEKALIPUN BAHKAN KEPADA PERAMPAS IMAMAHNYA TERSEBUT. Karena itu, jangan heran kalau imam Ali as selalu memberikan saran kalau diminta, memberikan jawaban kalau ditanya, memberikan amr makruf kalau dirasa perlu....dan seterusnya. Lah, perkara seperti ini, akan aneh banget kalau diartikan sebagai telah menerima kekuasaan khilafah/politis penguasa yang disaraninya, yang dibimbingnya, yang ditolongnya, yang diberikan anaknya ketika dipinang untuk dikawini (lantaran taqiah),.....dan seterusnya.

Saya sudah sering menjelaskan (tapi saya memang bukan apa-apa, tapi setidaknya telah berusaha memberikan informasi-relatif semampunya tapi selalu diusahakan berdalil karena hanya itu tugas kita yang tidak makshum) bahwa ketika imam harus taqiah itu, justru siksanya lebih berat ketimbang berperang dengan pedang. Artinya, justru di situlah perjuangan para Makshumin dari Ahlulbait as itu. Artinya, bahwa semua itu, bukan tanda ridha dan memaafkan atau apalagi menerima kuasa politisnya.

JADI MENJADI IMAM SECARA DE FAKTO (NYATA) ITU ADALAH MASUULIYYAH (TANGGUNG JAWAB) DAN KEWAJIBAN, BUKAN HANYA IDEALNYA SAJA. AKAN TETAPI, KEWAJIBAN INI, TIDAK SEPERTI SYAHADAT YANG HANYA MENYANGKUT SATU ORANG PRIBADI, KARENA IA MENYANGKUT SEMUA UMAT MUSLIM. JADI, MENGAPLIKASIKAN IMAMAH ITU, KEWAJIBAN SEMUA ORANG SECARA BERSAMA, TIDAK SEPERTI SYAHADAT YANG DILAKUKAN SENDIRI-SENDIRI. HAL ITU, LANTARAN IMAMAH SECARA DE FAKTO, MEMILIKI BANYAK UNSUR, SEPERTI PEMIMPINNYA YANG MAKSHUM, UMATNYA YANG MAU MENERIMA SECARA PENUH (tidak menerima secara separuh-separuh seperti oran-orang Kufah yang mengundang imam Husain as dimana sebagian mereka tidak meyakini imam Husain as itu sebagai imam secara penuh karena hanya meyakini bahwa imam Husain as lebih afdhal dari yang lain untuk menjabat pemerintahan sebagaimana pejabat/khilafah sebelumnya yang mereka juga terima) DAN TANAH/WILAYAH YANG BISA DIJADIKAN TEMPAT MENDIRIKAN PEMERINTAHAN HUKUM TUHAN. KALAU SATU SAJA DARI UNSUR-UNSUR TERSEBUT TIDAK ADA, MAKA DE FAKTO DARI IMAMAH INI, TIDAK AKAN PERNAH ADA. DAN SEKALI LAGI, KETIADAAN IMAMAH SECARA DE FAKTO DI LAPANGAN, SUDAH BUKAN TANGGUNG JAWAB TUHAN DAN PARA IMAM ITU SENDIRI, MELAINKAN TANGGUNG JAWAB UMAT MEREKA MASING-MASING. Wassalam.

Tambahan: Kalau tidak pernah baca kitab, atau kurang banyak baca kitab, atau tidak lengkap ilmu (terutama seperti saya ini) hingga membuatnya tidak tahu kabar apapun tentang sejarah para imam sejak nabi Adam as, maka apa salah Tuhan dan Nabi saww yang mengajarkan ushuuluddin imamah ini. Apa salah Islam dengan konsep imamahnya ini. Wong kita kok yang tidak tahu. Emangnya bisa kita mengakatan “Mana perjuangan mereka?” dimana memaksudkan “Karena tidak ada (yang semestinya mengatkaan ‘karena saya tidak tahu’), maka konsep imamah yang ada dalam Qur an, hadits Nabi saww, ajaran Ahlulbait as, ajaran para tokoh ulama dan marja’ sejak jaman Nabi saww itu, semuanya salah, tidak benar, tidak menyentuh akar rumput masalahnya .... dan seterusnya.”

Ali Zayn Al-Abidin: Na’am ustadz, terima kasih banyak atas penjelasannya sebelumnya.

Saya tidak ragu untuk bab kepemimpinan vertikal dan horizontal secara umum. Yang isykal di sini adalah kepemimpinannya dari cabang nya yang horizontal.



Artikel berikutnya:
================