Minggu, 14 Oktober 2018

Sejarah Singkat Hadhrat Khadijah as



Seri tanya jawab Widya Yuliana dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on May 10, 2012 at 1:18 pm



Widya Yuliana: Salam ustadz..ana mau tanya perihal Sejarah yaitu tentang bunda Khodijah istri Rosulullah. Diwaktu Bunda Khodijah menikah dengan Nabi saww sebenarnya gadis atau janda, karena yang ana tahu dalam suni dia janda, tapi ana sempat dengar gadis, ana belum sempat baca buku sejarah Bunda Khodijah, dan belum sempat bertanya...Syukron ustadz atas jawabnya, afwan ustadz karena ana belum lama menemukan Ahlulbait, yang ternyata membuat ana begitu bahagia setelah menemukan kelurusan serta kebenaran yang logis ilmu dalam ahlulbait.


Prabu Wes:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ وسَهِّلْ مَخْرَجَهُمْ والعَنْ أعْدَاءَهُم  اَلْحَمْدُ للهِ الّذى جَعَلَنا مِنَ الْمُتَمَسِّكينَ بِوِلايَةِ اَميرِ الْمُؤْمِنينَ وَالاَئِمَّةِ عَلَيْهِمُ السَّلامُ



Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Banyak perbedaan pandangan tentang sejarah hdh Khadijah as, baik di syi’ah atau di sunni.

(2). Banyak juga kebohongan-kebohongan yang dibuat dalam sejarah hdh Khadijah as, untuk menjatuhkan Nabi saww, hdh Khadiijah as sendiri dan bahkan imam Ali as di kemudian hari.


(3). Umur hdh Khadiijah as saja, di waktu kawin dengan kanjeng Nabi saww, memiliki beberapa versi, baik di syi’ah atau di sunni, misalnya sebagai berikut:

3-a- Umur, 25 tahun: Dikuatkan oleh Baihaqi dan beberapa ulama syi’ah. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Katsiir dan berbagai ulama sejarah sunni yang lain. Bisa dilihat di kitab-kitab seperti: Dalaa-ilu al-Nubuwwati, Baihaqii, 2/71; al-Bidaayatu wa al-Nihaayatu, 2/294-295; al-Siiratu al-Nubuwwati, Ibnu Atsiir, 1/265; al-Siiratu al-Halabiyyatu, 1/140; Muhammad Rasulullah, Siiratuhu wa Atsaruhu fii al-Hadhaarati, 45; dan lain-lain.

3-b- Umur 28 tahun: Dikuatkan oleh banyak ahli sejarah syi’ah dan sunni, sperti kitab-kitab: Syadzaraatu al-Dzahab, 1/14; Tahdziib Taariikhu Damasyq, 1/303; Sairu A’laami al- Nubalaa’, 2/111; Mukhtashar Taariikhi Damasyq, 2/275; Mustadraku al-Haakim, 3/182 Bihaaru al-Anwaar, 16/12; ....... dan lain-lain.

3-c- Umur 30 tahun: Bisa dilihat di kitab-kitab seperti: al-Siiratu al-Halabiyyatu, 1/140; Taariikhu al-Khamiis, 1/14; Siiratu Mughlathaai, 12; Tahdziibu Taariiki Damsyq, 1/303;
...dan lain-lain.

3-d- Umur 35 tahun, bisa dilihat di:al-Bidaayatu wa al-Nihaatau, 2/295; al-Siiratu al-Nab- wiyyatu, 1/265; al-Siiratu al-Halabiyyatu, 1/140

3-e- Umur 40 tahun, bisa dilihat di: Anssabu al-Asyraaf, 98; Siiratu al-Maghlathaai, 12; al- Muhabbir, 49; al-Mawaahibu al-Daniyyatu, 1/38 dan 202; Syadzaraatu al-Dzahabi, 1/14 dan 14; Taariikhu al-Khamiis, 1/264; Usdu al-Ghaabati, 7/80; al-Siiratu al-Halabiyyatu, 1/140; al-Siiaratu al-Nabawiyyatu, Dahlaan, 1/55; Taariikhu al-Islaam al-Dzahabi, 2/152; Tahdziibu al-Asmaa’, 2/342; al-Thabaqaatu al-Kubraa, 1/132; Tahdziibu Taariikhi al- Damasyq, 1/303; Bihaaru al-Anwaar, 16/12 dan 19.

3-f- Umur 44 tahun, seperti di: Tahdziibu Taariikhi Damasyq, 1/303

3-g- Umur 45 tahun, seperti di: Tahdziibu al-Asmaa’, 2/342; Mukhtasharu Taariikhi Damsyq, 2/275; al-Siiratu al-Halabiyyati, 1/140; Taariikhu al-Khamiis, 1/301; ..dan lain-lain

3-h- Umur 46 tahun,seperti di: Anssaabu al-Asyraaf, 98.

Catatan:

Kalau saya pribadi lebih cenderung kepada yang dikuatkan Baihaqii, yaitu yang berumur 25 tahun. Karena:

a. Umur beliau as waktu wafat, adalah 50 tahunan (yang dikuatkan Baihaqi). Dan karena beliau wafat 13 tahun setelah kenabian, dan kawin 15 tahun sebelum kenabian, maka umur beliau as waktu menikah antara 22-25 tahun.

b. Hakim pengarang Mustadrak menukilkan riwayat yang mengatakan bahwa wafat beliau as dalam umur 65 tahun. Akan tetapi Hakim mengatakn bahwa pandangan ini adalah sedikit. Ia juga mengatakan bahwa yang lebih kuat adalah bahwa beliau as tidak mencapai umur 60 tahun (al-Mustadrak, 3/182).

(4). Sedang apakah beliau as sudah pernah kawin sebelum kawin dengan kanjeng Nabi saww atau tidak, juga terjadi perbedaan pendangan dari pada ahli sejarah.

a. Sudah pernah kawin bahkan dua kali: 

Pertama, dengan lelaki bernama ‘Atiiq bin ‘Aa-idz bin Abdullah al-Makhzuumii.
Ke dua, dengan lelaki bernama Abu Haalah al-Tamiimii.

b. Tidak pernah kawin sebelumnya dengan alasan:

b-1- Ibnu Syahr Oosyuub dan Ahmad al-Balaadzieii dan Abu al-Qaasim al-Kuufii dan al-Murtadhaa di kitabnya al-Syaafii, dan abu Ja’far di al-Talkhiishnya, semuanya berkata bahwa Nabi saww mengawini hdh Khadiijah as dalam keadaan perawan.

b-2- Pandangan ini dikuatkan dengan padangan yang mengatakan bahwa Ruqayyah dan Zainab merupakan kedua putri dari Haalah saudari hdh Khadiijah as (Manaaqib Aali Abii Thaalib, 1/159; Bihaaru al-Anwaar, al-Maamaqaanii dan Qaamuusu al- Rijaal yang semuanya menukil dari al-Manaaqib).

b-3- Syi’ah dan sunni dari para ahli sejarah sepakat mengatakan bahwa sebelum kawin dengan Nabi saww hdh Khadiijah as dilamar banyak orang dari pemuka-pemuka Qurasy dan pemuka-pemuka lainnya dari orang-orang Arab, akan tetapi beliau as menolaknya. Lalu bagaimana mungkin beliau as menerima orang desa dari Bani Tamiim yang bernama Abu Haalah al-Tamiimii??!! Karena itulah ketika beliau as kawin dengan Nabi saww para wanita Qurasy marah kepadanya dan berkata:

“Semua pemuka Qurasy melamarmu tapi kamu menolaknya, lalu kamu kawin dengan yatimnya Abu Thaalib yang tidak punya uang??!!”.


b-4- Diriwayatkan bahwa hdh Khadiijah as memiliki saudari bernama Haalah (rujuk kitab-kitab nasab seperti, Nasabu Qurasy, karya Mush’ab al-Zubairii). Ia kawin dengan orang bernama famili Makhzuumii yang kemudian memiliki anak bernama Haalah juga. Kemudian ia (Haalah pertama atau saudari hdh Khadiijah as) kawin lagi dengan orang dari Bani Tamiim yang bernama Abu Hindun yang kemudian memiliki anak darinya bernama Hindun. 

Orang Tamiim ini juga sudah pernah kawin sebelumnya dengan perempuan lain dan memiliki anak bernama Zainab dan Ruqayyah yang kemudian ia –suaminya- mati. Setelah Tamiimii itu mati, anaknya yang bernama Hindun ikut kabilahnya sedang anaknya yang lain bersama dengan Haalah (ibu tirinya) yang disertai dengan putrinya yang lain bernama Haalah itu.

Hdh Khadiijah mengayomi mereka di rumahnya. Dan setelah kawin dengan Nabi saww, saudarinya yang bernama Haalah itu meninggal dan tinggallah anak- anaknya yang bernama Haalah dan anak tirinya yang bernama Zainab dan Ruqoyyah bersama beliau as dan menjadi anak-anak Nabi saww juga. Karena di Arab, keponakan itu juga dikatakan anak dan paman dikatakan ayah, karena itu keduanya dan begitu yang bernama Haalah itu, dihubungkan kepada Nabi saww padahal mereka anak dan anak tiri dari saudari hdh Khadiijah as yang benama Haalah tersebut nya tersebut (al-Istighaatsah, 1/68-69; Risaalaatun Haula Banaati al-Nabii yang dicetak di Penerbitan Hajariyyah di akhir kitab Makaarimu al-Akhlaaq).

Catatan:

Untuk anak-anak yang dihubungankan kepada Nabi saww, banyak juga pembahasannya. Saya selama ini masih meyakini bahwa Ruqayyah dan Ummu Kultsuum yang dikawini Utsmaan, adalah putri-putri Nabi saww. Akan tetapi menurut pandangan (b) di atas, keduanya bukan dari putri-putri Nabi saww dengan dalil-dalil yang banyak dan kuat.

Kalaulah pandangan ini benar, maka penjelasan filosofis terhadap perkawinan Utsman dengan keduanya yang pernah saya tulis sebelum ini, merupakan penakwilan pada kondisi hakikat ajaran Islamnya, bukan pada hakikat sejarahnya. Tapi kalau, pandangan ini salah, dan ternyata memang keduanya benar-benar putri-putri Nabi saww, maka takwilan yang pernah diberikan itu, meliputi kedua keadaannya, yaitu hakikat ajaran Islam dan hakikat sejarahnya.

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Widya Yuliana: Syukron ustadz...atas jawabanya, Alhamdulillah ana menjadi faham.Ana juga menyakini tidaklah Muhammad Rosulullah manusia yang suci mendapatkan istri seorang janda bkas orang lain dan ana yakin Tidak mungkin Allah swt memberi Nabi saw istri seorang janda, selain setelahnya Bunda Khodijah Wafat. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Siapa dan Mengapa Ummu Kultsuum Istri Umar bin Khaththaab ?!




Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, May 10, 2012 at 12:19 am



Muhammad Dudi Hari Saputra: Salam ustadz,,, Apa kabar ustadz?? Semoga sehat selalu.. ^_^

Ustadz,, pertanyaan filsafat saya belum dibalas,,hhe dan mohon bantuannya teman-teman apakah ada yang menyimpan arsip mngenai pernikahan Umar bin Khattab dengan Umi Kalsum (putri Imam Ali).. mohon bantuannya.. syukron ya afwan.,.. 


Hamidah Nurjamilah Adiwijaya: “Ummu kulthum yang di nikahi Umar bin khattab meninggal sebelum tahun 50 hijriyah, hasan bin Ali As, Abdullah bin Umar dan Sa’ad bin Abi Waqash diminta Umar untuk menyolatinya. 




Sejarah mencatat bahwa ummu kulthum binta Ali As ikut dalam rombongan karbala dan menjadi saksi pembantaian Putra Suci As Syahidu Syabab As pada tahun 61 hijriyah.

Dan juga sejarah mencatat bahwa setelah peristiwa duka tersebut Ummu kulthum binta Ali As menikah dengan Abdullah bin Jafar At thayyar.”. 



SIAPA AJA ISTRI UMAR (yang tercatat di Kitab al-Faruq) 


Umar Khottob mempunyai 7 orang istri, yang pertama bernama zainab saudari dari uthman bin mazun

Istri yang ke dua bernama qariba putri dari Ibn Umait al makzami dan saudara dari Ummul mukminin ummu Salamah ra. Qariba bercerai dari Umar pada tahun 6 sebelum masehi setelah perjanjian hudabiyah

Istri ketiga bernama malaika anak dari Jarul al khuzai yang juga dipanggil Ummu kulthum, karena ia menolak islam maka malaika (ummu kulthum binta jarul) ini pun di ceraikan pada tahun yang sama (tahun 6 sebelum masehi).

Istri yang ke empat bernama Jamila anak dari Asim bin Thabit. Nama asli jamila adalah Asya yang kemudian oleh Rasul Saww diganti rasul Saww menjadi Jamila saat ia di dalam ISLAM.

Istrinya yang lain adalah ummu Hakim anak dari Al harith bin hisyam al makhzumi dan lainnya adalah Fukhia yamania dan Atika putri dari Zaid bin Amr bin naf

Muhammad Dudi Hari Saputra: Jadi Ummu Kulthum yang di maksud sebagai isteri Umar bukanlah Ummu Kulthum binti Ali tetapi adalah Ummu Kulthum binti Jarul..?

Syukron..

Hamidah Nurjamilah Adiwijaya: Iya, smoga ustadz bisa memberikan penjelasan lebih baik.

Sang Pecinta: Salam, Penjelasan” umi kulstum putri Imam Ali menikah dengann Umar bin khatab? Oleh Ustad Sinar Agama,

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/243413822370088/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama: Sang Pecinta: terkait dengan Imam Ali dan Umar... http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/236093706435433/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama


Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas tagihan dan pertanyaannya. Karena menjawab perta- nyaan ini agak panjang, harap sabar. Mungkin nanti malam kalau tidak ada pertanyaan masuk.

Sang Pecinta: @Ustadz: jawaban tentang Umi Kultsum sudah saya tukilkan di atas ustadz, afwan..

Muhammad Dudi Hari Saputra: Terima kasih sebesar-besarnya untuk ustadz Sinar Agama dan Sang Pencinta dan juga teman-teman yang lain,, semoga bisa berkumpul bersama kalian di saat ma’ad kelak,, ^_^

Sinar Agama: Hdh Ummu Kultsuum as (hdh Zainab as): 
Bismillaah:

(1). Masalah Ummu Kultsum ini terjadi perbedaan pendapat baik di sunni atau di syi’ah.

(2). Di Syi’ah sendiri, ada tiga pendapat:

a. Mengingkari keberadaannya sebagai putri imam Ali as dan hdh Faathimah as.

b. Tidak mengingkari keberadaannya akan tetapi mengingkari perkawinannya dengan Umar bin Khaththab. Kelompok ini seperti Syaikh Mufiid ra dalam kitabnya al-Masaailu al-‘Ubkariyyah dan Sayyid Naashir Husain al-Hindii dalam kitabnya, Ifhaamu al-A’daa’ wa al-Khushuum.

c. Tidak mengingkari keberadaan dan perkawinannya dengan Umar akan tetapi dalam keadaan terpaksa. Kelompok ke tiga ini seperti Sayyid Murtadhaa dalam kitabnya, Tan- ziihu al-Anbiyaa’, dan seperti riwayat-riwayat yang ada di al-Kaafii-nya al-Kulaini ra.

(3). Dari ketiga pandangan itu, yang paling kuat, sebagaimana akan dijelaskan kemudian, adalah pandangan yang pertama, yaitu yang mengatakan tidak adanya putri imam Ali as dan hdh Faathimah as yang bernama Ummu Kultsuum.

(4). Dalil-dalil pandangan pertama:

a. Sebenarnya, siapapun yang menuliskan bahwa anak-anak imam Ali as dengan hdh Faathimah as itu 5 orang, imam Hasan as, imam Husain as, Muhsin (yang gugur dari kandungan dalam penyerbuan Abu Bakar dan Umar), hdh Zainab ra dan Ummu Kul- tsuum, hanya menyimpulkan dari riwayat-riwayat yang ada. Artinya, riwayat-riwayat itu tidak pernah menyebut dua nama terakhir itu dalam satu periwayatan. Karena itu, dapat dipahami bahwa hdh Zainab ra dan Ummu Kultsuum itu sebenarnya satu orang. Hdh Zainab ra adalah namanya dan Ummu Kultsuum adalah julukannya yang, memang diberikan oleh Nabi saww.

b. Ibnu Bathuuthah (w 779 H), dalam kitabnya, Rihlatu Ibnu Bathuthah, 1/113, cetakan Muassasah al-Risaalah, Bairuut, th 1405 H Q, menuliskan: 



وبقرية قبلي البلد وعلى فرصخ منها مشهد أم كلثوم بنت علي بن أبي طالب من فاطمة عليهم السالم

ويقال أن اسمها زينب وكناها النبي صلى اهلل عليه وسلم أم كلثوم 



“Dan menjelang kota, sekitar satu farsyakh (5,6 km) sebelumnya, terdapat makam Ummu Kultsuum bintu Ali bin Abii Thaalib (as) dengan Faathimah (as) dan dikatakan bahwa namanya adalah Zainab yang dijuluki Nabi saww dengan Ummu Kultsuum.”

c. Di kitab Taariikh Damasyq, 2/309, juga dikatakan bahwa dia itu (yang dikubur di makam tersebut), adalah Ummu Kultsuum. Akan tetapi mengatakan bahwa penulis tidak tahu putri imam Ali yang mana. Karena Ummu Kultsuum yang putrinya imam Ali yang dikawin Umar, meninggal di Madinah.

d. Shahih Bukhari, 5/1963, meriwayatkan: 




وَجَمَعَ عبد اللَّهِ بن جَعْفَرٍ بين ابْنَةِ عَلِيٍّ وَامْرَأَةِ عَلِيٍّ



“Dan Abdullah Bin Ja’far telah mengawini keduanya dari putri Ali dan Janda Ali.”

Dalam syarah hadits ini, ulama Sunni mengatakan bahwa putri imam Ali as yang dimaksud- kan itu adalah Zainab, sementara jandanya adalah Lailaa bintu Mas’uud (Mukaddimatu Fathu al-Baarii, 1/321).

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa putri yang dimaksud itu adalah Ummu Kultsuum (Sunanu al-Baihaqii al-Kubraa, 7/167).

Ulama sunni, supaya terlepas dari masalah bertentangannya dua riwayat ini, memberikan jalan keluar. Bahwa kedua-dua putri tersebut, yaitu Zainab dan Ummu Kultsuum, sama- sama dikawin oleh Abdullah bin Ja’far, akan tetapi dalam waktu yang berlainan (Fathu al-Baarii, 9/155).

Padahal riwayat-riwayat sunni meriwayatkan bahwa Ummu Kultsuum ikut menyolati kedua saudaranya (imam Hasan as dan imam Husain as) ketika keduanya syahid. Begitu pula diriwayatkan di sunni dan syi’ah bahwa hdh Zainab as dikawin Abdullah bin Ja’far di jaman hidupnya imam Ali as sampai wafatnya –hdh Zainab- setelah kesyahidan imam Husain as.

Karena itu, apakah maksud Ibnu Hajar, yang mengatakan bahwa Zainab dan Ummu Kultsuum dikawini Abdullah bin Ja’far di dua jaman yang berlainan, adalah mentalak hdh Zainab langsung setelah syahidnya imam Ali as, lalu setelah itu langsung mengawini Ummu Kultsuum, lalu setelah itu kawin lagi dengan hdh Zainab as setelah wafatnya Ummu Kultsuum? Bukankah mereka telah sepakat bahwa hdh Zainab menjadi istri Abdullah bin Ja’far sejak imam Ali as masih hidup sampai akhir hayatnya setelah syahidnya imam Husain as??!!!

e. Di sejarah imam Ali as, semua mengatakan bahwa di malam syahidnya imam Ali as, berbuka di rumah Abdullah bin Ja’far suami hdh Zainab as. Dan di riwayat yang lain dikatakan di berada di rumah Ummu Kultsuum.

Kesimpulan semua dalil terdahulu: 


1. Dengan semua dalil-dalil di atas itu, tidak bisa tidak, dapat diyakini bahwa hdh Zainab as dan Ummu Kultsuum adalah satu orang adanya, bukan dua orang.

2. Dari satu sisi, kita tahu bahwa Umar sama sekali tidak pernah kawin dengan hdh Zainab as.

3. Karena itu maka riwayat yang mengatakan bahwa Umar mengawini Ummu Kult- suum bintu imam Ali as itu adalah tidak benar. Jadi, Umar sebenarnya kawin dengan Ummu Kultsuum yang lain, sebagaimana nanti akan dibuktikan.

f. Siapa Ummu Kultsuum ini sebenarnya?

Di dalam riwayat-riwayat, sebenarnya tidak ada yang mengatakan bahwa Ummu Kul- tsuum ini adalah putri imam Ali as dengan hdh Faathimah as. Yang ada hanya mengatakan bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali as-lah yang dikawini Umar. Bisa saja Ummu Kultsuum ini memang ada, akan tetapi merupakan putri imam Ali as dengan istri- istri yang lain. 

Karena itu poin berikut ini baik diketahui: 


f-1- Ulama-ulama sunni, tentang Zaid bin Umar bin Khaththab, mengatakan bahwa Zaid adalah putra Umar dengan Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul yang sewaktu Umar masuk Islam, ia tidak mau masuk islam hingga ditalak oleh Umar.

Dikatakan di Taariikh Madinati Damasyq, 38/58, bahwa Umar memiliki anak ber- nama Zaid al-Ashghar (kecil) dan ‘Ubaidillah yang keduanya terbunuh di perang Shiffiin ketika bersama Mu’awiyyah memerangi imam Ali as.

Sebagian sunni berusaha menakwil-nakwil dan mengatakan bahwa Zaid Al-Ashghar memang anak Umar bersama Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul akan tetapi Zaid yang lain adalah putra Umar bersama Ummu Kultsuum bintu imam Ali as.

Akan tetapi takwilan ini jelas diada-adakan, karena Zaid yang pertama disebut dengan al-Ashghar, yakni lebih kecil. Lalu bagaimana ia menjadi lebih kecil dari Zaid yang lahir dari perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as yang dikawininya di masa khilafahnya –Umar???!!! Bagaimana mungkin anak yang lahir di jaman Jahiliyyah lebih kecil dibanding dengan anak yang lahir dari istrinya yang dikawin di masa ia menjadi khalifah?

f-2- Ulama besar pensyarah shahih Muslim yang bernama Nawawi, dalam kitabnya Tahdziibu al-Asmaa’, 2/1224, mengatakan bahwa ‘Aisyah memiliki dua saudari yang bernama Asmaa’ dan Ummu Kultsuum yang dikawin oleh Umar bin Khaththaab. 

4221 - أختا عائشة: اللتان أرادهما أبو بكر الصديق ، رضى اهلل عنه ، بقوله لعائشة : إنما هما أخواك وأختاك ، قالت : هذان أخواى ، فمن أختاى ؟ فقال : ذو بطن بنت خارجة ، فإنى أظنها جارية . ذكر هذه القصة فى باب الهبة من المهذب ، وقد تقدم بيانهما فى أسماء الرجال فى النوع الرابع فى األخوة ، وهاتان األختان هما أسماء بنت أبى بكر ، وأمكلثوم ، وهى التىكانت 
حمالً ، وقد تقدم هناك إيضاح القصة ، وأمكلثوم هذه تزوجها عمر بن الخطاب، رضى اهلل عنه . 

f-3- Masih ada lagi cerita-cerita buatan yang berkeinginan memaksakan perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as. Yaitu yang bermula bahwa Umar meminang Ummu Kultsuum bintu Abu Bakar. Tapi ‘Aisyah menolaknya karena Umar terkenal kasar pada wanita. Akan tetapi ‘Aisyah berkata bahwa ia akan memilihkan perempuan lain yang juga bernama Ummu Kultsuum dari putra imam Ali as dan hdh Faathimah as (al-Kaamil fii al-Taariikh, 3/54-55; Taariikh Thabari, 3/270).

Sebegitu memaksanya permainan politik di jaman itu hingga tetap saja ingin menggandengkan Umar dengan Imam Ali as untuk menutupi kudeta kekhalifaan hingga sebegitu memaksakannya hingga apa-apa yang tidak mungkin dilakukan ‘Aisyah sendiri, dipaksakannya juga, yaitu dia sendiri tidak ingin dicelakai Umar tapi mencelakakan keluarga Rasul saww yang bernama Ahlulbait as yang ia sendiri menyaksikan di shahih Muslim dan lain-lain-nya bahwa mereka (imam Ali as, hdh Faathimah as, imam Hasan as dan imam Husain as) adalah yang diumumkan kemakshumannya oleh Tuhan di Qur'an di ayat Tathhiir.

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali as itu adalah putri dari Abu Bakar, bukan putri imam Ali as. Jadi ada dua Ummu Kultsuum sesuai dengan riwayat-riwayat sunni di atas, yang pertama adalah putri Jarwal/Jaruul yang memiliki anak benama Zaid dan lain-lain- nya dan yang ke dua putri dari Abu Bakar.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa Ummu Kultsuum ini ada di rumah imam Ali as? Jawabnya adalah, karena setelah Abu Bakar meninggal, sebagian dari istri-istri Abu Bakar dikawin oleh imam Ali as. Karena itulah maka sebagian anak Abu Bakar juga menjadi anak Imam Ali as seperti Muhammad bin Abu Bakar yang besar di rumah imam Ali as. Salah satu dari anak-anak itu adalah Ummu Kultsuum putri Abu Bakar ini.

Jadi, para pemamrih dalam perawian sejarah ingin menyalahgunakan kesamaan nama Ummu Kultsuum itu. Artinya, keberadaan Ummu Kultsuum di rumah imam Ali as, walau ia adalah anak Abu Bakar, tetap saja ingin dijadikan Ummu Kultsuum yang menjadi istri Ummar. Padahal mereka tahu bahwa Ummu Kultsuum yang menjadi istri Umar itu adalah putri Jarwal/Jaruul

f-4- Pertama kali orang membawa cerita tentang kawinnya Umar dengan Ummu Kult- suum bintu imam Ali as adalah Ibnu Sa’ad (w 230 H): 

أمكلثوم بنت علي بن أبي طالب بن عبد المطلب بن هاشم بن عبد مناف بن قصي وأمها فاطمة بنت رسول اهلل وأمها خديجة بنت خويلد بن أسد بن عبد العزى بن قصي تزوجها عمر بن الخطاب وهي جارية لم تبلغ فلم تزل عنده إلى أن قتل ولدت له زيد بن عمر ورقية بنت عمر ثم خلف على أمكلثوم بعد عمر عون بن جعفر بن أبي طالب بن عبد المطلب فتوفي عنها ثم خلف عليها أخوه محمد بن جعفر بن أبي طالب بن عبد المطلب فتوفي عنها فخلف عليها أخوه عبد 
اهلل بن جعفر بن أبي طالب بعد أختها زينب بنت علي بن أبي طالب . 

الطبقات الكبرى، محمد بن سعد، ج 8، ص 264 - .364 

“Ummu Kultsuum bintu Ali bin Abii Thaalib bin Abdu al-Muththallib....dan ibunya Faathimah bintu Rasul saww dari istri beliau saww yang benama Khadiijah as bintu....., yang –Ummu Kultsuum- dikawin oleh Umar bin Khaththaab yang waktu itu belum baligh. Ia menjadi istri Umar sampai Umar terbunuh, dan ia memiliki anak dari Umar itu yang bernama Zaid bin Umar dan Ruqayyah bintu Umar. Kemudian setelah itu ia kawin dengan ‘Aun bin Ja’far bin Abii Thaalib... yang kemudian meninggal setelah itu. Lalu ia kawin lagi dengan saudara ‘Aun yang bernama Muhammad bin Ja’far bin Abi Thaalib yang kemudian meninggal juga. Lalu setelah itu ia kawin dengan Abdullah bin Ja’far bin Abi Thaalib setelah cerai dengan saudarinya Zainab.”

Bayangin, sebegitu berusahanya sejarah fiktif ini ingin menghubungkan Umar dengan imam Ali as. Syukurlah karena Tuhan tidak membiarkan orang-orang seperti ini, baik sengaja atau tidak. Karena itulah ahli sejarah inipun, telah melupakan sejarah yang nyata. Di dalam riwayat ini dikatakan bahwa Ummu Kultsuum kawin dengan ‘Aun dan Muhammad dan yang lainnya setelah maninggalnya Umar. Sementara sejarah bersepakat bahwa ‘Aun dan Muhammad ini meninggal di peperangan Syuster (Suster) tahun 16 atau 17 Hijriah di jaman khalifah Umar itu sendiri.

Ibnu Hajar di kitabnya al-Ishaabah, 4/619, menulis:

“Abu Umar berkata: ‘ ‘Aun bin Ja’far syahid di peperangan Suster di jaman khalifah Umar dan ia tidak meninggalkan anak.’.”

Ibnu ‘Abdu al-Bir dalam kitabnya al-Istii’aab, 3/1247, berkata:

“.....’Aun bin Ja’far dan saudaranya Muhammad bin Ja’far, syahid di perang Suster dan keduanya tidak meninggalkan anak.”

Dengan semua penjealan ini, lalu bagaimana mungkin Ummu Kultsuum kawin dengan orang yang telah meninggal sebelumnya, yakni di masa ia masih di rumah suaminya yang sekarang, yaitu Umar??!! Atau bagaimana mungkin Abdullah bin Ja’far mengawini dua orang yang bersaudari sekaligus? Karena sejarah mengatakan bahwa hdh Zainab as menjadi istri Abdullah bin Ja’far sampai meninggalnya dan, itupun setelah tragedi Karbala di tahun 65 H???!!!

g. Pemaksaan perkawinan ini, jelas menabrak semuanya, termasuk perbedaan umur. Baya- ngin Umar yang sudah berumur 57 tahun mengawini Ummu Kultsuum yang berumur 7 tahun. Tentu saja, kalau mau dipaksakan bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali yang dikawini Umar.

Hal itu karena Ummu Kultsuum lahir di akhir-akhir masa kenabian Nabi saww, sementara pinangan Umar di tahun ke 17 H sebagaimana dikatakan oleh: Ya’quubi dalam kitab Taariikhnya, Ibnu Sa’ad dalam kitabnya, Thabaqaatu al-Kubraa, 8/462-463 yang mengatakan “Umar mengawini Ummu Kultsuum yang masih berupa anak-anak yang belum baligh”

Ibnu Sa’ad ini juga menulis di kitab tersebut, 8/464: 

لما خطب عمر بن الخطاب إلى علي ابنته أم كلثوم قال يا أمير المؤمنين إنها صبية 

“Ketika Umar meminang anaknya Ali yang bernama Ummu Kultsuum, Ali berkata: ‘Wahai amirulmukminin, sesungguhnya ia masih anak-anak yang belum baligh.”

Sementara itu ketika Umar terbunuh di tahun ke 23 H, ia berumur 63 tahun. Jadi, waktu di tahun 17 H itu meminang Ummu Kultsuum, berarti usianya adalah 57 tahun. Nah, apakah mereka-mereka para pembuat sejarah itu begitu pentingnya menghubungkan Umar dengan Imam Ali as hingga menyepelekan Umar dengan mengatakan bahwa Umar mengawini anak umur 7 tahun sementara ia sendiri berumur 57 tahun?

Memang, mereka mengharap umat melupakan tahun dan umur, karena menutupi kudeta itu adalah sangat penting dan menjadi nomor pertama bagi kelanggengan pandangan dan madzhabnya.

Bayangin saja, di atas dikatakan bahwa Umar terkenal sangat kasar pada wanita hingga ditolak ‘Aisyah tapi ia memilihkan putri imam Ali as, dimana riwayat ini telah memburukkan ‘Aisyah dan Umar sendiri dan, di sini dikatakan bahwa Umar yang 57 tahun tega mengawini anak yang berumur 7 tahun. Padahal Umar adalah penentang perkawinan yang beda umur seperti ini: 

اتقوا اهلل ولينكح الرجل لمته من النساء ، ولتنكح المرأة لمتها من الرجال يعني شبهها . 

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena itu hendaknya para lelaki mengawini perempuan yang sama umurnya dan hendaklah para wanita kawin dengan lelaki yang sama umurnya (Taariikhu al-Madiinah, 2/769; Kanzu al-‘Ummaal, 15/716, hadits ke: 42857)

Apakah Umar melupakan ayat ini: 

أَ تَأُْمُرو َن النَّا َس بِالْبِّر َو تَن َسْو َن أَنُف َس ُك ْم َو أَنتُ ْم تـَتـْلُو َن الْ ِكتَا َب أَ فََال تـَْعِقلُون 

“Apakah kalian menyuruh orang-orang untuk berbuat baik sementara kalian sendiri melupakan diri kalian, padahal kalian membaca al-Kitaab, apakah kalian tidak berakal?”

Lah, anehnya lagi anaknya juga bernama Zaid. Karena itulah mereka memaksakan bahwa Zaid yang dari Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul itu adalah ashghar (lebih kecil) dan yang dengan Ummu Kultsuum bintu Ali as adalah yang lebih besar. Lah, bagaimana mungkin anak yang lahir di jaman Jahiliyyah lebih kecil dari anak yang lahir setelah wafatnya Nabi saww?

Karena itulah, maka Ummu Kultsuum istri Umar itu hanya satu saja, yaitu bintu Jarwal/ Jaruul itu dan anaknya yang bernama Zaid juga hanya satu.

h. Umar sendiri mengatakan bahwa imam Ali as menganggapnya sebagai pembohong, lalu apakah mungkin imam Ali as mengawinkan putrinya dengan pembohong? Dalam kitab shahih Muslim, 5/152, di kitab Huduud diriwayatkan bahwa Umar berkata kepada imam Ali as dan Abbas: 


ثُمَّ توُُفِّيَ أَبُو بَكْرٍ وَأَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَلِيُّ أَبِي بَكْرٍ فَرَأَيْتُمَانِي كَاذِبًا آثِمًا غَادِرًا خَائِنًا


“Kemudian meninggallah Abu Bakar dan aku adalah wali Rasulullah saww dan wali dari Abu Bakar, akan tetapi kalian berdua melihat aku sebagai pendusta, pendosa, perusak dan pengkhianat.”

Dengan demikian, anggap memang ada yang namanya Ummu Kultsuum di rumah imam Ali as, walaupun anak Abu Bakar, atau anaknya sendiri, tapi apakah beliau as akan memberikan kepada orang yang disifatinya seperti di atas itu?

i. Dalam beberapa riwayat di syi’ah seperti di Ushuulu al-Kaafii, meriwayatkan seperti ini: 



محَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عليه السلام قَالَ لَمَّا خَطَبَ إِلَيْهِ قَالَ لَهُ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّهَا صَبِيَّةٌ قَالَ فَلَقِيَ الْعَبَّاسَ فَقَالَ لَهُ مَا لِي أَ بِي بَأْسٌ قَالَ وَ مَا ذَاكَ قَالَ خَطَبْتُ إِلَى ابْنِ أَخِيكَ فَرَدَّنِي أَمَا وَ اللَّهِ لَُعَوِّرَنَّ زَمْزَمَ وَ لَ أَدَعُ لَكُمْ مَكْرُمَةً إِلَّ هَدَمْتهَُا وَ لَُقِيمَنَّ عَلَيْهِ شَاهِدَيْنِ بِأَنَّهُ سَرَقَ وَ لََقْطَعَنَّ يَمِينَهُ فَأَتَاهُ الْعَبَّاسُ فَأَخْبَرَهُ وَ سَأَلَهُ أَنْ يَجْعَلَ الَْمْرَ إِلَيْهِ فَجَعَلَهُ إِلَيْهِ



Muhammad bin Abii ‘Umair meriwayatkan dari Hisyaam bin Saalim dari Abii ‘Abdillah as yang berkata: “Ketika ia –Umar- meminang kepadanya –imam Ali as- imam Ali berkata kepadanya: ‘Ia –Ummu Kultsuum- masih anak-anak balita.’ Kemudian ia –Umar- bertemu dengan Abbas dan berkata: ‘Ada apa denganku, apakah aku ada celanya?’ Ia –Abbas- menjawab: ‘Ada apa gerangan?’ Ia –Umar- menjawab: ‘Aku meminang pada sepupumu –imam Ali as- tapi ia menolakku. Demi Allah akan kupenuhi zamzam (ditutup) dan akan kuhilangkan semua kehormatan kalian, serta akan kuangkat dua orang untuk bersaksi bahwa ia –Imam Ali as- mencuri hingga kupotong tangan kanannya.’ Lalu ia – Abbas- datang kepadanya –imam Ali as- dan mengabarkan tentang hal tersebut seraya meminta untuk menyerahkan urusan itu kepadanya –Umar. Lalu kemudian ia –imam Ali- menyerahkan kepadanya -Umar.” 

Keterangan hadits: 


i-1- Anggap riwayat ini benar adanya, tetap tidak menunjukkan bahwa Ummu Kultsuum yang dimaksud adalah putri imam Ali as dengan hdh Faathimah. Karena bisa saja putri Abu Bakar sebagaimana maklum atau dari istri-istri yang lain.

i-2- Orang sunni tidak akan menggunakan hadits-hadits syi’ah ini karena semuanya yang ada meriwayatkan tentang buruknya hubungan dari perkawinan tersebut, sementara saudara-saudara sunni ingin membuat hubungan baik antara keduanya dengan menjadikan Umar sebagai mantu imam Ali as.

i-3- Di riwayat-riwayat sunni sendiri, telah diriwayatkan tentang pemaksaan ini, seperti: i-3-1- Mu’jamu al-Kabiir, 3/45, karya Thabrani dan Majma’u al-Zawaa-id, 4/272, karya Haitsami, diriwayatkan:

“Ketika imam Ali as meminta pendapat ‘Aqiil, Abbas dan imam Hasan tentang masalah pinangan itu, ‘Aqiil menentang pendapat imam Ali as dan berkata bahwa kalau kamu menolaknya akan begini dan begitu. Lalu imam Ali as berkata: ‘Demi Allah, ia tidak memberi nasihat, akan tetapi ketakutannya kepada Umarlah yang membuatnya seperti itu.’.”

1-3-2- Ibnu Mas’uud dalam kitabnya al-Thabaqaatu al-Kubraa, 8/464, meriwayatkan:

“Ketika Ali menolak Umar dengan alasan bahwa Ummu Kultsuum masih anak balita, Umar berkata: ‘Demi Allah aku tahu bahwa engkau menolakku bukan karena itu, akan tetapi ada hal lainnya.’.”

i-3-3- Thabraanii dalam kitabnya Mu’jamu al-Kabiir, 3/45, dan Haitsamii dalam kitabnya, Makma’u al-Zawaa-id, juga meriwayatkan:

Ketika Umar mendengar bahwa ‘Aqiil menentang pendapat imam Ali as , Umar berkata: 



ويح عقيل ، سفيه أحمق 



“Dasar si ‘Aqiil itu memang seorang yang cacat pikiran dan bodoh..”.

i-3-4- Ahmad bin Abdullah al-Thabarii dalam kitabnya, Dzakhaa-iru al-‘Uqbaa, hal 167-168, meriwayatkan:

Ketika Umar meminang Ummu Kultsuum kepada Ali, ia berkata kepada Umar: “Sesungguhnya ia masih balita.” Lalu Umar menjawab: “Tidak demikian, akan tetapi demi Allah aku tahu bahwa kamu hanya ingin menolakku.”

Kesimpulan poin (i):


Dengan semua penjelasan di atas itu, kalaulah Ummu Kultsuum benar-benar ada dalam sejarah, sekalipun ia anak tiri imam Ali as atau anak sungguhan dari istri manapun, maka jelas tergambarkan bahwa Umar sebagai penguasa kala itu telah memaksa imam Ali as hingga membuat beliau as tidak berdaya.

Dengan demikian, lalu masih adakah sisa-sisa keinginan sebagian saudara- saudara sunni yang ingin mengatakan bahwa hubungan keduanya sangat dekat karena yang satu mertua dan yang lainnya menantu?

Bahkan jelas sebaliknya, dengan mengumpulkan semua data-data di riwayat- riwayat sunni dapat dipahami bahwa hubungan keduanya adalah berseteru sepanjang masa dan, kalaulah perkawinan itu terjadi, maka dengan sangat jelas sebagai pemaksaan dan penjajahan.

j. Kritikan Hadits Sunni.

Dalam hadits-hadits sunni banyak sekali perawian yang menunjukkan Umar memiliki istri dari keluarga Rasul saww, yakni Ummu Kultsuum. Misalnya seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya, dalam Kitaabu al-Jihaadi wa al-Sairi, bab: 66, bab: Hamlu al-Nisaa’ al-Qiraba ilaa al-Naasi fi al-Ghazwi: 


حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَاب [ زهري ]، قَالَ ثَعْلَبَةُ بْنُ أَبِي مَالِك إِنَّ 
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضى الله عنه قَسَمَ مُرُوطًا بَيْنَ نِسَاء مِنْ نِسَاءِ الْمَدِينَةِ، فَبَقِيَ مِرْطٌ جَيِّدٌ فَقَالَ لَهُ بَعْضُ 
مَنْ عِنْدَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَعْطِ هَذَا ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الَّتِي عِنْدَك  
يُرِيدُونَ أُمَّ كُلْثُوم بِنْتَ عَلِيّ  فَقَالَ عُمَرُ أُمُّ سَلِيط أَحَقُّ  وَأُمُّ سَلِيط مِنْ نِسَاءِ الأَنْصَارِ، مِمَّنْ بَايَعَ رَسُولَ 
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  قَالَ عُمَرُ فَإِنَّهَا كَانَتْ تَزْفِرُ لَنَا الْقِرَبَ يَوْمَ أُحُد  قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ تَزْفِرُ تَخِيطُ



‘Abdaan meriwayatkan kepada kami, dari Abdullah dari Yuunus dari Ibnu Sihaab (Zuhri), berkata Tsa’labah bin Abi Maalik: “Umar bin Khaththaab membagi-bagi baju kepada wanita-wanita Madinah. Lalu tersisa satu baju yang bagus sekali. Satu orang yang ada di sisinya berkata kepadanya: “Wahai khalifah, berikan ia kepada putri Rasulullah saww yang ada di rumahmu.’ Maksudnya adalah Ummu Kultsuum bintu Ali. Berkata Umar: ‘Ummu Saliith lebih berhak.’ Dan Ummu Saliith dari wanita Anshaar yang berbaiat kepada Rasulullah saww. Umar berkata lagi: ‘Karena ia di perang Uhud menjahit Qirbah (tempat air dari kulit) yang robek.’

Dalam riwayat ini ada orang yang benama Syihaabuddin Zuhri. Ia termasuk orang- orangnya Bani Umayyah bagian pembuat hadits-hadits palsu sebagaimana ditulis oleh ulama sunni, seperti:

- Ibnu ‘Asaakir di kitabnya Taariikhu Madinati Damasyq, 42/228:

Diriwayatkan kepada kami oleh Ibnu Ibrahiim al-Ja’farii yang berkata: “Aku berada di sisi al-Zuhri dan mendengarkan perkataannya. Lalu ada perempuan tua yang mendekatinya dan berkata: ‘Wahai Ja’farii, jangan tulis apa-apa yang ia katakan. Karena ia cenderung kepada Bani Umayyah dan penerima hadiah-hadiahnya.’ Aku bertanya kepada al-Zuhri: ‘Siapa wanita ini?’ al-Zuhri menjawab: ‘Ia adalah saudariku yang tersesat.’ Ia menjawab: ‘Yang tersesat itu adalah kamu karena kamu telah menutup-nutupi keutamaan keluarga Muhammad.’.”

- Hakim pengarang kitab al-Mustadrak, menukil dari Ibnu Mu’iin yang berkata: “Paling bagusnya sanad adalah A’masy dari Ibraahiim dari ‘Aqamah dari Abdullah.” Seseorang yang ada di sekitarnya bertanya kepadanya: “Apakah A’masy seperti Zuhrii?” Ibnu Mu’iin menjawab:

“Amit-amit kalau A’masy seperti Zuhrii. Karena Zuhri mencari dunia, harta dan mencari hadiah-hadiah serta bekerja untuk Bani Umayyah. Sedang A’masy adalah orang yang miskin, sabar, menjauhi para pejabat, wara’ dan alim tentang Qur'an.”

- Dzahabi dalam kitabnya Sairu A’laami al-Nubalaa’, 5/337, berkata tentang Zuhrii:

“Zuhrii memiliki harta dan uang yang banyak sekali dan memiliki nama serta kehormatan di pemerintahan Bani Umayyah. Ketika Abdu al-Malik meninggal ia menempel pada anaknya, al-Waliid, kemudian menempel ke Sulaimaan, kemudian Umar bin Abdu al- Aziiz, kemudian Yaziid dimana pada jaman Yaziid ini ia menjabat sebagai Hakim Agama.”

- Hasan Segaaf, dalam kitabnya yang berjudul Tanaaqodhaatu al-Baani al-Waadhihaat (Kontradiksi Yang Terang Dari al-Baanii), 3/336, berkata:

“Zuhri adalah orang yang suka menyisipkan kata-katanya sendiri di hadits-hadits Nabi saww, dari pahamannya sendiri atau tafsirannya sendiri. Bukhari telah memperingati hal tersebut sebagaiman imam-imam hadits yang lain seperti Rabii’ah, syaikh dari imam Maalik......”

- Ibnu Hajar dalam kitabnya, Fathu al-Baarii, 2/23, berkata:

“.............. kata-kata itu kalau bukan tambahan dari kata-kata Bukhari, atau Anas atau Zuhri sebagaimana kebiasaannya.”

Banyak sekali ulama sunni yang mengatakan bahwa Zuhri ini memiliki kebiasaan menyi- sipkan kata-katanya sendiri di tengah-tengah kalimat hadits-hadits Nabi asww. Karena itu, maka kata-kata: “Yang mereka maksudkan adalah Ummu Kultsum bintu Ali.” Di dalam riwayat yang menceritakan bahwa Umar sedang membagi-bagi baju pada para wanita- wanita Madinah, adalah tambahan dari Zuhri ini.

- Ibnu Hajar al-‘Askalaani, dalam kitabnya, Ta’riifu Ahli al-Taqdiis Bi Maraatibi al-Maushuu- fiina Bi al-Tadliis, hal. 109, mengatakan bahwa Zuhri adalah orang peringkat ke tiga di dalam golongan tukang palsu hadits (tadliis). Dan maksud golonga ke tiga adalah: “Orang yang terlalu banyak menipu hadits, karena itu maka para imam-imam hadits tidak ada yang mengambil haditsnya kecuali yang dijelaskan bahwa hanya menukil yang didengar. 

Akan tetapi sebagian imam-imam hadits, menolak secara mutlak hadits-hadits mereka (penipu golongan tiga).

- Ibnu Abi al-Hadiid, dalam kitabnya Syarhu Nahji al-Balaaghah, 4/102, mengatakan bahwa Zuhri ini bermusuhan dengan imam Ali as.

Masih terlalu banyak ulama yang mencela Zuhri dan tidak mengambil hadits-haditsnya.

Kesimpulan:


1. Perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as itu adalah dongeng yang dibuat di siang bolong. Baik tujuannya untuk menutupi kudeta Umar terhadap imam Ali as, yaitu dengan berusaha mendekatkannya dengan imam Ali as atau karena memang merupakan tangan-tangan Bani Umayyah yang mengafirkan dan melaknati imam Ali as di mimbar-mimbar Jum’at sampai 40 tahun lamanya.

2. Kalaulah Ummu Kultsuum itu ada, maka ia adalah hdh Zainab as itu sendiri karena Ummu Kultsuum julukan yang diberikan Nabi saww kepada beliau as. Kalaulah mau dipaksakan ada juga dan bukan hdh Zainab as, maka ia adalah putrid Abu Bakar atau putri imam Ali as dengan selain hdh Faathimah as. Siapapun dia, jelas bukan istri Umar. Karena Ummu Kultsuum yang istri Umar itu adalah putri Jarwal/Jaruul.

3. Dan kalaulah pula sebagian orang ingin memaksakan bahwa Umar kawin dengan Ummu Kultsuum ke dua (walau tidak ada sejarah yang berkata seperti ini, karena Ummu Kultsuum istri Umar hanya satu orang), maka tetap saja tidak akan bisa dijadikan sebagai bukti hubungan baik antara imam Ali as dan Umar. Karena riwayat-riwayat yang ada, walau sulit dishahihkan, tetap saja mengatakan bahwa perkawinan itu adalah dengan paksa dan ancaman.

Peringatan:


1. Pada tulisan-tulisan yang telah lalu, alfakir pernah menjelaskan ajaran Islam dan filsafat perkawinan Umar atau Utsman dengan keluarga Nabi saww atau imam Ali as. Semua itu, berdasarkan ajaran Islamnya atau filosofisnya dimana tidak mesti seseorang itu kawin dengan yang setingkat dalam ketaqwaan atau maqam-maqamnya, bukan dilihat dari pembahasan historisnya.

2. Dengan penjelasan-penjelasan ini, dan begitu pula dengan penjelasan mengenai sejarah hdh Khadiijah as, maka dapat dipahami bahwa dengan adanya berbagai bentuk sejarah, akan tetapi kita meyakini bahwa yang benar itu adalah yang menjelaskan tidak adanya hubungan Umar dengan imam Ali as atau Utsman dengan Nabi saw.

3. Jadi, pembahasan filosofis dan agamis tentang perkawinan Umar dan Utsman itu, adalah pembahasan yang terjadi pada obyek yang berupa anggapan. Yakni anggap bahwa per- kawinan itu memang benar-benar terjadi.

4. Dengan demikian maka rute pembahasannya menjadi jelas. Pertama, tidak benarnya per- kawinan-perkawinan tersebut. Ke dua, kalaulah benar pula, penjelasan agama Islamnya dan filosofisnya adalah seperti yang sudah ditulis sebelum-sebelumnya itu. 



Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Pendidikan Anak



Seri tanya jawab Sang Pecinta dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, April 26, 2012 at 4:02 pm


Sang Pecinta: Salam, saya banyak melihat fenomena yang terjadi dalam keluarga muslim yang bisa dikatakan tidak bagus, sering kali orang tua merasa digurui ketika si anak memberikan masukan yang positif, orang tua merasa lebih tahu tentang segala sesuatunya ketika orang tua sering memarahi anaknya yang masih kecil, walaupun kesalahan anak itu kecil seperti memecahkan gelas, sehingga karena sering dimarahi anak itu tumbuh dengan emosi yang tidak stabil, dan ketika anak sulungnya memberi masukan, orang tua itu tidak terima. Ketika orang tua berbohong di depan anak-anaknya dan sang anak memberitahu dan beliaupun tidak terima. Terus saya melihat banyak orang tua sering memaksakan pendapatnya tanpa melibatkan diskusi dengan sang anak, akibatya sang anak merasa tertekan emosinya dan tetap melakukannnya dengan hasil yang kurang baik. 

Bagaimana tanggapan ustadz tentang hal ini? Apakah sang anak berdosa ketika orang tua tidak menerima masukan anak? Saya merindukan keluarga muslimin yang demokratis dimana anggota keluarga mengemukakan pendapat dengan santun, orang tua mendidik anaknya dari detik pertama anaknya lahir sesuai dengan tuntunan Rosul dan AB, bukankah kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kualitas keluarga ya ustadz ? Imam Khomeini berkata Ibu merupakan madrasah bagi anak-anaknya. *sharing saya ini tidak mengurangi rasa hormat saya kepada para orang tua yang telah membesarkan putra-putrinya dengan kasih sayang yang tak akan tergantikan. 

Sang Pecinta: Beberapa tahun lalu saya melerai seorang bapak yang akan menampar dan memukuli anak gadisnya, alasan sederhananya sang anak belum sempat mengunjungi bapaknya karena tugas deadline dari kampus, sang bapak tanpa memberikan kesempatan kepada si anak untuk berbicara langsung emosional..saat ini hubungan anak & bapak itu tidak dekat, seperlunya saja.. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya atau sharingnya: 

(1). Sejauh yang saya tahu dan bisa ditulis secara global, adalah bahwa orang tua sudah semestinya mendidik anaknya dengan ajaran Islam

(2). Islam menganjurkan dari nol tahun sampai tujuh tahun, anaknya dibiarkan bagai raja yang bebas. Dan hanya mengawasinya supaya tidak celaka atau terluka. Tapi kalaulah main pisaupun, tidak boleh serta mengambilnya dengan kasar, kecuali kepepet dan dalam keadaan bahaya. Jadi, mengambilnya dengan lembut dan dengan memberi pengertian sesuai kondisinya. Misalnya, mencoba menusukkan sedikit dari ujung pisau itu supaya dia merasakannya. Tapi kalau tidak mau, maka jangan dipaksakan. 

(3). Dari umur 7 tahun sampai 14 tahun, dianjurkan untuk mendidik anaknya dengan ketat hingga menjadi hamba Tuhan yang taat. Istilahnya dididik menjadi budak Tuhan. Tentu dengan membarenginya dengan pengertian-pengertian yang bisa ditangkapnya. 
Dari umur 14 tahun sampai 21 tahun, diajak bermusyawarah dalam memecahkan masalah- masalah keluarga atau dalam mengatur keluarga secara bersama-sama. Akan tetapi, kepe- mimpinan tetap di tangan ayah. Jadi, kalau ada perbedaan pendapat, maka semua harus mengikuti keputusan ayah. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Beda Filsafat dan Falsafah



Seri tanya jawab Zarranggie Syubeir dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, March 8, 2012 at 6:51am


Zarranggie Syubeir: Salam ustadz, af1 mau bertanya: Apa perbedaan Filsafat dengan Falsafah? 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Falsafah itu adalah ilmu yang membahas sejarah filsafat, terutama dalam mengenali filosof dan pemikirannya. 

(2). Filsafat adalah ilmu yang membahas tentang wujud dari sisi wujudnya, bukan dari sisi lainnya, seperti sisi ukurannya yang menjadi ilmu matematik, atau dari sisi kesehatannya yang menjadi ilmu kedokteran ... dan seterusnya. Tapi benar-benar hanya dari sisi wujudnya saja. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Arti Tuhan Mengangkat dan Menjatuhkan Pemimpin/ raja yang Dikehendaki



Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama 

by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 4, 2012 at 11:07 pm


Heri Widodo: Ustadz, QS Ali Imron 26 = Apakah Kehendak ALLAH Menjatuhkan seseorang adalah Keadilan Tersembunyi Hikmah untuk orang tersebut ? 


Agoest D. Irawan, Nadi Ali Utomo, dan Irawati Rembang C menyukai ini.. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Naiknya seseorang menjadi raja atau pemimpin, tidak ditentukan dan tidak pula dikehendaki Allah sebagai kehendak tasyri-’ii (syariat) atau kehendak takwini (natural). 

(2). Artinya, kehendak yang bermakna kehendak, itu tidak ada. Begitupula ketidakberkehandakanNya juga tidak ada. Katakanlah, urusan mau jadi pemimpin atau tidak, semua itu, urusan manusia itu sendiri. 

(3). Akan tetapi, karena akibatnya akibat itu, akibat pula bagi sebabnya, dan karena Tuhan itu sebab akhir dari semua keberadaan, maka kemenjadian-pemimpin atau ketidakmenjadian pemimpin seseorang itu, adalah bagian dari makhluk Tuhan dan akibatNya. Dari sisi, inilah dikatakan bahwa menjadi dan tidak menjadinya pemimpin atau raja bagi seseorang itu, tergantung kepada Allah. Ini makna ayat yang ditanyakan itu. 

(4). Mengapa dikembalikan kepada Allah hingga seakan-akan Tuhanlah penentu semuanya? Karena, Tuhan adalah sebab hakiki bagi semua kejadian di alam ini walaupun hal itu adalah perbuatan dan pilihan manusia itu sendiri. Karena akibatnya akibat, adalah akibat pula bagi sebabnya. Dan Tuhan, adalah sebab hakiki dari semuanya dalam arti, tanpa Tuhan, maka sebab-sebab yang berada di tengah antara akibat akhir dengan serentetan sebab-sebab sebelumnya, semua itu, tidak akan ada gunanya dan tidak akan ada fungsinya. 

Shalat dan mencuri, atau menjadi pemimpin, adalah suatu keberadaan yang diakibatkan oleh ikhtiar manusia. Dari akibat akhir ini, untuk sampai kepada Allah sebagai sebab akhir, ada jutaan sebab-sebab perantara, seperti ikhtiar fulan yang menginginkannya, pengaruh lingkungan, mani-ovum yang telah menjadi si fulan yang mau jadi pencuri atau orang shalat atau pemimpin itu. Kemudian mani-ovum itu juga perlu kepada sebab-sebab sebelumnya, dan sebab-sebabnya itu juga perlu kepada sebab-sebab ...dan seterusnya. ... sampai akhirnya kembali kepada Allah. Nah, semua sebab-sebab perantara itu, menjadi sebab karena Tuhan yang telah menjadikannya sebab. Jadi, sebab hakiki itu adalah Allah dan sebab parantara itu adalah sebab-sebab yang tidak akan pernah berarti tanpa sebab akhir tersebut. 

Karena itulah maka sebab hakiki itu hanya Allah dan karena itulah semuanya sering dikembalikanNya kepada DiriNya di Qur'an dan hadits-hadits Nabi saww. 


(5). Akan tetapi ingat bahwa akan bertanggung jawab itu adalah manusia itu sendiri. Hal itu karena sebelum terwujudnya akibat manusia, seperti mencuri, shalat atau jadi pemimpin, harus melalui sebab yang namanya akal dan ikhtiar. Karena itulah, maka manusia ini yang harus bertanggung jawab terhadap pemahaman akalnya dan ikhtiar-ikhtiarnya. 

(6). Karena itulah maka dalam makhluk-makhluk yang berupa perbuatan manusia ini, dibagi menjadi dua bagian: 

a. Makhluk yang sesuai dengan kehendakNya secara Takwini saja, yakni sesuai dengan prosedur di atas itu, yakni dari Tuhan ke makhluk pertama dan dari makhluk pertama ke makhluk ke dua ..... dan seterusnya sampai ke makhluk yang namanya perbuatan manusia ini. Nah, setiap keberadaan di urutan-urutan ini, dikatakan terjadi dengan ijin Allah secara Takwiniyyah (ciptaan naturalinya). Di bagian ini, tidak peduli apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk, hak atau batil. Seperti shalat, mencuri, menjadi pemimpin batil atau hak. 

b. Makhluk yang sesuai dengan kehendakNya secara Tasyrii’ii (syariat atau agama atau hukum-hukum agama Tuhan). Artinya pilihan-pilihan manusianya itu, yakni makhluk yang berupa perbuatan manusia ini, sesuai dengan kehendak Allah yang sudah ditentu- kan dalam agamaNya. Seperti shalat, menjadi pemimpin hak (seperti para nabi, rasul dan Imam makshum). 

(7). Dengan penjelasan itu maka bisa saja, kemenjadian pemimpin seseorang itu dikehendaki Allah secara aturanNya dalam natural saja, dan bisa dari sisi aturan-Nya dalam agamaNya juga. Karena itu, kemasyiyyahanNya (kehendak Allah), tidak mesti membuat seseorang yang menjadi pemimpin itu senang. Karena, kalau kemasyiyyahanNya itu hanya Takwiniyyah saja, maka ia akan menanggung dosa kebatilannya sendiri dan dosa umat yang dipimpinnya ke arah yang batil itu. 

Akan tetapi, kalau seseorang itu menjadi pemimpin karena dikehendakiNya secara agama- Nya, maka dialah yang dipilih Allah dan dikehendakiNya secara agama sesuai dengan potensinya sendiri dan kelayakannya, hingga dapat menjadi bantuan dan rahmat dariNya bagi umat yang dipimpinnya. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Penjelasan Talaq dan Hak Talaq dalam Pernikahan



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 9 Juli 2011 pukul 12:18


Bintang Ali: Salam, ustad.. smoga ampunanNya meliputi kita semua .. Ustad, mohon dijelaskan soal talaq dan apakah memikirkan talaq itu hukumnya sama dengan jatuh talaq? Dan istri punya hak talaq ga? Syukron. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Memikirkan talaq itu bukan talaq. Bahkan mengucapkan talaq juga belum tentu talaq. 

(2). Talaq adalah mengucapkan talaq di depan dua orang Syi’ah yang adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil). 

(3). Adil ini, tidak sama dengan adil dalam imam shalat. Karena kalau dalam imam shalat, kalau kita tahu diri kita tidak adil, tapi makmumnya meyakini kita adil dan mereka menginginkan kita jadi imam shalatnya, maka kita boleh menjadi imam shalat bagi mereka. Tapi kalau adil dalam cerai ini tidak bisa. Jadi, kalau kita mau jadi saksi talaq kita harus tahu dengan benar bahwa kita tidak melakukan dosa besar dan kecil. Jadi, kita tidak bisa mencukupkan lahiriah kita karena kita tahu lahir batin kita. Jadi, kalau kita tidak adil, maka kita tidak boleh menjadi saksi. Dan kalau menjadi saksi maka talaq itu menjadi batal. 

(4). Untuk yang menjadikan kita saksi, memang, cukup melihat lahiriahnya. Tapi kalau nanti tahu bahwa kita tidak adil atau siapa saja yang dijadikan saksi, maka talaqnya menjadi batal. 

(5). Dan kalau talaqnya batal, maka yang susah itu adalah wanitanya. Karena kalau dia kawin lagi bisa menjadi batal. Memang kalau suaminya Sunni, maka talaq dengan cara Sunni itu sudah dianggap syah, sekalipun tidak memakai saksi sekalipun. 

(6). Sedang istri tidak punya hak talaq. Tapi kalau waktu perkawinannya si suaminya memberikan semacam penyerahan kepada hakim syar’i atau penghulu, bahwa kalau nanti memukuli istrinya atau tidak memberi nafakah dalam batas-batas waktu tertentu maka hakim agama bisa menjatuhkan talaq, maka kalau hal-hal itu terjadi, si istri kelak bisa mengadu ke hakim syar’i itu untuk meminta menjatuhkan talaq untuknya. 

Bintang Ali: Syukron tad,,. bagaimana kalau tidak menemukan 2 orang saksi adil? Atau bolehkah mengambil saksi dari sunni tapi adil? Dan pengucapan talaq itu cukup sekali atau lebih? Afwan ustad ngeborong..:) 

Sinar Agama: Sekali lagi, adil itu tidak melakukan dosa besar atau kecil. Dan keduanya harus ahlulbait. Jadi, harus mewakilkan ke orang yang ada di daerah yang banyak syi’ahnya dan adilnya. 

Chi Sakuradandelion menyukai ini.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Penjelasan Bait Do’a Kumail

Penjelasan Bait Do’a Kumail
“Wahai yang namaNya adalah obat dan zdikir- Nya adalah penyembuhan yang ketaatanNya adalah kekayaan"



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 9 Juli 2011 pukul 12:16



Al Louna: Dalam bait doa kumail ada yang berbunyi; Wahai yang namaNya adalah obat dan dzikirNya adalah penyembuhan, yang ketaatanNya adala kekayaan. 

Ustadz, apa makna dari bait doa tersebut? 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Nama Tuhan, adalah keberadaan tajalliNya. Katakanlah hakikat sifat-sifatNya. seperti(Seperti) hakikat Penyembuh, Pemberi Rejeki, Pemaaf ...dan seterusnya, bukan kata-kata itu sendiri. Sedang kata-kata dari nama-nama itu, adalah Namanya NamaNya, bukan NamaNya. 

(2). Ketika kita sudah mengerti NamaNya yang berupa hakikat wujud sifat dan kemuliaanNya itu, yakni bukan nama-nama yang kita ucapkan itu, maka kita harus meyakininya dalam hati bahwa hakikat wujud-wujud itulah yang memberikan efek kepada kita, bukan nama-nama yang kita ucapkan. 

(3). Nah, dengan mengerti hakikat tersebut , maka ketika kita mengucap dzikir dan mengingatNya, harus meniatkan diri menyebutNya dan mendzkiriNya. Yakni DiriNya dan sifat-sifat MuliaNya itu. 

(4). Jadi, dzikir lisan tanda dzikir hati dan dzikir hati sebagai pengikat ruh kita kepada nama- nama Agung itu. Nah, ketika tidak ada aral melintang (seperti dosa atau ingkar nikmat), maka sudah pasti ruh kita itu akan bersentuhan dengan asma-asma tersebut dan, sudah pasti apapun masalah yang dihadapi manusia akan dapat diatasi. Inilah salah satu arti dari “MengingatNya adalah obat dan mendzikiriNya adalah penyembuhan.” 

(5). Makna lainnya, ketika ruh itu sudah bersentuhan dengan asma-asma itu, maka baginya sudah tidak akan menjadi masalah lagi apapun yang akan menimpa dan diderita badannya. Karena itu, ia benar dalam keceriaan walau dalam derita. Karena indahnya bersentuhan dengan asma-asma itu telah membuat kelamnya dunia ini menjadi tidak terasa lagi. 

(6). Makna lainnya, ketika ruh itu sudah bersentuhan dengan asma-asma itu, maka bukan lagi kelamnya dunia ini tidak terasa lagi, akan tetapi benar-benar terlihat indah. Karena ia tahu bahwa kelam-kelam itu adalah tajalliNya yang lain yang untuk menguji keindahannya itu. 

(7). Poin lima itu bisa dikatakan maqam sabar, dan poin enam ini bisa dikatakan maqam ridha. 

(8). Sedang taat padaNya adalah kekayaan kukira sangat jelas. Karena kekayaan hakiki itu bukan di uang, jabatan dan sehat. Walaupun semua itu adalah rahmat. Akan tetapi kalau tidak digunakan dalam taat maka rahmat itu akan berubah jadi bencana. Dan paling besarnya bencana, bukan dituruni penyakit atau banjir atau hujan batu, akan tetapi KETIDAK TAATAN- NYA ITU SENDIRI. 

Karena itulah maka kekayaan hakiki yang dikatakan fiddun-ya hasanah itu, adalah ketaatan tersebut, yakni takwa. Orang mengira bahwa fiddun-ya hasanah adalah kaya dan sehat, padahal itu hanya satu dari sekian juta alat untuk mencapai hasanah yang sebenarnya, yaitu taat dan takwa itu. 

Jadi, kekayaan hakiki dan kesehatan hakiki itu adalah takwa dan taat tersebut . 


Tambahan

Kebanyakan orang yang posisi ruhaniahnya sedang-sedang (dari ilmu dan taatnya), ketakutan akan suatu bencana dan bala kalau berbuat maksiat. Karena itu, kalau mereka melakukan maksiat, cepat istighfar takut dituruni adzab. Hal ini beralasan, karena di Qur'an Tuhan beberapa kali menurunkan bencana karena dosa-dosa manusia. 

Padahal, kalau dia sadar dan mengerti, maka tidak ada bencana lebih besar dari maksiatnya itu sendiri. Bayangkan di bumi Tuhan, di Hadapan Tuhan, di Pangkuan Tuhan ia melakukan pelanggaran kepada Tuhan dimana hal itu ibarat telah mengencingi nabi-nabi. Bayangkan, masihkan ada bencana labih besar dari ini? 

Sedang adzab dunia yang disebut bencana itu hanyalah bencana bagi tubuh dan badan manusia. Padahal bencana hakiki adalah yang menimpa ruh manusia. 

KARENA ITU MAKA MAKSIAT ITU ADALAH HAKIKAT BENCANA YANG PALING BESAR SEDANGKAN DENGAN BENCANA ALAM ITU ADALAH BENCANA KECIL YANG HANYA BADANI YANG SIFATNYA HANYA MENJEWIR SAJA. 


Wassalam. 


Chi Sakuradandelion, Arif Fhadilah, Abu Thurab dan 23 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Matahari Senja: Allahumma sholli alaa Muhammad wa Aali Muhammad wa’ajjil farajahum. 

Shodiq Ahmeed: Subhanallah wa-Alhamdulillah wa-Lailahaillallah wa-Allahuakbar... Allahumma Sholli ‘alaa Muhammad wa Aali Muhammad... 

Zahra Herawati Kadarman: Yaa man ismuhu dawaa wa dzikruhu syifaa wa tha’aatuhuu ghinaa............... 

24 Agustus 2012 pukul 0:35 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ