Sabtu, 20 April 2019

Jangan Berpetuah Kalau Bukan Dari Marja’ dan Hakikat Syi’ah


Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:56 am

Sinar Agama: Rabu (27-2-2013) Bismillaah: Pemberitahuan Yang Tidak Memaksa:

Dengan sangat terpaksa sekali saya ingin mengumumkan sesuatu yang saya sendiri sangat tidak menyukainya. Akan tetapi, akal dan agama yang menjadi taruhannya. Mungkin juga tidak terlalu serius, tapi penting untuk diketahui bersama. Lagipula, semua ini sudah jelas diketahui bersama, akan tetapi mungkin kurang fokus saja masalahnya. Yaitu:

Saya mengingatkan diri saya sendiri dan semua teman-teman Syi’ah lainnya, baik yang rada liberal atau tergolong pesantrenan,agar:

“Hendaknya jangan memberikan ultimatum atau pedoman hidup apapun tentang kewajiban agama atau anjurannya yang tidak wajib sekalipun atau larangannya, dari kocek sendiri (ide atau ayat-riwayat). Tapi ambillah dari fatwa marja’-nya.”

Dan untuk para audien: “ Hendaknya jangan membiasakan diam dalam menghadapi semua itu dan menganggapnya sudah paten benar atau suatu kebenaran. Karena kewajiban kita semua adalah mengikuti marja’, bukan tokoh atau yang ditokohkan atau apalagi yang menokohkandiri.”

Tulisan ini saya buat karena sering kudengar atau kubaca, sesuatu yang merupakan urusan istimbati/ijtihadi, yakni merujuk ayat dan riyawat yang merupakan hak mujtahid/marja’, terasa terabaikan, hingga membuat konsep hidup yang, katakanlah mau meringan-ringankan atau sekalipun mau memberikan jalan hidup lebih baik. Kadang, saya rasakan tujuannya, tapi sangka ini kuserahkan padaNya saja karena sangkaan itu tidak ada harganya dalam Islam, kecuali yang memiliki alamat-alamat tertentu.

Ilustrasi:

Suatu hari saya ketamuan lulusan S2 hauzah Qom di rumah. Lalu dalam cakap-cakap rileks itu, terucap darinya bahwa itu sunnah lah, itu makruh lah ...dan seterusnya.. seraya menyandarkan kata-katanya itu kepada kitab Makaarimu al-Akhlaak (kitab kumpulan hadits-hadits tentang akhlak-akhlak Karimah Nabi saww dan Ahlulbait as).

Lalu saya berkata kepadanya: “Antum tidak boleh menyandarkan hukum kepada ayat atau riwayat.” Tamu itu berkata secara terperanjat: “Mengapa tidak boleh? Kan kitab itudiakui?”

Saya: “Tidak boleh karena hal itu hanya boleh dilakukan oleh mujtahid.”

Tamu bertanya lagi keheranan: “Lalu buat apa kita belajar di hauzah tentang ushulfiqih dan dalil- dalil hukum (salah satu materi pelajaran hauzah adalah al Fiqhu al Istidlaalii atau “Fikih Bedalil”) ???”

Saya: “Pelajaran itu hanya sebagai bekal untuk mencapai derajat ijtihad di kemudian hari, bukan pembolehan memakainya sebelum sampai kederajat ijtihad tersebut, dan bukan pula menafsirkan fatwa marja’ yang kita taqlidi dengannya karena bisa saja dalil marja’ kita itu beda dengan dalil yang ada dikitab tersebut sekalipun secara lahiriah, hukum yang dikeluarkan adalah sama.”

Tamu: Mantuk-mantuk seperti baru menyadarinya.

Catatan:

Perlu diketahui bahwa pelajaran ushulfiqih dan fikih berdalil itu, sebegitu berderajatnya dimana sebelum belajar Bahtsu al-Khaarij saja, harus dilalui sekitar 9 th lamanya (lihat catatan Kurikulum Hauzah). Baru setelah itu bisa masuk pelajaran Bahtsu al-Khoorij ini dimana kalau berhasil, sepuluh tahun kemudian atau dua puluh tahun kemudian, bisa menjadi mujtahid.

Wassalam.

Rosli Mamat, Singgih Djoko Pitono, Noezirwansyah KL dan 129 lainnya menyukai ini.

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama:
Ana orang awam. Jadi ikut aja dah. Asal sifat suni-isme jangan dipelihara lagi. Mentang-mentang lain marja dan tidak berwilayatufaqih dituding sebagai syiah error tanpa dalil bahkan silatuhrahim gak mau.

Jokoichi Keiko Prayitno · 7 teman yang sama:
Tanya ustadz, bagaimana jika, seorang “pemula” di AB, yang hendak belajar sedangkan untuk mengikuti kajian terkendala suatu hal, misal: Tempat dan waktu yang kurang mendukung, dan ia membaca tuntunan ibadah dan lain-lain melalui buku atau kitab fikih?

Haidar Jakfar · Friends with Sang Pencinta and 12 lainnya: Nyimak.

Adam Syarif: Fenomena yang “terlanjur” terabaikan. Syukron telah mengingatkan ustadz.

Ahmadi Joss · Friends with Haydar Ali: Kiherjuno@Lho’ datang ajhe kerumah ane entar ane kasih jamu biar Lhodar_dar_sadar....!

Zainab Ali Az Zahra · 49 teman yang sama:
Salam, afwan ustadz saya setuju dengan pertanyaan akhy jokoichi, saya pemula di AB dan saya hanya belajar lewat buku-buku dan di facebook? Syukron.

Enny Nurhuda · Friends with Aal Bsa: Anda ketemu orang yang salah..

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama: @ahmadi joss, boleh tuh jamunya, biar pikiran fresh, lagi galau banget.

Muhammad Nurahman · 119 teman yang sama: Syukron ustadz.

Bang Dei: Ahsantum. Syukron ya ustadz......

Akhir Zaman Debi · 29 teman yang sama: Rasulullah diangkat menjadi rasul dalam keadaan ummi ..gimana tuh pak ustadz.

Maz Nyit Nyit-be’doa: Nyimak..... makasih.....

Akhir Zaman Debi · 29 teman yang sama: Al-Mahdi yang tidak diketahui keberadaannya oleh sebagian manusia..tapi sudah diakui sebagai imam..,perjuangannya belum belum terealisasi layaknya rasulullah, tapi sudah diakui sebagai imam.

Mungkin sebagian ada yang menjawab kita bukan nabi, kita bukan imam mahdi, jadi beda.. tapi keduanya manusiakan?Apa bedanya dengan kita.. ummi diangkat jadi rasul bahkan oleh ALLAH.. so haruskah saya yang hanya manusia memfatwakan keharusan “ijazah” untuk menjadi seseorang ??!!

Fiuuhh ALLAH maha tinggi.. cukup berpegang pada caranya dalam menisbahkan kelayakan pada seseorang akankah ada baiknya..maaf ini hanya saran..anyway love sinar agama deh..

Ibad Black Id: Maaf pak ustadz saya rasa kalo kita mempelajari kitab itu, tidak ada habisnya. Bisa jadi kita cekcok dengan didasari membenarkan apa yang kita pelajari.. Kitab begitu banyak di bumi ini.. Tapi sayang kita pinter tapi bisa mengerti.. Pertanyaan saya pak ustad.. Kitab suci itu dimana.. Sampai kapan kita manusia bingung dengan hadist yang diambil dari Qur'an yang kata mreka miliki. Yang selalu ada perbedaan..TQ

Abi Dzar Algifari: Afwan ustadz.....obatilah kerinduan hati kami dengan bersedianya antum mampir kembali sejenak ke kota Karawang.....sangat, sangat, sangat saya nantikan.....

Sembilan Benua · Friends with Ramlee Nooh and 26 lainnya: Keburu meninggal sebelum menjadi mujtahid.

Mata Jiwa: Rasul memang harus ummi, lah kalo kita pengen ummi.. yaitulah yang banyak ngaku syiah tapi kerjanya cuma caci maki bikin panas Sunni-syiah.. ALHAMDULILLAH kita punya ustadz Sinar Agama, mau tanya apa saja, kapan saja, beranda ustadz terbuka... yang penting rajin membaca catatan-catatannya yang melimpah..jadi gak ada lagi alasan terkendala ini itu...kita patut syukuri, kehadiran pak ustadz di tengah-tengah kita termasuk salah satu dari rahmatNYA yang luar biasa..semoga kita semua dalam ridhoNYA...

Izzy Denver · Friends with Ahmad Arif and 1 other: Gitu aja ko repot.

Ndedi Sumarno: Saya setuju dengan Mata Jiwa.

Haera Haura Zahrah: Ustadz dari keinginan untuk betul-betul mempelajari AB secara detail saya masuk ke sebuah pesantren AB, tapi saya menemukan ustadz dari Qum juga yang sama seperti dalam pengalaman ustadz.

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama: Kalo boleh tau Sinar Agama ini nama aslinya siapa ya? Kali aja kenal atau jangan-jangan termasuk guru ana juga.

Haera Haura Zahrah: Di sana kami harus melaksanakan fikih sesuai dengan yang mereka lakukan padahal sebelum ke sana kami memilih marja, dan masih banyak hal yang lain. Kurang lebih 15 orang kabur itu sebelom saya.

Hadrah Ali · Friends with Ramlee Nooh:

الْحَمْدُلِلَّهِرَبِّالْعَالَمِينَ, ini adalah tatanan yang benar jangan terlalu perdulikan bisikan angin yang tak jelas asal-usulnya, mungkin dia lagi ngigau!! Ambil yang baiknya saja.. dan saya akan belajar syariah syiah.. hingga sempurna,..amiin..!!

Wasroi Aja: Variabel dalam pemikiran.....!!!!!! Tolong jangan djadikan wacana tetapi dijadikan pencerahan dan proses untuk mutlak mencapai kebenaran untuk pengikut ahlul bait.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih atas semua jempol dan komentar-komentarnya, semoga Allah selalu menjaga kita dan kita melayakkan diri masuk ke dalam perlindunganNya itu, amin.

Sinar Agama: Ki H dan yang lain-lainnya:

Pedomannya cukup jelas, yaitu kapan seseorang itu tidak biasa terikat dengan fikih dalam setiap perkataannya, maka layak ditanyakan dimana fatwanya dan siapa marja’nya. Terutama yang biasa memberikan petuah-petuah, seperti dahulukan itu kek belakangkan ini kek, atau kalau ingin hidup tenang atau tidak buang energi maka dalam berdakwah harus begini kek atau begitu kek, atau mengatakan fikih itu harus diselaraskan dengan maslahatlah atau itu lah....dan seterusnya.

Karena jangan sampai petuahnya itu tidak bersumber dari fatwa atau dari fatwa tapi yang sudah dicampuri dengan hobi-hobinya dalam hidup hingga ingin meluaskan karakternya ke orang lain dengan merasa lebih pintar dari Tuhan yang menurunkan fikih dan dari marja’ yang mengerti fikih.

Tapi kalau seseorang itu memang sudah mengikat dirinya dengan fikih dan sudah sering teruji kebenarannya dan kecocokannya dengan fatwa-fatwa marja’, maka sudah bisa diambil infonya tanpa ragu. Tapi kalaulah suatu saat ragu, maka tetap wajib harus bertanya sumbernya supaya hilang semua keraguan. Surga neraka itu tidak basa basi, lalu mengapa kita mau mengorbankan diri dengan basa-basi kepada orang yang kita hormati sekalipun? Toh kalau orang yang kita hormati itu memang terhormat, demi Allah, dia tidak akan marah dan tersinggung manakala ditanya sumbernya, karena bertanya itu wajib dalam fikih dan memberitahu itu (kalau tahu) juga wajib dalam fikih.

Itulah mengapa saya dalam diskusisi apa saya, sudah sering menyampaikan bahwa saya-nya tidak perlu dan bukan hujjah. Hujjah itu adalah tulisan dan dalilnya. Kalau dalam akidah, dalil akal dan lain-lainnya, dan kalau fikih, maka dalilnya adalah fatwa marja’. Ini kunci ilmu, bukan orang dan maqomnya dan apalagi dimaqomkan kita sendiri.

Sinar Agama: Debi: Saya kurang bisa memahami maksud sebenarnya pertanyaan antum, tapi saya akan coba merabanya dan menjawabnya. Kalau tidak cocok, ampuni alfakir:

1- Kalau antum Syi’ah, maka berarti maksud antum menulis itu mungkin untuk mengesahkan orang yang belajar otodidak dan tidak berijazah.

Kalau ini maksud antum, maka sungguh di dunia yang sudah modern ini, dimana pengetahuan sudah merambah sebegitu rupa, yang untuk masak memasak saja sudah ada kampusnya, tulisan antum ini sangat asing dan sulit dipahami. Kalau urusan kesehatan saja antum tidak pergi ketukang bengkel mobil, dan hanya pergi kedokter dimana untuk menjadi dokter cukup hanya dengan beberapa tahun, maka bagaimana mungkin antum merujuk tentang urusan- urusan agama yang berefek pada surga dan neraka, kepada orang yang hanya berkaca mata tebal sementara ia tidak membidangi agama secara spesifik? Masih mending kalau tidak ada yangberijazah,lah..... ini banyak berijazah dan antum masih memilih juga yang tidak berijazah ?

Tentu saja, ijazah itu tergantung kepada disiplin sekolah masing-masing. Ada yang ijazah agamanya ditulis seperti sekolah-sekolah lainnya, dan ada yang dikuatkan oleh gurunya. By the way, tanpa pembelajaran spesifik, sudah tentu tidak akan bisa dijadikan jaminan.

Mungkin antum berkata bahwa yang berijazah saja tidak bisa dijamin kebenarannya karena tidak makshum. Akan tetapi, akal dan agama mengatakan bahwa yang tidak makshum ini wajib diikuti manakala yang makshum itu tidak ada. Memangnya kalau tidak ada rotan terus akar pohon tidak diambil untuk dijadikan alat, lalu kita merenung saja sampai ajal menyapa kita atau kita terjun saja kesungai tanpa alat akar untuk mengikat rakit kita, atau meninggalkan akar dan memakai tali dari sarang lebah, hingga binasa dengan nyata?

Kalau antum bingung dengan ke-ummi-an Nabi saww yang tetap diangkat jadi nabi oleh Allah, maka tanyakan dan cari sebabnya, jangan terus dijadikan alat untuk menabikan guru kita yang tidak berijazah itu. Memangnya sudah sebegitu makshumkah guru/tokoh kita itu hingga ia layak jadi pewaris Nabi saww tanpa belajar dimana belajar ini diperintahkan dan diwajibkan Allah dan Nabi saww, sebagaimana layaknya Nabi saww yang diangkat menjadi nabi olehNya tanpa tahu bacatulis?

Belajar itu, tergantung jaman dan budayanya. Dijaman Nabi saww, belajar itu tidak harus pakai alat tulis. Terutama dengan daya ingat yang luar biasa dimana kalau satu orang membaca seribu bait syair, banya korang yang langsung bisa menghafalnya dimana karena itulah Qur'an ini disertai mukjizat tentang sastra arab yang tidak tertandingi karena keadaan mereka seperti itu. Di Arab jaman itu, ribuan penyair dapat dengan mudah ditemukan, tapi dalam pada itu juga tidak bisa baca tulis.

Karena itu, ke-ummi-an Nabi saww sama sekali tidak mengurangi kepandaiannya karena beliausawwmempelajariagamakakek-kakeknyasampaikenabiIbrahimasdanbahkanbeliau saww terkenal sebagai genius di masa beliau saww masih muda sekalipun. Banyak masalah- masalah umat yang umat sendiri merujuk kepada beliau saww. Seperti sejarah berpindahnya batu Hajar Aswad dari tempatnya karena banjir yang terkenal itu. Dimana Nabi saww dengan kepiawaian beliau saww dapat meredakan pertumpahan darah yang hampir terjadi yang diakibatkan oleh berebutnya setiap kaum untuk mengembalikannya ke tempatnya semula.

Anggap saja deh, memang ada yang hebat (karena memang tidak mustahil secara akal filosofis) yang tanpa guru lalu hebat, tapi kan yang bisa menilai hebat itu bukan antum atau murid-muridnyayangmemangtidakpunyailmu???Nah,kalauadayanghebat,kanbisadilihat oleh orang yang memang belajar secara spesifik? Memangnya ilmu itu dinilai oleh orang yang tidak berilmu? Kan harus dinilai oleh yang berilmu??? Nah, kalau memang ada, kan antum bisa ajukan siapa orangnya, lalu para ulama bisa melihatnya apakah ia benar atau sesat.

Lagi pula, kan tujuan penulisan saya itu sudah jelas. Kalau akidah, maka dalilnya akal. Karena itu, siapa saja bisa ditanya. Artinya, tujuan penulisan itu adalah kita tidak boleh menelan bulat-bulat tanpa cek dalil sebelumnya. Dan kalau fikih, maka dalilnya adalah fatwa marja’. Padahal, kalau antum keberatan, maka sangat dimungkinkan bahwa kita harus menerima dari orang yang tidak berijazah sekalipun tanpa harus tahu dalilnya dengan alasan Nabi saww diangkat dalam keadaan Ummi dan dengan alasan Tuhan Maha Luas dan Tinggi (lah...apa hubungannya?).

Lagipula, saya sudah sering menjelaskan bahwa ummi itu tidak bisa baca tulis. Dan baca tulis, alat mencari ilmu dan informasi. Nah, kalau seseorang sudah dapat informasi itu dari Akalnya yang jenius dan kejeniusannya terbukti dalam sejarah dimana melampaui yang bisa baca tulis sekalipun seperti Nabi saww, dan juga mendapat ilmu dari Tuhannya karena kemakshuman beliau saww dari sejak kecil, lalu masih mencari ilmu baca tulis, maka hal itu benar-benar sesuatu yang pasti ditentang akal dan agama itu sendiri. Ibarat seseorang yang bisa mendapat ikan dari lautan hanya dengan keinginan hati, lalu siang malam pergi ke pasar untuk mencari dan membeli pancing atau jala.

2- Kalau antum saudariku dari Sunni, maka ketahuilah bahwa Imam Mahdi as itu, bukan ditunjuk Allah karena hasil kerja yang dilampaui tapi karena kerja-kerja yang akan dilampaui. Artinya, semua imam itu dipilih Tuhan karena Ilmu Tuhan tentang siapa-siapa yang makshum dan siapa-siapa yang tidak makshum.

Karena Islam ini tanpa makshum tidak ada jaminan, artinya tanpa makshum tidak akan ada jalan lurus, karena jalan lurus itu adalah jalan Islam yang tidak salah sedikitpun (wa laa al- dhaalliin) hingga karena itu maka ilmunya harus lengkap dan benar 100%, maka tanpa orang makshum, jelas Islam ini tidak akan pernah bertahan murni dan jalan lurus.

Tuhan Yang Maha Tinggi dan Tahu itu, yang mewajibkan kita meminta jalan lurus dalam setiap shalat itu (dengan mewajibkan kita membaca suratal-Faatihah dalam shalat) sudah jelas lebih tahu dari kita tentang kenyataan ini dan, karena itulah Ia mewajibkan kita memintanya setiap hari. Nah, kalau dari satu sisi Tuhan mewajibkan kita meminta jalan lurus yang tidak salah sedikitpun, lalu dari sisi lain Tuhan tahu tidak ada yang makshum, maka jelas hal ini adalah aniaya yang tidak akan pernah dilakukanNya.

Nah,karena jalan lurus ini harus bertahan sampai hari kiamat, dan Tuhan tahu bahwa manusia tidak bisa mengerti siapa manusia lain yang makshum secara lahir batin, maka karena itulah Tuhan mengumumkan dalam Qur'an siapa-siapa yang makshum itu dan begitu pula Nabi Nya saww.

Lebih dari itu, Tuhan tidak hanya mencukupkan dengan mengumumkan siapa yang makshum itu (Ahlulbait Nabi saww, QS: 33: 33), tapi bahkan menjadikan mereka imam-imam kaum mukminin (QS: 4: 59) yang wajib ditaati sejak di jaman Nabi saww.

Nah, itulah imamah dalam Islam yang diikuti Syi’ah. Yaitu imamahnya orang-orang makshum yang ditunjuk Allah sejak awal bahkan sebelum mereka as lahir ke dunia sekalipun. Artinya, sebelum berkarya sekalipun. Tapi bukan tanpa karya dan ukuran kreasi, hingga semena-mena. Ia juga karena kerja-kerja tersebut, tapi kerja-kerja yang bahkan sebelum dikerjakan itu dan bahkan sebelum lahirnya pelakunya itu. Nah, ketika Tuhan tahu siapa-siapa yang makshum di masa Nabi saww dan di masa setelah itu (akan datang) dimana berarti bahwa mereka itu sudah pasti bukan hanya gigih dan taqwa dalam menuntut ilmu dan amal shalih, tapi bahkan sampai ke derajat paling tinggi, yaitu kemakshuman, maka dengan dasar itulah makamereka layak jadi uswah dan pemimpin yang lain. Itulah mengapa Tuhan menunjuk mereka menjadi imam sebelum mereka berkarya dan bahkan sebelum lahir sekalipun. Karena bagi Allah, sebelum dan sesudah itu, tidak ada artinya, karena Tuhan Maha Tahu apa saja sekalipun belum terjadi. Lagi pula, tanpa penunjukan ini, lalu bagaimana bisa manusia memilih imam makshumnya supaya tidak keluar dari jalan lurus itu sementara mereka tidak tahu siapa-siapa yang makshum tersebut.

Jadi, jauh beda antara masalah imam makshum seperti imam Mahdi as dengan orang yang tanpa belajar secara spesifik itu. Artinya, imam Mahdi as itu jelas lulus seratus persen di Mata Tuhan dari sisi ilmu dan amal taqwa (karya dan perjuangan) yang diketahui dua ratus lima puluh tahun sebelum lahirnya dan bahkan sejak sebelum alam ini diciptakan. Beda dengan kita para gembel ini yang kalaupun sekolah agama secara spesifikpun sulit mendapat nilai seratus kala ujian dan, apalagi tahunan setelah itu (karena biasanya ilmu kita dilupakan kita sendiri) ditambah lagi dengan amal sebagiannya yang semrawut/kacau dan jauh dari taqwa serta, apalagi dari kezuhudan yang, sering hidup tidak beda dengan para preman,tapi kalau bicara agama bergaya melebihi para bijak, ulama dan arif atau filosof. Atau cintanya pada dunia tidak beda dengan para penyinta tapi kalau berbicara kearifan, seakan sudah menduduki‘ Arsyullah dan berada di kaki para makshumin as.

Semoga Tuhan selalu menjaga kita semua dan semoga kita melayakkan diri untuk masuk dalam rangkulan penjagaanNya itu, amin.

Sinar Agama: J.K.P dan Z.A.A: Belajar fikih itu memang bisa memakai kitab fikih marja’nya, yakni fatwa marja’-nya atau mujtahid yang ditaqlidinya. Karena itulah antum bisa download dari internet ini dan aku juga bisa memberikannya kepada antum-antum. Dan kalau ada yang tidak dipahami, maka bisa ditanyakan. Jadi, tidak harus kekajian untuk belajar agama. Kata orang,dunia ini sudah tidak selebar layar BB atauMonitor.

Memang, kalau ada berdekatan dengan guru yang alim dan amanat serta taqwa (adil, tidak melakukan dosa besar dan kecil), maka bisa belajar padanya dan, apapun itu, tetap dianjurkan dengan sangat antum sendiri memiliki dan membawa kitab fatwa tersebut, supaya bisa bertanya atau mengingatkan sang guru kalau tidak sama dengan fatwa yang ada dikitab yang antum miliki itu.

Ingat, kalau di akhirat, sesuai Qur'an, anak lari dari orang tua dan sebaliknya, suami lari dari istri dan sebaliknya, lalu apalagi guru dari murid dan sebaliknya???!!! Karena itu, jangan sembarang meletakkan kepercayaan kepada siapapun walau, tidak boleh juga merendahkan siapapun tanpa alasan. Jadi, tidak mempercayai sepenuhnya dalam urusan-urusan fatwa dan agama, bukan tanda merendahkannya. Karena itu, keluarlah dari rasa dan perasaan ketika sudah bicara agama dan fatwa, dan batasilah sopan santun dan penghormatan itu hanya dalam bidang-bidang sosial saja seperti cium tangan pada orang tua dan menaatinya (dalam hal-hal yang tidak haram) bukan berarti membenarkannya dalam masalah-masalah agama dan fatwa. Jadi, hormat itu ada tempatnya, dan ilmu yang mengkonsekuensikan surga-neraka juga ada tempatnya.

Neo Hiriz · Friends with Ramlee Nooh and 164 lainnya: Nasehat yang sangat diperlukan. Mamnun ustadz.

Mahdi Askariyyin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja ali Muhammad.

Pendapat klasik yang saatnya sudah harus dikoreksi. Zaman sudah berubah, kesadaran para syiah tumbuh dewasa. Yang penting adalah menjaga diri dari mengikuti syahwat dan hawa nafsu, dan itu sesungguhnya sama dengan mengikuti marja meskipun tidak mengikuti secara lateral.

Nyoman Salim Al-Jufrie · 504 teman yang sama: Barakallah..sukron ilmunya..

Zaka Riya · Friends with Sang Pencinta: Assalamualaikum, saya mau tanya tentang ungkapan ‘’syi’atuna man yatakhollaku bi akhlakina’’ dari mana asalnya dan ada di kitab apa trimakasih wassalamualaikum.

Mata Jiwa: Mantaab pak ustadz...kelebihan pak ustadz yang belum ada tandingannya adalah: Jawabannya lengkaaap.. MasyaALLAH.. meski pak ustadz berada jauh dibalikawan, tiap pertanyaan diladeni seperti ngobrol tatap muka...Ya ALLAH, panjangkan umur ustadz kami ini..tak kenal di bumi, smoga ENGKAU kenalkan kami kelak di majlis langitMU...

Sugeng Iwan: Penjelasan yang membimbing, syukran....

Ana Kultsum: Salam warohmah wa barokatullah . . Afwan akhi numpang nyimak & ijin share.

Jokoichi Keiko Prayitno · 7 teman yang sama: Syukron...thankyou...arigato gozaimas, ustadz.

Sinar Agama: Mahdi: Jangan sampai antum mau katakan Qur'an itu klasik hingga perlu dikoreksi. Kan raksyih amat, dimana marja’nya mewajibkan taqlid leterleks, sementara antum berkata lain. Jangan sampai marja’ itu antum maksudkan dengan klasik yang perlu dikoreksi. Karena semua marja’ mewajibkan taqlid leteral, sementara antum berkata lain. Kalau antum memang benar, maka tolong sebutkan dimana ada fatwa marja’ seperti yang antum katakan itu, hingga kita-kita akan mengucapkan terima kasih kepada antum karena koreksiannya yang benar???!!!! Tentu saja kalau antum menulis itu atas dasar penukilan pendapat marja’. Tapi kalau antum hanya mengatakan apa-apa yang antum yakini, maka maaf kalau saya katakanbahwa:

“Kami bukan yang taqlid kepada antum hingga karena itu maka kami tidak akan memperhatikannya terlebih berlawanan dengan fatwa-fatwa marja’ kami. Lagi pula, apakah maksud antum dengan koreksi terhadap pendapat klasik itu adalah taqlid semau gua, yakni melakukan sesuatu dan menghubungkannya kepada marja’ walau si marja’ tersebut tidak menfatwakannya secara leteral???!!!! Kalau taqlid-taqlidan batin seperti itu, maka semestinya hujjahnya juga diam-diaman dan batin-batinan, artinya tidak bisa didiskusikan. Nah, ketika antum mendiskusikannya, maka berarti harus memiliki penyandaran yang lahiriah. Kok bisa diskusi dengan orang dan orang lain itu disuruh percaya saja terhadap sebuah pemahaman dan tidak boleh dicek leteralnya karena hal itu klasik dan harus dipercaya saja apa-apa yang ada di hatinya karena hal itu modern?” Ini namanya, ra’syih amat.

Sinar Agama: Zaka: Kata-kata itu bermakna “Syi’ah kami adalah yang berakhlak dengan akhlak kami.”

Kalau kita lihat akhlak mereka as dan perintah-perintah mereka as yang lain, maka tidak bisa dipungkiri bahwa mereka sangat taat kepada Allah dalam segala hukum-hukumNya hingga diumumkan Tuhan dalam Qur'an sebagai makshum. Makshum artinya bersih dari dosa, dan bersih dari dosa, artinya bersih dari segala pelanggaran fikih dan hukum.

Kemudian, salah satu dari perintah hukum yang diberikan Tuhan dan Nabi saww serta para imam makshum as, adalah wajib bagi orang-orang yang tidak spesialis tentang agama (bukan mujtahid) untuk menaqlidi/mengikuti yang spesialis/mujtahid dalam urusan-urusan fikih dan agama.

Karena itulah, kata-kata imam makshum as yang lain yang banyak ditemui di kitab-kitab Syi’ah dan yang mirip dengan kata-kata yang antum nukil itu, seperti:

“Syi’ah kami adalah orang yang tertaqwa di kampungnya.” Artinya, yang paling taat dalam fikih dan hukum-hukum Tuhannya.

Sinar Agama: Yang Lain-lain: Terima kasih atas semua perhatian dan baik sangkanya serta doanya, semoga dikabulkan Nya untuk alfakir, untuk antum semua dan semua teman di facebook ini, amin.

Zaka Riya · Friends with Sang Pencinta: Assalamu’alaikum, terima kasih atas penjelasannya ustadz, tapi yang saya ingin tahu, siapakah diantara ma’sumin yang telah mengatakan ungkapan itu ustad, sebelumnya saya ucapkan terimakasih, wassalamu alaikum warohmatulloohiwabarokaatuh.

Komarudin Tamyis: Sami’na wa atha’na.. Jazakumullah khoiron..

Muhammad Yasin · 2 teman yang sama: Allohummashollialaa Muhammad waaali Muhammad, semoga ustadz dalam lindunganNYA dan tidak bosan-bosan untuk menerangkan masalah- masalah agama yang ana belum ketahui.

Sinar Agama: Zaka: Kalau hadits yang antum tanyakan itu, sepertinya tidak ada. Tapi yang maksudnya sama, maka ada seperti hadits yang dikatakan imam Ali as yang menukil juga dari Nabi saww:

إنشيعتنامنشيعنا،واتبعأثارنا،واقتدىبأعمالنا

“Sesungguhnya Syi’ah kami adalah yang mengikuti kami, mengikuti lampa-lampa kami dan mencontoh perbuatan-perbuatan kami.” (Tafsir imam Hasan al-’Askari, 307; Bihaaru al-Anwaar, 68/154).

Ada juga yang dari hdh Faathimah as:

قالعليهالسالم:قالرجلالمرأته:اذهبيإلىفاطمةعليهاالسالمبنترسولاهللصلىاهللعليهوآلهفسليها

عني،أنامنشيعتكم،أولستمنشيعتكم؟فسألتها،فقالتعليهاالسالم:قوليله:إنكنتتعملبماأمرناك،

وتنتهيعمازجرناكعنهفأنتمنشيعتنا،وإالفال.فرجعت،فأخبرته،فقال:ياويليومنينفكمنالذنوبوالخطايا،فأناإذنخالدفيالنار،فانمنليسمن

شيعتهمفهوخالدفيالنار.فرجعتالمرأةفقالتلفاطمةعليهاالسالمماقاللهازوجها.

فقالت فاطمة عليها السالم:قوليله: ليس هكذا فان شيعتنا من خيار أهل الجنة،وكلمحبيناومواليأوليائنا، ومعاديأعدائنا،والمسلمبقلبهولسانهلناليسوامنشيعتناإذاخالفواأوامرناونواهينافيسائرالموبقات،وهممعذلكفيالجنة،ولكنبعدمايطهرونمنذنوبهمبالبالياوالرزايا،أوفيعرصاتالقيامةبأنواعشدائدها،أو

فيالطبقاالعلىمنجهنمبعذابهاإلىأننستنقذهم-بحبنا-منها،وننقلهمإلىحضرتنا.)3(

Berkata imam Hasan ‘Askari as: “Seorang lelaki berkata kepada istrinya: ‘Pergilah kamu ke hdh Faathimah bintu Rasulillah saww dan tanyakan tentang ku apakah aku ini Syi’ah kalian atau bukan Syi’ah kalian?’ Kemudian ia -istrinya- bertanya kepada beliau as. Dan beliau as berkata: ‘Katakan pada suamimu: Kalau melakukan apa-apa yang kami perintahkan kepadamu dan menjauhi apa- apa yang kami larang terhadapmu, maka kamu Syi’ah kami. Tapi kalau tidak, maka bukan Syi’ah kami.’

Kemudian wanita itu kembali ke suaminya dan memberitahukannya. Dan suaminya berkata: ‘Celakalah aku dan orang-orang pelaku dosa dan kesalahan. Kalau begitu maka aku akan kekal di dalam neraka. Karena yang bukan dari Syi’ah mereka, akan kekal di dalam neraka.’

Lalu si istri itu kembali lagi ke hdh Faathimah as dan mengabarkan tentang apa-apa yang dikatakan suaminya. Lalu beliau as berkata: ‘Katakan padanya: Bukan seperti itu. Sesungguhnya Syi’ah kami itu adalah orang-orang pilihan di surga. Sementara orang-orang yang menyintaikami dan berteman dengan teman kami dan bermusuhan dengan musuh kami, dan menerima kami (wilayah/imamah) dengan hati dan lisannya. Bukanlah Syi’ah kami kalau melanggar perintah- perintah kami dalam kewajiban dan larangan-larangan kami dalam kemaksiatan. Akan tetapi mereka akan tetap masuk surga setelah dibersihkan dari dosa-dosa mereka dengan bencana- bencana dan derita-derita, atau dengan suatu yang menyiksa dan berat di akhirat pada hari kiamat, atau disiksa di jahannam yang paling atas (tidak terlalu dalam) dengan adzab-adzab hingga kami mensyafaati mereka karena cinta mereka kepada kami dan mengangkat mereka dari jahannam itu lalu mendekatkannya kepada kami.’.” (ibid).

She Lha · Friends with Sang Pencinta and 120 lainnya: Pintar, cerdas, baik, akhlaknya mantaf, itu om Sinar Agama.

Muhammad Bob Ali: Untuk urusan fiqh memang seharusnya begitu.

Sarboz Osemon · 144 teman yang sama: Ustadz, orang-orang yang jauh dari pusat kota susah mengakses fatwa maraji, mereka mendengarnya hanya dari orang-orang yang punya akses ke kota, internet, buku, dan lain-lain.. yang dari mereka yang punya akses pun terkadang informasinya pun kurang dipercaya, kalaupun dipercaya masih kurang akurat, kalaupun akurat kadang informasinya ada tendensi pribadi di dalamnya, sementara orang-orang yang sedang dilanda masalah butuh yang instant..menurut ustadz bagaimana?

Bimo Mangkulangit: Menyimak...

Yoez Rusnika: Allahumma shali ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Sinar Agama: Sarboz: Harus ada tolong menolong di antara kita semua. Kemudahan yang bisa diraih di satu daerah, seperti yang terdekat yang kesulitan itu, berkewajiban membantu yang kesulitan tersebut. Sebenarnya, kalau antum sebutkan daerahnya, sangat mudah dan mungkin dalam tidak akan sampai seminggu sudah bisa diatasi i-Allah. Karena fikih Rahbar hf sudah sangat mudah didapat di internet ini, dan kita bisa minta tolong kepada daerah terdekat untuk membantu mereka.

Coba sebutkan saja daerah-daerah yang memang sulit, nanti kita coba cari jalan secepatnya membantu mereka. Sebutkan daerah yang sulit mengakses itu dan sebutkan alamat yayasannya atau yang dianggap mewakili supaya dapat kita-kita bantu mengirim kepada mereka print out dari buku fikih tersebut. Ana rasa mudah diatasi, Allahu A’lam. Coba saja, saya yakin akan cepat bisa diatasi.

Wassalam.

Maman Aja: Wilayah fiqih dan wilayah petuah/pedoman hidup itu satu paket apa terpisah? Ana belum paham betul dengan wilayah marjaiyyah, apakah meliputi wilayah, petuah, pedoman hidup(hikmah)? Mohon pencerahan....

Sang Pencinta: MA: https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf,

Taqlid dan kelebih pandaian marja’ (a’lam), seri tanya-jawab Al Louna dan Sinar Agama http://www.facebook.com/note.php?note_id=229636837046872,

Wilayatul Faqih (Seri1)
WF Marja Taqlid.pdf

Sinar Agama: Maman: Petuah itu kalau hanya bersifat seperti jangan merokok, jangan makan pedas-pedas, jangan kebut-kebutan,.... dan seterusnya... yang bersifat nasihat yang tidak berbobot muatan agama (seperti haram dan wajib), maka jelas tidak masalah (diambil dari orang yang baik dan mengusai serta berpengalaman berhasil). Tapi kalau bobotnya memasuki daerah hukum fikih, seperti jangan beramar makruf dan bernahi mungkar kalau begini dan begitu, jangan berfikih ketika begini dan begitu, jangan shalat dengan cara Syi’ah kalau bukan begini dan begitu....dan seterusnya...maka jelas hal ini bukan wewenang atau wilayah selain mujtahid yang biasa disebut fakih/faqih.


هُمَّصَلِّعَلَىمُحَمَّدٍوآلِمُحَمَّدٍوعَجِّلْفَرَجَهُمْ

Keharaman Mencaci Simbol-Simbol Madzhab Lain


Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:11am



Sang Pencinta: (1-3-2013) Salam, masih terkait pertanyaan beberapa hari lalu, apakah marja anti Wali Faqih memfatwakan pengharaman pencacian simbol Suni? Ke dua, apakah marja anti Wali Faqih mengonsepkan taqlid juga? Ke tiga, apakah ada marja yang tidak memfatwakan taqlid? Ke empat, Syiah liberal dari mana asal usulnya? Terima kasih ustadz. — bersama Sinar Agama. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

  1. Menurut saya, tidak akan ada marja’ yang membolehkan pencacian atau pelaknatan pada simbol-simbol yang disucikan madzhab lain di depan umum/Sunni. Justru mereka biasanya menyarankan takiah bahkan dalam beribadah di depan Sunni kalau harta, nyawa, keselamatan diri dan keluarganya terancam. 
  2. Kalau yang anti Wali Faqih itu orang-orang liberal, seperti raja Iran dan konco-konconya, maka mereka anti taqlid. Tapi kalau dari kalangan ulama, maka biasanya semuanya mewajibkan taqlid. 
  3. Tidak pernah ditemui di muka bumi ini, seorang marja’ yang tidak mewajibkan taqlid.
  4. Syi’ah liberal itu sama dengan Sunni liberal. Mereka biasanya hanya memiliki keimanan pada Tuhan, Nabi saww dan imam (tentu kalau Sunni minus imam makshum). Tapi dalam aplikasi keseharian, mereka tidak meyakini akan perintah-perintah Allah, Nabi saww dan para makshum as yang menyuruh taqlid kepada ulama ini. Karena itu, mereka berjalan sendiri dengan inisiatif sendiri. 
Biasanya, para liberal ini, karena terpengaruh oleh konsep-konsep politik yang tidak mengimani tentang keharusannya bahwa harus dari agama dan mereka biasanya memisahkan agama dan politik atau kalaulah tidak memisahkan, tapi mereka merupakan pengikut hermeunitik modern yang membuahkan bebas penafsiran teks-teks agama. 

Jadi, sumber terbesarnya para liberal itu karena memisahkan politik dari agama dan/atau pengikut hermeunitik modern (bukan yang klasik dimana merupakan kebenaran seperti yang sudah sering dijelaskan). 

Sumber-sumber lain yang sangat mungkin seperti: 

  1. Suka main politik sementara ia tidak tahu agama. Karena itu, semua hasil-hasil renungan dan kerjanya, diambil dari pengalamannya sendiri yang, sudah tentu tidak diambil dari agama karena memang bukan ahli agama. 
  2. Ingin jadi pemimpin dunia dan ingin diikuti orang lain, baik dalam yayasan, organisasi atau partai sementara ia tidak membidangi agama secara spesifik. 
  3. Malas belajar agama dan bahkan mencela kalau ada orang belajar agama puluhan tahun (padahal di Syi’ah harus puluhan tahun belajar agama sesuai dengan yang sudah sering dijelaskan tentang kurikulum hauzah, kalau ingin tahu agama), tapi ingin beraktifitas dalam segala bidang terutama politik, sosial dan semacamnya. 
Yakni: 

Ketiga kelompok ini, karena cinta diri dan semacamnya (salah satu penyakit psikis), sudah tentu tidak ingin terikat dengan apapun. Bahkan mereka mengatakan bahwa semua itu adalah batasan yang diberikan orang yang tidak makshum. Padahal dirinya sendiri juga tidak makshum di samping tidak spesialis agama. Padahal kalau mereka sakit pasti ke dokter, dan tidak mengobati diri mereka sendiri. Kan raksyih manakala mau jadi ulama sementara tidak mau belajar agama pada ulama sesuai prosedur yang ada dan resmi. 

Kalau tadinya mereka bertaqlid, tapi hal itu hanya dalam bidang-bidang pribadi seperti shalat. Dan kalaulah tadinya taqlid juga dalam masalah-masalah umum, tapi ketika banyak benturan dengan fatwa dan apalagi melihat bahwa kerja mereka itu sudah batal dari awal karena tidak merujuk ke fatwa dari awal, maka mereka menjadi murtad dari taqlid (bukan dari Islam) dan menjadi pendukung dan pengikut liberalism. 

Tambahan: 

Liberal ini bisa dengan jidat hitam atau punya pesantren dan organisasi Islam. Jadi, jangan terkecoh dengan jidat hitam, hafal Qur'an dan hadits, ribuan pengikut, besarnya pesantren, tangisannya dalam shalat dan doa, puluhan karangan kata-kata agama, ......dan seterusnya. Karena Islam tidak melihat banyaknya amal saja, tapi juga tergantung pada profesionalismenya dan ketulusannya. 

Karena itu, maka yang tidak menerima konsep Islam secara utuh, maka ia adalah liberal, baik dalam rangka konsepnya itu sendiri (seperti tidak meyakini adanya hukum Islam tentang masalahmasalah politik) atau pengambilan konsepnya yang dari marja’ bagi yang Syi’ah itu. 

Wassalam. 

, فوزية عبد الرحمن 

Maskur Manggau, Hidayat Dayat dan 37 lainnya menyukai ini. 


Nazlah Kandia · Friends with Ramlee Nooh and 39 lainnya: Salam, afwan Ustadz. Ana pernah copas tulisan antum. Ana belum sempat meminta izin, ana sempat tulis dalam sebuah tautan acount lain saja. Alhamdulillah...ana kagum atas jawaban Ustadz. 

Nina Abubakar: Salam... Saya awam tentang agama, hanya sedikit tau. Tapi ada terbersit di hati kalo saya sepertinya akan butuh seorang Marja’ untuk rujukan syar’i hal-hal terkait dengan hidup saya. 

Bagaimana cara saya untuk bisa bermarja’ kepada seorang Marja ??. 

Hadrah Ali · Friends with Ramlee Nooh: Alhamdullillah,..lanjutkan saja sepanjang yang ustadz ketahui...Allahumma shali aala Muhammad wa Ali Muhammad..!! 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih atas semua jempol dan komentarnya. 

Hadrah Ali · Friends with Ramlee Nooh: Insyaallah semuanya benar..cara pandang dari sudut yang berbeda saja ya ustadz,..salam..!! 

Sinar Agama: Nina: Kalau mau bermarja’, maka tinggal memilih mujtahid (yang mampu menyimpulkan semua hukum Islam dari Qur'an-Hadits dan lain-lainnya) yang terhebat (kalau ada beberapa orang mujtahid) dari sisi ilmu dan ketaqwaan, lalu berniat diri untuk mengikuti fatwanya, lalu mengambil fatwanya dari kitab-kitabnya atau dari orang adil/jujur yang tahu tentang fatwanya. 

Ulama terhebat pada masa kini, adalah ayatullah sayyid Ali Khamenei hf dimana ada ratusan atau ribuan mujtahid di belakangnya yang mendukungnya menduduki Wilayat Fakih atau Wewenang Fakih tertinggi dimana sekarang beliau memimpin Iran menggantikan Imam Khumaini ra. 

Sudah banyak juga fatwa-fatwa beliau hf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dimana kalau antum perlu saya dan teman-teman yang lain, bisa mengirimkannya kepada antum, i-Allah. 


Akhir Zaman Debi · 29 teman yang sama: 

2- Ingin jadi pemimpin dunia dan ingin diikuti orang lain, baik dalam yayasan, organisasi atau partai sementara ia tidak membidangi agama secara spesifik.....jadi inget rasulullah, jadi inget peristiwa yang deket deket ma ghadir khum yaitu pada saat saat haji terakhir rasul..yaitu di saat Allah berfirman > pada hari ini telah kusempurnakan nikmatKU padamu dan ku ridhoi ISLAM jadi agamamu... firman tentang ISLAM telah di ridhoi ini hadir setelah rasul mendapat ummat yang percaya.. memenangkan makkah dalam arti kata belum ada ridhoi tapi sudah ada ummat atau dipercaya untuk sesuatu, khususnya iman, lucky rasulllah...so must be in something first? Than can get some?? Than you can prove some?!! Specially on your RABB?!! Not do something first than get something, for prove something..like Rasulullah, back to past..more past than you will be ikhlas let your passion for pride privacy satifaction..this if me. Anyway love Sinar Agama deh. 

Sang Pencinta: Memang saya hapus ustadz, saya pikir jawabannya sudah terdapat di arsip, walau hanya singgungan sikit saja, btw terima kasih sudah dijawab. 

Abi Syekh Daeng: Afuwan All@ ikut nyimak moga manfaat..... 

Nina Abubakar: Saya surpraise, ternyata jalannya ga terlalu rumit untuk bisa bermarja’ dengan seorang Marja’ ya. Sebelumnya bayangan saya, seorang muqollid (yang taqlid) keberadaannya harus sepengetahuan dan persetujuan Marja’ yang diikutinya. 

Kalo dari penjelasan tadi, sepertinya tidak harus seperti itu. Tetapi yang diperlukan adalah kesadaran seorang muqollid terhadap fatwa-fatwa dari Marja yang di ikutinya. 

Dari penjelasan tadi juga, sepertinya fatwa-fatwa Ayatullah sayyid Ali Khamenei hf sudah dibukukan tapi tidak dijual bebas ya?? 

Nina Abubakar: Jujur, memang saya tidak tau harus memulai dari mana untuk bertaqlid. Hehee... 

Nina Abubakar: Dan saya juga tidak tau/awam, siapa-siapa saja sosok Marja yang ada. Saya tidak bisa memilih. 

Dengan segenap keawaman saya, apakah berarti saya boleh langsung mengikuti/bemarja’ kepada Ayatullah sayyid Ali Khamenei hf seperti yang direferensikan tadi ?? 

Sasando Zet A · Friends with Sang Pencinta and 40 lainnya: Nyimak dengan kesungguhan... 

Sang Pencinta: Nina Abubakar: ini penjelasan ustadz, 

https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf 

Panduan Fikih Rahbar, 
https://www.dropbox.com/s/515vzx25gjgzh9q/Fikih%20Pemula.pdf, tanya jawab Rahbar dengan mukalidnya, 

https://www.dropbox.com/s/cd7m6lnoadnjqi9/Ajwibah_1_pruf_udin.pdf, https://www.dropbox. 

com/s/aux17monj119edb/Ajwibah_2_pruf_udin.pdf. 

WF Marja Taqlid.pdf 

www.dropbox.com 

Sang Pencinta: Kalau berminat catatan ustadz terkait penerapan fatwa Rahbar, saya bisa tukilkan, i-Allah. 

Nina Abubakar: Sang Pencinta | terimakasih banyak kiriman link-link yang terkait. Boleh dibantu nukilkan. 

Sang Pencinta: Nina Abubakar: Sejauh ini arsip yang sudah dibuatkan per topik ini mbak, 

http://www.facebook.com/groups/KCUSA/doc/229211343876859/ 

Nina Abubakar: Sang Pencinta | terimakasih banyak invite ke grup Kompilasi Arsip Ustadz Sinar Agamanya... 

Sang Pencinta: Nina Abubakar: Sama-sama mbak, kalo mau mbak bisa add teman-teman yang lain. I-Allah diupdate secara reguler sesuai perkembangan arsip ustadz Sinar. 

Sinar Agama: Nina, Tolong minta sekalian fikih Rahbar hf ke Pencinta. Oh iya mbak Nina, di awal awal fikih itu, diterangkan dengan jelas cara taqlid. Semoga Allah selalu bersamamu, bersamaku dan bersama semua teman-teman facebook kita, amin. 

Sinar Agama: Pencinta, tolong kirimi sekalian mbak Nina itu fikih Rahbar hf yang berjudul Belajar Fikih Untuk Pemula itu atau Fikih Praktis. Terima kasih. 

Sang Pencinta: Sudah di atas ustadz. 

Sinar Agama: Oh Begitu, syukurlah, terima kasih. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 19 April 2019

Anti Wilayatu Al-Faqiih


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes)on Tuesday, April 2, 2013 at 9:01am


Sang Pencinta: Rabu (27-2-2013) Salam, intermezzo ustadz, seberapa besar pengaruh gerakan anti WF di internal AB sendiri? Apakah anti WF ini bertaqlid pada marja? Apakah secara fatwa perbedaannya mendasar dengan yang WF sendiri? Tampaknya simpatisannya di Indonesia tumbuh subur. Terima kasih ustadz. — bersama Sinar Agama.

Nida Zainab, Daris Asgar, Irphan Zidney Ars dan 13 lainnya menyukai ini.

Abie Manyu: Apa tuh WF??

Maz Nyit Nyit-be’doa: Salam, nyimak....makasih,,,

Razman Abdullah Chokrowinoto: WF itu adalah Wilayatul Faqih, otoritas khas yang diberikan pada ulama unggul.

Sang Pencinta: AM:

http://www.facebook.com/home.php?sk=group_210570692321068&view=doc&id=211010885610382

Sang Pencinta: Adakah fatwa Rahbar tentang memperlakukan kelompok anti WF ini?

Sang Pencinta: Apakah mukalid bermarja anti WF ini berkewajiban mengikuti fatwa Rahbar urusan sospol?

Abie Manyu: Permasalahan mendasar yang menjadi perbedaan di aqidah syiah imamiah adalah sudut pandang mengenai naibul imam,,’

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Sebagaimana yang sudah sering dijelaskan bahwa Wali Faqih ini adalah wewenang faqih/ ulama/ mujtahid dan ada dua pandangan, mutlak dan muqayyad/ terbatas. Yang kita bicarakan tentu yang mutlak, yaitu yang meliputi masalah sosial dan politik dan kepemimpinan umat di dalam urusan- urusan itu. Tidak seperti yang terbatas dimana hanya membatasi wewenang itu pada pemberian fatwa tapi tidak membolehkan melaksanakan fatwa-fatwanya yang bersifat sosial-politik dan hukum pengadilan dan peradilan. Jadi, hanya berfatwa pencuri itu dipotong tangannya, tapi mengharamkan memotongnya kalau bukan imam makshum. Rinciannya, lihat di catatan.

Yang anti WF ini, tentu minoritas, karena memang tidak sesuai dengan fitrah manusia dan agama itu sendiri.

Sikap kita dalam arahan fatwa, maka dikatakan bahwa selama mereka itu dalam tidak mengimani WF mutlak tersebut, karena ijtihad dan/atau taqlid pada yang berfatwa tidak mutlak itu, maka masih dihukumi sebagai muslim dan Syi’ah. Tapi kalau tidak, maka dihukumi pengacau. Tentu saja, yang tidak dihukumi pengacau itupun, disyaratkan tidak mengacau yang ber-WF dan tidak membuat kerusakan. Karena kalau tidak, maka hukumnya adalah sama.

Di Indonesia, gerakannya setelah banyak Sunni masuk Syi’ah karena WF itu. Biasanya di dunia juga demikian, suka dompleng dan baru mempengaruhi orang dari dalam. Mereka-mereka ini ada yang tidak segan-segan bekerja sama dengan para antek barat hingga negara Inggrispun memberikan mereka stasiun TV khusus di Inggris untuk menyerang WF dan persatuan umat yang dipelopori WF.

Kita tidak usah terlalu sedih dengan mereka ini, karena hidayah itu raihan, bukan berian. Jadi, kalau kita tidak bisa menasihati mereka di dunia ini, maka apa boleh buat, kita jaga akhirat kita sendiri dengan kuat dan dengan penuh keprofesionalan serta ketaqwaan dan keikhlashan yang tinggi. Kita serahkan urusan mereka kepada akal dan fitrah sehat mereka dan kepada Allah, semoga pada akhirnya mereka dapat pula menemukan kebenaran ini dan mengaplikasikannya dengan sempurna, amin.

Istiqomah Isti: Waduh pusing terlalu panjang intinya aja lah ustad, salam.

Singgih Djoko Pitono: Sangat jelas ustadz...

SinarAgama: Abie: Tentang wilayatulfakih itu bukan masalah akidah, tapi masalah fikih walaupun ia cabang dari masalah akidah yang tentang keimamahan.

Sinar Agama: Isti: Coba baca dengan sabar, wong cuma beberapa baris kok, he he...Nanti kalau sudah dibaca dua atau tiga kali, belum paham juga, silahkan tanya lagi. Terima kasih dan afwan.

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 16 April 2019

Hukum Merasa Benar Sendiri


Seri tanya jawab Hidayatul Ilahi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:41am

HidayatulIlahi mengirim ke Sinar Agama: Rabu (27-2-2013) Salam ustad,,,,, bagaimana pendapat ustad tentang seseorang yang merasa paling benar dan orang sekitarnya adalah salah (jika tak sependapat dengannya),,, syukran wa afwan.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Merasa paling benar itu memiliki berbagai tinjauan, seperti:

1- Kalau karena kesombongan, yakni memastikan dirinya paling benar dengan tanpa memban- dingkan dengan yang lain secara terbuka di hatinya, yakni antara dia dan Tuhannya, maka jelas hal ini tidak boleh dan berbahaya terutama kalau di masyarakat berfungsi sebagai ayah, guru, pemimpin.... dan seterusnya.

2- Kalau karena argumentasi gamblang dan telah dibandingkan dengan beberapa dalil yang ia temui, maka sekalipun ini tidak bisa dikatakan sombong, tapi secara aplikasinya merupakan kembang api-nya sombong. Karena secara tidak sadar bisa masuk ke dalam kesombongan secara perlahan. Karena itu, bisa saja ia malas mendengarkan dalil-dalil orang-orang yang terlebih dianggapnya di bawah dia dalam keilmuan. Kemalasan ini, lambat laun akanmenjadi acuh tak acuh dan kemudian na’udzubillah, akan menjadi benar-benar kesombongan yang nyata.

3- Kalau karena argumentasi gamblangnya dan hanya merasa paling benar dari argumentasi - argumentasi lain yang pernah dijumpai dimana ia lihat secara ikhlash dan profesional memang lebih lemah dari argumentasinya, tapi ia tetap tidak menutup kemungkinan akan salahnya kalau bertemu dengan argumentasi lain, maka hal ini jelas tidak sombong dan tidak akan pernah masuk kedalam kesombongan selama masih dalam keadaan seperti ini. Karena itu, ia selalu akan mendengar dalil orang lain dengan bijak tanpa meremehkan dalam hati atau dalam aplikasi/ perbuatan (seperti acuh tak acuh) sekalipun secara lahiriah itu orang lebih rendah tingkat pendidikannya atau bahkan orang gila sekalipun.

Kesimpulan:

Kalau merasa lebih benarnya itu hanya dalam hati dan tetap menghargai orang lain dengan mendengarkan keterangan orang lain secara profesional, maka kalaulah ia perbuatan buruk, tidak sampai ke tingkat dosa. Tapi kalau diaplikasikan berupa peremehan, maka bisa masuk dalam dosa, yaitu kesombongan dan menyakiti orang lain yang tidak dihormatinya.

Kalau merasa lebih benarnya itu hanya dalam hati dan itupun tetap tidak menutup kemungkinan akan kesalahan dirinya kalau bertemu argumentasi lain di masa datang, dan tidak diaplikasikan berupa berbagai akhlak yang buruk seperti meremehkan orang lain, menghina, mencaci, memasukkannya ke dalam neraka, melarangnya masuk surga...dan seterusnya..., maka hal itu bukan hanya tidak dosa dan tidak buruk, tapi bahkan merupakan fitrah dari setiap manusia.

Kalaubukankarenafitrahtersebut,lalubagaimanabisamanusiamengambilsikapdalamberbagai agama atau madzhab yang ada dan memilih salah satudiantaranya???!!!

Wassalam.

Hidayatul Ilahi: Afwan ustad,,,,jika misalnya ia selalu menegur orang-orang sekelilingnya yang ia anggap salah karna tak sependapat dengannya sesama syiah apa lagi Sunni, menyalahkan mereka yang hanya dengan tolak ukur banyak mendengar/membaca,,, jadi bukan dengan tolok ukur pengaplikasiannya terhadap kebenaran yang ia dengar dan baca itu,,,,itu gimana ustadz?

Sinar Agama: H.I: Benar salah itu dengan ilmu dan dalil. Kalau fikih, maka harus merujuk fatwa. Dan kalau akidah, maka harus merujuk kepada dalil akal. Karena itu, kalau nasihatnya disertai dalil yang benar dari kedua jalur dalil ini, maka boleh dilakukan dan kita mesti mendengarnya. Tentang niat dia apa, itu urusan dia kepada Allah. Tapi kalau nasihatnya bukan dengan dalil, maka kita tidak mesti memperhatikannya dalam hal-hal yang kita yakin bahwa diri kita benar dengan dalil.

Wassalam.

Marwah Ali: Sangat gamblang : Benar salah itu dengan ilmu dan dalil. Kalau fikih, maka harus merujuk fatwa. Dan kalau akidah, maka harus merujuk kepada dalil akal. Karena itu, kalau nasihatnya disertaidalil yang benar dari kedua jalur dalil ini,  maka boleh di lakukan dan kita mesti mendengarnya. Tentang niat dia apa, itu urusan dia kepada Allah. Tapi kalau nasihatnya bukan dengan dalil, maka kita tidak mesti memperhatikannya dalam hal-hal yang kita yakin bahwa diri kita benar dengandalil.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 12 Januari 2019

Hukum Gambar-gambar Makshumin as


Seri tanya jawab Emen Okay dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:38 am

Emen Okay mengirim ke Sinar Agama: Selasa (26-2-2013) melalui BlackBerry Smartphones App Salam warahmah wabarakah Ustadz Sinar Agama..... 

Kalau dulu para sahabat bebas melihat, mengenali, mengingat wajah mulia Rasulullah (SAWW), kenapa zaman sekarang tidak boleh? Misalnya dengan gambar yang berdasarkan keterangan tentang bagaimana rupa beliau SAWW? Atau mungkin gambar yang berdasarkan keterangan mimpi orang-orang yang pernah bertemu dalam mimpi? (Mimpi Orang-orang Yang dipercaya tentunya). Terimakasih sebelumnya.... 


Sang Pencinta: Salam, ikut bantu, 

Nabi saww tidak pernah melarang pelukisan terhadap beliau saww, tetapi kalau ada haditsnya, maka maksudnya adalah untuk pencegahan terhadap ghuluw, yaitu penuhanan dan penyembahan terhadap beliau saww. Jadi, kalau sudah aman dari hal-hal tersebut (tentu kalau ada haditsnya), maka jelas tidak masalah. 

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/475871632457638/

Emen Okay: Terimakasih Kang Sang Pencinta... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Hal itu karena mimpi dan gambaran yang ada di dalam hadits itu tidak bisa dijadikan jaminan. Saya sudah pernah menulis tentang mimpi Nabi saww ini bahwa ianya belum tentu beliau saww. Karena yang dimaksud Nabi saww bahwa syethan tidak bisa meniru wajah beliau saww itu adalah meniru wajah beliau saww, bukan atas nama beliau saww. Jadi, kalau syethan berwajah lain lalu mengaku Nabi saww, maka hal itu bisa saja terjadi. Karena itulah, maka siapapun yang bermimpi Nabi saww sementara ia tidak pernah melihat Nabi saww dalam jaga, maka rupa dan wajah tersebut, sama sekali tidak memastikan Nabi saww. 

Gambar itu boleh-boleh saja asal diambil dari keterangan hadits tentang wajah beliau saww dan juga, tidak dipastikan bahwa wajah tersebut adalah wajah beliau saww. 


Yang paling dekat dengan kemungkinan benarnya, walau yang ini tidak bisa dipastikan, adalah lukisan Buhaira yang ketemu Nabi saww ketika masih berumur belasan tahun yang sedang menuju ke Suriah dengan Abu Thalib ra dalam rangka mau berdagang lalu Buhaira meminta pulang kembali karena ia tahu bahwa Nabi saww adalah calon nabi akhir jaman. Lukisan itu ada di gereja Romawi dan terjaga sampai sekarang dan sempat menyebar di Indonesia. 

Selama lukisan tersebut dan lukisan-lukisan lainnya, tidak dipastikan kebenarannya dan hanya dijadikan tabarruk sebagai pengingat kepada beliau saww, maka hal itu boleh-boleh saja karena memang sama sekali tidak akan ada bahaya penyembahan kepada gambar tersebut. Memang, kalau ada kemungkinan akan munculnya penyembahan kepada gambar beliau saww itu, maka tidak boleh menyebarkannya. Tapi ketika semua muslimin sudah tahu tauhid dan syirik (tentu saja kecuali wahabi yang ngaco ilmu tauhidnya), maka penyebaran itu tidak memiliki masalah pelanggaran syariat. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Uswah Hasanah dan Akhlak ‘Uzhma




Seri tanya jawab Memburu Kebenaran dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:34 am


Memburu Kebenaran mengirim ke Sinar Agama: (25-2-2013) Salam ustad semoga panjang umur dan sehat selalu, yang selalu tiada hari tanpa jihad fisabilillah dengan penuh keiklasan dan tanpa pamrih. Maaf mau nanya. 

  1. Apakah ayat 33;21= tentang sebutan uswatun hasanah pada pribadi rosul dalam ayat tersebut ditujukan semenjak rasul mendapat wahyu pertama(40 thn) sampai wafat, atau dari mulai lahir (0 tahun sampai wafat)??
  2. Di umum ada kata Ahlakul adzimah dan ahlakul karimah, apa perbedaan makna kedua ahlak tersebut?
  3. Apa perbedaan Ahlak dan fikih dan apakah yang harus didahulukan Ahlak atau FIKIH dalam pengamalan?? 

Syukron sebelumnya. 

Sang Pencinta: Salam, ikut bantu, jawaban no 3. https://www.dropbox.com/s/2rje4k7hd3rytjs/Akhlak%20vs%20Fikih.pdf 

Akhlak vs Fikih.pdf 

www.dropbox.com

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Uswatun hasanah sudah tentu memaksudkan secara pasti, setelah kenabian. Karena betapa- pun baiknya Nabi saww sebelum kenabian dimana juga dikatakan sebagai makshum, akan tetapi bukan setelah Islam yang mengandungi semua ajaran. Puasa sebelum kenabian, tidak seperti puasa setelah kenabian. Begitu pula tentang shalat dan lain-lainnya. 

Akan tetapi, karena di ayat tersebut tidak mencamtumkan waktu dan jaman dan hanya fokus pada Nabi saww yang sebagai uswah hasanah, maka sebelum kenabian juga bisa dijadikan panduan bagi kita tapi di masalah-masalah umum yang belum dan tidak perlu disempurnakan agama Islam.

2- Akhlaku al-’Azhiimah dan Akhlaku al-Kariimah sebenarnya hampir mirip, akan tetapi beda dalam tingkatan saja dan, hal itu tergantung pada yang mengatakan atau menuliskannya. Jadi, tidak mesti memiliki perbedaan diantara keduanya, dan kalaulah bermaksud membedakan maka bisa sangat tergantung kepada pemakainya, karena dalam penderajatan tingkatan- tingkatan akhlak itu, bisa terjadi perbedaan pendapat dan eksperimen masing-masing. 

Kalau mau pengglobalannya, mungkin bisa dikatakan bahwa akhlak-akhlak lahiriah yang baik, disebut dengan Akhlak Karimah, tapi yang berhubungan dengan batin, adalah Akhlak ‘Uzhmaa. Misalnya, ketika seseorang tidak mengejek orang lain karena kekurangannya, maka ia termasuk Akhlak Karimah. Tapi ketika ia tidak mengejek dengan hatinya sekalipun, maka bisa dikatakan Akhlak ‘Uzhma. 

3- Untuk masalah akhlak dan fikih ini saya sudah sering membahasnya dan di atas sudah pula dinukilkan oleh Pencinta, mohon disimak. Pendeknya, antum harus taqlid pada marja’ antum dan jangan pusing dengan apapun yang dikatakan oleh bukan marja’ antum. Karena dalam Syi’ah, kita wajib taqlid pada marja’ dan haram mengikuti kata-kata orang lain yang apalagi bukan hujjatulislam sekalipun apalagi ayatullah/mujtahid dan marja’. 

Perhatian

Akhlak ini ada dua pengertian: 

1- Pertama adalah akhlak yang merupakan bagian dari ajaran dan ilmu Islam sebagaimana yang lainnya seperti akidah dan fikih dan seterusnya. 

2- Akhlak yang merupakan seluruh bagian Islam yang mencakup akidah, fikih dan akhlak itu sendiri....dan seterusnya. 

Kata-kata Nabi saww yang mengatakan: 

“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” 


adalah Akhlak yang ke dua. Karena Nabi saww diutus dengan membawa Islam yang utuh dimana di akhir hayat beliau saww Allah menurunkan ayat penutupanNya yang menyatakan tentang penyempurnaan agamaNya ini (QS: 5: 3). 

Jadi, akhlak ke dua ini, mencakup akidah karena ia akhlak batin kita kepada Allah dan semua utusan-utusanNya serta semua agamaNya. Dan ia juga mencakup fikih karena fikih menata akhlak kita kepadaNya (fikih pribadi) dan kepada seluruh makhlukNya (fikih sosial). 

Semua ini sudah sering diterangkan di catatan-catatan sebelumnya, silahkan menyimak di nukilan Pencinta. 

Sinar Agama: Pencinta, terima kasih bantuannya, semoga diterimaNya, amin. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Hukum Mengerjakan Hal-Hal Lain di Waktu Kerja



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:31 am

Sang Pencinta: (25-2-2013) Salam, katakanlah jam kerja dalam kantor itu dari jam 08-17.00, istirahat jam 12-1. Ketika ber-fb-an/melakukan bukan yang terkait kerjaan di waktu kerja ini, apakah terhitung haram? Terimakasih ustadz — bersama Sinar Agama. 


Muhammad El’Baqir, Muh Kasim, Abdillah Toha Assegaf dan 14 lainnya menyukai ini. 

Hidayatul Ilahi: Nyimak. 

Sang Pencinta: Jika kondisi seperti ini, pegawai restoran yang sedang sepi restorannya, lalu ia ber-fb, gimana? 

Lordd Erlan: Kalo lagi kerja ada pengemis lewat di depan kantor gimana? 

Sattya Rizky Ramadhan: Salam..ikut nyimak..memiliki pertanyaan yang sama, ditambah sekarang pindah tempat kerja yang jam kerjanya 4X24 jam dan sisa harinya sama dengan jam kerja pada status di atas. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Sebenarnya jam kerja itu tergantung kepada uruf/’urf kerjaan dan kontrakan kerjanya. Artinya, bisa saja setiap tempat memiliki maksud tersendiri, sebagai berikut: 
  • 1- Kalau maksudnya secara umum masyarakat memang tidak boleh mengerjakan sesuatu yang lain, maka tidak boleh mengerjakan apapun di waktu kerja. Tapi mungkin maksud yang seperti ini, sangat sedikit dan mungkin hanya di beberapa tempat, seperti pemandu pendaratan pesawat, operasi badan, perang, pilot tempur....dan seterusnya...yang memang dipahami seperti itu. 
  • 2- Kalau maksudnya secara umum masyarakat dipahami bahwa memang tidak boleh mengerjakan apapun yang lain, tapi maksudnya adalah yang mengganggu pekerjaannya, maka tidak boleh melakukan apapun selain pekerjaan kantornya yang dianggap secara umum keluar dari pekerjaan kantornya. Misalnya, facebookan waktu kerja, membaca Qur'an waktu kerja, shalat dan beribadah di waktu kerja, .....dan seterusnya. Tapi kalau facebookannya itu hanya sepintas dimana secara umum tidak mengganggu pekerjaannya yang memang sedang senggang itu, maka kemungkinan tidak sampai ke tingkat haram. Memang, hal itu harus benar-benar teliti. Karena harus sedikit dan tidak boleh kalau memang masih ada pekerjaan. Tapi kalau dianggap hanya seperti membalas sms dan kalau membalas sms ini tidak terhitung secara umum bahwa ia keluar dari pekerjaan dan mengganggunya, maka tidak akan sampai ke tingkat haram (tentu saja, menjawab sms itu juga harus di kala senggang -hati-hatinya). 
  • 3- Ketika kembali kepada pemahaman umum bahwa pekerjaan itu hanya membolehkan pengecualian dalam beberapa hal, maka hal itu dibolehkan, seperti ke kamar kecil, menolong orang atau memberi pengemis yang pekerjaannya tidak terganggu dan tidak berbahaya. Tapi harus teliti, apakah pos yang ditinggalkannya itu tidak merugikan perusahaan atau apalagi keamanan. 

Kesimpulan dan nasihat

Kembali kepada pemahaman umum dan mengambil jalan yang lebih hati-hati sedikit, selama tidak membuat waswas, adalah jalan yang paling selamat. 


Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 02 Januari 2019

Hukum Mencaci Simbol-Simbol Madzhab Lain



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:28 am

Sang Pencinta: (25-2-2013) Salam, bagaimana pandangan antum dan solusinya cara sebagian ikhwan, yang secara tajam mencaci simbol Suni. Mohon interpretasi fatwa Rahbar tentang peng-haraman pencacian simbol-simbol Suni. Terima kasih Ustadz. — bersama Sinar Agama. 


Fahmi Husein, Irsavone Sabit, Alia Yaman dan 23 lainnya menyukai ini. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Kalau secara umum suatu kata itu dipahami mencaci simbol-simbol Sunni, maka jelas haram hukumnya. Seperti mencaci tokoh-tokoh yang dihormati Sunni. Tentu saja, diskusi bukan mencaci dan mencaci bukan juga diskusi sekalipun sepintas bentuknya seperti diskusi. Diskusi bisa dilakukan, tapi tidak boleh menggunakan kata-kata pencacian terhadap tokoh-tokoh atau apa-apa saja yang dihormati saudara-saudara Sunni. 

Sang Pencinta: Terimakasih ustadz. 

Sang Pencinta: Apakah hukumnya sama bagi yang menyukai dan menikmati diskusi cacian ini (bukan pelaku cacian)? 

Doni Handoyo: Perlu diselidiki ikhwan-ikhwan yang statusnya mencaci simbol Sunni, jangan- jangan mereka Wahabi nyamar. 

Memburu Kebenaran: Maaf ustadz, apakah menjelaskan kepada orang suni, dan mengkritisi sahabat suni semacam AUU, yang banyak kekeliruan-kekeliruan dan penentanganya kepada Nabi apakah termasuk mencaci-caci simbol suni?? 

Sang Pencinta: Beberapa ikhwan mengklaim dengan diskusi/menanggapi seperti soalan di atas, membuat sudara lain hijrah ke AB, bagaimana syar’i memandang ini? Btw teringat pesan ustadz tentang pen-scan-an kitab mafatih. 

Sinar Agama: Pencinta: Sudah tentu yang menyetujui pekerjaan haram, ia akan kebagian haramnya, apalagi menikmatinya. Dan dosa pemecahan umat ini tidak tanggung-tanggung, imam Khumaini ra mengatakan bahwa yang memecah Syi’ah dan sunnah, maka ia bukan Syi’ah dan bukan sunnah. 

Dan orang-orang yang terutama bukan mujtahid itu, kalau berpendapat apapun yang menentang marja’nya, maka selain tidak berharga, ia juga merupakan dosa yang ke dua setelah dosa pertama di atas itu. Misalnya mereka mengatakan bahwa dengan mencaci dapat menghidayahi manusia. Anggap hal ini bukan ajib dan kegilaan (dimana memang ajib dan kegilaan), maka ia adalah pendapat bukan mujtahid yang menentang mujtahid dan, sudah jelas wajib ditolak oleh dirinya sendiri terutama oleh orang-orang yang tidak menaklidinya karena memang tidak boleh menaklidi orang yang bukan mujtahid. 

Sinar Agama: Doni: Memang setiap ada akun yang mencaci dan mengatasnamakan Syi’ah, tidak bisa dikatakan bahwa hal itu kerjaan orang Syi’ah. Karena itu, kita bukan mau mengecam siapapun, tapi hanya membahas hukum fikihnya. 

Memang, kalau pencacian itu terjadi bukan sekali dua kali, sekalipun dilakukan oleh orang Syi’ah sekalipun, maka ia harus dikecam dan kalau perlu diboikot dan diblokir atau dilaporkan. Karena kalau tidak, maka akan merugikan agama serta harta dan nyawa manusia yang tidak berdosa. 

Kalau mereka masih bisa menerima hidayat, semoga mereka terhidayahi dan kalau tidak, maka kita serahkan kepada Allah karena mereka sudah masuk ke dalam tajarri dan maksiat yang akan mengorbankan agama serta harta dan nyawa manusia lain yang tidak berdosa. Bagi pandanganku, mabok masih jauh di bawah dosa memecah persatuan ini, Allahu A’lam. Karena dosa mabok hanya dosa pada Allah secara pribadi, tapi dosa memecah umat, selain dosa pada Allah, juga pada agama dan semua muslimin yang akan menjadi korban baik harta atau nyawanya. 

Sinar Agama: Memburu: Kalau diskusi tersebut, tidak disertai caci maki, maka jelas bukan pencacian dan pemakian dan tidak termasuk dosa. Jadi, menjelaskan AUU dari kitab-kitab Sunni dan dengan bahasa ilmiah yang baik yang tidak disertai caci maki, maka jalas(jelas) tidak dosa dan bahkan suatu keharusan kalau diperlukan. 

Al Parta Ortega: Indahnya Persaudaraan....Salam Ustadz... 

Sang Pencinta: Ustadz SA: Fatwa Rahbar tentang ini berlaku untuk semua pengikut AB? Apakah larangan cacian dikeluarkan oleh marja lain atau mengikuti Rahbar sebagai wali faqih? 

Ikhwan Abduh: Afwan Sang Pencinta. Saya mengikuti diskusi kemarin tentang hal ini, meskipun tidak sempat komen (terlalu banyak komentar yang ngalor ngidul). 

Cuma ada 1 hal yang masih mengganjal. Memang kadang-kadang ada segelintir saudara kita terpancing emosinya. Biasanya saat tokoh-tokoh syiah dicaci maki duluan. Sehingga sebagian saudara kita ikut-ikutan mencaci. 

Namun, saya lihat kebanyakan dari mereka tidak mencaci sebagaimana “CACIAN” yang menggunakan kata-kata kotor dan tidak pantas. Namun hanya menjelaskan kebobrokan akhlak dan sejarah kelam tokoh-tokoh Sunni. Dan itu dalam lingkup diskusi ilmiah, karena tidak jarang dalilnya pun disertakan. Baik dari ayat Al-Qur’an, hadis, maupun pernyataan tokoh-tokoh Sunni / wahabi, guna mengcounter pernyataan mereka. 

Bagaimana menurut Antum ustadz Sinar Agama ? 

Sang Pencinta: IA: Di atas sudah dikatakan kata itu dihukumi cacian secara urf/umum. Apakah definisi cacian di Sumatra beda di Sulawesi? Dan di atas sudah dikatakan juga diskusi tentang ini boleh bahkan harus kalo memang diperlukan. Kalo antum mau, akan saya bawakan catatan ustadz Sinar tentang diskusi yang ustadz Sinar terlibat di dalamnya tentang simbol-simbol Suni? 

Ikhwan Abduh: Bukan begitu maksud saya. Supaya terang, baiklah saya kasih contoh. 

Tetangga sebelah ada yang mengatakan mut’ah sama dengan zina, orang syiah = anak zina, dan lain-lain. Ada yang mengatakan imam mahdi ngumpet di goa karena penakut dan sebagainya. Bahkan banyak kata-kata cacian yang saya tidak tega untuk menulisnya. 

Bandingkan dengan ketika saudara kita menceritakan tentang, misalnya: 
Abu Bakar yang merampas tanah fadak, membakar hadis, kabur saat perang, memerintahkan membakar rumah Fathimah, dan sebagainya. 

Umar yang menganggap nabi mengigau dan melarang menulis wasiat nabi, tidak tahu banyak tentang hal agama (misal: tidak tahu arti kalalah, malah yang bertanya tentang itu dihukum oleh Umar), dan sebagainya. 

Usman yang nepotisme. 

Khalid bin Walid yang membunuh sahabat dan langsung meniduri istri sahabat yang dibunuhnya. 

Perbedaan persepsi tentang mencaci itu bukan masalah di Sumatera, Sulawesi, ataupun Jawa. Semua itu adalah sejarah, yang bahkan tercatat oleh kitab-kitab Sunni. Namun oleh mereka (Sunni) malah dianggap MENCACI. 

Jika memang hal itu adalah bagian dari mencaci, lantas sejarah yang saya pelajari selama menjadi syiah adalah tak lebih dari cacian? Padahal saya kira itu merupakan fakta sejarah yang membuka mata hati saya untuk menerima syiah! 

Afwan, mohon penjelasannya. 

Ikhwan Abduh: Sang Pencinta : OK, tolong kasih link catatan tentang diskusi tersebut 

Sekali lagi, saya masih awam di mazhab AB ini. Dan terus terang saya sedih menyikapi fenomena ini. Jadi tolong untuk ustadz sinar agama dan ustadz lain yang sering online facebook bisa membantu memberi pencerahan untuk masalah ini. 

Baskoro Juragan Tahu: SIMBOL Sunni adalah AUU....Hem masih kah anda menganggap mereka saudara dalam islam jika SIMBOL mereka di bilang AUU bukan ALQURAN n MUHAMMAD saw ?? 

Sinar Agama: Pencinta, hukum fikih yang bersifat sosial-politik, wajib ditaati walau oleh para marja’ itu sendiri dan, fatwa tentang persatuan dan tidak boleh mengejek simbol-simbol madzhab lain ini, termasuk fatwa sosial-politik yang wajib ditaati oleh semua orang itu. Apalagi ratusan mujtahid dan belasan marja’ memfatwakan hal yang sama atau mendukung fatwa Rahbar hf tersebut. 

Sinar Agama: Ikhwan A: Kalau penjelasan tentang semua yang antum contohkan itu dengan bahasa yang tidak disertai kata-kata ejekan dan apalagi dilengkapi dengan nukilan referansi-referensi Sunninya, maka jelas tidak masuk dalam ejekan sekalipun sebagian wahabi, demi memutarbalikkan masalah, menuduh penulisnya sebagai pengejek. Walhasil, kapan kata-kata ejekan itu dikeluarkan kita sekalipun diselingi dengan nukilan-nukilan referensi-referensi Sunni, tetap saja tergolong ejekan. Karena yang dihukumi ejekan itu, bukan referensinya itu, tapi ejekannya itu. 

Di catatan saya, mungkin sangat banyak yang menukilkan tentang hal-hal yang antum maksudkan bahkan seperti Khalid bin Walid yang membakar hidup-hidup beberapa shahabat di depan umum, tangisan penyesalan Abu Bakar karena telah mendobrak rumah hdh Faathimah as, pengharaman mut’ah oleh Umar ...........dan seterusnya...tapi selalu saya usahakan untuk hanya menyampaikan apa adanya tanpa kata-kata ejekan. 

Karena itu, selama diskusi atau tulisan atau kata-kata kita tidak mengandung ejekan, maka ianya bukan dosa dan bukan pula memecah persatuan. 

Ikhwan Abduh: Syukron ustadz SA. Sekarang sudah terang bagi saya. Jadi intinya pada pemilihan kata-kata dalam menyampaikan kebenaran itu ya. Semoga saudara yang lain, terutama yang biasa “keras” dalam diskusi membaca dan memahami keterangan antum. Karena jujur saya banyak mendapat pelajaran juga dari mereka. Namun terkadang karena yang diajak diskusi suka nyeletuk seenaknya, mereka juga terbawa arus diskusi itu sehingga mungkin lepas kontrol dengan kata-katanya. 

Novalcy Thaherm: Ikhwan Abduh @ betul sekali ihkwan, maksud saya juga begitu. Bahkan ada yang lebih extrem lagi menyebut mereka itu agen~agen zionis. Padahal mereka itu banyak memberi pelajaran kepada saya juga, bahkan mereka mengenalkan saya kepada ustadz sinar agama untuk bertanya apa saja tentang syiah. 

Hambali Return: Saya pribadi belum pernah liat syiah bicara tanpa dalil meskipun dalam keadaan marah, ngapain gue ke syiah kalau sama dengan yang dulu saya anut. 

Zulfiqar Fawkes: @hambali : afwan agar dicermati penjelasan ustad SA baik-baik >>> Walhasil, kapan kata-kata ejekan itu dikeluarkan kita sekalipun diselingi dengan nukilan-nukilan referensi- referensi Sunni, tetap saja tergolong ejekan. Karena yang dihukumi ejekan itu, bukan refrensinya itu, tapi ejekannya itu. 

Ikhwan Abduh: Meskipun tujuannya baik, namun harap Lebih hati-hati aja, untuk koreksi kita bersama. Syukron ustadz SA yang berkenan memberi penjelasan. 

Muhammad Wahid: Iya intinya: ejekan itu diluar konteks diskusi argumentatif... Emosional terpancing, ya disitulah tantangan orang berlimu untuk lebih bersabar, harusnya makin berilmu ya makin tawadhu.. Kita harus banyak belajar, bagaimana ustad Sinar Agama dalam berdiskusi & berdialog, beliau juga suka dicaci maki tuh, tapi beliau ga pernah membalasnya dengan cacian.. Untuk teman-teman syiah yang mengingatkan teman lainnya, saya liat juga ga lepas dari tuduhan dan cacian juga.. Jangan menasehati orang kalo anda sendiri ga bersikap arif... Mungkin saja betul ada agen-agen zionist, tapi apa benar itu ditujukan kepada orang-orang yang dituduhkan, kita-kita ini ga bisa mengetahui dengan pasti tanpa bukti dan kenal orangnya langsung di dunia nyata.. Kalau mau menyikapi sikapnya yang kurang tepat dalam hal ini kata-kata cacian, ya tegurlah dengan cara yang baik juga, jangan malah saling ejek & tuduhan-tuduhan yang ga berdasar.. Sehingga ga ada bedanya antara anda (syiah) dengan mereka-mereka itu (wahabi).. Afwan. 

Sinar Agama: Ikhwan A: Itulah mengapa tabligh itu bukan kerjaan sembarang orang. Memang, satu ayatpun harus disampaikan. Tapi ayat yang dipahami dengan dalil dan, sudah tentu dengan kata-kata yang bagus. Karena yang wajib disampaikan itu bukan kebenaran, tapi kebenaran dengan cara yang benar. Dimana ada pembolehan penyampaian kebenaran Islam dengan cara bukan Islam alias diri sendiri atau hawa nafsu sendiri. 

Jadi, kalaulah bukan ulama dan ingin terjun ke dalam tabligh yang bukan bidangnya atau yang juga bidangnya, maka lakukan karena Allah hingga mengikuti cara-caraNya yang diperintahkan dalam Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi saww serta para imam makshum as. 

Karena kalau tidak, maka akan merusak islam itu sendiri dan kerja-kerja para nabi, para imam dan para ulama. 

Kalau tidak sanggup berhadapan dengan umat, mengapa memaksakan diri berhadapan? Siapa yang menyuruhnya? Mujtahid saja harus taqlid dalam hal-hal sosial-politik ini, apalagi awam yang hanya tahu satu atau dua ayat. 

Zulfiqar Fawkes: Syukron Ustadz. 

Sinar Agama: Teman-teman Semua: Terima kasih banget atas pengertian dan baik sangka dan segala kebaikannya yang antum pantulkan lewat komentar-komentar antum itu. Ana ini juga manusia biasa dan bahkan mungkin paling jeleknya. Karena itu, hati ini juga mendidih diejek orang. Tapi dari pada ana mendidih di neraka besok, maka kuusahakan sekuat-kuatnya untuk tidak keluar dari taqlid ana kepada Rahbar hf dan imam Khumaini ra yang didukung oleh ratusan atau ribuan mujtahid dimana beliau-beliau itu mewajibkan persatuan dan mengharamkan pengejekan kepada simbol yang disucikan di madzhab-madzhab lain. 

Sinar Agama: A.F: Ana juga berterima kasih untuk antum semua, semoga antum dan teman- teman lainnya, jangan sampai keluar dari fikih Ahlulbait as dimana fikih di Ahlulbait as itu bukan hanya thaharah, wudhu, mandi, shalat, puasa, haji...dan seterusnya, tapi juga masalah-masalah rumah tangga, sosial, budaya, politik, dakwah.............dan seterusnya. 

Ikhwan Abduh: Aamiin,,, insyaAlloh ustadz. 

Renito Husayno: Penjelasan ustadz inspiratif sekali. Adem. Terima kasih banyak ustadz....... 

Maz Nyit Nyit-be’doa: Sangat Mengagumkan dan mencerahkan.......... Terimakasih ustadz Sinar Agama. 

Novalcy Thaherm: Terimakasih juga ustadz sinar agama. 

Sinar Agama: Tambahan: 

Kalau ada orang mengejek atau melaknat/kecaman di depan Sunni/umum/facebook, lalu ia mengatakan bahwa ia tidak taqlid kepada Rahbar hf, maka hal itu juga sangat diragukan kebenarannya. Sebab setahu saya, tidak akan pernah dijumpai seorang marja’ yang membolehkan pekerjaan-pekerjaan tersebut. 


Kalau para pencela itu, semoga mereka masih bisa mendapat hidayah sebelum ajal menyapa amin, dengan tanpa merujuk kepada marja’ manapun itu, masih mau nekad juga mau melakukannya, maka silahkan mereka memakai nama asli di facebook ini dan alamat yang jelas, hingga orang-orang Sunni yang marah dan mau berbuat apapun kepadanya, bisa dengan mudah mendatanginya dan tidak mendatangi Syi’ah-syi’ah yang lain. Lucu amat, disuruh sopan, tetap saja nekad, tapi sembunyi di balik tembok China yang tebal hingga mengorbankan orang lain. 

Irsavone Sabit: Afwan ustadz, tidak maksud membela mereka, saya juga tidak paham sejauh mana sebenarnya menghina istri dan sahabat Rasulullah saww yang juga dikatakan menghina simbol-simbol Sunni, setahu saya nama yang disebut sang pecinta sebagian masih wajar saja sperti yang dilakukan ustadz ketika diskusi, menggunakan dan berdasarkan dalil Sunni sendiri, diskusi seperti itulah yang saya biasa saya like, kemudian ustadz apakah wajib bagi syiah untuk melaporkan mereka ini kepada yang lainnya secara terbuka, dan bagaimana jika yang melapor salah dalam mempersepsikan menghina simbol Sunni, hal ini bisa saja terpulang kepada saya jika saya yang melapor secara terbuka?.....Afwan. 

Ikhwan Abduh: Irsavone Sabit : Kemarin saya juga menanggapi seperti yang antum katakan. Namun ustadz sinar agama sudah menjelaskan. Bahwa yang demikian (membongkar sisi gelap tokoh Sunni) tidak apa-apa, bahkan dianjurkan ketika diskusi mencari kebenaran. Tapi yang tidak boleh adalah ketika berdiskusi dan berdalil namun kemudian terselip kata-kata ‘cacian’ / hujatan / umpatan yang tidak ada dalam riwayat / dalil itu, namun di ada-adakan sendiri (mungkin karena emosi dan sebagainya). Saya sendiri sangat menghormati saudara-saudara yang dimaksud oleh Sang Pencinta. Namun di sisi lain saya juga setuju dengan ustadz SA bahwa akan lebih baik lagi jika pemilihan kata saat diskusi bisa lebih arif dan bijaksana. 

Sang Pencinta: IS: Ustadz sudah menjelaskan di atas soalan seperti yang antum bawa untuk Ikhwan Abduh, afwan. 

Sinar Agama: I.S: Yang lain-lain sepertinya sudah terjawab selain yang satu ini bahwa apakah wajib melaporkan secara terbuka... 

Jawabnya adalah kalau kesalahannya itu terbuka, seperti di facebook ini, maka jelas penegurannya juga bisa dengan terbuka. Karena teguran itu, di samping nasihat bagi yang melakukan kesalahan secara terbuka itu, juga sebagai pengumuman atau ketidak ikutan bertanggung jawab terhadap yang dilakukannya, kepada diri orang itu dan khalayak ramai. Tapi kalau kesalahan orang itu tidak terbuka, maka haram dinasehati secara terbuka karena akan masuk dalam ghibah. 

Sedangkan kesalahan yang dimaksud itu, kalau fikih maka harus bersumber pada fikih dan kalau akidah maka pada akal dan Qur'an-hadits. Dan yang menasihati wajib tahu sebenar benarnya bahwa yang mau dicegah itu (nahi mungkar) memang benar-benar kesalahan dan ia tahu juga yang benarnya dalam masalah itu. Tapi kalau masih ragu-ragu terhadap kesalahannya atau terhadap kebenaran yang ia ketahui tentang ilmunya sendiri, maka tidak boleh melakukan peneguran itu karena bisa memfitnah orang dan dirinya sendiri akan mengatakan yang salah dan sesat karena ketidaktahuannya tadi itu. 

Karena itu, harus punya dua ilmu yang jelas untuk amar makruf dan nahi mungkar ini: Pertama tahu kesalahan yang mau dinasihati itu. Ke dua, ia tahu benarnya seperti apa secara pasti. 

Kalau terjadi perbedaan persepsi terhadap suatu kata, maka bisa dilakukan diskusi dan yang salah harus meminta maaf. Tapi persepsi terhadap suatu kata atau kalimat itu, harus berdasar kepada pemahaman umum dan tidak diputar-putar hingga menjadi remang. 

Wassalam. 

Marwah Ali: Alhamdulillah, aku masih di koridor dari batasan ustadz, aku ngeledeknya personalnya bukan AUU .... 

Abu Bakar Hangus: Tidak ada fatwa Ulama Faqih yang bertentangan dengan Nash .... = harga mati pemahaman atas segala sesuatu adalah inti dari persoalan. 

Abdurrahman Shahab: Kita ini masih sering terlihat kekanak-kanakan, tidak pernah merasa bersalah, mencari pembenaran atas setiap kesalahan yang kita lakukan, masih sering mengumbar hawa nafsu dan menganggap sepele persoalan besar dan penting yang didengungkan oleh para mujtahid dan pemimpin agama mengenai ukhuwah dan persatuan islam sehingga terus saja menjadikan perbantahan dan perdebatan yang memancing permusuhan adalah sebagai KEASYIKAN DAN MENGANGGAP SEBAGAI KECERDASAN SERTA DAKWAH AHLUL BAYT!!! 

Marwah Ali: Menawarkan Ukhuwah sama Nashibi, yang ga mau Ukhuwah ?, Malah kaya di Jawa Timur seperti al bayonet, gimana caranya ? 

Abdurrahman Shahab: Afwan, kalau menurut saya nashibi bukanlah bagian dari islam, yang harus dijaga ukhuwahnya, tapi tidak serta merta ketika kita menangkal fitnah nashibi (/wahabi) kita lantas membenamkan diri dengan perkataan yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan dari kalangan aswaja, karena kita menggunakan kata-kata yang menistakan simbol-simbol yang mereka mulyakan... DAN HAL ITULAH YANG SANGAT DIHARAPKAN OLEH PARA NASHIBI, AGAR KITA DIMUSUHI OLEH ASWAJA... 

Abu Bakar Hangus: Simbol: AHLUL SUNNAH = SUNNAH YANG BENAR [siapa sunnah yang benar ?], bukan simbol yang kufur. Kalau pembenaran atas fatwa itu adalah kepada Sunni maka, sama saja mengakui kebhatilan atau terus menyembunyikan kebhatilan. 

Marwah Ali: Bisa kasih contoh konkrit kalimat ini “kita lantas mebenamkan diri dengan perkataan yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan dari kalangan aswaja, karena kita menggunakan kata-kata yang menistakan simbol-simbol yang mereka mulyakan.” Afwan. 

Penganten Mercon: Salam semua--ikut nyimak. 

Marwah Ali: Hemm.... 

Marwah Ali: Kk Penganten Mercon , Group Dialog Ilmiah Sunni Syi’ah boleh terus tuh hehehe. 

Penganten Mercon: hehehe,,boleh terus gimana maksudnya. 

Marwah Ali: Selama berdasarkan Ilmiah , jangan sampe “kita lantas mebenamkan diri dengan perkataan yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan dari kalangan aswaja, karena kita menggunakan kata-kata yang menistakan simbol-simbol yang mereka mulyakan.” 

Penganten Mercon: Alhamdulillah, kawan-kwan semua yang ada di sana dalam menyampaikan sesuatu selalu berdasarkan ilmiyah. 

Marwah Ali: Terutama pada pinter bahasa bersayap yang bisa terbang kemana-mana qiqiqiii. 

Penganten Mercon: hehehe,,kebanyakan ikhwan syiah itu jarang bolos dalam pelajaran bahasa Indonesia, jadi ada aja bahan untuk mengembangkan sayap. 

Rizki Wulandari: Damailah Indonesiaku dengan semua perbedaan yang ada. 

Abdurrahman Shahab: Afuan Marwah Ali, ana fikir antum sudah sangat faham dengan maksud kalimat di atas.... karena kita sering terpancing dalam perdebatan, demi untuk mengungkapkan keyakinan, terkadang kita ikut menggunakan KATA-KATA CACIAN DAN PENGHINAAN terhadap SIMBOL YANG DIMULIAKAN OLEH ikhwan Sunni dan ini adalah salah satu trik yang selalu digunakan oleh para nashibi, agar kita terpancing dalam mengeluarkan kata-kata yang tidak menunjukkan akhlaq pengikut AB, dan karena kesalahan yang sering kita lakukan dalam debat- debat, yang lebih banyak membawa mudhorot dibandingkan manfaat itulah, maka timbul kebencian yang mendalam oleh sebahagian ikhwan Sunni terhadap syiah... sehingga banyak kelompok awam Sunni yang ikut terbawa emosi yang menyebabkan kebencian dan permusuhan terhadap pengikut dan ajaran syiah, sudah banyak korban yang tidak berdosa dari kalangan kita yang harus menanggung resiko atas apa yang telah kita tanamkan karena “permusuhan” yang kita anggap sebagai “dialog dan kajian ilmiah” menurut ana, dialog dan kajian ilmiah itu harus dilakukan pada tempat dan oleh orang yang tepat... Afuan... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua komentarnya yang ada di atas syariat. 

Sinar Agama: Abu: Antum ini ada dua kemungkinan: Taqlid atau mujtahid. Kalau taqlid, maka taqlid ke siapa dan mana fatwa pembolehan pencelaan itu. Kalau mujtahid, maka dari mana antum dapatkan ijin ijtihad tersebut. 

Kemudian, kalaulah antum mujtahid, maka antum juga harus taat pada paling a’lamnya mujtahid dalam urusan-urusan kebersamaan atau sosial-politik. Dan hal seperti ini, yakni wajib ikut yang a’lam itu, merupakan fatwa dari semua marja’ dalam hal-hal apa saja, baik dalam urusan taqlid atau seperti dalam perkara yang kita bahas ini dan semacamnya.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ