Rabu, 24 April 2019

Predikasi Antara Eksistensi dan Esensi


Seri tanya jawab Muhammad Zaranggi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:57 am


Muhammad Zaranggi mengirim ke Sinar Agama: 5 Maret 2013 melalui seluler 

Salam ustadz..afwan... Mohon penjelasan kaidah wujud sebagai berikut : Di dalam akal wujud mensifati esensi. Oleh karenanya kita dapat memberikan atau menarik wujud dari esensi. Sedang di luar akal maka esensilah yang mensifati wujud. Oleh karenanya kita dapat mengabaikan esensi dan hanya memperhatikan ke-wujudan sesuatu. 


Terima kasih... 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Sepertinya ana sudah pernah menjawab soalan seperti ini. Ana tidak tahu yang bertanya itu antum atau orang lain. Kita tunggu dulu Sang Pencinta barangkali dapat membantu. 

Sang Pencinta: 1014. Wujud Tuhan dan Ketiadaan Esensi Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464411396936995/ 

Sang Pencinta: 1016. Posisi Eksistensi dan Esensi Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464412050270263/ 

Sang Pencinta: 996. Presepsi Dan Esensi yang Belum Dikenali Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464406786937456 

Sinar Agama: Sekedar meringkas mungkin (setelah antum baca nukilan Pencinta di atas): Di alam nyata, tidak ada yang bisa mendahului wujud, baik esensi atau lainnya. Karena itu, maka wujud dulu yang ada, baru esensinya. Karena esensi ini adalah batasan wujud itu. Jadi, yang dibatasi dulu harus ada, baru batasannya. Dahulu mendahului di sini, bukan dari sisi waktu. Tapi dari sisi tertib wujud. 

Dengan demikian, maka wujudlah yang harus selalu menjadi subyek dari predikat yang akan ditetapkan padanya. Yakni wujud harus jadi subyeknya dan esensi menjadi predikatnya. 

Akan tetapi di dalam akal, wujud dan esensi ini bisa dipisahkan. Karena akal dapat memahami bahkan yang tidak ada, yakni pahaman “tiada”. 

Yang ke dua, dalam akal, sepintas esensi dulu yang terlihat melebihi wujud atau eksistensinya. 

Misalnya kalau membayangkan pohon. Maka akal, pertama bisa membayangkan pohon tanpa wujud. Lalu ke dua, akal bertanya apakah pohon ini ada atau tidak? Lalu ia menjawab “ada” misalnya. Karena itu, maka di dalam akal, yakni dalam pahaman, seringnya esensi itu yang menjadi subyek dan wujud menjadi predikatnya. 

Padahal sebenarnya, yang benar, bukan “Pohon ini/itu ada”, tapi “Wujud ini berupa pohon.” 

Masih ada lagi yang lainnya hingga bagi kepahaman, wujud seperti nampak lebih jelas dari esensi seperti ketika melihat wujud dari jauh yang tidak jelas esensinya. Akal akan bertanya-tanya “apakah wujud itu?”. Ini tandanya, kurang perhatiannya akal pada beberapa kondisi, selain pada esensi itu sendiri. 

Itulah mengapa dikatakan bahwa wujud itu paling terangnya sesuatu tapi dalam pada itu, ia juga merupakan paling tidak diketahuinya sesuatu. Dan dikatakan bahwa saking terangnya wujud itu, hingga kurang diperhatikan atau kurang dipahami. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Predikat Wujud Harus Berwujud Pula



Seri tanya jawab Muhammad Zaranggi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:55 am

Muhammad Zaranggi mengirim ke Sinar Agama: 5 Maret 2013 melalui seluler, Salam ustadz. 


Mohon penjelasan dan contoh dari kaidah wujud sebagai berikut: Setiap yang mengiringi wujud dari sifat-sifat dan hukum-hukum atau berita -berita maka semua itu tidak keluar dari zatnya. Karena di luar zat-wujud adalah ketiadaan. Afwan ustadz... 



Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Wujud atau eksistensi, adalah keberadaan. Keberadaan ini, kalau dipredikati, apapun predikat itu, maka harus juga ada. Karena kalau mempredikati atau mengabarkan wujud dengan sesuatu yang tidak wujud (tiada), berarti telah membuat kontradiksi yang nyata. Karena itulah, maka wujud, tidak bisa dikabari atau dipredikati dengan sesuatu yang tidak wujud. 

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana mungkin yang tidak wujud bisa dijadikan predikat atau berita? Jawabnya, sesuatu yang dijadikan berita itu tidak seutuhnya tiada. Dia hanya tiada di alam nyata atau di alam realitas, tapi ada di akal dan pahaman kita seperti pahaman tiada itu sendiri, atau sekutu Tuhan, atau ayah nabi Isa as...dan seterusnya....dimana hal-hal itu tidak ada di alam nyata, tapi ada di pahaman kita. 

Bahkan, yang tiada di alam nyata dan hanya ada dalam pahaman kita itu, bisa dijadikan subyek, seperti: “Sekutu Tuhan itu mustahil adanya” atau “Tiada itu tidak bisa dijadikan predikat.” atau “Kontradiksi itu mustahil terjadi”.....dan seterusnya. 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu, maka dapat dipahami bahwa kalau yang diinginkan sebagai subyek itu adalah keberadaan, maka predikat-predikat atau berita-beritanya, harus pula berupa keberadaan. Karena selain keberadaan adalah tiada yang akan kontradiktif dengan keberadaan kalau mau dijadikan predikatnya hingga membuat pemberitaannya atau pempredikatannya, akan menjadi salah. Yakni proposisi atau kalimat berita atau subyek predikat itu, akan menjadi salah kalau dipredikati dengan hal-hal yang tiada. 

Karena itulah maka wujud atau keberadaan, hanya bisa dipredikati atau dengan kata lain diiringi, dengan hal-hal juga ada juga. 

Misalnya: “Ada itu adalah ada”, atau “Ada itu adalah substansi dan aksidental”, atau “Substansi itu adalah substansi”, atau “Substansi itu ada lima macam”, atau “Substansi itu sesuatu”, atau “Substansi itu sesuatu yang keberadaannya tidak perlu kepada pondasi/partner”, atau “Aksidental itu adalah aksidental”, atau “Aksidental itu perlu kepada substansi kalau ingin eksis/ nyata”....................... dan seterusnya. 

Atau seperti “Manusia itu manusia”, atau “Manusia itu rasional”, atau “Manusia itu beradab”, atau “Manusia itu memiliki ruh”, atau “Manusia itu memiliki ilmu”, atau “Manusia itu ada yang sarjana”, ....dan seterusnya. 

Semua berita atau predikat-predikat dari ada atau sesuatu yang ada itu, harus juga berupa ada dan keberadaan, tidak bisa dari hal-hal yang tiada, seperti “Ada itu adalah tiada”, atau “Ada itu sekutu Tuhan”, atau “Substansi atau Aksident itu adalah ayah nabi Isa as atau ayah nabi Adam as.”, atau “Ada/substansi/aksidental itu adalah ayah Tuhan”, atau “Isa adalah anak Tuhan”....dan seterusnya. 

“Tiada”, “Sekutu Tuhan”, “Ayah nabi Isa/Adam as” dan “Ayah Tuhan” dan “Anak Tuhan”, adalah hal-hal yang tiada. Karena itu, tidak bisa dijadikan predikat atau berita atau iringan, terhadap hal-hal yang ada seperti yang disebut dalam contoh di atas tersebut. 

Sang Pencinta: Logika (bgn 6 ): seri Tanya jawab Status Ustadz. Muhsin Labib 

(status) :Muhsin Labib: sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apapun tidak berlaku.. = http://www.facebook.com/home.php?sk=group_210570692321068&view=doc&id=212301118814692 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Batalnya Wudhu Sebelum Masuk Waktu Shalat


Seri tanya jawab Daris Asgar dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:28 am

Daris Asgar mengirim ke Sinar Agama: 4 Maret 2013, Salam Ustadz, dari AI-I Rahbar, saya memahami bahwa, Wudhu yang berdekatan (sesuai pandangan Urf) dengan Sholat fardhu, boleh melakukan Sholat Fardhu tersebut, 

Kemudian Wudhu mustahab (menjaga diri dalam keadaan wudhu) bila sampai waktu sholat fardhu, bisa melakukan sholat fardhu tersebut. 

Wudhu dari satu Sholat fardhu ke sholat fardhu lainnya masih bisa digunakan, misal wudhu maghrib untuk Isya... Yang ingin saya tanyakan: 

  1. Apakah masih boleh wudhu Maghrib untuk Sholat Isya/ Dzuhur untuk Ashar ,,,kalau pelaksanaan Sholatnya ada selang waktu yang cukup panjang baik karena dzikir/ pekerjaan lain? 
  2. Apakah boleh wudhu dari Sholat sunat lail digunakan untuk Sholat Shubuh baik berselang waktu cukup lama ataupun tidak?
  3. Saya memiliki kasus bahwa, saya harus bertakiah untuk Sholat Shubuh karena harus berjama’ah, namun saya biasa mengulangnya kembali di kamar. Apakah saya harus mengulang wudhu untuk mengulang sholat saya? 
Saya berpendapat bahwa untuk pertanyaan saya di atas, semua jawabannya iya (wudhunya bisa digunakan), tapi saya ingin memastikan Ustadz, terimakasih... 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

Mukaddimah: 

Harus diketahui bahwa wudhu itu sunnah dan wajib. Kalau wudhu wajib, adalah yang harus dilakukan manakala sudah wajib, seperti sudah masuknya waktu shalat. Karena itu, kalau berwudhu sebelum waktu shalat masuk, maka wudhunya itu tidak syah kalau diniatkan sebagai wudhu-shalat dimana ia wajib. Karena sebelum masuk waktu shalat, shalatnya belum wajib hingga wudhu’nya juga dibilang wajib. Jadi, sebelum waktu shalat masuk, maka sebagaimana shalatnya tidak wajib, maka wudhu’nya juga tidak wajib. Nah, ketika wudhu yang tidak wajib ini diambil dengan niat wajib (karena diniatkan untuk shalat yang akan datang itu), maka jelas akan menjadi batal. 

Sedang wudhu sunnah, adalah wudhu yang diambil bukan untuk kewajiban-kewajiban, seperti hanya supaya selalu bersih dan dalam keadaan suci, atau untuk mengaji Qur'an, atau untuk shalat sunnah, atau untuk doa....dan seterusnya. 

Wudhu sunnah ini, bisa dipakai untuk kewajiban-kewajiban yang perlu kepada wudhu, seperti menyentuh Qur'an dan bahkan seperti shalat wajib yang akan datang itu. Akan tetapi, wudhu wajib yang belum wajib itu, dari awal sudah batal. 

Sudah tentu, kalau sebelum masuknya itu tidak jauh, tapi berdekatan, seperti ketika mendengar tarhim (yang umum di Sunni) seseorang mengambil wudhu untuk shalat yang akan segera dikumandangkan dengan adzan setelah tarhim itu, maka wudhu ini di fatwa Rahbar hf di atas itu, adalah syah untuk shalat wajib itu. 

Sekarang jawaban soalan antum: 

1- Wudhu wajib yang diambil untuk kewajiban-kewajiban seperti shalat wajib itu, yakni kalau untuk shalat wajib berarti wudhu-nya diambil di waktu sudah masuk waktu shalat wajib tersebut, bisa dipakai untuk apapun, baik hal-hal sunnah seperti shalat sunnah atau kewajibankewajiban lain seperti menyentuh Qur'an dan/atau shalat wajib berikutnya. Tentu saja selama tidak batal. Jadi, kalau wudhu itu tidak batal sampai seminggu sekalipun, maka bisa dibuat shalat wajib selama seminggu itu. Jadi, kalau mengambil wudhu-wajib yang diambil diwaktu shalat zhuhur sudah masuk, misalnya, maka selama belum batal, yakni tidak keluar angin, tidak kencing, tidak tidur, tidak buang air besar, ...dan seterusnya... dari hal-hal yang membatalkan wudhu, maka wudhu itu tetap bisa dipakai untuk apapun kewajiban yang seminggu ke depan itu. 

2- Sudah di jawab di atas. 

3- Kalau wudhu antum yang untuk shalat shubuh menutup diri itu (bukan takiah yang umum), diambil setelah masuknya shubuh, maka jelas tidak perlu lagi untuk mengulangnya. 

Pelengkap: 

Kalau seseorang berwudhu kapan saja, tanpa berniat sunnah atau wajib dalam hatinya, dan hanya meniatkan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka wudhu ini bisa dipakai untuk apapun, baik masa sekarang atau masa yang akan datang selama belum batal. 

Daris Asgar: Salam Ustadz,,,terimakasih Ustadz... 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 22 April 2019

Sulitnya Pertanyaan “Tuhanmu Siapa?” di Alam Kubur/ Akhirat



Seri tanya jawab Bande Husein Kalisatti dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:25 am

Bande Husein Kalisatti mengirim ke Sinar Agama: 4 Maret 2013, Salam, dalam hadits-hadits diberitakan akan ada pertanyaan dalam alam kubur, misal : Siapa Tuhanmu, siapa Nabimu, siapa Imammu..dan lain-lain..pertanyaannya “Apakah Ruh serta merta dapat menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut atau apakah argumentasi-argumentasi yang dibangun dengan akal saat dunia tentang Tauhid, Kenabian, Imamah bisa membantu Ruh dalam menjawab pertanyaan tersebut..? Atau bila salah dalam membangun akidah maka apakah Ruh akan kesulitan menjawab pertanyaan dalam alam kubur tersebut..? Afwan. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 
Ilmu di dunia itu ada dua macam: Hushuli dan Hudhuri. 

1- Ilmu Hushuli adalah ilmu yang belum menyatu dengan ruh, yaitu ilmu-ilmu yang dibangun karena dalil-dalil dan argumentasi. Tentu saja argumentasi-argumentasi yang sudah benar. Sebab kalau argumentasinya salah, maka ia bukan ilmu atau bukan tahu, tapi justru ketidaktahuan ganda (jaahil murakkab). 

Nah, ilmu-ilmu yang dibangun dengan panca indra, baik yang tanpa premis-premis atau dalil-dalil argumentasi, atau dengan aturan premis-premis yang disusun hingga menjadi argumentasi yang kuat, semua itu, adalah ilmu Hushuli. 

Ilmu-ilmu Hushuli ini, jangankan di kuburan dan akhirat, di masa tua saja biasanya sudah dilupakan dan bahkan dalam beberapa jam atau hari, bisa terlupakan. 


Karena itu, ilmu-ilmu yang kuat sekalipun, seperti dengan dalil-dalil filsafat sekalipun, atau dalil-dalil irfan sekalipun, akan tetap ditinggalkan di dunia dan tidak akan pernah dibawa ke alam kubur. 

Jadi, jangan kira bahwa karena kita di dunia ini sudah alim, pandai dan kuat argumentasiargumentasinya, dan bahkan sudah menulis buku atau memiliki jutaan murid, lalu sudah aman dan di kuburan/akhirat pasti bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mudah seperti “Siapa Tuhanmu?” dan seterusnya. Karena ilmu argumentasi tersebut, tidak akan pernah bisa dibawa ke kuburan atau akhirat.
2- Ilmu Hudhuri adalah ilmu yang menyatu dengan ruh, seperti ilmu tentang keberadaan diri kita sendiri, ilmu kita tentang kondisi kita seperti marah, cinta, benci, ridha, senang....dan seterusnya. Ilmu-ilmu ini, akan selalu menemani kita kemana saja karena ia sudah merupakan bagian dari substansi diri kita atau ruh kita. 

Sedangkan ilmu-ilmu Hushuli di atas itu, bisa dijadikan ilmu Hudhuri juga dengan proses gerak-substansi. 

Sebagaimana sudah sering dijelaskan di catatan-catatan, bahwa gerak itu, yaitu perubahan dari titik potensi ke titik defacto (yang dipotensi-i), ada dua macam: Gerak Aksidental (seperti gerak volume mangga kecil ke besar, kualitas mangga masam ke manis...dan seterusnya, atau gerak ruh dari tidak tahu ke tahu seperti dalam ilmu-ilmu Hushuli itu) dan Gerak Substansial (seperti gerak mani ke darah, ke daging, ke janin dan ke bayi sempurna dan ke manusia sempurna). 

Dan sudah dijelaskan juga bahwa gerak Aksidental itu bisa menjadi Gerak Substansial, seperti sifat-sifat manusia yang sudah mengakar dan mengkarakter. Nah, ilmu Hushuli-Hushuli itu, kalau diproses dengan Gerak Substansial, maka ia akan menyatu dengan ruh manusia itu dan selamanya akan menyertainya. 

Mensubstansikan ilmu Hushuli menjadi Ilmu Hudhuri, adalah dengan cara mengaplikasikannya. 

Aplikasi ini, juga tidak bisa hanya sekali dua kali, karena ia akan tetap menjadi sifat atau aksiden. Misalnya, shalat yang dilakukan sekali dua kali, apalagi shalat yang tidak khusyu’ hingga mungkin belum masuk ke dalam kategori shalat secara hakiki, tidak akan membuat pelakunya berkarakter dengan “Pelaku Shalat”. Jadi, dia baru menjadi orang yang memiliki sifat “Pelaku Shalat”. Tapi kalau sudah dilakukan sebegitu rupa hingga mustahil ditinggalkan, maka ia akan menjadi “Binatang Rasional Pelaku Shalat” atau bisa diringkas dengan “Binatang Rasional Shalat.” 

Sudah tentu, mutu shalat yang terkarakterkan itu akan memiliki ribuan macam. Ada shalat yang tidak khusyu’, ada shalat yang agak khusyu’, ada yang shalat riya’ (karena ingin dipuji orang atau ingin sehat), ada yang shalat salah fikihnya, ada shalat.......dan seterusnya. 

Saya hanya mencontohkan satu masalah yang bisa berubah dari Aksidental/sifat menjadi Substansial/dzat. Itu saja, dan tidak membahas apa yang pada hakikatnya telah menjadi substansialnya itu. 

Begitu pula sifat-sifat lain, baik ia sifat baik seperti jujur, penolong, pemaaf (pada tempatnya), atau ia sifat buruk seperti riya’, sombong, tidak menghargai orang lain, ingin jadi pemimpin orang lain, menggunakan teman sendiri, menjual derita orang untuk kepentingan diri dan golongannya, korupsi, pemakan riba, ................dan seterusnya. 

Ringkasan: 

Dengan semua penjelasan itu dapat dipahami bahwa Ilmu Hushuli itu, yakni Ilmu yang sudah benar tentang Tuhan dan keimanan-keimanan lainnya dan sudah dibuktikan dengan panca indra dan akal argumentatif, dapat dijadikan Ilmu Hudhuri dengan mengamalkannya secara istiqomah hingga aplikasi tersebut mustahil terpisahkan dari kita hingga dengan hal tersebut aplikasi itu menjadi bagian dari substansi/dzat diri kita. 

Misalnya ilmu yang mengatakan “Tuhan itu ada”. Ketika kita mengaplikasikan ilmu ini, yaitu bahwa aturan hidup harus dari DiriNya, baik aturan pribadi, rumah tangga dan sosial-politik dan kita mengamalkannya dengan baik, profesional serta ikhlash dan istiqamah sampai mengkarakter kepada kita, maka ilmu Hushuli tersebut, akan menjadi Ilmu Hudhuri dan bagian dzat kita. 

Tapi kalau ilmu “Tuhan itu ada” tersebut tidak dibarengi dengan aplikasi, misalnya tidak meyakini bahwa Ia mengatur kita atau bahkan tahu kalau mengatur kita tapi kita malah menentangnya atau tidak menaatinya, sudah jelas keyakinan dan perbuatan seperti ini bertentangan dengan ilmu “Tuhan itu ada”. Karena keyakinan dan perbuatan seperti ini, jelas sama dengan menganggap bahwa “Tuhan itu tidak ada”. 

Ketika seseorang mengaplikasikan ilmu “Tuhan itu ada” dengan baik, profesional (melalui fikih dari mujtahid yang mengambil dari makshumin as yang mengambil dari Nabi saww yang mengambil dari Allah swt) dan ikhlash yang luar biasa, maka akan menjadi substansinya dan, karenanya, tidak akan pernah berpisah dari dirinya. Karena dirinya tidak akan berpisah dari dirinya sendiri, yaitu hakikat sesuatu itu adalah dirinya itu. Karena itu, ia akan dapat dengan mudah menjawab pertanyaan “Apakah Tuhan itu ada?” atau pertanyaan “Siapa Tuhanmu”. 

Ia akan menjawab “Tuhan itu ada”, dan “Tuhan itu Allah”, atau “Tuhan itu Maha Segala-galanya hingga Ia yang berhak mengatur kita dan berhak ditaati sepenuhnya tanpa menoleh dan mengambil prinsip lain walau nampak indah sekalipun.”.............dan seterusnya. 

Tapi kalau tidak mengaplikasikan ilmu itu, maka ia akan kebingungan tentang apakah Tuhan itu ada, atau atau apa fungsi keberadaan Tuhan bagi manusia di dunia, atau apa tanggung jawab manusia kepadaNya.....dan seterusnya. 

Ayatullah Jawodi hf sampai-sampai mengatakan bahwa saking bingungnya, bisa saja mengatakan bahwa si penanya itu sendiri tuhannya, yakni si malaikat penanya itu dan menjawab “Kamu adalah tuhanku”. Maksud beliau hf, kira-kira, bisa karena saking bingungnya menjawab hal tersebut, bisa juga menyebut siapa-siapa yang ia ikuti di dunia, bisa saja yayasan yang selalu diperjuangkannya, ormas yang diperjuangkannya, partai yang diperjuangkannya, posisi dan harga diri yang diperjuangkannya ...dan seterusnya. Jadi, bisa saja ia akan menjawab “Aku tuhan itu”, yakni kalau ia selalu mengikuti dirinya sendiri di dunia dan tidak mengikuti Tuhannya. Bisa saja ia akan menyebut partainya, organisasinya atau kekasih yang selalu dipuja dan diikutinya. Na’udzubillah. 

Penutup: Walhasil, dengan semua itu, maka jelas kita tidak bisa enteng-entengan tentang kuburan dan akhirat itu. Jangan sesekali merasa sudah mantap bisa menjawab pertanyaan yang diajukan dan diberitakan di hadits itu, yakni seperti pertanyaan “Siapa Tuhanmu”. Sebab kalau hanya enteng seperti itu, maka Nabi saww dan Tuhan, tidak perlu mewajibkan kita taat secara hebat dan luar biasa kepadaNya. Karena pertanyaan-pertanyaan itu sudah diberitakan sebelumnya dan semua manusia sekalipun kafir, sangat bisa mempersiapkan jawabannya dari sekarang. Yakni kalau masalahnya, hanya masalah ilmu Hushuli atau ingatan dan argumentatif itu. 

Dengan demikian, maka tidak ada jalan untuk selamat, kecuali dengan amal. Tentu saja amal yang profesional dan tepat. Karena itu, harus dengan ilmu akidah yang benar yang bisa dibuktikan dengan argumentasi mudah atau gamblang, lalu diaplikasikan secara profesional seperti harus dengan taqlid kepada marja’ yang mengambil dari para makshumin as, lalu harus dengan ikhlash yang luar biasa yang tidak bercampur selainNya sedikitpun hingga menjadi karakter kita (karakter taqwa secara profesional dan tepat itu) yang tidak terpisahkan selamanya, baik di dunia, kuburan dan akhirat. Wassalam. 

Bande Husein Kalisatti: Jad maksudnya, pertanyaan-pertanyaan itu bisa terjawab atau mudah dijawab saat ilmu dan amal sudah menjadi karakter atau mensubstansi, hingga menjadi diri... afwan. 

Sinar Agama: Bande: Benar begitu dan ilmu-ilmu itu akan hilang sebelum menjadi aplikatif yang mengkarakter tersebut. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Nusyuz dan Hukum Memukul Istri


Seri tanya jawab Yoez Rusnika dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:21 am

Yoez Rusnika mengirim ke Sinar Agama: 3 Maret 2013, Salam ustadz. Mohon penjelasan surah an nisa 34: “..Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Apa yg dimaksud dengan nusyuz, dan apakah dibolehkan memukul wanita/ istri? Syukron ustadz. 

Sang Pencinta: Salam, saya pernah baca di arsip, tapi belum ketemu mas. 

Yoez Rusnika: Oh ya saya tunggu mas sang pencinta. Mudah-mudahan ketemu.. . Terima kasih atas Perhatian dan bantuannya. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Sambil menunggu tambahan dari nukilan Pencinta: 

Nusyuuz adalah keluarnya istri dari ketaatan pada suami. Ketaatan yang dimaksud adalah dalam hal yang berurusan dengan hak-hak suami seperti sex/jimak atau pelezatan lainnya seperti ciuman dan seterusnya bahkan termasuk tidak memotong kuku dan merapikan/ menghias diri kalau suami menginginkannya (tentu saja menghias diri di rumah, tapi keluar rumah dimana maksiat, maka istri tidak wajib menaati). Begitu pula hak suami dalam urusan keluar rumah yang tidak diijinkan suami. 

Kalau istri melakukan nusyuuz ini, maka pertama dinasihati. Dan kalau tetap saja, maka bisa dibelakangin dicuekin/ diabaikan dalam tempat tidur atau pisah tidur. Dan kalau masih saja, maka bisa dipukul dari yang terpelan sampai kepada yang melebihinya. Kalau dengan yang terpelan sudah taat, maka tidak boleh melebihinya. Tapi kalau belum juga, maka bisa dinaikkan. Tapi tidak sampai tubuhnya menjadi memar atau apalagi kehitaman. 

Dan ketika memukul itu, tidak boleh dengan niat dendam, tapi harus dengan niat mendidik di jalan agama Allah. Dan kalau sampai memar, maka ada dendanya (dibahas di fikih denda). 


Nusyuuz juga bisa terjadi pada suami, seperti memukul istri atau tidak memberi belanja lahir dan batin. Kalau hal itu terjadi, maka istri boleh menuntutnya. Kalau tidak diberi juga, maka boleh menasihatinya, tapi tidak boleh memboikotnya dan apalagi memukulnya. Kalau tetap tidak memberikan hak istrinya, maka istrinya boleh mengadukannya ke hakim syar’i. Dan hakim mewajibkannya untuk memberikan hak-hak istrinya. Kalau tidak juga, maka hakim boleh menderanya seukuran mengembalikannya untuk bisa melakukan kewajiban-kewajibannya. 

Dan dalam pada itu, hakim-syar’i bisa memberikan belanja dari harta suaminya itu walau harus dengan paksa. 

Wassalam. 

Hidayatul Ilahi: Nyimak. 

Yoez Rusnika: Hakim syar’i yang dimaksud apakah pengadilan agama ustadz? Afwan. 

Caesar Jazuli: ijin share. 

Sinar Agama: Yoez: Hakim syar’i adalah mujtahid adil atau semacam utusannya yang bisa mengadili. Kalau di negara Islam jelas pengadilan agama, tapi kalau di negara bukan islam, bisa merujuk ke marja’nya atau wakilnya yang diberi kewenangan tersebut. 

Yoez Rusnika: Syukron ustadz.. Jawabannya sangat jelas. Allahumma shali ‘ala Muhammad wa aali Muhammad. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 21 April 2019

Belajar Agama di Facebook dan Tidak Ringannya Taat


Seri tanya jawab Gunawan Harianto dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at9:18 am


Gunawan Harianto: 2 Maret 2013, Kalau dipikir lagi beruntung banget gue bisa belajar sendiri via facebook atau youtube juga seabrek website yang bisa di akses untuk mempelajari apapun termasuk soal kajian AB, selain ada figur seperti Sinar Agama yang mau maunya ngetikin jawaban dari berbagai pertanyaan yang diajukan padanya (semoga Allah merahmati beliau) juga tak lupa posisi AYATULLAH GOOGLE yang menyimpan berbagai jawaban pertanyaan, dari jawaban yang ga jelas sampai yang logis pun tersedia, tinggal klik “search” insyaa Allah pertanyaan anda akan terjawab meskipun resiko mendapatkan jawaban ngawur sekalipun. 

Ade Mahyon: Coba saya sejago mas gun pasti ilmu saya bertambah dengan cepat tapi.... 

Gunawan Harianto: Bu Ade Mahyon waduh, saya masih jauh dari kalimat jago bu karena modalnya cuma nekad nanya sama ustadz google, hehehe..terima kasih untuk doanya ya bu. 

Adzar Alistany Kadzimi: Sebenarnya siapa sih Sinar Agama ? 

Gunawan Harianto: Adzar Alistany Kadzimi hehehehehe, mau tauuu atau mau tau banget nih? 

Adzar Alistany Kadzimi: Ana kan orang bodoh, makanya ana mau tau banget maka tolonglah diri Antum dengan berbuat kebaikan melalui memberikan informasi tentang siapakah Sinar Agama kepada ana yang bodoh ini. 

Gunawan Harianto: Waduh bang Adzar Alistany Kadzimi mohon d afwankan karena ana juga gak tau siapa beliau hiks hiks. 

Adzar Alistany Kadzimi: Kalau begitu ana tanya langsung saja ya kepada Beliau. 

Gunawan Harianto: Bang Adzar Alistany Kadzimi AHSANTUM. 

Adzar Alistany Kadzimi: Oia, sepertinya lebih tua Antum lhoh secara Umur, Bang Gunawan Harianto. 

Gunawan Harianto: Bang Adzar Alistany Kadzimi, ah antum sok tau bro wkwkwkwk, ane kan baru 17 tahun lagipula kalaupun usia Sinar Agama lebih muda, toh ilmunya lebih tua dari ane dan antum. 

Adzar Alistany Kadzimi: Kalau dari Profilenya, Sinar Agama umurnya lebih tua dari ana 5-6 tahun. 

Adzar Alistany Kadzimi: Dan ana dulu pernah baca profile Antum, Bang Gunawan Harianto, secara umur Antum lebih tua dari kami berdua. 

Gunawan Harianto: Ah bang Adzar Alistany Kadzimi ini maen KLAIM sepihak aje, namanya dunia maya kan bisa aje ane buat ngaco data pribadinya, hehehehe..pokoknye ane lebih muda dah dari antum dan Sinar Agama, hehehehe. 

Adzar Alistany Kadzimi: kholas-kholas. 

Gunawan Harianto: Nah gitu donk bang Adzar Alistany Kadzimi hehehe. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih baik sangka dan rajin belajarnya. Saya perlu berterima kasih, karena walaupun memang antum dan kita-kita ini wajib belajar secara ikhlash kepada Allah dan bukan untuk yang lain-lainnya yang biasanya berupa kewajiban, seperti menata keluarga atau lingkungan...dan seterusnya, tapi dilihat dari sisi strategi sosial, maka jelas siapapun yang tidak mengenal lelah membangun dirinya, maka ia telah membangun keluarga dan lingkungannya, sekalipun niatnya membangun dirinya karena Allah, bukan karena keluarga dan lingkungan. 

By the way, rajinnya antum ana perlu syukuri kepada antum dan kepada Allah (dalam Islam, tidak bersyukur kepada makhluk sama dengan tidak bersyukur kepada Khaaliq karena makhluk itu Khaaliq yang menciptakannya), karena dengan semakin pintarnya dan semakin alimnya serta semakin tahunya setiap individu bangsa Indonesia ini, seperti antum-antum, maka Indonesia itu yang juga pasti akan lebih baik. Terlebih tentang Ahlulbait as yang terhitung baru muncul untuk yang ke dua kalinya ini (karena kemunculan pertamanya sama dengan masuknya islam itu sendiri hingga setelah 2 atau 3 abad dapat mendirikan kerajaan Islam pertama di Perlak/Aceh, hal ini bisa dilihat di semua sejarah pribumi/Melayu tentang masuknya Islam ke Indonesia) dimana sudah sekitar 20 atau 30 th ini, masih saja kerancuan-kerancuan itu selalu ada. 

Dengan belajar kepada guru terbuka, sepert ustadz Google dan facebook, maka semuanya akan menjadi clear dan akan lebih jernih. Ini salah satu keuntungan ustadz di medan laga internasional/ nasional sekaligus. Terlebih kalau ustadznya tidak dikenal. Jadi, bisa banting-bantingan argumentasi/ dalil hingga kalau memang kuat, maka semua orang akan melihatnya karena semua akal akan mendebatnya kalau tidak kuat. 

Tapi kalau di majlis tertentu, apalagi kalau yang belajar orang Indonesia yang umumnya sungkem pada guru bukan hanya dalam sosial tapi juga dalam keilmuan, maka diskusi terbuka itu sulit terwujud. Mana karena tenggang rasa lah, mana rasa hormat lah, mana tidak enak lah, mana lagi kalau gurunya pemurka...dan seterusnya... Jadi, walau kajian terbuka ala face book dan google ini tidak bersertifikat, tapi jauh lebih terbuka dan lebih menantang. Hingga tidak sembarang orang bisa memberi teori agama tanpa dasar dimana akan jauuuuuhhhh lebih hati-hati dari memberi pengajian ke audien yang mantuk-mantuk penuh kagum, dan juga dimana setiap orang bisa didebat dan buka-bukaan. 

Karena itulah, kita melihat secara fitrah, kalau melihat satu atau dua orang jengah didebat, maka ketahuan umum bahwa dirinya bukan pengikut keterbukaan dan argumentasi terbuka itu, tapi pengikut dirinya sendiri dan malah mungkin menganggap dirinya paling arif dan paling bijak serta paling alim atau bahkan melebihi para nabi as para imam as dalam aplikasi atau karakternya (bukan dalam keyakinannya). 

Teringat pada pak cik Malaysia yang mengisykalku di awal-awal kemunculan si pendosa ini (sinar agama) dengan mengatakan “Bagaimana mungkin kalau umur antum masih 30 th -karena lahir th 1981) lalu dalam pada itu pula sudah 30 th di hauzah?” 

Aku hanya mengatakan bahwa “Identitas di facebook ini, tidak mesti asli. Minimal secara aplikasinya, bukan secara keinginan pemilik facebook. Mengapa antum tidak menyalahkan namaku saja yang jelas-jelas itu bukan namaku?” 

Nah, terlebih lagi kelahiran itu bisa banyak makna, bisa kelahiran ke dua, ke tiga ...dan seterusnya. Btw. 

Satu lagi: 

Saya sudah sering menulis di facebook ini, bahwa umur menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun ini, adalah tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Karena ia merupakan gerak dari matahari. 


Sementara umur setiap sesuatu, akan seiring dengan pergerakannya sendiri. Karena itu, walaupun seseorang itu berumur matahari 10 tahun, tapi kalau ia berilmu dan taqwa sedemikian rupa, maka bisa saja mengalahkan yang berumur matahari 50 tahun. 

Itulah mengapa sebagian imam makshum as yang menjadi imam selagi umur muda, sebenarnya dalam keadaan umur tua. Karena umur mudanya itu, dilihat dari gerakan matahari yang tidak ada sangkut pautnya dengan kesempurnaan manusia sama sekali. 

Bayangin, imam Hasan as dan imam Husain as, ketika masih berumur sekitar 3-5 th, sudah dapat mengikuti ayah-ibunda-mereka as yang berpuasa nadzar 3 hari. Padahal keduanya tidak bernadzar seperti ayah-ibunda-mereka as. Bukan hanya itu, setiap mau makan buka, selalu ada pengemis yang menyatakan diri tidak makan sudah beberapa hari hingga keduanya as, mengikuti ayah-bunda-mereka as memberikan sepotong roti satu-satunya makanan yang dimiliki mereka as. Yakni, dalam tiga hari itu, mereka hanya bersahur dan berbuka air tanpa secuil roti yang dapat dimakan mereka as. Karena itulah Tuhan lalu menurunkan satu surat yang bernama surat al-Insaan untuk mereka as demi ketabahan dan ketaatannya. 

Nah, pertanyaan, ketika imam Hasan as dan imam Husain as dalam umur matahari yang hanya 3-5 tahun itu dapat melakukan hal seperti di atas itu, maka jelas kalau bukan karena ilmu dan ketaqwaan yang tinggi, tidak mungkin dapat melakukannya. Kita yang berumur matahari 100 tahun sekalipun, sangat-sangat belum tentu dapat melakukan hal tersebut. Paling banter, rotinya dibagi separuh. Tapi mereka memberikan semuanya karena yang datang itu lebih lapar dan, mungkin lebih kurang sabar dari mereka as. 

Karena itu, apalah arti umur matahari ini. Muda dan tuanya, tidak mempengaruhi apapun bagi kita. Biar tua tapi tidak berilmu dan tidak taqwa, yakni tidak mengamalkan ilmunya, maka ia bagai anak kecil yang masih makan tanah. Atau lebih parah lagi. Karena maksiat itu sama dengan makan api. Jadi, masih lebih kecil dari anak-anak yang masih makan tanah itu walau, rambut kita pada beruban dan tulang belulang kita sudah membungkuk serta ijazah kita bertumpuk sampai Doktor atau Profesor, HujjatulIslam atau Ayatullah. 

Karena itulah, mari kita hormati umur kita (gerak diri kita sendiri, bukan gerakan matahari), ilmu dan ketaqwaan. Menjaga umur dengan belajar dengan argumentasi terbuka dan gamblang, menjaga ilmu dengan aplikasi yang tinggi, dan menjaga aplikasi, dengan keikhlashan yang tidak berujung. 

Hanya orang seperti itulah yang akan selamat di dunia, kubur dan akhirat kelak. Wassalam. 

Gunawan Harianto: Ustadz Sinar Agama saya pun bersyukur Allah menggerakkan hati antum untuk bisa berbagi ilmu yang dititipkan Allah pada diri antum juga rasa terima kasih yang tak terhingga pada diri antum yang mau maunya menjawab berbagai gundah kegelapan informasi ilmu ahl bayt, tak perduli siapapun jatidiri antum meskipun dugaan siapa pemilik asli akun Sinar Agama tapi tak jadi soal selama ilmu yang tergores lewat ketikan tangan antum bisa jadi jembatan saya untuk lebih mengenal ajaran mulia ahl bayt yang saya idamkan, meski ku akui ikut ajaran antum terasa sulit namun akal ku takluk pada dalil dan argumentasi yang antum jabarkan, semoga kelak usahaku mengamalkan ilmu tersebut diberi kemudahan dari Allah, semoga antum sudi mendoakan saya dan saya pun akan doakan antum ketika ingat akan jasa antum memberi ilmu tersebut, maju terus ustadz semoga kelak kau sinari agama yang diajarkan ahl bayt di tanah kelahiranmu Indonesia, amiiin 

Sinar Agama: Gunawan: 

Allah berfirman dalam QS: 2: 45: 

وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ 

“Sesungguhnya shalat itu adalah hal yang sangat besar, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” 

- QS: 2: 143: 

وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ 

“..Dan sesungguhnya hal itu -ujian tentang kiblat untuk mengungkap siapa yang taat dan yang membangkang- adalah sesuatu yang sangat besar kecuali bagi yang hatinya mendapat petunjuk dari Allah.” 

Nah, kalau shalat dan kiblatnya saja sudah dikatakan Tuhan sesuatu yang berat kecuali bagi yang khusyuk dan benar-benar mengambil hidayahNya, maka apalagi hal-hal lain yang memiliki banyak unsur penghalang yang ditimbulkan dari kelemahan dan kemaksiatan kita sendiri. 

Misalnya lingkungan yang sama sekali tidak mendukung lantaran tidak adanya amar makruf nahi mungkar dari pihak kita sendiri. Ketika seorang pemuda ingin menjaga imannya, tapi ia juga harus sekolah dan kuliah dimana harus bercampur dengan para wanita yang dengan mudah membuka auratnya, maka sudah tentu akan sulit menjaga agamanya. Begitu pula tentang perintah-perintah lain dari thaharah, wudhu, ...sampai ke kewajiban-kewajiban sosial. 

Itulah mengapa ustadz/ayatullah facebook dan google ini (meminjam istilah antum) saya katakan salah satu hujjah yang bisa memiliki posisi lebih kuat dari majlis taklim itu sendiri, dilihat dari sisi keterbukaannya itu. Jadi, medan argumentasinya akan dilihat dan diuji oleh sejuta umat. Inilah yang saya maksudkan salah satu cara menempuh Islam yang hakiki itu sebelum kemudian kita mengamalkannya dengan penuh ketulusan dan keikhlashan yang tiada berujung. 

Kalau ada orang yang beragama tapi merasa ringan, maka ana pikir perlu koreksi diri dari sisi semua argumentasinya tentang keimanan dan fikihnya. Maksudnya merasa enteng di kehidupan sosial yang bisa dikatakan sudah tidak berkonsep lagi pada budaya Islam dan, apalagi politiknya. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 20 April 2019

Jangan Berpetuah Kalau Bukan Dari Marja’ dan Hakikat Syi’ah


Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:56 am

Sinar Agama: Rabu (27-2-2013) Bismillaah: Pemberitahuan Yang Tidak Memaksa:

Dengan sangat terpaksa sekali saya ingin mengumumkan sesuatu yang saya sendiri sangat tidak menyukainya. Akan tetapi, akal dan agama yang menjadi taruhannya. Mungkin juga tidak terlalu serius, tapi penting untuk diketahui bersama. Lagipula, semua ini sudah jelas diketahui bersama, akan tetapi mungkin kurang fokus saja masalahnya. Yaitu:

Saya mengingatkan diri saya sendiri dan semua teman-teman Syi’ah lainnya, baik yang rada liberal atau tergolong pesantrenan,agar:

“Hendaknya jangan memberikan ultimatum atau pedoman hidup apapun tentang kewajiban agama atau anjurannya yang tidak wajib sekalipun atau larangannya, dari kocek sendiri (ide atau ayat-riwayat). Tapi ambillah dari fatwa marja’-nya.”

Dan untuk para audien: “ Hendaknya jangan membiasakan diam dalam menghadapi semua itu dan menganggapnya sudah paten benar atau suatu kebenaran. Karena kewajiban kita semua adalah mengikuti marja’, bukan tokoh atau yang ditokohkan atau apalagi yang menokohkandiri.”

Tulisan ini saya buat karena sering kudengar atau kubaca, sesuatu yang merupakan urusan istimbati/ijtihadi, yakni merujuk ayat dan riyawat yang merupakan hak mujtahid/marja’, terasa terabaikan, hingga membuat konsep hidup yang, katakanlah mau meringan-ringankan atau sekalipun mau memberikan jalan hidup lebih baik. Kadang, saya rasakan tujuannya, tapi sangka ini kuserahkan padaNya saja karena sangkaan itu tidak ada harganya dalam Islam, kecuali yang memiliki alamat-alamat tertentu.

Ilustrasi:

Suatu hari saya ketamuan lulusan S2 hauzah Qom di rumah. Lalu dalam cakap-cakap rileks itu, terucap darinya bahwa itu sunnah lah, itu makruh lah ...dan seterusnya.. seraya menyandarkan kata-katanya itu kepada kitab Makaarimu al-Akhlaak (kitab kumpulan hadits-hadits tentang akhlak-akhlak Karimah Nabi saww dan Ahlulbait as).

Lalu saya berkata kepadanya: “Antum tidak boleh menyandarkan hukum kepada ayat atau riwayat.” Tamu itu berkata secara terperanjat: “Mengapa tidak boleh? Kan kitab itudiakui?”

Saya: “Tidak boleh karena hal itu hanya boleh dilakukan oleh mujtahid.”

Tamu bertanya lagi keheranan: “Lalu buat apa kita belajar di hauzah tentang ushulfiqih dan dalil- dalil hukum (salah satu materi pelajaran hauzah adalah al Fiqhu al Istidlaalii atau “Fikih Bedalil”) ???”

Saya: “Pelajaran itu hanya sebagai bekal untuk mencapai derajat ijtihad di kemudian hari, bukan pembolehan memakainya sebelum sampai kederajat ijtihad tersebut, dan bukan pula menafsirkan fatwa marja’ yang kita taqlidi dengannya karena bisa saja dalil marja’ kita itu beda dengan dalil yang ada dikitab tersebut sekalipun secara lahiriah, hukum yang dikeluarkan adalah sama.”

Tamu: Mantuk-mantuk seperti baru menyadarinya.

Catatan:

Perlu diketahui bahwa pelajaran ushulfiqih dan fikih berdalil itu, sebegitu berderajatnya dimana sebelum belajar Bahtsu al-Khaarij saja, harus dilalui sekitar 9 th lamanya (lihat catatan Kurikulum Hauzah). Baru setelah itu bisa masuk pelajaran Bahtsu al-Khoorij ini dimana kalau berhasil, sepuluh tahun kemudian atau dua puluh tahun kemudian, bisa menjadi mujtahid.

Wassalam.

Rosli Mamat, Singgih Djoko Pitono, Noezirwansyah KL dan 129 lainnya menyukai ini.

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama:
Ana orang awam. Jadi ikut aja dah. Asal sifat suni-isme jangan dipelihara lagi. Mentang-mentang lain marja dan tidak berwilayatufaqih dituding sebagai syiah error tanpa dalil bahkan silatuhrahim gak mau.

Jokoichi Keiko Prayitno · 7 teman yang sama:
Tanya ustadz, bagaimana jika, seorang “pemula” di AB, yang hendak belajar sedangkan untuk mengikuti kajian terkendala suatu hal, misal: Tempat dan waktu yang kurang mendukung, dan ia membaca tuntunan ibadah dan lain-lain melalui buku atau kitab fikih?

Haidar Jakfar · Friends with Sang Pencinta and 12 lainnya: Nyimak.

Adam Syarif: Fenomena yang “terlanjur” terabaikan. Syukron telah mengingatkan ustadz.

Ahmadi Joss · Friends with Haydar Ali: Kiherjuno@Lho’ datang ajhe kerumah ane entar ane kasih jamu biar Lhodar_dar_sadar....!

Zainab Ali Az Zahra · 49 teman yang sama:
Salam, afwan ustadz saya setuju dengan pertanyaan akhy jokoichi, saya pemula di AB dan saya hanya belajar lewat buku-buku dan di facebook? Syukron.

Enny Nurhuda · Friends with Aal Bsa: Anda ketemu orang yang salah..

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama: @ahmadi joss, boleh tuh jamunya, biar pikiran fresh, lagi galau banget.

Muhammad Nurahman · 119 teman yang sama: Syukron ustadz.

Bang Dei: Ahsantum. Syukron ya ustadz......

Akhir Zaman Debi · 29 teman yang sama: Rasulullah diangkat menjadi rasul dalam keadaan ummi ..gimana tuh pak ustadz.

Maz Nyit Nyit-be’doa: Nyimak..... makasih.....

Akhir Zaman Debi · 29 teman yang sama: Al-Mahdi yang tidak diketahui keberadaannya oleh sebagian manusia..tapi sudah diakui sebagai imam..,perjuangannya belum belum terealisasi layaknya rasulullah, tapi sudah diakui sebagai imam.

Mungkin sebagian ada yang menjawab kita bukan nabi, kita bukan imam mahdi, jadi beda.. tapi keduanya manusiakan?Apa bedanya dengan kita.. ummi diangkat jadi rasul bahkan oleh ALLAH.. so haruskah saya yang hanya manusia memfatwakan keharusan “ijazah” untuk menjadi seseorang ??!!

Fiuuhh ALLAH maha tinggi.. cukup berpegang pada caranya dalam menisbahkan kelayakan pada seseorang akankah ada baiknya..maaf ini hanya saran..anyway love sinar agama deh..

Ibad Black Id: Maaf pak ustadz saya rasa kalo kita mempelajari kitab itu, tidak ada habisnya. Bisa jadi kita cekcok dengan didasari membenarkan apa yang kita pelajari.. Kitab begitu banyak di bumi ini.. Tapi sayang kita pinter tapi bisa mengerti.. Pertanyaan saya pak ustad.. Kitab suci itu dimana.. Sampai kapan kita manusia bingung dengan hadist yang diambil dari Qur'an yang kata mreka miliki. Yang selalu ada perbedaan..TQ

Abi Dzar Algifari: Afwan ustadz.....obatilah kerinduan hati kami dengan bersedianya antum mampir kembali sejenak ke kota Karawang.....sangat, sangat, sangat saya nantikan.....

Sembilan Benua · Friends with Ramlee Nooh and 26 lainnya: Keburu meninggal sebelum menjadi mujtahid.

Mata Jiwa: Rasul memang harus ummi, lah kalo kita pengen ummi.. yaitulah yang banyak ngaku syiah tapi kerjanya cuma caci maki bikin panas Sunni-syiah.. ALHAMDULILLAH kita punya ustadz Sinar Agama, mau tanya apa saja, kapan saja, beranda ustadz terbuka... yang penting rajin membaca catatan-catatannya yang melimpah..jadi gak ada lagi alasan terkendala ini itu...kita patut syukuri, kehadiran pak ustadz di tengah-tengah kita termasuk salah satu dari rahmatNYA yang luar biasa..semoga kita semua dalam ridhoNYA...

Izzy Denver · Friends with Ahmad Arif and 1 other: Gitu aja ko repot.

Ndedi Sumarno: Saya setuju dengan Mata Jiwa.

Haera Haura Zahrah: Ustadz dari keinginan untuk betul-betul mempelajari AB secara detail saya masuk ke sebuah pesantren AB, tapi saya menemukan ustadz dari Qum juga yang sama seperti dalam pengalaman ustadz.

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama: Kalo boleh tau Sinar Agama ini nama aslinya siapa ya? Kali aja kenal atau jangan-jangan termasuk guru ana juga.

Haera Haura Zahrah: Di sana kami harus melaksanakan fikih sesuai dengan yang mereka lakukan padahal sebelum ke sana kami memilih marja, dan masih banyak hal yang lain. Kurang lebih 15 orang kabur itu sebelom saya.

Hadrah Ali · Friends with Ramlee Nooh:

الْحَمْدُلِلَّهِرَبِّالْعَالَمِينَ, ini adalah tatanan yang benar jangan terlalu perdulikan bisikan angin yang tak jelas asal-usulnya, mungkin dia lagi ngigau!! Ambil yang baiknya saja.. dan saya akan belajar syariah syiah.. hingga sempurna,..amiin..!!

Wasroi Aja: Variabel dalam pemikiran.....!!!!!! Tolong jangan djadikan wacana tetapi dijadikan pencerahan dan proses untuk mutlak mencapai kebenaran untuk pengikut ahlul bait.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih atas semua jempol dan komentar-komentarnya, semoga Allah selalu menjaga kita dan kita melayakkan diri masuk ke dalam perlindunganNya itu, amin.

Sinar Agama: Ki H dan yang lain-lainnya:

Pedomannya cukup jelas, yaitu kapan seseorang itu tidak biasa terikat dengan fikih dalam setiap perkataannya, maka layak ditanyakan dimana fatwanya dan siapa marja’nya. Terutama yang biasa memberikan petuah-petuah, seperti dahulukan itu kek belakangkan ini kek, atau kalau ingin hidup tenang atau tidak buang energi maka dalam berdakwah harus begini kek atau begitu kek, atau mengatakan fikih itu harus diselaraskan dengan maslahatlah atau itu lah....dan seterusnya.

Karena jangan sampai petuahnya itu tidak bersumber dari fatwa atau dari fatwa tapi yang sudah dicampuri dengan hobi-hobinya dalam hidup hingga ingin meluaskan karakternya ke orang lain dengan merasa lebih pintar dari Tuhan yang menurunkan fikih dan dari marja’ yang mengerti fikih.

Tapi kalau seseorang itu memang sudah mengikat dirinya dengan fikih dan sudah sering teruji kebenarannya dan kecocokannya dengan fatwa-fatwa marja’, maka sudah bisa diambil infonya tanpa ragu. Tapi kalaulah suatu saat ragu, maka tetap wajib harus bertanya sumbernya supaya hilang semua keraguan. Surga neraka itu tidak basa basi, lalu mengapa kita mau mengorbankan diri dengan basa-basi kepada orang yang kita hormati sekalipun? Toh kalau orang yang kita hormati itu memang terhormat, demi Allah, dia tidak akan marah dan tersinggung manakala ditanya sumbernya, karena bertanya itu wajib dalam fikih dan memberitahu itu (kalau tahu) juga wajib dalam fikih.

Itulah mengapa saya dalam diskusisi apa saya, sudah sering menyampaikan bahwa saya-nya tidak perlu dan bukan hujjah. Hujjah itu adalah tulisan dan dalilnya. Kalau dalam akidah, dalil akal dan lain-lainnya, dan kalau fikih, maka dalilnya adalah fatwa marja’. Ini kunci ilmu, bukan orang dan maqomnya dan apalagi dimaqomkan kita sendiri.

Sinar Agama: Debi: Saya kurang bisa memahami maksud sebenarnya pertanyaan antum, tapi saya akan coba merabanya dan menjawabnya. Kalau tidak cocok, ampuni alfakir:

1- Kalau antum Syi’ah, maka berarti maksud antum menulis itu mungkin untuk mengesahkan orang yang belajar otodidak dan tidak berijazah.

Kalau ini maksud antum, maka sungguh di dunia yang sudah modern ini, dimana pengetahuan sudah merambah sebegitu rupa, yang untuk masak memasak saja sudah ada kampusnya, tulisan antum ini sangat asing dan sulit dipahami. Kalau urusan kesehatan saja antum tidak pergi ketukang bengkel mobil, dan hanya pergi kedokter dimana untuk menjadi dokter cukup hanya dengan beberapa tahun, maka bagaimana mungkin antum merujuk tentang urusan- urusan agama yang berefek pada surga dan neraka, kepada orang yang hanya berkaca mata tebal sementara ia tidak membidangi agama secara spesifik? Masih mending kalau tidak ada yangberijazah,lah..... ini banyak berijazah dan antum masih memilih juga yang tidak berijazah ?

Tentu saja, ijazah itu tergantung kepada disiplin sekolah masing-masing. Ada yang ijazah agamanya ditulis seperti sekolah-sekolah lainnya, dan ada yang dikuatkan oleh gurunya. By the way, tanpa pembelajaran spesifik, sudah tentu tidak akan bisa dijadikan jaminan.

Mungkin antum berkata bahwa yang berijazah saja tidak bisa dijamin kebenarannya karena tidak makshum. Akan tetapi, akal dan agama mengatakan bahwa yang tidak makshum ini wajib diikuti manakala yang makshum itu tidak ada. Memangnya kalau tidak ada rotan terus akar pohon tidak diambil untuk dijadikan alat, lalu kita merenung saja sampai ajal menyapa kita atau kita terjun saja kesungai tanpa alat akar untuk mengikat rakit kita, atau meninggalkan akar dan memakai tali dari sarang lebah, hingga binasa dengan nyata?

Kalau antum bingung dengan ke-ummi-an Nabi saww yang tetap diangkat jadi nabi oleh Allah, maka tanyakan dan cari sebabnya, jangan terus dijadikan alat untuk menabikan guru kita yang tidak berijazah itu. Memangnya sudah sebegitu makshumkah guru/tokoh kita itu hingga ia layak jadi pewaris Nabi saww tanpa belajar dimana belajar ini diperintahkan dan diwajibkan Allah dan Nabi saww, sebagaimana layaknya Nabi saww yang diangkat menjadi nabi olehNya tanpa tahu bacatulis?

Belajar itu, tergantung jaman dan budayanya. Dijaman Nabi saww, belajar itu tidak harus pakai alat tulis. Terutama dengan daya ingat yang luar biasa dimana kalau satu orang membaca seribu bait syair, banya korang yang langsung bisa menghafalnya dimana karena itulah Qur'an ini disertai mukjizat tentang sastra arab yang tidak tertandingi karena keadaan mereka seperti itu. Di Arab jaman itu, ribuan penyair dapat dengan mudah ditemukan, tapi dalam pada itu juga tidak bisa baca tulis.

Karena itu, ke-ummi-an Nabi saww sama sekali tidak mengurangi kepandaiannya karena beliausawwmempelajariagamakakek-kakeknyasampaikenabiIbrahimasdanbahkanbeliau saww terkenal sebagai genius di masa beliau saww masih muda sekalipun. Banyak masalah- masalah umat yang umat sendiri merujuk kepada beliau saww. Seperti sejarah berpindahnya batu Hajar Aswad dari tempatnya karena banjir yang terkenal itu. Dimana Nabi saww dengan kepiawaian beliau saww dapat meredakan pertumpahan darah yang hampir terjadi yang diakibatkan oleh berebutnya setiap kaum untuk mengembalikannya ke tempatnya semula.

Anggap saja deh, memang ada yang hebat (karena memang tidak mustahil secara akal filosofis) yang tanpa guru lalu hebat, tapi kan yang bisa menilai hebat itu bukan antum atau murid-muridnyayangmemangtidakpunyailmu???Nah,kalauadayanghebat,kanbisadilihat oleh orang yang memang belajar secara spesifik? Memangnya ilmu itu dinilai oleh orang yang tidak berilmu? Kan harus dinilai oleh yang berilmu??? Nah, kalau memang ada, kan antum bisa ajukan siapa orangnya, lalu para ulama bisa melihatnya apakah ia benar atau sesat.

Lagi pula, kan tujuan penulisan saya itu sudah jelas. Kalau akidah, maka dalilnya akal. Karena itu, siapa saja bisa ditanya. Artinya, tujuan penulisan itu adalah kita tidak boleh menelan bulat-bulat tanpa cek dalil sebelumnya. Dan kalau fikih, maka dalilnya adalah fatwa marja’. Padahal, kalau antum keberatan, maka sangat dimungkinkan bahwa kita harus menerima dari orang yang tidak berijazah sekalipun tanpa harus tahu dalilnya dengan alasan Nabi saww diangkat dalam keadaan Ummi dan dengan alasan Tuhan Maha Luas dan Tinggi (lah...apa hubungannya?).

Lagipula, saya sudah sering menjelaskan bahwa ummi itu tidak bisa baca tulis. Dan baca tulis, alat mencari ilmu dan informasi. Nah, kalau seseorang sudah dapat informasi itu dari Akalnya yang jenius dan kejeniusannya terbukti dalam sejarah dimana melampaui yang bisa baca tulis sekalipun seperti Nabi saww, dan juga mendapat ilmu dari Tuhannya karena kemakshuman beliau saww dari sejak kecil, lalu masih mencari ilmu baca tulis, maka hal itu benar-benar sesuatu yang pasti ditentang akal dan agama itu sendiri. Ibarat seseorang yang bisa mendapat ikan dari lautan hanya dengan keinginan hati, lalu siang malam pergi ke pasar untuk mencari dan membeli pancing atau jala.

2- Kalau antum saudariku dari Sunni, maka ketahuilah bahwa Imam Mahdi as itu, bukan ditunjuk Allah karena hasil kerja yang dilampaui tapi karena kerja-kerja yang akan dilampaui. Artinya, semua imam itu dipilih Tuhan karena Ilmu Tuhan tentang siapa-siapa yang makshum dan siapa-siapa yang tidak makshum.

Karena Islam ini tanpa makshum tidak ada jaminan, artinya tanpa makshum tidak akan ada jalan lurus, karena jalan lurus itu adalah jalan Islam yang tidak salah sedikitpun (wa laa al- dhaalliin) hingga karena itu maka ilmunya harus lengkap dan benar 100%, maka tanpa orang makshum, jelas Islam ini tidak akan pernah bertahan murni dan jalan lurus.

Tuhan Yang Maha Tinggi dan Tahu itu, yang mewajibkan kita meminta jalan lurus dalam setiap shalat itu (dengan mewajibkan kita membaca suratal-Faatihah dalam shalat) sudah jelas lebih tahu dari kita tentang kenyataan ini dan, karena itulah Ia mewajibkan kita memintanya setiap hari. Nah, kalau dari satu sisi Tuhan mewajibkan kita meminta jalan lurus yang tidak salah sedikitpun, lalu dari sisi lain Tuhan tahu tidak ada yang makshum, maka jelas hal ini adalah aniaya yang tidak akan pernah dilakukanNya.

Nah,karena jalan lurus ini harus bertahan sampai hari kiamat, dan Tuhan tahu bahwa manusia tidak bisa mengerti siapa manusia lain yang makshum secara lahir batin, maka karena itulah Tuhan mengumumkan dalam Qur'an siapa-siapa yang makshum itu dan begitu pula Nabi Nya saww.

Lebih dari itu, Tuhan tidak hanya mencukupkan dengan mengumumkan siapa yang makshum itu (Ahlulbait Nabi saww, QS: 33: 33), tapi bahkan menjadikan mereka imam-imam kaum mukminin (QS: 4: 59) yang wajib ditaati sejak di jaman Nabi saww.

Nah, itulah imamah dalam Islam yang diikuti Syi’ah. Yaitu imamahnya orang-orang makshum yang ditunjuk Allah sejak awal bahkan sebelum mereka as lahir ke dunia sekalipun. Artinya, sebelum berkarya sekalipun. Tapi bukan tanpa karya dan ukuran kreasi, hingga semena-mena. Ia juga karena kerja-kerja tersebut, tapi kerja-kerja yang bahkan sebelum dikerjakan itu dan bahkan sebelum lahirnya pelakunya itu. Nah, ketika Tuhan tahu siapa-siapa yang makshum di masa Nabi saww dan di masa setelah itu (akan datang) dimana berarti bahwa mereka itu sudah pasti bukan hanya gigih dan taqwa dalam menuntut ilmu dan amal shalih, tapi bahkan sampai ke derajat paling tinggi, yaitu kemakshuman, maka dengan dasar itulah makamereka layak jadi uswah dan pemimpin yang lain. Itulah mengapa Tuhan menunjuk mereka menjadi imam sebelum mereka berkarya dan bahkan sebelum lahir sekalipun. Karena bagi Allah, sebelum dan sesudah itu, tidak ada artinya, karena Tuhan Maha Tahu apa saja sekalipun belum terjadi. Lagi pula, tanpa penunjukan ini, lalu bagaimana bisa manusia memilih imam makshumnya supaya tidak keluar dari jalan lurus itu sementara mereka tidak tahu siapa-siapa yang makshum tersebut.

Jadi, jauh beda antara masalah imam makshum seperti imam Mahdi as dengan orang yang tanpa belajar secara spesifik itu. Artinya, imam Mahdi as itu jelas lulus seratus persen di Mata Tuhan dari sisi ilmu dan amal taqwa (karya dan perjuangan) yang diketahui dua ratus lima puluh tahun sebelum lahirnya dan bahkan sejak sebelum alam ini diciptakan. Beda dengan kita para gembel ini yang kalaupun sekolah agama secara spesifikpun sulit mendapat nilai seratus kala ujian dan, apalagi tahunan setelah itu (karena biasanya ilmu kita dilupakan kita sendiri) ditambah lagi dengan amal sebagiannya yang semrawut/kacau dan jauh dari taqwa serta, apalagi dari kezuhudan yang, sering hidup tidak beda dengan para preman,tapi kalau bicara agama bergaya melebihi para bijak, ulama dan arif atau filosof. Atau cintanya pada dunia tidak beda dengan para penyinta tapi kalau berbicara kearifan, seakan sudah menduduki‘ Arsyullah dan berada di kaki para makshumin as.

Semoga Tuhan selalu menjaga kita semua dan semoga kita melayakkan diri untuk masuk dalam rangkulan penjagaanNya itu, amin.

Sinar Agama: J.K.P dan Z.A.A: Belajar fikih itu memang bisa memakai kitab fikih marja’nya, yakni fatwa marja’-nya atau mujtahid yang ditaqlidinya. Karena itulah antum bisa download dari internet ini dan aku juga bisa memberikannya kepada antum-antum. Dan kalau ada yang tidak dipahami, maka bisa ditanyakan. Jadi, tidak harus kekajian untuk belajar agama. Kata orang,dunia ini sudah tidak selebar layar BB atauMonitor.

Memang, kalau ada berdekatan dengan guru yang alim dan amanat serta taqwa (adil, tidak melakukan dosa besar dan kecil), maka bisa belajar padanya dan, apapun itu, tetap dianjurkan dengan sangat antum sendiri memiliki dan membawa kitab fatwa tersebut, supaya bisa bertanya atau mengingatkan sang guru kalau tidak sama dengan fatwa yang ada dikitab yang antum miliki itu.

Ingat, kalau di akhirat, sesuai Qur'an, anak lari dari orang tua dan sebaliknya, suami lari dari istri dan sebaliknya, lalu apalagi guru dari murid dan sebaliknya???!!! Karena itu, jangan sembarang meletakkan kepercayaan kepada siapapun walau, tidak boleh juga merendahkan siapapun tanpa alasan. Jadi, tidak mempercayai sepenuhnya dalam urusan-urusan fatwa dan agama, bukan tanda merendahkannya. Karena itu, keluarlah dari rasa dan perasaan ketika sudah bicara agama dan fatwa, dan batasilah sopan santun dan penghormatan itu hanya dalam bidang-bidang sosial saja seperti cium tangan pada orang tua dan menaatinya (dalam hal-hal yang tidak haram) bukan berarti membenarkannya dalam masalah-masalah agama dan fatwa. Jadi, hormat itu ada tempatnya, dan ilmu yang mengkonsekuensikan surga-neraka juga ada tempatnya.

Neo Hiriz · Friends with Ramlee Nooh and 164 lainnya: Nasehat yang sangat diperlukan. Mamnun ustadz.

Mahdi Askariyyin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja ali Muhammad.

Pendapat klasik yang saatnya sudah harus dikoreksi. Zaman sudah berubah, kesadaran para syiah tumbuh dewasa. Yang penting adalah menjaga diri dari mengikuti syahwat dan hawa nafsu, dan itu sesungguhnya sama dengan mengikuti marja meskipun tidak mengikuti secara lateral.

Nyoman Salim Al-Jufrie · 504 teman yang sama: Barakallah..sukron ilmunya..

Zaka Riya · Friends with Sang Pencinta: Assalamualaikum, saya mau tanya tentang ungkapan ‘’syi’atuna man yatakhollaku bi akhlakina’’ dari mana asalnya dan ada di kitab apa trimakasih wassalamualaikum.

Mata Jiwa: Mantaab pak ustadz...kelebihan pak ustadz yang belum ada tandingannya adalah: Jawabannya lengkaaap.. MasyaALLAH.. meski pak ustadz berada jauh dibalikawan, tiap pertanyaan diladeni seperti ngobrol tatap muka...Ya ALLAH, panjangkan umur ustadz kami ini..tak kenal di bumi, smoga ENGKAU kenalkan kami kelak di majlis langitMU...

Sugeng Iwan: Penjelasan yang membimbing, syukran....

Ana Kultsum: Salam warohmah wa barokatullah . . Afwan akhi numpang nyimak & ijin share.

Jokoichi Keiko Prayitno · 7 teman yang sama: Syukron...thankyou...arigato gozaimas, ustadz.

Sinar Agama: Mahdi: Jangan sampai antum mau katakan Qur'an itu klasik hingga perlu dikoreksi. Kan raksyih amat, dimana marja’nya mewajibkan taqlid leterleks, sementara antum berkata lain. Jangan sampai marja’ itu antum maksudkan dengan klasik yang perlu dikoreksi. Karena semua marja’ mewajibkan taqlid leteral, sementara antum berkata lain. Kalau antum memang benar, maka tolong sebutkan dimana ada fatwa marja’ seperti yang antum katakan itu, hingga kita-kita akan mengucapkan terima kasih kepada antum karena koreksiannya yang benar???!!!! Tentu saja kalau antum menulis itu atas dasar penukilan pendapat marja’. Tapi kalau antum hanya mengatakan apa-apa yang antum yakini, maka maaf kalau saya katakanbahwa:

“Kami bukan yang taqlid kepada antum hingga karena itu maka kami tidak akan memperhatikannya terlebih berlawanan dengan fatwa-fatwa marja’ kami. Lagi pula, apakah maksud antum dengan koreksi terhadap pendapat klasik itu adalah taqlid semau gua, yakni melakukan sesuatu dan menghubungkannya kepada marja’ walau si marja’ tersebut tidak menfatwakannya secara leteral???!!!! Kalau taqlid-taqlidan batin seperti itu, maka semestinya hujjahnya juga diam-diaman dan batin-batinan, artinya tidak bisa didiskusikan. Nah, ketika antum mendiskusikannya, maka berarti harus memiliki penyandaran yang lahiriah. Kok bisa diskusi dengan orang dan orang lain itu disuruh percaya saja terhadap sebuah pemahaman dan tidak boleh dicek leteralnya karena hal itu klasik dan harus dipercaya saja apa-apa yang ada di hatinya karena hal itu modern?” Ini namanya, ra’syih amat.

Sinar Agama: Zaka: Kata-kata itu bermakna “Syi’ah kami adalah yang berakhlak dengan akhlak kami.”

Kalau kita lihat akhlak mereka as dan perintah-perintah mereka as yang lain, maka tidak bisa dipungkiri bahwa mereka sangat taat kepada Allah dalam segala hukum-hukumNya hingga diumumkan Tuhan dalam Qur'an sebagai makshum. Makshum artinya bersih dari dosa, dan bersih dari dosa, artinya bersih dari segala pelanggaran fikih dan hukum.

Kemudian, salah satu dari perintah hukum yang diberikan Tuhan dan Nabi saww serta para imam makshum as, adalah wajib bagi orang-orang yang tidak spesialis tentang agama (bukan mujtahid) untuk menaqlidi/mengikuti yang spesialis/mujtahid dalam urusan-urusan fikih dan agama.

Karena itulah, kata-kata imam makshum as yang lain yang banyak ditemui di kitab-kitab Syi’ah dan yang mirip dengan kata-kata yang antum nukil itu, seperti:

“Syi’ah kami adalah orang yang tertaqwa di kampungnya.” Artinya, yang paling taat dalam fikih dan hukum-hukum Tuhannya.

Sinar Agama: Yang Lain-lain: Terima kasih atas semua perhatian dan baik sangkanya serta doanya, semoga dikabulkan Nya untuk alfakir, untuk antum semua dan semua teman di facebook ini, amin.

Zaka Riya · Friends with Sang Pencinta: Assalamu’alaikum, terima kasih atas penjelasannya ustadz, tapi yang saya ingin tahu, siapakah diantara ma’sumin yang telah mengatakan ungkapan itu ustad, sebelumnya saya ucapkan terimakasih, wassalamu alaikum warohmatulloohiwabarokaatuh.

Komarudin Tamyis: Sami’na wa atha’na.. Jazakumullah khoiron..

Muhammad Yasin · 2 teman yang sama: Allohummashollialaa Muhammad waaali Muhammad, semoga ustadz dalam lindunganNYA dan tidak bosan-bosan untuk menerangkan masalah- masalah agama yang ana belum ketahui.

Sinar Agama: Zaka: Kalau hadits yang antum tanyakan itu, sepertinya tidak ada. Tapi yang maksudnya sama, maka ada seperti hadits yang dikatakan imam Ali as yang menukil juga dari Nabi saww:

إنشيعتنامنشيعنا،واتبعأثارنا،واقتدىبأعمالنا

“Sesungguhnya Syi’ah kami adalah yang mengikuti kami, mengikuti lampa-lampa kami dan mencontoh perbuatan-perbuatan kami.” (Tafsir imam Hasan al-’Askari, 307; Bihaaru al-Anwaar, 68/154).

Ada juga yang dari hdh Faathimah as:

قالعليهالسالم:قالرجلالمرأته:اذهبيإلىفاطمةعليهاالسالمبنترسولاهللصلىاهللعليهوآلهفسليها

عني،أنامنشيعتكم،أولستمنشيعتكم؟فسألتها،فقالتعليهاالسالم:قوليله:إنكنتتعملبماأمرناك،

وتنتهيعمازجرناكعنهفأنتمنشيعتنا،وإالفال.فرجعت،فأخبرته،فقال:ياويليومنينفكمنالذنوبوالخطايا،فأناإذنخالدفيالنار،فانمنليسمن

شيعتهمفهوخالدفيالنار.فرجعتالمرأةفقالتلفاطمةعليهاالسالمماقاللهازوجها.

فقالت فاطمة عليها السالم:قوليله: ليس هكذا فان شيعتنا من خيار أهل الجنة،وكلمحبيناومواليأوليائنا، ومعاديأعدائنا،والمسلمبقلبهولسانهلناليسوامنشيعتناإذاخالفواأوامرناونواهينافيسائرالموبقات،وهممعذلكفيالجنة،ولكنبعدمايطهرونمنذنوبهمبالبالياوالرزايا،أوفيعرصاتالقيامةبأنواعشدائدها،أو

فيالطبقاالعلىمنجهنمبعذابهاإلىأننستنقذهم-بحبنا-منها،وننقلهمإلىحضرتنا.)3(

Berkata imam Hasan ‘Askari as: “Seorang lelaki berkata kepada istrinya: ‘Pergilah kamu ke hdh Faathimah bintu Rasulillah saww dan tanyakan tentang ku apakah aku ini Syi’ah kalian atau bukan Syi’ah kalian?’ Kemudian ia -istrinya- bertanya kepada beliau as. Dan beliau as berkata: ‘Katakan pada suamimu: Kalau melakukan apa-apa yang kami perintahkan kepadamu dan menjauhi apa- apa yang kami larang terhadapmu, maka kamu Syi’ah kami. Tapi kalau tidak, maka bukan Syi’ah kami.’

Kemudian wanita itu kembali ke suaminya dan memberitahukannya. Dan suaminya berkata: ‘Celakalah aku dan orang-orang pelaku dosa dan kesalahan. Kalau begitu maka aku akan kekal di dalam neraka. Karena yang bukan dari Syi’ah mereka, akan kekal di dalam neraka.’

Lalu si istri itu kembali lagi ke hdh Faathimah as dan mengabarkan tentang apa-apa yang dikatakan suaminya. Lalu beliau as berkata: ‘Katakan padanya: Bukan seperti itu. Sesungguhnya Syi’ah kami itu adalah orang-orang pilihan di surga. Sementara orang-orang yang menyintaikami dan berteman dengan teman kami dan bermusuhan dengan musuh kami, dan menerima kami (wilayah/imamah) dengan hati dan lisannya. Bukanlah Syi’ah kami kalau melanggar perintah- perintah kami dalam kewajiban dan larangan-larangan kami dalam kemaksiatan. Akan tetapi mereka akan tetap masuk surga setelah dibersihkan dari dosa-dosa mereka dengan bencana- bencana dan derita-derita, atau dengan suatu yang menyiksa dan berat di akhirat pada hari kiamat, atau disiksa di jahannam yang paling atas (tidak terlalu dalam) dengan adzab-adzab hingga kami mensyafaati mereka karena cinta mereka kepada kami dan mengangkat mereka dari jahannam itu lalu mendekatkannya kepada kami.’.” (ibid).

She Lha · Friends with Sang Pencinta and 120 lainnya: Pintar, cerdas, baik, akhlaknya mantaf, itu om Sinar Agama.

Muhammad Bob Ali: Untuk urusan fiqh memang seharusnya begitu.

Sarboz Osemon · 144 teman yang sama: Ustadz, orang-orang yang jauh dari pusat kota susah mengakses fatwa maraji, mereka mendengarnya hanya dari orang-orang yang punya akses ke kota, internet, buku, dan lain-lain.. yang dari mereka yang punya akses pun terkadang informasinya pun kurang dipercaya, kalaupun dipercaya masih kurang akurat, kalaupun akurat kadang informasinya ada tendensi pribadi di dalamnya, sementara orang-orang yang sedang dilanda masalah butuh yang instant..menurut ustadz bagaimana?

Bimo Mangkulangit: Menyimak...

Yoez Rusnika: Allahumma shali ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Sinar Agama: Sarboz: Harus ada tolong menolong di antara kita semua. Kemudahan yang bisa diraih di satu daerah, seperti yang terdekat yang kesulitan itu, berkewajiban membantu yang kesulitan tersebut. Sebenarnya, kalau antum sebutkan daerahnya, sangat mudah dan mungkin dalam tidak akan sampai seminggu sudah bisa diatasi i-Allah. Karena fikih Rahbar hf sudah sangat mudah didapat di internet ini, dan kita bisa minta tolong kepada daerah terdekat untuk membantu mereka.

Coba sebutkan saja daerah-daerah yang memang sulit, nanti kita coba cari jalan secepatnya membantu mereka. Sebutkan daerah yang sulit mengakses itu dan sebutkan alamat yayasannya atau yang dianggap mewakili supaya dapat kita-kita bantu mengirim kepada mereka print out dari buku fikih tersebut. Ana rasa mudah diatasi, Allahu A’lam. Coba saja, saya yakin akan cepat bisa diatasi.

Wassalam.

Maman Aja: Wilayah fiqih dan wilayah petuah/pedoman hidup itu satu paket apa terpisah? Ana belum paham betul dengan wilayah marjaiyyah, apakah meliputi wilayah, petuah, pedoman hidup(hikmah)? Mohon pencerahan....

Sang Pencinta: MA: https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf,

Taqlid dan kelebih pandaian marja’ (a’lam), seri tanya-jawab Al Louna dan Sinar Agama http://www.facebook.com/note.php?note_id=229636837046872,

Wilayatul Faqih (Seri1)
WF Marja Taqlid.pdf

Sinar Agama: Maman: Petuah itu kalau hanya bersifat seperti jangan merokok, jangan makan pedas-pedas, jangan kebut-kebutan,.... dan seterusnya... yang bersifat nasihat yang tidak berbobot muatan agama (seperti haram dan wajib), maka jelas tidak masalah (diambil dari orang yang baik dan mengusai serta berpengalaman berhasil). Tapi kalau bobotnya memasuki daerah hukum fikih, seperti jangan beramar makruf dan bernahi mungkar kalau begini dan begitu, jangan berfikih ketika begini dan begitu, jangan shalat dengan cara Syi’ah kalau bukan begini dan begitu....dan seterusnya...maka jelas hal ini bukan wewenang atau wilayah selain mujtahid yang biasa disebut fakih/faqih.


هُمَّصَلِّعَلَىمُحَمَّدٍوآلِمُحَمَّدٍوعَجِّلْفَرَجَهُمْ