Minggu, 23 Februari 2020

Tauhid (Bagian 2) : Sifat Dzat dan Sifat Perbuatan Allah


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=223765934334877 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 26 Juli 2011 pukul 15:07


Muhajir Basir: Sejak kemarin saya mencari status ini di saat yang kedua kalinya ingin kembali membacanya sekaligus memberi komentar tidak muncul di beranda saya, yang akhirnya membuat saya menuliskan komentar itu di salah satu catatan habib Muhsin dengan maksud selain ingin berbagi...,  juga untuk merefleksikan kembali pemahman filsafat saya yang sudah mulai punah, & alhamdulillah status ini sekarang muncul (semua akan memberi hikmah kebaikan sekiranya kita ingin mengambil pelajaran darinya)...

Dengan menyimak seluruh komentar di status ini khususnya komentar Ustadz Sinar Agama menuntun akal saya menyimpulkan sejumlah hal sekaligus ingin menanyakan sejumlah hal ini.


Memang sangat beralasan untuk mengakui bahwa hukum kausalitas itu hanyalah merupakan wujud pahaman saja sehingga semua hukum yang dipahami adanya pada proses kemenjadian wujud yang 1 kepada wujud yang lain di luar akal, atau proses-proses yang lain, dalam ke"wujud'anya, hakikatnya tidak ada karena «sesuatu" yang menjadi perekat keterhubungan 1 wujud dengan wujud yang lain juga adalah wujud, bukan hukum, seperti perekat hubungan kemenjadian biji menjadi tunas pada sebuah pohon yang juga adalah wujud... «Biji Tunas" dimana titik-titik yang menjadi perekat kemenjadian biji menjadi tunas adalah wujud.

Kedua, dengan kaidah bahwa tidak mungkin yang tidak memiliki dapat memberi, maka dapat ditegaskan akan kebutuhan makhluk kepada Tuhannya & kebutuhannya merupakan sebuah kebutuhan hakiki & terus menerus, bahwa makhluklah yang terikat & butuh, & keterikatan & ke"butuh"an itu adalah senantiasa.

Dengan kedua penggambaran di atas, maka meniscayakan ketiadaan adanya hal-hal yang menegasikan keberadaannya dengan karakterisitik wujud (luar), seperti proses, gerak, menuju ketiadaan, & atau kebergantungan Tuhan kepada makhlukNya, dan sebagainya...

Namun problem teologis selanjutnya adalah penggambaran akan aktualitas sifat kePengampunan Tuhan misalnya yang hanya akan ada disaat adanya hamba yang memohon ampun, yang seolah menegaskan akan kebergantungan & keterikatan Allah kepada makhlukNya. Kelirukah pahaman ini?

Kedua, dengan keyakinan kita akan kepengakuan adanya wujud terbatas yang «dinegasikan" keberadaannya dengan wujud yang tidak terbatas,demi untuk menghindari spekulasi pandangan panteisme atau wahdatul wujud, adalah juga bukankah asumsi spekulatif?

Mohon pencerahan ustadz.

Sekedar referensi tentang permasalahan saya yang pertama, di bawah ini saya copykan komentar saya sebelumnya di catatan habib Muhsin.

Afwan bib, tadi sore ana sempat baca status antum yang inti masalahnya tentang pertanyaan “Apakah Tuhan dibatasi hukum kausalitas? Sempat berfikir ingin segera memberi komentar atasnya saat itu tetapi ana kekurangan waktu luang, & melalui catatan ini yang mungkin masih memiliki keterkaitan bahasan, ana ingin share jawaban tentang permasalahan itu, sekaligus berharap koreksi dari antum.

Mengkaji pemaknaan kausalitas (terhadap apapun derivasi penjelasannya) dalam “bingkai” keberadaan tetap akan mengantarkan pahaman kita pada keharusan untuk menerima adanya

2 wujud; “sebab” dan “akibat”, dan ini akan meniscayakan keterbatasan pada setiap wujud, termasuk wujud Tuhan. Dengan ini, demi memurnikan hakikat WujudNya, maka memungkinkan kita untuk menolak adanya kausalitas pada Wujud. Namun di saat yang sama menolakkausalitas pada wujud sangat berpotensi mengantarkan kita pada doktrin pantheisme & atau yang lain. Karenanya hal yang memang harus menjadi kata kunci kajian tentang hal ini adalah bagaimana menghubungkan atas ke”diri”an Wujud Tuhan yang tidak terbatas dengan keberadaan kausalitas pada diriNya yang meniscayakan keterbatasan “wujud”Nya.

Dalam kajian tauhid, biasanya digambarkan bahwa pada sifat Tuhan secara umum terdiri atas 2, yaitu sifat Dzat & sifat Perbuatan, dimana Sifat DzatNya adalah DzatNya itu sendiri, & dapat dipahami maknanya secara mandiri, seperti; Mengetahui, Berkuasa, Hidup, dan sebagainya…. Adapun sifat PerbuatanNya hanya bisa dipahami maknanya ketika dihubungkan dengan makhlukNya, seperti; Mencipta, Mengampuni, dan sebagainya... & “keterhubungan” antara Tuhan & makhlukNya lebih dalam dapat dipahami dalam hukum kausalitas (sebagaimana yang dijelaskan dari beberapa ungkapan dalam catatan ini).

Pada sifat perbuatanNya inilah yang memaksa pahaman kita untuk meyakini bahwa «Tuhan" terbatas karena keterwujudan perbuatanNya terikat dalam hukum-hukum kausalitas, misalnya; Perbuatan MengampuniNya hanya akan terwujud ketika ada hambaNya yang memohon ampun. Namun segala keterbatasan pada sifat perbuatanNya akan «melebur” dalam ketidakterbatasanNya di saat pahaman kita terhadap seluruh sifat perbuatanNya diarahkan pada sifat DzatNya, misalnya; sifat Mencipta yang terbatas diarahkan pada sifat KuasaNya bahwa Allah Maha Kuasa untuk Mencipta.

Dengan ini dapat dipahami bahwa pernyataan bahwa Tuhan dibatasi dalam hukum kausalitas karena pahaman kita diarahkan pada wujud PerbuatanNya & menafikkan keterkaitan kausalitas pada wujudNya karena memahaminya dari sisi hakikat DzatNya.

Kesimpulannya kedua pahaman tersebut dapat berterima, tergantung kemana mengarahkan pahaman kita pada ke”diri”an sifat wujudNya.

Sekali lagi mohon koreksi bib atas kekeliruan yang ada, Afwan wa Syukron.


Sinar Agama: B-S: Saya akan coba jawab komen antum itu, tanpa harus saya komen-i mukaddimah- mukaddimah pertanyaannya.

(1) Kepengampunan Tuhan memang tergantung kepada adanya makhluk dan dosa, dan karena- nya menjadi Terikat. Akan tetapi yang terikatitu bukan Dia, melainkan sifat-Fi'ilnya, atau sifat- perbuatannya yang memang tidak Azali dan Abadi ini, karenanya itulah sifat pengampun ini bermula dan berakhir. Yakni bermula di kala ada makhluk dan dosa, dan berakhir manakala sudah tidak ada taklif lagi atau sudah tidak ada hisab lagi, atau sudah tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan dari jahannam kelak.

(2) Saya sebenarnya belum menangkap ruh pertanyaan antum yang ke dua, atau ruh isykalannya. Walau demikian ijinkan saya merabanya danmenjawab hasil rabaanku itu. Semoga saja tepat sesuai dengan maksud antum.

  • (a) Wujud yang kita bahas dalam ‹Uruf/Umum ilmu Kalam, Filsafat dan semacamnya adalah bukan wujud yang dibahas dalam Irfan dan wahdatul wujud.
  • (b) Karena kedua wujud itu berbeda, maka sudah tentu tidak bisa saling diterapkan.
  • (c) Panteisme adalah pikiran yang tidak saya ikuti dan dianya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara argumentasi akal-gamblang. Karena ia mengajarkan dan mengatakan bahwa Alam ini adalah Tuhan.
  • (d) Akan tetapi wahdatul wujud adalah pikiran dan ilmu yang benar yang didukung dengan dalil-gamblang. Wahdatul wujud mengatakan bahwa hanya Allah yang ada dan selainNya adalah tajalli dan bayang serta ceritaNya saja.
  • (e) Salah satu dalil mudahnya adalah ketidak terbatasanNya seperti yang antum sebut itu. Nah ketika WujudNya tidak terbatas, maka sudah pasti tidak mungkin ada wujud lain sekalipun terbatas, karena keberadaannya akan membatasi wujudNya. Rinciannya bisa dilihat di catatan al-fakir tentang Wahdatul Wujud dari bag 1- 6.
  • (f) Dengan adanya bukti akal gamblang tentang wahdatul wujud itu, maka kenyataan tentang hal tersebut bukanlah spekulatif, tapi aktualis nyatais dan faktais.
  • (g) Dengan demikian, kalau kita membahas tentang wujud Umum, Kalam, Filsafatis, maka ialah yang terbagi menjadi dua itu, yaitu wujud dalam akal dan luar akal sebagaimana kita bahas di sini.
  • (h) Akan tetapi kalau pembahasan wujud dalam pandangan Irfan atau Wahdatul Wujud, maka ianya adalah satu dan hanya Allah yang Ada.
  • (i) Dengan pandangan Wahdatul Wujud, maka pembagian wujud-luar dan wujud-dalam akal itu, akan menjadi pembagian tajalli danmanifestasi. Yakni manifestai luar akal dan menifestasi dalam akal.

Artinya semua pembahasan bisa saja tidak berubah..., dan yang berubah hanya cara menatapnya. Kalau di selain Irfan pembahasannya ke atas wujud, dan kalau di Irfan, pembahasannya ke atas Tajalli.

Muna Zahro: Alhamdulillah, hampir ngak menyimak ini status, untung inget pernyataan ustad nunggu pendekar terun gunung. Tetapi belum kebaca semua. Istirtahat dulu mumet.

Muhajir Basir: Afwan ustadz baru sempat memberi komentar atas penjelasan antum, & syukron atas semua yang antum sampaikan ini. Dengannya menambah cakrawala berfikir saya yang banyak.

Saya meyakini bahwa sifat-sifat fi'iliyahNya bukanlah Dia, & dengan argumentasi ini dilakukan... demi untuk memurnikan rububiyah ketuhannNya (yang tidak terbatas). Namun darinya selain akan menegaskan bahwa Dia & SifatNya terpisah, yang memungkinkan kita jatuh pada pandangan teoligi Asy'ari & atau yang lain, juga dengan argumentasi itu memaksa pahaman kita untuk menerima adanya wujud lain selain Tuhan. Di saat yang sama juga mengharuskan pahaman kita menolak adanya 2 wujud dengan i’tikad yang sama demi memurnikan rububiyah ketuhannNya (yang tidak terbatas). Lalu dengan apa kita mampu terhindardari ambiguitas & kebingunan atas masalah ini? Persoalan bahwa pandangan Irfan telah jauh memberi perspektif yang lebih untuk menunjukkan bagaimana kita dapat memahami hakikat wujud dengan pemaknaan yang lebih, tetapi dengan pengakuan akan adanya wujud selain wujud Tuhan meski digambarkan eksisitensinya hanya sebagai wujud tajalliyat atau manifestasi, pada akhirnya akan menunjukkan inkonsistensi pembahasannya di saat memberi pemaknaan hakikat wujud & manifestasiNya dalam penjelasan yang terkadang bias (sebagaimana yang saya ketahui). Adakah jalan lain untuk itu?

Mohon pencerahan ustadz, & sebelumnya saya memohon maaf telah menyita waktu antum untuk meladeni orang yang buta ini. Afwan wa Syukron.

Sinar Agama:

(1) Memisahkan sifat fi’liyyah itu adalah keharusan dan kewajiban. Dan hal ini tidak akan memasukkan kita ke akidah manapun. Justru kalau Asy’ari menyatakan keberlainan sifat-sifat dan dalam waktu yang sama melekatkannya pada ZatNya yang tidak terbatas itu. Jadi, mereka tidak memisahkan sifat-sifat tetapi melainkannya dari zat.

(2) Kalau kita dan mungkin juga Asy’ari melainkan dan memisahkan sifat fi’liyyah (sifat perbuatan) itu maka berarti telah benar. Jadi mau Syi’ahkek atau Asy’ari, kalau memang benar, maka kita benarkan.

(3) Pemisahan sifat-fi’liyyah ini bukan berarti memotong tanganNya dari keKuasaanNya, akan tetapi justru menetapkannya dalam bentuk yang lebih sempurna dan sesuai dengan ZatNya yang tidak terangkap itu. Yaitu dengan mengembalikan sifat fi’liyyah ini... kepada sifat ZatNya. Misalnya mengembalikan sifat Pencipta kepada sifat Kuasa. Jadi, Tuhan walau bukan pencipta sebelum mencipta, tetapi Dia Kuasa untukmencipta.

Dengan ini, maka kita tidak jatuh ke dalam perangkapan Tuhan tetapi tidak pula melucutiNya dari KuasaNya.

(4) Ketika kita berbahasa dengan bahasa Kalam dan Filsafat yang mendasari petuangan pikir dan ilmunya dengan mengakui adanya selain Tuhan, maka sudah jelas kepengingkaran wujud ke dua, adalah kepengingkaran adanya Tuhan lain selainNya. Inilah ...tauhid dalam Kalam dan Filsafat, yakni Tiada tuhan kecuali Tuhan, yakni Tiada Dua atau Tiga atau Empat ...Tuhan, kecuali Satu dan Esa.

Dan dalam kamus dua ilmu ini, maka tidak ada istilah Tajalli dan yang ada adalah Makhluk sebagai lawan Tajalli.

Jadi wujud dalam kamus ini ada dua macam, Tidak Terbatas dan Terbatas.

(5) Kata wujud-makhluk bermakna bahwa di sana ada wujud lain selain Tuhan yang dicipta Tuhan dan mereka adalah wujud-wujud terbatas, karena sebelumnya tidak ada dan setelah itu baru menjadi ada.

Sedang kata Tajalli bermakna bahwa yang kelihatan ada ...dari selain Tuhan itu adalah “TIDAK ADA” atau “’TIADA”, karena yang ada hanyalah Tuhan. Oleh karenanya mereka yang nampak ada itu, yang tiada itu, adalah TajalliNya saja, BayangNya saja, CeritaNya saja, WajahNya saja, CerminanNya saja.

Kalau anda melihat diri anda di cermin itu sebagai keberadaan atau sebagai gambar dalam cermin, maka itu adalah tatapan Kalam danFilsafat. Tetapi kalau anda melihatnya sebagai diri anda dan tidak menyadari kecerminan anda waktu itu, yakni anda benar-benar menatap diri anda saja waktu itu dan tidak merasa kalau anda melihat gambar anda di cermin, misalnya ketika anda sedang menyisir rambut anda yang hanya konsen kepada rambut anda di luar cermin, maka itulah tatapan Irfan.

Jadi, ketika anda mengakui wujud selain Tuhan maka itulah Kalam dan Filsafat. Dan kalau tidak mengakuinya, maka itulah Irfan.

(6) Jadi Tajalli bukan mengakui wujud selain Tuhan dan hanya diistilahkan sebagai Tajalli. Tapi benar-benar mengingkarinya. Oleh karenanya, dalam Irfan, tidak ada istilah Penciptaan, makhluk ...dan seterusnya. Yang ada hanya Tajalli sebagai gantinya Makhluk....

Jadi makhluk adalah Pewujudan dan Tajalli adalah Pengenalan, Pelahiran, Penceritaan, Pem- bayangan. dan seterusnya.

Lihatlah Qur'an ketika mengatakan “Tidakkah kamu lihat bagaimana Tuhanmu membentangkan bayangan. ? (QS: 25: 45).

Orang mengira maksud bayangan itu adalah semacam bayangan pohon. Apa hebatnya mengadakan bayang pohon ketimbang pohnnya sendiri, hingga perlu dibanggakan?

Jadi, yang dimaksud adalah pohon itu sendiri, tapi bukan sebagai keberadaan, karena yang ada hanya Dia. Jadi hanya sebagai bayangNya.

Dan bayangan sebagaimana dia adalah ketiadaan cahaya yang dikarenakan keterhadangannya oleh sesuatu akan tetapi di saat yang sama kelihatan ada dan keberadaan, maka alam dan makhluk ini juga demikian. Yakni ketiadaan wujud yang, dalam waktu yang sama kelihatan wujud.

(7) Dengan semua penjelasan itu dapat dipahami bahwa cara menghindari kebingungan adalah dengan meletakkan semuanya pada tempatnya sendiri-sendiri. Jadi jangan dicampur aduk.

Rincian tentang Wahdatul Wujud bisa dilihat di catatan-catatanku Wahdatul Wujud bag ...1-6, tetapi bag1-5 nya ada di kotak/catatan Anggelia.


Muhajir Basir: Syukron ustadz atas semua yang antum jelaskan, & saran antum yang meminta saya untuk membaca catatan-catatan antum. Semoga syafa'at Imam al Husein menyertai hidup antum & keluarga. Allahumma bihaqqi Muhammad wa Aalihith-thaahiriin. Mohon saya save beberapa catatan ...

Sinar Agama: M-B: Ana juga tidak terlalu kenal antum, jadi kalau antum memang sudah menguasai banyak hal, maka maafkan ana yang menyuruh antum melihat-lihat catatan-catatan ana, jadi afwan banget, bukan bermaksud mengecilkan antum, afwan. Terimakasih banget atas baik sangka dan doanya, semoga Tuhan melimpahkannya berjuta kali lipat untuk antum dan shahibusstattus wa al-komantarina jami’an. Untuk catatan-catatan ana di fb ini gratis saja asal untuk kebaikan dan selain bisnis, hem...

Muhajir Basir: Saya hanya orang yang masih sedang belajar menjadi pengikut Ahlul Bayt ustadz, & ingin belajar dari antum-antum semua tentang mutiara ilmu Ahlul Bayt & bagaimana menjadi pengikut yang baik. Saya selalu yakin bahwa sefaqir apapun orang yang menjadikan Ahlul Bayt sebagai...perisai dalam hidupnya, maka setiap apa yang disampaikan & dilakukannya adalah mutiara yang dapat mengantarkan saya pada perjalanan menuju Allah, meski mungkin ungkapan & perbuatannya itu «keliru" dalam pandangan sebagian orang, saya akan berusaha dengan segenap tekad untuk mencari kebaikan di dalamnya, apalagi mereka yang telah menjadikan setiap ungkapan & sikap beliau as. sebagai hujjah dalam hidupnya. Maka tidak sepantasnya saya tidak merasa berterima kasih kepadanya...

Syukron katsir ustadz atas do'a antum... Allahumma bihaqqi Muhammad wa Aalihith thaahirin... Juga izin antum & pesan untuk mengingatkan akan kebaikan yang lebih yang harus dilakukan terhadapnya... Jazakumullah.

Kepada Habib Muhsin.... Sayaukron bib... Jazakumullah.

Sinar Agama: M_B: Hanya keharuan dan harapan serta doa yang dapat mengiringi antum dari si fakir ini. Sudilah mengetuk pintuku kala kehausan di jalan, barangkali ada seteguk air Furat yang bisa terambil dari Qirbahku yang penuh lubang. Dan terimakasih atas semua baiksangkanya dan doanya, semoga saja Tuhan mengabulkannya dan melipatkangandakannya untum antum dan semua teman di fb ini, semoga.

Chi Sakuradandelion, Ammar Dalil Gisting, Eman Sulaeman dan 11 lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar