Rabu, 22 Agustus 2018

Lensa (Bgn 20): Mengartikan Mimpi



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:26


Shifa Albar: Salam alaikum, saya mau bertanya apakah semua orang mempunyai kemampuan untuk mengartikan mimpi kalo dipelajari atau kemampuan ini hanya dimiliki oleh nabi dan imam?

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya, 

Mimpi itu bisa diketahui dengan kebiasaan. Tetapi masalahnya, jangan dipastikan. Karena itu kalau mimpi jelek jangan dipastikan, tetapi banyak sedekah, shalawat dan semacamnya. Jangan ditakuti sebegitu rupa hingga memberikan energi negatif yang dalam Islam dikatakan berburuk sangka pada Tuhan. 

Begitu pula kalau mimpi baik. Jangan dipastikan, supaya kalau tidak mendapatkannya, tidak menjadi kecewa. Terutama kalau berurusan dengan akhlak, misalnya sudah diterima Tuhan, sudah tinggi derajat dan seterusnya. Karena bisa saja tampilan itu dari syethan untuk mengibuli kita. 

Biasanya mimpi itu bisa dirasakan maknanya oleh si pemimpi tadi. Tetapi ingat, hal itu tidak pasti, dan hadapilah kedua jenis mimpinya dengan cara-cara di atas itu. 

Ada lagi megetahui mimpi lewat tafsir mimpi yang biasa atau ditulis oleh para ulama yang ahli dalam hal ini. Akan tetapi, tetap tidak boleh dipastikan. Karena hakikat mimpi, memiliki makna yang sesuai dengan keadaan masing-masing orang. Terutama kondisi batinnya. Jadi, bermimpi melihat api, bagi dua orang yang berbeda, bisa memiliki makna yang berbeda. 

Untuk tafsir mimpi yang dibukukan itu, bisa diambil contoh tafsir mimpinya Ibnu Syiriin. 

Setelah itu, mimpi itu bisa diketahui dengan kasyaf. Akan tetapi, walaupun ia sudah bisa dipastikan, tetap tidak bisa dipastikan. Karena bisa saja terjadi bada’ pada keputusan Tuhan yang disebabkan perubahan pada makhluk atau kebijakanNya. Bada’ adalah perubahan keputusanNya. Misalnya, ketika kita berdosa, maka keputusanNya terhadap kita adalah dosa dan siksa. Akan tetapi setelah Ia melihat kita bertaubat dan Ia menerimanya, maka keputusanNya tadi menjadi berubah hingga menjadi memaafkan kita dan memasukkan kita ke surga. 

Jadi, dengan apapun mimpi itu dijangkau maknanya, tetap pintu ikhtiar dan perubahan itu terbuka bagi kita. Hal itu karena Tuhan Maha Kasih dan Tidak Terburu-buru menyiksa manusia. Wassalam. 

Tika Chi Sakuradandelion dan 2 orang lainnya menyukai ini.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 19) : Filsafat Penciptaan



Oleh : Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:24


Socrates Mautauaja : Ass.wr.wb. ustad Sinar saya ingin tanya, sering kali saya merenung kenapa saya diciptakan oleh Tuhan sehingga saya ada di dunia ini, padahal saya tidak meminta untuk diciptakan.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

Tuhan mencipta itu karena Ia Maha Kasih. Karena itu, apa saja yang bisa dicipta, apakah kebaikannya tidak dicampuri dengan efek samping atau dicampurinya secara tidak mayoritas, maka Ia pasti ciptakan. Karena kalau tidak dicipta berarti Ia kikir dan bakhil. 

Aresto membagi keberadaan terbatas itu pada 5 keadaan: 

1. Kebaikannya murni 

2. Kebaikannya mayoritas 

3. Kebaikannya sama dengan keburukannya 

4. Keburukannya mayoritas 

5. Keburukannya murni 

Bagi yang pertama, seyogyanya dicipta. Yang ke dua juga demikian, karena kalau tidak mencipta- kannya, berarti meninggalkan kebaikan yang lebih banyak. Dan meninggalkan kebaikan lebih banyak, demi keburukan yang lebih sedikit, adalah keburukan yang nyata. Sedang yang ke tiga, empat dan lima, sudah pasti tidak akan diciptakannya, karena berarti Tuhan melakukan keburukan. Dan hal itu, mustahil, karena pelaku keburukan disebabkan kekurangannya, seperti tidak tahu, lupa, lengah, sakit jiwa.... dan seterusnya. 

Yang bagian pertama itu, adalah wujud-wujud non materi. Karena mereka tidak terikat dengan ruang dan waktu, maka mereka tidak memiliki keburukan atau efek samping. Sedang yang ke dua, adalah alam materi ini. 

Sedang Anda, bukan Tuhan yang menghendaki keberadaannya, tetapi orang tua Anda. Dan Tuhan hanya merestuinya, karena itu Anda menjadi ada. 

Dengan demikian, kalau Anda mau protes, maka proteslah kepada kedua orang tua Anda yang telah mendekatkan sebab hakiki bagi badan Anda (mani dan ovum) yang, keberadaan badan Anda itu menjadi sebab (sebab potensi) bagi keberadaan ruh Anda. 

Irsavone Sabit : Mungkin ada pertanyaan selanjutnya SN, kenapa dilahirkan dari orang ini dan bukan orang yang itu.

Sinar Agama : Alam ini, walau terjadinya disebabkan oleh materi yang lainnya, seperti kita yang disebabkan mani-ovum, akan tetapi, karena akibatnya akibat itu juga akibat bagi sebab dari sebabnya, maka semua alam materi ini, adalah akibat dari Tuhan juga. Karena itu bisa dikatakan bahwa alam ini adalah ciptaanNya. 

Dan karena sebab hakiki itu adalah sebabnya para sebab, maka pencipta hakiki dari alam materi ini, adalah Tuhan Yang Maha Perkasa.

Irsavone Sabit : Bila dilahirkan dari orang itu, akidahnya baik serta kaya, kalau dilahirkan dari orang ini, buruk ahlaknya dan miskin. 

Akan tetapi, karena kita dari ikhtiar ayah bunda kita, maka penghendak pertama kedatangan kita, adalah ikhtiar orang tua kita, bukan Tuhan. Setelah itulah baru Tuhan dengan ijinNya, mengijinkan kita untuk ada dengan sistem yang telah dibuatNya dan telah dipilih oleh orang tua kita.

Sinar Agama : Irsavone: Jawabannya sama saja, karena ikhtiar orang tua kita. 

Walhasil, semua yang lahir ke dunia atau terjadi di dunia ini, kalau bersumber dari sebuah ikhtiar, maka ikhtiar itulah yang telah menyebabkannya, bukan Tuhan secara langsung. 

Misalnya, anak-anak manusia, banjir yang diakibatkan sampah manusia yang menyumbat saluran sungai, longsor yang diakibatkan ditumbangnya pohon-pohon penguat oleh manusia, penyakit- penyakit kelamin yang diakibatkan oleh pergaulan bebas manusia, dan seterusnya. Semua keberadaan itu, datangnya dari Tuhan tidak secara langsung dan tidak dikehendakiNya secara langsung. 

Jadi, yang menghendakinya langsung adalah yang memilih ikhtiarnya itu.

Irsavone Sabit : Dan pertanyaan kemudian, apakah setiap orang dimintai pertanggung jawaban dan beban yang sama atas tindakannya yang karena latar belakang mereka berbeda?

Sinar Agama : Sabit: Sungguh aku simpatik pada antum, karena Allah telah memberikan cara berfikir sistematis, setidaknya dalam hal ini. Dari awal saya perhatikan koment antum, rapi dan selangkah demi selangkah. Semoga Tuhan menyayangi kita semua dengan akal gamblang dan sistematis, biarlah harta dan semacamnya itu dimiliki penggebunya. 

Semua pertanyaan yang diajukan Tuhan kepada kita semua, adalah sama. Dalam arti akan dimintai tanggung jawab dan tidak ada toleransi di dalamnya. 

Jadi, semua fasilitas dan kondisi yang ada yang dicipta orang lain, itu hanya membuat kadar pertanggungjawabannya yang akan sedikit berbeda. Katakanlah kadar dosa dan pahalanya. 

Misalnya, kalau anak kiyai atau ulama atau ustadz, maka shalat dia hanya akan menghasilkan satu pahala saja yang sesuai dengan yang dijanjikan Tuhan. Karena bagi dia atau si anak ini, sejak kecil sudah dididik sedemikian rupa.

Akan tetapi, bagi anak orang kafir yang masuk Islam, atau anak perampok yang taat, atau anak penjudi yang taat, atau anak koruptor yang taat, maka pahala shalat dia tentu akan lebih tinggi dari pahala shalat anak kiyai di atas itu. 

Perbedaan pahala itu, karena perbedaan kondisi. Artinya, pahala lebih yang dimiliki oleh anaknya orang yang tidak taat itu (tapi anaknya taat), diperoleh dari hasil juang terhadap lingkungan yang dihadapinya. Karena itu, ia layak mendapatkan pahala ekstra. Beda dengan anak kiyai itu yang tidak memiliki unsur juang lingkungan yang memang karena lingkungannya sudah bagus. 

Akan tetapi sebaliknya. Kalau anak kiyai itu tidak shalat dan anak yang tidak taat itu juga tidak shalat, maka dosa yang akan didapat oleh keduanya akan berbeda pula. 

Yakni dosa anak kiyai melebihi dosa anak orang yang tidak taat itu. Hal itu karena lingkungannya yang diingkari pada anak kiyai telah menyebabkannya memiliki dosa ekstra. 

Dari penjelasan di atas, maka asal pahala dan dosanya, adalah sama. Nah, disinilah yang saya katakan bahwa semua orang akan menghadapi hisab dan perhitungan Tuhan yang sama nanti di akhirat. 

Sedang perbedaan lingkungannya, tidak menyapu tanggung jawab di atas itu. Dan dia hanya membedakan kadar dan jumlah pahala dan dosanya saja. 

Kalau antum ingin tahu secara lebih rinci dan mendasar, walau iapuan tetap tertulis dalam tulisan yang sangat ringkas, maka kunjungilah catataanku yang berjudul Poko-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah, bagian ke duanya. 

Wassalam. 

Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin dan 2 orang lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.


27 Mei 2012 pukul 23:39 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 18): Ruh Para Nabi, Wali



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:22



Imam Ja’far shadiq as berkata :

“Pada para nabi dan para wali terdapat lima ruh, yaitu Ruh Badan (kehidupan), Ruh Kudus, Ruh kekuatan, Ruh Syahwat, Ruh Keimanan sementara pada kaum mukminin terdapat 4 Ruh yakni Ruh Badan, Ruh Syahwat, Ruh Kekuatan, Ruh Keimanan. Dan pada kaum kafir terdapat tiga Ruh yakni Ruh badan, Ruh Syahwat dan ruh kekuatan Ruh Keimanan menyertai jasad kaum mukminin selama jasad itu tak melakukan dosa besar, bila dosa besar dilakukan maka ruh Keimanan meninggalkan jasadnya. Sementara orang yang padanya menetap ruh Kudus tidak akan melakukan dosa besar untuk selama- lamanya.“ ( Biharul Anwar, jil.25 hal 53 )


Sinar Agama: Maksud hadits itu adalah ruh-ruh yang ada itu sebagiannya dari Tuhan tanpa melalui ikhtiar manusia, seperti ruh badan (artinya daya tambang), dan ruh kekuatan (daya nabati dan gerak ikhtiari) serta ruh akal yang berarti kemampuan berfikir.

Tetapi sebagian ruhnya, yakni sebagian daya ruhnya, ada yang dari Tuhan tetapi melalui ikhtiar dan usaha manusia, seperti ruh Qudus atau ruh suci itu.

Jadi, ruh itu hanya satu, akan tetapi memiliki berbagai daya yang fitrawi atau naturalis, ada yang timbul setelah baiknya ikhtiar dan usahanya seperti ruh Qudus atau kesucian itu.

Dan ruh qudus itu dicapai dengan ruh daya akal yang akal secara hakiki. Yakni mengetahui dengan benar dan diikuti dengan benar pula. Karena itu, sangat diwajibkan dalam Islam untuk berdalil dalam segala kepercayaan kita dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Kalau semua itu sudah dilakukan, maka ruh daya qudus itu akan dicapai semua orang. Yakni bukan hanya nabi dan wali.

Jadi hadits di atas itu, hanya berfungsi memberikan kabar kepada kita bahwa kalau sudah jadi nabi artinya sudah mencapai derajat kenabian itu dengan ikhtiarnya, maka ia pasti sudah mencapaikan ruh daya akal natulisnya itu ke maqam akal suci atau qudus karena kebenaran ilmu dan amalnya.

Karena itu, maka ruh ikhtiari itu, yakni ruh yang berdaya dengan daya yang dicapai dengan ikhtiari itu, seperti iman dan qudus, bisa hilang dan pergi sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pembawanya.

Tentu saja, bagi yang sudah sampai ke tingkat sangat tinggi seperti kenabian, bukan kewalian, maka biasa sudah tidak akan jatuh lagi. Karena syethan sudah tidak menjangkau keinginan mereka hingga dapat menipunya.

Tetapi kalau sekedar ruh daya ikhtiari yang sampai ke tingkat wali, maka ia masih bisa berubah menjadi rendah kalau perbuatannya berubah menjadi rendah.

Sebaliknya juga, ruh yang berada di tingkat bawah, ia juga bisa naik dengan ilmu dan aplikasinya. Karena itu tidak ada jalan untuk putus asa dan bangga bagi kita semua.

Jab Gamal Gamal : Berapa daya fitrawi ruhnya imam??? Kenapa yang disebuti cuma nabi dan wali???

Sinar Agama : Entah pertanyaan mas Jab ini ke siapa? Saya akan menjawabnya bahwa penjelasan yang datang dari para nabi dan imam, tidak mesti mencakup segala dimensi. Karena bisa saja dijelaskan di tempat lain. Ayat-ayat Tuhan juga seperti itu. Karena itulah memahami sebuah ayat atau hadits, tidak bisa hanya dengan dirinya sendiri tanpa dikomperasikan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya. Karena itu, maka dapat dikatakan bahwa ruh imam itu adalah ruh yang termasuk daya ikhtiari seperti nabi dan wali. Dan pangkat imam ini, karena ia merupakan maqam di atas maqam kenabian, maka sudah tentu ruhmya memiliki maqam lebih tinggi.

Namun demikian kelebihtinggiannya itu tidak mesti dengan nama lain dari qudus itu. Jadi ruh mereka adalah ruh suci dan qudus akan tetapi lebih tinggi dari maqam ruh kenabian.

Sudah tentu banyak sekali ruh nabi itu yang juga mencapi ruh imam ini. Seperti nabi Nabi Muhammad saww, atau nabi Ibrahim yang diangkat ke maqam imam ini setelah beliau sepuh (tua) dalam kenabian dan kerasulan.

Yang perlu diingat adalah bahwa semua ruh-ruh itu, yakni daya-daya itu adalah daya yang ada setelah ikhtiar. Maksudnya ruh kenabian dan keimamahan itu. Sebagaimana ruh wali juga demikian.



Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion dan 2 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Lensa (Bgn 17): Ritual Pemanggilan Ruh dan Sesajen



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:20


Farel Abdl : Assalamu alaikum Ustad. Apakah kesenian kuda lumping itu perbuatan syirik mengingat memuja/memanggil arwah dengan memberikan sesajen dan memberi makan orang yang dirasuki setan kalap...

Sinar Agama : Salam dan terima kasih pertanyaannya:

Memanggil syethan, ruh, jin, malaikat dan manusia, semua itu adalah sama saja. Artinya tidak ada yang syirik. Akan tetapi kalau untuk disembah dan dituhankan, maka itu baru dikatakan syirik. Tetapi kalau hanya meminta bantuan, maka hal itu tidak syirik. Dan permasalahannya menjadi masalah fikih, bukan akidah.

Jadi, kalau memanggil syethan dan meminta tolong padanya, maka hal itu haram hukumnya, termasuk juga meminta tolong kepada ruh. Semuanya itu bisa terjadi, akan tetapi hukumnya haram.

Farel Abdl : Apa itu termasuk perbuatan dosa memberi sesajen membakar dupa dan bagaimana hukum orang yang kalap tersebut?

Sinar Agama : Kalau meminta tolong pada ruh sesuai dengan anjuran agama, yakni memintanya untuk mensyafaatinya, mendoakannya, maka hal itu tidak haram. Sudah tentu kelau memintanya kepada ruh pada nabi, imam dan wali serta orang-orang shalih.

Kalau memanggil malaikat dan meminta tolong untuk tujuan-tujuan dunia, seperti tenaga dalam dan sebagainya, ada ulama seperti imam Khumaini ra yang mengharamkannya.

Tetapi katanya ada yang menghalalkannya. Tentu saja kekuatan tenaga dalam atau batinnya itu atau supra naturalnya itu kalau digunakan kepada kebaikan.

Catatan: Kita tidak bisa seperti wahhabi yang menjual syirik dimana-mana. Syirik itu adalah menuhankan selain Tuhan atau menyembahnya. Tetapi kalau tidak sampai ke situ, maka biasanya tidak sampai ke tingkat syirik sekalipun terhukumi dengan haram. Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Irsavone Sabit dan 27 lainnya menyukai ini.


Khommar Rudin: Allah humma sholli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Juliant Very: Salam, udah lama ana agak bingung mengenai hal ini, dan kali ini keraguan itu hilang sudah! Ini adalah jawaban terlengkap & terkeren bagiku, syukron katsir!!

Siti Purwanti: Terima kasih atas penjelasan dari ustadz, akhirnya pertanyaan saya mengenai hal ini terjawab.

Razman Abdullah Chokrowinoto: Gimana untuk mnghubungi ustad Sinar Agama?

Sang Pencinta: Razman Abdullah Chokrowinoto, Bisa lewat inbox di sini. http://www.facebook.com/sinar.agama atau di page ustad. http://www.facebook.com/pages/Sinar-Agama/207119789401486

Razman Abdullah Chokrowinoto: Makasih Angelia..salam alaikum. 


13 November 2012 pukul 8:30 · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 21 Agustus 2018

Lensa (Bgn 16): Ke Ma’suman Para Nabi



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:19


Bintang Ali: Salam Ustad, pengen bertanya soal kema’suman para nabi as dan nabi saww. “Wahai bani Adam, jangan sampai kalian difitnah oleh setan sebagaimana ia dapat mengeluarkan ayah ibumu (Adam dan Hawa) dari surga” (al araf:27). 

Bagaimana menjelaskan kemaksuman pada nabi adam as yang dikeluarkan dari surga karena kesalahannya? 

Lalu bagaimana menjelaskan kemaksuman pada nabi Musa as dalam ayat asyu’ara: 14, “sesung- guhnya aku mempunyai dosa kepada mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku”. 

Kemudian terhadap kisah nabi Musa as yang membunuh qibti, seseorg yang bertengkar dengan bani Israel. Dan karena perbuatannya itu (membunuh) maka nabi Musa kabur dan meninggalkan kota Mesir. Namun saya menemukan jawaban pada buku iman semesta bahwa nabi Musa melakukannya karena tidak sengaja. Padahal pada lembaran sebelumnya (dalam buku iman semesta) telah dijelaskan bahwa definisi kemaksuman adalah terjaga dari dosa dan salah (yang disengaja atau tidak)..mohon penjelasannya ustad.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

Syethan sebelum menggoda nabi Adam as. sudah dikeluarkan dari surga. Karena itu bagaimana mungkin menggodanya di dalam surga? Nabi Adam as. juga dicipta dari tanah di bumi lalu bagaimana bisa di surga? 

Dalam penjelasan filsafat telah dijelaskan bahwa nabi Adam as. ada di bumi. Akan tetapi sebelum bangkit dari tidur pertamanya itu, beliau diperlihatkan tentang surga dan peristiwa sujudnya malaikat dan tidak sujudnya syaithan dan diusirnya syaithan dari surga, dan seterusnya. Semua itu demi pengajarannya sebagai manusia pertama di bumi. Artinya wahyu Tuhan yang berupa mimpi. 

Dalam filsafat juga dijelaskan bahwa manusia memiliki beberapa derajat dalam ruhnya, seperti nabati, hewani dan akli. Nabati mengatur pertumbuhan badannya, hewani mengatur gerak ikhtiari dan perasaannya serta akli mengatur pemikiran dan kedekatannya dengan Tuhan. Karena itu yang bisa masuk ke tingkatan surga dikala masih di dunia (masih hidup) adalah tingkatan akalnya. 

Karena itu maka dalam tidur nabi Adam as. itu, akalnya ada di surga dan hewani serta nabatinya ada di luar surga. Karena itulah maka nabi Adam as. diganggu Syethan dari arah hewaniahnya itu dimana ruh daya hewani inilah tempatnya hawa nafsu. 

Jadi, nabi Adam as. dibisiki syaithan dari luar surga yakni dari tingkatan ruh hewani nabi Adam as. Nabi Adam as. ketika sudah mulai hidup, walaupun masih dalam keadaan tidur, lama kelamaan akan merasakan lapar. Nah, lapar itulah yang diibaratkan dengan keputusan makan yang, dalam Qur'an dikatakan memakan buah khuldi, yakni keputusan makan. Karena nabi Adam as, sudah memutusi makan buah yang dilarang itu, maka ia pasti terbangun dari tidur pertamanya itu. Karena itu ia as. keluar dari surga. 

Yang perlu dicatat adalah, ketika nabi Adam makan buah dalam mimpi maka hal itu bukan dosa. Yang ke dua, ketika yang dimakan itu barang yang ada di surga, maka dapat diketahui bahwa larangan itu bukan larangan haram, tetapi anjuran saja (irsyaadii). 

Tambahan: Untuk lebih mengerti hal ini, maka pelajari tentang tiga alam dalam filsafat. Seingat saya, saya sudah membahas hal ini, tetapi belum ketemu dimana. Coba kunjungi tulisan saya yang berjudul Kedudukan Fantastis Imam. 

Tentang nabi Musa as: 

Dosa yang dimaksud beliau as. bukan dosa dalam syariat. Dosa yang dalam bahasa arabnya dikatakan Dzanbun itu asal maknanya adalah “buntut” alias “akibat”. Jadi, maksud nabi Musa as adalah bahwa beliau as. pernah membunuh salah satu dari musyrikin dan pengikut Fir’un dimana pasti berbuntut kepada penghukuman matinya beliau as. Yakni kalau datang lagi ke mereka, maka mereka akan menuntutnya dengan hukuman mati karena telah membunuh salah satu dari mereka. Jadi, dosa disini bukan dosa dalam syariat, tetapi dosa pada mereka para musyrikin dan musuh-musuh Tuhan itu. 

Sekarang apakah membunuh tentara Fir’un itu dosa dalam syariat apa tidak? 

Jawabannya jelas tidak dosa, terlebih dia yang terbunuh itu terlibat perkelahian dengan seorang mukmin. Jadi, perbuatan nabi Musa as itu bukan dosa sama sekali. Jangankan tidak sengaja, yakni dengan mendorongnya tapi jatuh dan mati, sengaja sekalipun tidak dosa di hadapan Tuhan. Namun demikian nabi Musa as. tetap mengatakan bahwa hal itu adalah perbuatan syethan. Hal itu, karena syethan tidak ingin melihat satu orang pun yang bisa masuk surga. Sementara para nabi, seperti nabi Musa as. adalah bertugas menyelamatkan dan menghidayahi semua manusia, termasuk musyrikin. 

Jadi, para nabi, biasanya tidak membunuh kecuali sangat terpaksa. Karena mereka bertugas menghidayahi musyrikin. Jadi, walaupun orang yang mati itu layak dibunuh, tetapi seandainya bisa dihindari maka dihindari supaya bisa menerima hidayah di lain waktu. Tetapi apa boleh buat, nabi Musa as.pun sudah berusaha untuk itu, yakni mendorongnya saja, tetapi orang itu jatuh dan mati.

Bintang Ali : Syukron ustad, dalam penjelasan tentang nabi adam as dikatakan karena keputusan makan dari nabi Adam maka beliau bangun dari tidurnya, artinya alam akalnya kembali ke dunia (keluar surga) untuk makan buah khuldi. Namun ustad juga menjelaskan bahwa tidak berdosa karena makan buah dalam mimpi adalah tidak dosa. Padahal nabi Adam sudah tidak dalam keadaan mimpi, mohon dijelaskn lagi ustad, afwan.

Sinar Agama : Arti yang antum berikan itu tidak benar, karena keputusan Dimensi akal nabi Adam as. itu adalah tetap dalam mimpi wahyunya. Kalau ingin lebih jelas, bisa dibaca catatanku yang berjudul “Peristiwa nabi Adam as dalam Pandangan Filsafat (hadiah kecil ied Ghadir Khum) 

Oleh Sinar Agama • 25 November 2010. Wassalam. 

Tika Chi Sakuradandelion, Bande Husein Kalisatti, Ammar Dalil Gisting dan 2 lainnya menyukai ini.  


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Artikel terkait:

Peristiwa Nabi Adam as dalam Pandangan Filsafat (Hadiah Kecil Ied Ghadir Khum)

Lensa (Bgn 15): Apa Benar Nabi saww Mengharamkan Yang Dihalalkan Tuhan?



Oleh: Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:17


Ayat tahrim ini sebenarnya ayat kecaman Tuhan kepada dua istri Nabi saww. Artinya, Tuhan tidak rela Nabi-nya mengalah terus kepada dua istrinya itu. Kita tahu bahwa Nabi saww. selalu memaafkan orang, apalagi istrinya. Artinya selama masih memiliki hak untuk memaafkannya. Nah, disini, sekalipun Nabi saww. memiliki hak untuk memaafkannya, akan tetapi Tuhan tidak memaafkannya.

Baik di sunni atau di syi’ah, sebab turun ayat itu, adalah berkenaan dengan sesuatu yang dikerjakan Nabi saww. terhadap salah satu istrinya. Lalu kedua istrinya yang lain, tidak menyukainya dan bersepakat untuk menyakiti Nabi saww. Lalu ketika mereka beraksi, maka Nabi saww mengatakan bahwa beliau saww. tidak akan melakukannya lagi. Yakni tidak akan melakukan sesuatu yang dihalalkan Tuhan itu.

Jadi, haram di ayat itu bukan haram yang bermakna hukum Islam, tetapi yang bermakna kata yang, dalam bahasa Arab artinya, mencegah. Yakni Nabi saww. mengatakan bahwa beliau akan mencegah dirinya untuk tidak melakukannya lagi. Tentu saja, karena Nabi saww, sesuai dengan akhlaknya yang mulia itu, karena beliau selalu memaafkan orang yang berbuat buruk padanya selama masih bisa dimaafkan.

Dalam kejadian itu, Tuhan tidak lagi bisa menerima perlakuan buruk pada NabiNya itu. Karena itu Tuhan sendiri yang mengkondisikan (taqyid) maaf Nabi saww. ini, seperti di ayat lain yang mengatakan bahwa: “Kamu sekalipun memintakan ampun 70 kali tetap mereka tidak diampuni” (ini nukilan makna, bukan harfiah).

Dengan keterangan di atas itu, dapat dipahami, bahwa Nabi saww. bukan hendak mengharamkan secara hukum fikih yang berarti kalau dikerjakan mendapat dosa/siksa, terhadap hal-hal yang dihalalkan Tuhan. Akan tetapi bermakna, mencegah dirinya dari hal-hal yang dihalalkan Tuhan demi meredam gangguan kedua istrinya itu. Jadi, Nabi saww. tidak membuat kesalahan, seperti membuat hukum baru dan beda dari hukum Tuhan.

Dari keterangan itu pula, dapat dipahami bahwa hal-hal yang Nabi saww. mencegah diri darinya, adalah bukan sesuatu yang diwajibkan. Artinya, sekalipun Nabi saww. mencegah dirinya karena mengalah dan memaafkan buruk akhlak kedua istrinya itu, akan tetapi bukan mencegah diri dari hal-hal yang diwajibkan Tuhan. Jadi, hanya pada hal-hal yang dihalalkan,. bukan wajib. Jadi, Nabi saww. dalam hal ini juga tidak melakukan kesalahan. 

Dari keterangan di atas itu juga dapat dipahami bahwa Nabi saww. juga tidak melakukan  kesalahan dari sisi memaafkan atau mensyafaati itu. Karena dalam sunnatullah yang diterangkan dalam Qur'an, semua yang punya hak syafaat, tetapi Nabi saww, tidak akan bisa mengaktifkan syafaatnya itu kecuali dengan ijinNya. Nah, ayat di atas, befungsi pengikraran Tuhan bahwa syafaat Nabi saww untuk kedua istrinya itu tidak mendapat ijinNya.

Dari semua keterangan itu, dapat diketahui betapa agungnya akhlak Nabi saww yang berkenan memaafkan kedua istrinya yang menyakitinya dan memprotes perbuatan halalnya itu. Jadi, ayat itu, bukan saja tidak menceritakan kesalahan Nabi saww, tetapi justru menceritakan keagunangan akhlak Nabi saww.

Di lain pihak, ayat itu menceritakan betapa buruknya perlakuan kedua istri Nabi saww. tersebut. Bayangkan saja, sudah punya suami Nabi saww. tetapi tidak menghormatinya sebagaimana mestinya. Padahal, sekalipun suaminya itu bukan nabi Tuhan, sudah pasti mengganggu suaminya dalam hal-hal yang dihalalkan Tuhan itu adalah dosa, apalagi kalau suaminya itu adalah seorang nabi dan nabi pilihan lagi, yakni paling afdhalnya Nabi saww.

Dapat diraba dari ayat dan peristiwa itu bahwa sangat mungkin kedua istri tersebut, sering menyakiti Nabi saww. Karena biasanya, kalau hanya salah sekali, mungkin tidak langsung diancam dengan semacam peperangan dan juga talak. Coba baca terusan ayat di atas itu sampai ayat 3 (QS: 66: 1-3). Di ayat tiga itu, Tuhan mengancam kedua istrinya itu kalau tidak taubat.

Mungkin ada yang bertanya, kalau keduanya tidak bagus, mengapa dikawini dan mengapa tidak diceraikan saja? Jawabnya, bahwa mencari istri yang baik itu adalah kewajiban bagi kita yang lemah iman dan akhlak. Yakni kita, orang biasa, kalau punya istri yang buruk perangai maka bisa bertengkar, terpengaruh menjadi buruk juga dan atau terjadi cerai. Tetapi kalau Nabi saww. dan para nabi yang lain as., maka keharusan itu terangkat dari mereka. Karena mereka tidak akan terpengaruh, baik dalam keburukannya, atau dalam reaksinya hingga keluar dari ajaran agama. Kalau perlu, mereka mesti mencari yang terburuk untuk dijinakkan dan tidak menebarkan keburukannya kepada orang lain. Tentu saja, buruknya yang tidak sampai kepada tingkat pengkhianatan keluarga (selingkuh). Jadi, keburukan yang berkisar akhlak buruk, khianat yang bukan bermkana selingkuh, seperti membocorkan rahasia dan seterusnya.

Ayat ini, juga menjadi saksi bagi kecerobohan yang menafsirkan ayat QS: 33: 33, dimana disana Tuhan membersihkan dosa keluarga Nabi saww (Ahlulbait), sebagai istri-istri Nabi saww. Yakni mereka mengatakan bahwa keluarga yang disucikan itu, adalah istri-istrinya. Padahal ayat di pembahasan kita ini adalah ayat yang menunjukkan kedua istri Nabi saww sedang melakukan dosa besar, dan obyeknya juga tidak tangung-tanggung, yaitu Nabi saww. sendiri, yakni bukan suami biasa yang diganggunya.

Wassalam. 



Tika Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Sarah Soraya dan 16 lainnya menyukai ini.

Kamal AvicenNa: Ali bin Abi Thalib a.s pernah mengatakan bahwa, kekeruhan jama’ah jauh lebih baik daripada kejernihan individu. Kecerdasan individual pun tak akan pernah dapat mengalahkan kecerdasan sebuah jama’ah. Memang benar, perbedaan bukan sesuatu yang mustahil, namun yang diharapkan walaupun mempunyai kepentingan sendiri, jangan sampai menutupi kepentingan bersama untuk menegakkan qalam Ilahi di muka bumi.

Edo Saputra: Dengan mengikuti nabi dan ahlulbaytnya pasti kita selamat...

Aziz Laparuki: Ustadz, sama ada sedikit tanda tanya dalam hati. Dari penjelasan antum di atas seolah olah Nabi SAWW tidak maksum!? Dalam pikiranku perkataan dan tindakan nabi bahkan gerak gerik hati Nabi SAWW pun akan selalu seiring sejalan dengan kehendak Tuhan! Tolong penjelasannya Ustadz. Terimakasih...

Sinar Agama: Aziz: Baca lagi dan baca lagi, dan jangan lupa membaca Bismillaah dan shalawat sebelumnya. Kalau belum tembus juga, kalau perlu dalam keadaan berwudhu dan mengucap salam dulu pada imam Mahdi as. Semoga dapat dipecahkan. Karena menurutku dengan membacanya dengan teliti, maka problem antum bisa diselesaikan. Ingat, jangan baca tulisanku atau tulisan siapa saja, dengan gemuruh pemahaman antum dan gemuruh menolaknya. Tapi baca dulu dengan berusaha memahami yang kita maukan, baru setelah paham benar, bisa ditanyakan atau didiskusikan atau bahkan didebatkan. Tapi berusahalah dulu memamahi sesuai dengan maunya penulis.

Padil Fadilah: Allah hummasoli alla Muhmmad waalli Muhammad. 


28 Mei 2012 pukul 14:28 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 14): Tentang Benci



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:14


Benci sebagaimana sudah saya sering berikan contohnya, di catatan-catatan atau koment alfakir selama ini, adalah sifat yang ada di hati manusia, yang, secara filsafat dikatakan ada di ruh bagian daya-hewani. Artinya benci adalah kerja hati seperti cinta.

Nah, benci hati ini, tidak boleh diletakkan kepada makhluk Tuhan dari sisi kemakhlukanNya, seperti jeleknya, hitamnya, cebolnya, baunya, ganasnya (seperti harimau dan ular) dan seterusnya. Dan karena itu benci itu hanya bisa diletakkan kepada Karekter Ikhtiari Manusia atau jin (seperti Iblis). Ingat sekali lagi amal-amal ikhtiari atau akhlak-akhlak ikhtiari. Maksud akhlak disini adalah kebiasaan, bukan akhlak baik. Jadi dalam pembahasan akhlak, akhlak itu adalah kebiasaan, baik kebiasaan baik atau buruk.

Nah, benci itu hanya bisa diletakkan ke atas akhlak buruk seseorang dari sisi akhlak buruknya itu. Jadi kalaulah membenci pelakunya, jangan karena jelek rupanya, tetapi benar-benar karena akhlak buruknya itu. Ini baru boleh, dan bahkan merupakan keharusan. Karena kalau kita tidak membencinya, bisa mengakibatkan kebagian dosanya. Karena itulah dalam Islam dikenal dengan Tabarri, alias berlepas diri. Yakni berlepas diri dari keburukan orang yang dibenci karena keburukannya itu. Dan Rasulpun saww bersabda: “Kalau di ujung timur dunia ada yang membunuh orang tanpa kebenaran, dan di ujung barat ada yang mendengar dan dia rela terhadap perbuatannya itu, maka ia telah mendapatkan dosanya juga.”.

Namun demikian benci ini tetap berupa amal hati, bukan badani nan aplikatif. Karena kita baru membahas tinjauan hatinya. Nah, benci di hati ini, sekalipun merupakan keharusan ketika tempatnya sudah benar secara argumentatif gamblang, bisa dibarengi dengan amal-amal hati lainnya. Tentu selain amal hati yang berkata “Aku berlepas diri dan tidak suka pada perbuatannya”. Yaitu amal-amal hati seperti harapan dan doa akan perubahan terhadap pelaku amal buruk itu. Semua itu tergantung kepada besar-kecilnya keburukan seseorang dan tergantung kepada tekak tidak tekaknya (bc: keras tidaknya kepalanya).

Tentu saja ukuran keras kepala ini tidak mudah dinilaikan. Karena sering orang karena di debat sekali dua kali saja sudah mengecap lawan bicaranya sebagai keras kepala. Walhasil, kalau memang keras kepala sekalipun, tetap bisa dilihat, apakah karena lingkungan yang membentuknya menjadi orang-orang yang nampak bodoh seperti para Wahhabi yang terhitung latah, atau karena dia sendiri telah menjadi keras kepala dengan penuh kesadaranya dalam memilih jalan buruk itu. Walhasil, dengan modal agama yang tidak bisa sedikit, seseorang akan mampu dengan ijinNya, melihat derajat-derajat obyek bencinya itu dan hatinya diselaraskan sesuai dengan ilmu Islam yang argumentatif agamis dan aklis itu, bukan argumentatif perasaanis yang dipaksakan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits.

Tapi ingat, bahwa sekalipun ada perasaan harap itu, maka perasaan benci akan perbuatannya itu, harus tetap ada di hati. Karena hilangnya itu akan membuat kerusakan pada diri kita sendiri. Akibat awal yang paling sederhana tetapi memiliki kadar luar biasa besarnya, adalah tidak jelasnya nilai hidup dan budaya. Coba lihat di Indonesia. Korupsi dan zina misalnya. Sebenarnya, dalam tinjauan sosialnya, korupsi dan zina itu bukan suatu yang besar. Karena ia merupakan penyakit pelakunya.

Tetapi ketika yang lain tidak membencinya, atau membenci karena tidak kebagian (seperti di Indonesia yang secara lahir melakukuan reformasi terhadap KKN, yakni memperbaiki KKN hingga menjadi adil dan rata), maka budaya yang akan muncul adalah “biasa” menghadapi keduanya. Dan kalau sudah “biasa” atau “hal biasa”, terlebih dibumbui lagi dengan “Manusia itu tempatnya salah dan doa” dan “tidak tega”, maka langkah berikutnya adalah kita sendiri akan jatuh di dalamnya.

Jadi, maksiat pribadi, seperti korupsi dan zina, tidak sebesar maksiat sosial yang sudah mengang- gapnya hal biasa. Bayangin saja budaya kita, kalau ada anak hamil di luar nikah, orang tuanya, tidak marah dari awal ketika ia tidak pakai hijab atau ketika ia pacaran. Tetapi marahnya, kenapa sampai hamil dan membuat malu. Artinya hubungan maksiat sebelumnya, asal tidak sampai hamil, maka dianggap biasa. Nah, budaya seperti ini, yang timbul dari tidak bencinya pada keburukan dan maksiat itu adalah seburuk-buruk budaya dan bisa dikatakan tidak memiliki harapan di masa depan.

Karena itulah, sebagian orang berkata bahwa Arab Jahiliyyah masih jauh lebih bagus dari budaya kita. Karena di jahiliyyah, kejujuran masih disanjung tinggi, kesatriaan dan membela yang lemah jadi pujaan. Tetapi kita, oh..betapa malangnya kita... yang memiliki budaya tidak ke barat dan tidak ke timur ini. Indonesia, akan menjadi baik, kalau budayanya dirubah. Dan perubahan itu, tidak bisa terjadi kecuali dengan pengawasan seorang alim tentang agama yang mencakupi filsafatnya, sosiologinya, psikologinya.

Tentang aplikasi bencinya: Dalam aplikasi benci ini, agama dan akal-gamblang, telah memberikan cara-caranya secara rinci. Namun ingat, dengan tetap menjaga perasaan benci itu. Penanganan terhadap obyek yang dibenci itu sangat banyak dan sangat rinci. Kadang dengan merengutkan alis saja, kadang dengan ucapan. Dan ucapan ini bisa banyak gradasinya. Bisa dengan argument, yakni ketika ia memiliki potensi untuk memahami argument. Argument adalah proposisi-proposisi yang disusun sebagai dalil yang dikenal dengan Premis.

Argument adalah memakai premis yang memiliki kebenaran yang sudah teruji dengan argu- mentasi. Artinya, kebenarannya itu adalah hakiki dan niscaya, baik diterima orang atau tidak. Seperti 1+1=2; yang terbatas pasti diadakan; rangkapan terbatas juga keterbatasan;.....dan seterusnya. Akan tetapi, kalau pelaku buruk itu tidak mengerti hal ihwal argumentasi dan premisnya itu, maka bisa memakai cara debat. Debat adalah premisnya memakai hal-hal yang diakui oleh lawan bicaranya. Misalnya orang syi’ah berdalil tentang 12 imam maksum as,. dari kitab Bukhari yang diterima sunni (sekalipun syi’ah tidak menerimanya).

Jadi, apapun yang diterima lawan bicaranya dijadikan dalilnya. Inilah yang dikatakan debat. Ada juga yang pakai setengah umpatan. Seperti kamu tidak belajar dengan baik, kamu tidak membidangi agama secara akademis, kamu banyak bicara terhadap hal-hal yang tidak kamu tahu, dan seterusnya. Semua itu akan menjadi sesuai dengan obyeknya, manakala seseorang telah benar-benar alim dan berhati mulia. Artinya setiap langkahnya hanya mengikuti argument, agama dan dengan niat ridhaNya.

Ada juga dengan cara-cara yang lebih kelihatan keras, seperti meninggalkannya. Yang ke tiga ini dikenal dengan amar makruf dengan badan. Artinya, sejauh yang diijinkan agama. Bukan menamparnya dan semacamnya. Karena menyakiti orang lain secara fisik, di samping merupakan dosa besar, ia juga memiliki kaffarah, apakah hanya memar, atau luka, atau luka sampai ke tulang, atau luka sampai melukai tulang...dan seterusnya seperti yang sudah diterangkan di kitab fikih.

Jadi, aplikasi kebencian itu diterangkan dalam amar makruf dan nahi mungkar. Begitu pula syarat- syaratnya. Karena itulah maka kita tidak bisa sembarang melakukan amar makruf dan nahi mungkar yang biasa kita kenal dengan “Dakwah”. Terlebih Dakwah Sosial dan Media Masa dimana yang dihadapi bukan seseorang yang jauh lebih gampang diketahui psikologinya.

Penjelasan tentang aplikasi benci di atas belum hanya berupa gambaran umum dan tidak mencakupi semua bagiannya. Karena ada yang kadang kala memakai cara perang, dan pengrusakan, manakala diperlukan dan sudah difatwai dengan bijak oleh seorang mujtahid yang bersih dari dosa. Hal mana seperti itu memang jarang sekali terjadi. Dan biasanya ketika sudah sangat terpaksa untuk melawan kemungkaran dan kekafiran.


Wassalam.



Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Ammar Dalil Gisting dan 7 lainnya menyukai ini.

Jaid Alfarizi: Akhsantum....Allahumma shalli alaa Muhammad wa alaa Aali Muhammad bihaqqi Aali Muhammad wa ajjil farajahum.

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Ammar Dalil Gisting: Salam. Syukran Ustadz.. Jazakallahu khaeran katsir... Ooh,. Ternyata masih dan masih banyak yang kurang peduli dan mengerti dalam hal Tabarri..?! Pantas saja penyakit sosial bertambah hari bukannya berkurang malah bertambah ‘gila’... 

Ya Rasullah..! Ya Amiril mukminin..! Tolong dan bantulah kami untuk bisa bersikap dan ber akhlak sebagaimana yang kau ajarkan... Ya Rabbiy karuniai hamba ilmu yang bermanfaat.. Ilahi amin.. 


27 Mei 2012 pukul 22:59 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 13): Tentang Shiraatu al-Mustaqiim



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:11



Makna shiraatu al-Mustaqiim itu adalah jalan Islam yang lurus dan tidak memiliki kesalahan sedikitpun. Hal ini dapat dipahami dari dua jalan (setidaknya). Pertama dari kata-katanya, yakni “jalan lurus” dimana kalau ada bengkoknya sekalipun sedikit, jalan itu sudah tidak bisa lagi disebut dengan “jalan lurus”. Dalam logika, pahaman makna dari kata “jalan lurus” itu termasuk pahaman yang sangat mudah (dharuri, necessary knowledge).

Dapat dipahami dari ayatnya itu sendiri bahwa “jalan lurus” itu adalah yang tidak memiliki kesalahan sedikitpun. Karena dalam ayat itu, telah diterangkan adanya tiga sifat untuk “jalan lurus” tersebut:

Jalan orang-orang yang diberi nikmat (dalam ayat lain dikatakan bahwa meraka adalah para nabi, syhid, shalih dan shiddiqin), dan yang tidak dimurka (ghairi al-maghdhub) dan tidak tersesat (wa laa al-dhaalliin). Nah, pada kriteria ke tiga ini, dikatakan sebagai jalan yang tidak tersesat sedikitpun. Artinya tidak salah sedikitpun. Ini adalah arti jalan lurus atau “shiraatu al-mustaqiim” itu.

Tentang hubungannya jalan lurus dengan kenabian, sudah pasti ada hubungannya. Dan bahkan bukan lagi hubungan, tapi dasar dan pondasinya. Artinya, jalan lurus itu justru tidak bisa diambil kecuali dari ajaran Nabi saw, baik yang diterangkan melalui wahyu Qur'an (wahyu yang makna dan susunan katanya dari Tuhan dan berupa kitab suci al-Qur'an), atau baik melalui wahyu selain Qur'an (baik hadits Qudsi, atau seluruh ucapan dan perbuatan Nabi saww. karena seluruhnya itu adalah wahyu Tuhan yang maknanya dari Tuhan dan susunan kalimat atau penyampaiannya diserahkan ke Nabi saww.).

Dengan demikian, maka sudah tentu tanpa Nabi saww. jalan lurus itu tidak akan pernah terwujud. Masalahnya sekarang adalah apa setelah Nabi saww? Kalau tidak ada orang seperti Nabi saww, yang lengkap ilmunya dan benar semua tentang Islam, yakni tidak ada orang maksum (dalam ilmu dan amal) setelah Nabi saww, maka “jalan lurus” itu sudah pasti tidak akan ada.

Jadi, tanpa imam maksum yang ilmunya seratus persen lengkap dan benar, maka jalan lurus itu tidak mungkin ada.

Tentang hubungan jalan lurus dengan pengembangan ilmu, sudah pasti ada hubungannya. Karena jalan lurus itu dari sisi akhlakiahnya. Yakni jalan lurus itu adalah jalan kehidupan. Sementara pengembangan ilmu itu, adalah alat kehidupan. Jadi, dengan alat apapun, Islam tetap seiring denganya. Karena Islam bagian pengarahan hidupnya itu. Kalau dulu orang diharamkan mengganggu orang dan alat mengganggu seperti merusak alat rumah tangganya atau berteriak- teriak di waktu tengah malam (waktu tidur), maka sekarangpun tetap haram mengganggu orang sekalipun alat ganggunya seperti menyebar virus komputer dan seterusnya.

Saya dulu pernah menerangkan tentang Relatif-vertikal, yakni relatif meningkat ke atas yang sama-sama benar.

Di ini juga berlaku dengan dua dalil setidaknya. Nabi saww bersabda bahwa para nabi tidak berbicara dengan umatnya kecuali sesuai dengan kemampuan umatnya.

Nah, di sini sudah tentu di awal-awal islam, karena peradaban teknologi (bukan akhlaki yang cenderung sama dalam setiap generasi) jaman itu jauh di bawah masa sekarang, sudah tentu Nabi saww, menyesuaikan penerapan syariatnya dengan peradaban teknologi yang ada.

Jadi, hukum keharaman menyebar virus komputer waktu itu belum dinyatakan. Tetapi jelas ada dalam Islam, karena Islam adalah agama yang lengkap sampai hari kiamat. Karena itulah dalam Syi’ah tidak diperkenankan adanya qiyas (meminjam hukum pada suatu benda yang ada pada jaman Nabi saww ke atas benda yang tidak ada pada jaman itu tetapi mirip dengannya). Karena kalau kita meyakini Qiyas berarti meyakini akan ketidaklengkapan hukum Islam. Apalagi tidak ada suruhan Qur'an atau hadits yang menyuruh mengqiyas.

Dalam riwayat Ahlulbait as, dikatakan bahwa setiap ayat Qur'an itu memiliki 7 batin, dan masing- masing masih memiliki 7 batin lagi.

Dengan dua mukaddimah itu, maka dapat dipahami bahwa Islam Yang Jalan Lurus-pun memiliki tingkatan kebenaran. Artinya semuanya jalan lurus, tetapi dari sisi tingkatannya tidak sama.

Ketidaksamaan derajat jalan lurus itu, bisa dilihat dari dua sisi:

Dari sisi alatnya, yakni teknologinya, dimana jelas hal ini tidak menentang perkembangan ilmu. Jadi dari sisi kedalaman hukum atau karakternya yang dimunculkan adalah sama, seperti haram mengganggu orang lain. Tetapi dari sisi alatnya yang sudah dikembangkan, jauh berbeda dimana saking jauhnya teknologi yang baru tidak akan bisa dibayangkan dan dipercaya oleh orang masa lalu.

Contohnya, pernah imam Ja’far as berdebat dengan orang kafir yang sok ilmiah yang mengatakan bahwa hujan bukan dari Tuhan, tetapi dari air yang menguap karena panas matahari dan membeku kembali di langit karena dingin. Imam as, setelah menerangkan bahwa semua yang ada dari air, matahari dan hukum alamnya dicipta Tuhan (tidak terjadi dengan sendirinya) dimana dengan itu maka semua itu bisa dan bahkan harus dikatakan dari Tuhan (seperti hujan).

Setelah itu imam as bertanya pada orang itu “coba kamu lihat batu di sampingmu itu, apakah dia diam atau bergerak?”. Orang itu dengan tertawa menghina mengatakan “jelas diam”. Imam as berkata “dia dalam diamnya itu sedang aktif bergerak dan orang-orang di masa datang yang akan membuktikannya”. Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa dari sisi alat hukum syariat, jelas tidak bisa disamakan. Tapi dari sisi hakikat hukumnya, maka Islam tetap sama.

Dari sisi hakikat hukumnya itu sendiri. Di sini, hukum yang dimaksud adalah dari sisi syariat Islamnya secara umum. Apakah ia berupa keilmuan tentang ke-Tuhanan atau adab di hadapan Tuhan. Ilmu ke-Tuhanan, sekalipun sudah dijelaskan dalam Qur’an dan Hadits, tetap saja memiliki peringkat-peringkat. Karena itulah Tuhan mengatakan untuk mengambil yang lebih baik dari wahyu-wahyu yang diturunkanNya (QS: 39: 55).

Atau di sebuat riwayat dikatakan bahwa Allah menurunkan surat Tauhid karena di masa yang akan datang ada orang-orang yang mendalami tentang ke-Tuhanan.

Jadi, disini perkembangan ilmunya terjadi langsung pada syariat islam itu sendiri. Tetapi ingat , ia tetap vertikal, jadi sama-sama benar. Orang yang memahami bahwa “Katakan bahwasannya Allah itu Satu” adalah benar. Dan yang memahami bahwa “Katakan bahwa Dia adalah Allah dan Allah adalah Satu”, juga benar. Dan kedua pahaman itu berbeda jauh bagai langit dan bumi. Tetapi dalam bentuk vertikal. Karena bagi pemahaman pertama maqam tertinggi itu adalah Allah, sementara bagi yang ke dua, Allah itu adalah Asma dan tajalli dari Huwa/Dia. Karena itulah bagi pahaman pertama kata huwa/dia itu diartikan sebagai kata sambung, yakni “bahwasannya dia adalah”, sedang bagi yang ke dua bermakna “Dia” yang tentu sebagai Subyek kalimat pertama, bukan kata sambung. 

Sedang tentang adab di hadapan Tuhan jelas, bisa dilihat perkembangan vertikal dari syariat Islam dalam bentuk-bentuk seperti irfan amali. Kalau di jaman dulu, mungkin jalan yang terlihat hanya beberapa jalan saja, hingga mencapai fana’ misalnya, tetapi kemudian terlihat ada seribu jalan atau bahkan sejuta jalan. Tentu saja semua itu dari Islam dan Qur'an, tetapi orang dulu tidak mampu melihatnya seperti orang kemudian.

Wassalam. 


Eman Sulaeman dan 6 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ