Sabtu, 16 November 2019

Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 3

3. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 3

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-3/10152453570878937

Sa Yang: Ini pak Sinar Agama salah memahami tulisan Muhsin Labib.. Saya baca dan perbandingkan tulisan yang dikomentari dan komentarnya tampak sekali pak Sinar Agama sedang terpancing emosi sebelum membaca tulisan pak Labib. Tanggapan paragraf demi paragraf seolah tak ada sisi benar yang ada dalam tulisan pak Labib..

Nda nada ego dan perasaan serba tahu duduk persoalan yang sedang dipermasalahkan. 

Pada hal biasa saja kalau ditilek kembali. Memang ada sisi ilmiahnya dalam uraian pak sinar agama. Tapi yaitu tadi, karena tanggapan yang dibuatnya sarat dengan kemegap-megapan karena terpancing adu domba kelompok syaithan bentet laknatulllah dan kawan-kawan. 

Dan si Emilia dan murid-muridnya yang tumpul otak.

Ini dia yang sangat disayangkan dan sangat disedihkan. Masa sekelas Sinar Agama bisa terkecoh dengan tipu muslihat kelompok pelaknat yang terlaknat. 

Seharusnya pak Sinar Agama melakukan klarifikasi atau konfirmasi tertutup menyikapi tulisan pak Labib, yang saya perhatikan pak Sinar Agama salah paham pada apa-apa yang pak Labib maksudkan.

Antum pak Sinar Agama perlu belajar sabar dari keinginan terburu-buru membalas setiap soalan yang masuk... sekarang ini saya amati antum sudah tidak berkualitas lagi dalam menyajikan jawaban.

Walau pun saya masih memandang antum jauh lebih mulia dari sonni rosak minda apalagi dari wahabiyyun otak petaik..

Saya harap antum dan kita semua belajarlah mengerti sebelum berkata-kata untuk menyedikitkan kesalahan..

Rudi Suriyanto: Jika seandainya berbaik sangka,,mungkin bentuk tulisan itu adalah bentuk dari taqiyah penulis agar bisa bebaur dengan Sunni secara baik-baik. Mungkinkah itu ustadz Sinar Agama ?? Tanggung Sunni itu sesat, penulis sesatkan sekalian.

Sa Yang: Tulisan itu mempertegas kecerobohan puak cilaka yassir annajis sahja , rud. Tentu saja konsekuensinya menghindari efek tak elok di tengah khalayak.. Imam as mampu membimbing manusia di saat jaman fitnah tanpa melaknat seperti bentet laknatullah dan kawan-kawan.

Sa Yang: Coba perhatikan pemain togel yang mendadak bicara agame tanpa mengikuti disiplin keilmuan yang mapan seperti bentet laknatullah alayhi wa man tabi’ah ila yawmiddin.

Babah: Salam... sangat jelas kritikan ustadz Sinar Agama sama sekali tidak didasari konsep penafsiran sebuah teks, di sini kritikan ustadz SA sangat jelas membredel wilayah sang otoritas outor (ustadz Muhsin Labib), seakan-akan ustadz SA lebih mengetahui maksud tulisan ustadz Muhsin ketimbang ustadz Muhsin sendiri. Afwan jiddan
Salam.

Babah: Ooh iya... saya kira tulisan(ijtihad) ustadz Muhsin sangat mendekati kesempurnaan..
Afwan..

Rudi Suriyanto: Untung hanya mendekati sempurna dan hampir makshum.

Muhammad Wahid: Menurut hemat saya, terlepas tuduhan ego masing-masing penulis atau pengomentar, dengan mengesampingkan pribadi masing-masing, murni hanya melihat kapasitas tulisan, saya melihat penjabaran ustad SA jauh lebih berdalil dan beralasan kuat mengenai Imamah & khalifah dibandingkan tulisan ustadz ML yang penuh dengan maksud tersirat & semu abu-abu, lagipula buat apa menulis buku & menjualnya, kalau isi buku tersebut hanya bisa dipahami maksudnya oleh penulisnya sendiri ?? Afwan, hanya sekedar pendapat saja.

Babah: Hehehehe.. Muhammad Wahid. Makanya ada istilah bedah buku,, heheh..

Rudi Suriyanto: Kalau menurut pendapatku, tulisan itu sebodoh-bodohnya tulisan atau sehebat-hebatnya tulisan untuk membuat Sunni tersesat lebih jauh lagi dan Syi’ah dapat melenggang dengan tenang di Indonesia ini [taqiyah mode on].. tapi itu hanya sekedar pendapat awam sepertiku dan seharusnya tulisan itu hanya diperuntukkan kaum Sunni saja, bukan untuk Syi’ah..

Muhammad Wahid: Babah .. iyaa memang perlu,.. hehe.. dan saya pikir ustad SA juga seorang Doktoral, tidak gegabah menilai tulisan dalam sudut pandang keilmuannya,. setidaknya beliau aplikatif terhadap ilmu & amalnya semua tulisannnya di FB ini tanggung jawabnya kelak di akhirat, sampai-sampai catatannya pun tidak dihalalkan untuk diedit oleh orang lain tanpa izinnya.. dan saya lihat beliau selama ini murni menanggapi semua pertanyaan secara keilmuan pula bukan tendensi pribadi si penanya atau yang punya tulisan,.

Sang Pencinta: Sa yang, antum harus bedakan pahaman sindikat tukang laknat dan penjelasan ustadz Sinar di atas, mana yang hanya sekedar provokasi tanpa keilmiahan, cuplak-cuplik sesuai hawa nafsunya, mana yang penjelasan berdalil. Kalau sedikit menyimpan emosi dan mengedepankan akal, substansi yang ingin disampaikan pasti didapat.

Babah: Heheheh.. rud.. rud... baca ulang dan teliti kembali tulisan ustadz Muhsin.. bila perlu datengin ustadz Muhsin untuk dimintai keterangan seputar tulisannya.. Ente jangan selalu berusaha mengadu orang Sunny-Syi’ah, sebab berkali-kali komenan ente selalu mengarah ke situ.

Babah: Sang Pencinta.. sebenarnya klarifikasi model seperti ini sangat tidak relevan, apa tidak bisa ustadz SA klarifikasi lewat via telepon agar ustadz Muhsin bisa lebih mempertanggung jawabkan tulisan-nya dan kiranya ustadz SA nyapun akan mendapat penjelasan seputar tulisan-nya, kalau seperti ini terkesan ustadz SA sedang melakukan pembunuhan karakter seorang tokoh, toh kita semua tahu setiap sesuatu kalau mau dicari kekurangan-nya pasti akan ketemu kekurangan-nya.

Saya kira tulisan ustadz Muhsin masih tahap wajar kok, dan saya yakin beliau juga punya dasar atas tulisan-nya.

Sang Pencinta: Babah, antum katakan di atas menurut antum tulisan ustadz Mountain Lion mendekati kesempurnaan, nah lalu mengapa orang lain yang punya pandangan yang jauh berbeda atasnya sulit untuk dimaklumi? Antum boleh menilai, seyogyanya orang lain juga boleh menilai.

Muhammad Wahid: Kalau dari kronologis dialog selama ini antara Ustadz SA dan ustadz ML,.. saya lihat Ustadz ML lebih cendrung untuk tidak mau dikritisi, siapapun bisa lihat dialog-dialog terdahulu.. ini yang menurut saya pribadi, Ustadz SA enggan lagi masuk ke dalam tulisan/ posting Ustadz ML.. dan Ustadz SA merasa perlu meluruskan wacana berfikir siapapun yang mengatasnamakan Syi’ah... karena itu menjadi kewajibannya yang harus dia pertanggung jawabkan kelak di akhirat,.. saya pikir, Ustadz Sinar Agama bisa memberikan jawabannya nanti,.. yang ini hanya sekedar tanggapan saya pribadi yang awam ini dan bisa saja salah menilai.

Eman Sulaeman: Salam segala hormat untuk SA, Kami menunggu sepak terjang antum lebih lama di Tanah Air Indonesia .... Agar kami memiliki Ulama yang Paling yang....Afwan.

Quito Riantori: Setahu saya, kemampuan ilmu logika ML masih jauh dari layak. Saya sering baca status-statusnya dan twit-twitnya yang melenceng dari logika. Apalagi setelah membaca penjelasan/ kritik ustadz SA di atas, saya makin yakin kelemahan logika ML dalam memahami konsep Khilafah dan Imamah itu sendiri. Saya sepakat dengan ustadz SA. Terimakasih.

Sa Yang: Bagus kalau pak Sinar Agama bisa seperti yang kamu kata. Tapi saya perhatikan ada mis yang pak Sinar Agama ceroboh membantah. Saya kata cereboh karena semua point yang dia tanggapi terkesan sedang menampilkan dirinya menguasai soalan yang pak Labib ajukan dengan baik.

Pada hal banyak masalah yang pak Sinar Agama tidak perlu tanggapi biar terlihat seolah ilmu pak Sinar Agama melampaui pak Labib.

Itu dia yang saya katakan pak Sinar Agama terperangkap dalam permainan dalam bentuk pertanyaan semacam yang diajukan oleh si Rud. Membenturkan dua celah pemikiran yang sepintas tampak berbenturan, pada hal tidak. saya perhatikan lagi-lagi kelompok pelaknat yang terlaknat sedang menggiring pertikaian antara sesama senior Syi’ah. Seolah dia awam yang butuh pertanyaan. Pada hal iblis yang berpura-pura bertanya, kerana keberadaannya sedang dalam incaran pihak yang tersinggung atas nya..

Karena itu kelompok ini mau nyari aman di sebalik pertikaian yang dia ciptakan..

Tulisan pak Sinar Agama walau pun beberapa point ada sisi ilmiahnya. Pada sisi lain ada ngawurnya.. Kali cuma bisa ngutip satu, dua atau tiga dalil langsung dikatakan punya dalil, itu mah perkara mudah.. saya katakan tuh berdalih, bukan berdalil..

Saran saya kamu yang fasilitasi soal jawab ini berbekal soal yang direquets oleh si “merkesot” ngga usah dituangkan ke media publik..

Rudi Suriyanto: Sa Yang, Biar terlihat seolah ilmu pak Sinar Agama melampaui pak Labib. >>memang benar beliau berilmu kok,,apa masalahmu??

Titel keilmuan Hauzah -Ustadz SA

Kurikulum Hauzah yang dibagi pada tiga tingkatan pelajaran secara garis besarnya. Mukaddimah, Pelajaran Tengah, Pelajaran Tinggi dan Tingkat Sangat Tinggi (bahtsu al-kharij).

(2). Mukadidimah itu 4-5 tahun; Pelajaran Tengah 3 tahun setelahnya; Pelajaran Tinggi 5 tahun setelahnya dan Pelajaran Sangat Tinggi 10-20 tahun setelahnya.

(3). Pertama masuk hauzah dijuluki Tsiqatu al-Islam, yang Jujur atau yang Bisa Dipercaya. Hal itu karena ia sudah meninggalkan apa-apa yang berbau dunia, seperti dosa atau hal-hal mubah yang tidak penting, seperti model baju, warna baju dan seterusnya. Karena itu, semua baju-bajunya yang berhias, seperti bergambar bunga atau lain-lainnya, begitu pula levis dan seterusnya sudah harus diberikan kepada orang lain. Walhasil seperti calon pendeta budha yang digundul.

(4). Kalau sudah selesai pelajaran Tengah itu, dijuluki Hujatu al-Islam, yakni kalau sudah 7 tahun di pesantren adal memakai serban. Karena memakai serban sudah mulai menjadi tempat bertanya tiap orang yang menjumpainya di pasar, di jalan, di masjid dan dimana saja, kalau mereka memiliki msalah fikih.

(5). Kalau sering memberikan ceramah umum dan banyak peminatnya, biasa juga disebut dengan Hujatu al-Islam wa Muslimin.

(6). Hujatu al-Islam terus berlanjut sampai seseorang menjadi mujtahid penuh yang dikenal dengan Mujtahid Mutlak, Ayatullah atau Faqih. Jadi, Hujjatu al-Islam ini dari sejak di hauzah 7 tahun, sampai 15-25 tahun berikutnya (ditambah pelajaran tinggi yang 5 th dengan bahtsu al-khaarij yang 10-20 th).

Quito Riantori: Dari sekian banyak kengawuran ML dalam memahami konsep-konsep agama, saya contohkan satu twit ML yang super ngawur, kata-katanya kurang lebih sebagai berikut : “Kita tak boleh membenci pelaku kejahatan, yang kita benci perbuatan jahatnya”. Padahal Imam Ali as di dalam Nahjul Balaghahnya jelas dan tegas mengatakan : “Pelaku kejahatan itu lebih jahat daripada perbuatan jahatnya sendiri.” Lha bagaimana dengan Yazid???

Ini cuma satu dari sekian banyak twit dan status-statusnya yang ngawur yang terus saya monitor. Adapun tulisan ML yang dikritik oleh ustadz SA di atas sangat jelas dan gamblang ngawur! Maksud saya tulisan ML yang ngawur.

Rudi Suriyanto: Sa Yang : itu dia yang saya katakan pak Sinar Agama terperangkap dalam permainan dalam bentuk pertanyaan semacam yang diajukan oleh si rud. membenturkan dua celah pemikiran yang sepintas tampak berbenturan, padahal tidak. Saya perhatikan lagi-lagi kelompok pelaknat yang terlaknat sedang menggiring pertikaian antara sesama senior Syi’ah. Seolah dia awam yang butuh pertanyaan. Pada hal iblis yang berpura-pura bertanya, karena keberadaannya sedang dalam incaran pihak yang tersinggung atas nya..

Karena itu kelompok ini mau nyari aman di sebalik pertikaian yang dia ciptakan.. Itu hanya buruk sangkamu saja,, cukup sudah Sunni saja yang memiliki sifat-sifat seperti itu,, buruk sangka-suka menyelewengkan cerita-mengada-ngada-pendusta dan lain-lain sebagainya,,dan itu bukan tabiat imam Ali as serta tabiat para Makshumin as.

Vicky Manggala:
Tah kang bro Sang Pencinta cek uwing gek naon iyeu mah sanes masalah laknat melaknat...tapi masalah bandera... kamari keur angin kakaler bandera hiji meuni sararenyum bungah ayeuna angin malik ka kidul langsung weh nu kamari bungah jadi cambetut bari ngarendahkeun ustad SA....salute lah ka Ustadz Sinar Agama tetep adil dan bijaksana....salam.

Rudi Suriyanto: Ah,ngaranna ge Syi’ah kufah Syi’ah plin-plan Syi’ah anu teu boga pendirian alias Syi’ah waduk.

Sang Pencinta: Rudi, ini out of topic di atas, mungkin uneg-uneg ini perlu diutarakan, saya yang tahu antum suka mengajak teman-teman ke grup ustadz sinar merasa kasihan, mengapa antum mundur seribu langkah ke belakang. Satu dua tahun antum eksis di grup ustadz tidakkah melihat sebongkah permata dalil yang menyingkap kegelapan nun jauh di sana? Antum mau ikut siapa itu hak antum, tapi seyogyanya memilih dalil terkuat di antara dalil-dalil palsu nan reok.

Babah: Setelah saya baca lagi dan saya teliti tulisan ustadz Muhsin, ternyata saya lebih yakin lagi bahwa ustadz SA sangat tidak tahu alur yang dibahas ustadz Muhsin.

Ketika menulis artikelnya tersebut, sangat terlihat bawa ustadz Muhsin sedang duduk sebagai seorang yang bukan sunny-juga bukan Syi’ah, dia duduk sebagai sebatas intepreter atas dua sekte tersebut (Sunny-Syi’ah). Dan ustadz SA berkali-kali mengatakan bahwa ustadz Muhsin menyalahkan seluruh ulama Syi’ah, padahal ustadz ML sama sekali tidak menyalahkan mereka, malah justru ustadz Mountain Lion menerangkan keterangan sebagian ulama Syi’ah (awas,, sebagian ya, bukan semuanya seperti yang dikatakan SA) tentang pendapat mereka terkait pemahaman soal “IMAMAH” Dań ustadz Mountain Lion tidak menyalahkan mereka kok, disinilah letak ngawurnya ustadz SA, .

Makanya seperti yang saya bilang tadi dalam komenan awal saya di atas bahwa ustadz SA sama sekali tidak menggunakan konsep penafsiran sebuah teks, beliau langsung membredel otoritas outor, seakan-akan ustadz SA telah menganggap outor telah mati.

Muhammad Wahid: Afwan Babah,.. berarti buku yang sudah terbit salah judul dong (SYI’AH menurut SYI’AH),. hehe.. harus dirubah tuh judulnya, hehe, afwan jadinya “SYI’AH menurut Enterpreneur”,.

Muhammad Wahid: Sudahlah, sebaiknya yang bisa taq ustadz ML, silahkan kalau mau memberikan klarifikasi dimari,. biar clear, kalau tidak ya semua orang bisa menilai.

Hasnulir Nur: Assalamu ‘alaikum!
Sebagai pemirsa yang senantiasa berusaha mendapat pelajaran dari setiap argumentasi, saya sangat senang walau dengan susah payah memetik pelajaran dari setiap detil argumentasi.

Tapi, terus terang, adanya beberapa interupsi berupa kalimat-kalimat yang bagi saya sama sekali tidak ada kedudukannya dalam argumentasi, terkadang membuat saya berpaling meninggalkan pelajaran dan mulai tergoda untuk turut menilai pribadi seseorang yang juga sering saya dapat sesuatu darinya.

Bagi saya, sangat menyayangkan... hehehe tapi bisa jadi karena saya yang labil... Temanya ushul; imamah. Konteksnya penting; persatuan. Mohon dengan serius pencerahannya, apakah saya salah; melihat retak saat berjihad membangun persatuan...

Salam.

Vicky Manggala: Tah eta kangbro Sang Pencinta teukedah kang Rudi.. akun abah gek baheula mah saya sok maca pasti nu newbie-newbe disarankeun langsung nanya ka ustadz SA... da mungkin karena aya konflik dan uda Rudi nyangka ari ustadz SA ngan milik sapihak makana malik badan.... bukan begitu uda Rudi... maaf kalau sotoy hahaha.

Denny Priyanto: Seandainya pemahaman seluruh umat Islam seperti apa yang diformulasikan oleh Dr Muhsin Labib maka kebenaran akan sirna yang ada hanyalah ke abu-abuan, tetapi itu mustahil,

kebenaran akan tetap ada selama masih ada Imam Mahdi as dan juga adanya Ulama-ulama yang lurus & ikhlas yang berada di tengah-tengah Umat Islam.

Rudi Suriyanto: Sang Pencinta, Tenang aja bro,,perjalanan ini masih panjang, tak perlu jauh-jauh menilai awam seperti saya, pembesarnyapun masih sulit disefahamkan,, saya pribadi, masih menelisik dan menelisik terus.. teruskan misimu, dan aku teruskan pula misiku.

Denny Priyanto: Akibat buruk dari pemahaman tentang Imamah dan Khalifah yang diformulasikan oleh Dr Muhsin Labib adalah munculnya generasi baru yang menganut Madzhab baru yaitu Madzhab SYISU/SUSYI Madzhab Abu-abu.

Babah: Sedangkan ustadz SA ketika memahami tulisan ustadz Muhsin beliau duduk sebagai seorang Syi’ah gotek akhirnya jelaslah sudah kritikan yang sangat ngawoor... afwan..

Muhammad Wahid: Setau saya dalam madzhab Syi’ah, setiap orang bisa mendebat siapapun.. murid dengan gurunya, ulama dengan umatnya, ulama dengan ulama lagi, senior dengan junior.. tentunya selain Makshumin as, karena sudah makshum apanya yang mau didebat,.. dan dengan cara-cara sebagai seorang pencari ilmu. Dalam hal ini, kalaulah ustadz ML lebih kompeten dalam penjabaran wacana berfikir & berdalil, maka saya akan memberikan apresiasi terhadap beliau,.. apalagi imamah adalah masalah ushuluddin,.. kalau tidak ya sebaliknya,.. jadi buanglah fanatik buta dalam kelompok.... kita di AB ini lebih mengedepankan akal,.. tapi bukan akal-akalan,. hehe. Afwan.

Rudi Suriyanto:Kirang langkungna sapertos kitu kang Vicky, tapi tetep upami nu ngaranna ulama mah ulah direndahkeun,, kajeun teuink eta ulama teu sapendapat sareng urang-urang. Komo deui ieu ulama sawilayah sareng urang,, sakumahana ge moal tega sampe ka di nyeungnyeuri mah..

Babah: Ustadz ML menulis melalui kajian episterm kebahasaan terkait imamah-khalifah sedang ustadz SA menanggapinya dengan (seolah-olah merasa) posisi sebagai tokoh agama (sebut ustadz / kiyai) yang akhirnya gak nyambung... maka terjadilah kritik ngawoor..

Denny Priyanto: Sekalipun Dr Muhsin Labib mengatakan bahwa “Tentu penerimaan de facto Sunni terhadap kepemimpinan esoterik (keagamaan) dan penerimaan de facto Syi’ah terhadap kepemimpinan kenegaraan (sosial) tidak bisa menjadi alasan untuk fusi atau peleburan dua bangunan peradaban yang telah berdiri menjulang ini.” akan tetapi interpretasi Dr Muhsin Labib di atas telah memformulasikan sebuah gabungan/fusion itu sendiri.

Hasnulir Nur: Tak bermaksud mengkritik, karena memang tak mampu. Sekedar mengenalkan kalau ada pemirsa seperti saya yang hati dan pikirannya tidak bisa terpecah; memahami argumentasi sembari menilai orang. Apalagi kalau mengarah ke motif....atau barangkali forum ini bukan untuk pemirsa seperti saya.....

Rudi Suriyanto: Berarti judul bukunya ‘Syi’ah Menurut Seseorang’.

Denny Priyanto: Apakah pada zaman Nabi ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup ada dua bentuk kepemimpinan yang terpisah? Itu yang harus digarisbawahi oleh setiap muslim.

Ananda Kencana Tunggadewi: Ich,,, pada sok asik ngeributin siapa paling Syi’ah yaa...?!?

Dari zaman tahun jebot juga ulama kalangan ushuli & akhbari saling rebutan siapa paling eksis sebagai Syi’ah Makshumin tuh,,, lagian kalau khilafah dan imamah adalah hak Makshumin, terus konsep-konsep dari WF Iran itu ngadopsi kemana sich,,,?!?

Vertikalnya aja apa juga horizontal,,,?????

Akidah ya akidah aja, politik ya politik aza,,, kalau sudut pandang dicampur-campur, yang ada malahan anak kuliahan pengen nyobain bangku SD,,,!!!!!!

Wkwkwkwkw,,,,,,

Faisal Akbar: Saya mendukung Ustad SA yang di Iran untuk melaporkan Ustad Labib dan ABI ke Rahbar karena telah merusak Agama Ilahi.

Babah: Coba baca teliti tulisan ustadz ML kembali... dan coba netralkan dulu sekterism kalian dan buang jauh-jauh pahaman doktrin kalian dulu, baru kalian boleh menafsiri teks, wong sebelum kalian mengkaji teks nya ustadz ML dalam diri kalian sudah ada penilaian duluan terhadap tulisan Ustadz ML, ya jelas saja kalian akan mendapat hasil yang sama dengan sebelum mengkritisi tulisan ustadz ML.. Heheh

Ananda Kencana Tunggadewi: Yeee,,,, emang Syi’ah mesti harus apa kata rahbar,,,?!?

Rudi Suriyanto: Maaf kang Faisal: ustadz SA bermarja’ pada rahbar dan ustad ML bermarja’ pada Ayatullah Hussein Fadhlullah jadi ga akan mengena.

Babah: Xixxi.. Nirmala Malahayati... baru ukhti yang cerdas ... hebaaatt...

Faisal Akbar: Rudi: Ustadz Labib marja’nya Ayatullah Husain Fadhlullah? Wow.........

Ananda Kencana Tunggadewi: Sependapat sama sista Nirmala Malahayati,,,,,

Denny Priyanto: Dr ML sendiri mengatakan bahwa “Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengemukakan salah satu pendapat yang mewakili satu madzhab, namun berusaha mencari sebuah konsep yang diharapkan mampu mengharmoniskan keduanya.” akan tetapi kenapa bukunya berjudul SYI’AH menurut SYI’AH?? Bukankah ini sebuah kontradiksi??

Faisal Akbar: Tarik Buku Sesat Perusak Akidah Syi’ah Menurut Syi’ah.

Ananda Kencana Tunggadewi:Owh,,, jadi Syi’ah harus seperti kata rahbar gitu yach ,,?!? Hmm,,,,

Ananda Kencana Tunggadewi: Yang gak sesuai apa kata rahbar maka dianggap sesat,,,,!!!!
Bagguuuusss,,,,,

Muhammad Kamal: Yang ngeritik juga belum baca bukunya, komentarnya dah membabi buta.
Ckckck....

Saran saya baca bagian awal buku ini dulu biar runut apa argumen-argumen yang disusun ustadz Labib. Lagian di buku itu juga ditulis tafsir rekonsiliatif. Namanya tafsir terhadap teks ya bermacam-macam. SA juga pendapatnya tentang Imamah meskipun dengan dalil teks juga bukan kebenaran
mutlak tapi persepsi dia terhadap teks. Selow aja beda tafsir ga usah komentarin berlebihan nuduh
orang bid’ah, syusi masing-masing aja bro nikmati keyakinanmu.

Ananda Kencana Tunggadewi: Bocah Pembunuh Dajjal niy siapa sich,,,?!? Kok benci banget ke sesama kalangan Syi’ah,,,?!?

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua tanggapannya. Saya melihat masih belum ada yang perlu ditanggapi. Saya sudah menyampaikan yang perlu disampaikan dan sudah semaksimal mungkin disesuaikan irama penulis baik dari sisi isi atau gelombang dan frekwensi cara penyampaian. Kalau ada yang melihat tulisan saya ngawur, berarti tidak perlu gelisah. Karena sudah pasti tulisan yang saya kritik, jempolan toh? Pesanku, amalkan dulu kritikan masing-masing, sebelum mengharap orang lain melakukannya. Karena ia akan dimintai tanggung jawab di dunia ini dan di akhirat kelak.

Adzar Ali: Dia mah monyet-monyet Yasiriyun.

Rudi Suriyanto: Shoheh stadz.

Sinar Agama: Teman-teman, kalau tidak ingin tulisannya dihapus dari dinding saya, maka jauhi kata laknat dan semacamnya yang tidak berhubungan dengan diskusi ilmu. Karena saya tidak mengijinkan pelaknatan di rumahku.

Sinar Agama: Saya tidak perduli apakan antum membelaku, tapi kalau tidak dengan caraku yang sudah melampaui batas, seperti sampai ke tingkat laknat di media umum ini, maka saya akan delete.
Afwan.

Ananda Kencana Tunggadewi: Memang laknat gak boleh ya oom ustadz,,,,?!? Bukannya di Qur’an ayat mengenai laknat itu ada,,,?!? Kalau boleh tau, dasarnya gak boleh laknat itu apa sich,,,?!?

Muhammad Kamal: Wuih ada fatwa dari bocah pembunuh dajjal. Nama aja dah ngawur. Kalau ente Syi’ah ngaku bener ngapa sembunyi dengan akun anonim? Orang sesat ko ente yang ngamuk-ngamuk ngelaknat? Macam betul aja hidup ngelaknat orang.

Singgih Djoko Pitono: Guru-guru saya sedang berdiskusi hebat... Yang bisa saya tangkap dari tulisan ustadz ML bahwa sekuler itu islami... Ini membenarkan seluruh bentuk kekhalifahan yang pernah exist yang diyakini Sunni... Ini membenarkan seluruh bentuk negara sekuler yang pernah ada hingga hari ini...

Dan yang paling mengerikan adalah penegasian syariat agama... Yang ujung-ujungnya yang seperti John Lennon inginkan.. Yang tertuang dalam bait-bait lagunya yang berjudul “ Imagine”.. Hanya karena ingin melihat seluruh manusia hidup damai berdampingan, tidak gontok-gontokan... Mengerikan....

Afwan...

Muhammad Kamal: Orang yang tinggal di Iran mah gak butuh sebuah tafsir yang sifatnya rekonsiliatif. Lah mereka aman di Iran. Ga perlu takut kena stigma Syi’ah. Ribuan orang Syi’ah di Indonesia ini anak istrinya lama-lama terancam jiwanya kaya di Sampang kalau gak ada upaya untuk kita menemukan titik temu dengan saudara ahlusunnah.. Lah ini enaknya secara membabi buta nuduh orang menyimpang.

Kalian apa diketahui orang sekitar kalian Syi’ah? Di fb aja pakai akun anonim sebahagian. Ama orang tua aja taqiyah sok paling Syi’ah dan terdepan membela Syi’ah.

Muhammad Kamal: Hidup Syi’ah Anonim !!!

Nuhu Nuhu: Bagi siapa saja yang belum bisa menerima perbedaan, itu artinya belum dewasa. Perbedaan bukan hanya Sunni Syi’ah saja, sesama Syi’ah pun bisa saja berbeda dalam memaknai teks dan konteks.

Sa Yang: Pak sinar ana agama antum biasa saja lah kalau saya liat tulisan sanggahan yang antum buat. Pak Sinar Agama jelas saja saya perhatikan antum ngawur dalam tulisan komentar ini. Apa yang Muhsin Labib tulis, apa juga yang antum tulis.

Saya tengok Muhsin Labib sedang bicara realita, bukan apa yang semestinya. Pak Labib bicara tentang fakta historis mengenai penerapan kata imamah dan khilafah di sepanjang sejarah islam.

Antum masih sibuk bicara imamah dan khilafah secara etimologis. Lagi-lagi imamah dan khilafah sebagaimana mestinya dalam literatur Syi’ah.

Semua komentar-komentar antum akhirnya memenuhi selera menyerang, yang dikompori oleh pelaknat, bukan lagi apa yang dimaui kebenaran.

Rekonsiliasi pemikiran dan mencari konvergensi di tengah kehidupan sosial bukan perkara mudah.

Harus dapat direduksi dalam kalimat “kompromistis” dalam memandang sebuah kata kata.

Benar sahaja, saye tak ada gelisah sikit pun dengan tulisan antum, yang saya perhatikan standar-standar sahaja. Karena di blog, website dan sebagainya sudah sangat berlimpah tulisan-tulisan jernih yang lebih bagus dari milik antum. Dan saya sendiri juga mengakui antum ada juga tulisan bagusnya.

Pak Sinar Agama ketika antum menulis tentang perangai Yasir almal’un seburuk-buruk perangai, mereka yang seperti si bocoh pembunuh dajjal dan kawan-kawannya mengutuk antum. Si rud juga same, hanya sahaja dia masih bisa berpura-pura santun dalam setiap komentarnya. Itu trik dia agar bisa menjadi wasilah mencari celah kisruh dalam internal Syi’ah. Lalu peluang itu dibagikan ke kaula taulan seaqidah pelaknatannya, sebut sahaja bentet. Nah terbukti sekarang dengan adanya gesekan sudut anggapan antum dan pak Labib dijadikan medium provokatif.

Rud, ini bukan apa yang ada di pikiran saya tapi semua selain orang rosak minda bisa menilai ko tu adalah orang yang memanfaatkan kisruh internal Syi’ah..

Ingat sajalah Rud, Allah selalu perhatikan tingkah licik ko tu. Ada masanya ko akan merasakan azab kerana sudah turut memperburuk kes yang ada.

Sa Yang: Bocah pembunuh dajjal macam mana ko nak bunuh dajjal ? Sementara dajjalnya adalah ko sendiri, kawan ko si bentet, si ahras darien, si rud , si emilia dan kawan-kawan semua tu dajjal perosak. Beranikah ko nak bunuh semua dajjal itu hei budak lulusan SD ?




Artikel selanjutnya:
================

Jumat, 15 November 2019

Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 2

2. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 2

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-2/10152453555563937

Sinar Agama: Dalam Tafsir Amtsal, karya Ayatullah Makaarim Syiraazii hf, dalam keterangannya mengenai ayat pengangkatan nabi Ibrahim as yang ditingkatkan dari maqam kenabian/kerasulan ke maqam imam (QS: 2:124). Beliau hf menulis:



((Apa imam itu?: Sudah menjadi jelas dengan pejabaran yang telah lalu di atas itu sehubungan dengan ayat ini (pengangkatan dari kerasulan nabi Ibrahim as ke pangkat keimamahan), bahwa derajat imamah telah dianugrahkan kepada nabi Ibrahim as setelah beliau as memiliki maqam tersebut, yang melebihi dari pangkat kenabian dan kerasulan.

Untuk menjelaskan hal di atas, maka KAMI (ulama Syi’ah, bukan yang baru menjadi dan merasa Syi’ah, penj.) berkata: Imamah itu, memiliki makna-makna yang berbeda:

b-1-1- Imamah adalah kepemimpinan dalam urusan-urusan keduniaan (horisontal). Pendapat ini dinyatakan oleh beberapa ulama Ahlussunnah.

b-1-2- Imamah adalah kepemimpinan dalam urusan-urusan agama (vertikal) dan dunia (horisontal). Pendapat ini, juga diutarakan oleh sebagian ulama Ahlussunnah.

b-1-3- Imamah adalah pengaktual atau pewujud atau penyata atau pelaksana sistem agama sebagaimana ia merupakan sistem hukum dalam artian luasnya pemerintahan dan pelaksana bagi hukuman-hukuman (seperti rajam, cambuk dan seterusnya, penj.) dan hukum-hukum Allah. Begitu pula untuk menegakkan keadilan terhadap umat dan membimbing setiap individu dalam tatanan batinnya dan cara hidup sosialnya. Derajat dan maqam ini, lebih tinggi dari maqam kenabian dan kerasulan. Karena maqam kenabian dan kerasulan, terbatas pada penyampaian agama dan pemberi harapan dan ancaman (vertikal) sementara imamah melingkupi/mencakupi tugas-tugas kenabian dan kerasulan dengan penambahan “Pelaksanaan Hukum-hukum” dan “Membimbing jiwa-jiwa secara lahir dan batin” (dan secara gamblang bahwa banyak nabi-nabi yang juga memiliki maqam imamah ini).

Maqam imamah, pada hakikatnya, maqam pewujudan tujuan diturunkannya agama dan hidayah. Yakni mengantarkan (umat) pada yang diinginkan (agama, horisontal). Karena itu, ia (imamah) bukan hanya menunjukkan jalan (kepada umat, vertikal). Selain itu, imamah juga memiliki dimensi “Hidayah Secara Natural”, yakni akses spiritual bagi imam dan pengaruhnya terhadap qalbu-qalbu yang memiliki potensi untuk menerima hidayah secara maknawiah (perhatikan hal ini dengan teliti, kata ayat Makaarim hf).

Sebagaimana matahari yang membuat tetumbuhan menjadi hidup, maka Imamah juga menghidupkan kehidupan ruhaniah dan maknawiah dalam kehidupan natural (hal yang ini yang sering difokus oleh orang yang baru Syi’ah hingga mengira bahwa imamah itu hanya merupakan wilayah takwiniah naturaliah hingga tidak memasukkan natural kehidupan sosial umat manusia dari segala sisinya termasuk keluarga, tetangga, sosial, budaya, politik, kenegaraan dan keinternasionalan, penj.).))

Kesimpulan:

Dengan beberapa penukilan dan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa maqam IMAMAH itu justru maqam horisontalnya sedang maqam kerasulan/kenabian, adalah maqam vertikal.

Beda Istilah Imam dan Khilafah.

Setelah mengetahui makna Imamah dari ulama Syi’ah (bukan dari kita-kita yang baru jadi Syi’ah dan tidak tahu Syi’ah kecuali secuil walau, merasa terlalu banyak tahu ini hingga berani menyalahkan seluruh ulama Syi’ah sepanjang sejarahnya), maka perlu kiranya mengetahui makna Khilafah.

KHILAAFAH, adalah penerus atau wakil Nabi saww. Karena Nabi saww adalah rasul (vertikal) yang sekaligus imam (horisontal), maka pengganti atau khalifahnya juga demikian. Jadi, khalifah dan pengganti atau wakil atau penerus Nabi saww, adalah orang yang memimpin umat dalam hal-hal ke agamaan (vertikal) dan penerapannya dalam suatu negara (pemerintahan/horisontal). Jadi, beda imamah dan khilaafh, hanya terletak pada sisi melihatnya, bukan pada esensinya.

Esensi imamah dan khilafah dalam kekhalifaan Nabi saww, tidak beda seatompun. Memang, bisa saja beda, kalau mengkhilafahi selain Nabi saww. Akan tetapi Nabi saww, karena disamping rasul Allah yang berwenang menjelaskan agama dan memursyidi umat secara maknawi (vertikal), juga berwenang memimpin umat dari sisi imamah atau imam (horisontal) sebagaimana posisi nabi Ibrahim as yang baru diangkat menjadi imam (menegakkan pemerintahan agama, wilayah yang horisontal) setelah tua dan setelah puluhan tahun menjadi rasul (wilayah yang vertikal).

Sudah sering dijelaskan di fb ini, bahwa beda rasul dan imam, yang terjelaskan dalam pengangkatan nabi Ibrahim as dan posisi kerasulan kepada posisi keimamahan, adalah dari sisi kepemimpinannya secara takwini itu. Nah, kalau takwini ini hanya diartikan esensi alam dan tidak memasukkan sosial politik manusia, itu kan namanya menjadikannya tidak beda dengan kerasulan yang bersifat vertikal dan melingkupi semua keberadaan natural. Apalagi Nabi saww yang merupakan rahmat bagi semua alam.

Jadi, pengangkatan dan penaikan nabi Ibrahim as dari kerasulan/kenabian menjadi keimamahan, adalah wewenang untuk mengejawantahkan hukum-hukum dan syari’at Tuhan, pada kehidupan sosial manusia. Yakni perintah untuk menegakkan aturan Islam dalam kehidupan sosial manusia. Karena itu, imamah itu yang justru pangkat horisontal, dan bukan pangkat vertikal. Setidaknya, merupakan kesalahan besar kalau imamah itu dieksklusifkan pada masalah-masalah vertikal.

Supaya saya tidak kelihatan ngibul dan sok tahu, maka saya nukilkan satu referensi yang menjelaskan perbedaan kedua, istilah tersebut (imamah dan khilafah):

Dalam kitab Al-Syii’ah Fii al-Islaam, karya ‘Allaamah Thaba Thabai ra, setelah merangkan imamah seperti yang telah dinukil di atas itu, beliau ra, meneruskan penjelasannya. Karena takut kepanjangan, saya mau meringkas poin-poinnya saja:

b-2-1- Bahwa tidak ada yang menolak bahwa kehidupan manusia yang berkelompok, walau hanya dalam satu rumah tangga kecil saja, harus memiliki pemimpin di dalamnya.

b-2-2- Dari sisi lain, semua tahu bahwa pemimpin ini, tidak selalu ada dalam umat atau kelompok yang dipimpinnya tersebut.

b-2-3- Semua orang tahu dengan mudah bahwa kalau seorang pemimpin mau meninggalkan umat atau kelompoknya, maka selalu menentukan KHALIFAH menggantikan dirinya dalam masa ketidakadaannya di tengah-tengah umat atau kelompok yang dipimpinnya.

b-2-4- Islam sebagai agama yang sempurna, juga tidak lengah dalam urusan kepemimpinan dan keKHALIFAH-an ini.

b-2-5- Lalu setelah itu, beliau as mengatakan:


((Karena itu, Nabi yang mulia saww, tidak pernah meninggalkan kelompok yang baru masuk Islam, atau kelompok yang telah dikuasai Islam, atau suatu kota/negeri atau desa yang telah dikuasai pemerintahan Islam, tanpa mengutus dengan cepat kepada mereka seorang wakil atau pejabat pelaksana, untuk mengatur urusan-urusan sosial-politik kelompok tersebut (yang baru masuk Islam atau yang baru dikuasai Islam itu). Dan hal ini juga merupakan kebiasaan/ajaran Nabi saww, dalam jihad. Karena itu, ketika mengirim surat ke suatu tempat, maka beliau saww menunjuk satu ketua diantara mereka (pengantar surat). Dan kadang menentukan lebih dari satu ketua, sebagaimana terjadi di perang Mu’tah dimana beliau saww menentukan 4 ketua yang bergilir dimana kalau yang pertama mati, maka di-KHILAFAHI (diteruskan) oleh yang ke dua dan kalau yang ke dua mati, di-KHILAFAHI oleh yang ke tiga dan begitu seterusnya.

Islam telah menunjukkan perhatiannya kepada masalah KHILAFAH dan PENGANGKATAN KHILAFAH ini, secara penuh. Dan tidak pernah lengah dari masalah ini. Kapan saja Nabi saww ingin meninggalkan kota Madinah, maka selalu mengangkat KHALIFAH (pengganti/wakil). Ketika Nabi saww ingin berhijrah dari Makkah ke Madinah, mengKHALIFAHKAN imam Ali as di Makkah, untuk mengurusi hal-hal tertentu di masa yang pendek itu, seperti menyerahkan amanat kepada pemiliknya. Begitu pula telah mengKHALIFAHKAN imam Ali as, untuk melakukan pembayaran hutang-hutang dan apa-apa yang berhubungan dengan beliau saww secara khusus setelah wafat beliau saww.

Sesuai dengan kaidah dan rumus ini, maka SYI’AH mendakwa bahwa sama sekali tidak mungkin Nabi saww, sebelum wafat beliau saww, tidak berwasiat kepada satu orang untuk mengKHALIFAHI beliau saww (meneruskan) untuk mengurusi masalah-masalah umat, setelah beliau saww. Yakni tidak mungkin beliau saww tidak menunjuk satu orang untuk memimpin pelaksanaan pemerintahan, dalam daerah-daerah yang telah dikuasai Islam.))

Kesimpulan poin b:

Dengan semua penjelasan di atas dapat dipahami bahwa:

KEIMAMAHAN DAN KEKHILAFAAN, SAMA SEKALI TIDAK BERBEDA DARI SISI ESENSINYA, YAITU SEBAGAI PEMIMPIN UMAT DARI SISI LAHIR (horisontal) DAN BATIN (vertikal), DARI SISI PRIBADI DAN SOSIAL, DARI SISI IBADAH DAN PEMERINTAHAN, DARI SISI SOSIAL MANUSIA DAN BAHKAN SELURUH KEBERADAAN SEMESTA. DIKATAKAN IMAM KARENA MEMIMPIN, DAN DIKATAKAN KHALIFAH, KARENA MENERUSKAN MISI DAN TUGAS-TUGAS KENABIAN saww (yang di samping memiliki wilayah kerasulan/vertikal juga keimamahan umat, horisontal) DI SELAIN MENERIMA WAHYU SYARI’ATNYA.

Alberto Mahaluby Miscionerry: Pak ustadz Anwar Luthfi, sedikit hal yang dijelaskan oleh ustadz kalangan Syi’ah dalam mengomentari konsep Imamah dalam tubuh Syi’ah. Semoga berkenan melihat alur dialognya secara berurutan...

Anwar Luthfi: Insya Allah kalau sedang kambuh hobby membacanya, ane tengok tuntas om Alberto Mahaluby Miscionerry.

Muhammad Wahid: Ditunggu sekali sambungannya ustadz Sinar Agama, ketika wacana berfikir pribadi mengatasnamakan sebuah keyakinan dalam hal ini adalah madzhab Ahlulbait, maka semua orang yang terkait terutama dari kalangan ulama berilmu dengan berbagai kapasitas & tingkatannya apalagi ada yang lebih tinggi dari sang penulis link itu, maka memang wajib menanggapi tulisan tersebut, karena secara umum bisa mempengaruhi pola pikir umat terhadap istilah Imamah & Khalifah, dan tanggung jawabnya dibawa sampai ke akhirat,.. afwan.

Sinar Agama:

KOMENTAR TULISAN PERPARAGRAF:

(1). Paragraf

Kepemimpinan setelah Nabi

Biang Perbedaan

Bagaimana konsep ......

Secara etimologis, khalifah berasal ....

Dalam konteks Nabi sebagai pemimpin,......

Dengan demikian, khilafah yang dimaksud di sini .....


KOMENTAR:

1- Sudah dijelaskan di mukaddimah, bahwa dalam Syi’ah, khilafah dan imamah, adalah sama. Perbedaan nama, hanya karena perbedaan pandang pada hakikat yang satu, yaitu pemimpin umat. Karena itu, tidak pantas mengatakan bahwa sebagian Syi’ah yang mengatakan bahwa imamah itu mencakupi kepemimpinan vertikal dan horisontal, akan tetapi semua Syi’ah.

2- Apalagi imamah ini, dalam Syi’ah, masuk dalam Ushuulu al-Diin, dimana WAJIB diimani dengan dalil gamblang dan tidak boleh taqlid. Nah, dengan demikian, maka makna yang mencakup itu, diketahui dan diimani oleh semua orang Syi’ah.

(2). Paragraf:

Sudah banyak polemik dan ......

KOMENTAR:

Mencari konsep keharmonisan, dengan menginjak-injak prinsip dasar sebuah golongan, bukan hanya tidak akan pernah mampu membuatnya, melainkan akan menambah berantakannya sosial keagamaan masing-masing golongan dan bahkan merupakan penghancuran tiang-tiang keagamaan, DISAMPING, pembodohan kepada orang-orang awam, teruma yang baru menjadi anggota pada masing-masing golongannya yang tidak tahu apa-apa selain kata-kata manis dan sastrais non argumentatis.

(3). Paragraf:

Bila isu kepemimpinan ini ......

KOMENTAR:

Ketika benang yang sudah merah jelas dalam sepanjang ajarannya yang sudah 14 abad lebih, dijatikan benang yang berwarna tidak karu-karuan (mending kalau dijadikan satu warta seperti hitam), maka jelas bukan hanya menghilangkan benang merah itu sendiri, akan tetapi menjadikannya menjadi debu sama sekali, hingga jangankan warna, benangnya saja menjadi hilang dari permukaan bumi DAN, sebagai gantinya banang lebah yang diindahkan dan dikuatkannya sendiri, dengan menyalahi semua ajaran para ulama, maraaji’, imam Makshum as, Nabi saww dan, Tuhan sendiri.

(4). Paragraf (yang ini saya nukilkan):

Konflik menjadi makin rumit karena Sunni menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syi’ah sebagai tandingan konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni, dan Syi’ah menganggap konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni sebagai antikonsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syi’ah. Padahal, bila diperhatikan secara seksama dan bebas dari sentimen sektarianisme, rincian konsep Khilafah dan Imamah berbeda secara substansial dan tidak niscaya saling menafikan.

KOMENTAR:

Yang rumit itu justru ketika semua sudah memiliki dasar yang jelas dalam ajaran yang ditulis turun temurun, tidak dijadikan pijakan untuk mencari persatuan. Apa tidak rumit kalau mau menyatukan golongan, dengan meniadakan ajaran dari masing-masing golongannya tersebut?

Awal langkah mencari penyelesaian pertikaian adalah mendudukkan dulu pendapat masing-masing. Dari sanalah baru dicarikan jalan keluarnya. Lah, kalau nilai-nilai gamblang Sunni dan Syi’ah yang sudah terwarisi secara gamblang dalam qurun waktu 14 abad lebih (kecuali yang baru Syi’ah dan sok tahu Syi’ah), tidak diperhatikan dan bahkan dibuangnya, bukan hanya tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan, akan tetapi akan dianggapnya anak kecil, yang menjual daging yang berupa pelepah pisang dan teman sejawatnya membelinya dengan uang dari dedaunan.

Langkah paling jitu yang diambil Tuhan, Nabi saww, para imam Makshum as dan para maraaji’ serta para intelektual sejati (yang ilmunya tinggi dan tidak pernah berhenti belajar karena tidak merasakan pandai walau sedetik) adalah:

MASING-MASING GOLONGAN BOLEH MEYAKINI DAN MENERANGKAN  SERTA MENDAKWAHKAN KEYAKINANNYA, AKAN TETAPI TIDAK BOLEH SALING MEMAKSAKAN KE GOLONGAN LAIN DAN WAJIB MEMBERIKAN KEBEBASAN KEPADA MASING-MASING GOLONGAN SERTA, BEKERJA SAMA DALAM BIDANG-BIDANG YANG SAMA UNTUK MEMBANGUN UMAT ISLAM DARI DALAM DAN UNTUK MENGHADAPI MUSUH BERSAMA DARI LUAR. DALAM DISKUSI DAN DAKWAH BOLEH SALING SALAH MENYALAHKAN DENGAN ARGUMENTASI KARENA HAL ITU MERUPAKAN KONSEKUENSI GAMBLANG DARI BERGOLONGAN, AKAN TETAPI TIDAK BOLEH SALING MEMAKSAKAN. SEMUA PIHAK MESTI MENYADARI BAHWA YANG DIYAKINI DAN DITABLIGHKANNYA, TIDAK LAIN HANYA MERUPAKAN TUGAS KEMANUSIAN DAN KEMUSLIMAN MASING-MASING, TANPA MERASA SEBAGAI NABI ATAU UTUSAN TUHAN UNTUK MENGHUKUM GOLONGAN LAIN DAN MEMUSUHINYA DI DUNIA INI. KARENA TUHAN SAJA, MENUNGGUKAN KE AKHIRAT KELAK.

Sinar Agama: (13). Paragraf:

Bentuk

Sebagaimana pernah dijelaskan tentang ....

KOMENTAR:

Dari awal sudah dapat dirasakan dimana letak kekeliruan pemikiran dan keyakinannya tentang imamah di Syi’ah. Yaitu pada informasi yang tidak lengkap yang, dikiranya hal yang sudah final dan lengkap. Merasa sudah puncak mengetahui Syi’ah hingga tidak ngotot belajar tapi bahkan sebaliknya, ngotot tabligh dan mengajar.

Pengangkatan nabi Ibrahim as sebagaimana sudah diterangkan di atas, yakni penaikan dari maqam kenabian/kerasulan menjadi keimamahan, adalah justru dari sisi horisontalnya, yakni penerapan hukum Islam sebagai suatu negara atau pemerintahan. Misalnya, bukan hanya mengajari bahwa zina itu mesti dicambuk, akan tetapi diusahakan untuk diaplikasikan dalam bentuk, benar-benar dicambuk dimana, hal ini jelas menuntut aktifnya kepemimpinan horisontal secara menyeluruh. Karena ajaran Islam bukan hanya cambukan terhadap penzina, akan tetapi juga militer yang kuat, pertanian, pendidikan ....dan seterusnya... yang juga harus kuat. Ekonomi dan politik, apa lagi tentu Kepemimpinan yang sesuai dengan konsep Tuhan, terlebih apa lagi.

Jadi, imamah itu merupakan kepemimpinan takwini yang, sangat jelas meliputi ketakwinian kehidupan sosial manusia. Di sinilah letak kekeliruan berfikir dan berkeyakinan penulis tulisan itu. Karena dikiranya, yang namanya takwini, hanya meliputi urusan-urusan malakuti hingga imamah diartikan atau dilebih cocokkan kepada kepemimpinan vertikal. Padahal, justru horisontal itulah yang dikatakan imamah. Tentu yang juga meliputi kepemimpinan takwini.

Sebenarnya takwini inilah yang justru horisontal itu, sekalipun terhadap urusan-urusan malakuti. Karena itulah, dalam keyakinan Syi’ah, seluruh malaikat dan makhluk-makhluk Tuhan, taat dan wajib taat, pada imam. Di malam lailatu al-qadr, para malaikat dengan seluruh urusannya masing-masing, wajib datang pada imam untuk mengajukan kerja-kerja setahun ke depannya. Dan imam memeriksanya sesuai dengan pangkat keimamahan dan kekhilafaan yang diberikan kepada mereka as.

Penulis tulisan, di samping telah mengkebiri makna imam itu sendiri, ia (atau mereka, karena katanya penulis buku itu adalah tim yang terdiri dari beberapa orang), juga mengkebiri makna khilafah. Karena khilafah di sini, bukan hanya sebagai nau’ dan untuk BUMI, melainkan khilafah yang merupakan insan kamil dan mengimami seluruh makhluk, baik yang berada di atas bumi atau di luar bumi, baik buminya sendiri atau planet-planetnya, baik materi atau non materinya.

Memahami kritik Syi’ah terhadap ketiga khalifah pertama, harus dengan keyakinan dan makrifah Syi’ah itu sendiri, bukan dengan orang dengan pemahaman orang yang baru menjadi Syi’ah dan merasa memahami Syi’ah. Karena itu, kritik Syi’ah terhadap ketiga khalifah itu, dari semua sisi kepemimpinannya. Apa saja yang dimaui dengan arti kepemimpinan mereka. Karena imamah dan khilafah dalam Syi’ah, benar-benar memiliki makna yang sama.

Jadi kritikan Syi’ah terhadap mereka adalah dari sisi tidak memenuhi syaratnya, baik dari persyaratan spiritual sebagaimana diyakini sebagian Sunni hingga mereka wajib dihormati dan diikuti, juga dari persyaratan adiministrasi. Yakni baik vertikalnya atau horisontalnya.

Karena Syi’ah yakin, bahwa pemegang kepemimpinan horisontal dalam Islam (bukan agama-agama terdahulu yang mungkin ada yang beda pada beberapa obyek ajaran Tuhan yang biasanya disesuaikan dengan kondisi masing-masing), juga harus pegang kepemipinan vertikal.

Jadi, yang mesti disayangkan itu, bukan ajaran Syi’ah yang menyala sepanjang jaman, akan tetapi penulis yang sama sekali tidak memahami Syi’ah TAPI MENGATASNAMAKAN SYI’AH.

Akhirnya saya jadi ragu, mereka itu Syi’ah siapa, yakni pengikut siapa? Wong semua tulisannya tidak ada sandarannya kok, baik agama, akal dan ulama.

Jadi, PEREDUKSI MAKNA KHILAAFAH DAN IMAMAH itu bukan para ulama dan maraaji’, dan bukan pula para imam Makshum as yang mengajarkan semuanya dalam hadits-hadits gamblang mereka as, dan bukan Nabi saww yang mengajarkan dalam hadits-hadits gamblang yang bertebaran di kitab Sunni dan Syi’ah dan bukan pula Tuhan yang mengajarkannya dalam al-Qur an, AKAN TETAPI PENULIS SENDIRI.

(13-1). Paragraf:

Kesalahpahaman tanpa Klarifikasi

Yang patut disayangkan, adanya orang-orang Syi’ah yang .....

Sejarah menunjukkan bahwa Imam Ali tetap mendukung dan membaiat khalifah Abu Bakar, meskipun setelah berlalu enam bulan. Pembaiatan tersebut justru menjadi indikator bahwa syarat aksep-tabilitas publik telah terpenuhi dan kebijakan khalifah telah diakui. Hal ini bisa menjadi dasar bahwa kekhalifahan tidaklah berada dalam posisi vis a vis dengan imamah. Sebaliknya, ucapan selamat dari Umar atas Imam Ali pada hari Ghadir Khum adalah pengakuannya kepada Ali bin Abi Thalib sebagai wali/Imam (spiritual) dan tidak menghilangkan peluangnya sebagai khalifah (struktural) pada periode selanjutnya. Imam Ali jelas tidak pernah mundur dari posisinya sebagai Imam, karena memang posisi Imam tidak bisa dianulir. Posisi Imam bukan kepemimpinan yang bersifat struktural dan ditentukan berdasarkan banyaknya suara pemilih. Syi’ah berkeyakinan bahwa Imam Ali ditunjuk langsung sebagai Imam oleh Nabi.

KOMENTAR:

Yang sangat disayangkan itu adalah penulis sendiri. Karena perampasan khilafah itu telah diterangkan oleh Nabi saww, para imam Makshum as dan para ulama dan maraaji’ dalam seluruh hidup mereka. Sebab sekali lagi, khilafah dan imamah itu sama sekali tidak ada bedanya. Memang dimensi ketercikalan imamah itu, tidak bisa dirampas. Namun bukan berarti kehorisontalannya, juga boleh dirampas atau, disyahkan untuk dirampas.

Ketidakbisaan dirampasnya dimensi vertikal itu, karena ia merupakan sesuatu yang non materi, bukan karena adanya pemilihan tugas imamah dan khilafah. Karena keduanya memang satu hakikat yang disebut dengan dua latar belakang penyebutan. Disebut imamah karena memimpin umat, dan disebut khilaafah karena meneruskan tugas Nabi saww di selain menerima wahyu syari’at. Nah, kalau Nabi saww itu memiliki dua bentuk kepemimpinan horisontal dan vertikal, maka khilaafahnya juga seperti itu mas.

Tentu saja, yang diajarkan Tuhan, Nabi saww dan para imam Makshum as serta para ulama dan maraaji’, bukan hanya tentang perampasan tersebut. AKAN TETAPI TERMASUK MENJAGA PERSATUAN, TIDAK MEMAKSAKAN KEHENDAK DAN TIDAK MENGEJEK TOKOH GOLONGAN LAIN SERTA DIBOLEHKANNYA BERTAQIAH DALAM RANGKA MENGGALANG DAN MEWUJUDKAN PERSATUAN MUSLIMIN.

Dan yang dipahami oleh semua umat tentang MAULA di Ghadiir Khum, termasuk oleh Abu Bakar dan Umar ketika mengucapkan selamat kepada imam Ali as di tempat tersebut, adalah dengan maksud kemaula-an vertikal dan horisontal. Karena terlalu mudahnya memahami hal itu sebagaimana sering dijelaskan dalam keterangan hadits Ghadiir Khum. Jadi, dakwa penulis, hanyalah dakwa kosong yang dikarang-karang sendiri dan, barangkali telah diilhami syaithan yang biasa membesitkan hal-hal unik dan rada sulit dipahami awam. Kesoktahuan penulis akan niat Abu Bakar dan Umar, sudah merupakan hal yang kegamblangannya melebihi matahari. Sok tahu ghaib dan betul-betul sudah melampai batas.

(14). Paragraf:

Dua Dimensi Kepemimpinan Nabi

Langkah dan kebijakan pertama yang diambil Nabi .....

Patut diingat bahwa .......

Syi’ah meyakini bahwa Rasulullah Saw .....

Kemudian setelah diteliti secara seksama .......

Dalam pandangan ini hanya ada dua asumsi, ........

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kondisi masyarakat .......

Sedangkan kemungkinan kedua pada asumsi kedua di atas, ......

Umat Islam memerlukan pemahaman yang jelas dan sempurna tentang Islam ...


KOMENTAR:

Dalam ajaran Syi’ah, imamah itu wajib makshum, karena kalau tidak makshum, tidak bisa ditaati secara mutlak, padahal imam wajib ditaati secara mutlak kerena disejajarkan taat pada Allah dan Rasul saww. Begitu pula wajib makshum, karena kalau tidak makshum tidak boleh ditaati (QS: 76:24). Imam wajib makshum karena hanya yang makshum yang bisa mengatahui Qur an secara hakiki (QS: 56:79). Imam wajib makshum karena ia jalan lurus yang wajib diminta, dicari dan diikuti (QS: 1:6-7).

Kalau keyakinan Islam yang disinambungkan dan diestafetkan oleh Syi’ah, tentang imamah yang harus makshum itu, maka jelas tidak akan tergantung apakah umat sudah bisa bersyura atau tidak. Karena sekalipun seluruh umat manusia di dunia ini, baik sejak nabi Adam as sampai kelak imam Mahdi as keluar, baik sudah layak bersyura atau tidak, berkumpul untuk mengetahui siapa yang makshum, maka tidak akan pernah bisa. Karena kemakshuman itu sifat lahir dan batin manusia. Batinnya juga baik dari sisi keseratuspersenan-lengkap dan benarnya ilmu-amalnya, juga dari sifat-sifat lainnya seperti buruk sangka, syirik, riya’ ... dan seterusnya. Yang tahu hal-hal seperti ini, hanya Allah. Sementara kekasih-kekasihNya yang diberi tahu, akan tahu dengan bantuanNya, bukan dengan syura para nabi atau para rasul dan imam.

(15). Paragraf:

Kepemimpinan Spiritual dan Struktural

Kepemimpinan spiritual berbeda dengan kepemimpinan struk-tural (politik). ....

Karena itu, kepemimpinan spiritual lebih penting dari .....

Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat dan ......

Secara nyata terbukti bahwa Ahlul Bait kehilangan fungsi .....

Sebagaimana telah terbukti dalam sejarah para shahabat, mereka ......

Sebagai akibat dari perselisihan dan perang tuduh yang .....

KOMENTAR:

Beda kepemimpinan vertikal dan horisontal itu, apa hubungannya dengan masalah imamah yang ada di Syi’ah dengan khalifah yang ada di Sunni mas??? Sebab imamah yang ada di Syi’ah, memiliki arti horisontal dan vertikal. Keberbedaan dimensi kepemimpinan, sama sekali tidak kena mengena dengan bahasan imamah dalam Syi’ah. Karena keduanya, sama sekali tidak bisa dipisahkan. Bagaimana mungkin orang bisa menjadi pemimpin horisontal manakala ia bukan pemimpin vertikal? Dengan apa seseorang bisa memimpin horisontal umat, kalau ia tidak makshum dalam ilmu keIslamannya dari sisi kelengkapan ilmunya dan kepastianbenarnya??? Bagaimana bisa pemimpin memimpin dengan adil atau bahkan benar, kalau ia tidak mengerti Islam dengan lengkap dan pasti benar?

Kerana itu terlalu sangat ra’syih ketika tulisannya mengatakan kelebihpentingan dan kelebihberperanan kepemimpinan spiritual. Sebab kepemimpinan politik, sama sekali tidak bisa dipisahkan dari kepemimpinan spiritual. Wong dasar dari setiap amal itu adalah ilmu dan keyakinan yang bersifat spiritual kok.

Kita/Syi’ah tidak menjadi bangga dengan perkataan Umar yang mengatakan bahwa kalau tidak ada imam Ali as dia menjadi celaka hingga menjadikannya ukuran berakidah dan bermakrifah kita dalam bersyi’ah. Karena dengan adanya imam Ali atau tidak adanya, yakni ditanyainya imam Ali as oleh Umar atau tidak, permasalahannya sangat jelas, yaitu bahwa Umar sama sekali tidak layak menjadi khalifah, karena khalifah itu adalah khalifah Nabi saww yang memiliki dua kepemimpinan sekaligus, yaitu vertikal dan horisontal.

Karena itu, maka kesemakinmemudarnya penghormatan pada kepemimpinan vertikal atau spiritual ini, sama sekali tidak bisa dijadikan pembenaran pada perujukan khalifah-khalifah kepada imam manakala mereka menghadapi masalah yang tidak bisa diselesaikan sendiri.

Karena bagi Syi’ah, apapun masalah yang mereka hadapi dan bisa diselesaikan sekalipun, maka tetap wajib merujuk kepada imam dan, bahkan wajib menyerahkan kepemimpinannya itu kepada imam.

(16). Paragraf:

Ambiguitas Mekanisme dan Kebijakan dalam Khilafah

Apakah Nabi Saw mewariskan sistem atau format tertentu .....

Tak ada konsep baku dalam pemilihan khalifah. Ia terus.......

Selain itu, bisa disimpulkan, tak semua kebijakan para khalifah .....

Banyak pihak menduga keputusan Abu Bakar memerangi ......

Selain itu, zakat termasuk salah satu devisa .....

Khalifah kedua, Umar bin Khatthab, juga .....

KOMENTAR:

BUKAN HANYA AJARAN DAN KONSEP IMAMAH YANG DIRUSAK OLEH PENULIS, AKAN TETAPI JUGA KONSEP KENABIAN. DIHANCUR LEBURKAN. Karena bukan hanya Nabi saww, Tuhan sendiri dalam Qur an telah merumuskan kepemimpinan horisontal, alias sosial politik itu. Sungguh saya benar-benar ragu terhadap kesyi’ahan penulis. Mana ada orang Syi’ah yang tidak meyakini atau boleh meyakini, bahwa Tuhan dan Nabi saww tidak merumuskan konsep kepemimpinan horisontal. Ngaco amat.

Lah, terus kelengkapan Islam itu apakah hanya karena mengatur masuk WC mas???? Kalau ada muslimin atau mayoritas muslimin atau bahkan seluruh muslimin sekalipun, yang menolak konsep baku kepemimpinan Islam/Syi’ah, maka hal itu, bukan berarti Islam tidak mengajarkannya. Dalam Islam, konsep itu bukan hanya baku di Qur an dan hadits Syi’ah, akan tatapi juga baku di hadits Sunni. Opo hubungane menungso karo agomo Islam sing lengkap lan suci niku mas???!!!

Mungkin dapat memudahkanmu memahaminya. Afwan dan wassalam.

(17). Paragraf:

Kritik terhadap Khalifah

Kritik Syi’ah terhadap khalifah-khalifah bersifat politis semata. ......

Tidak hanya Syi’ah yang meyakini khalifah bukanlah imam, ......

Dengan begitu kita bisa membedakan dua jenis kepemimpinan ini. .....

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Hasan dan Husain adalah dua Imam, baik berkuasa

maupun tidak berkuasa.” Artinya baik saat kepemimpinan politik atau administrasi ia pegang

atau pun tidak, mereka tetaplah Imam.

Dalam konteks ini muncul dua istilah yang sebetulnya .....

Meski berbeda basis, Imamah yang basisnya .....

KOMENTAR:

Sekali lagi saya merasa menanggapi tulisan ini, tidak ada gunanya. Karena semuanya bersifat mendakwa, tanpa dalil. Lagi-lagi mengaku dan mengatasnamakan Syi’ah. Mana ada Syi’ah menerima dua bentuk kepemimpinan?

Kepemimpinan vertikal dan horisontal itu, keumatan dan kemasyarakatan, wajib dipegang oleh satu orang yang makshum sebagaimana diajarkan Allah dan Nabi saww. Kritik Syi’ah terhadap para khalifah, bukan hanya dalam masalah-masalah kemasyarakatan (horisontal), akan tetapi juga mencakup hal-hal kevertikalannnya. Artinya, bahwa pemegang tampuk kepemimpinan horisontal/kemasyarakan itu, wajib orang yang memegang tampuk kepemimpinan vertikal/keumatan. Kalau dalam obyek-obyeknya, banyak keritikan Syi’ah terhadap Saqifah (yang didakwa Sunni sebagai akseptabiitas publik), penghapusan mut’ah (kebijakan politik), peperangan dan pembantaian (kebijakan politik), semua dan semua, BUKAN KARENA TELAH MENGESAHKAN KONSEP KEPEMIMPINAN HORISONTAL DARI ORANG YANG TIDAK MEMEGANG KEPEMIPIMPINAN VERTIKAL, AKAN TETAPI KARENA DALAM BIDANG TERSEBUT, JUGA MEMBUKA PELUANG UNTUK DIKERITIKI DAN JUGA MENJADI DALIL BAGI KETIDAKLAYAKAN KHALIFAHNYA SERTA KARENA KEBANYAKANNYA, MEMANG HANYA DALAM URUSAN-URUSAN KEMASYARAKATAN/HORISONTAL ITULAH TEMPAT TERJADINYA BUKTI KESALAHAN.

Sudah sering saya katakan di fb ini bahwa hanya mujtahid yang berhak memberikan penjelasan tentang ayat dan riwayat secara langsung. Karena itu, kalau tidak, maka ia akan menjadi penafsir dengan akalnya sendiri yang, sudah tentu, belum dijejeli dan dicekoki berbagai ilmu yang dalam. Artinya, hanya ongkang sana sini, membuka hadits, mengkhayal paham, apalagi punya kepentingan seperti umumnya wahabi, langsung dicarikan makna yang sesuai dengan khayalannya tersebut.

Maksud dari imam Hasan as dan imam Husain as itu imam walau tidak memegang kekuasaan, adalah keduanya as tetapi imam vertikal dan horisontal, walau tidak diakui dunia sekalipun.

Jadi, merekalah imam dan khalifah yang syah sementara yang lainnya adalah batil. Bukan yang lain benar karena hanya menjadi khalifah (horisontal) dan bukan pula karena keduanya tetap imam lantaran kevertikalan kepemimpinan keduanya tidak bisa dirampas lantaran berupa spiritual non materi. Begitu pula, maksud Nabi saww (Allahu A’lam) memberikan peringatan bahwa keduanya as yang telah ditunjuk Allah sebagai imam dan khalifah itu, akan dikhianati setelah Nabi saww wafat. Karena itulah Nabi saww menangisi mereka as selagi masih kecil atau bahkan selagi baru lahir ke muka bumi ini.

Jadi, imam itu, wajib berkuasa. Dan kalau tidak berkuasa, maka umat yang tidak mendukungnya dan perampas kekhalifaannya, dan bahkan pendukung mereka, semuanya akan dimintai tanggung jawab kelak di akhirat. Bagi yang sengaja, yakni yang sudah tahu kebenaran imamah tapi tetap seperti itu, maka mendapat hisab yang berat. Dan yang tidak tahu karena belum sampainya penjelasan tentang hal itu dengan jelas, maka bisa dimaafkan oleh Allah swt. Namun demkian, selama di dunia, para imam as dan, apalagi pengikutnya, tidak boleh memaksakan kebenarannya ke atas umat yang tidak menerimanya. Karena asas Islam itu, adalah kesadaran, pengetahuan dan iman, bukan paksaan lantaran masalah kepahaman, hati dan iman, sama sekali tidak bisa dipaksakan karena bukan daerah materi badani, melainkan daerah spiritual non materi. Jangankan memaksakan, mencela golongan yang beda saja tidak dibolehkan mereka as.

(18). Paragraf:

Kesimpulan

Ternyata kesalahpahaman yang tidak segera diklarifikasi ........

Mungkin hipotesa dan analisa di atas tidak direstui oleh para .......

Dengan paparan di atas, kalangan Sunni secara de facto ......

Tentu penerimaan de facto Sunni terhadap ........

Menjadi Sunni atau Syi’ah bukanlah kesalahan. .......

Selanjutnya para pemikir kedua kelompok ini harus mengubah energi gontok-gontokan menjadi energi saling mendukung dan mem-bahu mencerdaskan akar rumput dan awamnya serta membuang semua isu elementer yang menjadi biang kebencian mutual. Kalangan Sunni harus rela memosisikan para khalifah dan shahabat sebagai manusia yang tidak sempurna, yang bila tidak diyakini kekhalifa-hannya tidak berarti keluar dari Islam. Kalangan Syi’ah perlu makin aktif mene-gaskan bahwa kepatuhan dan kecintaan kepada imam tidak bersifat primer, karena itu merupakan konsekuensi dari kepatuhan dan kecintaan kepada Nabi Saw dan bahwa orang yang tidak memosisikan mereka sebagai imam tidak menyebabkannya keluar dari Islam.

(Mohon tidak dishare. Tulisan ini dikutip dari buku SYI’AH MENURUT SYI’AH yang akan segera diterbitkan oleh DPP ABI).

KOMENTAR:

Lemahnya posisi Islam, bukan karena tidak mengklarifikasi ala kamu mas, tapi karena secara umum, saudara-saudara Sunni, masih ada yang belum mampu beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda seperti layaknya para imam-imam Syi’ah yang bukan hanya beradaptasi, tapi bahkan kawin dengan mereka. Karena itu, tidak heran kalau beberapa imam Makshum as, justru dibunuh/diracun para istri mereka sendiri, seperti imam Hasan as dan imam Hadi as, imam Haadi as.

Memang, ada dua model Syi’ah yang bisa dikagorikan menghambar persatuan.

Pertama, adanya Syi’ah yang ortodok dan ekstrim dimana dalam sepanjang sejarahnya hanya ada satu dua tokoh saja.

Ke dua, orang yang sok tahu Islam dan Syi’ah, yang telah mengacaukan bukan hanya persatuan, akan tetapi penyimpangan dan penipuan kepada saudara Sunni dimana nantinya bisa meletupkan perpecahan yang lebih parah karena merasa ditipunya.

Karena itu, bukan mungkin lagi bahwa hipotesa dan analisanya tidak akan direstuinya oleh kedua belah pihak, akan tetapi juga akan membuat murka mereka. Karena telah menafsir keduanya seenah udhelle (seenak sendiri).

Begitu pula, sekali lagi, yang mereduksi itu adalah kamu mas, karena itu, reinterpretasi kamu itu terhitung seburuk-buruk bid’ah. Karena bukan lagi dalam masalah fikih, melainkan sudah meranah ke masalah keimanan. Setidaknya dari kacamata Syi’ah yang memiliki ushuulu al-diin keimamahan.

Tidak ada Sunni yang menerima kepemimpinan imam Ahlulbait as secara Islami/Syi’ah, yaitu yang mencakup kepemimpinan vertikal/esoterik dan horisontal, kecuali imamah ala bid’ah kamu itu. Dan tidak ada orang Syi’ah yang menerima kekhalifaan selain Ahlulbait as, sekalipun secara de fakto. KARENA YANG DE FAKTO ATAU YANG TERJADI ITU, BUKAN KEKHALIFAAN AJARAN ISLAM HINGGA PERLU ATAU WAJIB DIAKUI. Yang diakui Syi’ah’dari de fakto itu, justru telah dan sering terjadinya, perampasan kekhilafaan.

Memang, di imam Ali as, saudara Sunni juga menerima kekhalifaan beliau as. Akan tetapi, bukan kekhalifaan Islami yang mesti diyakini, melainkan kekhilafaan horisontalik non makshumik yang, didukung oleh khayalanmu itu (afwan karena tidak bisa dikatakan analisa).

Penerimaan Sunni terhadap kepempinnan esoterik Ahlulbait as, memang dapat mendekatkan dua kubu untuk membuat persatuan. Akan tetapi, bukan berarti meresmikan dan membenarkan interpretasi mereka hingga yang Syi’ah, kamu suruh mereinterpretasikan lagi masalah imamah dan khilafah yang, apalagi disertai dengan tuduhan keji kepada Allah,

Nabi saww, para imam Makshum as dan para ulama dan maraaji’ sepanjang sejarah, dengan dikatakan telah mereduksi atau mendistorsi pahaman keduanya.

Sekali lagi, Tuhan, Nabi saww dan para imam as, tidak ada yang pernah mengajarkan kedua jenis kepemimpinan yang maknanya sudah kamu distorsi dan reduksi itu. Karena yang ditunjuk Nabi saww adalah bermaksud penunjukan terhadap kedua bentuk kepemimpinan (vertikal dan horisontal). Karena itu, buah yang kamu maksudkan itu, hanya buah karanganmu sendiri dan selain Syi’ah. Sementara buah yang diinginkan Islam, adalah mencakupi kedua dimensinya.

Kedua kelompok tidak bisa saling dileburkan, dan yang bisa hanya dipersatukan. Dan pemersatuannya, bukan dengan saling menerima konsep masing-masing seperti yang kamu usahakan itu, karena hal itu mustahil dan seperti anak kecil yang tidak tahu barat dan timur lalu jualan pelepah pisang yang dikatakan daging serta membelinya dengan dedaunan dengan mengatakan sebagai uangnya. Tapi dengan saling manahan diri untuk tidak saling paksa. Karena di ke dua atau banyak golongan Islam, Qur an-nya hanya satu dan di dalamnya mengajarkan “laa ikraaha fii al-diin” yakni “tidak ada paksaan dalam agama”. Kalau dalam agama saja tidak ada dan tidak boleh memaksakan, maka apalagi dalam madzhab dan kelompok.

Energi gontok-gontokan harus dirubah dan sudah dari abad-abad silam para ulama Syi’ah dan bahkan para imam as merubahnya. Para imam as bahkan kawin dengan selain Syi’ah. Jangankan teman, murid-muridnya, banyak yang bukan Syi’ah. Jangankan muslimin yang tidak pernah menyakiti imam as, yang menyakitipun, kalau bertaubat, segera dimaafkannya, misalnya Hur yang ikut syahid di Karbala setelah sebelumnya menjendrali pasukan musuh dalam pengepungan dan penyerangan terhadap imam Husain as.

Jadi, orang Syi’ah dan Sunni, tidak perlu konsep persatuan yang kamu berikan, karena ia adalah hakikat kekacauan. Syi’ah dan Sunni, sama-sama punya Tuhan dan Qur an serta Nabi saww yang, semuanya mengajarkan tidak ada paksaan dalam agama. Jadi, yang diperlukan bukan kesadaran dan pengetahuannya, karena semuanya sudah pada tahu, akan tetapi aplikasinya. Saling teman, saling temu, saling tolong dan semacamnya, adalah jalan menuju pengurangan gontok-gontokan itu, bukan dengan saling merubah interpretasinya dengan interpretasi buatanmu itu mas. Afwan.

Orang Syi’ah, yang mengambil dari para imam as dan ulama mereka, tidak pernah mengatakan bahwa imamah itu primer dari sisi hubungannya dengan kenabian mas. Karena imamah itu jelas setelah kenabian, emangnya kamu tidak pernah belajar ilmu Kalam apa, yakni lima ushuluddin hingga berani menganjurkan kepada Syi’ah untuk tidak memprimerkan imamah sehubungan dengan kenabian. Parah sekali mas. Imamah itu seconder (kalau bisa dikatakan seperti itu) dari sisi urutannya, bahkan yang ke empat. Karena sebelumnya adalah Tuhan, Adil Tuhan dan kenabian. Akan tetapi dilihat dari sisi ajaran Islamnya, maka IMAMAH JELAS PRIMER KARENA IA MERUPAKAN USHULUDDIN ATAU DASAR AGAMA. EMANGNYA ADA DASAR YANG TIDAK PRIMER MAS????

Tidak ada dalam sejarah Syi’ah yang tidak meng-Islamkan selain Syi’ah, yakni yang tidak taat pada imam Makshum as. Wong para imamnya as saja kawin dengan mereka kok. Emangnya kalau selain Syi’ah itu kafir, boleh kawin mas? Jadi, para imam as dan ulama Syi’ah, tidak perlu kamu ajari mas, bahkan kamu yang harus belajar banyak dan jangan pernah mengira sudah pandai, alim dan tokoh hingga memberikan jalan keluar kehidupan sendiri dan dari kocek sendiri (tidak taqlid), kepahaman sendiri dan menyalahkan semuanya, terutama para ulama dan tokoh-tokohnya dalam sepanjang sejarahnya. Kalau ingin tahu makna kafir di Syi’ah, kamu tidak perlu merujuk ke ulama yang mungkin tidak dapat kamu jangkau, tapi ana sendiri sudah menuliskannya dalam bentuk pasal dan nomor yang, , mungkin dapat memudahkan pemahaman. Afwan dan wassalam.

Sinar Agama: Teman-teman, antara poin (13) dan (14), ada poin sisipan yang berupa poin (13-1). Hal itu karena ada pelewatan kala mencopynya dari komputer ke fb. Terimakasih.

Sang Pencinta: Arull Weaslete Rock, tolong tidak menganggu keindahan penjelasan ustadz sinar ini dengan ss antum yang tidak relevan dengan komentar ustadz SA, kecuali memang ingin mengomentarinya.

Meyo Yogurt: Mohon ijin menyela. Pembahasan ini sangat baik untuk saya pelajari dan, kalau umpama telah jelas semua, saya mau bertanya apa yang terjadi ketika Nabi Adam as. belum turun dan belum ada manusia yang jadi khalifah atau imamah, apa perbedaannya di alam bumi ini dengan setelah ditunjuk Khalifah atau Imam. Terimakasih.




Artikel selanjutnya:
==================

Imamah dan Khilafah

1. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 1

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-1/10152453504393937


Sang Pencinta: Salam, ada yang merikues tanggapan ustadz tentang paparan ustadz Muhsin Labib dengan tema Imamah & Khalifah berikut.

https://www.facebook.com/yandasadra/posts/10204540161401694


Muhsin Labib:

10 September ·

Salam

Izinkan saya mengeluarkan uneg-uneg yang hanya mewakili perspektif saya pribadi terkait isu paling banyak menghamburkan energi positif umat Islam, Sunni dan Syiah karena konflik yang diciptakan oleh pihak ketiga maupun konflik yang muncul sebagai akibat kehendak saling menafikan.


Kepemimpinan setelah Nabi

Biang Perbedaan


Bagaimana konsep kepemimpinan dalam Islam? Bagaimana mendudukkan imamah dan khilafah dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaan politik? Benarkah kepemimpinan Imamah ala Syiah dan kepemimpinan Khilafah ala Sunni bertentangan?

Secara etimologis, khalifah berasal dari khalafa, yang berarti menyusul, melanjutkan, dan lawan kata dari salafa, yang berarti mendahului. Dari arti umum ini khalifah mencakup arti keseluruhan, suksesi kepemimpinan. Ia bisa berarti nabi yang datang menggantikan nabi sebelumnya, sebagaimana Isma’il dan Ishaq yang menggantikan posisi Nabi Ibrahim as, atau boleh jadi person bukan nabi yang melanjutkan kepemimpinannya, sebagaimana sahabat yang diyakini melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.

Dalam konteks Nabi sebagai pemimpin, terdapat dua fungsi, yaitu: kepemimpinan vertikal dan kepemimpinan horisontal. Karena itu, person yang diyakini sebagai pengganti Nabi, mesti diperjelas apakah ia merupakan pengganti Nabi dalam konteks vertikal ataukah horisontal. Meskipun khalifah mempunyai arti luas, suksesi atau melanjutkan, khalifah telah terbatas pengertiannya dalam terapan yang bersifat sosial, politik, kenegaraan, teritorial dan horisontal. Sedangkan Imamah yang juga mempunyai arti luas bahkan mencakup imam salat dan suami sekali pun, dalam kenyataannya, telah terbatas pengertiannya dalam terapan yang bersifat individual, spiritual, intelektual, universal dan vertikal. Penjelasan ini penting agar ba-nyaknya istilah khilafah, imamah, imarah tidak mereduksi pengertian kepemimpinan horisontal dan vertikal. Dalam kenyataan historisnya, khilafah diterapkan sebagai kepemimpinan horisontal dan imamah diterapkan sebagai kepemimpinan vertikal.

Dengan demikian, khilafah yang dimaksud di sini bermakna kepemimpinan pengganti Nabi (khalifah al-Nabi), bukan khalifah dalam ayat 30 surah Al-Baqarah, khalifah fi al-ardh (khalifah di muka bumi). Khalifah pada ayat tersebut bermakna manusia sebagai spesies, bukan manusia sebagai individu.

Sebagian kalangan Syiah menganggap dua frase itu sama dalam makna sehingga menganggap kepemimpinan yang diklaim Sunni sebagai kontra kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait. Sebagian kalangan Sunni juga menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagai delegitimasi kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Sudah banyak polemik dan perdebatan antara Syiah dan Sunni untuk membuktikan kebenaran pendapat masing-masing. Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengemukakan salah satu pendapat yang mewakili satu mazhab, namun berusaha mencari sebuah konsep yang diharapkan mampu mengharmoniskan keduanya.

Bila isu kepemimpinan ini dijelaskan secara komprehensif de-ngan mengedepankan semangat mencari benang merah untuk diterima oleh kedua belah pihak, maka jalan menuju kesepahaman dan rekonsiliasi terbuka lebar. Salah satu syaratnya adalah membuang jauh-jauh tendensi klaim kebenaran mutlak yang secara logis tidak bisa diterima.

Konflik menjadi makin rumit karena Sunni menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagai tandingan konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni, dan Syiah menganggap konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni sebagai antikonsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah. Padahal, bila diperhatikan secara seksama dan bebas dari sentimen sektarianisme, rincian konsep Khilafah dan Imamah berbeda secara substansial dan tidak niscaya saling menafikan.

Perbedaan Khilafah dan Imamah

Area

Khilafah adalah kepemimpinan dengan batas teritori tertentu, yang mengikat secara struktural setiap warga yang berada di dalamnya, sehingga tidak mengikat orang di luar area tersebut. Sedangkan imamah adalah kepemimpinan yang melampaui batas teritorial, daerah, negara, dan lainnya tetapi mengikat secara spiritual dan teologis setiap pribadi yang meyakininya. Adanya kelompok yang ingin mengembalikan kekhilafahan di masa lalu untuk umat Islam menjadi tidak tepat guna, karena khalifah bersifat institusional (kenegaraan) dan teritorial.

Objek

Umat adalah pihak lain yang merupakan objek niscaya imam. Di dalam Alquran, surah Yunus ayat 19 misalnya, Allah menyifatkan umat – ummah serumpun dengan imam dan imamah – sebagai sesuatu yang tunggal. Hal ini menunjukkan keterkaitan langsung antara Imam dan Ummah. Sedangkan khilafah mempunyai objek warga negara yang membaiatnya. Dalam ayat Alquran, bangsa (sya’b) disebutkan dalam bentuk plural – syu’uban wa qabail.415 Di sinilah objek khilafah dan imamah menjadi benderang.

Relasi

Kepemimpinan vertikal atau imamah semestinya memang dipegang oleh orang-orang suci dan memiliki spiritualitas tinggi seperti Nabi dan wali. Kepemimpinan horisontal atau khilafah tidak niscaya dipegang oleh manusia suci. Meski tentu, Nabi, sebagai pemimpin umat (imam) diyakini telah terbukti menjadi pemimpin horisontal yang menjalankan fungsi kepemimpinan administratif juga.

Keabsahan

Syiah meyakini Imamah sebagai kepemimpinan umat. Karena-nya, ia harus dipegang oleh pribadi yang memenuhi syarat-syarat ketat yang tidak bisa disandang oleh pribadi yang tidak suci. Karena itu, Syiah meyakini Ali sebagai pemimpin umat. Sedangkan Sunni meyakini kepemimpinan yang bersifat struktural dengan batas teritorial sebuah state (negara). Karena itu, Sunni tidak menetapkan syarat kesucian bagi pemegangnya.

Pemangku

Ali bin Abi Thalib diyakini sebagai imam sedetik setelah Nabi wafat karena kepemimpinan umat (Imamah) tidak dibangun legitimasinya melalui pemilihan masyarakat. Ia seorang yang tidak pernah melakukan penyembahan berhala sejak kecil. Sedangkan Sunni menitikberatkan pada konsep keadilan bagi seorang khalifah, yaitu tidak cacat moral.

Mekanisme

Ali bin Abi Thalib diyakini sebagai Imam dengan proses deklarasi pengangkatan oleh Nabi Saw saat di Ghadir Khum sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt dalam Alquran.416 Sementara Ali bin Abi Thalib memberikan baiatnya kepada Abu Bakar sebagai pemimpin masyarakat (Khalifah), karena tidak menganggapnya sebagai pemimpin umat. Baiat merupakan kontrak sosial politik. Karena itu pula, Syiah tidak mensyaratkan baiat untuk menjadi pengikut Ali (sebagai pemimpin umat). Dalam Syiah, baiat memang bukan syarat.

Fungsi

Sebagaimana mekanisme imamah dan khilafah berbeda, maka fungsi imamah bersifat spiritual, bukan institusional sebagaimana dalam khilafah.

Karakteristik

Tolok ukur khilafah adalah kapabilitas, akuntabilitas, dan aksep-tabilitas. Sementara konsep imamah, tak harus diterima oleh publik (sosial). Karena memang imamah tidak ada hubungannya dengan pilihan masyarakat. Ia adalah hak prerogatif Tuhan yang bersifat transenden dan divine. Persis sebagaimana Muhammad Saw ditunjuk sebagai Nabi, publik suka atau tidak, setuju atau tidak, Muhammad tetaplah seorang Nabi. Selanjutnya, dalam berbagai ordo tasawuf pun, Imam Ali diyakini sebagai pemimpin para wali. Hubungan ini bersifat kepatuhan spiritual yang didasarkan pada hubungan cinta bukan bersifat kepatuhan administratif. Kepatuhan administratif ini lebih menekankan hubu-ngan tugas kelembagaan, antara atasan dan bawahan.

Bentuk

Sebagaimana pernah dijelaskan tentang pengangkatan Nabi Ibrahim as sebagai Imam dalam QS. Al-Baqarah [2]: 124 pada bagian pertama buku ini yang menunjukkan bahwa imamah merupakan proses penciptaan (takwini). Sementara bentuk khilafah adalah penetapan yang bersumber dari kontrak sosial (tasyri’i).

Kritik Syiah terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman harus dipahami sebagai kritik terhadap kebijaksanaannya sebagai pemimpin struktural administratif. Bahkan penolakan Syiah terhadap ketiga khalifah tersebut karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat kepemimpinan administratif, bukan kepemimpinan spiritual. Sayangnya, sebagian orang Syiah, juga Sunni, menganggap imamah dan khilafah sebagai satu makna. Akibatnya, substansi masalah tereduksi dan dikaburkan oleh sentimen sektarian yang memanas karena kesalahpahaman yang berkepanjangan.

Kesalahpahaman tanpa Klarifikasi

Yang patut disayangkan, adanya orang-orang Syiah yang memberikan pernyataan yang bisa ditafsirkan sebagai penolakan terhadap kepemimpinan struktural itu. Misalnya, dengan memunculkan terma ‘perampasan hak kepemimpinan’, yang terkesan mereduksi Imamah menjadi Khilafah. Padahal, perampasan tidak ada dalam konteks imamah. Imamah tak bisa dirampas dan diberikan oleh siapa pun.

Menurut orang Syiah, syarat keterpilihan para khalifah terdahulu masih patut dipertanyakan. Jadi, kritik Syiah atas keterpilihan para khalifah bukan pada soal perampasan imamah, melainkan dalam hal proses pemilihan dan kebijakan mereka selama menjadi khalifah.

Sejarah menunjukkan bahwa Imam Ali tetap mendukung dan membaiat khalifah Abu Bakar, meskipun setelah berlalu enam bulan. Pembaiatan tersebut justru menjadi indikator bahwa syarat aksep-tabilitas publik telah terpenuhi dan kebijakan khalifah telah diakui. Hal ini bisa menjadi dasar bahwa kekhalifahan tidaklah berada dalam posisi vis a vis dengan imamah. Sebaliknya, ucapan selamat dari Umar atas Imam Ali pada hari Ghadir Khum adalah pengakuannya kepada Ali bin Abi Thalib sebagai wali/Imam (spiritual) dan tidak menghilangkan peluangnya sebagai khalifah (struktural) pada periode selanjutnya. Imam Ali jelas tidak pernah mundur dari posisinya sebagai Imam, karena memang posisi Imam tidak bisa dianulir.
Posisi Imam bukan kepemimpinan yang bersifat struktural dan ditentukan berdasarkan banyaknya suara pemilih. Syiah berkeyakinan bahwa Imam Ali ditunjuk langsung sebagai Imam oleh Nabi.

Dua Dimensi Kepemimpinan Nabi

Langkah dan kebijakan pertama yang diambil Nabi dalam upaya menjaga kelancaran dan membina masyarakat ialah mengendalikan pemerintahan secara langsung. Langkah kedua ialah melakukan serangkaian kebijakan dengan perencanaan matang agar program ini tidak mandek dengan melancarkan aksi perombakan dan pembenahan total dalam tubuh masyarakat; moral, mental, pola tindak, cara berfikir, watak dan seluruh aspek yang bertalian erat dengan umat.

Patut diingat bahwa reformasi menyeluruh memerlukan jangka waktu panjang dan menuntut adanya SDM yang dapat diandalkan untuk mengawal pembinaan masyarakat sekaligus mengantisipasi hambatan dan gejala-gejala kelesuan yang bisa mengganggu.

Syiah meyakini bahwa Rasulullah Saw mempersiapkan Ali seba-gai pemimpin spiritual (agama) dan sekaligus struktural (politik). Karena masyarakat kala itu belum memiliki kematangan yang cukup untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan Syura.

Kemudian setelah diteliti secara seksama situasi dan kondisi yang ada, sistem kepemimpinan yang disiapkan oleh Nabi Muhammad Saw sesungguhnya mengikuti situasi sosiologis yang melingkupi umat Islam pada saat itu. Mengapa? Nabi sangat sadar bahwa masyarakat sepeninggalnya masih belum bersih dari karakteristik tribal yang amat jauh berjarak dari masyarakat berperadaban yang ideal.

Dalam pandangan ini hanya ada dua asumsi, yakni; Pertama, Nabi tidak memikirkan pentingnya kepemimpinan sepeninggal beliau Saw. Asumsi ini tentu tertolak karena bertentangan dengan sifat kepemimpinan Nabi yang harish, ra’uf dan rahim. Tidak mungkin Nabi membiarkan umat yang akan ditinggalkannya terbengkalai tanpa pemimpin. Kedua, Nabi merencanakan suksesi sepeninggal beliau Saw. Asumsi kedua ini terbagi menjadi dua kemungkinan, yaitu; pertama, bahwa Nabi telah membentuk masyarakat yang matang dan ideal untuk menjalankan prinsip-prinsip syura dalam menentukan pemimpin sosial, dan kedua, Nabi menyiapkan kader handal sebagai pemimpin yang akan mengantar terbentuknya masyarakat beradab.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kondisi masyarakat sesaat setelah Nabi wafat belum memenuhi syarat masyarakat pada kemungkinan pertama di atas. Hal ini ditunjukkan misalnya, tersisanya karakter tribal jahiliyah dan sentimen primordial di balai Saqifah dengan saling mengunggulkan klan masing-masing. Oleh sebab itu, kemungkinan ini juga tertolak.

Sedangkan kemungkinan kedua pada asumsi kedua di atas, sebagai seorang Nabi yang suci tentu merencanakan sosok kader yang handal untuk membentuk masyarakat ideal. Sebagai seorang Rasul beliau bertugas menghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan menjadi jalan keluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema kehidupan dengan menunjuk figur terbaik dan handal sepeninggal beliau. Selain itu, figur tersebut berfungsi untuk menerjemahkan dan menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran.

Umat Islam memerlukan pemahaman yang jelas dan sempurna tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiap perkara. Mereka niscaya memerlukan adanya kepemimpinan spiritual yang ditetapkan oleh Allah Swt dan disampaikan melalui lisan Rasulullah Saw.

Kepemimpinan Spiritual dan Struktural

Kepemimpinan spiritual berbeda dengan kepemimpinan struk-tural (politik). Bila seorang khalifah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin intelektual dan menjadi panutan pemikiran atas dasar Alquran dan Sunnah dalam memahami teori tersebut. Dan terbukti bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syarat penting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlul Bait dengan segala kemampuan mereka dan tergambar dalam nas serta bukti-bukti yang sudah ada.

Karena itu, kepemimpinan spiritual lebih penting dari kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Dan akhirnya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpin spiritual karena mempertimbangkan satu dan sebab lainnya. Sampai-sampai Khalifah Kedua seringkali bersumpah dengan memuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah spiritual.
la selalu berkata, “Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah akan membiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali) tidak segera menyelesaikannya.”

Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnya terhadap Ahlul Bait Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh dan pemimpin dalam bidang spiritual, dan sebaliknya mereka sedikit demi sedikit memandang Ahlul Bait sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka dan bahkan menganggap mereka sebagai awam.

Secara nyata terbukti bahwa Ahlul Bait kehilangan fungsi isti-mewa sebagai pemimpin-pemimpin spiritual dan pudar di tengah-tengah para sahabat. Mereka berstatus tidak lebih sebagai sahabat Rasul yang sama-sama berhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin spiritual.

Sebagaimana telah terbukti dalam sejarah para sahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian yang terkadang meminta darah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang mereka kobarkan sendiri. Masing-masing pasukan menganggap lebih konsekuen terhadap nilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng.

Sebagai akibat dari perselisihan dan perang tuduh yang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin itulah timbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh masyarakat Islam.

Ambiguitas Mekanisme dan Kebijakan dalam Khilafah

Apakah Nabi Saw mewariskan sistem atau format tertentu tentang kepemimpinan? Ada dua jawaban, ya dan tidak. Ya, bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinan keagamaan. Tidak, bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinan sosial kenegaraan. Sejak Abu Bakar sampai Ali tak ada satu konsep baku mengenai mekanisme penunjukan khalifah. Bahkan seandainya peristiwa di Saqifah Bani Saidah dianggap sebagai sistem pemilihan pemimpin yang terbaik, niscaya Abu Bakar sendiri akan meniru sistem tersebut.

Nyatanya, Abu Bakar lebih memilih untuk menunjuk Umar secara langsung –kemudian diikuti sahabat lainnya—sebelum beliau wafat. Begitu pula ketika Umar terluka, beliau lebih memilih enam orang pembesar sahabat untuk menjadi kandidat khalifah setelahnya, dan begitu seterusnya.
Tak ada konsep baku dalam pemilihan khalifah. Ia terus menga-lami perubahan dari satu sistem ke sistem lainnya. Sebagai bentuk ketegasan bahwa konsep khilafah adalah urusan furu’-ijtihadi, yang suatu saat akan [pasti] mengalami perubahan. Penikmat sejarah akan tahu bahwa konsep khilafah hanya satu dari sekian sistem yang pernah dipraktekkan dalam peradaban manusia. Sistem khilafah sama dengan sistem lainnya: kesepakatan manusia yang kemudian membentuk konsep, yang barangkali ideal pada masa tertentu. Khilafah, atau apa pun namanya, merupakan salah satu temuan yang mencoba mewujudkan kemaslahatan dan keadilan di dunia.

Selain itu, bisa disimpulkan, tak semua kebijakan para khalifah (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) sekali pun bisa ditafsirkan seba-gai keputusan keagamaan, karena semata kebijakan politik.


Banyak pihak menduga keputusan Abu Bakar memerangi kaum murtaddin (dianggap keluar dari agama Islam karena tak mau bayar zakat) sebagai keputusan keagamaan. Padahal sesungguhnya itu adalah kebijakan politik semata. Abu Bakar mempertimbangkan gejala tersebut sebagai sinyal bahaya yang mengancam kesatuan negara setelah wafatnya Rasul Saw dan perlu segera diambil tindakan. Memahami kebijakan harb al-riddah (perang terhadap kaum yang dianggap murtad) sebagai konsekuensi logis agamis tidaklah tepat, sebab Umar sendiri sempat protes, “Bagaimana bisa engkau hendak memerangi orang-orang yang masih menghadap kiblat (salat)?”

Selain itu, zakat termasuk salah satu devisa terbesar negara waktu itu di samping harta rampasan (ghanimah). Kebijakan Abu Bakar kemudian dilanjutkan oleh Umar setelahnya. Namun di masa Ustman, zakat tak lagi diurus oleh negara, tapi diserahkan sepenuhnya pada individu kaum muslimin tanpa intervensi negara. Di sini, penamaan harb al-riddah bisa dipahami sebagai “tendensi politik”, karena muslim yang tidak mengeluarkan zakat secara ijmak bukanlah murtad. Bisa jadi keputusan Bani Tamim yang tak mau bayar zakat pada negara bermuatan politis karena pengangkatan Abu Bakar dianggap tidak memenuhi quorum.

Khalifah kedua, Umar bin Khatthab, juga demikian. Khalifah yang terkenal pemberani ini banyak melakukan terobosan kontroversial. Bahkan Umar dalam banyak kasus sering melabrak teks-teks qath’i (hukum pasti), semisal kebijakannya untuk tidak memotong tangan pencuri tatkala masa paceklik, atau kebijakan Umar yang tak mau memberi jatah golongan muallaf karena keislaman mereka yang masih dianggapnya oportunistik.


Tribalisme atas Nama Khilafah

Faktor lain yang turut melanggengkan konflik ini adalah upaya Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah memanipulasi isu kepemimpinan ini dengan memberi warna keagamaan atas kepemimpinan formal administratif ini demi memberikan legitimasi atas kekuasaannya yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan spiritual (imamah) dan syarat kepemimpinan formal struktural, seraya mengampanyekan bahwa kekuasaannya adalah kepanjangan dari kepemimpinan tiga khalifah.

Akibatnya, sebagian orang Sunni terpengaruh dan cenderung menganggap konsep kepemimpinan Syiah sebagai antikepemimpinan yang diyakini Sunni. Selanjutnya, ditafsirkan secara ekstrem sebagai penghinaan terhadap para khalifah tersebut. Konflik makin sengit manakala melebar ke persoalan-persoalan keagamaan lainnya, sehingga terbelahlah tubuh umat yang satu menjadi dua; Sunni dan Syiah.

Kritik terhadap Khalifah

Kritik Syiah terhadap khalifah-khalifah bersifat politis semata. Hal itu karena bagi Syiah, kepemimpinan keumatan (imam) adalah masalah final yang tidak terkait secara langsung dengan kepemimpinan struktural. Artinya, meski menerima dua jenis kepemimpinan; keumatan dan kemasyarakatan, tidak niscaya Syiah tidak mengkritik dan mengajukan keberatan terhadap para khalifah itu terkait elektabilitas, kredibilitas dan kebijakan-kebijakannya selama menjadi pemimpin negara.

Tidak hanya Syiah yang meyakini khalifah bukanlah imam, tapi juga Sunni. Dengan meyakini tiga khalifah bukan imam, dengan melakukan penunjukkan secara personal, itu semuanya mengonfirmasi bahwa Sunni tidak sedang membicarakan kepemimpinan ketuhanan yang menjadi pilar penting mazhab Syiah.

Dengan begitu kita bisa membedakan dua jenis kepemimpinan ini. Kepemimpinan ala Syiah adalah jenis kepemimpinan spiritual yang sifatnya vertikal. Konsep kepemimpinan yang dibangun karena meyakini Nabi sebagai orang yang mendapatkan legitimasi ketuha-nan pasti menunjuk orang untuk menggantikannya.

Sementara kepemimpinan struktural dibangun atas dasar akseptabilitas publik. Sehingga boleh jadi seorang imam juga bisa sekaligus menjadi pemimpin struktural (khalifah) kalau memang diterima oleh masyarakatnya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Hasan dan Husain adalah dua Imam, baik berkuasa maupun tidak berkuasa.” Artinya baik saat kepemimpinan politik atau administrasi ia pegang atau pun tidak, mereka tetaplah Imam.

Dalam konteks ini muncul dua istilah yang sebetulnya berbeda, tetapi sering disalahpahami sebagai satu hal yang sama, yaitu kepemimpinan dan kekuasaan. Seorang pemimpin dalam pengertian Imam tidaklah harus berkuasa. Karena kekuasaan dibangun de-ngan media pemilihan atau kekuatan. Ia ambil kekuasaan itu dengan kekuatan (pemaksaan) atau dengan pemilihan (akseptabilitas publik).

Meski berbeda basis, Imamah yang basisnya adalah legitimasi ketuhanan, sedangkan Khilafah yang basisnya adalah pilihan dan akseptabilitas publik, bukan berarti keduanya tidak bisa bertemu dalam satu bentuk dan beririsan antar keduanya. Bisa jadi Khilafah dan Imamah berlaku dalam satu sistem, sebagaimana Imam Ali saat menjabat sebagai Khalifah keempat. Sehingga, jika sejak awal Imamah dipahami sebagai kepemimpinan spiritual, maka tidak seperti anggapan sebagian Sunni, imamah Ali bin Abi Thalib tidak gugur meskipun dia tidak menjabat sebagai khalifah.

Kesimpulan

Ternyata kesalahpahaman yang tidak segera diklarifikasi akan menjadi objek dramatisasi dan bahan bagi pihak ketiga untuk me-ngadu domba dua kelompok besar umat Islam. Lemahnya posisi umat Islam di dunia merupakan akibat nyata dari sektarianisme yang menjangkiti kedua kelompok tersebut dan masuknya isu-isu lain ke dalam isu perbedaan interpretasi tentang kepemimpinan.


Mungkin hipotesa dan analisa di atas tidak direstui oleh para pemegang otoritas dalam dua kelompok Sunni dan Syiah, namun yang perlu digarisbawahi ialah, reinterpretasi konsep kepemimpinan setelah Nabi di atas tidak mereduksi konsep Khilafah yang umum diyakini oleh kalangan mainstream Sunni dan tidak pula mendistorsi substansi kepemimpinan Imamah yang dipegang teguh oleh kalangan Syiah.

Dengan paparan di atas, kalangan Sunni secara de facto menerima kepemimpinan esoterik Ali dan Ahlulbait, sebagaimana terkonfirmasi melalui ragam riwayat dalam referensi-referensi utamanya, terutama di kalangan sufi. Sementara kalangan Syiah secara de facto menerima kepemimpinan eksoterik khilafah yang diusung oleh Sunni, yang dimulai dari Abu Bakar.

Tentu penerimaan de facto Sunni terhadap kepemimpinan esoterik (keagamaan) dan penerimaan de facto Syiah terhadap kepemimpinan kenegaraan (sosial) tidak bisa menjadi alasan untuk fusi atau peleburan dua bangunan peradaban yang telah berdiri menjulang ini. Keduanya adalah realitas natural dan historis yang mesti diapresiasi sebagai kekayaan. Penunjukan Nabi membuahkan legitimasi yang bersifat vertikal dan pemilihan publik menghasilkan akseptablitas yang bersifat horisontal.

Menjadi Sunni atau Syiah bukanlah kesalahan. Seorang Muslim yang dibentuk karena asas ketauhidan dan kerasulan Muhammad, sebagaimana tercakup dalam dua kalimat syahadat, harus menafsirkan dua konsep kepemimpinan, Khilafah dan Imamah, sebagai konsekuensi dari dua perspektif yang berbeda.

Selanjutnya para pemikir kedua kelompok ini harus mengubah energi gontok-gontokan menjadi energi saling mendukung dan mem-bahu mencerdaskan akar rumput dan awamnya serta membuang semua isu elementer yang menjadi biang kebencian mutual. Kalangan Sunni harus rela memosisikan para khalifah dan sahabat sebagai manusia yang tidak sempurna, yang bila tidak diyakini kekhalifa-hannya tidak berarti keluar dari Islam. Kalangan Syiah perlu makin aktif mene-gaskan bahwa kepatuhan dan kecintaan kepada imam tidak bersifat primer, karena itu merupakan konsekuensi dari kepatuhan dan kecintaan kepada Nabi Saw dan bahwa orang yang tidak memosisikan mereka sebagai imam tidak menyebabkannya keluar dari Islam.

(Mohon tidak dishare. Tulisan ini dikutip dari buku SYIAH MENURUT SYIAH yang akan segera diterbitkan oleh DPP ABI).


Terimakasih ustadz Sinar Agama

*****


Doeble Do: Salam. Afwan, pesan dari ustadz Muhsin Labib dalam komentar di bagian akhir bahwa ‘Mohon tidak dishare. Tulisan ini dikutip dari buku SYI’AH MENURUT SYI’AH yang akan segera diterbitkan oleh DPP AB’

Muhammad Wahid: Pesannya kontradiktif mas bro, posting di FB mana ada yang tidak ke share, post sendiri otomatis ke share kemana-mana. Lagipula itu sudah terbit, bukunya sendiri sudah ke share.. hehe.. jadi pesannya sudah lewat, karena hanya berlaku saat itu saja.

Doeble Do: Apapun yang di posting, mau pro atau kontra dan walupun menulis FB diketahui oleh orang, namun lihat kalimat pesan terakhir. Maksudnya adalah jangan di copas di share kembali mas broooo..walaupun bukunya sudah terbit dan itu berlaku dari awal buat status pak bos....

Bintang Az Zahra: Berarti yang ngeshare gak amanah ,,, biarin aja deh. ,,,buku besok minggu juga udah ﴾sampai di hk.

Muhammad Wahid: Ya, mungkin biar sekalian nambah pertanyaan ke ustadz Sinar Agama.. mengenai hukum sharing-sharing, untuk postingan itu terhadap yang melanggarnya. Karena walaubagaimanapun itu sebuah wacana pemikiran yang bisa salah bisa benar dan urusannya akhirat pula, dan apalagi di post secara terbuka,.. afwan, menunggu ustadz SA saja. 

Haidar Husein: Silahkan konfirm di abi pers.... karena saya rasa abi pers juga tidak sembarangan...

Muhammad Wahid: MasyaAllah, yang di link berikut kok begitu-begitu amat yah?.. link di bawah ini, menanggapi tulisan ustadz Mukhsin Labib..

https://www.facebook.com/bocah.../posts/671809809601230:0

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
Karena tulisannya panjang dan memiliki latar belakang, maka saya akan mencoba memberikan tanggapan karena MEMANG WAJIB DITANGGAPI, MAU DIANGGAP HALAL KEK PENULISNYA ATAU TIDAK.

Panduannya, saya akan mengutip atau menerangkan sub judul apa atau paragraf apa sebelum dikomentari. Akan tetapi, saya tidak akan menuliskannya lagi tulisan yang cukup panjang tersebut. Jadi, teman-temah, wajib teliti dalam menghubungkan komentarku dengan asal tulisannya:

Komentar:

Mukaddaimah Pertama (mukaddimah komentar):

a- Demi Allah saya sangat terkejut membaca tulisan ini. Saking tidak tahannya, kadang satu paragraf, saya baca sampai beberapa kali. Hal itu karena saya tidak percaya dengan yang saya baca dan takut salah memahami tulisan orang lantaran menahan emosi melihat tulisan yang benar-benar telah merusak ajaran Islam dan mencela para ulama sepanjang sejarahnya.

b- Tulisan saya ini, tidak mewakili siapa-siapa sekalipun saya ingin menulis secara benar menurut apa yang saya yakini sebagai seorang Syi’ah. Akan tetapi, biarlah saya menulis ini sebagai orang yang baru memahami Syi’ah, dan bukan tokoh Syi’ah apalagi, mewakili Syi’ah.

c- Komentar ini, mesti saya berikan. Dan saya tidak akan taqiah dalam mengomentarinya, dalam arti tidak akan memakai bahasa yang terlalu halus hingga tidak bisa dipahami maksudnya.

d- Namum demikian, tulisan saya ini, tidak memiliki muatan apapun, selain hanya masalah-masalah keilmuan. Jadi, tidak bermuatan politis. Karena itulah, maka saya tidak akan taqiah sebagaimana selama ini diskusi dengan teman-teman Sunni atau bahkan wahabi.

Mukaddimah Ke Dua (mukaddimah isi komentar secara global):

a- Tulisan ini (tulisan penulis yang berikutnya akan disebut “tulisan”, dan komentar saya akan disebut dengan “komentar”), secara gamblang keluar dari ajaran Syi’ah sebagaimana akan dijelaskan global di mukaddimah ini dan dalam setiap komentar yang dirasa perlu pada masing-masing paragraf tulisannya.

b- Tulisan ini bukan hanya merusak konsep imamah dalam Islam yang diikuti secara istiqamah oleh Syi’ah, akan tetapi juga sangat merusak konsep kenabian menurut Islam yang, pada akhirnya merusak keTuhanan.

c- Tulisan ini, bukan hanya merusak konsep imamah dari akar-akarnya, akan tetapi juga telah melebihtauhui Tuhan, Nabi saww, imam Makshum as dan para ulama Syi’ah sepanjang sejarahnya.

d- Tulisan ini, sangat-sangat tidak bermuatan ilmiah sama sekali. Karena ketika mengatakan Syi’ah, bukan hanya sama sekali tidak mewakili Syi’ah, akan tetapi tidak sebutir referensipun yang diambil dari sumber Syi’ah. Lah, terus Syi’ah yang mana ini?

e- Menurut saya, kalau tulisan itu dinukil dari buku “Syi’ah Menurut Syi’ah”, sebaiknya namanya diganti menjadi “Syi’ah Menurut Beberapa Orang Yang Baru Menjadi dan Merasa Syi’ah”.

Mukaddimah Ke Tiga (Ajaran imamah/khilafah dalam Islam/Syi’ah secara global):

a- Imam adalah pemimpin umat, baik secara batin atau secara lahir. Dalam istilah penulis, vertikal atau horisontal. Jadi imam, bukan seperti yang dikatakan penulis yang hanya merupakan kepemimpinan vertikal dan hanya mentidakkontradiksikan dengan khilafah (dan bisa kompromi menerima khilafah orang lain), akan tetapi benar-benar bahwa imamah dalam Islam itu adalah kepemimpinan lahir dan batin atua kepemimpinan vertikal dan sekaligus horisontal.

Karena tulisan ini ala fb saja, dan hal ini merupakan yang lebih terang dari matahari di siang bolong bagi yang sangat baru Syi’ah sekalipun, maka saya tidak akan menyebutkan banyak referensi. Cukup saya ambil satu saja dari ribuan kitab akidah Syi’ah, yaitu dari kitab Al-Syii’ah

Fii al-Islaam, karya ‘Allaamah Thaba Thabai ra:

. ماملاا ىنعم

يف اما , ةيلوؤسملا هذه بع لمحتيو , ةئف وا ةعامج دوقي صخش ىلع دئاقلا وا ماملاا ةملك قلطت

لاجملا ةعس ىدمو , هيف شيعي يذلاطيحملاب هلمع طبتريو , ةينيدلا وا ةيسايسلا وا ةيعامتجلاا لئاسملا

. هقيض وا هيف لمعلل

لك نم رشبلل ةماعلا ةايحلا ىلا رظنت ) ةقباسلا لوصفلا يف حضتا امك( ةسدقملا ةيملاسلاا ةعيرشلا نا

ةيدرفلا ةيحانلا نم ةيروصلا ةايحلا يفاذكو , ةيونعملا ةايحلا يف ناسنلاا داشرلا اهرماوآ ردصت يهف , ةهج

.اضيا ) ةموكحلا( ةيدايقلاو ةيعامتجلاا هتايح يف لخدتت امك , هنوؤش ةرادا يف لخدتتو ,

: ثلاث تاهج نم مامتهادروم نوكي نا نكمي , ملاسلاا يف ينيدلا دئاقلا وا ماملاا ناف , هركذ رم ام ىلعو

. ةيملاسلاا ةموكحلا ةهج نم : ىلولاا

.اهرشنو ةيملاسلاا ماكحلااو فراعملا نايب ةهج نم : ةيناثلا

. ةيونعملا ةايحلا يف داشرلااو ةدايقلا ةهج نم : ةثلاثلا


يذلاو ,امربم اجايتحا ,اهركذ قبس يتلا ثلاثلا تاهجلا ىلا جاتحي يملاسلاا عمتجملا ناب ةعيشلا دقتعت

مظعلاا لوسرلاو هّللا لبق نم نيعي نا بجي, عمتجملا ةدايق اهيف امب , ثلاثلا تاهجلا ةدايقل ىدصتي

. ىلاعت هّللا نم رماب ماملاا نيعي اضيا ) ص( يبنلا ناب املع ,) ص)


((Makna Imam: Imam dikatakan untuk orang yang memimpin umat atau kelompok dan memikul beban tanggung jawab tersebut, baik dalam urusan-urusan sosial dan politik (horisontal) atau keagamaan (vertikal) dan perbuatannya berhubungan erat dengan kehidupan sosialnya dimana ia (imam) hidup, baik dapat leluasa dalam menerapkan keimamahannya atau tidak (karena terhalang atau tidak diterima umat, penj).

Syari’at Islam yang suci (sebagaimana sudah dijelaskan di pasal-pasal sebelumnya) melihat kehidupan manusia secara umum dan dari segala sisinya. Karena itu, ia (syari’at) memberikan ajaran-ajarannya untuk membimbing manusia dalam kehidupan maknawiah (ibadah-ibadah vertikal) dan juga dalam kehidupan lahiriah (sosial-politik) pada setiap individu. Karena itu, ia (syari’at) mengatur kehidupan pribadinya, sebagaimana juga mengatur kehidupan sosial dan kepemimpinannya (pemerintahan, keterangan penulis buku sendiri, bukan penerjemah).

Sesuai dengan yang telah disebutkan di atas itu, maka IMAM atau PEMIMPIN AGAMA DALAM ISLAM, penekanannya terletak pada tiga dimensi:

a-1- Dimensi pemerintahan Islam (horisontal).

a-2- Dimensi penjelasan tentang ilmu-ilmu keIslaman, fikih Islam dan penyi’arannya (Horisontal Vertikal).

a-3- Dimensi kepemimpinan dan pengarahan dalam kehidupan maknawiyyah/speritual (vertikal).

SYI’AH MEYAKINI bahwa pemimpin umat Islam yang memerlukan pemimpin dalam tiga dimensi di atas itu secara fondasional (darurat) untuk memimpinnya dalam tiga hal tersebut, sebagai pemimpin, harus ditentukan oleh Allah dan Nabi Agung saww, sebagaimana beliau saww juga dipilih oleh Allah.))

..............bersambung...............


Artikel selanjutnya:
=================