Selasa, 04 Februari 2020

Konsep Tidur


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=222325741145563 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 23 Juli 2011 pukul 11:12


Zainab Naynawaa: Salam ustad, afwan satu sabda Rasulullah Saww kurangilah tidur, “sesungguhnya banyaknya tidur itu akan menjadikan miskin pada hari kiamat”, yang ingin saya tanyakan menurut syariat jumlah tidur yang baik berapa jam...??? Dan dari jam berapa sampai dengan jam berapa....??...Bukankah tidur orang berpuasa akan mendapatkan pahala daripada bergunjing, nah disini letak perpedaannya dimana...????? Kan sama-sama tidur afwan...

Sinar Agama:

Salam dan terima kasih pertanyaannya:

(1). Dalil syariat, yakni Qur'an dan hadits itu, banyak sekali mengandung pertentangan dan kontradiksi. Misalnya kedua hadits di atas yang menjadi pertanyaan ibu.

(2). Pertentangan-pertentangan seperti itu, tidak menjadikan keduanya gugur dan apalagi dikatakan lemah atau palsu. Mungkin kalau wahabi langsung pilih satu dan main tembak saja bahwa salah satunya palsu. Padahal tidak demikian.

(3). Hauzah atau pesantren diadakan gunanya untuk memecahkan jutaan masalah agama yang, diantaranya adalah kontradiksi hadits atau ayat atau ayat dan hadits ini.

(4). Saya tidak mau mengajari tentang pemaduan dua dalil yang berkontradiksi itu. Tetapi sekedar mau memberikan wawasan betapa ilmu-ilmuagama itu, sama dengan yang lainnya, perlu kepada pembelajaran khusus, yakni spesifikasi. Karena itulah perlu adanya taqlid.

(5). Tahu maknanya “wajib taqlid” ??? Maknanya adalah “Haram bagi yang bukan mujtahid untuk merujuk ke ayat dan hadits secara langsung”. Dan keharaman ini dari sisi keprofesionalannya, bukan benar salahnya. Karena itu penyimpulan fikih yang bukan mujtahid itu tetap dosa, sekalipun kesimpulannya benar. Karena yang dihitung dosanya adalah dari sisi “Kenekadannya membuat hukum”.

Dan ia dikatakan membuat hukum, walaupun berusaha mengambil dari Qur'an dan hadits, karena kalau tidak memiliki alatnya, maka apapun yang dia pahami akan keliru (setidaknya sangat mungkin keliru).

(6). Jadi, bermain hadits dan ayat tanpa alat itulah yang dikatakan “Nekad” dan “Berani kepada Allah” serta hukumnya haram.

(7). Dengan demikian, maka untuk masalah dua hadits di atas itu tidak usah dipikirin. Karena kalau dipikirin akan menjadi mengerjakan sesuatu yang Haram. Karena itu, tugas bukan mujtahid adalah mengembalikan masalah-masalah seperti itu kepada mujtahid.

(8). Ketika kita sudah menyerahkannya kepada mujtahid, maka kita tinggal bertaqlid dan menunggu fatwanya saja.

(9). Dan dalam fatwa-fatwa Marja’, jumlah tidur itu tidak ditentukan. Dan tidur banyak di bulan puasa itu tidak masalah dan seingat saya masih terhitung ibadah (sesuai dengan fatwa).

(10). Untuk sekedar memberikan satu dari ribuan kunci pemecahan dari dua dalil/hadits yang kontradiktif di atas itu adalah, bahwa hadits yang mengatakan bahwa banyak tidur itu membuat miskin, tidak menunjukkan ke hukum haram, tetapi hanya ke hukum makruh. Karena, banyak tidur itu jelas halalnya dilihat dari riwayat-riwayat yang lain. Karena itu hadits pertama bukan menunjukkan Haram, tapi hanya Makruh.

Sedang hadits ke dua, hampir sepakat para ulama mengatakan bahwa maksud hadits itu adalah tidur di bulan Ramadhan itu memiliki hukum ibadah. Karena itu juga difatwai makruh untuk melakukan apapun (yang tidak perlu) yang membuat kita lemah dalam berpuasa.

Dengan demikian, hadits banyak tidur itu dan yang bersifat mutlak itu (karena mengatakan “Banyak tidur ...”, bukan misalnya, “Banyak tidur di selain Ramadhan”) telah dikondisikan (qoid) oleh hadits ke dua yang mengatakan “Tidur di bulan suci itu ibadah”.

Dan sudah tentu yang dikondisikan di sini bukan hukum haramnya, tetapi hanya hukum makruhnya.

Jadi, kesimpulannya adalah, banyak tidur itu hukumnya makruh kecuali di beberapa tempat seperti Siang bulan Ramadhan.


Catatan:

(1). Tetapi pekerjaan penggabungan itu tidak semudah yang saya urai tersebut. Karena sebelum semua itu terjadi, harus melihat dulu siapa-siapasaja perawinya. Dan apakah ia shahih atau tidak. Dan dilihat mutu kedua haditsnya itu sudah memadahi dan mencukupi syarat-syarat hadits shahih atau belum. Nah, ketika sudah memenuhi syarat itulah maka dilihat cara pemaduannya, ada atau tidak (pemaduan kontradiksinya). Dan pemaduan ini banyak sekali terkandung kadar dari kontradiksinya.

Kontradiksi di atas itu, bukan kontradiksi hakiki. Karena itu tidak terlalu berat memecahkannya. Dan pemecahan di atas dalam ilmu Ushulfikihdikenal dengan “Jam’u al-’Urfi” atau “Pemaduan Umum/sederhana”.

(2). Biasanya banyak dan sedikitnya tidur ini, walau tidak haram, yakni kalau kita mau menghindari makruhnya, maka cukup dikembalikan ke ukuran umum/’urf. Jadi, bisa diperkirakan dari 5 jam sampai 8 jam.

Wassalam.

Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Edo Saputra dan 3 lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar