Sabtu, 06 Oktober 2018

Bada’ (Perubahan)



Seri pengulangan Sinar Agama 
by Sinar Agama on Friday, January 4, 2013 at 2:47 pm



Sinar Agama, 21 Oktober 

Tentang Bada’ oleh: Ustadz Sinar Agama Seri 1 


Bada’, secara bahasanya adalah “tampak”, “nyata” dan “lahir”. Dan secara istilah dalam bahasanya, adalah “Merubah rencana di tengah jalan setelah tampak dan nyata”. 

Tetapi dalam istilah ilmu Kalam, adalah merubah ketentuan dari sesuatu yang sudah ditentukan. Misalnya, ketika seseorang itu melakukan dosa, maka ditentukan dan ditulis oleh Allah melalui malaikatNya sebagai “Pendosa” dan sebagai “Yang terazab”. Tetapi kalau nanti orang itu bertaubat, maka ketentuan tadi dirubah menjadi “Yang bertaubat” atau “Masuk surga”. Atau misalnya, seseorang karena dosanya, Tuhan ingin memperingatkannya dengan petaka. Tetapi karena dia bertaubat, atau melakukan kebaikan lain, seperti sedekah, shalawat pada Nabi Saww dan Ahlulbaitnya as dan semacamnya, maka Tuhan tidak jadi memperingatkannya dengan petaka itu. 

Yang harus diketahui, bahwa keyakinan akan bada’ ini, adalah keyakinan yang sebenarnya bukan hanya Syi’ah yang punya, tetapi semua muslimin mempercayainya. Karena dalam Qur'an (13: 39) dikatakan: “Allah menghapus dan menetapkan yang dikehendaki dan Dia memiliki ummulkitab lauhulmahfuuzh.” 

Akan tetapi, karena hal itu sering dibahas dalam Syi’ah dalam judul Bada’, dan secara peristilahan bahasanya adalah merubah rencananya atau ketetapan yang dikarenakan pengetehuan yang baru, maka seakan-akan makna Bada’ secara istilahnya itu, menjadi kekhususan Syi’ah. 

Karena itu yang harus diketahu juga, adalah bahwa semua perubahan-perubahan itu, sudah diketahui oleh Allah swt sebelum perubahannya dan bahkan sebelum alam ini diciptakanNya. Karena itulah Allah menjelaskan dalam ayat di atas itu, bahwa Dia juga mememiliki ummul kitab. 

Jadi ada dua kitab, ada kitab yang berubah-rubah yang biasa disebut dengan kitab Qadha dan Qadar. Dan ada juga kitab yang induk/ibu/ummu, yaitu yang tidak berubah yang biasa disebut degan lauhu al-mahfuuzh. Artinya ada tulisan-tulisan yang berubah-ubah, yakni yang seiring dengan perjalanan manusia dan ikhtiar dan usahanya. Ada yang tidak berubah, karena sudah ketahuan apa hasil akhirnya. 

Sudah saya jelaskan tentang ke-Adilan Tuhan dalam catatanku yang berjudul “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syiah” bagian kedua, bahwa semua tulisan itu bukan berarti menakdirkan kita (determinist/jabariah) manusia. Artinya, baik tulisan di kitab Qadha’ dan Qadar itu atau tulisan yang ada di kitab lauhu al-mahfuuzh itu, semua itu, bukan menulis apa-apa yang kita tidak lakukan dan pilih. Artinya, tulisan-tulisan itu, walaupun ditulis sebelum penciptaan, akan tetapi bukan tanpa dasar dari perbuatan manusia. Artinya, Tuhan hanya menulis apa-apa yang Dia ketahui tentang pilihan dan perbuatan kita. Artinya, kitab-kitab itu sebenarnya adalah tingkatan ilmu-ilmu Tuhan yang dijaga oleh malaikat sesuai dengan tingkatannya. 

Ilmu yang ada di tingkatan Qadha dan Qadar, tidak meliputi semua pilihan manusia dan apalagi pilihan akhirnya. Dia, atau ilmu itu, sesuai dengan perjalanan hidup dan ikhtiar masing-masing manusia. Katakan ilmu yang dimiliki malaikat Raqib dan Atid. Tetapi ilmu yang ada di tingkatan ‘Arsy atau lauhu al-mahfuuzh, maka ia lebih tinggi dan dijaga oleh malaikat yang lebih tinggi pula. Ilmu yang ada di sana adalah detail sampai ke pilihan akhir manusia dan bahkan surga nerakanya. 

Dari keterangan di atas itu, maka sudah jelas bahwa nasib dan takdir yang umum dipahami banyak orang khususnya di Sunni yang bahkan dijadikan rukun iman ke enam itu, tidak ada dasar Qur'an dan haditsnya, serta sesuatu yang diada-adakan. Karena kalau semua sudah ditentukan Tuhan, lalu agama ini buat apa diturunkan? Lalu buat apa kita berdebat dan beramar makruf dan nahi mungkar? Toh yang ditentukan selamat dan terhidayahi maka akan demikian walau tanpa ceramah, dan yang sebaliknya pasti sebaliknya walau diceramahi dan dikader. 

Lihatlah detailnya di catatan yang disebut di atas itu. 

Jadi, penulisan itu tidak lain adalah ilmu Tuhan tentang apapun yang akan kita pilih dan lakukan, bukan penentuanNya. Baik tentang jodoh, rejeki, iman, umur....dan seterusnya. 

Bersama Zaranggi Kafir dan 19 lainnya. Wassalam.


Bahasan Susulan: 

Tentang Bada’ Oleh: Ustadz Sinar Agama Seri 2 


Tentang Bada’ sepertinya saya sudah menjelaskannya dulu. Intinya, adalah perubahan ketentuan Tuhan yang seiring dengan keadaan hambaNya. Misalnya, ketika orang berbuat dosa, maka ia ditetapkan olehNya sebagai pendosa. Tetapi ketika orang itu bertaubat, maka ketentuanNya tadi dirubah menjadi taubat dan dihapus dosanya atau bahkan dosanya dirubah menjadi pahala. 

Misalnya, ketika seorang berusaha dari jelek ke baik, maka efek-efek jeleknya yang tadinya merupakan ketetapannya akan dirubah menjadi ketentuan-ketentuan lain. Misalnya, bagi pemalas, maka fakir adalah ketentuannya. Jadi, si Fulan yang malas, maka ia pasti miskin (tentu malah yang kondisinya memang ke miskin, bukan malas tetapi punya warisan ribuan perusahaan). Tetapi ketika ia berubah menjadi rajin dan gigih serta profesional, maka Tuhanpun akan merubah ketentuanNya kepada kaya dan semacamnya. 

Sebenarnya bada’ itu adalah ijin Tuhan terhadap usaha-usaha manusia dan perubahan- perubahannya dari satu kondisi ke kondisi tertentu dimana bisa melahirkan akibatnya sendiri- sendiri. Jadi, Tuhan tidak pernah menentukan nasib manusia dari awal. Tetapi dari kondisi sosial setiap manusia yang lahir dari manusia sebelumnya itu adalah sebagai awal kondisi dia yang akan melahirkan akibatnya sendiri. Jadi, kondisi asal atau fitrahnya setiap orang, ditentukan oleh ikhtiar manusia lain, seperti ayah-ibu dan lingkungan mereka. Misalnya, ayah-ibunya koruptor dan negara Indonesia yang seperti ini, maka si Fulan bayi itu akan terkondisikan oleh ikhtiar yang berupa keadan tersebut. 

Jadi, ketentuan awalnya si Fulan bayi tersebut ditentukan oleh ikhtiar orang lain yang memang logis alami. Jadi, Tuhan mengijinkan si Fulan bayi untuk lahir sesuai dengan ikhtiar kedua orang tuanya. Di sini, Tuhan tidak menentukan si Bayi tadi, tetapi hanya mengijinkanNya lahir atas usaha kedua orang tuanya. Inilah yang dikatakan ketentuan awal Tuhan. 

Sudah tentu ketika seseorang lahir di keluarga koruptor dan selalu makanan haram rakyat, dan kondisi pergaulan seperti di Indonesia ini yang sudah tidak perlu dibahas lagi dimana pacaran di dalam aktifis Islam saja sudah merupakan hal-hal yang wajar dan tidak aib, maka sudah tentu ia akan menghadapi pemandangan batil. 

Ketika si anak mulai dewasa, maka sudah pasti gen, keluarga dan lingkungannya, akan sangat memberikan pengaruhnya yang, bisa dikatakan dengan was-was syaithan (jin dan manusia). Nah, kalau dia tidak menggunakan akal gamblangnya dan bahkan mengikuti was-was atau pengaruh itu, maka ketentuan dia sudah pasti ke dalam kesesatan yang nyata. Yaitu memandang bahwa koruptor itu tidak jelek (ini dari sisi ilmunya sebagai akibat dan kesesatan awal yang sangat menentukan berikutannya), pacaran itu tidak jelek. Setelah ilmu yang dia ikuti ini perasaanis dan bukan akalis, maka sudah tentu dia akan meneruskan kepada akibat berikutnya, yaitu melakukannya sendiri. 

Semua akibat-akibat dari pilihan yang ikhtiari (baik dari lingkungan atau diri sendiri) itulah yang dikatakan ketentuan Tuhan yang, sebenarnya adalah Ijin Tuhan. 

Jalan naturalis, baik individualis atau sosialis itulah yang dikatakan ketentuan awal. Alias jalan normal. 

Namun demikian, ketika si anak tadi melakukan perubahan, ia mulai mengikuti akal gamblangnya dan meninggalkan perasaannya atau akal yang bercampur perasaannya, dan memulai dengan usaha-usaha yang bersifat pilihan-pilihan ikhtiari yang lain yang lebih baik atau mutlak baik, maka sudah tentu akan melahirkan ketentuan lain yang juga lebih baik. 

Nah, perubahan dari rel pertama ke rel kedua itulah yang dikatakan bada’ atau Perubahan Ketentuan Tuhan. Tentu saja, masih banyak lagi bentuk bada’, seperti perubahan perintah Tuhan kepada nabi Ibrahim as dari perintah menyembelih anak ke kambing ...dan seterusnya dimana penjelasannya banyak sekali, seperti untuk ujian dan sebagainya. Yang jelas, kalau bada’ terjadi pada makhluk, biasanya tanpa disertai pengetahuan sebelumnya. Akan tetapi bada’ Tuhan tentu saja disertai pengetahuan sebelumnya dan bahkan sebelum alam ini dicipta. Namun, ruh dari ajaran bada’ ini sebenarnya ingin memberikan optimisme kepada manusia (yang gagal dan berdosa) agar hendaknya tidak pernah berputus asa atas rahmat Tuhan dan, dari satu sisi yang lain (bagi yang sukses dan taat) untuk tidak berlaku sombong dan terlalu percaya diri (hingga selalu hati-hati). Semua itu karena semuanya bisa terjadi perubahan. Tetapi bukan perubahan yang dirubahNya, melainkan perubahan yang kita lakukan sendiri. 

Kesimpulan: 
Ajaran Bada’ ini sebenarnya pengumuman Tuhan tentang luasnya kebebasan seorang hamba dalam memilih rel-rel kehidupannya, dan luasnya kesempatan yang diberikanNya untuk melakukan perubahan dan taubatan nashuuha. 


Bersama Artia Sari dan 18 lainnya. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Filsafat Laknat Allah



Seri Tanya Jawab : Bande Huseini dan Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra, pada 28 Juni 2011 pukul 20:56



Bande Huseini: Sinar Agama semoga antum dan keluarga selalu dalam perlindungan Allah swt dan antum tak bosan membimbing kami..ana mau tanya ustadz: Apa makna atau falsafah “laknat Allah atas orang-orang yang zholim “ dalam alqur’an atau di dalam ziarah asyuro..? afwan.. 

Sinar Agama: Bismillahirrahmanirahiim. 

Falsafah Laknat

Laknat dari bahasa Arab, yaitu La’ana yang berarti menjauhkan dari kebaikan. Jadi, laknat Allah kepada orang zhalim berarti menjauhkannya dari kebaikan. 


Dari penjelasan kata di atas, dapat diketahui, bahwa kepenjauhan orang zhalim dari kebaikan oleh Allah itu, jelas sebagai hukuman terhadapnya, bukan kesemena-menaanNya. Dan bahkan, tidak semua orang zahlim yang dilaknatiNya, tetapi yang sudah keterlaluan. 

Kalau dilihat dari kacamata filsafat, yakni hakikat atau niscayanya, maka hal itu sulit diterima akal yang sudah terdidik dengan ilmu-ilmu hakikat tersebut. Karena dalam hakikatnya, Allah adalah Zat yang sudah tentu tidak terbatas. Artinya, Dia tidak akan mengalami perubahan, baik dari ridha ke murka atau sebaliknya. Ini yang pertama

Yang ke dua, Dia yang sebagai keberadaan tidak terbatas itu, sudah pasti tidak akan memiliki kekurangan apapun. Karena itu, tidak mungkin Dia mengeluarkan gelap, sesat dan semacamnya. Jadi, bukan hanya tidak berproses atau berubah atau bereaksi atau berinteraksi. 

Mengapa yang tidak terbatas itu tidak berubah dan tidak mengeluarkan keburukan sama sekali? Karena kalau berubah, misalnya dari satu kondisi ke kondisi yang ke dua (seperti dari ridha ke murka), maka di dalam ZatNya akan ada bagian-bagian. Yaitu dari sini ke sana, atau dari kondisi itu ke kondisi yang ini dan semacamnya. Itu berarti di dalam ZatNya ada bagian-bagian. Dan kalau ada bagian-bagian itu, maka sudah pasti masing-masing bagiannya terbatas, karena masing-masing saling membatasi. Kalau demikian halnya, maka ZatNya merupakan kumpulan dan gabungan dari hal-hal yang terbatas. Dan kalau demikian, seluas dan sebanyak apapun rangkapan itu, hasilnya tetap akan terbatas. Dan kalau Tuhan terbatas, berarti memiliki awal dan akhir dimana sebelum awal pasti tidak ada. Dan kalau sebelum awal Dia tidak ada maka pasti diadakan. Dengan demikian Dia keluar dari keTuhanan dan masuk ke dalam golongan makhluk. Padahal Dia adalah Tuhan. 

Begitu pula kalau Tuhan memiliki kekurangan, seperti gelap, salah, sesat dan seterusnya. Karena ketika memiliki kekurangan jelas ZatNya menjadi terbatas. Dan kalau dmikian maka Dia memiliki awal dan akhir yang akhirnya berakhir pada kemakhlukanNya, bukan ke TuhananNya. Padahal 

Dia adalah Tuhan. 

Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa Tuhan adalah Zat yang tidak terbatas. Dan karenanya Dia hanya memiliki kesempurnaan dan tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Karena itu, Dia selalu menyinari, menghidayahi, menyantuni, merahmati dan seterusnya dan tidak pernah sebaliknya. 

Dengan demikian pahaman laknat, menyesatkan, murka dan semacamnya, harus dicarikan makna yang sepadan dengan ZatNya. Artinya, yang sesuai dengan kesucianNya yang tidak terbatas dan tidak terangkap itu. 

Pemaknaan yang paling tepat dalam hal ini, adalah bahwa sekalipun Tuhan selalumenyinari dan merahmati serta meberikan kebaikan, akan tetapi bukan berarti manusia ini dipaksa untuk menerimanya. Tentu selain kebaikan badani, seperti tubuh, sehat dan semacamnya. Kita kan sekarang lagi membahas akhlak dan prilaku. Jadi, fokus pembahasannya kepada moral manusia. Jadi kebaikan di sini yang berupa hidayah. 

Nah, hidayah ini, sekalipun tidak pernah putus dari sumbernya, yakni Allah, dan Allah juga tidak pernah mengeluarkan hal lain selain hidayah ini (bc: tidak pernah melahirkan dan mengeluarkan kesesatan), akan tetapi tergantung kepada manusianya sendiri, apakah ia akan menerimanaya atau tidak. Karena itulah orang yang tidak menerimanya itu, berarti ia telah menolak kebaikan dan rahmat Tuhan. Yakni menolak dengan ikhtiarnya sendiri. 

Dan menolak rahmat Tuhan, itu maknanya menjauhkan diri dari rahmatNya. Menolak hidayah Tuhan, itu maknanya masuk dalam kesesatan. Jadi, masuk tidak masuknya seseorang ke dalam hidayah dan rahmat, itu tergantung pada manusianya itu sendiri. 

Dengan keterangan di atas dapat dipaami, bahwa bukan Tuhan yang menjauhkan manusia dari rahmat dan hidayahNya, tetapi manusia itu sendiri. 

Akan tetapi karena keberadaan dan sistemnya ini, semuanya bersumber dariNya, termasuk keluarnya manusia dari rahmat dan hidayahNya, atau masuknya manusia ke dalam sesat dan jauh dari rahmat, maka sering dalam Qur'an dikatakan bahwa Allah-lah yang menghidayahi yang mendapat hidayah dan yang menyesatkan orang yang keterlaluan atau melaknat orang zhalim (menjauhkan dari rahmatNya). Wassalam. 

Haura Samira: Ketidakberbatasan Allah dipersepsikan dalam keterbatasan hamba. Artinya bahwa seorang hamba berusaha menggambarkan kemutlakanNya dalam framenya yang sangat terbatas. Maka dalam pemahaman ini dapat menciptakan jarak antara seorang hamba dan Allah. Dan hamba (manusia) dalam segala keterbatasan sifat kemakhlukannya tidak mungkin menjangkau kesempurnaan Allah dan mengenalNya, kecuali Allah memperkenalkan diriNya. Dia tidak memiliki sifat buruk secara substansial sebab hal tersebut menunjukkan keterbatasan. Dan ini berarti juga bahwa laknat Allah bersifat aksidensial bagaimana dengan pemahaman seperti ini ustadz? 

Sinar Agama: Haura: Dalil akal itu tidak memiliki perkecualian. Jadi kalau akal mengatakan bahwa akal itu tidak bisa menjangkauNya, maka apapun itu tetap tidak bisa menjangkau. Jadi, sekalipun Tuhan mengenalkan DiriNya juga tidak akan bisa dijangkaunya. 

Tapi dalil akal tidak mengatakan bahwa akal tidak menjangkau. Karena yang ingin dijangkau akal bukan hakikat kesempurnaanNya, tetapi pemahaman terhadapNya. Jadi, akal tidak mengatakan harus menjangkau ketidakterbatasanNya itu, tetapi hanya mengharuskan memahami dan meyakini ketidakterbatasanNya tersebut dengan dalil akal. 

Allah itu bukan substansi dan apalagi aksidental. Karena substansi dan aksidental itu adalah dua bagian esensi. Sedang esensi adalah batasan dan juga rangkapan yang terdiri dari genus/ jenis dan deffrentia/ pembeda. Sementara Allah tidak memiliki batasan apapun. Karena itulah dikatakan dalam filsafat bahwa “Tuhan tidak ber-esensi dan hanya ber-eksistensi.” Atau untuk basa basi dikatakan “Esensi Tuhan adalah EksistensiNya itu sendiri.” Sedang selain Tuhan memiliki dua hal, eksistensi dan batasannya yang, biasa disebut dengan esensi. 


Dengan semua penjelasan ini, maka apa yang sudah kuterangkan di jawabanku di atas itu, sudah pada tempatnya dan sesuai dalil gamblangnya. 

Wassalam. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjilfarajahum.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Dialog Tentang Pluralisme



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra, pada 28 Juni 2011 pukul 20:52



Sabara Putra Borneo: Teologi Pluralisme: “Hanya DIA yang Tunggal, selain DIA adalah plural”. 

Sinar Agama: Kata-kata antum itu bermakna: “Hanya Dia yang Tunggal, selainNya adalah beda- beda tetapi sama-sama benar.” Jadi artinya “Dia/Haq itu bisa tunggal dan bisa tidak tunggal, karena semua pandangan adalah benar.” Semoga antum segera taubat dari jalan-jalan di tepian agama dengan menyiarkan agama. 

Pluralisme bukan plural. Yang pertama bermakna sama-sama benar (lihat buku John Hick sang bapak Pluralisme), sedang plural adalah banyak atau majemuk. Tetapi plural di kata-kata antum di atas itu kita maknai pluralisme, karena judulnya adalah “Teologi Pluralisme”. 


Sabara Putra Borneo: Siapa yang bilang kalo yang beda-beda itu sama-sama benar? Kok kesimpulan antum sampe kesitu? 

Sinar Agama: Ketika antum katakan selain Dia itu adalah Plural, dan maksud Plural di sini adalah Pluralisme (semua yang berbeda sama-sama benar), maka arti tulisan antum itu seperti itu. Dengan demikian semua akidah tentangNya, karena temasuk selain Dia, maka Pluralisme, yakni sama-sama benar. 

Sabara Putra Borneo: Afwan antum membatasi defenisi pluralisme sebatas yang diucapkan oleh john hick saja. 

Afwan. Dengan defenisi John Hick tentang pluralisme antum langsung memberikan judge tunggal tentang pluralisme bahwa yang majemuk itu sama benarnya. Bukankah masih banyak tokoh- tokoh yang mendefenisikan pluralisme bukan pada penyamaan kebenaran sebagamana john hick? Sekalipun John Hick dianggap sebagai bapak pluralisme, dapatkah defenisi pluralisme hanya dapat diambil dari dia saja? 

Augusto Comte disebut sebagai bapak sosiologi, tetapi apakah pendefenisian & penjelasan tentang sosiologi hanya bisa melulu dari dia? 

Afwan apakah antum yang menyatakan/mengkalaim diri sebagai sinar agama telah berjalan di tengah-tengah agama? Afwan. 

Sinar Agama: Sabara, Inilah akibat berjalan di tepian, tetapi merasa di kedalaman dan menerangi manusia lagi. Belajar dulu mas Islam itu dengan benar. Ini tentang agama. Tentang Pluralisme itu adalah bahasa yang sudah diletakkan pada arti kata keseharian oleh peletaknya. Dan alam bahasa istilahnya sudah diletakakan pula oleh pencetusnya, yakni John Hick. Jadi, kalau antum mau buat bahasa tersendiri silahkan saja, tetapi untuk antum sendiri. Dan kalau masalah Pluralisme ini, maka orang yang layak didengar maknanya adalah Peletaknya, bukan tokoh. Antum jangan menutupi kekurangan dengan yang lebih menghancurkan, karena malu-maluin. 

Sekarang kalau kita mau keluar dari makna yang meletakkannya, maka silahkan antum katakan apa maksud antum itu. Tetapi ingat bahasa kita sudah tidak lagi bahasa paten, jadi sudah karangan sendiri. 

Nah, ok sekarang dengan bahasa sendiri itu, tolong terangkan maksud antum itu apa. 

Kalau aku pakai bahasa antum, yakni ngarang-ngarang sendiri, atau tidak merujuk kepada peletaknya, maka sinar agama itu bisa kumaknai dengan sinar matahari, yakni maksud agama adalah matahari. Nah, kalau hal itu terjadi, jadi bahasa kita ini sendiri-sendiri. Lalu mengapa harus ada dialog? Antum tanya aku ini sudah dalam agama selalu atau tidak. Maka kujawab iya, yang maksudnya tidak. Atau kujawab tidak yang maksudnya iya. Atau kujawab iya dan tidak dilihat dari karepku sendiri dan dari dimensi-dimensi yang berbeda-beda. Kan kacau kalau ghitu mas? Lalu anggap aku berbahasa dengan yang paten, lalu apa gunanya mengatakannya kepada antum yang tidak punya ukuran kebenaran agama? Karena kalau kubilang aku di jalan agama, antum mau jawab apa? Dan kalau kujawab tidak selalu dalam agama, maka antum juga bisa berkata apa? Aku mengira kalau kubilang selalu dalam agama antum akan cenderung tidak percaya dan kalau kubilang tidak selalu, maka antum akan cenderung percaya? Jadi, heran banget apa hubungannya namaku dengan kesalahan antum tentang pluralisme itu? Apa maksudnya kalau aku sesekali salah berarti antum mengakui kesalahan antum? Tetapi dari koment-koment antum ini antum sepertinya tidak ngakui. 

Yono Jelangkung: Guru Sabbara, kadang pluralisme susah di terapkan kehidupan sosial, tetap ada sentimen mayoritas dan minoritas, kaum minoritas selalu di abaikan. 

Sinar Agama: Mas Yono: Tunggu dulu mau dia itu apa dari kata Pluralisme itu. Karena dia mendakwa memiliki makna tersendiri yang tidak dibuat oleh pencetus dan penemunya (John Hick). 

Yono Jelangkung: Guru Sabbara dia yang tunggal, selain dia plural, maksudnya ? 

Sinar Agama: Mas Yono: Plural di kalimat itu akan ditentukan maknanya dari kata Pluralisme di awal kalimat statusnya itu. Nah, biar dia sendiri jelasin dulu “Opo kareppe”. Dan biar dia juga sebut tokoh yang mengatakannya itu, supaya kita tahu tokoh itu pengarang pluralisme itu atau ikut-ikutan dan salah, seperti almarhum cak Nur dan Abdurrahman Wahid... 

AnZi Ahmad: Salam. Afwan ustadz, ana coba untuk memahami pemaparan ustadz tentang pluralisme dan plural, mohon koreksinya: 

Ketika ustad membedakan antra pluralisme dan plural, apakah garis pembedaannya itu karena pluralisme jadi bermakna lain dari plural karena telah menjadi pandangan-dunia (di isyaratkan dengan -isme)? 

Kemudian, ketika ustad menyatakan pluralisme = berbeda tetapi benar semua. Siapakah yang menjadi sumber adanya perbedaan? Kalau Allah yang menjadi sebab, apakah teori pluralisme di atas menjadi benar? Karena semua perbedaan itu bersumber/bersebab dari al haq. Mohon koreksinya stad. Syukran. 

Sabara Putra Borneo: Kenapa sebuah istilah harus dibatasi maknanya menurut pencetusnya? Berart (misalnya) makna istilah sosiologi dibatasi berdasarkan maksud pencetusnya (Augusto Comte)? Ohya, bagaimanadengandefenisi& kategorisasi pluralismeyangdibuat oleh Legenhausen yaitu pluralisme aletic, pluralisme soteriologis, pluralisme epistemologis, & pluralisme deontis (& Legenhausen sepakat dengan istilah terakhir), apakah yang dilakukn Legenhausen ini salah? Btw, ada yang salah ga dari proposisi: selain DIA adalah plural? Kalaupun dilekatkan dengan pluralisme yah proposisi inilah yang menjadi basis teologis mereka, selain DIA plural, adalah sebuah fakta. Pemahaman tentang DIA saja berbeda-beda (plural) & tidak selamanya didudukkan dalam nalar benar-salah, perbedaan tersebut bisa juga disebabkan tingkatan pemahaman yang brbeda. Oh ya, antum suruh saya belajar Islam yang benar, maksudnya yang benar yang sesuai dengan yang antum pahami ya? Hehehe... Hebat. 

Sinar Agama: Anzi: Salam dan terimakasih atas pertanyaannya, karena sepertinya aku yang ditanya: 

(1). Plural itu artinya “majemuk”. Itu arti katanya. Akan tetapi setelah John Hick mengalami proses batin nan bergejolak, ia mencetuskan apa yang ia istilahkan sebagai “Pluralism”, yakni “Kebenaran Majemuk” atau “Semua Benar”.

(2). Peristiwa itu bermula dari pergaulannya. Ia yang beragama Nasrani itu, banyak memiliki teman-teman dari agama lain. Terutama Islam/muslim. Teman-teman dia itu, setelah ia perhatikan, juga sangat taat dalam beragama sesuai dengan agamanya masing-masing. Terutama muslim yang tiap hari melakukan lima kali shalat, tidak mabok-mabokan, tidak judi, tidak zina dan seterusnya. 

Akhirnya batin dia bergejolak dan berkata, masak iya orang-orang taat ini, walaupun salah dalam agamanya, akan diazab oleh Tuhan Bapak? Jadi, batin dia itu berantem dalam dirinya dengan keyakinannya selama ini, terutama dengan apa-apa yang sering didengarnya dari pendeta-pendeta gereja. 

Akhirnya, renung punya renung, dia menuliskannya dalam bentuk makalah-makalah yang diseminrkan dan kemudian dikumpulkan menjadi buku. Nah, ia dalam tulisannya itu membuktikan dengan dalil, kebenaran kayakinannya yang mengatakan “Semua agama dan bahkan pemikiran apapun itu adalah benar”. Karena “benar” bagi dia, bukan yang sesuai dengan obyeknya, tetapi karena sangat dipengaruhi oleh subyeknya. Karena tidak ada ukuran nyata yang, sekalipun dikatakan obyek. Yakni semua obyek itu tetap subyek, yakni subyeklah yang menentukan ke-obyekan obyek itu. Tentu saja banyak lagi dalil-dalilnya. 

(3). Antum “kalau” tidak mengalami pendidikan sistematis akademis tentang filsafat agak susah memahami dimana letak tindihan dan kekuatan argument itu dan bagaimana membantah- nya. Memang, secara umum bisa digambarkan dan dipahami, tetapi pahaman yang tidak menge-ruh dan membatin, yakni hanya pahaman badaniah saja, alias lahiriah. 

Beberapa tokoh kampusan Iran (yang ada) sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari yang terpengaruh dengan keyakinan dia itu. Seperti Syurus. Syurus ini memperkaya dalil-dalil Hick itu dengan dalil Qur'an, Islam dan filsafat serta Irfan dimana sebagiannya tercium dalam pertanyaan antum itu. 

Salah satu dalil Syurus adalah dalil irfan yang ringkasannya sebagai berikut: 

Syurus berdalil bahwa sumber semua yang ada di alam ini, apakah nabi atau iblis, Musa as atau Fir’un, semuanya bersumber dari al-Haq. Yakni materi (yang memiliki salah-benar) dari Malakut (barzakh), Malakut dari Jabarut (makhluk-makhluk Akal) dan Jabarut dari al-Haq. 

Artinya semua warna dan beda, bersumber dari Maha Sederhana, yakni Al-Haq. Karena itu, maka Musa as dan Fir’un di dalam maqam Ahadiyyah, yakni di Zat al-Haq itu, adalah bertemu dan sama. Jadi, semua beda adalah benar semua, karena dari Dia dan menyatu di Dia. 

Si Syurus ini, sekalipun merasa guru filsafat, tetapi sangat dangkal, karena di Iran, kekuatan filsafat itu ada di Hauzah (pesantren) bukan di kampus (hal ini diakui barat, sekalipun filosof medern), maka ia lupa bahwa secara umum tidak ada orang yang sampai ke maqam Zat Tuhan itu. Artinya, sekalipun hidayah dan sesat bersumber dariNya, sebagai Tuhan Tunggal (tidak seperti yang meyakini Tuhan baik yang buat kebaikan dan Tuhan jahat yang mencipta kejahatan), akan tetapi terlepasnya nilai buruk itu, yakni semuanya menjadi benar dan baik serta Haq, hanyalah di maqam Zat Tuhan itu. 

Padahal kita, membicarakan hal-hal yang di bawah, baik di alam materi sebagai maqam terendah yang di dalamnya terdapat kandungan nilai-nilai akhlak dan kebiasaan (karakter), atau di Barzakh sebagai tempat Surga dan Neraka. 

Jadi, memang bisa dikatakan bahwa yang di bawah itu adalah manifestasi dan bersumber dari yang di atas (al-Haq), akan tetapi tanggung jawab dan balasannya juga bersumber dari atas, dan kita tidak akan pernah naik ke atas (Dzat Tuhan). 

Artinya, sekalipun Fir’un itu tajaalli murka Tuhan, tetapi ia bukan terus menjadi Tuhan dan tidak tersiksa. Bahkan sebaliknya, ia akan sangat tersiksa, karena dia hanya manifestasi secara selamanya (sebab selamanya siapapun tidak bisa jadi Tuhan). 

Bagitu pula, yang di atas (al-Haq), menghendaki kita mengikuti tajalli hidayahNya, bukan murkaNya, dan kita diberinya akal dan ikhtiar. Jadi, yang sesat harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. 

Maksud saya, bahwa sekalipun Fir’un itu tajalli murka Tuhan, tetapi dia telah mengingkari tajalli hidayah Tuhan dengan ikhtiarnya sendiri dan harus mempertanggung jawabkannya, yakni masuk neraka dan kepanasan tersiksa di sana dimana neraka itu juga tajalli dari Tuhan tapi dari sisi murkaNya, bukan ridhaNya. 

(5). Kalau di tingkatan lokalan Indonesia, sepertinya banyak yang salah memahami Pluralism ini dan rata-rata mengembalikannya ke makna katanya itu, yakni “Plural” dan “Majemuk”. Saya sendiri sekitar 15 th lalu pernah baca makalah almarhum Cak Nur yang mengatakan bahwa kita mesti hidup “Plural” dalam penjelasannya tentang “Pluralisme”. Artinya, kita harus mengakui keberadaan agama-agama lain dan menghormatinya. Nah, ini namanya “Toleransi”, bukan “Pluralisme”. 

Saya juga pernah ditanya tentang pendapat almarhum Gus Dur yang sependapat dengan Cak Nur itu. Jadi, Pluralisme bukan bermakna menghormati perbedaan karena hal itu adalah Toleransi. Akan tetapi Pluralisme itu bermakna semua agama dan apapun pandangan, adalah benar. 

Kesimpulan sementaranya: 

(a). Maksud “Pluralisme”, sesuai pengarang nama, kata dan istilahnya, bukan pengarang rumus dari sebuah nama (misalnya sosiologi), adalah semua agama dan bahkan semua pandangan, seperti Marxisme dan Kapitalisme adalah benar. 
Karena kebenaran agama dan pemikiran, tergantung penilai Subyeknya (subyektif) dan tidak akan pernah menjadi Obyektif. 

(b). Karena itu kebenaran di Pluraisme adalah kebenaran siapa, bukan kebenaran sesuai nyata karena baginya yang dikatakan nyata itu juga subyektif yang bukan nyata yang sebenarnya. 

(c). Perbedaan itu mencakupi semuanya, mulai dari agama, pemikiran, ide-ide dan pemahaman agama dan seterusnya dari semut terkecil sampai kepada Tuhan Yang Maha Besar. 

(d). Ingat, tekanan dan maunya Pluralisme ini adalah di dalam bidang “Keyakinan”, sedang “perbuatan” itu hanyalah sebagai aplikasinya, bukan dasar dari pemaknaan “Pluralisme” yang dimaksud. 

Kesimpulan Akhir: 

Jawaban terhadap pertanyaan antum tentang kebenaran semua beda karena kebersumberannya dari al-Haq, sudah dapat dirasakan. Yakni, sekalipun sudah merupakan keseyogyaniaan, bagi yang mayakini Satu Tuhan, bahwa semua benar dan salah itu bersumber dariNya, yakni pahaman dan aplikasi salah dan benar itu bersumber dariNya, karena keduanya adalah ada, dan yang ada adalah dariNya, akan tetapi kita tahu bahwa kita ini bukan Dia. 

Artinya, kita bukan Dia yang Maha Tidak Berangkap. Kita adalah hakikat rangkapan-rangkapan yang warna warni dimana yang satu benar dan yang lainnya yang bertentangan dengannya adalah salah. 

Jadi, di sini, di derajat ini (bukan di derajat Zat Allah) ada yang namanya keberadaan yang tidak terpengaruh dengan akal dan aplikasi kita sebagai manusia. Itulah yang kita katakan kenyataan. 

John Hick juga kenyataan. Kalau kita ikut John Hick, keberadannya pun harus diingkari dan apalagi pikirannya. Karena kesungguhan adanya Hick tergantung pada subyeknya (kita-kita), apakah ia dihitung ada atau tidak, berfikir dan punya ide atau tidak, punya kepercayaan atau tidak. Padahal, pasti Hick tidak menginnginkan hal ini, karena itu ia menulis dan berseminar. 

Nah, kalau dia-nya sendiri dan audiennya itu, ada-tidaknya tergantung kepada subyek penilainya (subyek), maka tidak mungkin akan ada pemikiran, tulisan dan seminarnya itu, dan debat-debat yang ada di ruang seminarnya itu. 

Nah, ketika kita mengakui adanya kenyataan dan keberadaan, maka itulah yang akan dijadikan ukuran kita menilai ilmu-ilmu kita itu apakah benar atau salah. Karena itulah dalam logika ada Ilmu Mudah dan ada Ilmu Pikir. 

Nah, Ilmu Mudah itulah yang jadi ukuran kebenaran Ilmu Pikir, dan dijadikan premis-premis untuk membuktikan kebenaran Ilmu Pikir/dalil. Seperti ilmu panca indra dan semacamnya yang menjadi landasan bagi ilmu-ilmu pikir dan dalil. 

Jadi, Tuhan, satu atau tidak dalam pikiran manusia, tidak akan terpengaruh karenanya. Bagitu pula alam ini, agama ini, surga neraka ini, ide-ide ini, sosial politik ini, budaya ini dan seterusnya. 

Artinya wujud nyatanya tidak akan terpengaruh dengan apa yang dipahami manusia. Kalau si Sabara ini mengatakan Tuhan Tunggal, itu hanyalah pandangan dia. Belum lagi apa maksud tunggal disini, itu hanya ide dia. Coba saja tanyakan apa arti Tunggal padanya, pasti dia tidak akan bisa menjawab dengan benar. Karena dalam aplikasi, dia kadang menentang ke-TunggalanNya itu. Saya tahu, dia tidak sengaja melakukan itu, artinya kedangkalannya memahami Tunggal itu, akan tetapi sebab-sebabnya, bisa saja disengaja. Misalnya tidak mau belajar agama, atau malas 

belajar agama yang akademis, tetapi merasa tahu tentang agama dan bahkan mengajar orang. 

Kalau dia tahu makna Tunggal, maka pasti dia tidak akan melakukannya, apalagi mencerca orang yang belajar agamaNya dengan berkata “apakah kamu selalu benar dalam agama”. Padahal, apa hubungan salah dengan tanggung jawab dan usaha? 

Apakah kemestian adanya salah pada setiap insan bisa dijadikan alasan untuk tidak profesional? 

Jadi, kebenaran itu ada standarisasinya dimana dengan itu manusia ini juga bisa berkomunikasi, berdialog dan tukar pendapat. Karena kalau tidak ada standarisasinya, maka semua itu tidak akan terwujud. Nah, kebenaran itu harus bersumber kepada ilmu-mudah, dan dalil gamblang, karena sekali lagi, hal-hal mudah dan gamblang itulah dasar pikir kita dan hidup kita serta sosial kita ini. 

Tambahan

Hal mudah dan gamblang itu bisa mengantar manusia bahkan untuk memahami Tuhannya sekalipun. Jadi, jangan remehkan yang mudah dan gamblang itu. Karena ia adalah alat tunggal untuk memahami apapun hakikat dan kenyataan. Karena itulah di filsafat, selama argumen itu belum bersandar pada Ilmu Mudah, maka ia belum dikatakan argumentatif. Wassalam untuk Anzi. 

Untuk Sabara

(1). Ana sebenarnya tidak ingin heboh dengan antum karena setidaknya kita sama-sama muslim dan syi’ah. Karena itulah, maka ana tidak langsung tancap gas. Karena itulah saya, sedikit- sedikit menaikkan tancapan gasku. Jadi, afwan dalam hal ini. 

Bagi ana tidak penting antum percaya atau tidak, menerima atau tidak, karena aku bukan Tuhan dan Nabi serta bukan juga ukuran kebenaran. Karena ana hanya melakukan yang kurasakan secara GR sebagai tugas dan kewajiban (itupun secara relatif). Dan yang ke dua, yang penting bagi ana, adalah menuliskan sebagai perbandingan untuk orang lain yang membacanya. Biar mereka menilainya sebelum kita nanti melihat penilaian Tuhan di akhirat. 

Jadi, siapkanlah dalil-dalil antum di sana, karena lebih berat dari di dunia ini. Ana juga akan mempersiapkannya semampunya, sejujur dan seakademis mungkin.

(2). Ana menyuruh antum belajar Islam itu adalah demii antum sendiri. Dan belajarnya sudah pasti yang akademis, metodologis, bukan otodidak yang biasa melahirkan pemahaman- pemahaman siksak dan berubah-rubah dari setiap halaman buku yang dibacanya. Belajar Islam itu tentu di sekolah Islam, kampus Islam atau pesantren dan hauzah Islam. Itu kalau antum mau jadi guru dan menulis-menulis tentang agama. 

Tetapi kalau mau untuk diri sendiri, ya di kajian-kajian, buku-buku, bulletin-buletin, status- status dan seterusnya, juga boleh dan harus. Tetapi kalau mau jadi guru kek, pemikir kek, penulis kek, pentrainer kek...dan seterusnya, maka harus belajar secara akademis. 

Dan antum harus tahu bahwa kalau sudah belajar, bukan berarti terus menjadi benar. Saya yang puluhan tahun belajar ini, sangat-sangat ketakutan padaNya, jangan-jangan banyak tulisan dan ceramah-ceramahku yang salah atau tidak ada yang benar sama sekali. Karena itu, kita akan tahu salah benarnya, kelak di akhirat. 

Tetapi di dunia ini, kan sudah menjadi konsekuensi ilmiah dan akal sehat untuk tidak sembarangan, apalagi diskusi di fb yang dilihat orang banyak. Dalam kesendirian saja, kita tidak boleh sembarangan karena akan dipertanyakanNya kelak. Jadi, belajar agama tidak mesti berpandangan benar, apalagi sama denganku, tetapi usaha secara akalis dan akademis untuk tidak ceroboh, itu saja. Dan itu adalah tanggung jawab kita. 

Dalam bidang selain agama juga begitu. Antum tidak bisa mengoperasi ginjal orang kalau antum bukan dokter dan bukan ahli bedah. Padahal untuk jadi dokter bedah itu, paling-paling 10 tahun sudah cukup. Tetapi menjadi sarjana agama, 20 tahun bisa sangat tidak cukup. Jadi, kalau aku menyuruh belajar agama, itu kalau antum mau jadi pendakwah. Dan belajarnya terserah, tetapi tidak otodidak. Seperti jangan otodidak belajar kedokteran supaya pasien antum tidak mati. Dan kalau otodidak dalam agama, bisa-bisa pasien antum masuk neraka. 

Ingat, kesalahan yang tidak akan dimaafkan Tuhan adalah yang dilakukan dengan ceroboh, bukan yang sudah hati-hati, tulus dan akademis. Antum kalau dimarahi dokter karena membedah ginjal orang, tidak bisa berdalil dan mengatakan “Emangnya dokter tidak pernah salah?” Karena tanggung jawab asli kita itu bukan di salah benarnya, tetapi di tidak cerobohnya dan di mestiprofesionlannya itu. Inilah ruhnya Deontis, sebagaimana yang akan saya ulas secara awam di bawah ini. 

(3). Kalau Legenhausen itu, semoga Tuhan meninggikan derajatnya, sudah tentu bukan pencetus Pluralisme. Karena itu maka dalam penjelasannya tentang Pluralisme, dimana ia mengakui tentang makna yang diberikan Hick yakni “benar semua”, akan tetapi dalam masalah deont atau aksinya, ia mengatakan bahwa Islam menerima hal itu. Ini adalah kontradiksi dia. 

Karena dalam “Aksi” tekanannya kepada profesionalisme yang biasa saya katakan akademis kalau dalam hal ilmu. Yakni kalau boleh dikatakan dengan ekstrim, deontis itu maksudnya tergantung kepada pelaksanaan tanggung jawab. Jadi, kalau seseorang telah melakukan kewajiban akidah dan aplikasinya dengan profesional secara akalis, maka sekalipun salah, akan tetap dimasukkan ke surga. Nah, Legenhausenpun menyandarkah hal ini kapada syahid Muthahhari ra dalam buku ke-Adilan Ilahinya. 

Artinya berdasar pada ke-Adilan Tuhan, maka siapapun yang telah melakukan tanggung jawabnya dengan profesional, maka layak mendapatkan ganjaran dan surga, sekalipun salah. Karena kesalahannya pasti tidak disengaja atau tidak semi disengaja (seperti tidak belajar agama secara akademis, tetapi menjadi pengajar agama, dan kalau ditegur mengatakan “Kamu yang ustadz juga belum tentu benar atau tidak selalu benar”). 

Jadi, kalau seorang itu sudah benar-benar berusaha dan profesional, misalnya tidak belajar agama ke dokter gigi atau sarjana ekonomi, atau sebaliknya, maka ia layak mendapat ampunan dan bahkan pahala dalam kesalahannya itu. Karena dilihat dari usahanya tersebut. 

Nah, semua itu, bukan Pluralisme, karena bukan pembenaran kepada semuanya. Akan tetapi, yang benar masuk surga dengan keridhaanNya, dan yang salah masuk surga dengan ampunanNya (tentu bagi yang sudah gigih secara profesional itu). 

Karena itulah Legenhaussen berkata –yang isinya kurang lebih- bahwa kalau Islam tidak perlu Pluralisme, karena ia sudah memiliki konsep ke-Adilan Tuhan itu. Tetapi kalau Masehi, dimana nabi Musa-pun dan nabi-nabi sebelum nabi Isa as, tidak bisa masuk surga karena belum dibabtis (tetapi tidak dimasukkan ke neraka karena tergolong orang-orang yang baik, karenanya akan diletakkan di tempat yang tidak sakit dan tidak nikmat), maka mereka dalam melihat kenyataan keberbedaan yang alami karena jaman dan tempat yang beda ini, sangat perlu kepada Pluralisme. Artinya untuk mencari pemecah masalah perbedaan, hingga selain Masehi juga bisa masuk surga. 

Akan tetapi, seakan-akan Legenhaussen lupa bahwa pemasukan orang salah ke surga dalam Islam, tidak lewat pembenaran, tetapi pengampunan. Sementara kalau Pluralisme, melewati pembenaran terlebih dahulu, atau pemasukan ke Masehi dulu seperti pandangan Raner. 

Jalan yang diambil oleh Raner, yang menganggap orang baik itu, sekalipun Islam atau Budha, adalah sebagai Masehi di Mata Tuhan, tidak dianggap cukup oleh Hick untuk mengasasi Pluralismenya. Karena itulah ia mencetuskan Pluralismenya itu yang, terus menjadi dasar bagi pemikiran-pemikiran barat baik Liberalisme, agama, politik...dan seterusnya. 

Dengan demikian, maka deontis itu adalah Islam yang berdasar kepada aksi dan tanggung jawab profesional yang sesuai dengan ke-Adilah Tuhan. Artinya yang benar layak mendapat 2 pahala karena usaha dan benarnya, sedang bagi yang salah layak mendapat satu pahala karena usahanya dan satu ampunan karena ketidakcerobohannya. Ini adalah Keyakinan Islam, Bukan Pluralisme. 

Jadi, kalau ini maksud antum, maka jangan berteriak bahwa hal di atas itu keyakinan Pluralisme. Karena ia adalah Islam. Islam adalah Islam, dan Pluralisme adalah Pluralisme. 

Tentang masalah plural dalam status antum itu, sudah ana jawab dengan jelas di komen sebelumnya, harap renungi dengan baik, kalau mau. 

Tambahan

Sebagai tambahan: Untuk Legenhaussen itu (semoga Tuhan meniggikan derajatnya), sekalipun beliau bisa dihitung adik kelas sepupu dari hamba hina ini dalam filsafat Islamnya, dan sekalipun beliau itu adalah doktor dalam filsafat baratnya, begitu pula, sekalipun beliau itu penuh fadhilah dan kemuliaan dalam bidang keilmuan (semoga Tuhan mengganjarnya hingga bisa bersama para imamnya) dan sangat kuhormati, namun sekali lagi, bukan ukuran penilaian terhadap Pluralisme ini. 

Jadi, hanya bisa dijadikan bandingan bagi kakak kelasnya, sekelasnya dan seperingkatnya. Artinya tidak dijadikan panduan dasar bagi penilaiannya. Semoga Tuhan selalu menyertai orang-orang yang mengutamakan pencarian dari pemberian, tapi bukan pencarian yang diniatkan untuk pemberian. Dan semoga Tuhan memaafkanku yang kadang merasa harus tancap gas karena kecemburuan dan kecintaan yang tiada batas bagi sesama manusia ini, amin. Wassalam dan afwan. 

Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Eman Sulaeman dan 10 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Eman Sulaeman: Allahumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad. 

Muh Kasim: Allahumma sholli alaa Muhammad Wa aali Muhammad....mantaap Sinar Agama. 

Agil: Ahsantum.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Nasihat Untukku dan Setiap Individu Dalam Masyarakat



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 20:50


Salam. Secara global, mental Indonesia sangat susah untuk jadi pemimpin dan jadi dipimpin, karena tidak memiliki mental di kedua sisi itu. 


Nah, syi’ah Indonesia, juga demikian sebagai bangsa Indonesia. Penyakitanya macam-macam, ada yang tidak punya ilmu, atau punya sikit banget...dan seterusnya, tetapi ngotot ingin jadi pemimpin, sampai-sampai wilayatulfaqih yang agung dikecilkan menjadi wilayatulfaqih kecil-kecilan. Yang lebih rumit lagi adalah yang mau dipimpin. Yang mau memimpin saja tidak ada dan tidak memiliki kelayakan apapun, yang mau dipimpin juga tidak memiliki mental kerakyatan. Yakni hanya mau taat pada yang ia suka dan itupun hanya pada yang seide. Jadi di samping orangnya harus se golongan, perintahnya juga harus dalam hal-hal yang seide. 

Nah, dalam keadaan demikian, maka persis dengan orang yang ingin menata peradaban tinggi tetapi tidak dengan adab-adab peradaban. Atau sama dengan perlunya mursyid, sementara tidak ada yang jangankan jadi mursyid, yang bisa jadi muridnya mursyid saja tidak ada dan/atau tidak layak, tetapi berlagak paling arif dan mursyid. Yang mau jadi murid juga sama sekali tidak punya potensi itu, tetapi sama sekali tidak menyadarinya. Akhirnya masyarakat beradab yang diinginkan, secara perasaan dan tidak diinginkan secara filosofis itu (karena tidak mau berkorban mencari ilmu dan takwa dan tidak berkorban untuk bersatu dengan selain golongan) hanyalah berupa PERADABAN MIMPI. 

Jadi, kuncinya, bukan di INGINNYA KITA DAN BETAPA BAGUSNYA YANG DEMIKIAN ITU, YANG BERADAB ITU, YANG RAPI DAN TERATUR ITU....DAN SETERUSNYA, karena INGIN yang seperti itu hanyalah khayalan dan insting natural yang ada pada setiap insan dan binatang (karena binatangpun tidak ingin diburu yang lebih kuat), artinya bukan menunjukkan manusianya manusia. 


Tetapi kuncinya adalah di KEINGINAN YANG FAKTAIS dan FILOSOFIS, yakni yang teraktual sesuai dengan prosesnya yang benar, BUKAN TIDAK BERPROSES TAPI MAU/INGIN MEMBENTUK, yakni bukan yang tidak mau berproses jadi pemimpin tetapi mau jadi pemimpin, begitu pula yang mau dipimpin, artinya bukan yang tidak mau berproses jadi rakyat, tetapi ingin jadi rakyat yang dipimpin. 


Karena itulah maka kalau wilayatulfaqih saja ada mininya, maka rakyatnya juga akan ada mininya. Yakni wilayatulfaqih mini memimpin rakyat yang juga mini. 

Jadi, kalau memang mau, maka berproseslah dengan benar, ada yang berusaha jadi pemimpin yang baik, yang mengasah ilmu yang tinggi dan mengasah otaknya supaya tajam sesuai dengan jamannya, memperluas hatinya, menuluskan niatnya, memprofesionalkan semua pikiran dan langkah-langkahnya, meninggalkan kesukaannya pada dunia sekalipun halal....dan seterusnya sebagaimana yang harus dimiliki seorang pemimpin. 

Dan rakyatnya juga begitu, harus lapang dada hingga punya mental untuk taat, karena kalau tidak, dia akan menjadi pemimpin bagi pemimpinnya. Begitu pula wajib tunduk pada kebenaran dan kesucian dan melepaskan kepentingan golongan yang menghadang kepentingan bersama.... dan seterusnya sebagaimana layaknya sifat yang harus dimiliki seorang rakyat beradab dan berbudaya. 

Nah, kalau itu diproses, maka kita tidak akan selamanya mengigit jari kita. Tetapi kalau tidak, dan hanya menyeminarkan inginnya, maka selamanya kita akan menjadi penggigit jari yang sampai ke tingkat maniak. Atau menjadi Yazid dengan yang ber-KTP- bermazhab syi’ah.. 

Afwan dan wassalam. 

Chi Sakuradandelion dan 2 orang lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudinاللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّد


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 04 Oktober 2018

Taqiah (seri 1)



Seri Tanya Jawab Haera Puteri Zahrah dan Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 14:03



Haera Puteri Zahrah: Salam ustadz, boleh tanya kembali, apakah dalam takiya di wilayah shalat itu wajib di ganti atau tidak dan jika kita hendak melaksanakan shalat dengan takiyah apakah mulai dari wuduh kita rubah atau pada saat menjalankan shalat aja di tempat umum. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Masalah takiyah ini sudah pernah saya terangkan sebelumnya.
(2). Takiyah adalah melakukan ibadah seperti sekitarannya yang dikhawatirkan terjadinya hal- hal di atas itu. Jadi, tidak terkhusus kepada shalat, tapi apa saja.
(3). Tentu saja takiah itu ada batasannya, yakni yang bisa dilihat mereka. Karena tujuan takiah kan bersembunyi dari mereka, jadi kalau mereka tidak melihatnya, seperti wudhu di kamar mandi yang tidak terlihat siapapun, maka jelas tidak boleh takiah, kecuali kalau khawatir diintip. 

(4). Kalau takiahnya benar dan memenuhi syarat-syarat di atas itu, maka sudah pasti ibadahnya syah dan tidak perlu diulang. 

(5). Ala lagi sebab takiah yang tidak berhubungan dengan yang kamu tanya, yaitu karena persatuan. Saya katakan tidak termasuk yang kamu tanya, karena takiah persatuan, ada sayarat-syarat lainnya. Yaitu kita dikenali oleh lingkungan kita sebagai orang syi’ah. Dan cara ibadahnya tidak boleh takiah. Dan yang ditakiyahi hanyalah shalat jamaahnya. 

Asadi Al Madzlum: Dalam wudhu cara umumpun kita bisa taqiyah karena basuhan dan usapan yang di hitung adalah yang kita niatkan saja.. 

Sinar Agama: Abu M: Takiyah dalam wudhu yang antum maksud itu tidak mudah dilaksanakan. Karena harus tahu hukum dengan baik dan tidak terlalu umum. MIsalnya, kalau menuangkan air ke muka atau ke tangan lebih dari dua kali maka menjadi haram dan membatalkan karena akan membuat usapannya yang harus dari bekas wudhu’nya itu dilakukan dengan air yang bukan wudhu. Karena air wudhu’ itu adalah maksimal dua kali tuangan ke wajah dan ke tangan. Ini asal hukumnya 

Sekarang kalau mau bertakiah, maka antum harus tahu hukumnya. Dalam contoh di atas itu, tuangan pertama tidak diniatkan sebagai wudhu’ dan hanya meniatkan tuangan yang ke dua atau hanya yang ke tiga. Begitu pula penuangan air (dengan tangan) ke tangan seperti halnya penuangan (dengan tangan) ke wajah itu. Artinya hanya main niat. Ini adalah cara yang antum maksud. 

Akan tetapi, cara itu memang wajib dilakukan dalam takiahnya. Tapi kalau tiga kali tuangan dengan tangan itu merupakan ciri sunni dan diperhatikan oleh lingkungannya. Tapi kalau tidak, maka tidak perlu buat susah hingga menuang air sebanyak tiga kali. 

Jadi, dalam takiah penuangan dengan tangan ke wajah dan ke tangan itu, harus dilakukan hukum Syi’ahnya, yakni tidak takiyah. Karena tidak bisa dideteksi oleh orang. 

Asadi Al Madzlum: Tapi kelihatannya memang perlu ustadz meliris buku-buku tentang tata cara bertaqiah yang benar. 

Sinar Agama: Tapi dalam usapan rambut, maka kalau cara yang benarnya tidak men dapat perhatian orang, karena memang tidak terlalu beda, maka harus dilakukan yang benarnya. Tapi untuk kaki yang benar-benar beda, maka yah .. harus menggunakan cara sunni, alias dibasuh dan jugan diusap. 

Catatan: Hukum takiah itu, adalah hukum kebolehan melakukan ibadah sesuai dengan apa-apa yang dilakukan oleh yang mengamcamnya (walau ancamannya itu dalam bentuk kemungkinan hati dan akal). Akan tetapi ia tidak wajib dilakukan. Jadi, kalaulah ada kemungkinan adanya ancaman yang empat itu, akan tetapi tetap nekad dan tidak takiyah, maka ibadahnya tetap syah. Dan kalau ternyata ia dibunuh, maka ia syahid. 


Besse Tanra Esse Wajo: Jadi sesungguhnya taqiyah itu tidak wajib yach Ustadi? Meskipun dalam komunitas yang kecil dan dengan pertimbangan stategi gerakan? 

Sinar Agama: Besse: Justru dengan alasan strategi itu tidak boleh takiah. Takiah itu hanya dibolehkan di empat kondisi yang dimungkinkan itu, tapi tidak ada dari empat kondisi itu yang menyatakan tentang strategi dakwah. Tuhan dengan hukumNya ini, yakni tidak wajib takiah dan hanya boleh takiah di empat kondisi itu, lebih tahu strategi dakwah dari kita. Karena pengamalan yang jelas itu, kalau tidak ada 4 bahaya di atas atau ada bahaya tapi tidak takiah, adalah dakwah bil-haal yang sangat dianjurkan agama. 

Besse Tanra Esse Wajo: Saya sering tidak takiah Ustadi, dan ternyata hal ini mengancam gerakan dakwah teman-teman di sini karena sebelumnya syi’ah dianggap sesat di daerah saya Ustadzi. Mohon Pencerahannya... 

Sinar Agama: Besse, saya juga begitu. Dan justru dengan tidak takiah itu lama-lama masnyarakat sekitar menjadi paham bahwa kita tidak sesat. Karena itu lakukan saja sesuai perintah fikih, tapi santun pada lingkungan serta kalau bisa membantu lingkungannya. Berakhlak mulia dan berilmu tinggi, tawadhu dan tidak mudah emosi diganggu lingkungan. 

Oh iya, takiah dengan alasan dakwah itu tidak boleh. Tapi menutup diri, yakni kalau shalat di depan mereka shalat dengan cara sunni, tapi sebelum habis waktu diulang lagi di rumah, maka hal ini tidak dosa dan telah melakukan kewajibannya, karena sudah mengulangnya di rumah sebelum habis waktunya. 

Besse Tanra Esse Wajo: Makasih Ustadi atas pencerahannya. Semangat untuk berbuat dalam kemerdekaan sekarang jadi meyakinkan. Mohon tetap dibimbing Ustadi. 

Sinar Agama: Besse: Kita mesti saling mengingatkan dengan dalil manakala diperlukan, selamat. 

Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Abdullah Ndonk Mubarak dan 14 lainnya menyukai ini. 

Latifah Shahab: Bagaimana taqiyah berpuasa, ketika orang yang kita tutupi adalah suami yang nota bene selalu berdampingan dengan kita dan dia tidak mengizinkan kita untuk memperlambat berbuka karena seolah telah menyalahkan orang-orang suni yang telah berbuka, kalupun membayar di lain waktu keadaannya tetap demikian. Jadi tetap kesulitan untuk membayarnya. 

Sinar Agama: Latifah, jelas dalam hal seperti itu harus mendahulukan perintahNya, namun dengan kelembutan dan tidak membalas ejekan dan marahan suami. Jadi, tidak usaha mengikuti suami, tapi tidak boleh melayani pertengkaran. Semoga syarifah mendapatkan bantuan siti Faathimah as, amin. 

Latifah Shahab: Masalahnya gini ustadz, teman saudara saya ini terancam dicerai kalau ketahuan syiah, suaminya sebetulnya sangat baik dan ideal namun sangat anti syiah. 

Sinar Agama: Shahab. Istrinya itu taklid kepada siapa? Mungkin nanti bisa dimintakan ijin marja’nya. Tapi alasannya jangan dibuat-buat. Sebab sekali saja alasannya berbeda dengan kenyataannya, maka ijin tadi sudah tidak berguna. 

Sinar Agama: Musa: Tidak perlu harus buku, karena itu sudah ada di fatwa. Maka tinggal membacanya atau kalau masih bahasa asing, maka bisa minta tolong kepada orang yang mampu. 

Sinar Agama: Jawabanku sudah jelas. 

Latifah Shahab: Ali Khamenei. 

Latifah Shahab: Terimakasih ustadz, saya merasa beruntung bisa mengenal ustadz. 

Sinar Agama: Latifah: saya juga merasa sangat beruntung bisa berteman denganmu dan dengan semua teman-teman yang di face book ini, terlepas sepaham kek atau tidak. Karena kita beribadah dengan bertukar pengetahuan. Tapi harus argumentatif, tidak boleh basa-basi dalam ilmu. Beda dengan di luar ilmu. Sebab di luar ilmu, maksudnya dalam pergaulan sehari-hari, bisa saja kita melakukan basa basi dan lapang dada tanpa menegur dan semacamnya. Tapi kalau dalam ilmu, mesti dikatakan dan dituntaskan. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Eirfan Eillyas: Saya seorang sunni... bagaimana saya mahu menjadi syiah... 

Edo Saputra: Steel lmie, “ketika ente sudah meyakini konsep imamah ahlulbayt kamu sudah menjadi syiah, tinggal peleksanaanya kamu harus belajar agar lebih yakin.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ