Selasa, 21 Agustus 2018

Lensa (Bgn 15): Apa Benar Nabi saww Mengharamkan Yang Dihalalkan Tuhan?



Oleh: Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:17


Ayat tahrim ini sebenarnya ayat kecaman Tuhan kepada dua istri Nabi saww. Artinya, Tuhan tidak rela Nabi-nya mengalah terus kepada dua istrinya itu. Kita tahu bahwa Nabi saww. selalu memaafkan orang, apalagi istrinya. Artinya selama masih memiliki hak untuk memaafkannya. Nah, disini, sekalipun Nabi saww. memiliki hak untuk memaafkannya, akan tetapi Tuhan tidak memaafkannya.

Baik di sunni atau di syi’ah, sebab turun ayat itu, adalah berkenaan dengan sesuatu yang dikerjakan Nabi saww. terhadap salah satu istrinya. Lalu kedua istrinya yang lain, tidak menyukainya dan bersepakat untuk menyakiti Nabi saww. Lalu ketika mereka beraksi, maka Nabi saww mengatakan bahwa beliau saww. tidak akan melakukannya lagi. Yakni tidak akan melakukan sesuatu yang dihalalkan Tuhan itu.

Jadi, haram di ayat itu bukan haram yang bermakna hukum Islam, tetapi yang bermakna kata yang, dalam bahasa Arab artinya, mencegah. Yakni Nabi saww. mengatakan bahwa beliau akan mencegah dirinya untuk tidak melakukannya lagi. Tentu saja, karena Nabi saww, sesuai dengan akhlaknya yang mulia itu, karena beliau selalu memaafkan orang yang berbuat buruk padanya selama masih bisa dimaafkan.

Dalam kejadian itu, Tuhan tidak lagi bisa menerima perlakuan buruk pada NabiNya itu. Karena itu Tuhan sendiri yang mengkondisikan (taqyid) maaf Nabi saww. ini, seperti di ayat lain yang mengatakan bahwa: “Kamu sekalipun memintakan ampun 70 kali tetap mereka tidak diampuni” (ini nukilan makna, bukan harfiah).

Dengan keterangan di atas itu, dapat dipahami, bahwa Nabi saww. bukan hendak mengharamkan secara hukum fikih yang berarti kalau dikerjakan mendapat dosa/siksa, terhadap hal-hal yang dihalalkan Tuhan. Akan tetapi bermakna, mencegah dirinya dari hal-hal yang dihalalkan Tuhan demi meredam gangguan kedua istrinya itu. Jadi, Nabi saww. tidak membuat kesalahan, seperti membuat hukum baru dan beda dari hukum Tuhan.

Dari keterangan itu pula, dapat dipahami bahwa hal-hal yang Nabi saww. mencegah diri darinya, adalah bukan sesuatu yang diwajibkan. Artinya, sekalipun Nabi saww. mencegah dirinya karena mengalah dan memaafkan buruk akhlak kedua istrinya itu, akan tetapi bukan mencegah diri dari hal-hal yang diwajibkan Tuhan. Jadi, hanya pada hal-hal yang dihalalkan,. bukan wajib. Jadi, Nabi saww. dalam hal ini juga tidak melakukan kesalahan. 

Dari keterangan di atas itu juga dapat dipahami bahwa Nabi saww. juga tidak melakukan  kesalahan dari sisi memaafkan atau mensyafaati itu. Karena dalam sunnatullah yang diterangkan dalam Qur'an, semua yang punya hak syafaat, tetapi Nabi saww, tidak akan bisa mengaktifkan syafaatnya itu kecuali dengan ijinNya. Nah, ayat di atas, befungsi pengikraran Tuhan bahwa syafaat Nabi saww untuk kedua istrinya itu tidak mendapat ijinNya.

Dari semua keterangan itu, dapat diketahui betapa agungnya akhlak Nabi saww yang berkenan memaafkan kedua istrinya yang menyakitinya dan memprotes perbuatan halalnya itu. Jadi, ayat itu, bukan saja tidak menceritakan kesalahan Nabi saww, tetapi justru menceritakan keagunangan akhlak Nabi saww.

Di lain pihak, ayat itu menceritakan betapa buruknya perlakuan kedua istri Nabi saww. tersebut. Bayangkan saja, sudah punya suami Nabi saww. tetapi tidak menghormatinya sebagaimana mestinya. Padahal, sekalipun suaminya itu bukan nabi Tuhan, sudah pasti mengganggu suaminya dalam hal-hal yang dihalalkan Tuhan itu adalah dosa, apalagi kalau suaminya itu adalah seorang nabi dan nabi pilihan lagi, yakni paling afdhalnya Nabi saww.

Dapat diraba dari ayat dan peristiwa itu bahwa sangat mungkin kedua istri tersebut, sering menyakiti Nabi saww. Karena biasanya, kalau hanya salah sekali, mungkin tidak langsung diancam dengan semacam peperangan dan juga talak. Coba baca terusan ayat di atas itu sampai ayat 3 (QS: 66: 1-3). Di ayat tiga itu, Tuhan mengancam kedua istrinya itu kalau tidak taubat.

Mungkin ada yang bertanya, kalau keduanya tidak bagus, mengapa dikawini dan mengapa tidak diceraikan saja? Jawabnya, bahwa mencari istri yang baik itu adalah kewajiban bagi kita yang lemah iman dan akhlak. Yakni kita, orang biasa, kalau punya istri yang buruk perangai maka bisa bertengkar, terpengaruh menjadi buruk juga dan atau terjadi cerai. Tetapi kalau Nabi saww. dan para nabi yang lain as., maka keharusan itu terangkat dari mereka. Karena mereka tidak akan terpengaruh, baik dalam keburukannya, atau dalam reaksinya hingga keluar dari ajaran agama. Kalau perlu, mereka mesti mencari yang terburuk untuk dijinakkan dan tidak menebarkan keburukannya kepada orang lain. Tentu saja, buruknya yang tidak sampai kepada tingkat pengkhianatan keluarga (selingkuh). Jadi, keburukan yang berkisar akhlak buruk, khianat yang bukan bermkana selingkuh, seperti membocorkan rahasia dan seterusnya.

Ayat ini, juga menjadi saksi bagi kecerobohan yang menafsirkan ayat QS: 33: 33, dimana disana Tuhan membersihkan dosa keluarga Nabi saww (Ahlulbait), sebagai istri-istri Nabi saww. Yakni mereka mengatakan bahwa keluarga yang disucikan itu, adalah istri-istrinya. Padahal ayat di pembahasan kita ini adalah ayat yang menunjukkan kedua istri Nabi saww sedang melakukan dosa besar, dan obyeknya juga tidak tangung-tanggung, yaitu Nabi saww. sendiri, yakni bukan suami biasa yang diganggunya.

Wassalam. 



Tika Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Sarah Soraya dan 16 lainnya menyukai ini.

Kamal AvicenNa: Ali bin Abi Thalib a.s pernah mengatakan bahwa, kekeruhan jama’ah jauh lebih baik daripada kejernihan individu. Kecerdasan individual pun tak akan pernah dapat mengalahkan kecerdasan sebuah jama’ah. Memang benar, perbedaan bukan sesuatu yang mustahil, namun yang diharapkan walaupun mempunyai kepentingan sendiri, jangan sampai menutupi kepentingan bersama untuk menegakkan qalam Ilahi di muka bumi.

Edo Saputra: Dengan mengikuti nabi dan ahlulbaytnya pasti kita selamat...

Aziz Laparuki: Ustadz, sama ada sedikit tanda tanya dalam hati. Dari penjelasan antum di atas seolah olah Nabi SAWW tidak maksum!? Dalam pikiranku perkataan dan tindakan nabi bahkan gerak gerik hati Nabi SAWW pun akan selalu seiring sejalan dengan kehendak Tuhan! Tolong penjelasannya Ustadz. Terimakasih...

Sinar Agama: Aziz: Baca lagi dan baca lagi, dan jangan lupa membaca Bismillaah dan shalawat sebelumnya. Kalau belum tembus juga, kalau perlu dalam keadaan berwudhu dan mengucap salam dulu pada imam Mahdi as. Semoga dapat dipecahkan. Karena menurutku dengan membacanya dengan teliti, maka problem antum bisa diselesaikan. Ingat, jangan baca tulisanku atau tulisan siapa saja, dengan gemuruh pemahaman antum dan gemuruh menolaknya. Tapi baca dulu dengan berusaha memahami yang kita maukan, baru setelah paham benar, bisa ditanyakan atau didiskusikan atau bahkan didebatkan. Tapi berusahalah dulu memamahi sesuai dengan maunya penulis.

Padil Fadilah: Allah hummasoli alla Muhmmad waalli Muhammad. 


28 Mei 2012 pukul 14:28 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 14): Tentang Benci



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:14


Benci sebagaimana sudah saya sering berikan contohnya, di catatan-catatan atau koment alfakir selama ini, adalah sifat yang ada di hati manusia, yang, secara filsafat dikatakan ada di ruh bagian daya-hewani. Artinya benci adalah kerja hati seperti cinta.

Nah, benci hati ini, tidak boleh diletakkan kepada makhluk Tuhan dari sisi kemakhlukanNya, seperti jeleknya, hitamnya, cebolnya, baunya, ganasnya (seperti harimau dan ular) dan seterusnya. Dan karena itu benci itu hanya bisa diletakkan kepada Karekter Ikhtiari Manusia atau jin (seperti Iblis). Ingat sekali lagi amal-amal ikhtiari atau akhlak-akhlak ikhtiari. Maksud akhlak disini adalah kebiasaan, bukan akhlak baik. Jadi dalam pembahasan akhlak, akhlak itu adalah kebiasaan, baik kebiasaan baik atau buruk.

Nah, benci itu hanya bisa diletakkan ke atas akhlak buruk seseorang dari sisi akhlak buruknya itu. Jadi kalaulah membenci pelakunya, jangan karena jelek rupanya, tetapi benar-benar karena akhlak buruknya itu. Ini baru boleh, dan bahkan merupakan keharusan. Karena kalau kita tidak membencinya, bisa mengakibatkan kebagian dosanya. Karena itulah dalam Islam dikenal dengan Tabarri, alias berlepas diri. Yakni berlepas diri dari keburukan orang yang dibenci karena keburukannya itu. Dan Rasulpun saww bersabda: “Kalau di ujung timur dunia ada yang membunuh orang tanpa kebenaran, dan di ujung barat ada yang mendengar dan dia rela terhadap perbuatannya itu, maka ia telah mendapatkan dosanya juga.”.

Namun demikian benci ini tetap berupa amal hati, bukan badani nan aplikatif. Karena kita baru membahas tinjauan hatinya. Nah, benci di hati ini, sekalipun merupakan keharusan ketika tempatnya sudah benar secara argumentatif gamblang, bisa dibarengi dengan amal-amal hati lainnya. Tentu selain amal hati yang berkata “Aku berlepas diri dan tidak suka pada perbuatannya”. Yaitu amal-amal hati seperti harapan dan doa akan perubahan terhadap pelaku amal buruk itu. Semua itu tergantung kepada besar-kecilnya keburukan seseorang dan tergantung kepada tekak tidak tekaknya (bc: keras tidaknya kepalanya).

Tentu saja ukuran keras kepala ini tidak mudah dinilaikan. Karena sering orang karena di debat sekali dua kali saja sudah mengecap lawan bicaranya sebagai keras kepala. Walhasil, kalau memang keras kepala sekalipun, tetap bisa dilihat, apakah karena lingkungan yang membentuknya menjadi orang-orang yang nampak bodoh seperti para Wahhabi yang terhitung latah, atau karena dia sendiri telah menjadi keras kepala dengan penuh kesadaranya dalam memilih jalan buruk itu. Walhasil, dengan modal agama yang tidak bisa sedikit, seseorang akan mampu dengan ijinNya, melihat derajat-derajat obyek bencinya itu dan hatinya diselaraskan sesuai dengan ilmu Islam yang argumentatif agamis dan aklis itu, bukan argumentatif perasaanis yang dipaksakan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits.

Tapi ingat, bahwa sekalipun ada perasaan harap itu, maka perasaan benci akan perbuatannya itu, harus tetap ada di hati. Karena hilangnya itu akan membuat kerusakan pada diri kita sendiri. Akibat awal yang paling sederhana tetapi memiliki kadar luar biasa besarnya, adalah tidak jelasnya nilai hidup dan budaya. Coba lihat di Indonesia. Korupsi dan zina misalnya. Sebenarnya, dalam tinjauan sosialnya, korupsi dan zina itu bukan suatu yang besar. Karena ia merupakan penyakit pelakunya.

Tetapi ketika yang lain tidak membencinya, atau membenci karena tidak kebagian (seperti di Indonesia yang secara lahir melakukuan reformasi terhadap KKN, yakni memperbaiki KKN hingga menjadi adil dan rata), maka budaya yang akan muncul adalah “biasa” menghadapi keduanya. Dan kalau sudah “biasa” atau “hal biasa”, terlebih dibumbui lagi dengan “Manusia itu tempatnya salah dan doa” dan “tidak tega”, maka langkah berikutnya adalah kita sendiri akan jatuh di dalamnya.

Jadi, maksiat pribadi, seperti korupsi dan zina, tidak sebesar maksiat sosial yang sudah mengang- gapnya hal biasa. Bayangin saja budaya kita, kalau ada anak hamil di luar nikah, orang tuanya, tidak marah dari awal ketika ia tidak pakai hijab atau ketika ia pacaran. Tetapi marahnya, kenapa sampai hamil dan membuat malu. Artinya hubungan maksiat sebelumnya, asal tidak sampai hamil, maka dianggap biasa. Nah, budaya seperti ini, yang timbul dari tidak bencinya pada keburukan dan maksiat itu adalah seburuk-buruk budaya dan bisa dikatakan tidak memiliki harapan di masa depan.

Karena itulah, sebagian orang berkata bahwa Arab Jahiliyyah masih jauh lebih bagus dari budaya kita. Karena di jahiliyyah, kejujuran masih disanjung tinggi, kesatriaan dan membela yang lemah jadi pujaan. Tetapi kita, oh..betapa malangnya kita... yang memiliki budaya tidak ke barat dan tidak ke timur ini. Indonesia, akan menjadi baik, kalau budayanya dirubah. Dan perubahan itu, tidak bisa terjadi kecuali dengan pengawasan seorang alim tentang agama yang mencakupi filsafatnya, sosiologinya, psikologinya.

Tentang aplikasi bencinya: Dalam aplikasi benci ini, agama dan akal-gamblang, telah memberikan cara-caranya secara rinci. Namun ingat, dengan tetap menjaga perasaan benci itu. Penanganan terhadap obyek yang dibenci itu sangat banyak dan sangat rinci. Kadang dengan merengutkan alis saja, kadang dengan ucapan. Dan ucapan ini bisa banyak gradasinya. Bisa dengan argument, yakni ketika ia memiliki potensi untuk memahami argument. Argument adalah proposisi-proposisi yang disusun sebagai dalil yang dikenal dengan Premis.

Argument adalah memakai premis yang memiliki kebenaran yang sudah teruji dengan argu- mentasi. Artinya, kebenarannya itu adalah hakiki dan niscaya, baik diterima orang atau tidak. Seperti 1+1=2; yang terbatas pasti diadakan; rangkapan terbatas juga keterbatasan;.....dan seterusnya. Akan tetapi, kalau pelaku buruk itu tidak mengerti hal ihwal argumentasi dan premisnya itu, maka bisa memakai cara debat. Debat adalah premisnya memakai hal-hal yang diakui oleh lawan bicaranya. Misalnya orang syi’ah berdalil tentang 12 imam maksum as,. dari kitab Bukhari yang diterima sunni (sekalipun syi’ah tidak menerimanya).

Jadi, apapun yang diterima lawan bicaranya dijadikan dalilnya. Inilah yang dikatakan debat. Ada juga yang pakai setengah umpatan. Seperti kamu tidak belajar dengan baik, kamu tidak membidangi agama secara akademis, kamu banyak bicara terhadap hal-hal yang tidak kamu tahu, dan seterusnya. Semua itu akan menjadi sesuai dengan obyeknya, manakala seseorang telah benar-benar alim dan berhati mulia. Artinya setiap langkahnya hanya mengikuti argument, agama dan dengan niat ridhaNya.

Ada juga dengan cara-cara yang lebih kelihatan keras, seperti meninggalkannya. Yang ke tiga ini dikenal dengan amar makruf dengan badan. Artinya, sejauh yang diijinkan agama. Bukan menamparnya dan semacamnya. Karena menyakiti orang lain secara fisik, di samping merupakan dosa besar, ia juga memiliki kaffarah, apakah hanya memar, atau luka, atau luka sampai ke tulang, atau luka sampai melukai tulang...dan seterusnya seperti yang sudah diterangkan di kitab fikih.

Jadi, aplikasi kebencian itu diterangkan dalam amar makruf dan nahi mungkar. Begitu pula syarat- syaratnya. Karena itulah maka kita tidak bisa sembarang melakukan amar makruf dan nahi mungkar yang biasa kita kenal dengan “Dakwah”. Terlebih Dakwah Sosial dan Media Masa dimana yang dihadapi bukan seseorang yang jauh lebih gampang diketahui psikologinya.

Penjelasan tentang aplikasi benci di atas belum hanya berupa gambaran umum dan tidak mencakupi semua bagiannya. Karena ada yang kadang kala memakai cara perang, dan pengrusakan, manakala diperlukan dan sudah difatwai dengan bijak oleh seorang mujtahid yang bersih dari dosa. Hal mana seperti itu memang jarang sekali terjadi. Dan biasanya ketika sudah sangat terpaksa untuk melawan kemungkaran dan kekafiran.


Wassalam.



Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Ammar Dalil Gisting dan 7 lainnya menyukai ini.

Jaid Alfarizi: Akhsantum....Allahumma shalli alaa Muhammad wa alaa Aali Muhammad bihaqqi Aali Muhammad wa ajjil farajahum.

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Ammar Dalil Gisting: Salam. Syukran Ustadz.. Jazakallahu khaeran katsir... Ooh,. Ternyata masih dan masih banyak yang kurang peduli dan mengerti dalam hal Tabarri..?! Pantas saja penyakit sosial bertambah hari bukannya berkurang malah bertambah ‘gila’... 

Ya Rasullah..! Ya Amiril mukminin..! Tolong dan bantulah kami untuk bisa bersikap dan ber akhlak sebagaimana yang kau ajarkan... Ya Rabbiy karuniai hamba ilmu yang bermanfaat.. Ilahi amin.. 


27 Mei 2012 pukul 22:59 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 13): Tentang Shiraatu al-Mustaqiim



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:11



Makna shiraatu al-Mustaqiim itu adalah jalan Islam yang lurus dan tidak memiliki kesalahan sedikitpun. Hal ini dapat dipahami dari dua jalan (setidaknya). Pertama dari kata-katanya, yakni “jalan lurus” dimana kalau ada bengkoknya sekalipun sedikit, jalan itu sudah tidak bisa lagi disebut dengan “jalan lurus”. Dalam logika, pahaman makna dari kata “jalan lurus” itu termasuk pahaman yang sangat mudah (dharuri, necessary knowledge).

Dapat dipahami dari ayatnya itu sendiri bahwa “jalan lurus” itu adalah yang tidak memiliki kesalahan sedikitpun. Karena dalam ayat itu, telah diterangkan adanya tiga sifat untuk “jalan lurus” tersebut:

Jalan orang-orang yang diberi nikmat (dalam ayat lain dikatakan bahwa meraka adalah para nabi, syhid, shalih dan shiddiqin), dan yang tidak dimurka (ghairi al-maghdhub) dan tidak tersesat (wa laa al-dhaalliin). Nah, pada kriteria ke tiga ini, dikatakan sebagai jalan yang tidak tersesat sedikitpun. Artinya tidak salah sedikitpun. Ini adalah arti jalan lurus atau “shiraatu al-mustaqiim” itu.

Tentang hubungannya jalan lurus dengan kenabian, sudah pasti ada hubungannya. Dan bahkan bukan lagi hubungan, tapi dasar dan pondasinya. Artinya, jalan lurus itu justru tidak bisa diambil kecuali dari ajaran Nabi saw, baik yang diterangkan melalui wahyu Qur'an (wahyu yang makna dan susunan katanya dari Tuhan dan berupa kitab suci al-Qur'an), atau baik melalui wahyu selain Qur'an (baik hadits Qudsi, atau seluruh ucapan dan perbuatan Nabi saww. karena seluruhnya itu adalah wahyu Tuhan yang maknanya dari Tuhan dan susunan kalimat atau penyampaiannya diserahkan ke Nabi saww.).

Dengan demikian, maka sudah tentu tanpa Nabi saww. jalan lurus itu tidak akan pernah terwujud. Masalahnya sekarang adalah apa setelah Nabi saww? Kalau tidak ada orang seperti Nabi saww, yang lengkap ilmunya dan benar semua tentang Islam, yakni tidak ada orang maksum (dalam ilmu dan amal) setelah Nabi saww, maka “jalan lurus” itu sudah pasti tidak akan ada.

Jadi, tanpa imam maksum yang ilmunya seratus persen lengkap dan benar, maka jalan lurus itu tidak mungkin ada.

Tentang hubungan jalan lurus dengan pengembangan ilmu, sudah pasti ada hubungannya. Karena jalan lurus itu dari sisi akhlakiahnya. Yakni jalan lurus itu adalah jalan kehidupan. Sementara pengembangan ilmu itu, adalah alat kehidupan. Jadi, dengan alat apapun, Islam tetap seiring denganya. Karena Islam bagian pengarahan hidupnya itu. Kalau dulu orang diharamkan mengganggu orang dan alat mengganggu seperti merusak alat rumah tangganya atau berteriak- teriak di waktu tengah malam (waktu tidur), maka sekarangpun tetap haram mengganggu orang sekalipun alat ganggunya seperti menyebar virus komputer dan seterusnya.

Saya dulu pernah menerangkan tentang Relatif-vertikal, yakni relatif meningkat ke atas yang sama-sama benar.

Di ini juga berlaku dengan dua dalil setidaknya. Nabi saww bersabda bahwa para nabi tidak berbicara dengan umatnya kecuali sesuai dengan kemampuan umatnya.

Nah, di sini sudah tentu di awal-awal islam, karena peradaban teknologi (bukan akhlaki yang cenderung sama dalam setiap generasi) jaman itu jauh di bawah masa sekarang, sudah tentu Nabi saww, menyesuaikan penerapan syariatnya dengan peradaban teknologi yang ada.

Jadi, hukum keharaman menyebar virus komputer waktu itu belum dinyatakan. Tetapi jelas ada dalam Islam, karena Islam adalah agama yang lengkap sampai hari kiamat. Karena itulah dalam Syi’ah tidak diperkenankan adanya qiyas (meminjam hukum pada suatu benda yang ada pada jaman Nabi saww ke atas benda yang tidak ada pada jaman itu tetapi mirip dengannya). Karena kalau kita meyakini Qiyas berarti meyakini akan ketidaklengkapan hukum Islam. Apalagi tidak ada suruhan Qur'an atau hadits yang menyuruh mengqiyas.

Dalam riwayat Ahlulbait as, dikatakan bahwa setiap ayat Qur'an itu memiliki 7 batin, dan masing- masing masih memiliki 7 batin lagi.

Dengan dua mukaddimah itu, maka dapat dipahami bahwa Islam Yang Jalan Lurus-pun memiliki tingkatan kebenaran. Artinya semuanya jalan lurus, tetapi dari sisi tingkatannya tidak sama.

Ketidaksamaan derajat jalan lurus itu, bisa dilihat dari dua sisi:

Dari sisi alatnya, yakni teknologinya, dimana jelas hal ini tidak menentang perkembangan ilmu. Jadi dari sisi kedalaman hukum atau karakternya yang dimunculkan adalah sama, seperti haram mengganggu orang lain. Tetapi dari sisi alatnya yang sudah dikembangkan, jauh berbeda dimana saking jauhnya teknologi yang baru tidak akan bisa dibayangkan dan dipercaya oleh orang masa lalu.

Contohnya, pernah imam Ja’far as berdebat dengan orang kafir yang sok ilmiah yang mengatakan bahwa hujan bukan dari Tuhan, tetapi dari air yang menguap karena panas matahari dan membeku kembali di langit karena dingin. Imam as, setelah menerangkan bahwa semua yang ada dari air, matahari dan hukum alamnya dicipta Tuhan (tidak terjadi dengan sendirinya) dimana dengan itu maka semua itu bisa dan bahkan harus dikatakan dari Tuhan (seperti hujan).

Setelah itu imam as bertanya pada orang itu “coba kamu lihat batu di sampingmu itu, apakah dia diam atau bergerak?”. Orang itu dengan tertawa menghina mengatakan “jelas diam”. Imam as berkata “dia dalam diamnya itu sedang aktif bergerak dan orang-orang di masa datang yang akan membuktikannya”. Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa dari sisi alat hukum syariat, jelas tidak bisa disamakan. Tapi dari sisi hakikat hukumnya, maka Islam tetap sama.

Dari sisi hakikat hukumnya itu sendiri. Di sini, hukum yang dimaksud adalah dari sisi syariat Islamnya secara umum. Apakah ia berupa keilmuan tentang ke-Tuhanan atau adab di hadapan Tuhan. Ilmu ke-Tuhanan, sekalipun sudah dijelaskan dalam Qur’an dan Hadits, tetap saja memiliki peringkat-peringkat. Karena itulah Tuhan mengatakan untuk mengambil yang lebih baik dari wahyu-wahyu yang diturunkanNya (QS: 39: 55).

Atau di sebuat riwayat dikatakan bahwa Allah menurunkan surat Tauhid karena di masa yang akan datang ada orang-orang yang mendalami tentang ke-Tuhanan.

Jadi, disini perkembangan ilmunya terjadi langsung pada syariat islam itu sendiri. Tetapi ingat , ia tetap vertikal, jadi sama-sama benar. Orang yang memahami bahwa “Katakan bahwasannya Allah itu Satu” adalah benar. Dan yang memahami bahwa “Katakan bahwa Dia adalah Allah dan Allah adalah Satu”, juga benar. Dan kedua pahaman itu berbeda jauh bagai langit dan bumi. Tetapi dalam bentuk vertikal. Karena bagi pemahaman pertama maqam tertinggi itu adalah Allah, sementara bagi yang ke dua, Allah itu adalah Asma dan tajalli dari Huwa/Dia. Karena itulah bagi pahaman pertama kata huwa/dia itu diartikan sebagai kata sambung, yakni “bahwasannya dia adalah”, sedang bagi yang ke dua bermakna “Dia” yang tentu sebagai Subyek kalimat pertama, bukan kata sambung. 

Sedang tentang adab di hadapan Tuhan jelas, bisa dilihat perkembangan vertikal dari syariat Islam dalam bentuk-bentuk seperti irfan amali. Kalau di jaman dulu, mungkin jalan yang terlihat hanya beberapa jalan saja, hingga mencapai fana’ misalnya, tetapi kemudian terlihat ada seribu jalan atau bahkan sejuta jalan. Tentu saja semua itu dari Islam dan Qur'an, tetapi orang dulu tidak mampu melihatnya seperti orang kemudian.

Wassalam. 


Eman Sulaeman dan 6 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 20 Agustus 2018

Lensa (Bgn 12): Tentang Melihat Wajah Rasul saww Dalam Mimpi



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:09


Bermimpi Nabi saww, memang ada maknanya, tapi sekali lagi hal itu tergantung kepada kondisi yang bermimpi. Jadi, mimpi Nabi saww atau selainnya, tetap memiliki makna. Akan tetapi takbirnya, kadang lempeng dan satu kali loncatan, tetapi kadang memiliki beberapa takbir atau jempatan dan loncatan. Yang banyak takbirnya inilah yang dikatakan “kembang tidur” atau “Adhghaatsu Ahlam” (QS: 12: 44). 


Tentang apakah yang dilihat dalam mimpi itu benar-benar Rasul saww.? Maka sebelum menjawab perlu saya ingatkan pada hadits Nabi saww yang sangat terkenal yang berbunyi “Kalau kalian bermimpi aku, maka itu adalah aku, karena syetan tidak bisa meniru wajahku”. Hadits ini telah sering disalahmaknakan dan disalahtafsirka. 

Dikatakan bahwa siapa saja yang bermimpi Rasul saww. maka itu pasti beliau karena syethan tidak bisa meniru wajahnya. Ini penafsiran yang salah pada hadits di atas. Karena Nabi saww, waktu itu sedang berbicara dengan shahabatnya. 

Jadi, kalau shahabatnya melihat beliau dalam mimpi, itu pasti beliau saww. karena syethan tidak bisa meniru wajah beliau saww. Jadi, hadits itu diperuntukkan kepada shahabat, artinya orang yang tahu wajah beliau saww. 


Tapi bagi yang tidak tahu wajah beliau, lalu darimana mengatakan bahwa yang dilihatnya dalam mimpi itu adalah beliau saww? 

Jadi, bagi yang tidak kenal beliau saww. maka tidak ada dalil atas kebeliauan beliau saww. sekalipun dalam mimpinya itu seseorang mengaku beliau, apalagi hanya dikira yang bermimpi atau dikira dalam mimpinya itu atau dikatakan oleh orang lain dalam mimpinya itu. 

Jadi, yang tidak kenal beliau saww. tidak bisa sama sekali memastikan kebeliauan beliau saww. 

Mungkin Anda berkata, apakah berarti syethan telah meniru wajah Rasul saww di dalam mimpi kita? Karena kalau di mimpi para shahabat atau yang mengenal wajah beliau saww maka dapat dipastikan kebeliauannya beliau, karena wajahnya jelas dikenali dan syethan tidak bisa menirunya. 

Menjawab pertanyaan ini, yakni apakah syethan telah meniru wajah Rasul saww? Jawabnya ada dua kemungkinan: 

a. Kalau yang kita lihat itu memang Rasul saww, sekalipun kita tidak kenal, tetapi di dalam ilmu Tuhan memang Rasul saww, yakni berwajah Rasul saww, maka orang itu pasti Rasul saww. 

b. Kalau ternyata bukan Rasul saww, maka syethan telah menipu kita dengan mengatakan bahwa ia adalah Rasul saww, atau orang lain dalam mimpi itu atau diri sendiri dalam mimpi itu. Dan Nabi saww tidak mengatakan bahwa hal tersebut sesuatu yang tidak bisa dilakukan syethan. Jadi, syethan memang tidak bisa meniru wajah Rasul saww, tetapi mengaku Rasul saww, tentu bisa. Jangankan mengaku Rasul saww, mengaku Tuhan juga bisa, seperti kita-kita ini. 

Jadi, syethan bisa dengan wajahnya sendiri atau siapa saja yang dia suka tiru, datang ke mimpi kita dan setelah itu ia mengaku Rasul saww. 

Sekarang, apakah yang datang kepada kita yang bukan wajah Rasul saww dalam ilmu Tuhan itu adalah pasti syethan? Belum tentu. Karena bisa saja dari dalamnya cinta seseorang kepada Rasul saww yang tidak dibarengi dengan ketaatan yang tinggi, hingga cintanya belum bisa menembus awan untuk mencium kaki Rasul saww, hingga yang datang menjelma ke dalam mimpinya hanya semacam bayang-bayang Rasul saww. 

Jadi, banyak sekali sebab yang bisa mempengaruhi kebukanan wajah Rasul saww yang datang dalam mimpi kita.

Pertanyaan : Bagaimana Dengan sholat Istikhoro yang tujuannya adalah agar Allah mau “memperlihatkan” wajah siapa yang akan menjadi jodohnya,.. 

Dan Alhamdulillah setelah sholat dan membaca doa-doa kepada Allah, muncul sesosok wajah,? 

Jawab : Untuk jodoh itu jelas tidak ada dalam Islam, yang ada adalah pilihan manusia yang diketahui Tuhan sejak sebelum penciptaan, jadi bukan penentuanNya. 

Orang yang terlihat dalam mimpi setelah shalat itu, belum tentu petunjuk Tuhan, bisa saja petunjuk syethan. Karena dari mana dan apa dalilnya kalau shalat dan doanya sudah diterima Tuhan? 

Kalaualah benar dari Tuhan, maka maknanya adalah orang itu baik untuknya, tetapi bukan berarti jodohnya. Jadi, si pemimpi tetap bisa memilihnya atau memilih yang lainnya. Tetapi kalau memilihnya maka ia adalah orang yang dalam pandanganNya adalah baik untuknya. 

Tentu kalau mimpinya benar. Misalnya Nabi saww atau imam maksum as mengatakan bahwa mimpinya benar-benar petunjukNya. Tetapi kalau tidak ada jaminan, maka ukuran memilih pasangan tetap akal dan agama yang diutamakan, walau jelas memilih karena mimpi juga tidak diharamkan, tetapi tidak dianjurkan. 

Wassalam. 

5 orang menyukai ini. 

Dadan Gochir: Bagian yang wahdatul wujud 1 belum ada ya? 

Anggelia Sulqani Zahra: Sudah bang.. coba buka di kolom Dokumen. 

28 Juni 2011 pukul 19:14 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Lensa (Bgn 11): Sikap Diam Imam Ali as



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:06



Dari sejarah dan riwayat, kita tahu setidaknya Sayyidah Fathimah as dianiaya beberapa kali. Misalnya, ditonjok Umar hingga memar mukanya, yaitu dikala beliau as kembali dari rumah Abu Bakar dan telah berhasil mendapat surat tanah Fadak yang dirampas oleh Abu Bakar sebelumnya. Yakni, ketika beliau as pulang dari rumah Abu Bakar itu, di tengah jalan, bertemu dengan Umar. 

Umar berkata: “Dari mana?” Dijawab: “Dari rumah Abu Bakar”. Ketika Umar melihat surat ditangannya, maka ia mengerti bahwa sudah pasti surat itu adalah surat pelimpahan tanah Fadak, karena dalam perampasannya, memang dilakukannya berdua dengan Abu Bakar sementara Abu Bakar sering menyesali dan menangis dengan keputusannya membuat kudeta kekhilafaan dan merampas tanah Fadak itu. Maka karuan saja Umar langsung merampas surat tersebut sambil memukul beliau as yang lemah itu seraya merobek habis surat tersebut. 


Ketika siti Fathimah as sampai di rumah yang sembari menangis, melihat imam Ali as sedang duduk di rumah. Beliau as mengatakan kepada imam Ali as: “Ya Ali, andaikata kamu tahu apa yang dilakukan orang kepadaku, maka kamu tidak akan duduk tenang seperti ini”. Imam Ali as menjawab: “Aku tidak akan keluar selangkahpun dari yang telah digariskan Rasulullah saww”. 

Misalnya, ketika rumah Sayyidah Fathimah as dibakar oleh Abu Bakar yang mengutus pasukan yang dipimpin Umar. Dibakar karena ingin memaksa imam Ali as keluar dan berbaiat kepadanya (Abu Bakar). Kala itu, rumah Sayyidah dibakar pintunya, dan ketika pintu dan palangnya (kunci dari dalam pada masa itu) sudah terbakar maka ditendang dari luar sementara beliau as ada di balik pintu yang selalu berteriak “Apa yang kalian lakukan, tidak takutkah kepada Allah, Nabi saww baru saja meninggalkan kalian, aku adalah putri Muhammad saww nabi kalian, dan seterusnya”. Tapi semua kata-kata itu tidak membuat mereka terhanyut, bahkan mereka menendang pintu itu dan mengenai beliau as yang sedang hamil, hingga beliau as tersungkur ke bumi dengan rusuk patah dan kandungan gugur. 

Oh...tak sanggup rasanya kuteruskan tulisan ini, tapi ada daya...harus kutulis pula, harus kutulis....ya ...Zahra’....ya.... Husain....maafkan ...maafkan....bukan maksud hati mengurai kembali masa-masa pahit dan penghinaan terhadap antum semua, tapi karena antum sendiri yang memerintahkan kami semua untuk menceritakan musibah-musibah antum, maka maafkan kelancangan jemari kami hingga melukis robohnya, gugurnya kandungannya...dan seterusnya. 

Masih banyak pengenaiayaan yang beliau as rasakan, tapi kita cukupkan di dua contoh ini saja. Pembahasan yang bisa kita lakukan pada dua peristiwa yang menyayat hati itu banyak sekali. Tapi saya akan mengurai sedikit saja, 

Pada Misal pertama

1. Imam Ali as sudah tahu peristiwa itu terjadi, baik melalui Nabi saww atau kasyafnya. Ketidak bereaksian beliau as sudah diperintahkan Nabi saww. Artinya Nabi saww dalam hal tersebut menyuruhnya sabar dan tidak bereaksi. 

Karena imam Ali as pernah membanting Umar di tempat umum sambil berkata: “Yang ini Rasul saww tidak berpesan”. Yakni ketika imam Ali as menguburkan Sayyidah Fathimah as secara tersembunyi dan membuat 40 kuburan palsu di Baqi’. Karena Sayyidah Fathimah as ingin membuat bukti bersejarah tentang adanya prahara dan kudeta terhadap imam maksum setelah Nabi saww dimana telah menyelewengkan para shahabat dan muslimin dari imam maksumnya dan jalan-lurusnya alias shiratulmustaqimnya maka beliau berwashiat kepada imam Ali as untuk tidak disembahyangi dan dikuburkan oleh musuh-musuhnya. Oleh karena itulah imam Ali as menguburkan beliau as di malam hari. 

Umar, yang memang sudah tidak disapa oleh sayyidah Fathimah as sejak masih hidup dan akan diadukan ke Allah dan Rasul saww nanti di akhirat (Shahih Bukhari, Muslim dan lain- lain), mencium taktik Sayyidah as itu, atau setidaknya takut kejahatannya disaksikan sejarah dengan tidak ketahuannya kubur beliau as. Karena itulah ia, dengan mengajak seluruh penduduk Madinah (karena takut kepada imam Ali as kalau maju sendirian) untuk berkumpul dan mengajak mereka menggali kuburan-kuburan itu lagi untuk menemukan Sayyidah as dengan alasan penghormatan dengan berkata: ”Putri Rasul saww telah meninggalkan kita, tapi kita belum menyolatinya, mari kita bongkar lagi kuburan-kuburan ini dan menyolatinya demi hormat kita dan syukur kita kepada Nabi saw. 

Setelah imam Ali as tahu apa yang dilakukan Umar, maka beliau as langsung mengambil Dzulfiqar dan memakai surban merah yang kebiasannya dipakai kalau perang sedang dahsyat. Imam Ali as datang dan langsung membanting Umar dengan sekali gibas saja sambil berkata: “Demi Allah akan kubelah kamu menjadi dua sebelum menyentuh kuburan- kuburan itu, karena Nabi saww tidak berpesan tentang hal ini”. Umar yang memang sangat takut kepada imam Ali as itu, berkata:”Bagaimana kalau kami semua membongkar kuburan- kuburan itu?”. Imam Ali as menjawab:” Sekalipun”. Yakni sekalipun semua orang Madinah berusaha menyentuh kuburan-kuburan itu, maka akan kuperangi semuanya. 

Haidar/Singa sudah keluar, pintu Khaibarpun yang buka-tutupnya perlu 12 orang diangkat hanya dengan tangan kirinya, maka siapa yang berani mendekatinya? 

2. Semua kejadian itu ada sanad dan riwayatnya, yang sebagiannya di sunni (seperti penyerangan ke rumah dan perampasan tanah Fadak serta penyesalan dan tangisannya Abu Bakar) dan sebagian lainnya di syi’ah (bc: lebih detail). 

Dengan penjelasan di atas, kita menjadi tahu bahwa semua yang dilakuakan imam Ali as, baik diam atau tidaknya, sudah digariskan Tuhan melalui Rasul saww. Dan sudah selayaknya sebagai orang Syi’ah tidak mempertanyakan apa yang dilakuakan para imam as, sekalipun boleh saja menanyakannya atau mencari hikmah di dalamnya. 

3. Guru saya, pernah saya tanyai: "Bukankah sepintas terlihat dari sejarah dan riwayat pertama itu bahwa kedua maksum beda pandangan, karena Sayyidah Fathimah as menginginkan dari imam Ali as untuk membalas Umar, sementara imam Ali as tidak menginginkan hal itu karena bersandar pada perintah dan pesan Rasul saww?”. Beliau menjawab: “Ilmu-ilmu kasyaf, tidak menjadi ukuran fikih dan kehidupan keseharian, karena kalau hal itu terjadi, maka kita, tidak akan pernah tahu apa-apa terhadap yang dialami Ahlulbait as”. Jadi, kalau sepintas kita melihat adanya dua keinginan berbeda dari dua maksum as, maka hal itu bukan berarti merusak kasyaf dan apalagi kemaksuman mereka. Karena mereka harus (kewajiban agama dan akal) sebagaimana hidupnya manusia lahiriah atau biasa. Walaupun, sudah tentu, tetap tidak keluar dari garis kemaksuman atau tidak keluar dari ketaatan atau masuk ke dalam larangan Allah (tidak maksiat). 

Pada Misal ke dua

1. Pada kejadian itu, tentu saja, setelah pintu terdobrak, mereka menyerang masuk dan mengikat imam Ali as dan ditariknya ke masjid untuk berbiat kepada Abu Bakar hingga terjadilah baiat yang terkenal itu yang, selalu dijadikan dalil oleh pembela yang pertama sebagai bukti kebenarannya karena imam Ali as sudah baiat. Padahal, dengan pintu dibakar dan didobrak dan dalam keadaan terikat dimana kalau tidak baiat pada waktu itu diancam akan dipenggal kepalanya. 

Abu Dzar yang pemberani, tidak tahan melihat kejadian itu, dan langsung mengeluarkan pedangnya dan menantang Umar untuk bertanding. Tapi imam Ali as segera memerintahkannya untuk menyarungkan lagi pedangnya dan bersabar. 

Yang mampu mengikat imam Ali as hanya pesan dan perintah Rasul saww, sementara rantai besipun tidak akan mampu menahannya sebagaimana pintu Khaibar. 

2. Pada kejadian itu, ketika imam Ali as sudah diikat dan diseret ke masjid, Sayyidah Fathimah as sempat menahan imam dan suaminya itu dengan memegangi bajunya, akan tetapi para penyerbu menebas tangannya dengan pedang yang bersarung, hingga terlepas. 

Ya ...Zahra’...ya Husain...kami bersaksi terhadap kemazhluman antum semua. ‘Alaikum minna jami’an salamullah ma baqayna wa baqiya al-lailu wa al-nahar.

Simpulan: Dari dua contoh riwayat di atas, dapat dipahami bahwa imam Ali as tidak menolong dalam penyerbuan ke rumah Sayyidah Fathimah as itu karena beliau sendiri menghadapi serangan dan justru karena beliaulah as (imam Ali as) rumah beliau as (Sayyidah Fathimah as) diserang. Dan sudah tentu keterdiaman imam Ali as, karena perintah dan pesan Nabi saww, bukan karena takut dan apalagi tidak acuh terhadap istri. Begitu juga pada kejadian pertama. Yakni, diamnya imam Ali as, karena perintah dan pesan Rasul saww. Sudah tentu demi Islam secara lahiriah sebagaimana banyak dibahas dalam filsafat sejarah. 

Bagi hemat saya, para pengkudeta itu, justru semakin menjadi-jadi karena melihat imam Ali as tidak melawan dimana dapat dipahami oleh mereka bahwa begitulah pesan Nabi saww, yakni tidak melawan. Jadi, hal itu dijadikan kesempatan oleh mereka. Karena kalau imam Ali as sudah mencabut Dzulfiqrnya, maka siapa yang berani mendekatinya? Ya....Haidar...ya ...Haidar... 

Jawaban saya ini, tidak saya ijinkan untuk dijadikan huru hara kepada saudara-saudara kita Ahlussunnah, karena kita harus menjaga persatuan. Saya menjawab ini, karena yang bertanya adalah orang Syi’ah, maka saya tidak bertakiah dalam menerangkannya. Oleh karena itu pula saya tidak terlalu melelahkan diri untuk menyebutkan alamat setiap riwayatnya. 


Artinya, saya menulis jawaban ini kepada orang syi’ah yang mempercayai gurunya yang juga syi’ah bahwasannya tidak mengarang dari kantongnya sendiri. Walau, sudah tentu, hubungan guru dan murid ini sebatas lewat alam maya fb ini. Semoga batin kita semua memanglah diikat olehNya dalam kebaikan setidaknya, sekalipun tidak dalam hubungan guru dan murid, karena saya tidak layak menjadi guru, para hati yang begitu tulus terhadap kebenaran. 

Wassalam. 

Ikhwan Abdullah JongJawi, Khommar Rudin, Irsavone Sabit dan 27 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Sulaeman Eman لّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد وعَجِّلْ فَرَجَهُ

Sulaeman Emanلّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد وعَجِّلْ فَرَجَهُ 

Sulaeman Emanلّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد وعَجِّلْ فَرَجَهُ

Alie Sadewo: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

MOhd. Arvian Taufiq: Sallam Alaika Ya Rosulullah, sallam Alaika ya Imam, Ya Zahra...sungguh membaca penjelasan Ustad, membuat mata ana tergenang air mata. Syukron ustad sudah meringankan dan memberanikan penjelasannya yang sangat tajam dan gamblang. Semoga antum selalu dalam kebaikan dan kesehatan. 

Eman Sulaeman: Allahummal’an Muawiyah wa Syiatuhum ilaa yaumil qiyamah. 

Edo Saputra: Asalamualaiki ya syaidah Fatimah,, aku ikut bersedih atas deritamu, namamu dan hatimu begitu indah, bagaikan rembulan yang sedang bersinar,,, Oh syaidah Fatimah,,, engkaulah satu- satu putri rosul yang sangat dicintai, hingga namamu selalu terukir di hati nabi, tahukah engau ya Fatimah,,, di hati ayahmu hanya ada Allah swt, dan sungguh agung diri mu wahai putri rosulluloh, tidak ada seorangpun yang mempunyai kedudukan di hati rosul hanya Allah swt, dan dirimu. Tahukah engkau wahai wanita penghuni surga, bahwa engkaulah adalah salah satu Wanita yang mendapat ridho NYA. 

2 November 2012 pukul 12:14 · Suka · 4


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 10): Tentang Mimpi



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:04


Mimpi itu adalah hujjah Tuhan akan keberadaan barzakhi (non materi yang masih memiliki sifat- sifat materi selain bebannya). Ayatullah Jawadi pernah mengatakan bahwa suatu ketika ada seorang nabi yang menceritakan hakikat surga dan neraka yang tidak terikat ruang dan waktu, abadi, dan seterusnya. Orang-orang bertanya seperti apa dan seperti apa. Akhirnya Tuhan mencipta mimpi itu. Lalu di pagi harinya, mereka datang kepada nabi tersebut dan berkata bahwa sungguh aneh karena dalam keadaan tidur dan terpejam mata, tapi telah melihat banyak hal (mimpi). Nabi as itupun berkata “Seperti itulah akhirat itu”. 

Mimpi itu biasanya memiliki makna. Tetapi maknanya tergantung pada keadaan masing-masing orang. Oleh karenanya satu mimpi bisa memiiki makna yang berbeda pada orang yang berbeda. Ta’bir mimpi artinya ‘Abara. Yakni “melewati”. Jadi dari mimpi sesuatu, ke sesuatu yang lain. Yakni sesuatu yang pertama itu menjadi jembatan dan lewatan menuju sesuatu yang ke dua yang sebagai maknanya. 

Mimpi itu bisa memiliki satu lewatan/ta’bir bisa juga lebih. Jadi tidak bisa dipastikan, karena sesuai dengan keadaan masing-masing orang dan bahkan sesuai dengan keadaannya hari itu. Biasanya, mimpi orang yang tidak suka bohong, memiliki ta’bir yang lebih sedikit, dan bahkan mungkin satu takwilan saja. Tetapi yang tahu pasti maknanya hanyalah orang arif. Sedang yang tidak arif hanya bisa menebak-nebak saja sesuai dengan kebiasaannya. 

Wassalam. 

Bande Husein Kalisatti, Khommar Rudin dan 9 orang lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad wa ajjilfarrajahum. 

14 Juli 2012 pukul 18:42 · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 9): Tentang Shufi




Oleh : Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:03


Shufi itu adalah orangnya dan tashawwuf adalah ajarannya. Jadi tidak beda dari keduanya. Dan pada awalnya shufi ini dikatakan kepada orang yang meninggalkan sosial dan pergi ke gunung atau gua-gua untuk menyendiri dan meninggalkan semua kemewahan hingga hanya memakai baju paling sederhana, yaitu bulu domba yang karenanya mereka dikenal dengan Shufi (yang memakai bulu domba). Sebagian orang mengira menafsirkan shufi dengan suci atau bersih, padahal yang bermakna bersih itu adalah Shafwan atau Shafaa’, bukan Shufi yang bermakna bulu domba. Akhirnya kata Shufi itu ditetapkan atau dinisbahkan kepada orang yang mengejar wahdatulwujud.

Di sini, mereka dibagi menjadi dua, ada yang shufi beneran, yang lurus jalannya, dan ada pula yang sok shufi yang dikatakan oleh Mulla Shadra ra sebagai Mutashawwifah, yakni sok shufi atau demam shufi. Tanda beda yang membedakan kedua kelompok itu, yakni yang menyimpang dan yang benar, adalah: Yang menyimpang memiliki ajaran Ittihad (menyatu dengan Tuhan) dan Hulul (disatui Tuhan), dan dalam ajarannya mereka mengajarkan wirid-wirid bersama, wirid-wirid tertentu dan meninggalkan dunia secara mutlak, artinya hidup miskin dan meninggalkan semua kegiatan sosial.

Sedang yang benarnya adalah yang juga disebut dengan ‘Arifin atau orang-orang Arif atau juga Irfan. Mereka mengejarkan wahdatulwujud dan mengajarkan juga pencapaiannya dengan jelas dalam pengajaran-pengajaran mereka atau dalam kitab-kitab mereka. Di sini tidak ada Hulul dan Ittihad itu, karena selainNya tidak ada, hingga bisa dimasuki atau dihululiNya atau menyatu denganNya. Dan caranya adalah dengan meninggalkan yang haram dan makruh dengan hati dan amal, lalu meninggalkan dengan hati tanpa amal apa-apa yang dihalalkan, disunnahkan, diwajibkan, dianjurkan, karamat, surga, ....dan seterusnya.

Artinya semua itu dilakukannya bukan atas dasar suka, tetapi karena ingin mencapaiNya, yakni ingin membuang tabir yang ada pada dirinya dimana karena tabir itu ia telah merasa ada, merasa bahwa selainNya itu juga ada. Jadi, semua perbuatan baiknya dan menjauhi amal-amal buruk, dan stersunya dikarenakan ingin merasakan hakikat ketiadaan selainNya. Artinya orang yang mensucikan dirinya dari selain Tuhan. Orang-orang seperti ini sudah jelas ada sejak Nabi Adam as. Karena Nabi Adam as adalah insan kamil pertama. Akan tetapi thariqat-thariqat yang ada di antara para shufi dalam Islam ini sangat hingar bingar. Alias tidak bisa dipastikan yang mana yang benarnya.

Deteksi pentingnya adalah, karena Nabi saww mengatakan bahwa syariat itu adalah perkataannya/ ajarannya, thariqat itu adalah perbuatannya sedang hakikat itu adalah capaiannya, maka deteksi yang paling penting adalah : 

a. Apapun ajaran yang akan dilakukan harus bersumber kepada Islam yang argumentatif. 

b. Apapun capaian yang akan dicapai harus tetap berdasar kepada sebab capaiannya itu, yakni syariat. Jadi tidak siapapun bisa meninggalkan syariat, karena dengan meninggalkannya maka ia akan kembali jatuh ke tempat semula. 

Pembersihan sering dikatakan shufi, oleh karenanya maka bisa dikatakan sebagai filosof, seperti Plato yang mengandalkan pembersihan diri dalam memahami yang, dikenal dengan filsafat Isyraq (iluminasi). Tetapi kalau shufi yang shufi yang sekalipun tidak menyimpang itu, sangat anti terhadap filsafat hingga mereka mengoloki filosof dengan mengatakan “siang tidak bisa diterangi dengan lilin”. Oleh akrena itulah maka Mulla Shadra ra telah berusaha dan berhasil memadukan konsep hati yang dimiliki shufi-lurus, dengan filsafat yang dimiliki filosof-Masysya’ (parepatetik), hingga menjadi Filsafat Muta’aliah (filsafat tinggi Mulla Shadra-i). 

Khommar Rudin, Pasky Wind dan 7 orang lainnya menyukai ini. 

Uki Jafar: Syukron. 

Siti Handayatini: Love 2 C U back here to assist Pak SA, Anggelia! Love & lights... 

30 Januari 2012 pukul 22:51 · Suka · 1


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 19 Agustus 2018

Lensa: 8, Inkarnasi Atau Raj’ah?



by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 6:43 am


Oleh : Ustad Sinar Agama

Bismillaahirahmaanirahiim.. Reinkarnasi tidak ada dalam kamus akal, apalagi agama. Reinkarnasi adalah masuknya ruh lain (manusia) ke dalam badan yang lain pula. Padahal dalam Filsafat setiap benda memiliki ruhnya tersendiri. Dan sebuah esensi atau spesies adalah yang mencakupi keduanya (badaniah dan ruhaniahnya). Kambing tidak bisa dikatakan kambing kecuali dengan ruh kambing yang telah terproses sejak dari ruh binatang lemah yang ada pada mani kambing.

Jadi di samping ruh manusia tidak akan bisa masuk ke esensi kambing karena kambing dikatakan kambing karena terproses dari ruh mani kambing ke ruh kambing, artinya tidak bisa mengubah dan mengusir ruh kambing, kemustahilan itu juga karena setiap materi memiliki ruhnya tersendiri yang tidak terpisahkan dan tidak mungkin dipisahkan karena ia adalah kesatuan natural, bukan kesatuan produksi yang bisa dicopot dan diganti-ganti.

Jadi, ayat–ayat al-Qur'an menunjukkan penghidupan kembali manusia di akhirat. Tetapi bisa juga di dunia ini pada raj’ah-nya sebagian orang (raj’ah adalah dihidupkannya kembali beberapa orang di dunia ini lalu dimatikan lagi).

Raj’ah itu dihidupkannya sekali lagi beberapa orang yang telah mati di dunia ini. Dalam QS: 40: 11, orang-orang ini berkata: ”Mereka berkata Tuhan kami, Engkau telah matikan kami dua kali dan hidupkan kami dua kali dan kamipun mengakui dosa-dosa kami, lalu apakah masih ada jalan keluar ?

Orang yang tidak percaya raj’ah ini mengartikan mati dua kali itu adalah mati sebelum dicipta dan setelah dicipta, sedang hidup dua kali adalah setelah dicipta dan setelah dibangkitkan nanti.

Padahal :

(1) Allah dalam Qur'an ini mengatakan ”...Mematikan kami” Yakni pakai kata kerja yang perlu kepada obyek, sementara sebelum dicipta adalah ketiadaan yang tidak bisa dijadikan obyek. Kalau memakai kata ”Mati”, maka bisa diartikan ”tiada”, tapi kalau ”dimatikan” maka tidak bisa diartikan ”tiada”.

(2) Hidup dua kali, juga demikian. Yakni hidup di dunia dan hidup setelah kehidupan pertama itu, bukan kehidupan di akhirat karena yang di akhirat itu adalah yang ke tiga. Karena ayat itu dalam rangka menukil kata-kata orang yang tidak mengabdi setelah diberi kesempatan dua kali. Jadi kehidupan dua kali itu dalam rangka beramal shaleh tetapi disia-siakan. Sedang kehidupan akhirat itu untuk dihisab dan diadili, bukan untuk usaha dan ikhtiar. Karena itulah mereka meminta lagi kehidupan ikhtiar yang lain dengan mengatakan ”..lalu apakah masih ada jalan keluar?”, yakni apakah Engkau Ya Tuhan masih berkenan memberikan kesempatan berikhtiar sekali lagi? 

Kalau QS: 2: 28, memang juga sangat terasa keraj’ahannya, karena di sana dikatakan +/-: dimana kalian dulu mati (tiada), lalu Dia menghidupkan kalian, lalu mematikan kalian, lalu menghidupkan kalian, lalu kepadaNya kalian dikembalikan.

Memang, mati pertama itu adalah tiada karena mati dan bukan dimatikan. Tetapi dari sisi dihidupkan disini, terjadi dua kali dihidupkan dan, sebelum dikembalikan kepada Tuhan. Padahal kita memahami bahwa hari pengembalian itu adalah hari kebangkitan. Sedang penghidupan ke dua di atas, sebelum hari pegembalian itu sendiri.

Tetapi kalau ayat 259 surat Al Baqarah itu hanya pendukung saja. Karena ia adalah salah satu raj’ah itu sendiri, bukan raj’ah yang kita bahas. Sekalipun keduanya adalah raj’ah.

Jadi dari sisi Raj’ah maka ayat itu sebagai bukti kebenaran raj’ah karena ianya adalah kejadian itu sendiri, bukan dalil untuk ke depan. Karena dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ada orang yang seperti sangsi terhadap Kuasa Tuhan dalam menghidupkan orang mati setelah melihat desa yang mati, lalu Allah mematikan orang tersebut dan menghidupkan kembali di kemudian hari.

Dan tentang ashabulkahfi adalah penguat raj’ah seperti ayat pertama itu. Artinya Raj’ah itu tidak mustahil karena sudah terjadi, seperti ashabulkahfi itu atau seperti orang yang ragu di atas itu. Sedang yang akan dihidupkan nanti adalah dari dua kelompok, dari yang baik dan yang jahat. Tentu tidak semuanya. Dan sangat mungkin bahwa yang akan dihidupkan nanti adalah termasuk orang-orang yang di jaman sebelum Islam kita ini.

Riwayatnya banyak sekali, diantaranya: 

عن الحسن بن شاذان الواسطي قال :كتبت إلى أبي الحسن الرضا عليه السالم أشكو جفاء أهل واسط وحملهم علي وكانت عصابة من العثمانية تؤذيني فوقع بخطه :إن اهلل تبارك وتعالى أخذ ميثاق أوليائنا على الصبر في... دولة الباطل فاصبر لحكم ربك فلو قد قام سيد الخلق لقالوا :يا ويلنا من بعثنا من مرقدنا هذا 
ما وعد الرحمن وصدق المرسلون - الكافي 247 / 8 الرقم346 

Yang artinya kurang lebih al-Hasan bin Syadzan berkata: Aku menulis surat kepada imam Ali al-Ridha as, aku mengeluhkan akan keringnya orang-orang Wasit (kota lama di Iraq antara bashrah dan Kufah) dan penyerangan mereka terhadapku, begitu pula tentang sekelompok dari pengikut Utsman yang menyakitiku, lalu beliau as menjawab: ”Sesungguhnya Allah telah mengambil janji dari pengikut kami atas kesabaran untuk hidup di pemerintahan batil, maka dari itu bersabarlah demi perintah Allah, dan nanti kalau sudah datang penghulu makhluk (imam Mahdi as) maka mereka (para mukmin itu) akan berkata: ”Duhai siapakah yang telah membangunkan kami dari tidur kami ini? (dikatakan) Inilah yang telah dijanjikan Sang Maha Pengasih, dan telah benar orang-orang yang diutus (para rasul). al-Kaafi: 8: 247.

Sekian. Alfatihah ma’a al-sholawat. Wassalam. 

In this note: Sinar Agama, Haerul Fikri, Natsir Said, Syaharbanu Bob, Noer Aliya Agatha, Nebucadnezar Pecinta Keadilan, Muhammad Yusuf S Tarigan, Annisa Asiyah Khadija, Saiful Makshum, Saiful Bahri, Fatimah Zahra, Cut Yuli, Hendy Al-Qaim, Roman Picisan, Rizky El Hallaj, Indra Gunawan, tika Maria, Bin Ali Ali, Don Flores 

Anwar Mashadi: dan 22 orang lainnya menyukai ini.

Rizky El Hallaj: -Apa sebabnya kita mengenakan hidup atau dari apa hidup itu ??? 

-Dalam hidup kita perlu tidur, siapa yang mengajak tidur ??? 

-Apa sebab orang mati, dan dalam kematian ada apa ??? 

-Apabila kita telah mati, apakah kita akan kembali menjadi bayi atau tetap tinggal di sana ??? 

Saiful Bahri: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Saiful Bahri: Syukran tag nya... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ