Minggu, 23 Februari 2020

Tauhid (Bagian 1): Apakah Tuhan dibatasi hukum kausalitas ?


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=223765751001562 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 26 Juli 2011 pukul 15:06


(1) Definisi atau Pengertian Hukum Kausalitas. Apa yang dimaksud dengan kausalitas? Kalau maksudnya adalah «Setiap yang terbatas memiliki sebab", maka jelas sekali Tuhan tidak terikat dengan hukum ini. Karena Tuhan Tidaklah Terbatas.

(2) Kalau maksudnya «Setiap yang ada memiliiki sebab", maka pernyataan ini salah dari asalnya. Karena pernyataan ini muncul dari orang yang tidak memahami filsafat. Karena keperluan kepada sebab itu bukan dari konsekuensi «wujud" itu sendiri, tapi dari konsekuensi «keterbatasan".

(3) Kalau yang dimaksud hukum kausalitas adalah «Sesuatu itu kalau bukan akibat maka ia sebab atau sebab dan akibat". Maksudnya, bisa saja sesuatu itu adalah sebab saja, seperti Tuhan, atau akibat saja seperti akibat terakhir, atau sebab dan akibat seperti wujud-wujud yang ada di tengah-tengah antara wujud Tuhan dan akibat terakhir (kiamat), seperti kita-kita dan alam lingkungan ini. Maka, maksud ini bisa dikatakan tidak umum. Artinya tidak umum dimaksudkan oleh penyata yang menyatakan «kausalitas". Ini yang pertama dari no 3 ini.

Ke dua, baik dari maksud pertama atau ke dua dan ke tiga ini, yakni «hukum kausa" atau «kausalitas" ini, adalah termasuk pahaman intiza'i akli. Yakni suatu pahaman yang diambil oleh akal yang tidak berasal dari esensi atau «ma huwi".

Jadi, kalau dikatakan bahwa dia adalah pahaman akal saja, maka beliau benar dalam hal ini. Yakni maksudnya adalah pahaman yang tidakbersumber dari esensi dan sekitarannya, seperti spesies, genus, deffrentia, sifat khusus dan sifat umum. Maksudnya adalah suatu pahaman yang tidak memiliki keberadaan nyata layaknya sebuah esensi. Jadi, kausalitas, hukum kausa, sebab dan juga akibat, adalah bukan dari jenis esensi. Artinya, akal kita memahminya dengan menyimpulkannya setelah akal melihat hakikat dan kejadian serta konsekuensi- konsekuensinya. Yakni, ketika akal melihat dengan selalu dan tidak berubah, bahwa biji padi akan menumbuhkan-selalu pohon padi, maka memahami bahwa biji padi adalah sebab dan pohon padi adalah akibatnya. Atau ketika akal melihat bahwa setiap yang terbatas itu memiliki batasan dan awalan dimana sebelum awal itu berarti tidak ada dan kalau ada setelah itu maka pasti diadakan oleh yang lain karena yang tak ada tak mungkin mengadakan dirinya sendiri dan/atau tidak mungkin juga dibuat ada sekalipun, maka akal memahmi bahwa pengadanya adalah sebabnya dan yang terbatas tersebut adalah akibatnya.

Jadi, sebab dan akibat atau kausalitas dan hukum kausa, bukan merupakan keberadaan nyata seperti esensi. Jadi, dia berupa pemahaman yang disimpulkan secara pasti dari wujud nyata.

Sebenarnya yang ada hanyalah di dia A yang meng-adakan si dia B. Dari pengadaan itulah disimpulkan oleh akal secara pasti bahwa si A=sebab dan si B=akibat. Jadi sebab dan akibat itu adalah wujud akal.

Ke tiga, ketika sebab, akibat, kausalitas dan hukum kausa itu adalah wujud-wujud akal, yakni bukan wujud nyata sebagaimana esensi-esensi yang lain, maka hal ini akan sangat mempengaruhi arti dari kata «terikat" di atas.

Dengan demikian, maka keterikatan itu tidak lagi bisa diartikan «jeratan", tetapi akan keluar dari makna yang umum. Karena akan menjadisemisal «Keniscayaan akal", «Kepahaman akal", yakni bahwa «Secara akal atau secara yang dipahami akal (bukan pengikatan) bahwa setiap sesuatu itu kalau bukan sebab maka dia adalah akibat atau akibat dan sebab sekaligus".

Misalanya kita mengatakan bahwa «Yang tidak terbatas tidak memiliki sebab", «Yang terbatas harus bersumber dari sebab yang tidak terbatas", «Tuhan (yang tidak terbatas) harus ada, wajib ada, mestilah ada" dan seterusnya. adalah pernyataan dan hukum yang sepintas menjerat Tuhan juga. Padahal kalau dilihat secara teliti, maka semua itu adalah kenyataan akal, yakni yang bisa dijangkau dengan akal, yakni kepahaman akal, yakni begitulah yang dipahami akal dan semacamnya, bukan jeratan nyata, bukan jeratan akal, bukan jeratan hukum dan seterusnya.

(4) Hukum Kausa adalah sebuah hukum. Nah, nasib hukum ini adalah sama dengan hukum- hukum yang lain. Artinya dia juga merupakan pahaman akal seperti sebab, akibat dan seterusnya itu. Jadi, kalau dia adalah hakikat pahaman akal, maka tidak mungkin menjerat Tuhan. Jangankan menjerat Tuhan, menjerat akibat dan makhlukpun, tidak mungkin. Karena «Hukum" adalah keberadaan akal saja, dan si B (bukan ke-akibatannya) adalah hakikat nyata di alam nyata di luar akal. Jadi, jangankan Tuhan, makhlukpun tidak mungkin dijerat hukum.

(5) Memang, secara penjeratan akliah, bukan khorijiah, yakni secara penjeratan pahaman bukan kenyataan, makhluk bisa dikatakan terjeratdengan hukum akal di dalam akal. Yakni pahaman makhluk atau si B sebagai akibat, dijerat pahaman hukum kausalitas. Tapi jeratmejeratnya di dalam akal saja, bukan di wujud nyata.

(6) Mungkin Anda mendebat, «Kalau begitu Tuhan juga terjerat dalam akal, dan itu, bagaimanapun tidak boleh sebagaimana kita tolak segala macam rangkapan dalam akal sekalipun terhadap Tuhan".
Jawabnya adalah:

Pada kenyataannya, keterikatan itu memiliki dua makna: Keterikatan yang memang bermakna keterikatan dan Keterikatan yang bermakna Kepengikatan.

Keterikatan yang bermakna keterikatan, adalah akibat atau makhluk. Karena mereka memiliki keterbatasan, maka ia harus memiliki sebab. Ini keterikatan pertama. Keterikatan ke dua-nya adalah ketika sesuatu itu terbatas dan keberadaannya diadakan, maka dia tidak akan pernah bisa melepaskan diri sedikitpun dan sedetikpun dari sebabnya. Karena dia adalah hakikat ketergantungan itu, bukan sesuatu yang tergantung. Ini adalah keterikatannya yang lain.

Akan tetapi sebab yang tidak terbatas, alias Tuhan, maka ketidak terbatasannya itu memutus secara akal dan nyata semua bentukketerikatan akal dan nyata. Ini adalah ketidak terikatanNya yang pertama.

Ke dua, ketika Dia adalah hakikat ketidak terikatan yang disebabkan ketidak terbatasanNya itu, dan ketika Dia menciptakan keberadaan lain yang karenanya keberadaan lain itu menjadi terbatas, maka Dia tidak akan pernah terikat dengan yang lainNya dan justru akan mengikat yang lainNya. Ini adalah ketidak terikatanNya yang ke dua dan kepengikatanNya.

Ke tiga, ketika selainNya, termasuk hukum alam dan hukum akal seperti hukum kausalitas ini adalah makhluk dan akibatNya, maka jelas tidak mungkin yang namanya akibat itu mengikat sebabnya, dan justru sebaliknya, semuanya akan terikat padaNya, termasuk keterikatan kepadaNya ini. Inilah makna ketidak terikatanNya dan kepengikatanNya.

Wassalam.


Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Ammar Dalil Gisting dan 13 lainnya menyukai ini.


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Zahra Herawati Kadarman: mohon ijin copy untuk catatanku Ustad................... afwan wa syukran.

Sinar Agama: Zahra: Semua tulisanku di fb ini adalah gratis kalau untuk kebaikan (untuk siapa saja dan dalam bentu apa saja) asal tidak diedit, dibisniskan dan tidak dirubah namanya.

3 Januari 2013 pukul 20:01 · Suka · 3



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar