Jumat, 10 Agustus 2018

Bada’, Raj’ah dan Mushhaf Faathimah as



Seri tanya jawab: Mad Joger dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, August 11, 2011 at 3:14am


Mad Joger: Ustadz tolong jelaskan masalah bada’ dan raj’ah..? Apakah mushaf Fatimah itu isinya bisa berubah atau tidak…?

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyannya:

(1). Tentang Bada’ sepertinya saya sudah menjelaskannya dulu. Intinya, adalah perubahan ketentuan Tuhan yang seiring dengan keadaan hambaNya. Misalnya, ketika orang berbuat dosa, maka ia ditetapkan olehNya sebagai pendosa. Tapi ketika orang itu bertaubat, maka ketentuanNya tadi dirubah menjadi taubat dan dihapus dosanya atau bahkan dosanya dirubah menjadi pahala.

Misalnya, ketika seorang berusaha dari jelek ke baik, maka efek-efek jeleknya yang tadinya merupakan ketetapannya akan dirubah menjadi ketentuan-ketentuan lain. Misalnya, bagi pemalas, maka fakir adalah ketentuannya. Jadi, si Fulan yang malas, maka ia pasti miskin (tentu malah yang kondisinya memang ke miskin, bukan malas tapi punya warisan ribuan perusahaan). Tapi ketika ia berubah menjadi rajin dan gigih serta profesional, maka Tuhan- pun akan merubah ketentuanNya kepada kaya dan semacamnya.

Sebenarnya bada’ itu adalah ijin Tuhan terhadap usaha-usaha manusia dan perubahan- perubahannya dari kondisi ke kondisi tertentu dimana bisa melahirkan akibatnya sendiri- sendiri. Jadi, Tuhan tidak pernah menentukan nasib manusia dari awal. Tapi dari kondisi sosial setiap manusia yang lahir dari manusia sebelumnya itu adalah sebagai awal kondisi dia yang akan melahirkan akibatnya sendiri. Jadi, kondisi asal atau fitrahnya setiap orang, ditentukan oleh ikhtiar manusia lain, seperti ayah-ibu dan lingkungan mereka. Misalnya, ayah-ibunya koruptor dan negara Indonesia yang seperti ini, maka si Fulan bayi itu akan terkondisikan oleh ikhtiar yang berupa keadan tersebut.

Jadi, ketentuan awalnya si Fulan bayi tersebut ditentukan oleh ikhtiar orang lain yang memang logis alamis. Jadi, Tuhan mengijinkan si Fulan bayi untuk lahir sesuai dengan ikhtiar kedua orang tuanya. Di sini, Tuhan tidak menentukan si Bayi tadi, tapi hanya mengijinkanNya lahir atas usaha kedua orang tuanya. Inilah yang dikatakan ketentuan awal Tuhan.

Sudah tentu ketika seseorang lahir di keluarga koruptor dan selalu makanan haram rakyat, dan kondisi pergaulan seperti di Indonesia ini yang sudah tidak perlu dibahas lagi dimana pacaran di dalam aktifis Islam saja sudah merupakan hal-hal yang wajar dan tidak aib, maka sudah tentu ia akan menghadapi pemandangan batil.

Ketika si anak mulai dewasa, maka sudah pasti gen, keluarga dan lingkungannya, akan sangat memberikan pengaruhnya yang, bisa dikatakan dengan was-was syethan (jin dan manusia). Nah, kalau dia tidak menggunakan akal gamblangnya dan bahkan mengikuti was- was atau pengaruh itu, maka ketentuan dia sudah pasti ke dalam kesesatan yang nyata. Yaitu memandang bahwa koruptor itu tidak jelek (ini dari sisi ilmunya sebagai akibat dan kesesatan awal yang sangat menentukan berikutannya), pacaran itu tidak jelak. Setelah ilmu yang dia ikuti ini perasaanis dan bukan akilis, maka sudah tentu dia akan meneruskan kepada akibat berikutnya, yaitu melakukannya sendiri.

Semua akibat-akibat dari pilihan yang ikhtiaris (baik dari lingkungan atau diri sendiri) itulah yang dikatakan ketentuan Tuhan yang, seberarnya adalah ijin Tuhan.

Jalan naturalis, baik individualis atau sosialis itulah yang dikatakan ketentuan awal. Alias jalan normal.

Namun demikian, ketika si anak tadi melakukan perubahan, ia mulai mengikuti akal gam- blangnya dan meninggalkan perasaannya atau akal yang bercampur perasaannya, dan memulai dengan usaha-usaha yang bersifat pilihan-pilihan ikhtiari yang lain yang lebih baik atau mutlak baik, maka sudah tentu akan melahirkan ketentuan lain yang juga lebih baik.

Nah, perubahan dari rel pertama ke rel kedua itulah yang dikatakan bada’ atau Perubahan Ketentuan Tuhan. Tentu saja, masih banyak lagi bentuk bada’, seperti perubahan perintah Tuhan kepada nabi Ibrahim as dari perintah menyembelih anak ke kambing ...dan seterusnya. dimana penjelasannya banyak sekali, seperti untuk ujian dan sebagainya. Yang jelas, kalau bada’ terjadi pada makhluk, biasanya tanpa disertai pengetahuan sebelumnya. Akan tetapi bada’ Tuhan tentu saja disertai pengetahuan sebalumnya dan bahakn sebelum alam ini dicipta.Namun, ruh dari ajaran bada’ ini sebenarnya ingin memberikan optimisme kepada manusia (yang gagal dan berdosa) agar hendaknya tidak pernah berputus asa atas Rahmat Tuhan dan, dari satu sisi yang lain (bg yang sukses dan taat) untuk tidak berlaku sombong dan terlalu percaya diri (hingga selalu hati2). Semua itu karena semuanya bisa terjadi perubahan. Tapi perubahan yang dirubahNya, melainkan perubahan yang kita lakukan sendiri.

Kesimpulan: Ajaran bada’ ini sebenarnya pengumuman Tuhan tentang luasnya kebebasan seorang hamba dalam memilih rel-rel kehidupannya, dan luasnya kesempatan yang dibe- rikanNya untuk melakukan perubahan dan taubatan nashuuha.

(2). Kalau Raj’ah saya sudah menulisnya sebelum ini, Intinya adalah dibangkitkannya beberapa orang setelah matinya di dunia ini di masa imam Mahdi as keluar nanti. Dan raj’ah ini sudah sering terjadi di jaman terdahulu, seperti shahibulkaafi, seorang shalih dengan himarnya, umat nabi Musa as yang 40 orang, ada lagi umat beliau as yang dihidupkan dengan pukulan daging sapi yang disembelih atas perintah Tuhan itu, ada lagi kejadian penghidupan orang mati ini di jaman nabi Isa as yang memang mu’jizat beliau as dimana bahkan anak nabi Nuh as pun pernah dihidupkannya dari kuburan yang sudah ratusan atau ribuan tahun.

(3). Kalau mushhaf Faathimah as itu adalah suatu buku yang berisi catatan-catatan ilmu yang ditulis oleh imam Ali as dengan diktean Hdh Faathimah as ketika sakitnya sebelum beliau syahid dimana tulisan tersebut dimaksudkan oleh beliau sebagai ilmu yang akan diwariskan kepada putra-putra beliau yang makshum as (para imam as). Jadi, buku itu selalu ada di tangan para imam as sampai detik hari ini. Yaitu berada di tangan imam Mahdi as. Karena itu, maka jelas tidak akan mengalami perubahan.

Wassalam.

Hidayatul Ilahi and 14 others like this.

Haladap Saw: Salam ustadz izin share.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentnya (tapi sek sijhi = masih satu). 

Sinar Agama: Haura: ok, monggo saja. Seingat saya dulu juga sudah pernah kutulis tentang Bada’ itu. Entahlah. Sepertinya sih ada di catatan-catatanku.

Haladap Saw: terimakasih ustadz. Ya, ada di catatan di mekarsari 

Haladap Saw: Terlalu banyak catatan sampai lupa ya Ustadz.

Sinar Agama: Haura: Salah satu syukurku padaNya adalah taufik menulis catatan-catatan ini. Walau kulupa sudah judul-judulnya, tapi ia ada dalam sejarah kita ini dan bisa dicari ulang. Yang terlengkap di Group Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama yang diolah oleh Anggelia yang sekarang sudah lebih dari 170-an catatan. Tapi ada katalognya dan tinggal cari dan pencet (eh klik), maka keluar deh tulisannya. Jangan lupa doakanku, supaya yang kutulis itu tidak ngawur dan ada di jalanNya dengan dasar argumentasi gamblang. Masykuriinn.

Haladap Saw: Iya, ane tadi baca afwan tadi ana minta izin save, boleh ya , syukran sangat membantu sekali untuk belajar mengenal dari yang terkecil hingga yang tak berujung, yang fakir seperti ana ini, syukran ustadz.

Sinar Agama: Haura: Semua tulisanku di fb ini boleh dipakai untuk apa saja dan dengan cara apa saja, asal untuk kebaikan dan bukan bisnis. Tapi untuk yang ”Suluk Ilallah” tidak boleh ikut menyebarkannya. 

August 11, 2011 at 6:18am · Like


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 07 Agustus 2018

Wahdatul Wujud Dalam Pandangan Filsafat Mulla Shadra ra, Masysyaa’ dan Irfan




Seri diskusi ulangan materi lalu, Giri S - Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, August 9, 2011 at 6:03 am



Giri Sumedang: Kak Sinar maaf ganggu lagi nich..he he he.
Giri masih rancu dengan relasi iluminasi yang kaitannya dengan pluralitas wujud... 

Bukankah yang banyak ini tidak bisa kita nafikan.. bahwa Dia yang ADA adalah ADA, dan ADA cuma sendirian (esa,satu, tidak terangkap, tidak berbilang, murni, sebab dari segala sebab, kausa prima, substansi, hakiki, niscaya, dan lain-lain sebutan dan macam istilah) bisa dipandang dalam 2 hal yaitu imanen dan transenden sekaligus.. intinya bagaimana yang banyak ini juga bisa dipandang sebagai yang satu. Mohon maaf kalau pertanyaannnya salah he dan terimakasih ya kak atas jawabnnya.

Siti Handayatini, Roni Astar, dan Giri Sumedang menyukai ini.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Saya sebenarnya sudah banyak menulis tentang hal-hal yang mirip dengan pertanyaanmu ini. Yaitu tentang wahdatulwujud yang sudah terdiri dari 14 bagian. Coba saja kamu rujuk ke sana dan telateni apa-apa yang ada di sana.

Ringkasannya: Pandangan terhadap wujud itu bisa dilihat dengan kacamata filsafat yang menetapkan adanya ada/wujud yang banyak. Tapi bisa dilihat dengan kacamata irfan yang mengatakan wujud itu hanya satu.

Kalau di filsafat, wujud yang satu itu memang satu, tapi bergradasi. Yaitu perbedaannya kembali ke persamaannya, yaitu wujud itu sendiri. Jadi, maksud gradasi adalah wujud yang bertingkat yang dibedakan dari sisi wujudnya, bukan esensinya. 


Tapi kalau dilihat dari Irfan, maka wujud itu memang hanya satu dan yang terlihat banyak ini hanyalah esensi saja. Dan esensi itu terdiri dari substansi dan aksidental. 

Koreksi terhadap tulisanmu: Tuhan tidak dikatakan substansi, karena substansi itu adalah esensi. Dan esensi itu adalah batasan. Sementara Tuhan adalah wujud yang tidak terbatas. Karena itu tidak memiliki esensi baik substansi apalagi aksidental.

Giri Sumedang: Maaf kak Sinar.. maksud Giri ya substansi hakiki he.., itupun kalau berkenan kak Sinar dengan istilah yang Giri pakai. Tapi ngomong-ngomong tentang relasi iluminasi antar keberadaanNYA sendiri bagaimana kak.. mohon penjelasannya.. makasih kak he.

Sinar Agama: Substansi hakiki kek atau tidak, maka tidak bisa dikatakan pada Tuhan. Saya belum paham pertanyaanmu misalnya ”antar keberadaanNya sendiri”.... 

Giri Sumedang: Oo begitu ya kak.. tapi kan kak subtansi itu tidak membutuhkan partner untuk disebut sebagai keberadaan.. jadi itu tidak pas ya kak dijadikan istilah untuk Tuhan?? Giri baru mengerti sekarang.

Giri Sumedang: Oo maksud Giri.. keberadaan ini kan pada hakekatnya satu (dari sisi irfan kata kakak ya kan).. tapi kita sebagai manusia pembahas dalam hal ini sebagai subyek yang mengesensikan keberadaan di luar dirinya kan melihat bahwa seakan-akan ada banyak keberadaan dalam peran- peran yang berbeda tentu itu semua sebagai kehadiranNYA yang berupa manifestasi, rupa-rupa, tajalliyah, dan lain-lain.. nah kak bagaimana kita ’’menganggap” bahwa manusia sebagai subyek yang mengesensikan sesuatu di luar keberadaan dirinya itu melihat bahwa semua keberadaan itu adalah satu.. mohon pencerahannya ya kak he terimakasih.

Sinar Agama: Ok, Sebenarnya kalau kamu mau berlelah menelusurinya di catatan wahdatul wujudku itu sudah bisa dijawab. Ringkasnya: 

1. Jawaban filsafat Mulla Shadra ra yang tidak meyakini adanya satu wujud “endil” (saja/hanya), tapi meyakini satu wujud yang bermakna satu yang masih memiliki banyak yang banyaknya ini bukan esensi (seperti manusia, kucing, pohon,air ..dll) tapi juga wujud yang perbedaannya kembali kepada persamaannya, yaitu wujud itu sendiri (inilah makna gradasi wujud), sebagai berikut: 

Wujud yang sebelumnya, seperti Tuhan atau Akal-satu, atau Akal-akhir atau makhluk-Barzakh, atau bumi (terhadap nabi Adam as, pohon dll) atau mani terhadap speciesnya sendiri- sendiri, atau air terhadap hujan ....dan seterusnya itu, adalah sebab bagi wujud berikutannya tersebut. Dan yang disebabkan itu adalah wujudnya, bukan esensinya. Jadi, semua wujud- wujud itu terikat dengan jaringan sebab akibat. 

Jaringan sebab-akibat itu adalah hakiki. Yakni tidak dibuat-buat seperti benda-benda produksi. Sebab itu adalah pesujud hakiki bagi akibatnya. 

Sebab itu mewujudkan akibat dengan dirinya, bukan dengan yang lainnya. Karena sebab dalam filsafat adalah ia sebagai pewujud (memang ada yang hakiki seperti Tuhan, dan ada juga yang perantara seperti selainNya). 

Dengan begitu maka semua akibat itu adalah pewujudan lain dari sebabnya masing-masing. Ini makna Tajalli dalam filsafat. Jadi, semua akibat adalah tajalli dari sebabnya. Yakni bentuk lain dari sebabnya. 

Nah, ketika semua wujud akibat itu adalah tajalli atau pewujudan lain dari sebabnya, dan, semua sebab-sebab perantara itu juga memiliki sebab hakiki yang kembali kepadaNya, maka semua wujud-wujud selainNya itu berarti tajalliNya. 

Dengan demikian semua wujud itu adalah DiriNya. Tapi bisa dilihat dari masing-masing wujud selainNya itu sendiri yang, dalam hal ini menjadi bukan WujudNya. Jadi, satu wujud selainNya bisa dilihat sebgai WujudNya, yaitu ketika dilihat sebagai wujud yang tenggelam dalam WujudNya karena wujudnya adalah PeWujudanNya atau peWujudan manifestasiNya. Tapi bisa dilihat sebagai wujud selainNya, yaitu ketika dilihatnya mandiri dari DiriNya.

2. Jawaban filsafat selain Mulla Shadra ra yang meyakini satunya wujud hanya dalam makna tapi memiliki banyak aplikasi dalam bentuk esensi-esensi, sebagai berikut: 

Hampir sama dengan di atas. Bedanya hanya di letak wujud selainNya itu. Karena wujud selainNya itu adalah keberadaan esensi. Jadi, esensinya itu menonjol dan tidak ditiadakan. Karena itu, keterikatan mata rantai sebab-akibat itu terjadi pada wujud esensi, bukan wujud ansikh/murni. Karena itu, sebagaimana wujud-wujud itu terikat, maka esensi-esensi itu juga terikat. 

Jadi, semua wujud dan esensi itu semuanya bergantung pada sebab hakikinya yang mana itu adalah WujudNya saja. Karena sebab-sebab selainNya itu masih memilki sebab keberadaan juga dimana pada akhirnya berakhir padaNya. 

Jadi, dalam pandangan ini, yang satu itu adalah makna wujudNya, yaitu ”Sesuatu yang memiliki efek -aktif atau pasif”. Tapi banyaknya yang terlihat kita itu adalah esensi-esensi tersebut. 

Kalau di pandangan pertama tadi, satu dan banyaknya itu tetap hanya terjadi pada wujud saja. Karena, bagi filsafat Mulla Shadra, esensi tidak pernah wujud. Dan ini tidak akan bisa dipahami kecuali benar-benar filsafat lama sekali. Dan, yang sudah lama sekalipun dan sudah allamah sekalipun kadang masih tetap tidak memahaminya seperti hujjatul Islam Fayyaadhi (allamah muda. muda bukan dibawah 30 th, tapi tidak senior maksudnya). Karena itu beliau (Fayyaadhi hf) ini mengira bahwa Mulla Shadra memaksudkan wujud disini juga esensi. Karena itu ia memiliki pandangan Ishaalatu Kilaihima. Yakni bahwa wujud itu esensi itu sendiri dan begitu pula sebaliknya. 

Tapi kalau di pandangan ke dua ini mudah dicerna. Karena yang satu itu adalah wujud, yakni pahaman wujudnya, dan yang banyak itu adalah esensinya. Sedang di pandangan pertama, yang satu itu adalah wujud dan yang banyak itu juga wujud.Jadi pandangan ke dua ini, sudah bisa melihat wujud itu tanpa adanya gangguan esensi. 

Tapi ingat, bahwa wujud itu sama sekali tidak terbentuk, tidak berwarna dan seterusnya karena kalau masih memiliki itu semua berarti ia adalah esensi. Karena itu penglihatan kepada wujud itu bukan penglihatan mata, tapi akal. 

Oh iya, nambahi disni bahwa esensi itu adalah batasan wujud. Seperti manusia dimana ia pasti memiliki wujud (walau wujudnya itu tidak terlihat) dan pasti juga memiliki batasannya, yaitu manusia itu sendiri dimana ia bukan pohon, air, kucing, batu ..dll. Nah, bagi filsafat pertama di atas, esensi-esensi ini sudah terlihat akal mereka karena memang tidak ada (dalilnya tidak bisa dipecahkan disini). Tapi bagi filsafat ke dua, masih terlihat dan justru dia yang terlihat. Yakni wujudnya tidak terlihat tapi batasannya atau esensinya itu yang terlihat. 

Tapi ingat, di filsafat pertama melihatnya pakai akal dan tidak mengandalkan mata, tapi di filsafat ke dua sebaliknya.

3. Jawaban Irfan yang hanya meyakini bahwa wujud itu hanya satu dan dia hanyalah Tuhan, sebagai berikut: 

Ketika wujud itu hanya satu (argumentnya lihat di wahdarulwujudku itu), maka selainNya ini, hanya esensi. Dan esensi-esensi ini tidak wujud dan bukan wujud. Dia hanyalah sesuatu yang bergelantungan pada wujud. Dan karena ia bergelantungan pada wujud, maka esensi-esensi itu banyak tapi wujudnya satu. 

Tapi ingat bahwa esensi-esensi yang banyak itu hanyalah dalam maya, karena ia bukan wujud itu sendiri. Jadi, dia hanya seperti ada, tapi bukan ada. 

Namun demikian, esensi-esensi yang maya itu, bagi kita, dapat mengantarkan akal kita kepada wujud itu. Artinya, dengan melihat maya-maya tadi, kita bisa memahami bahwa ada itu benar-benar ada. 

Karena itulah maka esensi-esensi maya itu disebut dengan Tajalli Wujud; Cermin Wujud; Wajah Wujud; Bayang Wujud; Cerita Wujud; Nama Wujud; ....dan seterusnya. 

Penutup: Semua itu adalah jawaban soalanmu yang bisa menelorkan soalan yang lain. Setidaknya dalil dan argumentasi dari semua pandangan di atas. Yakni dalil kebenaran dakwaan masing-masing pandangannya sebelum menjawab pertanyaanmu tentang keruwetan satu dan banyak itu. 

Nah, untuk mengetahui semuanya, maka bisa merujuk ke kitab-kitab filsafat dan Irfan, tapi bisa juga merujuk ke catatan-catatanku tentang wahdatu)al-wujud itu yang sudah terdiri dari 14 bagian.

Giri Sumedang: Ya kak makasih .. gamblang sekali jawabannya. Wassalam. 

Alia Yaman and 9 others like this.

Danesh: Kenapa ya ustadz... saya suka pusing kalau baca masalah irfan... apa akal saya tidak sampai ya? 

Sinar Agama: Irfan itu tidak wajib diketahui. Akidah dan fikih itu yang wajib. Tidak usah gelisah. 

August 9, 2011 at 7:40am · Like · 2




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wilayatulfakih Dalam Diskusi Lagi






Seri tanya-jawab: Giri Sumedang dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, August 9, 2011 at 5:42 am


Giri Sumedang: Salam kak sinar.. aku mau nanya...semalam aku bertemu orang yang dari Qum dan telah belajar di sana selama hampir 6 tahun. Dia bilang bahwa dalil atau hadits tentang wilayah alfaqih itu tidak ada. Yang ada hanya dalil akal saja (atau asholatul ishlah atau kemendasaran pada mashlahat) padahal kan ada ”man kana minal fuqoha, shoinan linafsihi, hafidzon lidinihi, falil awam anyuqoliduhu”.. ini bagaimana ya kak penjelasannya? 

Widodo Abu Zaki, Siti Handayatini, Teratai Di Rawa Pasee dan 7 lainnya menyukai ini.

Sinar Agama: Kalau masalahnya akidah, maka dengan dalil akal yang gamblang karena memang tidak boleh taqlid. Tapi kalau tentang fikih maka dalilnya adalah fatwa. Dan pemahaman fatwanya, juga dengan dalil ’uruf dan akliah yang gamblang.

Giri Sumedang: Ya kak makasih... dalam beberapa hal sih giri nyambung banget gitu lho ama kak sinar secara eksistensial apa-apa yang telah kakak paparkan. Makasih ya kak.

Sinar Agama: Dalam hadits yang kamu bawa itu, yang mengatakan bahwa imam Mahdi as, mewajibkan kita mengikuti mujtahid yang menjaga diri dari maksiat, melakukan taat dan tidak serakah kepada dunia, sangat cukup untuk membuktikan bahwa ketaatan pada marja’ itu tidak hanya dalam hal-hal najis, wudhu, mandi, shalat dan puasa atau hal-hal lainnya dari ibadah- ibadah sehari-hari.

Tidak hanya itu saja. Tapi imam Mahdi as mengatakan ”fa lil’awam an yuqalliduhu”, disini tidak ada pembatasan kepada ibadah-ibadah pribadi.


Karena itu, yang membatasinya itu benar-benar memang belum menguasai dalil-dalil fikih. Dan, di hauzah, memang dengan beberapa tahun saja tidak akan mengerti dalil-dalil ini. Karena memang belum sampai.

Nah, kata-kata imam Mahdi as yang mengatakan ”maka bagi orang awam harus menaqlidinya -mujtahid”, tidak ada pembatasan kepada ibadah-ibadah pribadi. Akan tetapi ”muthlaq” (mut- lak), dalam istilah ushulfiqih. Yakni mutlak dan meliputi semuanya. Karena itu, selama tidak dikondisikan oleh hadits shahih lainnya yang membatasinya, maka ia harus diterima sebagai yang mutlak dan mencakup. Karena itu, maka hadits tersebut mencakupi seluruh ketaatan dalam masalah-masalah pribadi, keluarga, sosial, politik, ekonomi, kenegaraan dan dunia. Walhasil meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Dan hal seperti ini, merupakan hal yang sangat jelas bagi semua atau mayoritas ulama Syi’ah.

Giri Sumedang: Apakah ada referensi dari ayatullah atau setingkat marja’ dengan apa yang telah kakak katakan, sebab kalau ini diungkapkan pada dia.. dia akan ngomong apa dasarnya? Siapa yang ngomong? Marja’ atau bukan? Kalau bukan marja’ maka tidak wajib kita ikuti, begitu kak pernyataannya. Lucu sih kak orangnya.. jauh-jauh ke Qum eh malah begitu statemennya..he.

Sinar Agama: Uwwah ... kalau ditambah lagi dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa siapa yang menghukum tidak dengan hukum Tuhan maka ia telah kafir, taat pada pemimpin (yang juga mutlak), menegakkan keadilan agama dalam segala sisi kehidupan, ................. dan seterusnya, maka hadits itu akan sangat gamblang dan mudah dipahami tentang keumumannya itu. 

Uwwah ... kalau ditambah lagi dengan hadits-hadits yang mengatakan bahwa kalau ada dua orang saja diantara kalian harus ada satu yang menjadi imam, maka hadits dari imam Mahdi as itu, sangat mudah dipahami.

Kalau dia mengatakan seperti itu, yakni dari siapa, marja’ atau bukan, maka balas juga kamu tanya pada dia. Bahwa yang kamu katakan, yakni bahwa hadits imam Mahdi as itu hanya untuk ibadah- ibadah pribadi dan tidak mencakupi semua ketaatan, maka yang kamu katakan itu dari mana? Dari marja’ atau dari kamu? Kalau dari kamu yah ... berarti tidak harus didengarkan. Kalau dari marja” maka tanyakan marja’ siapa dan di dalam kitab apa?

Giri Sumedang: Ya kak dia kan ustadz.. jadi Giri masih punya adab mau berkata seperti itu.. he.

Sinar Agama: Itu untuk debatannya. Yakni dengan mengembalikan masalah kepadanya. Dan untuk penjelasannya, maka sudah cukup apa yang ditulis oleh para marja’ dalm semua kitab fikihnya. Karena semua marja’ menulis hukum-hukum fikih itu dari masalah-masalah pribadi ke masalah-masalah negara dan politik. Artinya, banyak hal yang difatwai itu yang tidak bisa dilaksanakan kecuali kalau memiliki negara Islam. Seperti hukum qishash, hukum cambuk, ...dan seterusnya. Nah, dengan adanya fatwa-fatwa itu, maka sudah jelas apa yang dimaksudkan hadits imam Mahdi as di atas itu.

Yang ke dua, banyak sekali kitab tentang wilayatulfaqih ini. Yang sudah di Indonesiakan sudah ada, yaitu alhukumah al-Islamiyyah karya imam Khumaini ra. Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang ada bahkan yang berjilid-jilid hanya menerangkan tentang wilayatulfakih ini seperti karya Muntazhiri. Ada lagi karya ayatullah Jawadi Omuli hf...dan lain-lainnya.

Giri Sumedang: Oo begitu ya kak.. wah Giri kayaknya harus baca kitab itu.

Sinar Agama: Terkahir, katakan ke ustadznya itu, bahwa dalil taat yang ada di hadits imam Mahdi as di atas itu adalah mutlak. Trus antum menkondisikannya, atau mentaqyidnya, dengan dalil apa? Pertanyaan ini kelihatan lebih sopan.

Giri Sumedang: Giri sudah sampaikan kitab dari Javadi Amoli.. eh dia mengatakan saya tidak tahu.. karena saya belum baca.. lucu sih kak orangnya he.

Sinar Agama: Kitab itu seingat saya terbitan Cahaya.

Giri Sumedang: Dia bilang karena Javadi Amoli bukanlah seorang maroji’... he.

Sinar Agama: Lah .. kalau dia tidak tahu, kok bisa menkondisikan hadits mutlak tadi???? Ya ampun ngawur banget dia itu he he he ...ayatullah Jawadi hf itu sudah lama jadi marja’.

Dan yang ingin taqlid kepada beliau, beliau menyuruhnya merujuk kepada fatwa-fatwa Imam Khumaini ra.

Giri Sumedang: Dia asal saja mengatakan bahwa kesepakatan seluruh ulama Iran bahwa hadits itu tidak untuk dijadikan dasar adanya wilayatul faqih.

Sinar Agama: he he ... kesepakatan dimana? Tanya saja dimana ada kata sepakat itu?

Giri Sumedang: Jadi dia ustadz yang tergolong ngawur ya kak?

Sinar Agama: iyalah pasti ... tentu saja dalam hal ini, tapi dalam hal-hal lain mungkin tidak. Dan ketahuilah, bahwa 5-6 tahun di Qom itu memang tidak akan mengerti hal ini. Memang belum dipelajari fikih berdalil yang agak tinggi. Baru dasar-dasarnya saja. Apalagi kalau jurusannya bukan fikih atau ushulfikih, maka sangat mungkin memang tidak akan mempelajarinya.

Giri Sumedang: ooo begitu.. he memang sih kak tidak semuanya dia ngawur.. maaf perkataan Giri tadi.

Sinar Agama: Nah, itu dia, belajarlah ke siapa saja, tapi dengan dalil yang gamblang. Memang belajar ke yang lebih ahli tentu lebih afdhal. Tapi kalau tidak ada, yah .... apa mau dikata. Tapi asal dengan dalil gamblang tadi.

Hormat sih boleh tetap, karena demi menjaga tatanan sosial. Tapi berdiskusi dengan ustadz itu harus dibiasakan karena tidak terhitung kurang ajar di hadapan Islam.

Giri Sumedang: Terus kak, dia nanya apakah ada wilayatul faqih sebelum imam Khumaini ra? Wilayatul faqih itu secara konsep betul harus ada tapi orangnya tidak wajib ada.. itu kata dia kak? Jadi Giri semakin aneh aja ngelihat cara berpikir dia kak he. Dia bilang konsep nabi dan rosul itu harus ada tetapi nabi dan rosulnya boleh tidak ada gitu katanya kak..he.

Sinar Agama: He he he he ketika konsep wilayatul fakih itu ada, maka ini yang menjadi ukuran bagi kita untuk diikuti. Bukan ada tidaknya orangnya. Ini yang pertama

Yang ke dua: ketidak adaan wilyatul fakih sebelum imam Khumaini ra itu, dikarenakan tidak adanya umat yang menerimanya hingga melakukan revolusi dan mendirikan negara Islam. 



Persis seperti imam-imam makshum as sebelum imam Mahdi as. Apakah karena mereka tidak memegang tampuk pemerintahan, lalu konsep imamah itu kita ingkari dan orangnya juga kita ingkari? Kan malah wilayatulfakih itu masalah negara. Artinya, tidak hanya berdiri dengan satu tiang yang namanya pemimpin, baik makshum as atau wilyatulfakih? Tapi berdiri dengan dua tiang dimana yang satunya lagi adalah umat? 



Nah, di umat ini, jangankan wilayatulfakih, imam makshum as saja tidak diikuti hingga membuat negara? Lah ... imam Mahdi as itu untuk apa ghaib kalau diikuti umat dan bisa mendirikan negara di dunia ini? Lah ... apakah kalau para imam makshum as itu tidak menegakkan negara. Begitu pula para nabi-nabi sebelumnya, atau para wilyatulfakih itu juga tidak menegakkan negara, lalu konsepnya salah dan orangnya yang nabi, yang imam makshum atau yang fakih itu, juga tidak ada?

Giri Sumedang: Giri sih paham kak.. tapi ustadz itu tetep mengatakan bahwa wilayatul faqih boleh tidak diikuti dan tidak menjadikan kita kafir atau keluar dari keimanan kita kak, begitu katanya he 

Sinar Agama: Nah, dari para nabi itu hanya segelintir yang sempat mendirikan negara, misalnya nabi Sulaiman as, nabi Muhammad as, nabi Yusuf as, dan beberapa nabi lainnya. Begitu pula para imam makshum, hanya imam Ali dan imam Hasan yang sempat mendirikan negara. Begitu pula para mujtahid, yang katakanlah hanya imam Khumaini ra yang sempat mendirikan negara. Lah .... apakah mereka itu terus diingkari konsep kebenarannya dan keberadaannya?????? 



Kan tidak???? Karena punya negara atau tidak itu tergantung kepada umat yang mau mendukung atau tidaknya. Kalau didukung, maka berdirilah negara. 



Tambahan: Konsep wilayatul fakih ini terkadang bisa dicuatkanwalau tidak ada negaranya. Seperti ayatullah Syirazi yang mengharamkan rokok kepada seluruh umat dan bahkan marja’-marja’ketika petani tembakau Iran dizhalimi Inggris sebelum adanya negara Islam di Iran.

Giri Sumedang: Setuju kak.. ini baru kakak ku he. 

Sinar Agama: Nah, itu salah satu bukti dari adanya konsep wilayatulfakih dan adanya orangnya juga, yaitu para mujtahid tersebut. Tentu saja, yang menjadi wilayatulfakih hingga bisa membuat para marja’pun taat itu adalah yang a’lam. 



Giri Sumedang: Wah sangat mencerahkan sekali kak..he..kayaknya mendingan kakak aja dech yang jadi ustadz giri he..bercanda kak maaf he. 



Sinar Agama: he he he ... nggak apa-apa kalau kamu mau jadi murid he he he ... 



Widodo Abu Zaki: Pemikiran seperti ini makin banyak di Indonesia. Ternyata sudah merasuk kemana-mana ya? Padahal menunggu Imam Mahdi lebih baik aktif apa pasif pasti semua menjawab aktif. Tidak bakalan ada yang berani jawab pasif. Dengan pasif instrument hukum kan libur. Anehnya banyak yang ikut. Maaf ustadz saya ikut nyela, habisnya gerah dengan hal-hal seperti ini, kalau tidak karena Revolusi Islam dan Imam Khomeinii Mustahil ana syiah. 

Giri Sumedang: Hai kak Zaki apa kabar?? Ya begitulah kak.. eh tapi kak, biasanya yang punya ide juga harus ikut bertanggung jawab lho.. he maksudnya ikut membangun dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara ini..cek ila.. ambil sistem yang ada dimana kakak gelutin saat ini.. hatta itu cuma peran di yayasan pendidikan ya kan kak he....

Sinar Agama: Abu: Benar yang antum katakan, benar ... semoga antum selalu dalam bayang sang imam besar revolusi itu... 

Sinar Agama: Giri: benar begitu, asal tidak menolak yang keseluruhannya. Jadi, walau aktif kayak apapun seperti di pendidikan (yang memang hanya seperti ini yang digeluti mereka-mereka itu), tapi kalau menolak yang universal (seperti menolak berjuang mencerahkan dan menegakkan hukum-hukum Islam tanpa paksa), maka semua itu bisa tidak berguna. Bagaimana bisa berguna, kalau kamu mengajar di sekolah yang disampingnya muslimat-muslimat diperkosa zionist, atau di sampingnya banyak bangkai muslimin yang dibunuh zionist, atau di sebelahnya banyak perumahan-perumahan muslim digusur zionist, atau di sampingnya banyak kezhaliman yang berlaku ke atas muslimin dan muslimat .... dan seterusnya??????!!!!! 



Wassalam.







اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 06 Agustus 2018

Bunga Bank dan Penyalurannya




Seri Tanya-Jawab: Yetty Fathimah dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, August 9, 2011 at 5:23 am


Yetty Fathimah: Salam ustadz...Saya pernah membaca di salah stu catatan ustadz, bahwa bunga bank adalah riba. Apakah itu untuk bank konvensional, bagaimana dengan bank syariah? 

Yetty Fathimah: Apabila kita memiliki rekening di bank untuk keperluan usaha yang otomatis akan mendapatkan bunga, bagaimana kita harus menggunakannya? Apakah bisa untuk dipakai shodaqoh? Dan bagaimana cara yang aman untuk menyimpan sedikit uang kita.. Mohon pen- jelasannya ustadz.. Terimakasih... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Bank apapun yang memberikan bunga simpanan, maka itu adalah riba dan haram. 

Cara menyalurkan bunga adalah dengan memberikannya kepada orang Syi’ah yang fakir (tidak punya belanja -dapur- untuk setahun baik tunai atau kerja tetap yang cukup) atau miskin (yang tidak punya belanja dapur walau hanya esok harinya). 

Herlina Binduni: Sehubungan dengan bunga bank ya ustadz, kan kita semua tau bahwa bank itu memutar duitnya untuk dipinjamkan ke orang lain yang mungkin melakukan suatu usaha, minjam buat modal. Dari situ, orang yang minjam duit itu untung lalu bank dapat fee. Karena bank dapat fee, orang yang naruh duit di bank juga akhirnya dikasih fee. Dan sebenarnya juga tidak gede’’ banget, paling 2% fee-nya. Beda dengan yang rentenir yang meminta fee hingga 10% per bulan. Apakah ini masih masuk kategori riba? Apa bedanya dengan pembagian hasil usaha seperti yang dilakukan bank syariah? Lalu apa hukumnya jika kita melakukan kredit motor? Terimakasih. 

Sinar Agama: Herlina: riba itu tetap riba walau sedikit. Dalam hadits dikatakan riba itu memiliki 70 macam. Dosa paling kecilnya, sama dengan zina dengan ibunya di dalam Ka’bah. Bagi hasil itu adalah kalau rugi, maka modal tidak harus kembali. Beda dengan pinjam bank yang harus bayar baik rugi atau tidak dan harus dengan bunganya. Beli barang dengan kredit itu tidak haram.

Yetty Fathimah: Ustadz.. Afwan... Bolehkan kita ngasih shodaqoh kita pada keluarga Non syiah, karena mereka juga sama-sama membutuhkan?

Sinar Agama: Yetty: Shadaqah itu kepada siapa saja boleh. Tapi uang haram yang tidak ketahuan pemiliknya (seperti uang riba itu), bukan hak kita hingga bisa diberikan kepada siapa saja. Jadi, harus diberikan kepada orang Syi’ah yang fakir atau miskin. 

Uang haram yang tidak ketahuan pemiliknya itu adalah hak orang Syi’ah yang fakir atau miskin, jadi bukan hak kita lagi. Hal ini seperti zakat, khumus yang memang bukan milik kita lagi dan sudah merupakan hak orang lain atau penyaluran yang sudah diatur agama. 

Wassalam. 

Besse Tanra Wajo: Alhamdulillah, saya dapat pelajaran malam ini lagi lagi. Syukran Ustadz.

Sinar Agama: Besse: syukur padaNya kalau bermamfaat... 

Fatimah Sekar Langit: Kalau di Iran praktek Bank itu seperti bagaimana ustadz...?

Sinar Agama: Fatimah: Sudah tentu tidak pakai riba. Karena itu orang menabung juga tidak mendapat apa-apa, hanya pahala yang dipromosikan di Televisi-televisi. Yakni pahala dari orang yang meminjam ke bank yang tidak dipungut bunga. Tapi tentu saja bisnisnya canggih dan maju banget. Karena itu kalau kamu taruh uang di bank bukan sebagai tabungan, tapi sebagai deposit, maka hasilnya cukup besar dan halal. Kalau nasabah yang lima tahun, maka keuntungan tiap tahunnya adalah 32% dan untuk lima tahunnya adalah 160% bahkan ada yang memberi keuntungan 40% setahunnya hingga keuntungan dalam lima tahunnya itu menjadi 200%.

Cut Yuli: Wah luar biasa sistem syariah di sana... Terimakasih Ustadz, sangat informatif. 

Ummu Azizah: Kenapa Indonesia tidak mau belajar dari Iran ya? 

Sinar Agama: Cut: Ok sama-sama. 

Sinar Agama: Nahlah: Indonesia sudah pasti tidak akan mau belajar, karena sebelum ke sana harus banyak mengorbankan dunianya, seperti sistem barat, maksiat, korupsi, cinta diri dan golongan sendiri ......dan seterusnya. 

August 11, 2011 at 2:56am · Like · 3


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 05 Agustus 2018

Biografi Singkat Kutubu al-Arba’ah (4 Kitab hadits Syi’ah)





Seri Tanya-Jawab: Bintang Ali dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, August 9, 2011 at 5:16am

Bintang Ali: Salam ustadz, saya pingin tanya soal biografi 4 kitab hadis utama syiah dan pengarangnya, lalu dimana saya bisa dapatkan? Syukron. 

Agoest D. Irawan: menyukai ini. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaananya, semoga memang diperlukan: 

1. Al-Kaafii, karya Kulainii. Ditulis di jaman Ghaib Kecil (Shughraa). Haditsnya yang tidak diulang terdiri dari 15.176 hadits. Dan dengan pengulangannya terdiri dari 16.199 hadits. Jumlah ini melebihi seluruh 6 kitab shahih Sunni kalau dihilangkan pengulangannya. 

Kitab itu ditulis dalam waktu 20 tahun lamanya. Ia merupakan kitab hadits terpenting di Syi’ah dan dihormati. Sudah tentu bukan berarti harus menerima semuanya. Karena itu harus dipelajari juga dengan ilmu-ilmu Rijal. Tapi bagi saya pribadi, ia merupakan kitab yang sudah tidak perlu dilihat dengan ilmu apapun, termasuk ilmu Rijal. Jadi, bagi saya sudah shahih semua. 



Tapi ingat, bukan berarti hadits shahih itu harus diambil semua. Karena yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang bisa dijadikan sandaran. Artinya, kalaulah kita salah menjadikannya sandaran, akan diampuni Tuhan. 

Dengan kata lain, hadits shahih di Syi’ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orangyg yang jujur/tsiqah, karena itu bisa dijadikan sandaran. Akan tetapi, bukan berarti orang jujur itu tidak salah mengucapkan, tidak salah meriwayatkan dan tidak salah memahami. 

Karena itu masih banyak hadits yang sama-sama shahih tapi saling bertentangan. Dan untuk menyelesaikan pertentangannya ini, harus diselesaikan melalui ilmu Ushulfiqih. Karena yang bertentangan itu, banyak yang bisa dipertemukan dan menghasilkan pemahaman yang ke tiga. 

Kulainii ra wafat di tahun 328 atau 329 H. 

2. Kitab ”Man Laa Yahdhuruhu al-Faqiih”. Karya Syaikh Shaduuq ra. Kitab ini merupakan kitab ke dua dari 4 kitab hadits terbesar dan terpenting di Syi’ah. Beliau wafat tahun 381 H. Kitab ini terdiri dari 5920 hadits dalam 666 bab. 

3. Tahdziibu al-Ahkaam, karya Syaikh Thuusii yang lahir di tahun 385 H. Kitab ini merupakan kitab ke 3 terpenting kitab hadits Syi’ah. Terdiri dari 1390 hadits. 

4. Al-Istibshaar, yang juga karya Syaikh Thuusii ra. Kitab ini terdiri dari 5511 hadits dalam 925 bab. 

Bintang Ali: Saya copas dari salah satu blog tentang al kafi, benarkah komposisi al kafi, terdiri dari: 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq (hadis yang diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis Qawiy(kuat) dan 9.480 hadis dhaif. 

(lihat Al Riwayat Li Al Hadits Al Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah Turuthuna Bil 2 Ramadhan 1407 H hal 257) jadi kategorisasi hadits-hadits al kafi itu sesuai dengan sanad atau matannya ustadz atau dua- duanyanya? Syukron. 

Sinar Agama: Untuk ilmu Rijal, yang menjadi ukuran shahih tidaknya sebuah hadits, biasa terjadi perbedaan pandangan. Semua pandangan yang memuat banyak hadits dha’if itu sudah dibantah oleh ulama kontemporer yang memang mujtahid juga dalam masalah hadits dan rijal, yaitu ayatullah Muslim Dowari. Ternyata Hadits-hadits dhaif di Kafi itu hanya ada beberapa saja dan ianya merupakan pendamping hadits shahih. Misalnya Kulaini memuat 5 hadits shahih, lalu disisipkan 1 hadits dha’if. Begitu. Jadi, hadits dha’ifnya itu tidak berpengaruh kepada hadits shahihnya. Dan justru hadits dha’ifnya itu yang terkatrol oleh hadits shahihnya. Jadi, sanad atau adanya perawi lemah di hadits dha’if itu dapat diatasi oleh hadits yang semua perawinya shahih. Kan hadits dha’if boleh dipakai kalau sesuai sesuai dengan Qur'an dan hadits shahih? 

Umumnya hadits shahih itu dilihat dari sanadnya. Yang dilihat dari matannya itu hanya kalau jelas bertentangan dengan Qur'an, akal dan Hadits-hadits shahih lainnya yang lebih terkenal. Sering juga orang melemahkan hadits dari sisi matannya karena mengira bertentangan dengan Qur'an, akal atau aneh, akan tetapi sebenarnya hadits itu sama sekali tidak bertentangan dengan hal-hal yang telah disebutkan itu. Artinya, yang melemahkan itu, karena belum paham akan arti yang dikandung sebuah hadits, maka bisa saja ia melemahkannya sesuai dengan ilmunya, akan tetapi bagi orang yang memahaminya dengan benar, maka hadits itu shahih adanya. Misalnya Hadits-hadits yang berkenaan dengan Tuhan, Nabi saww dan para imam as. Atau yang berkenaan dengan hal-hal ghaib yang, biasanya hanya bisa dipahami melalui filsafat yang tinggi. 

Kesimpulan: Dengan semua penjelasan itu, maka tidak usah memperhatikan kedha’ifan-kedha’ifan itu, karena disamping dari awalnya sudah saling berbeda pendapat, juga sudah dibantah dengan dalil-dalil yang sangat kuat dan hal ini adalah yang terbaru (penemuan terbarunya). Yang ke dua, ketika Kulaini ra mengatakan shahih, maka jelas bisa dijadikan rujukan bagi kita, sebagai berita dari seorang mukmin, walaupun ukuran keshahihannya berbeda (seperti yang diajukan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa sebagiannya tidak shahih). Walhasil, pembahasan ini harus merujuk kepada ilmu Rijal yang lama dan kontemporer. 

Tentu saja, selain mujtahid dan ulama, tidak bisa merujuk langsung ke Hadits-hadits itu. Karena itu, yang saya lihat, sepertinya di Syi’ah kurang dirangsang adanya penerjemahan hadits. 

Bintang Ali: Syukron ustadz..semoga ustadz tetap setia menemani kita yang butuh bimbingan dariNya melalui ustadz. 

Sinar Agama: Bintang: aku akan coba selau setia, kalau antum bersedia menerima banyaknya kekuranganku ... 

Bintang Ali: Siap Pak ustadz. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ