Senin, 08 Oktober 2018

Filsafat Doa



Seri Tanya jawab “ Anggelia Sulqani Zahra dan Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:06


Anggelia Sulqani Zahra: Assalamu alaikum Uastadz. 

Allahumma sholli alaa Muhammad wa alaa aali Muhammad. Ustadz, mohon penjelasannya tentang FILSAFAT DO’A. 


Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Setiap mau membicarakan filsafat sesuatu, apapun itu, harus selalu mengingat kembali posisi filosofis atau kenyataan dari obyek yang akan dibahas. Karena itu terpaksa, untuk mengingatkan dan/atau memberi tahu teman-teman yang tidak terbiasa dengan filsafat, merangkum kembali apa-apa yang telah ditulis sebelumnya. 

Doa, adalah akibat yang muncul dari sebab yang bernama manusia. Dan karena doa itu ditujukan kepada Allah swt., maka di sini, minimal, mesti merangkum posisi filsafatnya dari tiga hal itu. 

Karena akan dikatakan, tentang Tuhan, bahwa: Ia adalah Wujud Mutlak. Artinya tidak memiliki esensi. Artinya tidak memiliki batasan. Karena itu, ketika Ia adalah Wujud seperti itu, maka Ia tidak akan pernah mengakibatkan keburukan apapun, baik yang berupa bencana, kesesatan atau bahkan siksa neraka. Karena kalau mengeluarkan satu saja keburukan itu, maka sudah pasti akan bermuara pada keterbatasanNya. Karena itu Ia adalah Cahaya Mutlak, Hidayah Mutlak, Keindahan Mutlak, ....dan seterusnya. 

Karena Ia seperti itu, maka Kuasa Yang dimilikiNya, tidak membuatnya menjadi ternodai hingga menjadi penyiksa, penyesat, penipu dan seterusnya. Artinya KeMaha KuasaNya, tidak berarti melakukan semua keburukan dan keterbatasan tersebut. 

Mungkin Anda bertanya, bukankah dalam Qur'an Tuhan mensifati Dirinya dengan Penyesat (Mudhil), Penipu bagi penipu (Khairu Maakiriin), Penyiksa (Muntaqim)....dan seterusnya? 

Untuk menjawab hal itu, maka bisa dengan berbagai jawaban yang diantaranya: 

(a). Bukan Tuhan yang menyesatkan yang keterlaluan, dan bukan Tuhan yang menyiksa yang harus disiksa, serta bukan Tuhan yang menipu para penipu terhadap kebenaran itu, dan seterusnya. Akan tetapi mereka sendirilah yang keluar dari Hidayah, Kejujuran, dan NikmatNya. Artinya, siksa itu sebenarnya tidak lebih dari keluarnya seseorang dari NikmatNya, sesat itu tidak lebih keluarnya seseorang dari HidayahNya, dan tertipu itu tidak lebih keluarnya seseorang dari kejujuran dirinya sendiri. Ringkasnya, siksa, tertipu, sesat, buruk, gelap dan semacamnya yang timbul pada seorang hamba yang secara lahir sebagai hukuman dariNya, semua itu, tidak lebih dari keluarnya seseorang dengan ikhtiarnya sendiri dari Cahaya MutlakNya itu. 

(b). Jawaban (a) itu adalah jawaban yang sesungguhnya. Artinya sesuai dengan kenyataannya. Akan tetapi, mungkin bagi yang belum terbiasa sabaran menelaah dan merenungi tentang kenyataan setiap sesuatu, masih bertanya, dan memang bisa dikatakan layak bertanya bahwa: Bukankan sekalipun merupakan pilihan kita, yakni kesesatan, ketersiksaan dan ketertipuan dan semacamnya itu adalah sesuatu yang buruk dan nyata dimana karena setiap kenyataan atau keberadaan itu datang dariNya, maka berarti juga bersumber padaNya, hingga dengan demikian berarti semua keburukan itu adalah juga merupakan akibatNya? 

(c). Keburukan, dalam kenyataan, tidak memiliki keberadaan. Hal itu karena semua sebab keburukan itu adalah ketiadaan sesuatu atau ketiadaan kesempurnaan. Jadi, apapun yang dikatakan jelek atau buruk, sebabnya adalah ketidak pemilikan suatu keberadaan. Seperti tak berilmu, tak berbadan lengkap, tak sehat, tak akhlak, tak kawin (zina), tak adil, tak … dan seterusnya). Artinya, semua tidak dan tiada-tiada itulah yang membuat kita mengatakan hal tersebut adalah jelek dan buruk. Tak adanya kenyamanan di neraka, adalah penyebab buruknya neraka. Tak adanya hidayah dan jalan benar pada setiap kesesatan, adalah penyebab dari keburukan sesat. Begitu seterusnya.
 
(d). Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa semua keburukan dan kejelekan itu disebabkan ketiadaan sesuatu atau ketiadaan kebaikan atau ketiada kesempurnaan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa keburukan itu tidak ada. Hal itu karena ketiadaan sebabnya. 

Jadi, semua yang kita lihat dari keburukan itu, sebenarnya penilaian pikiran dan tidak ada keberadaannya. Persis seperti satu bagi dua, yang mestinya hasilnya dua, dikatakan setengah. Atau akhir dari garis adalah titik, dimana pada hakikatnya, titik itu adalah garis kecil yang, membuatnya tegolong kepada hakikat garis juga. Padahal titik itu, yang definisinya adalah akhir garis, merupakan ketiadaan. Karena ia di luar garis. Dan karena itu ia tidak ada sekalipun bisa ditunjuk dan diisyarati dengan disini dan disana. Begitu pula dengan satu benda dibagi menjadi dua adalah dua keberadaan. Sementara setengah itu tidak ada wujudnya. Yakni kewujudan setengah itu hanya di alam akal kita yang mengatakan bahwa dua benda ini adalah setengah kalau dibanding dengan benda pertama yang sudah tiada itu. 

Pendekatan di atas, tidak mesti sama dalam setiap dimensi. Penyamaan disini hanya ingin mengatakan dan menguatkan, bahwa betapa banyaknya sesuatu yang tidak ada tetapi dianggap ada oleh akal kita.Begitu pula halnya dengan buruk ini. Ia, keberadaannya, hanyalah di dalam akal dan berupa perbandingan dan komparatif. Yakni dibanding yang adanya, atau adanya kesempurnaannya, maka hal ini adalah jelek atau buruk. 

Jadi, buruk tidak ada dan tidak memiliki kenyataan karena dua hal, pertama karena sebabnya adalah tiada, dan ke dua karena ia berupa perbandingan akal hingga keberadaannya hanyalah di dalam akal. 

Keberadaan dalam akal inilah yang dikatakan dengan nilai atau akhlak, atau hukum atau kesepakatan, atau undang-undang dan semacamnya. 

(e). Sedang kebaikan, karena sebabnya adalah keberadaan sesuatu atau kesempurnaan, maka sebabnya adalah ada dan keberadaan. Dan karena sebabnya keberadaan, maka akibatnya yang bernama kebaikan, ia juga ada dan nyata. Seperti semua keberadaan di alam ini. Apapun keberadaan di alam ini, karena nilai baiknya disebabkan keberadaan, maka nilai itu tidak hanya berada di akal, akan tetapi juga ada di alam nyata dan hakikat. Inilah yang dikatakan dengan kenyataan atau filosofis. Filosofis, yakni nyatais. Filsafat yakni Ilmu Kenyataan. 

(f). Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa kenyataan itu adalah baik dilihat dari sisi keberadaannya. Tidak shalat, tidak kawin, pembunuhan...dan seterusnya semua itu, adalah kebaikan dilihat dari kenyataan wujudnya. Yakni merupakan kesempurnaan. Zina, adalah kesempurnaan wujud dari dua jenis manusia yang memiliki semua kesempurnaan badani dan kenormalan jasmani. Karena itu, pertemuannya itu adalah kebaikan wujud atau kebaikan alami dan naturali. Begitu pula dengan perbuatan buruk yang lainnya. Semuanya, dari sisi naturalinya, adalah kebaikan dan kesempurnaan naturali. Pedang yang tajam, leher yang bisa luka, tenaga yang ada pada pengayun pedang dan seterusnya hingga terjadi pembunuhan dan penganiayaan, adalah kebaikan dan kesempurnaan wujudi, alami dan naturali. 

Sedang keburukannya, dilihat dari ketiadaan kawin, ketiadan hak membunuh, ketiadaan hidayah dan seterusnya yang, membuat semuanya itu tidak ada dalam wujud nyatanya, alaminya, naturalnya. 

(g). Akan tetapi, sebagai manusia berakal, tidak boleh menganggap semua keburukan karakter dan tanpa hukum serta tanpa akhlak itu sebagai sesuatu yang remeh temeh dan tidak perlu diperhatikan. Hal itu karena, penyepelehan itu akan membuat kita, artinya membuat keberadaan kita sebagai manusia yang bukan akliah saja tetapi bahkan nyata, menjadi wujud yang menurun dari hakikat kemanusiaan nyatanya itu. Artinya, kalau kita membunuh orang yang tidak layak dibunuh, atau berzina dan semacamnya dari hal-hal yang buruk di dalam akal dan baik di luar akal (nyata, karena ada), maka akan membuat keberadaan alami dan naturali dari manusia ini menjadi naturalinya keberadaan yang lebih rendah seperti binatang. 

Karena itu, hal-hal yang sekalipun keberadaannya hanya di dalam akal, atau kitab, atau kesepakatan, atau hukum atau undang-undang, atau Qur'an dan seterusnya, tetap harus diperhatikan karena membuat keberadaan alami manusia itu menjadi keberadaan yang lebih rendah derajatnya seara alami. 

(h). Memang, lebih rendah, lebih buruk ..dan seterusnya itu tetap akan berpulang kepada ketiadaan lagi. Artinya dikatakan buruk dan tidak baik karena ketiadaan lagi. Artinya keburukannya tetap tidak ada karena keburukannya disebabkan oleh ketiadaan sebab keburukannya. Karena itu manusia yang menjadi binatang, yang masuk neraka, dan seterusnya tetap merupakan kebaikan karena kalau dilihat dari sisi wujudnya, semuanya adalah kebaikan, seperti panasnya neraka, terbakarnya badan (karena kalau seperti besi badan tidak akan bisa berkembang dan bergerak), begitu pula menjadi binatang yang bisa bergerak, kawin alami (zina) makan harta orang, dan seterusnya adalah kesempurnaan keberadaan. 

Memang demikian halnya. Karena itulah maka semua yang ada sekalipun neraka itu, adalah kebaikan dan rahmatNya yang layak disyukuri. 

Akan tetapi, manusia yang masuk ke dalamnya, ia akan menderita. Artinya ia mendapatkan keberadaan dan kebaikan alami, yang baginya adalah penderitaan. Jangan jauh-jauh, kalau kita sandra Mas Indra Gunawan atau Mas Herry (he he he, hanya contoh), lalu memaksanya untuk masuk ke sekolah TK dimana harus pakai celana pendek seragam TK, dikalungi botol teh untuk minum, disuruh duduk bersama anak-anak TK yang lain, disuruh taat sama ibu gurunya yang menyuruhnya menyanyi, main sepor-seporan (kereta-kereta apian), menari dengan tari bebek, dan seterusnya, maka sudah dapat dipastikan kedua Mas itu akan tersiksa dan dalam waktu seminggu saja keduanya harus dimasukkan ke rumah sakit “tidak sehat akal” (bc: gila). 

Padahal kita tahu, bahwa sekolah TK itu adalah baik dan rahmat bagi keberadaan. Akan tetapi kalau yang memasukinya itu adalah keberadaan yang derajatnya melebihi derajat rahmat itu, maka rahmat tersebut akan menjadi balak dan bencana yang, tentu tetap merupakan kebaikan. Karena sebab kebaikannya adalah keberadaan dan bukan keburukan karena sebab keburukannya tidak ada.
 
(i). Karena itulah semua keberadaan itu adalah baik dan sudah disiapkan untuk keberadaan yang sesuai. Karena itulah Tuhan menurunkan manualNya yang berupa syariat yang untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia, semua itu, agar manusia tidak menempati tempat yang bukan tempatnya. 

Nah, menempati tempat yang bukan tempatnya itulah yang terus dikatakan binatang, kesesatan, ketertipuan, neraka, siksa, sakit psikologi, sakit jiwa, gila, terlaknat, gelap, dhalliin, dan seterusnya. 

(j). Karena itulah manual itu benar-benar rahmatNya, bukan taklif atau tugas atau beban. Jadi, kalau manusia sadar akan kemanusiaannya, maka ia tidak akan pernah menatap syariatNya itu sebagai beban dan, apalagi malah mengatakannya sebagai sesuatu yang tidak meliputi segala aspek kehidupan dan tidak meliputi semua jaman serta keadaan dan, lebih apa lagi tidak mengatakan bahwa hukumku lebih dari hukumNya. Yakni tidak mungkin seperti itu. Karena tiga hal itu akan menurunkannya ke derajat lebih buruk dari binatang. 

Mungkin untuk yang pertama, tidak sampai seperti itu. Artinya, orang yang melihat bahwa hukum-hukumNya itu adalah beban dan taklif, tidak akan sampai dosa dan menjadi binatang atau masuk neraka. Akan tetapi, dia akan selalu atau hampir selalu, dalam melaksanakan ketaataannya, akan merasa berat, beban dan bisa saja terpaksa (sudah tentu terpaksa jauh lebih baik dari tidak melakukan, karena terpaksa ini juga bisa masuk surga). Namun, ketaatan seperti itu bisa gampang berhenti dan berubah ke arah lainnya yang biasa dikatakan maksiat. 

Beda halnya kalau menatap syariat itu sebagai rahmatNya, IndahNya, KasihNya, PerhatianNya, KeadilanNya...dan seterusnya, maka ia akan manis dan asik masyuk dalam melakukan semua kewajibannya dan sungguh-sungguh akan sangat membenci keburukan akhlak dan ketidak teraturan. 

Akan tetapi kedua lainnya, yakni mengatakan hukum-hukumNya tidak meliputi semua aspek kehidupan manusia baik dari sisi niscaya dan jamannya, atau mengatakan bahwa hukumku atau undang-undangku lebih baik dari hukum dan undang-undangNya, maka kedua hal ini benar-benar bisa mengantar manusia ke neraka jahim. 

Kepengakuan Fir’un sebagai Tuhan, sudah tentu bukan dari penciptaan. Karena dapat diketahui dengan nyata bahwa dia tidak mencipta air yang ia minum. Akan tetapi, yang jauh lebih menonjol, adalah di Ketuhanannya dari sisi perundangan dan hukum ini yang, karenanya ia mengatakan “Aku juga membuat manusia hidup dan mati”, yakni kuhukum hidup atau mati.

Dengan semua penjelasan di atas itu, maka dapat dipahami dengan argumentasi gamblang bahwa Tuhan hanyalah sumber kebaikan, kehidayahan, kebenaran, cahaya dan semacamnya. 

Dengan penjelasan di atas itu pula, dapat diketahui bahwa keburukan itu tidak ada, dan yang ada hanyalah penurunan derajat kebaikan ke kebaikan yang lainnya yang, bagi yang diturunkan, akan menjadikannya tersiksa karena ketidakcocokannya itu. Seperti api neraka yang baik kalau ditempati manusia yang turun ke derajat api itu yang sekalipun tetap baik, akan tetapi akan membuatnya tersiksa. 

Dan tersiksa itu, juga kebaikan yang lain dilihat dari dimensi wujud dan keberadaannya. Karena sebab semua kebaikannya adalah keberadaan dan kesempurnaan. Sementara sebab keburukannya adalah ketiadaan yang, membuat keburukan itu tidak ada. 

Karena itulah maka neraka itu tergolong rahmat Tuhan yang besar, karena membuat orang yang tidak suka padanya secara filosofis/hakiki, menjadi menaati manualNya dan bagi yang suka secara hakiki tetap mendapatkannya. Artinya, yang di dunia suka zina, korupsi, aniaya . dan seterusnya, semua itu akan mendapatkan apa-apa yang meraka suka tersebut (neraka). Karena itulah dalam Qur'an: 7: 156, dikatakan bahwa “dan rahmatKu meliputi segala sesuatu”. Artinya nerakapun merupakan rahmatNya. Seperti rumah sakit gila, rumah morfinis, rumah pelacuran, istana kezaliman, sarang perampok, majlis para koruptor, kantor pengadilan yang penipuan, penjara, dan seterusnya. semua itu merupakan kebaikan bagi pemilihnya. 

Jadi, pertama Allah sudah menurunkan manualNya atau syari’atNya, itu sudah kebaikan dan rahmat yang agung. Kalau diamalkan maka ia adalah kebaikan yang lainnya. Menjadi manusia yang baik dan bermoral, serta kemudian menjadi penegak keadilan dan masuk surga, merupakan kebaikan yang bersumber dari taat pada manualNya itu. 

Dan bagi yang tidak taat pada manualNya itu, maka ia berarti memilih kezaliman, kegelapan, ketidak bermoralan, dan api neraka, semua itu, juga merupakan rahmatNya. 

Jadi tergantung kepada manusia mau memilih rahmatNya yang mana. Mau memilih rahmatNya yang membuatnya senang dan bahagia serta sehat secara hakiki, atau memilih rahmatNya yang akan membuatnya menderita secara hakiki walau di dunia ini Nampak bahagia dan senang, na’udzubillah. 

Sampai disini, kita sudah membicarakan Tuhan dari dimensi DiriNya dan sehubungan dengan kebersumberanNya terhadap semua kebaikan. 

Sekarang, kita akan membahas DiriNya sebagai sebab. Artinya bukan sebab dari apa sebagaimana yang sudah dibahas, tetapi arti sebab itu sendiri. Karena itu maka layak dikatakan bahwa: 

Sebab, adalah suatu sifat bagi suatu wujud dimana wujud itu mewujudkan wujud lain. Tentu saja pembahasa sebab seperti ini, bukan pembahasan puncak. Tetapi nanti mungkin kita akan sampai ke tingkatan puncaknya. Tergantung rejekiku dalam menulis, dan rejekimu dan pembaca yang lain dalam membaca. 

Pada tahap ini, cukup dikatakan bahwa sebab itu adalah suatu wujud yang mewujudkan wujud lain. Dan Tuhan, sebagai sumber dari segala keberadaan, maka Ia adalah sebab bagi semuanya. 

Sebab pewujud itu, bukan berarti mewujudkan sesuatu yang sebelumnya tidak wujud. Karena tidak wujud, adalah tiada. Dan tiada tidak bisa diapa-apakan. Dia hanya bisa dimengerti, akan tetapi tidak bisa diapa-apakan. Satu-satunya yang bisa diapa-apakan padanya, adalah berita atau predikat. Artinya, semuanya hanya dalam akal saja. Yakni di luar, tiada itu tidak ada. Karena itu, maka Tuhan mengadakan semua yang ada ini, tentu dari keberadaan juga. 

Karena semua yang ada ini bersumber dari keberadaan juga, dan karena sumber segala sumber itu hanyalah Tuhan, maka semua kebedaraan ini, berasal dari WujudNya. 

Karena itulah maka keberadaan alam ini dikatakan sebagai Makhluuq, yakni yang berasal dari Khalaqa, yakni dikadar dan dibentuk. Jadi, makhluk ini adalah kadaran dan bentukan dari WujudNya yang Maha Tidak Terbatas itu. 

Dari sisi lain, sebab, adalah sebab bagi keberadaan sesuatu secara hakiki. Yakni dalam hal ini sebab keberadaan. Artinya bukan seperti sebab pendekat, seperti ayah ibu yang mendekatkan sebab hakiki badan (mani-ovum), atau tukang yang mendekatkan sebab hakiki bagi tembok. Karena kalau sebab itu bukan sebab hakiki dan hanya pendekat misalnya, maka ia hanya mendekatkan saja dan tidak ada urusan setelah yang didekatkannya itu terjadi. Yakni sebab pendekat ini akan tetap terpisah darinya, karena memang dari awal bukan bagian dari akibatnya itu. 

Akan tetapi, sebab hakiki atau sebab pewujud, maka ialah yang mewujudkan akibatnya itu. Artinya, ketika ia yang mewujudkannya, maka iapun akan tetap menjaganya selama ia mau menjaganya. Artinya, karena wujud akibat ini benar-benar disebabkan oleh sebabnya itu, maka keperluan akibat tersebut, sudah tentu tidak hanya pada awal keberadaannya. Akan tetapi dalam kebersinambungan keberadaannya. Karena kalau sebab keberadaan itu berpisah dari akibat yang ada itu, maka karena akibat yang ada ini dari sebab yang ada itu, maka akibat yang ada ini pasti akan menjadi tiada. Yakni sebagaimana keberadaan akibat benar-benar hanya dari sebabnya, maka keberadaannya memerlukan kepada sebabnya itu. Karena kalau terpisah dari sebab keberadaannya, maka keberadaannya akan menjadi tanpa sebab. Dan, tanpa sebab itu adalah sesuatu yang sangat mustahil. Karena itu akibat yang sudah ada itu, sudah ada karena dan bersama sebabnya. Karenanya kalau berpisah, maka ia akan menjadi tanpa sebab keberadaan. Yakni menjadi tiada kembali. 

Dan karena akibat itu adalah takaran dari diri sebab, maka ketiadaan akibat maknanya kembali kepada sebabnya lagi. 

Dengan semua uraian di atas itu, kita sudah mengerti bahwa apa makna Tuhan itu sebab dan sumber dari segala sesuatu. Artinya sebagai sumber dari apa? Dan juga sudah mengerti apa arti sebab dan kesumberanNya itu. 

Sekarang mari kita lihat apa arti akibat yang manusia ini dan doa itu. 


Karena sebab adalah penakar dari hakikat keberadaan akibat, maka manusia yang sebagai akibat Tuhan, adalah takaran dari keberadaanNya. Artinya, ia adalah kebaikan semata, walaupun memiliki keterbatasn dimana keterbatasannya ini disebakan oleh ketertakarannya itu. 

Sedang arti keakibatan manusia ini, adalah hakikat ketergantungan pada sebabnya. Karena bukan hanya di awal keberadaannya yang bergantung pada sebabnya, akan tetapi, pada kesinambungan wujudnya juga memerlukan sebabnya. Hal itu, karena berpisah dari sebabnya berarti berpisah dari sebab wujudnya dan, itu berarti tanpa sebab dimana ketanpasebabannya ini berarti ketiadaannya kembali. 

Jadi manusia itu, dalam setiap atom badannya, dalam setiap detak jantungnya, dalam setiap nafasnya, dan seterusnya selamanya begantung padaNya, seperti bergantungnya pijaran lampu listrik kepada arus yang mengalirinya hingga terpijar. 

Karena itu, apapun yang akan menimpa manusia, baik berupa kebaikan atau keburukan (tolong ingat pelajaran di atas hingga tidak salah mengartikan keburukan ini), maka akan mengalir padanya dari dalam dirinya sendiri. Artinya, semua yang akan terjadi pada manusia itu, sebenarnya, akan datang dari sebabnya. Dan karena sebabnya adalah hakikat batinnya, maka semua yang akan datang padanya itu dilarikan melalui jati dirinya sendiri. Artinya dari sumbernya yang berupa 

sebab itu menuju kepada manusia, seperti arus listrik yang mengalir lewat dalam lampu dan membuatnya terpijar. 

Dengan penjelasan ini, maka taufik dan petaka itu dari dalam diri manusia itu sendiri. Karena itulah maka apapun yang datang dari luar manusia itu, hanyalah pendekat dan instrument bagi munculnya sebab hakiki atau sebab wujudnya itu. 

Misalnya, perempuan bersoleh nan cantik dan istri orang. Ia bukan sebab manusia untuk men- duduki kebaikan lebih rendah dari kebaikan manusia yang kita katakan sebagai kebaikan binatang sebagaimana yang sudah dibahas di atas. Karena perempuan cantik yang menggodanya itu, hanyalah pendekat dan instrument bagi kebejatannya atau kebaikan lebih rendahnya itu. 

Nah, sebab hakiki bagi kemerosotannya itu, adalah gelora yang tidak dikendalikannya yang berada di dalam dirinya itu. Nafsu yang juga baik itu (baik hewani dan naturali), tidak dipandunya dengan akalnya yang juga keberadaan dan kebaikan yang lebih tinggi karena sesuai dengan derajatnya sebagai manusia. 

Ketika terjadi perzinaan (na’udzubillah min su-i anfusina), maka ia telah melakukan kebaikan naturali. Akan tetapi naturali hewani. Sedang dari tinjuan naturali akli, ia telah melakukan hal yang tidak sesuai dengannya. Yakni tidak sesuai dengan naturali akli yang berada di tingkatan yang lebih tinggi dari naturali hewani itu. 

Dengan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa semua yang akan menimpa manusia itu, berasal dari dalam dirinya sendiri. Artinya dirinya adalah sebab bagi keburukan atau kebaikannya. 

Inilah yang dikenal dengan Ikhtiar dalam ajaran Islam. 

Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kebaikan dan keburukan manusia itu berasal dari dirinya sendiri. Dan inilah yang dikatakan sebagai ikhtiar dan pilihan. 

Dan karena wujud manusia sendiri itu merupakan kadaran dari WujudNya, maka manusia, sekalipun sebab bagi semua yang akan menimpanya, akan tetapi ia dilihat dari sebabnya adalah akibat. Karena itu, akibat manusia itu adalah akibat pula bagi sebabnya. Karena itu, maka kebaikan dan keburukan manusia itu adalah kadaran Tuhan juga. Yakni makhluuq Tuhan juga. Karena itulah maka kabaikan dan “keburukan” juga bersumber padaNya. 

Kebersumberan inilah yang memisahkan freewillnya Syi’ah dari Mu’tazilah. Karena, katanya, kalau di Mu’tazilah itu Tuhan tidak lagi ikut campur urusan manusia karena sudah memberinya segala potensi untuk jadi baik dan buruk serta sudah memberinya syariat. Akan tetapi kalau di Syi’ah, manusia, tetap bergantung padaNya dari dalam diriNya, bukan dari luar yang kemudian diberi atau tidak olehNya dari luar dirinya. Tidak seperti itu. Tetapi justru dari dalam dirinya sendiri. 

Akan tetapi, sekalipun akibat manusia itu adalah akibatNya juga secara hakiki, namun, yang bertanggung jawab itu adalah manusia itu sendiri. Hal itu, karena manusia bukan sebab naturali tanpa ikhtiar pada akibatnya seperti harimau yang memakan mangsanya. Akan tetapi karena manusia sudah diberikan akal, maka ikhtiarnya itulah yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Artinya, karena makhluk Tuhan yang lewat perantaraan manusia itu lewat ikhtiar manusia, maka manusialah yang harus mempertanggung jawabkannya, bukan Dia. 

Setelah kita ketahui semua perbuatan manusia itu adalah akibatnya dan akibatNya, dan setelah kita ketahui pula bahwa pemberiaanNya melaluinya -manusia- sendiri, maka sekarang kita akan melihat apa arti doa itu. 

Doa berasa dari Da’aa-yad’uu yang berarti memintai, mengingini dan mengharapkan. 

Dari arti bahasa ini, dapat dimengerti arti istilahnya yang sebenarnya tidak keluar dari makna katanya itu. Yaitu menginginkan sesutu atau mencarinya atau mengharapkannya. 

Ingin dan mengharap serta mencari adalah suatu rasa yang dirasakan oleh manusia dalam dirinya. 

Ingin dan mengharap serta mencari ini adalah suatu rasa yang dirasakan oleh manusia dalam dirinya. Artinya ia berupa sesuatu yang tersembunyi di dalam diri manusia itu sendiri. 

Ingin dan meminta serta mengaharap itu sendiri, yakni yang berada dalam jati diri manusia itu sendiri, bisa diaktualkan dalam dua bentuk, kata-kata (termasuk isyarat), bisa juga dalam bentuk perbuatan. 

Aplikasi kata yang keinginan itulah yang dikatakan “Membaca Doa”, yakni mengucapkan keinginan- nya. 

Ingin yang diucapkan itu, sudah tentu bukan merupakan aplikasi yang sebenarnya. Karenya aplikasi yang sebenarnya adalah aplikasi terhadap yang diinginkannya itu, bukan terhadap kata- katanya. Karena ia dari awal tidak ingin terhadap kata-kata keinginannya itu. Orang yang ingin hidayah dan surga, adalah ingin mengambilnya dan mencapainya, bukan ingin mengatakan “ingin padanya” atau mengatakan “Berikan padaku” atau “Hidayahilah aku” atau “Masukkanlah aku ke surga” dan semacamnya. Bukan seperti itu bukan?. 

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa doa itu pada hakikatnya adalah aplikasi usaha, bukan aplikasi kata-kata. Dan inilah yang kita katakan bahwa apapun yang akan menimpa manusia itu datang dari dalam dirinya sendiri yang sudah tentu juga dalam kontrol sebabnya yang telah ikut mewujudkan kebaikan dan keburukannya itu. 

Jadi, doa yang berupa kata-kata itu, tidak lain hanyalah sebab luar dan pendekat saja. Karena ia berfungsi mengingatkan manusia dan memicunya. Tentu saja ingat baru doa, bukan sebaliknya, tetapi yang saya maksudkan disini, adalah ketika manusia terbiasa dengan doanya, maka kebiasannya itu akan membuatnya ingat akan apa yang akan diucapkannya dalam doanya itu hingga menjadi ingat pada isi dan keinginannya, seperti yang biasa membaca doa Kumail. 

Tentu saja, karena doa bacaan itu adalah instrument, maka ia juga menghasilkan pahala dan perubahan pada diri manusia. Akan tetapi perubahan yang berkisar ingin dan kemantapannya saja, bukan pencapaian terhadap apa-apa yang diinginkannya itu. 

Dengan penjelasan di atas, doa yang sebenarnya adalah usaha mencapainya. Tentu saja, doa bacaan ini, berfungsi sebagai dzikir, syiar dan pengingat diri sebgaimana maklum. Jadi dia tetap penting dalam kehidupan manusia baik sendiri atau bersosial. 

Akan tetapi, doa yang akan mencapaikan manusia, adalah keinginan yang filosofis dan nyata alias hakiki. Yakni yang disertai usaha gigih, profisional dan tak kenal lelah. 

Dan karena pencarian dan usaha pencapaian itu, tidak bisa dicari kecuali dalam kadaranNya, dan melalui dirinya sendiri dari dalam dirinya, maka doa ini, merupakan ketaklukan yang penuh terhadapNya. 

Jadi, doa bacaan juga bisa berfungsi sebagai ucapan ketaklukan kepada Allah seperti syahadatain yang berupa pernyataan terhadap tauhid, bukan tauhid itu sendiri. Karena hanya pengucapannya. Tetapi hal itu penting dilihat dari berbagai dimensi seperti yang sudah dijelaskan di atas. 

Kalau doa ucapan itu adalah ikrar bagi kepapaan kita dan keserbapunyaanNya, maka doa yang aplikatif perbuatan atau usaha ini adalah hakikat dari padanya. Yakni hakikat dan keyakinan terhadap kepapaannya dan keserbapunyaanNya. 

Dengan demikian, doa, dari dua sisinya di atas, merupakan ketaklukan penuh kepadaNya, penyer- ahan diri padaNya serta harapan satu-satunya padaNya. 

Karena itu, orang yang berdoa dengan segala dimensinya itu, akan terjauhi dari bergantung dan mengharap dari selainNya. 

Tentu saja, ketergantungan padaNya itu, bukan berarti meninggalkan selainNya. Karena meninggal- kan selainNya berarti meninggalkanNya juga, karena selainNya adalah kekadaranNya. 

Tetapi hakikat meninggalkan selainNya itu, adalah dalam diri dan keyakinan serta tatapannya. Artinya, ia melihat semua keberadaan itu adalah instrumentNya. Karena itu kesukaan kepada selainNya itu bukan kesukaan kepadanya, tetapi kepadaNya. Dan memang begitu dalam pan- dangannya. 

Jadi dia hanya menghormati selainnya tetapi tidak mengagungkannya. Dia tidak mencitainya melainkan hanya mencintaiNya. Tidak mencelanya, tetapi tidak mencintainya. 

Orang yang hanya bermain pemahaman dalam point 40 itu, sama sekali tidak akan mendapatkan manisnya pencapaian walau ia merasa mencapainya. Orang yang hanya bermain kata-kata dan ucapan serta untaian tulisan kata dalam makalah atau catatan fb., tidak akan pernah merasakan keindahan IndahNya, kecahayaan CahayaNya, kehidayahan HidayahNya. Karena itu kita semua mesti berhati-hati memahami tulisan ini dan sungguh-sungguh dalam mengamalkannya. Semoga Tuhan selalu menyertai usaha kita, amin. 

Dengan semua uraian itu dapat dipahami dengan akal gamblang, bahwa doa adalah usaha dari dalam yang kadang menggunakan instrument dari luar, yang diaplikasikan dalam ucapan dan usaha, untuk mencapai apa-apa yang diinginkannya. 

Dan semua itu, terjadi seiring dengan keakibatan manusia terhadap kesebaban Tuhannya. Jadi, semua terjadi dalam dirinya dan DiriNya, dan datang dari dalam dirinya dan DiriNya. 

Wassalam. 


Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Khommar Rudin dan 5 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

8 Juli 2012 pukul 10:29 · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Filsafat Kesempurnaan



Seri Tanya Jawab Ustad Sinar Agama

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:04


ENg’guh Al Ghifari: Salam ustadz, afwan sebelumnya, begini ustad saya dapat pertanyaan dari teman saya, pertanyaan seperti ini ustad: sempurna: 

  1. Tuhan itu Maha Sempurna?
  2. Manusia itu makhluk yang sempurna?
  3. Islam itu agama yang sempurna? 

Dengan apa untuk membuktikan bahwa sempurna itu dapat di ketahui? Apakah sempurna itu perlu adanya proses? Syukron ustad. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Sempurna itu adalah pemahaman yang jelas alias badihi. Karena itu maka kalau seseorang tidak paham akan arti sempurna, maka ia tidak akan bertanya “Dengan apa untuk membuktikan sempurna itu dapat diketahui?” Yakni kalau makna pertanyaannya adalah bagaimana mengerti sempurna. Nah, kalau pertanyaannya adalah demikian, yakni dengan apa mengerti sempurna? Maka jawabannya adalah apa sempurna yang anda tanyakan? Artinya anda mengerti tentang sempurna itu atau tidak? Kalau tidak mengerti berarti anda bertanya tentang sesuatu yang tidak ditanyakan. Misalnya saya bertanya tentang Z, tetapi karena saya tidak membayangkan apa arti Z itu sama sekali, maka saya bertanyanya seperti bertanya di kala tidur. Yakni tidak mengerti dan membayangkan apa yang ditanyakan. 

Akan tetapi kalau maksud pertanyaannya adalah dengan apa membuktikan kesempurnaan Tuhan, manusia, agama dan semacamnya, maka berarti kita sudah mengerti dan membayangkan apa arti sempurna itu. Karena itu, jawaban pertamanya, sebagai mukaddimahnya, adalah bah- wa sempurna itu adalah tidak memiliki kekurangan. Akan tetapi ketidak pemilikan terhadap kekurangan itu harus sesuai dengan derajat dan keberadaannya sendiri. Artinya sesuai dengan jati dirinya. 

Karena itulah maka dalam Islam atau Qur'an, dikatakan bahwa Tuhan itu Sempurna, dan Semua makhluk (bukan hanya manusia) adalah sempurna. 

Bukti kesempurnaan Tuhan adalah di ilmu Kalam bab Tauhid. Silahkan merujuk ke sana. Intinya, karena semua keberadaan yang kita lihat ini adalah terbatas, maka semua memerlukan kepada sebab yang tidak terbatas, baik langsung atau tidak. Karena kalau tidak ada sebab yang tidak terbatas, maka semua keberadaan adalah terbatas. Dan kalau demikian maka semuanya memiliki awal dan akhir dimana sebelum permulaannya itu, semua keberadaan ini adalah tidak ada. Kalau demikian halnya, maka dari mana keberadaan ini, sementara semuanya pernah tidak ada, dan tidak ada keberadaan yang selalu ada yang, berarti tidak memiliki batasan awal dan akhiran. Dengan demikian dapat diketahui dengan yakin, yaitu dengan adanya kenyataan wujud terbatas ini, maka berarti ada wujud yang tidak terbatas yang telah menyebabkannya. 

Dengan demikian kesempurnaan Tuhan adalah ketidak terbatasannya dan ketidak pemilikanNya terhadap apapun kekurangan. 

Dan karena perubahan pada DiriNya, rangkapan pada DiriNya, ketidaktahuan, kebakhilan, ketidak adilan, kelupaan, kengantuan, kelengahan, kebosanan, kelelahan, kebendaan, kedilangitan, kedi’arsy-an, .....dan seterusnya adalah bentuk-bentuk keterbatasan, maka Tuhan bersih dari semua itu. Itulah makna kesempurnaan Tuhan. 

Tentang kesempurnaan semua makhluk, adalah bahwa Tuhan yang tidak terbatas itu, tidak mungkin mencipta apapun dengan yang tidak utama. Karena kalau masih ada kucing yang lebih hebat dari kucing yang ada ini, begitu pula pohon pisang, pohon jagung, air, manusia, ular.... dan seterusnya tapi Tuhan tidak menciptakannya, berarti Tuhan yang tidak menciptakannya itu bisa karena kikir, bakhil, tidak tahu, lengah, takut disaingi, takut merusak, takut ini dan itu ...dan seterusnya dimana semua hal itu bertentangan dengan hakikat DiriNya Yang Tidak Terbatas itu. 

Begitu pula tentang agamaNya. Tentu saja setelah kita sudah yakin bahwa agama itu atau madzhab itu adalah agamaNya dan madzhabNya. 

Tentu saja, kesempurnaan itu harus yang benar-benar sempurna. Artinya, kesempurnaan yang sesuai dengan eksistensi dan hikmah dari eksistensinya itu. Inilah qadar yang tidak bertentangan dengan ikhtiar dan agama. Yakni qadar yang ada pada setiap esensi suatu eksistensi atau pada setiap species. Misalnya, kesempurnaan api adalah membara dan membakar dan mati kalau terkena air. Kesempurnaan air adalah cair, mendinginkan tenggorokan dan menguap kalau terkena panas. Kesempurnaan badan manusia adalah tumbuh dengan natural dan luka terkena pedang yang tajam. Begitu seterusnya. Yakni kesempurnaannya itu sesuai dengan takaran atau qadar keberadaannya yang sesuai dengan hikmah penciptaannya. Karena itu kalau leher manusia tidak tertebas pedang, maka leher itu tidak sempurna. 

Agama juga demikian. Yakni kesempurnaannya harus kesempurnaan. Yakni harus sesuai dengan jaman diturunkannya. Karena kalau tidak, berarti kesempurnaan itu menjadi kehinaan. Seperti anda mengajar filsafat kepada anak TK. Atau menyuruh anak TK untuk puasa dan berjihad di jalan Allah dengan membawa pesawat tempur. 

Kesempurnaan-kesempurnaan yang ada di makhluk Tuhan itu, semuanya bisa menyempurna lagi kecuali kalau non materi dengan sebab yang sudah dijelaskan di ilmu filsafat dan ada juga di catatan-catatanku yang entah berjudul apa (bisa dicari di ruang catatan). Semua kesempurnaan yang ada pada setiap makhluk yang juga mengandung unsur materi ini, masih menyempurna lagi. Dan penyempurnaan selain manusia adalah menjadi manusia. Dan kesempurnaan manusia bisa terus melanglang ke derajat sebab, dari sebab dekat kepada sebab yang lebih jauh, dan begitu seterusnya sampai kepada Akal-satu dan Asma-asma Allah, seperti yang sudah sering dijelaskan di irfan. 

Dengan demikian maka kesempurnaan yang naturalis berproses sesuai dengan alamiahnya. Karena ia datang dariNya secara proses. Maka itu sudah tentu dengan proses (tentu selain non materi). 


Dan kesempurnaan yang alami ini masih bisa berproses untuk menyempurna lagi. Kalau penyempurnaan dari kesempurnaan selain manusia kepada manusia, maka juga melalui proses alamiah. Sedang kesempurnaan alamiah seperti manusia, yang masih bisa berproses untuk menyempurna selama masih dengan badannya, maka di sini prosesnya adalah ikhtiari alias bukan natural lagi. 

Agama juga berproses seiring dengan proses perkembangan daya pikir dan daya tangkap serta potensi aplikasinya yang ada pada manusia secara sosial. Tentu saja juga merupakan proses dari awal turunnya sekalipun. Jadi dari awal turunnya sudah dengan proses, seperti dari Tuhan ke materi, seperti proses yang ada pada calon penerima pertamanya yakni rasulnya (karena tanpa potensi ikhtiari manusia tidak bisa menjadi rasul utusan), begitu juga proses dari umat yang mau menerimanya. 

Kesimpulan:
Kesempurnaan itu adalah tidak adanya kekurangan. Akan tetapi ketidak adaan kekuarangan ini harus sesuai dengan ekstensinya masing-masing. Kalau ekstensinya tidak terbatas, maka kesempurnaannya adalah tidak adanya kekurangan apapun sekalipun perubahan. Dan kalau terbatas alias terqadar, maka sempurnanya adalah tidak adanya kekuarangan sesuai dengan qadarnya itu. 


Wassalam. 


Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Khommar Rudin dan 4 lainnya menyukai ini 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 


8 Juli 2012 pukul 10:22 · Suka




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Krisis Kepemimpinan, Kemakmuman, Kemanusiaan, Akal, Agama dan Keadilan

Krisis Kepemimpinan, Kedipimpinan/ kemakmuman, Kemanusiaan, Akal, Agama dan Keadilan



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:00


Bintang Ali: Salam ustadz, 

Beberapa waktu belakangan ini saya melihat (dengan subjektif) bahwa setiap negara memiliki ujiannnya masing-masing, seperti negri Palestina diuji dengan penjajah zionis, Iran diuji dengan Amerika + kacung-kacungnya, Indonesia diuji dengan inkompetensi kepemimpinan negara (KKN) dan bencana, Jepang diuji dengan gempanya, dan lain-lain. 

Khusus untuk Indonesia ustad, apa yang mesti dilakukan/tidak dilakukan secara sosial dan individu untuk lulus ujian?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Untuk mengerti ujian dan harganya serta jalan keluarnya, maka kita mesti tahu dulu apa itu manusia dan kemanusiaan serta tujuan atau hikmah penciptaannya. Karena tanpa itu, maka nantinya akan merasa sejajar semuanya hanya gara-gara sama-sama dapat ujian. 

Misalnya ujian bobroknya sosial dan lingkungan seperti negara kita ini disamakan dengan ujian zionist dan seterusnya. Padahal bedanya seperti langit dan dasar lautan. 

Petaka yang menimpa itu, bisa berupa hukuman dan bisa berupa ujian murni. Yakni kapan saja musibahnya itu merupakan hasil dari kerja-kerja kita, maka itu adalah hukuman. Bobroknya sosial kita, itu adalah petaka yang ditimbulkan oleh tangan kita sendiri, jadi ia adalah hukuman dan azab. 

Tentu saja untuk sebagian orang yang tidak bobrok sekalipun memiliki kemampuan untuk bobrok (sebab ada yang tidak bobrok karena belum ada fasilitasnya), dan kalau sudah beramar makruf dan nahi mungkar, maka petaka itu baginya adalah ujian, bukan hukuman. Tetapi kalau ketidakbobrokannya itu karena belum punya fasilitas, dan/atau tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar, maka semua petaka yang menimpanya adalah bala’ dan hukumannya juga. 

Bagi saya KKN bukan problem terbesar bangsa Indonesia, sekalipun termasuk besar. Yang terbesar bagi saya adalah kepotensian bangsa secara umum untuk itu. Artinya, secara umum (yang pasti ada kecualinya) bangsa kita memang punya potensi untuk tidak benar seperti itu. 

Bukti nyatanya, adalah kerilekan dan bahkan kecenderungan menerima kesalahan atau kebobrokan orang atau diri sendiri. Orang tua –misalnya- baru akan marah tentang pergaulan anak perempuannya kalau sampai hamil. Tetapi di bawah itu, sepertinya, sudah tidak ada lagi yang menolaknya. Seperti anak perempuan keluar sendiri, sekolah campur, teman campur, kuliah campur, budaya amburadul, musik tidak karu-karuan. dan seterusnya sudah tidak ada lagi yang jangankan marah, nolak saja sudah tidak ada. 

Dulu, di jaman Jahiliyyah Arab, serusak apapun, kejujuran masih disanjung tinggi. Di Indonesia coba, maka pasti dikatakan bodoh (misalnya menjual barang dan menceritakan keburukan yang ada pada barangnya, atau duduk di DPR tetapi tidak melakukan apapun, baik untuk rakyat yang ada di luar atau dalam partainya sendiri). Karena itu, orang lain dikatakan KKN, tapi mereka tidak merasa KKN, karena semua sudah mencari alasan dan apologi untuk dirinya sendiri. Artinya, budaya yang memang didasari potensi untuk rusak itu yang, telah dipupuk dengan kepenerimaan (bc: memaafkan) kebobrokan orang, semua itulah yang telah membuat kebatilan itu benar-benar tidak terasa batil dan bahkan terasa baik kalau sudah didapatkan apologinya. 

Misalnya juga, dalam profesi. Hampir semua profesi dijaga ketat kecuali agama. Karena itu, semua orang bisa jadi ustad hanya dengan pendidikan training, baca buku dan semacamnya. Semua sudah pada jadi pemikir dan pemecah masalah-masalah sosial dan keislaman, hanya bermodalkan semua itu. 

Nah, kepenerimaan bangsa kita ini terhadap semua itu, yang saya katakan problem terbesarnya. Artinya kenyamanan dalam hidup seperti itu, makan enak dan bisa tidur nyenyak dalam lingkungan seperti itulah, problem terbesar kita semua di Indoenesia. Info yang amburadul, ilmu yang simpang siur, Islam yang ampuun lebih simpang siur lagi (sunni dan syi’ahnya) hingga membuat Indonesia tidak pernah bisa melihat langit nan biru itu, semua itu, ditimbulkan dari hal- hal di atas tersebut. 

Nah, semua yang menimpa kita ini, adalah hasil tangan kita sendiri, bukan jajahan seperti zionist. Jadi, nilai petakannya justru membuat kita jatuh dari kemanusiaan, keadilan dan keislaman. Yakni tidak menjadi mulia karena ujian itu. 

Dan sudah tentu jalan keluarnya juga tidak ada. Tidak seperti kalau melawan Belanda dulu atau Israil sekarang. Kegelapan kita di Indonesi) ini, tidak ada jalan keluarnya. Karena ianya adalah perbuatan kita sendiri. 

Jalan keluar satu-satunya adalah bunuh diri secara massal. Yakni membunuh ego kita secara massal. Artinya meyakini dengan sepenuh argumentasi gamblang bahwa kita ini bukan hanya tidak memiliki kebaikan apa-apa, tetapi malah menjadi sumber bagi semua keburukan yang ada. 

Kalau hal ini bisa dilakukan, maka di masa datang masih ada harapan. Tetapi kalau tidak, maka selamanya kita tidak akan selamat. Bagaimana bisa menyelamatkan diri wong merasa selamat. Bagaimana bisa mengislamkan diri wong merasa dan meyakini dirinya Islam. Bagaimana bisa berjuang untuk keadilan wong merasa penegak keadilan. Bagaimana bisa berjuang untuk kemanusiaan wong merasa dirinya paling manusianya manusia. 

Percayalah, kalau Allah mengutus nabi ke negeri kita ini, maka nabi itu akan dibunuh tidak lebih dari sebulan setelah diutus. Artinya akan dibunuh oleh orang yang bertauhid, bukan oleh orang- orang kafir musyrik secara lahiriah. Artinya akan dibunuh oleh manusia yang merasa manusiawis, adil dan agamis. 

Beda halnya dengan bangsa yang memang jujur, tidak punya potensi untuk bobrok sekalipun punya fasilitas, maka biasanya ujian yang ada, datang dari luar. Mereka-mereka inilah yang dengan mendapat ujian, menjadi labih hebat dan lebih bermaqam tinggi. Dan jalan keluarnya juga ada dan jelas dan jauh lebih mudah. Karena yang dikorbankan bukan harga dirinya, tetapi harta dan nyawanya. Beda halnya kalau yang harus dikorbankan itu adalah ego dan harga dirinya serta kemerasatahuannya. Dan sudah tentu, manakala ego dan kemerasatahuan dan hebatannya tidak mau dikorbankan untuk kemanusiaan, keadilan dan agama, maka sudah pasti harta dan nyawanya juga tidak akan pernah dikorbankan. 

Di Indonesia, banyak juga yang ingin berjuang, ingin jadi adil dan agamis. Tetapi keinginannya itu, karena dasar-dasar kehidupannya seperti di atas itu, maka keinginannya hanya perasaanis hewanis, bukan manusiawis dan aklis. Artinya hanya keinginan perasaan seperti ingin makan bagi yang lapar. Artinya tidak ingin secara hakiki dan kenyataan atau secara filosofis. Karena itulah, hampir seluruh kehidupannya hanya berkisar di perut dan syahwatnya. Artinya hanya berkisar di fasilitas kehidupannya. Artinya, selalu berusaha supaya bisa hidup nyaman –sekalipun dalam sosial seperti itu? Oh Indonesiaku. 

Bintang Ali: Waduh ustadz,, repot juga ya kalau begini, kalau semua orang udah ‘’paling merasa”. Tetapi apa mungkin membunuh ego dari orang yang “paling merasa”?? Seperti tidak ada jalan keluarnya ustad, jadi ini hukuman seumur hidup dong ustad ? 

Sinar Agama: Jadi, sebenarnya Tuhan tidak pernah mengeluarkan panas, hukuman, sakit dan seterusnya, tetapi berpaling dariNya itulah yang dikatakan hukuman dalam berbagai jenis dan tingkatannya. Akan tetapi karena sistem itu ada dalam sistemNya, maka dari sisi itulah Dia menisbahkan atau menghubungkan semua itu kapadaNya, seperti menyesatkan, mengazab dan seterusnya. 


Bintang Ali: Satu lagi ustadz,, secara individu, jika ujian/cobaan/masalah/kesulitan yang ditimpa- kan kepada seseorang namun tiap orang tersebut berusaha mencari solusi dari cobaan (keluar dari masalah) itu merasa sangat kesusahan dalam mencari solusi (penyelsaian) bahkan selalu mandeg dan mandeg lagi apakah bisa dikatakan cobaan/ujian ini adalah ujian yang dikatakan para aimmah sebagai ujian penghapus dosa dosanya di masa lalu? 

Sinar Agama: Kalau ujiannya itu dari tangan kita sendiri, maka dosa itu tidak bisa dihapus seluruhnya, apalagi dosa yang kita lakukan itu merupakan dosa yang dibanggakan. Jadi petaka yang datang di dunia adalah mukaddimah bagi petaka akhirat. Tetapi kalau dosanya dilakukan dengan sedih, yakni dalam kesinambungannya itu merasa sedih, maka mungkin saja petaka yang datang itu dapat mengurangi dosanya, tetapi tidak terhapus karena memang dilanjutin oleh dirinya sendiri.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 06 Oktober 2018

Raj’ah



Seri pengulangan Sinar Agama
by Sinar Agama on Friday, January 4, 2013 at 2:51 pm 





Sinar Agama, 21 Oktober 

Tentang Raj’ah 

Raj’ah adalah kembalinya manusia tertentu ke kehidupan dunia setelah matinya. Artinya, setelah ia mati, maka dia hidup kembali di dunia ini, baik lama atau sebentar. Semua itu dengan ijin Allah. 


Raj’ah ini banyak sekali terjadi baik di manusia sebelum Islam kita ini, atau setelahnya. 

Yang mengimani Raj’ah ini tidak hanya Syi’ah, Sunnipun mengimaninya karena ia merupakan ajaran Qur'an dan hadits. Artinya, Sunnipun mengimani terjadinya itu. Akan tetapi, mungkin saja mereka tidak percaya kalau nanti akan terjadi di jaman keluarnya imam Mahdi as

Qur'an dan hadits-hadits yang sangat mutawatir secara makna dari kalangan Sunni, membuat Raj’ah ini tidak bisa diingkari. Tafsir-tafsir dan hadits-hadits Sunni penuh dengan masalah Raj’ah ini. Tentu saja, tentang Raj’ah yang akan terjadi nanti di jaman imam Mahdi as, mungkin tidak diyakini mereka. 

Contoh Raj’ah di masa lampau seperti: 


(a). 70 orang dari shahabat nabi Musa as. yang diazab Tuhan degan halilintar dan mati seketika. Lalu Tuhan menghidupkannya kembali atas permintaan nabi Musa as. Bisa dilihat di semua terjemahan dan tafsir Sunni (QS: 7:155).

(b). Ribuan orang dari Bani Israail, yang dimatikan Tuhan lalu mereka dihidupkan kembali olehNya. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja terjemahan Depag, di surat al-Baqarah ayat ke 243 yang berbunyi:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka: ‘Matilah kamu’, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”

Terjemahan ini adalah asli di tafsir depag. Di bawah dijelaskan, bahwa sebagian ahli tafsir mengartikan mati sungguhan dan sebagian lainnya sebagai mati semangat. Tentu saja, tafsiran ke dua ini adalah mengada-ada. Karena sudah keluar dari makna lahiriah dari kata “mati”. Sementara mati dan hidup lagi, tidak ada repotnya bagi KuasaNya. Jadi, tidak bertentangan dengan akal dan Qur'an. Apalagi Qur'an juga menceritakan hidup lagi dari yang lainnya dalam Qur'an. Jadi, penakwilan ke “mati semangat” itu adalah takwil yang melawan lahiriah. 

Anggap saja, boleh menakwil seperti itu (dimana hal ini keluar dari lahiriah yang biasanya tidak diperlukan dan kadang tidak boleh kalau tanpa sebab), tetapi jelas dikatakan oleh penafsir dengan mati sungguhan. 

Dengan penjelasan ini, maka hidup lagi di dunia ini, sebelum hari kiamat yang dalam bahasanya sekalipun dikatakan Raj’ah, adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan akal dan Qur'an. 

(c). Dalam Qur'an surat Baqarah ayat 259, diterangkan tentang satu orang yang dimatikan Tuhan, lalu dihidupkannya lagi setelah seratus tahun. Dalam riwayat dikatakan bahwa nama orang itu adalah ‘Uzair. Dalam ayat yang panjang itu, Tuhan bukan hanya me-Raj’ahkan dia, akan tetapi juga keledainya. 

(d).    Saam bin Nuh as yang dihidupkan oleh nabi Isa as setelah berabad-abad. 

(e). Orang yang terbunuh dan dihidupkan lagi di jaman nabi Musa as, dimana Tuhan mengatakan dalam Qur'an bisa dihidupkan dengan memukulkan daging dari sapi yang dipotong mereka yang disuruhkanNya kepada mereka itu dimana sifat-sifat sapinya itu begitu detail ditanyakan orang-orang Yahudi sampai-sampai hampir tidak mendapatkan yang sesuai. 

Walhasil, Raj’ah itu hal yang umum. Namun yang kurang umum dibahas dan diimani, adalah Raj’ah di jaman keluarnya imam Mahdi as nanti dimana orang yang sangat baik dan buruk akan dibangkitkan. Hingga yang baik dapat membantu imam Mahdi as. dan yang buruk dikalahkan imam Mahdi as. 


(f). Walhasil banyak sekali orang mati yang hidup lagi, di masa lalu atau setelah Islam. Di riwayat- riwayat Sunni banyak sekali riwayat orang hidup setelah mati di masa Islam ini. 

Wassalam. 


24 people like this. 

Ali Assegaf: Salam di atas disebutkan Raj’ah terjadi pada sebelum nabi Muhammad saww, dan juga setelahnya dan disebut hal umum. Apakah ada catatan yang menunjukan setelah Rasulullah saww hal ini? Tentu bukan di zaman akhir nanti... mohon sedikit menjelaskan 1 hikmah raj’ah di zaman sebelum Islam dan setelah Rasul... mengingat raj’ah bukan sekedar perbuatan Allah menghidupkan tanpa tujuan bermakna.. Syukron. 

Sinar Agama: Ali: Hikmah pastinya hanya Allah yang tahu. Tapi dilihat dari berbagai ayat dan tafsiran para mufassir atau keterangan para ulama, maka hikmah dari berbagai peristiwa itu bermacam-macam. 

Misalnya, yang dilakukan oleh nabi Isa as yang berulang-ulag itu, demi menguatkan imannya umat pada waktu itu, baik iman pada Alllah atau pada hari kebangkitan. Yang terjadi pada ashhaabu al-kaafi itu, untuk menguatkan hari kebangkitan yang sudah mulai diingkari pada jaman tersebut. Begitu pula untuk menguatkan iman umat pada Tuhan itu sendiri. 

Yang terjadi pada 40 orang shahabat nabi Musa as itu, supaya mereka tidak kurang ajar lagi kepada Allah dengan mengatakan bahwa mereka ingin melihat Allah dengan mata. 

Yang terjadi pada orang yang melewati dusun yang sudah hancur itu, yang kemudian dibangkitkan lagi setelah 100 th, untuk menguatkan iman dia sendiri dan, penceritaannya dalam Qur'an, supaya menguatkan iman kaum muslimin bahwa kebangkitan itu adalah hak dan benar. 

Sedang yang akan terjadi nanti, bisa saja, untuk menguatkan bukti keimaman imam Mahdi as. Menegakkan keadilan bagi para pengejek Islam selama ini (karena sebagian yang akan diraj’ahkan itu, adalah para penjahat besar, tentu semua ini, yakni detail-detail raj’ah dimasa datang, kalau haditsnya shahih dan maknanya sesuai zhahirnya). 

Sebastian Ali: Syukron ya Ustadz atas penjelasannya. 

Alam Di Keremangan: Salam ya Ustadz, afwan, kira-kira menurut pandangan antum atau pandangan yang pernah diberitakan oleh para aimmah as, siapa sajakah penjahat besar yang mungkin akan di raj’ahkan nantinya di masa Imam Mahdi as? Afwan ya Ustadz, Syukran. 

Sinar Agama: Ahsan kita sabar saja menunggu hal itu, kita serahkan padaNya. 

Ibnu Samsuddin: Penjelasan yang lugas dan sangat bermanfaat.... 

January 14 at 3:04 am


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Bada’ (Perubahan)



Seri pengulangan Sinar Agama 
by Sinar Agama on Friday, January 4, 2013 at 2:47 pm



Sinar Agama, 21 Oktober 

Tentang Bada’ oleh: Ustadz Sinar Agama Seri 1 


Bada’, secara bahasanya adalah “tampak”, “nyata” dan “lahir”. Dan secara istilah dalam bahasanya, adalah “Merubah rencana di tengah jalan setelah tampak dan nyata”. 

Tetapi dalam istilah ilmu Kalam, adalah merubah ketentuan dari sesuatu yang sudah ditentukan. Misalnya, ketika seseorang itu melakukan dosa, maka ditentukan dan ditulis oleh Allah melalui malaikatNya sebagai “Pendosa” dan sebagai “Yang terazab”. Tetapi kalau nanti orang itu bertaubat, maka ketentuan tadi dirubah menjadi “Yang bertaubat” atau “Masuk surga”. Atau misalnya, seseorang karena dosanya, Tuhan ingin memperingatkannya dengan petaka. Tetapi karena dia bertaubat, atau melakukan kebaikan lain, seperti sedekah, shalawat pada Nabi Saww dan Ahlulbaitnya as dan semacamnya, maka Tuhan tidak jadi memperingatkannya dengan petaka itu. 

Yang harus diketahui, bahwa keyakinan akan bada’ ini, adalah keyakinan yang sebenarnya bukan hanya Syi’ah yang punya, tetapi semua muslimin mempercayainya. Karena dalam Qur'an (13: 39) dikatakan: “Allah menghapus dan menetapkan yang dikehendaki dan Dia memiliki ummulkitab lauhulmahfuuzh.” 

Akan tetapi, karena hal itu sering dibahas dalam Syi’ah dalam judul Bada’, dan secara peristilahan bahasanya adalah merubah rencananya atau ketetapan yang dikarenakan pengetehuan yang baru, maka seakan-akan makna Bada’ secara istilahnya itu, menjadi kekhususan Syi’ah. 

Karena itu yang harus diketahu juga, adalah bahwa semua perubahan-perubahan itu, sudah diketahui oleh Allah swt sebelum perubahannya dan bahkan sebelum alam ini diciptakanNya. Karena itulah Allah menjelaskan dalam ayat di atas itu, bahwa Dia juga mememiliki ummul kitab. 

Jadi ada dua kitab, ada kitab yang berubah-rubah yang biasa disebut dengan kitab Qadha dan Qadar. Dan ada juga kitab yang induk/ibu/ummu, yaitu yang tidak berubah yang biasa disebut degan lauhu al-mahfuuzh. Artinya ada tulisan-tulisan yang berubah-ubah, yakni yang seiring dengan perjalanan manusia dan ikhtiar dan usahanya. Ada yang tidak berubah, karena sudah ketahuan apa hasil akhirnya. 

Sudah saya jelaskan tentang ke-Adilan Tuhan dalam catatanku yang berjudul “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syiah” bagian kedua, bahwa semua tulisan itu bukan berarti menakdirkan kita (determinist/jabariah) manusia. Artinya, baik tulisan di kitab Qadha’ dan Qadar itu atau tulisan yang ada di kitab lauhu al-mahfuuzh itu, semua itu, bukan menulis apa-apa yang kita tidak lakukan dan pilih. Artinya, tulisan-tulisan itu, walaupun ditulis sebelum penciptaan, akan tetapi bukan tanpa dasar dari perbuatan manusia. Artinya, Tuhan hanya menulis apa-apa yang Dia ketahui tentang pilihan dan perbuatan kita. Artinya, kitab-kitab itu sebenarnya adalah tingkatan ilmu-ilmu Tuhan yang dijaga oleh malaikat sesuai dengan tingkatannya. 

Ilmu yang ada di tingkatan Qadha dan Qadar, tidak meliputi semua pilihan manusia dan apalagi pilihan akhirnya. Dia, atau ilmu itu, sesuai dengan perjalanan hidup dan ikhtiar masing-masing manusia. Katakan ilmu yang dimiliki malaikat Raqib dan Atid. Tetapi ilmu yang ada di tingkatan ‘Arsy atau lauhu al-mahfuuzh, maka ia lebih tinggi dan dijaga oleh malaikat yang lebih tinggi pula. Ilmu yang ada di sana adalah detail sampai ke pilihan akhir manusia dan bahkan surga nerakanya. 

Dari keterangan di atas itu, maka sudah jelas bahwa nasib dan takdir yang umum dipahami banyak orang khususnya di Sunni yang bahkan dijadikan rukun iman ke enam itu, tidak ada dasar Qur'an dan haditsnya, serta sesuatu yang diada-adakan. Karena kalau semua sudah ditentukan Tuhan, lalu agama ini buat apa diturunkan? Lalu buat apa kita berdebat dan beramar makruf dan nahi mungkar? Toh yang ditentukan selamat dan terhidayahi maka akan demikian walau tanpa ceramah, dan yang sebaliknya pasti sebaliknya walau diceramahi dan dikader. 

Lihatlah detailnya di catatan yang disebut di atas itu. 

Jadi, penulisan itu tidak lain adalah ilmu Tuhan tentang apapun yang akan kita pilih dan lakukan, bukan penentuanNya. Baik tentang jodoh, rejeki, iman, umur....dan seterusnya. 

Bersama Zaranggi Kafir dan 19 lainnya. Wassalam.


Bahasan Susulan: 

Tentang Bada’ Oleh: Ustadz Sinar Agama Seri 2 


Tentang Bada’ sepertinya saya sudah menjelaskannya dulu. Intinya, adalah perubahan ketentuan Tuhan yang seiring dengan keadaan hambaNya. Misalnya, ketika orang berbuat dosa, maka ia ditetapkan olehNya sebagai pendosa. Tetapi ketika orang itu bertaubat, maka ketentuanNya tadi dirubah menjadi taubat dan dihapus dosanya atau bahkan dosanya dirubah menjadi pahala. 

Misalnya, ketika seorang berusaha dari jelek ke baik, maka efek-efek jeleknya yang tadinya merupakan ketetapannya akan dirubah menjadi ketentuan-ketentuan lain. Misalnya, bagi pemalas, maka fakir adalah ketentuannya. Jadi, si Fulan yang malas, maka ia pasti miskin (tentu malah yang kondisinya memang ke miskin, bukan malas tetapi punya warisan ribuan perusahaan). Tetapi ketika ia berubah menjadi rajin dan gigih serta profesional, maka Tuhanpun akan merubah ketentuanNya kepada kaya dan semacamnya. 

Sebenarnya bada’ itu adalah ijin Tuhan terhadap usaha-usaha manusia dan perubahan- perubahannya dari satu kondisi ke kondisi tertentu dimana bisa melahirkan akibatnya sendiri- sendiri. Jadi, Tuhan tidak pernah menentukan nasib manusia dari awal. Tetapi dari kondisi sosial setiap manusia yang lahir dari manusia sebelumnya itu adalah sebagai awal kondisi dia yang akan melahirkan akibatnya sendiri. Jadi, kondisi asal atau fitrahnya setiap orang, ditentukan oleh ikhtiar manusia lain, seperti ayah-ibu dan lingkungan mereka. Misalnya, ayah-ibunya koruptor dan negara Indonesia yang seperti ini, maka si Fulan bayi itu akan terkondisikan oleh ikhtiar yang berupa keadan tersebut. 

Jadi, ketentuan awalnya si Fulan bayi tersebut ditentukan oleh ikhtiar orang lain yang memang logis alami. Jadi, Tuhan mengijinkan si Fulan bayi untuk lahir sesuai dengan ikhtiar kedua orang tuanya. Di sini, Tuhan tidak menentukan si Bayi tadi, tetapi hanya mengijinkanNya lahir atas usaha kedua orang tuanya. Inilah yang dikatakan ketentuan awal Tuhan. 

Sudah tentu ketika seseorang lahir di keluarga koruptor dan selalu makanan haram rakyat, dan kondisi pergaulan seperti di Indonesia ini yang sudah tidak perlu dibahas lagi dimana pacaran di dalam aktifis Islam saja sudah merupakan hal-hal yang wajar dan tidak aib, maka sudah tentu ia akan menghadapi pemandangan batil. 

Ketika si anak mulai dewasa, maka sudah pasti gen, keluarga dan lingkungannya, akan sangat memberikan pengaruhnya yang, bisa dikatakan dengan was-was syaithan (jin dan manusia). Nah, kalau dia tidak menggunakan akal gamblangnya dan bahkan mengikuti was-was atau pengaruh itu, maka ketentuan dia sudah pasti ke dalam kesesatan yang nyata. Yaitu memandang bahwa koruptor itu tidak jelek (ini dari sisi ilmunya sebagai akibat dan kesesatan awal yang sangat menentukan berikutannya), pacaran itu tidak jelek. Setelah ilmu yang dia ikuti ini perasaanis dan bukan akalis, maka sudah tentu dia akan meneruskan kepada akibat berikutnya, yaitu melakukannya sendiri. 

Semua akibat-akibat dari pilihan yang ikhtiari (baik dari lingkungan atau diri sendiri) itulah yang dikatakan ketentuan Tuhan yang, sebenarnya adalah Ijin Tuhan. 

Jalan naturalis, baik individualis atau sosialis itulah yang dikatakan ketentuan awal. Alias jalan normal. 

Namun demikian, ketika si anak tadi melakukan perubahan, ia mulai mengikuti akal gamblangnya dan meninggalkan perasaannya atau akal yang bercampur perasaannya, dan memulai dengan usaha-usaha yang bersifat pilihan-pilihan ikhtiari yang lain yang lebih baik atau mutlak baik, maka sudah tentu akan melahirkan ketentuan lain yang juga lebih baik. 

Nah, perubahan dari rel pertama ke rel kedua itulah yang dikatakan bada’ atau Perubahan Ketentuan Tuhan. Tentu saja, masih banyak lagi bentuk bada’, seperti perubahan perintah Tuhan kepada nabi Ibrahim as dari perintah menyembelih anak ke kambing ...dan seterusnya dimana penjelasannya banyak sekali, seperti untuk ujian dan sebagainya. Yang jelas, kalau bada’ terjadi pada makhluk, biasanya tanpa disertai pengetahuan sebelumnya. Akan tetapi bada’ Tuhan tentu saja disertai pengetahuan sebelumnya dan bahkan sebelum alam ini dicipta. Namun, ruh dari ajaran bada’ ini sebenarnya ingin memberikan optimisme kepada manusia (yang gagal dan berdosa) agar hendaknya tidak pernah berputus asa atas rahmat Tuhan dan, dari satu sisi yang lain (bagi yang sukses dan taat) untuk tidak berlaku sombong dan terlalu percaya diri (hingga selalu hati-hati). Semua itu karena semuanya bisa terjadi perubahan. Tetapi bukan perubahan yang dirubahNya, melainkan perubahan yang kita lakukan sendiri. 

Kesimpulan: 
Ajaran Bada’ ini sebenarnya pengumuman Tuhan tentang luasnya kebebasan seorang hamba dalam memilih rel-rel kehidupannya, dan luasnya kesempatan yang diberikanNya untuk melakukan perubahan dan taubatan nashuuha. 


Bersama Artia Sari dan 18 lainnya. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ