Rabu, 12 Desember 2018

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala (Bag: 2)

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, Seri Nukilan dari Buletin Al-Muraasalaat 16, (Bag: 2)



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, February 26, 2013 at 10:50 pm

Hikmah Sujud di Tanah 

Sesungguhnya hanya Allah yang tahu persis hikmah dari semua perintah-perintahNya. Jadi, di sini kami hanya akan mencoba mengira-ngira saja akan hikmah tersebut, demi melakukan perintah Tuhan yang lain, yaitu perintah berfikir atau bertadabbur untuk mengambil pelajaran dari semua keberadaan ( QS: 2: 164 ). 

1- Puncak Kehinaan di Hadapan Sang Kuasa. 

Sebab, ketika lambang kemuliaan yang paling tinggi dari manusia dan merupakan simbol harga dirinya, yaitu dahi/muka, di letakkan di tanah yang berposisi rendah dan hina secara lahir dan ianya berposisi sebagai simbol kerendahan karena tempat kaki berpijak, maka sudah jelas hal ini akan mempengaruhi manusia yang melakukannya. 

Yaitu, ia akan meletakkan dan melupakan semua kemulian-majazi yang dimilkinya dan begitu pula posisinya di masyarakat, dan hanya akan mengingat dan meninggikan ke-Agungan dan ke-Muliaan-Hakiki Tuhannya. Baik kemuliaan-majazinya itu seperti ke-Rasulan atau sekedar kemulian-dunia seperti presiden, guru, orang tua, mentri, dan lain-lain. Sebab seluruh kemuliaan- kemuliaan itu datang dan diberi oleh Tuhan pemilik semua kemuliaan secara hakiki. 

Nah, melucuti seluruh harga diri di hadapan Tuhan yang Maha Tinggi, merupakan tugas utama manusia, karena hal itu merupakan hakikat dan kenyataan yang tidak bisa diingkari. Inilah yang bisa dikatakan tugas tauhid dan keimanan manusia. Yakni tauhid yang dijelmakan dalam kehidupan. Jelasnya, pengakuan akan ke-Agungan Tuhan secara perbuatan yang dijelmakan dari rasa iman di hati akan hal itu. Sementara shalat adalah alat paling utama untuk menjelmakan rasa iman tersebut. Dengan demikian maka seseorang akan merasa semakin khusyu’ dan rendah serta hina di hadapan Sang Kuasa yang disembahnya itu, tentu ketika ia meresapi hikmah sujudnya itu. 

Semua ini tidak bisa dicapai -setidaknya sulit- manakala manusia sujud di atas permadani, sejadah dan keramik yang indah. Sebab ia justru bangga meletakkan dahinya ke atas semua itu, sehingga dengan demikian maka kuranglah rasa hinanya di hadapan Tuhannya. Orang yang menghiasi tempat sujudnya ( sejadahnya ) dengan aneka ragam warna yang indah-indah dan dibuat dari bahan yang mahal ( baca: berharga ), maka ia tidak sujud di atasnya kecuali dengan kebanggaan dan mungkin sampai ke tingkat kesombongan. Nah, orang yang masih sempat melihat kemuliaan dirinya dari sisi keduniaan ini, sesedikit apapun hal itu, maka ia tidak akan bisa menjadi hina-dina ( khusyu’ ) di hadapan Tuhannya. 

Sementara itu, hikmah lain yang bisa didapat oleh manusia yang shalatnya khusyu’ ( dina ) adalah rasa hinanya di hadapan Tuhannya secara mutlak. Yakni baginya tidak akan berbeda apakah ia di dalam shalat atau di luarnya. Sebab Tuhannya tetap ada dan Agung sekalipun dalam keadaan ia tidak menyembahNya. 

Orang yang selalu merasa hina di hadapan Tuhannya ini tidak akan pernah menyombongkan diri sedikitpun sebab ia tidak akan pernah merasa memiliki apa-apa yang bisa dijadikan kesombongan, sebab Tuhan yang Agung dan Mulia dan yang memiliki seluruh kebaikan dan kemuliaan secara hakiki itu dirasakannya lebih dekat dari urat nadinya sendiri. 

Begitu pula, orang yang seperti ini tidak akan pernah menyia-nyiakan hidupnya dengan mengejar kemulian dunia. Sebab kemulian itu adalah kemuliaan yang tidak hakiki dan abadi. Oleh karena itu ia akan mengejar dengan gigih dan sungguh-sungguh ketaatan kepada Tuhan dan menjauhi dengan sungguh-sungguh laranganNya. Sehingga dengan itu ia akan mencapai apa yang dikatan bersih atau makshum dari dosa dan kemungkaran. 

Jangan katakan bahwa makshum dari dosa itu mustahil dicapai, sebab kalau pembaca budiman berkata demikian , berarti pembaca tidak meyakini kebenaran al-Qur'an yang mengatakan bahwa Tuhan tidak memberi tugas kepada manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya ( QS: 2: 286 ). 

Nah, kalau Tuhan memberi tugas kepada kita sesuai dengan kemampuan kita, dan Tuhan meng- haramkan semua dosa sehingga kita wajib menjauhinya ( sebab Haram hukumnya adalah wajib dijauhi ), berarti kita mampu menghindarinya. Dan kalau kita mau dan menghindarinya, berarti kita bersih dari dosa tersebut. 

Bukankah ini adalah makshum dari dosa? Dan bukankah dengan demikian bukan saja makshum itu mustahil dicapai, tapi bahkan wajib dicapai? Oleh karena itu tidak heran kalau Tuhan menjamin orang shalat (tentu yang shalat khusu’ dan diterima) bahwa ia akan jauh dari segala kemungkaran atau kesalahan yang tidak diridhai Tuhan. Allah berfirman: 

"Sesungguhnya shalat itu mencegah seseorang dari perbuatan-perbuatan keji dan tidak diridhoi ( oleh Tuhan )“ ( QS: 6: 45 ). 

Orang seperti di atas itu, tidak hanya akan hanya menyia-nyiakan umurnya untuk mencari kemulian dunia yang justru hina ini, tapi ia bahkan tidak akan pernah merasakan bahwa ia memiliki kemulian-kemulian maknawinya itu. Sebab semua itu dari tuannya dan tetap menjadi miliknya, yakni Tuhannya. Karena yang hakikatnya hina akan tetap hina. Oleh sebab itu ia akan menjadi hamba, budak dan abdi Tuhan yang sejati sepanjang jaman dan abadi, sebab ia tidak pernah merasa mulia, baik dengan kemulian dunia ataupun akhirat. Dia tidak akan merasa semakin mulia ketika kaya, begitu pula ketika ia taat dan banyak ibadat, atau bahkan menjadi seorang Rasul. 

Ringkasnya, ia tidak akan pernah merasa memiliki apa-apa yang dicapainya itu. Inilah hamba atau budak Tuhan ( ‘Abdullah ) yang hakiki. Sebab seorang budak tidak memiliki apapun kecuali milik tuannya. Tidak heran kalau dalam hadits-hadits kita dapat menjumpai hal ini ( ciri hamba Tuhan yang hakiki ). 

Bayangkan saja, kalau seseorang itu mencapai kemakshuman dari dosa, tidak pernah maksiat dan selalu taat, tapi ia tidak pernah merasa mulia karena ia merasa selalu di hadapan Tuhannya yang memiliki semua kemuliaannya secara hakiki ( dimana perasaan ini dicapai berkat pengertiannya terhadap hikmah sujud ke tanah itu, dan karena dilakukannya berulang kali setiap harinya ) dan bahkan Tuhannya dirasakannya lebih dekat dari urat nadi dan hidupnya, maka jelas orang seperti ini tidak akan pernah sombong sedikitpun sepanjang masa dan jaman. 

2- Ingat ke-Agungan Tuhan. 

Dengan memperhatikan tanah yang boleh dikata rendah, tapi keluar daripadanya seluruh kehidupan dunia ini, maka seseorang akan ingat pada Tuhan yang menciptakannya. Hal ini tidak lain kecuali hanya menggambarkan betapa Agung dan Kuasanya Sang Pencipta itu. Hal ini akan membuat orang tersebut selalu bersyukur karena memiliki Tuhan yang Agung, Kuasa dan Pemurah. Sebab Ia telah memberinya kehidupan dan keimanan serta ketaatan. 

Ia akan semakin khusyu’ dalam shalatnya dan selalu akan mengingatNya setiap ia melihat sembarang ciptaanNya. 

Jadi, disamping ia mendapatkan kekhusyukan di dalam shalatnya, di luar shalatnya ia akan selalu mengagungkan Tuhannya dan mensyukuriNya. Pengagungannya itu akan membuatnya selalu ingat Tuhannya, dan syukurnya terhadap dunianya itu akan membuatnya selalu Qona’ah ( menerima dan berterima kasih atas semua pemberian, yakni tidak kufur dan ingkar ) di dunia, serta syukurnya terhadap iman dan maknawiahnya akan membuat Tuhannya menambahinya selalu sesuai dengan janjiNya sendiri ( QS: 14: 7 ). 

3- Ingat Tempat Asal. 

Tanah adalah asal manusia, apakah secara langsung seperti nabi Adam as., atau tidak langsung seperti kita-kita ini. Sebab, semua mani dari makanan, dan makanan dari binatang dan pepohonan. 

Pepohonan, sudah jelas dari tanah. Sedang binatang juga dari yang dimakannya, baik binatang lain atau pepohonan. Wal hasil, semuanya berasal dari tanah secara pasti. 

Nah, ketika manusia ingat akan asal dirinya , yakni tanah yang rendah, maka ia tidak akan pernah merasa mulia sedikitpun. Oleh karena itu ia akan merasa rendah ( khusyu’ ) di hadapan Tuhannya ketika ia sujud di atasnya, dan ketika ia selesai dari shalatnya akan bertekad untuk selalu hidup mengabdi dan taat kepada Tuhannya. 

Tentu saja ketaatan di sini mencakupi dunianya juga disamping akhiratnya. Seperti mencari nafkah, menjaga kesehatan, menolong orang atau bangsanya, dll. dari yang kelihatan duniawi. Namun yang tetap mesti diingat adalah bahwa semuanya itu dilakukannya karena perintah Tuhannya dan ia tidak akan pernah mencintai semua yang didapatkannya itu. Begitu pula ia tidak akan pernah merasa memilikinya sehingga dengan sangat mudah ia gunakan di jalan Allah sesuai dengan perintahNya. Ia tidak akan pernah merasa khawatir dan takut miskin esok harinya ketika mesti menolong orang hari ini dengan seluruh yang dimilikinya. Ia tidak akan pernah sedih ketika tak punya, dan tidak akan pernah merasa bahagia ketika sebaliknya. Sebab, semuanya bukan miliknya. Dan kebahagiaannya hanya terletak bagaimana ia mentaati perintah-perintah Tuhannya. 

Dunia seperti ini, di dalam agama Islam tidak terhitung sebagai dunia, tapi justru terhitung akhirat yang tinggi. 

4- Ingat Tempat Kembali. 

Dengan melihat tanah seseorang bisa teringat bahwa ia akan kembali kepadanya, alias mati. Ketika manusia ingat bahwa kalau ia mati akan kembali ke tanah, dimana mungkin sehabis shalat hal itu terjadi, maka ia shalat dengan sepenuh perhatiaannya. Sebab, mungkin shalatnya itu adalah akhir shalat yang dapat dilakukannya. Dengan demikian maka ia akan selalu khusyu’ dalam shalatnya. 

Di samping itu, di luar shalat, ia tidak akan pernah tinggal diam tanpa berusaha meminta ampun kepada Tuhannya secara terus menerus, dan berusaha terus secara sungguh-sungguh untuk meningkatkan taatnya kepada Tuhannya itu. Sebab, ketika mati semua kemuliaan-majazinya akan ditinggalkan dan yang tersisa hanyalah ketaatan dan keshalehannya serta kemuliaan akhlaknya. 

Oleh karena itu tidak heran kalau para ulama akhlak mengatakan bahwa paling mulianya dzikir setelah dzikir-tauhid ( la ilaaha illallaah ) adalah dzikir-mati, yakni mengingat terus akan mati. Sebab, dengan mengingat mati seseorang tidak akan pernah diam tanpa usaha untuk memperbaiki akhiratnya. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa, minimalnya, orang yang ingat mati memiliki dua alamat, usaha terus memperbaiki akhiratnya dan menyederhanakan kehidupan dunianya. 

5- Tawadhuk dan Tidak Sombong. 

Orang yang selalu meletakkan lambang harga dirinya ( dahi ) ke atas tanah yang rendah, dan dia tahu bahwa dia berasal dan akan kembali kepadanya, dengan kata lain, orang yang selalu melucuti seluruh harga dirinya, selau ingat bahwa dia dari barang hina, selalu ingat bahwa ia akan mati dimana semua kemuliaannya akan ditinggalkan kecuali akhlak mulianya, maka dia akan berusaha terus untuk taat dan memuliakan dirinya dengan akhlak-akhlak mulia, bukan dengan kesombongan dan akhlak-akhlak keduniaan. 

Orang seperti ini, jangankan melakukan kesombongan, berfikir untuk itupun tidak akan pernah dilakukannya. Dan bahkan dia tidak akan pernah punya waktu untuk itu, sebab semuanya ia persiapkan untuk akhiratnya. 

Mungkin ia lebih kaya, lebih alim, lebih taat, lebih tua, lebih tinggi posisinya ( seperti guru, ustadz, orang tua, petinggi, presiden, dll ), lebih tampan, lebih biru darahnya, dll. dari yang orang lain, tapi ia tahu bahwa hakikat zatnya adalah sama dan di hadapan Tuhan semua telanjang dan hina serta yang mulia justru ketika seseorang membajui dirinya dengan ketaatan dan kerendahan serta keikhlasan di hadapan Tuhannya ditambah dengan baju ketawadhuan dan kasih sayang yang hakiki di hadapan makhlukNya, bukan ketawadhuan yang palsu dan memancing penghormatan orang lain. 

6- Kesederhanaan di Dunia. 

Orang yang tidak memperhatikan kemuliaan-majazinya ( karena selain Tuhan tidak memiliki kemuliaan yang hakiki ) dan selalu ingat akan matinya, maka ia akan menyederhanakan keperluan dunianya secara pasti. Ia tidak akan pernah menumpuk kekayaan dan bahkan tidak akan sempat berfikir untuk itu. Kalau ia berusaha gigih dalam mencari harta, tidak lain hanya untuk keperluaan sederhananya dan keluarganya. Sedang selebihnya -dari ukuran sederhananya itu- selalu akan diinfakkan untuk agama dan masyarakatnya. Kesenangan dan kesedihannya terletak pada kesedihan dan kesenangan agama dan orang-orang miskin serta yatim. 

Dunia seperti ini akan dihitung oleh agama sebagai bagian dari “ Kebaikan Dunia “ atau “ Fi al-Dun- ya Hasanah “, bukan kekayaan atau kesehatan sebagaimana kebanyakan orang mengimaninya. 

Sebab maksud dari doa kebaikan dunia atau fiddun-ya hasanah adalah iman dan taat, baik dikala kaya atau miskin, dikala sehat atau sakit. 

7- Hikmah Kesehatan. 

Walaupun hal ini bukan tujuan asli agama, karena agama ber-orientasi akhirat, tapi karena Tuhan tidak mungkin mencelakakan hamba-hambaNya di dunia dengan perintah-perintahNya serta Ia Maha Hakim dan Bijaksana, maka sudah pasti perintah sujud ke tanah ini memiliki hikmat dunia juga. 

Sebagaimana perintah tayammum dengan tanah yang juga berhikmah dapat membersihkan anggota badan kita dari kotoran penyakit yang melekat padanya, dengan kandungan-kandungan yang dimiliki tanah-bersih, maka di sinipun demikian. Ia bisa membersihkan kaki, muka dan tangan kita dari bakteri-bakteri penyakit. Mungkin karena itulah, maka banyak sekali diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi SAWW melarang menghapus bekas debu yang melekat di dahi sehabis shalat, atau meniup tempat sujud sebelum sujud. 

Sujud di Tanah Karbala 

Di depan telah kami sebutkan, setidaknya dua tabi-’iyn yang bertabarruk dengan gunung Marwah, sehingga memakai batunya untuk alas sujud. Hal tersebut jelas tidak salah apalagi musyrik. Tidak salah karena sujud di tanah dan batu manapun adalah sah dan bahkan wajib sebagaimana maklum. Tidak syirik karena batu atau tanah tersebut tidak disembahnya, tapi hanya dijadikan alas sujud dimana sujudnya untuk Allah semata, persis seperti orang lain yang sujud ke sejadah dimana mereka tidak bermaksud menyembah sejadahnya. 

Nah, kalau sebagian tabi’iyn bertabarruk dengan gunung Marwah sebagai bagian dari tanah suci Mekkah, lalu apa salahnya orang-orang Syi’ah bertabarruk dengan salah satu tanah yang juga dianggap suci, seperti Karbala? Tanah dimana cucu-makshum ke dua Rasulullah SAWW dan keluarga serta shahabatnya dibantai dan dicincang-cincang di sana. Kalaulah hal itu menurut Ahlussunnah dianggap salah (dalam bertabarruknya), setidaknya sesuai dengan hadits-hadits di atas, hal itu tidak membuat mereka batal sujudnya apalagi syirik. Tapi mengapa sebagian saudara Ahlussunnah menstempel orang-orang Syi’ah dengan membuat bid’ah dan bahkan melakukan kesyirikan. 

Seandainya orang Syi’ah mewajibkan sujud di tanah Karbala itu, maka hal ini bisa dikatakan bid’ah. Begitu pula, seandainya orang Syi’ah menyembah tanah tersebut atau imam Husain as., maka hal ini jelas bisa dikatakan syirik. Tapi kenyataannya tak satupun dari mereka beraqidah dan berkeinginan seperti itu. Mereka hanya menganggap tanahnya itu sebagai alas dahi ( seperti sejadah dan karpetnya orang Sunni ) dan menganggap sebagai tanah suci yang layak ditabarruki. 

Kami akan merinci sedikit tentang masalah kesucian tanah secara umum, dan tanah Karbala secara khusus, menurut hadits-hadtis Ahlussunnah Waljama’ah sendiri. 

Kesucian Tanah 

Kesucian sebagian tanah dan kemuliaannya dari sebagian yang lain, disebabkan oleh beberapa faktor. Namun yang jelas semua itu dilihat dari kacamata agama dan fungsinya dalam agama, 

bukan dari kemauan dan sesuka-suka manusia. Jadi, pada asalnya semua tanah itu sama. Tapi setelah adanya penisbahan atau penghubungan sesuatu yang dianggap mulia dalam agama kepada sebagiannya, maka sebagian tanah tersebut akan dikatakan mulia dan suci. 

Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa penyebab kesucian tanah: 
  • Penisbahan Ka’bah. Salah satu penisbahan yang mensucikan tanah itu adalah penisbahan/ penghubungan Ka’bah kepadanya. Dengan penisbahan Ka’bah, tanah biasa akan menjadi suci menurut agama. Sebab Ka’bah sebagai rumah yang dinisbahkan kepada Tuhan karena kemuliaannya yang disebabkan tempat menyembahNya, maka tanah tersebut akan menjadi mulia juga. Oleh karena itu tidak heran kalau salah satu tabi’iyn yang bernama ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas bertabarruk dengan batu gunung Marwah ( untuk alas sujud ) sebagai bagian dari tanah Mekkah yang menjadi suci lantaran Ka’bah tersebut. 
  • Penisbahan Mesjid. Salah satu penisbahan itu adalah penisbahan mesjid kepada tanah. Ketika suatu tanah dijadikan tempat ibadah secara khusus, yakni mesjid, maka ia akan menjadi suci dan akan memiliki hukum fiqih yang lain dan baru dari hukum fiqih sebelumnya. Yang tadinya orang boleh saja kencing di situ, kini sudah menjadi haram hukumnya. 
  • Penisbahan Ibadah Khusus Seorang Nabi dan Turun Wahyu Pertama. Kalau mesjid menjadi mulia karena di sana mukminin beribadah kepada Allah, maka begitu pula tempat-tempat yang dijadikan tempat ibadah seorang nabi, seperti Gua Hira’. Sungguh gua itu berbeda jauh dari sebelum Nabi Muhammad SAWW bertirakat/menyepi secara khusus di sana dan menerima wahyu pertama, dengan yang setelahnya. Fiqihnyapun akan menjadi berbeda karena kesucian yang didapatnya itu. Atau seperti tempat ibadah nabi Ibrahim as. dimana tempat berdirinya terkenal sekali dengan nama Maqom Ibrahim as. Atau tempat lari-lari siti Hajar as. di antara Shofa dan Marwah. Tempat ini bukan hanya menjadi suci lantaran lari-larinya itu, tapi setiap muslim yang pergi haji mesti melakukan lari-lari kecil tersebut dan bahkan ianya merupakan salah satu rukun dan falsafah wajibnya haji. Atau seperti air yang dinisbahkan kepada kaki seorang nabi sekalipun masih kecil seperti air Zam-zam. Ia tidak bisa disamakan dengan air lain. Ia menjadi mulia karena keluar dari bekas gerakan kaki nabi Ismail as. sewaktu beliau masih bayi. 
  • Penisbahan Mayat Mukminin. Salah satu dari penisbahan di atas adalah penisbahan mayat kaum mukminin kepada sebuah tanah. Ketika tanah kosong diisi dengan tubuh mayat mukmin, maka tanah itu sudah menjadi terhormat dan memiliki hukum berbeda. Misalnya di sana disunnahkan mengucapkan salam kepada mukminin yang dipendam, orang haid tidak boleh lewat atau masuk di atasnya ( menurut sebagian pendapat ), tidak boleh kencing/berak, dan lain-lain. 
  • Penisbahan Mayat Nabi dan Wali. Kalau penisbahan mayat mukmin saja sudah bisa merubah tanah dari biasa menjadi suci sekalipun dalam tingkat tertentu, apalagi penisbahan seorang nabi atau wali. Di sini jelas bahwa tanah ke dua ini akan lebih mulia dan suci ketimbang yang pertama yang di dalamnya hanya terpendam seorang mukmin biasa. 
Kota Madinah menjadi suci dan mulia serta diziarahi oleh milyaran mukminin dari sejak dahulu kala, karena Nabi SAWW telah dikubur di sana. Begitu pula kuburan-kuburan para wali yang bertebaran di muka bumi ini. 

Semua ini bukan bid’ah, kesalahan/penyimpangan dan apalagi kesyirikan. Sebab penisbahan ini banyak dinukil dalam al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi SAWW. Seperti penisbahan kuburan siti Hajar as. dimana mesti diputari dalam tawaf dan kalau bertawaf di antara Ka’bah dan kuburannya itu tawafnya menjadi batal; penisbahan pelemparan batu di Mina ( sebagai ibadah taat kepada Tuhan dalam memerangi syetan ) oleh nabi Ibrahim as.; penisbahan Miiqoot nabi Musa as. sehingga beliau diwajibkan mencopot sandalnya; dan lain-lain yang banyak sekali. 

Imam Husain as adalah Nabi SAWW 

Kalau kewalian seseorang itu bisa menyebabkan tanah dimana ia dikuburkan menjadi mulia, padahal wali tersebut belum tentu wali menurut Tuhan -sekalipun orang yang mewalikannya itu tidak dianggap salah dan berdosa menurut Islam kalau memang tidak melihat kejanggalan di masa hidup walinya itu- apalagi kalau kewaliannya itu dijamin Tuhan atau Nabi SAWW sendiri. Sudah tentu tanah yang diisi wali yang sesungguhnya tersebut akan terjamin kemuliannya. Terlebih lagi kalau wali tersebut dianggap Nabi SAWW sebagai diri Nabi SAWW sendiri, maka sudah jelas kedudukannya. 

Nabi SAWW bersabda: 

“Husain dari aku dan aku dari Husain. Allah mencintai orang yang mencintai Husain.” 

“Al-Husain penghulu para Syuhada’.” 

“Husain dari aku dan aku darinya, Allah akan mencintai orang yang mencintainya".

Hadits-hadits jaminan kewalian imam Husain di atas ini dapat ditemui di: 

Bukhari dalam kitabnya al-Adabu al-Mufrodu, 1: 455, no: 364, dan dalam kitab Taariykhu al- Kabiyrnya, 8: 414-415; Sunan Tirmidziy, 5: 658; Sunan Ibnu Maajah, no: 144; Musnad Ahmad bin Hambal, 4: 172; Mu’jamu al-Thabraniy, 3: 20-22; al-Mustadrak, 3: 177; Ibnu al-Atsir dalam Usdu al-Ghaabahnya, 2: 19, 5: 130; Kanzu al-’Ummaal, no: 34289, 34264...; Ibnu Katsiyr dalam al-Bidaayah wa al-Nihaayahnya, 8: 206; al-Suyuuthiy dalam al-Jaami’u al-Shaghiyrnya, 1: 370; dan lain-lain dari banyak kitab Ahlussunnah dimana sampai melebihi 54 kitab mereka ( yang ingin melihat masing- masing kitab dan halamannya, lihatlah kitab al-Sujuud ‘Ala Turbati al-Husainiyah, karya Sayyid Muhammad al-Muusawiy, hal: 262-264 ). 

(berlanjut ke Fadhilah Tanah Karbala......!!!)


Catatan Lanjutan dan Sebelumnya:


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, (Bag: 1)

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, seri nukilan dari Buletin Al-Muraasalaat 16 (Bag: 1)



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, February 26, 2013 at 10:44 pm

Pertanyaan dari: Habeeb Al-rashed (Dari salah satu negara Arab)

Alamat E-mail: habeeb2020@maktoob.com

Tanya:

Di rumah kami ada pembantu muslimat dari Indonesia yang tidak bisa berbicara bahasa Arab dengan baik sama sekali. Ketika ia melihat kita shalat, selalu menanyakan mengapa kami sujud di atas turbah ( tanah yang dipadatkan seperti korek api, atau berbentuk bulat, red. ), apa turbah ini dan apa sebab dari semua ini, ........ dan begitu seterusnya menanyakan perihal sujud di atas turbah Husainiah ( tanah dari kota Karbala di Irak, red. ). 

Oleh karena itu alangkah senangnya kami seandainya ia mendapat jawaban dengan bahasa Indonesia yang dapat ia pahami. Terima kasih dan semoga Allah membalas antum dengan seluruh kebaikan. 

Jawab (dari Ust Hasan Abu Ammar hf)

Perhatian Pertama: Pertanyaan di atas datang dari salah satu negara Arab dengan alamat di atas kepada kantor Rahbar hf dengan alamat istiftaa@wilayah.org. Tapi karena kebetulan kami yang diminta untuk menulis makalah berbahasa Indonesia mengenai sujud di atas tanah tersebut sewaktu kami kebetulan berkunjung ke kantor itu, dan karena baik untuk dimasukkan ke buletin kami, maka atas sepengetahuan kantor yang dimaksud maka kami memasukkannya di sini ( al- Murasalat ). 

Perhatian Dua: Tulisan atau makalah ini tidak mewakili kantor Rahbar hf, sekalipun kebetulan kami diminta untuk menulisnya. Jadi jawaban dan makalah ini hanyalah suatu makalah biasa yang tidak dibarengi dengan bobot atas nama. Oleh karena itu hadapilah seperti menghadapi tulisan- tulisan biasa (bukan tulisan Rahbar hf, kantor beliau hf atau wakil beliau hf). 

Perhatian Tiga: Tulisan ini bukan bermaksud mengungkit-ngungkit masalah ikhtilafiah, tapi sekedar ingin membantu pemohon di atas dan para pembaca yang ingin mengetahui sedikit lebih rinci dan ilmiah mengenai hal yang dipertanyakan itu. 

Perhatian Empat: Karena di dalam madzhab Syi’ah masalah sujud di atas tanah tersebut temasuk masalah yang jelas dan tidak membingungkan bagi pemeluknya, maka kami akan menukilkan dalil-dalil dan hadits-hadits Sunni saja. 

Makna Sujud 
Sujud memiliki dua makna; bahasa dan syariat: 

Makna Bahasanya adalah merendahkan diri; memiringkan badan; menundukkan kepala; dan membungkukkan badan. Sebagian ahli bahasa kadang-kadang memang mengartikan meletakkan dahi di atas tanah, tapi mereka tidak bermaksud mengartikannya demikian kecuali secara tidak langsung dan hanya majazi, sebab mereka setelahnya langsung mengatakan bahwa “Dan tidak ada rendah diri melebihinya”. Oleh karena itu maka arti asal dari Sujud adalah Rendah Diri atau Merendahkan Diri. 

Mereka juga sering mencontohkan pemakaian kata Sujud yang bermakna membungkukkan badan dan menundukkan kepala ini, pada onta dimana orang-orang Arab ketika membungkukkan ontanya untuk dinaiki mereka mengatakan “Asjada al-Ba’iyr” ( mensujudkan onta ), atau ketika ontanya membungkuk siap dinaiki mereka mengatakan “Sajada al-Ba’iyr” ( onta bersujud ). 

Lihat di kitab-kitab: Mu’jamu Maqoyiysu al-Lughoh, karangan Ibnu Faris; Syajaru al-Dur Fi Tadaakhuli al-Kalaam Bi al-Ma’aaniy al-Mukhtalifah, karangan Abu al-Thayyib ‘Abdu al-Waahid bin ‘Aliy al-Lughawiy; al-’Ain, karangan al-Khalilu ibnu Ahmad; Ta’wiilu Musykili al-Qur'an, karangan Ibnu Quthaibah; al-Muhiith, karangan al-Shaahib bin ‘Ubbaad; al-Nihaayah, karangan Ibnu al-Atsiir; Lisaanu al-’Arab, karangan Ibnu Manzhuur; al-Adhdaad, karangan Ibnu al-Ambaariy; al-Qomuus, karangan al-Firuuz Aabaadiy; Taaju al-’Aruus, karangan al-Zubaidiy; al-Mughrib, karangan al- Mathriziy; al-Misbaahu al-Muniir, karangan al-Fiyuumiy; Majma’u al-Bahrain, karangan al-Thariihiy. 

Makna Syar’inya adalah (setidaknya ) meletakkan dahi ke atas tanah secara langsung dan tanpa penghalang. 

Berkata para ahli fiqih Hanafiah: Sujud yakni meletakkan dahi atau hidung ke atas tanah/bumi dengan merendahkan diri ( lihat Majma’u al-Anhar, 1/87 ). 

Ketika Nashir bin Yahya ditanya apakah boleh seseorang meletakkan dahinya ke atas tanah yang ada batu kecilnya ketika bersujud, ia berkata: Asalkan ia meletakkan sebagian besar dahinya ke atas tanah/bumi ( al-Mabsuuth, 1/289, karangan al-Surkhusiy ). Maksud dari perkataannya ini adalah seseorang bisa meletakkan dahinya ke atas batu-batu kecil asal sebagian besar dahinya menyentuh batu-batu tersebut, sebab batu-batu itu adalah bagian dari tanah/bumi. Dan kalau tidak, yakni hanya sebagian kecil saja,sehingga dahinya hanya menyentuh satu batu kecil dan tidak menyentuh batu-batu lain atau tanah, sehingga nampak kelihatan terganjal oleh batu itu, maka sujudnya tidak dianggap sah. 

Berkata ‘Aalimkiir dalam kitabnya al-Fataawaa al-Hindiyah 1/55: Kalau seseorang meletakkan dahinya ke atas batu kecil ketika bersujud, maka kalau sebagian besar dahinya menyentuh tanah/ bumi ( batu-batunya yang menyentuh tergolong banyak ), sujudnya menjadi sah, dan kalau tidak, maka sebaliknya. 

Berkata para ahli fiqih Malikiyyah: Sujud adalah meletakkan dahi ke atas tanah/bumi ( lihat dalam tafsir Qurthubi berkenaan dengan ayat: “ Ketika Kami berkata kepada para malaikat ‘Sujudlah kalian kepada Adam’ “ ). 

Berkata Ibnu al-Haaj dalam kitab Madkhalnya, 2/272: Dan dari kewajiban-kewajiban sujud adalah tidak bolehnya adanya penghalang antara dahi dan tanah/bumi. 

Berkata para ahli fiqih Hambaliyah: Sempurnanya sujud ke atas tanah/bumi adalah meletakkan dua tapak tangannya serta jari-jarinya ke atas tanah/bumi ..... ( al-Mughniy 1/520, karangan Ibnu Quddaamah al-Maqdisiy ). 

Berkata al-Murdaawiy dalam al-Inshaaf: Dan tidak diwajibkan bagi orang shalat untuk menyentuh langsung tanah/bumi kecuali dahinya. Maksudnya ketika seseorang sujud maka tidak diwajibkan menyentuh langsung bumi/tanah kecuali dahinya. Fatwanya ini berbeda dengan fatwa rekan semadzhabnya, Ibnu Quddaamah di atas. 

Berkata ahli fiqih Syaafi’iyyah, khususnya Syafi’iy sendiri ( Muhammad bin Idris ) dalam al-Um nya: Kalau seseorang bersujud dengan kepalanya dan dahinya tidak menyentuh bumi/tanah, maka sujudnya tidak dianggap sah. Tapi kalau sebagian dahinya menyentuhnya, maka sujudnya dianggap sah insyaallah ( lihat al-Um 1/114 ). 

Masih banyak kata-kata dari para pemuka madzhab seperti Zaidiyyah, Isma’iiliyyah, Kharijiyyah dan Zhahiriyyah yang bisa dinukil di sini. Tapi kami mencukupkannya demi meringkas tulisan ini. Namun yang jelas semua berkata sama, yaitu wajib hukumnya untuk menyentuhkan dahi ke atas tanah/bumi secara langsung dan tanpa penghalang, ketika bersujud.

Kesimpulan

Kesimpulan sementara yang bisa diambil dari arti Sujud secara Syar’i (agama) di sini adalah Meletakkan Dahi ke Atas Tanah/Bumi Secara Langsung dan Tanpa Penghalang, Baik Berupa Tanah atau Batu-Batuan. Sehingga dengan demikian kalau seseorang melakukan sujud tanpa memenuhi syarat di atas ini, misalnya sujud atau meletakkan dahi di atas kain, karpet, sejadah dan semacamnya, maka sujudnya tidak bisa dianggap sah dilihat dari kacamata agama. Nanti akan lebih jelas lagi mengenai hal ini, insyaallah. 

Arti Tanah/bumi 

Sebenarnya arti tanah/bumi dalam hal ini tidak perlu dijelaskan lagi, namun demi menghilangkan sebagian rasa was-was, maka perlu kiranya tanah/bumi di sini sedikit diperjelas sekali lagi. 

Pada semua kalimat ahli fiqih di atas dan di hadits-hadits yang akan datang, pada tanah atau buminya memakai kata-kata “Ardhun” atau “al-Ardhu”. Secara umum, pemakaian kata ini dimaksudkan untuk “Bumi” atau “Tanah” dimana termasuk batu-batu dan bagian-bagian tabiatnya, seperti pepohonan. Dan tidak ada satupun yang memakainya untuk kain, karpet, kursi, sejadah dan semacamnya. 

Sebenarnya, makna ini tidak ada yang meragukannya, terlebih dimasa awal-awal keislaman. Oleh karena itu tidak heran kalau diantara para ahli fiqih di atas mengatakan “Dan tidak diwajibkan bagi orang shalat untuk menyentuh langsung bumi/tanah kecuali dahinya “. Sementara ia sendiri adalah orang Sunni ( Ahlussunnah ) dan perkataannya ini ditujukan untuk orang-orang Sunni yang lain yang mewajibkan bagi orang sujud untuk menyentuhkan semua anggota sujudnya ke tanah secara langsung sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Quddaamah di atas. 

Kesimpulan sementara yang bisa diambil dari semua ini adalah ulama-ulama Sunni membolehkan seseorang menyentuhkan dahinya ke bumi/tanah ketika bersujud sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah, dan bahkan sebagaimana di atas, hal itu diwajibkan sehingga batallah sujud orang-orang yang tidak menyentuhkan dahinya ke tanah. 

Hukum Meletakkan Dahi ke Tanah 

Hukum meletakkan dahi ke tanah ( termasuk batu-batu, pasir dan pepohonan yang tidak dimakan dan dijadikan pakaian ) dalam sujud, di dalam Syi’ah adalah wajib. Sementara menurut para ahli fiqih Sunnipun, sebagaimana kami nukil di atas, adalah wajib pula hukumnya. Bahkan menurut sebagian hukum di Ahlussunnah ini, hukum menyentuhkan anggota sujud ke tanah lebih luas dari yang ada di dalam madzhab Syi’ah. Karena menurut sebagian mereka sempurnanya sujud adalah dengan meletakkan seluruh anggota sujud yang tujuh ( dahi, dua tapak tangan, dua lutut dan dua kaki ) dan bahkan hidung, ke atas tanah. Sementara yang ada di madzhab Syi’ah hanya dahi saja. Atau sebagian mereka mensyaratkan pada sentuhan dahi ke tanah tersebut, hendaknya sebagian besar dahi mesti menyentuh tanah, sementara di Syi’ah minimalnya sebesar kuku ibu jari tangan saja. 

Dengan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa menyentuhkan dahi ke tanah adalah bukan sembarang hukum, apalagi dikatakan sebuah bid’ah yang dibuat oleh orang-orang Syi’ah. Terlebih lagi ada yang mengatakan bahwa orang Syi’ah telah melakukan kemusyrikan karena telah menyembah batu atau tanah yang dicetak sebesar korek api. Tidak, tidak demikian. 

Tapi menyentuhkan dahi ke tanah tersebut merupakan kewajiban syariat yang tidak bisa ditawar- tawar manakala tidak ada halangan, dan sujud secara syariat Islam (bukan istilah kata dan bahasa) tidak terjadi manakala dahi tidak menyentuh tanah secara langsung. 

Janganlah pembaca berkata bahwa maksud tanah (ardhun) adalah bumi secara umum, yakni apa- apa yang kita injak dengan kaki atau arah bawah kita dan dasar kita berdiri, dimana termasuk lantai keramik rumah kita, karpet, tikar, perahu, kereta api, dan semacamnya. Sehingga dengan demikian maka kewajiban menyentuhkan dahi ke tanah maksudnya adalah menyentuhkan dahi ke lantai atau ke karpet atau ke sejadah yang kita injak, dan maksud dari tidak bolehnya ada penghalang, yakni tidak bolehnya bagian baju yang kita pakai menghalangi sentuhan dahi dengan lantai (karpet, dan lain-lain) yang kita shalat di atasnya, sebagaimana kami dengar hukum ini sewaktu kami masih kecil dan bermadzhab Sunni. 

Sebab, disamping semua itu tidak sesuai dengan makna Ardhun ( tanah/bumi ) dan keluar dari pemakaian orang-orang Arab, hal tersebut juga akan memberikan makna bahwa para ulama dan para ahli fiqih terdahulu itu, telah melakukan hal-hal yang sia-sia dan tidak memahami bahasa Arab serta sedikit kurang normal akal. Sebab ketika mereka berbeda pendapat bahwa apakah dalam bersujud mesti dan wajib menyentuhkan semua anggota sujud yang tujuh atau hanya dahi saja atau dahi dan hidung, berarti mereka telah mengkhayalkan bahwa yang melakukan sujud itu berada di udara dan melayang-layang. 

Sebab, ketika orang melakukan shalat, kakinya pasti menginjak dasar ( lantai ), apapun dasar itu. Begitu pula ketika bersujud, maka kala itu kedua tangan, kedua lutut dan kakinya pasti menyentuh dasar. Nah, kalau mereka berbeda pendapat apakah wajib semua anggota sujud yang tujuh tersebut menyentuh lantai atau tidak, berarti mereka telah membayangkan bahwa yang sujud tersebut melayang-layang di udara. 

Dan pembaca budiman tidak bisa mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah tidak bolehnya anggota sujud yang tujuh itu terhalang baju yang kita pakai. Sebab tidak ada yang membatalkan orang sujud dalam shalat dengan memakai kaos kaki, atau tidak ada orang yang mewajibkan orang sujud dalam shalat untuk menyingkap celananya sehingga kulit lututnya terkena lantai, terlebih kalau yang shalat itu perempuan. 

Begitu pula sebagaimana yang akan lebih jelas nanti ( lihat hadits-hadits yang akan datang ), bahwa ketika seseorang sedang berhalangan menyentuhkan anggota sujudnya ke tanah seperti karena panas dan dingin yang tidak bisa ditahan, justru dibolehkan berlandaskan bajunya yang dipakai, bukan dengan kain lain atau sejadah. 

Nah, dengan demikian maka hukum meletakkan seluruh atau sebagian anggota sujud ke tanah ini, tidak bisa ditakwil-takwil lagi bahwa maksud tanah di sini adalah tanah dengan makna khusus dan aslinya ( termasuk batu-batu, pasir, dan lain-lainnya ) dan bukan bermakna “dasar” secara umum yang menyangkut karpet, sejadah ( sajjaadah ), keramik, perahu, pesawat terbang, dan lain-lain. 

Dalil-dalil Wajibnya Sujud ke Atas Tanah 

Dalam kitab-kitab hadits Ahlussunnah Waljama’ah banyak sekali hadits yang menyatakan bahwa sujud ke tanah itu merupakan kewajiban, bukan kesunnahan atau sekedar kebolehan saja. Di sini kami akan menukilkan sebagiannya saja demi keringkasan, dan dalam bentuk pengelompokan tertentu yang akan disesuaikan dengan tajuk-tajuk tertentu pula. 

Yang perlu diingat adalah bahwa semua riwayat-riwayat yang akan dinukil nanti memiliki maksud dan nilai yang sama dilihat dari sisi hukum. Nah, perhatikanlah hadits-hadits berikut ini sehingga hukum wajibnya sujud di atas tanah tersebut akan kelihatan terang dan tidak meragukan lagi: 

Ucapan Nabi SAWW 

Kami akan menukilkan sebagiannya di sini dan dalam bentuk satu-dua kalimat yang mirip. Tapi dalam penyebutan adresnya kami akan menyebutkan lebih banyak lagi sekalipun masing-masing kalimatnya tidak sama persis, namun yang memiliki kesamaan maksud, tentu saja halaman kitab bisa berbeda dan yang kami jadikan pedoman adalah kitab aslinya yang berbahasa Arab, begitu pula penukilan lain di semua tulisan makalah ini. 

Rasulullah SAWW bersabda: 
  • “Bumi/tanah ini telah dijadikan untukku tempat sujud (masjidan) dan pembersih (thohuuron)” 
  • “Semua permukaan bumi/tanah ini telah dijadikan (oleh Tuhan, red) untukku tempat sujud dan pembersih“ 
  • “Semua bumi/tanah telah dijadikan untuk kita tempat sujud dan pembersih“ 
  • “Semua tanah/bumi adalah tempat sujud kecuali kuburan dan tempat mandi“. (Hadits ini dimuat di semua kitab shahih yang enam menurut pengarang Nailu al-Authoor 2: 133, yang dapat kami nukil alamatnya bisa anda lihat di bagian alamat hadits yang akan datang). 
  • “Bumi/tanah telah dijadikan untukku bersih dan tempat sujud, maka barang siapa yang me- masuki waktu shalat hendaknya ia shalat di mana saja ia berada“ 
Penjelasan Hadits: Maksud dari “Masjid” dalam hadits-hadits di atas ini bukan bermakna “Tempat Shalat” sebagaimana mungkin dipahami oleh sebagian orang. Sebab dalam hadits-hadits terse- but memiliki qorinah atau tanda-tanda dan alamat dari maksud yang terkandung. Yaitu kata “Thohuuron” yang berarti “Pembersih”. Karena yang dimaksudkan “Pembersih” di sini adalah ketika dipakai tayammum. Yakni, tanah adalah pembersih hadats ketika kita bertayammum sewaktu tidak ada air. 

Ketika “Bumi/tanah” dalam hadits itu adalah yang bisa diperuntukkan untuk tayammum, maka jelas maksudnya adalah “Tanah/bumi” yang berarti “Tanah”, bukan yang bermakna “Dasar kita berpijak”. Oleh karena itu “Tanah” di sini tidak mungkin mengandungi juga maksud-maksud seperti karpet, sejadah, keramik, lantai-semen, perahu, dll yang keluar dari makna tanah-asli. 

Nah, kalau maksud “Tanah”-nya sudah jelas, maka akan jelas pula bahwa yang dimaksudkan oleh kata “Masjid” di sini akan bermakna “Tempat Sujud”, bukan “Tempat Shalat”. Sebab, sebagaimana maklum, tidak mungkin seseorang melakukan shalat sementara ia melayang-layang di udara. 

Dan ketika “Masjid”-nya sudah jelas, maka akan jelas pula maksud-hukum dari hadits-hadits tersebut, yaitu wajib hukumnya meletakkan anggota sujud atau setidaknya dahi, ke atas tanah- asli, bukan ke atas dasar-berpijak yang bukan tanah-asli. 

Alamat Semua Hadits di Atas itu: Shahih Bukhari, Kitab al-Shalat, 1: 91 ( lihat juga 1: 86 dan 1: 113 ); Shahih Muslim 1: 371 dan 2: 64; Sunan al-Nasaa-iy, bab: tayammum 1: 210 ( atau lihatlah juga di 2: 32 ); Sunan Baihaqi, bab: Tayammum dengan Tanah yang Suci, 1: 212 ( lihat juga di 2: 433-435 dan 6:261 ); Sunan al-Tirmidziy 2: 131, 133 dan 4: 123 ( atau lihat juga di 2: 114 ); Sunan Abu Daud 1: 79; Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Wa Iqtidhaau al-Shiroothi al-Mustaqiim, hal: 332; dan lain-lain.. 

Hadits-hadits seperti di atas itu diriwayatkan oleh banyak shahabat seperti, Imam Ali as., Abdullah bin Umar ( khalifah ), Abu Hurairah, Jabir, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Hudzaifah, Abi Amamah, Abu Dzar, dan lain-lain. 

Perintah Nabi SAWW 

Kami akan menukil sebagiannya saja perintah-perintah Nabi SAWW berkenaan dengan wajibnya sujud di atas tanah ini sebagaimana yang terdahulu: 

Diriwayatkan oleh Ummu Salamah ( istri Nabi SAWW ) dari Nabi SAWW bahwa beliau bersabda kepadanya: 
  • “Debukan ( tarrib! ) wajahmu untuk Allah!!!“ ( Kanzu al-’Ummaal, kitab: Shalat, 7: 465 ). Maksud Nabi SAWW dari “debukan” adalah “ Sentuhkanlah dahimu ke tanah secara langsung ketika bersujud “. Sebab kata “Tarrib” adalah “debukan”, bukan lantaikan atau bumikan atau bawahkan, sehingga barangkali ada yang mengira bahwa maksudnya adalah sentuhkan dahi ke bawah langsung, yakni ke apa-apa saja yang ada di bawah seperti sejadah dan lain- lainnya. 
  • Khalid al-Jahmi ( shahabat ) berkata bahwa: “Rasulullah SAWW melihat Shuhaib ketika bersujud seakan-akan ia menghindar dari debu-debu, maka dari itu Nabi SAWW bersabda kepadanya“: “Debukan ( tarrib! ) wajahmu ya ... Shuhaib !” ( kitab al-Mushannif karya ‘Abdu al-Rozzaaq, 1: 392 ). 
  • Bersabda Nabi SAWW untuk Ma’aadz ( shahabat ): “Lumurkanlah ke debu wajahmu itu!!!(‘Affir wajhaka fi al-turoob!) “ (Irsyaadu al-Saariy, 1: 405 ) 
  • Bersabda Nabi SAWW untuk Robaah: “Ya... Robaah, debukan ( wajahmu, red. )“ ( Kanzu al-’Ummaal 4: 99-212 atau dalam cetakan lain 7: 324; al-Ishaabah 1: 502, no: 2562; Usudu al-Ghaabah 2: 161 ). 
  • “Kalau kalian melakukan shalat maka hendaknya mesti meletakkan dahi dan hidungnya ke tanah sehingga ia nampak hina“ ( al-Nihaayah, karya Ibnu Atsir jilid: 2, kata dasar: Roghama ( hina ). 

Perintah Nabi SAWW Menghilangkan Penghalang 

Di bawah ini kami akan menukil contoh-contoh larangan Nabi SAWW terhadap adanya halangan yang dapat menghalangi sentuhan dahi ke tanah: 

Shaleh al-Sabaa-iy berkata: “Rasulullah SAWW melihat orang bersujud di sampingnya dimana serbannya (amamahnya) menghalangi dahinya, lalu Rasulullah SAWW menyingkapnya dari dahi- nya“ (Sunan Baihaqiy, 2: 105) 

Berkata ‘Ayaadh bin ‘Abdullah: “Rasulullah SAWW melihat seseorang bersujud ke atas lilitan amamahnya (baca: terganjal, red.) lalu beliau memberi isyarat kepada orang tersebut dengan tangannya agar mengangkat serbannya dan beliau mengisyaratkan kepada dahi beliau (maksudnya agar menyentuhkan dahinya ke tanah, red.)“ (Sunan Baihaqiy, 2: 105). 

Sekali lagi, janganlah pembaca berkata: “ Itu semua menandakan bahwa ketidakbolehan adanya penghalang dari apa-apa yang dipakai orang yang shalat, bukan semacam karpet, sejadah, dan lain-lain. “. Sebab, di depan sudah kami jawab bahwa hal itu tidak demikian halnya. Karena tidak ada orang membatalkan orang shalat pakai kaos kaki, kaos tangan, celana atau sarung yang menutupi lutut. 

Pembaca juga tidak bisa mengatakan bahwa “ Ketidakbolehan adanya penutup dari pakaian itu hanyalah untuk dahi “, sebab dari hadits-hadits yang terdahulu dan yang akan datang hal tersebut sangat jelas kesalahannya. Karena tak mungkin pembaca ragu akan maksud Nabi SAWW ketika bersabda: 

“Lumurkan wajahmu ke debu“. 

Apalagi ketika beliau bersabda seperti itu untuk Ummu Salamah ( istri beliau ). Sebab tak mungkin di rumah Nabi SAWW tidak memiliki kain sedikitpun atau apa saja untuk menutupi dahi istrinya dari debu supaya tidak mengotori wajah dan dahinya kalau hal itu memang dibolehkan. Terlebih lagi malah Nabi besar SAWW bersabda: “ Debukan wajahmu untuk Allah!!! “ . 

Lampa/teladan Nabi SAWW 

Di bawah ini akan kami nukil sebagian hadits-hadits yang menunjukan apa-apa yang telah di-Lampa- kan Nabi SAWW (dilakukan/dicontohkan) dalam hal bersujud ini, dan dalam penyebutan alamat hadits-haditsnya kami akan menjadikannya satu dari hadits-hadits yang sama atau berdekatan: 

Berkata al-Waa-il bin Hajar: “Aku melihat Nabi SAWW kalau bersujud meletakkan dahi dan hidungnya ke tanah“ (Ahkaamu al-Qur'an, karya al-Jashshaash al-Hanafi, 3: 209, cet: Bairut). 

Berkata Humaid bin al-Saa’idiy: “ Kalau Rasulullah SAWW bersujud meletakkan dahi dan hidungnya ke tanah “ (Sunan al-Tirmidziy, 2: 59; Sunan Abu Daud menurut nukilan Nailu al-Authoor 2: 257; Shahih Khazimiym 1: 322). 

Berkata Waa-il bin Hajar al-Hadhramiy: “ Aku melihat Rasulullah SAWW bersujud ke atas tanah dengan meletakkan dahi dan hidungnya “ (Musnad Ahmad bin Hambal, 4: 314). 

Berkata Abu Hurairah: “ Rasulullah bersujud (dalam shalat, red.) di musim hujan, sehingga aku melihat bekasnya (lumpur) di dahi beliau dan hal itu membuatnya hina (di hadapan Tuhan) “. (Majma’u al-Zawaa-id, 2: 126). 

Berkata Abu Sa’id al-Khudriy: “ .....Kemudian Nabi SAWW shalat bersama kami lalu kami lihat di dahi beliau lumpur dan air (bekas sujud) sehingga hal itu membuatnya semakin hina (dihadapan Tuhan) “. (Shahih Bukhari, 1: 162, dengan sedikit perbedaan kalimat; al-Muwaththa’, hal: 167, akhir bab: al-I’tiqoof; Sunan Nasai, 2: 208) 

Berkata Ibnu Abbas: “ Sesungguhnya Nabi SAWW bersujud di atas batu (baca: pernah bersujud, red.) “. (Sunan Baihaqiy, 2: 102). 

Berkata ‘Aisyah: “ Aku tak pernah melihat Rasulullah SAWW meng-alasi (meleme’i, mensejadahi, dan seterusnya.) wajahnya dengan apapun (ketika bersujud) “. (al-Mushannif 1: 397; Kanzu al- ’Ummaal, 4: 212, dalam cetakan yang lain, 8: 85). 

Komentar: Kalau orang mencari kebenaran yang sesungguhnya, atau setidaknya mencari jalan yang paling selamat, maka tidak mungkin meragukan kebenaran hadits-hadits di atas ini, dan mengutamakan atau mendahulukan kebiasaannya atau perkataan selain Nabi Besar SAWW. seperti guru dan kiyainya. Atau tidak mungkin menyalahkan apa-apa yang telah dilakukan orang- orang Syi’ah dalam sujud mereka. Tapi apa boleh buat, tidak ada paksaan dalam agama atau berpendapat. Semoga Tuhan menunjuki semua muslimin ke jalan yang benar, amin, sehingga di akhirat kelak tidak kehilangan shalat mereka. 

Sujud Rasulullah SAWW Ketika Ada Rintangan 

Hadits-hadits di atas menunjukkan kewajiban menyentuhkan semua anggota sujud yang tujuh -setidaknya dahi- ke tanah ketika bersujud dikala tidak ada rintangan yang dicontohkan Rasulullah SAWW.. Di sini kami akan menukil hadits-hadits yang menceriterakan apa-apa yang dicontohkan Rasulullah SAWW ketika berhalangan, seperti panas, dingin dan sehabis hujan. 

Yang Perlu Diingat adalah bahwa sebagian riwayat-riwayat di bawah ini nampak ada pertentangannya dengan sebagian hadits-hadits terdahulu. Misalnya hadits terdahulu mengatakan bahwa Nabi SAWW sujud ke tanah sekalipun sehabis hujan atau kesaksian ‘Aisah yang mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat Rasulullah meng-alasi dahinya dengan apapun, dan lain-lain. Sementara hadits-hadits di bawah ini akan berceritera lain. Apakah betul bertentangan? 

Sisi Pertemuannya adalah bahwa hadits-hadits berikut ini tidak menjelaskan dengan terang bahwa Rasulullah SAWW mendasari dahinya dengan kain atau semacamnya. Dan yang dialasi karena hujan atau panas atau dingin hanyalah anggota sujud yang lainnya, yakni selain dahi. Begitu pula kadang-kadang Rasulullah SAWW tidak meng-alasi tangannya sekalipun berhalangan, sebagaimana yang akan pembaca temui sebentar lagi. Jadi, hadits-hadits terdahulu dengan hadits-hadits berikut tidak bertentangan sedikitpun. 

Hakikat Yang Sebenarnya adalah sesuai dengan apa-apa yang dipahami orang-orang Syi’ah melalui imam-imam mereka dari keturunan yang makshum dari Nabi SAWW. bahwa kewajiban menyentuhkan anggota sujud ke tanah hanyalah pada anggota dahi, bukan yang lainnya, sekalipun boleh-boleh saja. 

Berkata Ibnu Abbas: “ Aku melihat Rasulullah SAWW melakukan shalat di atas baju (atau kain?, red.) putih di pagi hari ( subuh ) yang dingin untuk menghindarkan rasa dingin di kaki dan tangannya “ (Sunan Baihaqiy, 2: 106). 

Berkata Ibnu Abbas di tempat yang lain: “Aku pernah melihat Rasulullah SAWW di musim penghujan menghindari lumpur ketika bersujud dengan meletakkan baju (kain) kecuali tangannya “. (Siyrathunaa wa Sunnatunaa, hal: 132, menukil dari Ahmad bin Hambal). 

Berkata Abdullah bin Abdurrahman: “Rasulullah SAWW datang kepada kami dan kemudian melakukan shalat diantara (bersama) kami di masjid Bani ‘Abdu al-Asyhal, lalu kulihat beliau meletakkan tangannya di atas bajunya (kain) ketika bersujud “ (Sunan Ibnu Maajah, 1: 328, bab: al-Sujuud ‘Ala al-Tsiyaab fi al-Har wa al-Bard -bab: Sujud di atas baju di waktu panas dan dingin). 

Berkata Tsabit bin Shaamit -dengan beberapa perantara: “ Sesungguhnya Rasulullah SAWW shalat bersama kami di masjid ‘Abdu al-Asyhal, sementara beliau memakai baju ( kain ) yang berlipat yang dijadikan alas tangannya untuk menghindari dinginnya batu-batu “ ( Sunan Ibnu Maajah, 1: 328 ). 

Berkata Anas: “ Kalau kami shalat di belakang Rasulullah SAWW di siang hari yang sangat panas, kami bersujud di atas baju kami demi menghindari panas “ ( Sunan Nasaa-i, 2: 216; Sunan al- Daarimiy, 1: 308 ). 

Berkata Khabaab bin al-Art: “ Kami mengeluh kepada Rasulullah SAWW tentang panas yang menyengat di tapak tangan dan dahi kami, tapi beliau tidak menghiraukan keluhan kami itu “ ( Shahih Muslim, 1: 433; Sunan Baihaqi, 1: 438, 2: 105-107 ). 

Komentar: 

Sangat mungkin sekali bahwa Nabi SAWW ketika tidak menghiraukan Khabaab lantaran waktu itu panasnya masih dapat ditahan, atau karena hal itu mudah diatasi seperti shahabat-shahabat yang lain sebagaimana yang akan lebih jelas nanti bahwa mereka kadang-kadang meng-alasi anggota sujudnya dengan baju ( kemungkinan besar hanya selain dahinya sebagaimana maklum ) atau menyimpan batu-batu kecil di tangan mereka sewaktu shalat supaya dingin dan ketika bersujud diletakkan di tempat dahinya, atau karena keluhannya itu menandakan kurang sukanya ( semoga tidak demikian ) terhadap hukum sujud itu, atau kemungkinan-kemungkinan lain yang kita tidak bisa mengerti saat ini. 

Kesimpulan

Kesimpulan sementara yang bisa diambil dari semua hadits-hadits ini adalah bahwasanya seseorang itu bisa melandasi anggota sujudnya dengan bajunya ketika berhalangan saja. Yaitu ketika panas dan dinginnya menurut ukuran umum tidak bisa ditahan, atau lumpurnya terlalu banyak dan becek. Dan kita mesti memaknai hadits-hadits yang mengatakan bahwa Nabi SAWW sujud ke baju tanpa menyebut halangannya dengan makna berhalangan. 

Sebab, bisa saja seseorang tidak menyebut halangan Nabi SAWW itu karena ia memang tidak memperhatikannya dalam menceriterakan sujud Nabi SAWW itu (tidak bermaksud menceritakan- nya) atau ia memang tidak tahu halangan yang dihadapi Nabi SAWW. Sebab sebagaiamana yang telah lalu dan yang akan datang kita dapat melihat bahwa Nabi SAWW mewajibkan sujud ke atas tanah tanpa rintangan, atau bisa juga bahwa yang menukil dari shahabat tersebut ( perawi pertama ) tidak memperhatikan sepenuhnya atau tidak menukil sepenuhnya tapi tidak dengan niat mengurangi beritanya ( baca: tidak perhatian ). Jadi, hadits-hadits tersebut mesti dimaknai berhalangan. Misalnya seperti riwayat ini: 

Berkata Ibnu ‘Abbas: “ Aku melihat Rasulullah shalat dan sujud di atas bajunya “ ( Bukhariy, 1: 101; dan lain-lain ). 

Catatan

Hukum sujud dalam rintangan ini masih memiliki hal-hal yang perlu diperhatikan kalau seseorang itu memang mencari jalan selamat atau setidaknya jalan paling selamat dan hati-hati. Jadi, tidak cukup hanya sampai di situ. 

Misalnya, hadits-hadits di atas tidak jelas membolehkan melandasi dahi dengan sesuatu sekali- pun dalam waktu berhalangan. Oleh karena itu tidak heran kalau ‘Aisah ( istri Nabi SAWW ) mengatakan: “ Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAWW melandasi wajahnya dengan apapun“ ( lihat hadits terdahulu ). Ini yang pertama. Bahkan banyak riwayat yang mengatakan bahwa Nabi SAWW hanya melandasi kedua tangan dan kakinya saja atau hanya tangannya atau bahkan tidak termasuk tangannya, lihat empat riwayat pertama dari sub judul ini, yakni Sujud Rasulullah SAWW Ketika Ada Rintangan. 

Yang ke dua, dalam riwayat-riwayat yang menunjukkan kebolehan melandasi selain dahi itu ( atau juga dahi ) dengan sesuatu selain tanah, hanya diwaktu berintangan, dan juga hanya dibolehkan dengan melandasinya dengan bajunya, bukan dengan sesuatu yang tidak dipakai seperti sejadah, karpet, dan lain-lain. Oleh karena itu berkata al-Syaukaaniy di Nailu al-Authoor 2: 268 ( Ibnu Hajar juga berkata mirip seperti ini di al-Fath, 1: 414 ): 

“Hadits-hadits di atas ( sujud dikala berhalangan, red. ) menunjukkan bolehnya sujud di atas baju ketika berhalangan. Hal itu menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah menyentuh tanah secara langsung, karena -dalam riwayat-riwayat itu- diterangkan bahwa pelandasan baju itu dilakukan ketika berhalangan. Dan juga, sebagian orang berdalil dengan hadits-hadits itu bahwa kebolehan pelandasan itu hanya dengan baju yang dipakai ( tidak dengan yang lainnya seperti sejadah, dan lain-lain, red. ) oleh yang melakukan shalat, dan dalam hal ini al-Nawawi berkata bahwa Abu Hanifah berhukum dengan hukum ini ( pelandasan dengan baju yang dipakai ), dan begitu pula jumhur ( umumnya ahli fiqih ).” 

Ke tiga, memang ada riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa sebagian shahabat melandasi dahinya dengan baju sewaktu berhalangan ( seperti panas ) namun yang demikian itu tidak bisa dijadikann jaminan seratus peratus. Sebab bertentangan dengan apa-apa yang disaksikan ‘Aisah dari shalat Nabi SAWW yang sama sekali tidak pernah melandasi wajahnya dengan apapun, baik baju atau selainnya. 

Jadi, bisa saja tidak diketahui Nabi SAWW karena mereka shalat dibelakang beliau sementara shahabat yang melakukannya itu tidak melaporkannya kepada beliau. Padahal, perbuatan shahabat itu bisa dijadikan jaminan dan ukuran syariat, apabila Nabi SAWW mengetahuinya dan beliau membolehkan, atau setidaknya mendiamkannya. Jadi, secara lebih hati-hatinya hendaknya seseorang tetap tidak melandasi dahinya dengan apapun dan hendaknya menyentuhkannya ke tanah secara langsung. 

Sedang hadits-hadits yang menggambarkan perbuatan sebagian shahabat yang melandasi dahi- nya dengan baju yang dipakai sewaktu berhalangan ( seperti panas ), maka akan kami nukil di bawah ini, dan hadits-hadits ini dapat ditemukan di: 

Shahih Bukhari, 1: 101, 143-170, 2: 81, bahkan di Bukhari ini ada judul yang bernama: Sujud di Atas Baju di Waktu Udara dan Batu-batu Panas Menyengat ( bukankah ini menunjukkan tidak bolehnya dilakukan diwaktu tidak adanya halangan ???, red. ); Shahih Muslim, 2: 109; Sunan Ibnu Maajah, 1: 321; Sunan Abu Daud, 1: 106; Musnad Ahmad bin Hambal, 1: 100; Nailu al-Authoor, 2: 268; dan lain-lain.. 

Berkata Anas bin Malik: “ Kalau kami shalat di belakang Nabi SAWW lalu salah satu diantara kami tidak bisa meletakkan dahinya ke tanah secara langsung lantaran panas yang sangat menyengat, maka ia melandasi dahinya dengan bajunya “ 

Ia juga berkata: “Salah satu diantara kami sewaktu shalat bersama Nabi SAWW menghamparkan ujung bajunya yang dipakai sebagai tempat sujud diwaktu panas sedang menyengat. « 

Komentar: Masih ada lagi kesaksian-kesaksian Anas ini sehubungan dengan apa-apa yang dilakukan oleh sebagian shahabat sewaktu sujud di waktu panas yang sangat menyengat. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa: 

Pertama, hukum asal yang mesti dilakukan ketika tidak ada halangan adalah meletakkan anggota sujud -setidaknya dahi- ke atas tanah ( termasuk semacam pasir dan batu ) secara langsung, dan tidak boleh melandasinya dengan apapun, baik dengan baju yang dipakai atau dengan semacam sejadah, karpet, keramik, dan lain-lain. 

Ke dua, teriknya matahari atau panasnya tanah, bukan pertanda terangkatnya hukum kewajiban di atas. Sebab, sesuai dengan yang disaksikan Anas tadi, yang meletakkan ujung bajunya untuk disujudi hanyalah sebagian shahabat yang tidak kuat menahan panasnya itu, dan bukan berarti semua shahabat ramai-ramai meletakkan ujung bajunya. Dengan demikian, maka pembaca dapat mengira sendiri, apa gerangan hukumnya orang-orang yang melandasi dahinya dengan sejadah, karpet, dan lain-lain. sewaktu tidak ada halangan dan/atau sewaktu ada halangan tapi masih bisa menahannya. 

Nabi Sujud di Atas Tikar 

Di bawah ini akan kami nukil hadits-hadits yang menceriterakan bahwa Nabi besar SAWW bersujud di atas tikar. Dan tidak ada lagi hal lain yang dapat diambil dari semua hadits-hadits Nabi SAWW berkenaan dengan sujud ini, kecuali tiga hal di atas itu, yaitu sujud di atas tanah (termasuk batu, dan lain-lain), di atas ujung baju yang dipakai ketika berhalangan, dan yang terakhir adalah di atas tikar ini. 

Kalau para pembaca budiman memperhatikan bahwa di jaman Nabi SAWW ada yang namanya kain, permadani ( karpet ), besi, emas, kulit binatang, dan lain-lain., akan tetapi Nabi SAWW dan para shahabat tidak menggunakannya untuk alas sujud baik di kala tidak ada halangan ataupun ketika ada halangan, maka dapat diketahui dengan yakin bahwa semua itu tidak diperkenankan oleh syariat sendiri. 

Lalu dari mana kaum muslimin selain Syi’ah mengambil contoh dan dasar hukum sehingga mereka bersujud di atas karpet, permadani, sejadah-kain, dan lain-lain.? Lalu mengapa mereka justru menanyakan dan mempermasalahkan orang-orang Syi’ah yang sujud di atas tanah? Bukankah hal ini suatu kenyataan yang terbalik? 

Kalau pembaca merujuk ke hadits-hadits aslinya yang berbahasa Arab, maka di sana, selain Nabi SAWW sujud di atas tanah, tidak akan ditemui hal lain kecuali bahwa Nabi SAWW bersujud ke atas Hashiyrun, Khumrotun, Fahlun dan Thinfasatun/Thanfisatun dan Bisaathun. 

Hashiyrun adalah tikar yang dibuat dari daun-daun Bardiy, tumbuhan air yang banyak tumbuh di sekitar sungai Nil yang panjangnya bisa sampai satu meter atau lebih. Khumratun adalah tikar yang dibuat dari serabut pelepah pohon kurma. Dan Fahlun adalah tikar-Hashiyr yang telah menghitam ( kata Ibnu Maajah ) atau tikar yang dibuat dari pelepah pohon kurma yang jantan ( kata sebagian yang lain yang ditulis di catatan kaki kitab Sunan Ibnu Maajah ). 

Sedang Thinfasah atau Thanfisah memiliki banyak makna yang diterakan dalam kamus-kamus bahasa Arab-Arab. Di kitab al-Qoomuusu al-Muhiyth berarti Hamparan, Kain dan Tikar dari pelepah pohon kurma yang lebarnya sehasta. Di kitab al-Mishbaahu al-Muniyr bermakna sesuatu ( hamparan ) yang diletakkan di antara pelana dan kedua bahu unta. Di kitab al-Muhallaa bermakna Hamparan dari bulu kambing ( binatang ). 

Dan karena dengan berbagai dalil terdahulu dan yang akan datang bahwa sujud tidak boleh kecuali di atas tanah atau yang tumbuh dari padanya dari yang tidak dimakan dan dipakai, maka kalau kita temui kata Thinfasah ini dalam hadits-hadits sujud, maka jelas makna tikar dari pelepah pohon kurma yang mesti kita ambil. Terlebih lagi kalau pembaca merujuk pada pemakaian orang terdahulu seperti tabi-’in, maka pembaca akan temui bahwa yang dimaksudkan adalah tikar tersebut yang juga disebut Khumroh ( lihat hadits tabi-’in no: 8 yang akan kami muat di Sub Judul: Tabi’iyn Membawa-bawa Bata, yang akan datang ). 

Bisaathun bermakna hamparan yang umum. Bisa dari permadani dan bisa dari tikar atau bahkan bebatuan. Tapi karena sujud di atas selain tanah/batu dan dedaunan tidak dibolehkan, maka kata Bisaath ini, kalau dijumpai dalam hadits-hadits shalat atau sujud, akan bermakna tikar-daun atau bahkan hamparan batu sebagaimana akan anda lihat di sabda Nabi SAWW mendatang. 

Yang jelas, bahwa semua tikar atau alas ( bisaathun ) itu dibuat dari dedaunan atau pohon yang tidak dimakan dan dipakai ( baju ), atau bisaath secara khusus ini, bisa bermakna hamparan batu sebagaimana maklum. 

Oleh karena itu maka apa yang dipahami orang-orang Syi’ah yang pahamannya itu diambil dari para keturunan yang makshum dari Nabi SAWW yang dikenal dengan para Imam-makshum as., adalah pahaman yang sangat sesuai dengan contoh Nabi SAWW atau para shahabat yang diceriterakan dalam hadits-hadits Ahlussunnah Waljama’ah ini. 

Pahaman mereka ( Syi’ah ) adalah sujud hanya dibolehkan di atas tanah ( termasuk batu dan pasirnya ) dan apa-apa yang tumbuh darinya tapi yang tidak dimakan manusia dan dipakainya. Dan bahkan kalau tanah dan tikar itu, misalnya, telah menjadi kotor atau terhalangi dengan wujud 

lain seperti cet sehingga dahi tidak bisa menyentuh langsung alas-alas yang diwajibkan tadi, maka sujudnya tidak sah. Lihatlah contoh Nabi SAWW berikut ini, maka pembaca akan melihat bahwa Nabi SAWW membersihkan terlebih dahulu tikar yang telah menjadi hitam karena kotor dengan air baru kemudian memakainya sebagai alas shalat. 

Berkata Abu Sa’iyd: “ Aku berkunjung kepada Nabi SAWW dan aku melihat beliau shalat di atas tikar ( Hashiyrun ) “ ( Sunan Baihaqiy, 2:421 ). 

Berkata Anas bin Malik, Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Ummu Salamah dan Maimuunah ( ketiganya istri-istri Nabi SAWW ): “ Nabi SAWW melakukan shalat di atas tikar ( Khumrotun ) “ ( Sunan Ibnu Maajah, 1: 328; Sunan Baihaqiy, 2: 421; Musnad Ahmad bin Hambal jilid: 1 ). 

Berkata ‘Aisyah: “ Nabi SAWW memiliki tikar ( Hashiyrun ) yang dihamparkan dan beliau shalat di atasnya “ ( Fathu al-Baariy, 1: 413 ). 

Berkata Anas bin Malik: “Sesungguhnya Nabi SAWW adalah paling baiknya manusia dari sisi akhlak. Kadang-kadang waktu shalat tiba sementara beliau ada di rumah kami di atas hamparan ( bisaathun ) yang didudukinya. Kemudian beliau menyapunya ( hamparan itu ) dan memercikinya dengan air lalu beliau shalat menjadi imam di depan kami. Dan hamparan itu terbuat dari pelepah pohon kurma“. ( Shahih Muslim, 1: 457; Sunan Baihaqiy, 2: 436; Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 212, dan lain-lain. ). 

Ia juga berkata: “Sebagian paman-pamanku membuat makanan untuk Nabi SAWW.. Pamanku berkata kepada Nabi SAWW.: ‘ Aku senang antum ( engkau ) makan di rumah kami dan shalat di dalamnya ‘. Ia ( Anas ) meneruskan: Setelah itu Nabi SAWW mendatangi rumahnya ( pamannya ) dan di rumah itu ada alasnya dari Fahlun. Kemudian Nabi SAWW menyuruh ( kami ) ke pinggirannya, lalu beliau menyapunya dan memercikinya dengan air sebelum kemudian shalat dan kamipun shalat bersama beliau“ 

Hadits-hadits yang sebangsa dan semaksud dengan hadits-hadits di atas ini banyak sekali. Pembaca bisa merujuk kepada, Shahih Bukhariy, 1: 107 sampai 218 atau dari hal: 101; al-Thobaqootu al- Kubroo, 8: 312; Sunan Abu Daud, 1: 177; Sunan al-Nasaa-iy, 2: 75; Sunan Ibnu Maajah, 1: 255, Baihaqiy, 2:421; Tirmidziy, 2:128; dan lain-lainnya dimana sangat banyak sekali. 

Sujud Para Shahabat 

Sampai di sini semua hadits-hadits yang kami nukil berkenaan dengan contoh-contoh yang diberikan Nabi SAWW sehubungan dengan sujud. Di sini kami akan menukil sebagian hadits- hadits yang menceriterakan pahaman dan amalan para shahabat berkenaan dengan sujud ini. Dengan tujuan menjadi bahan pertimbangan pembaca dan penguat dari amalan Nabi SAWW karena mereka lebih memahami beliau dari pada kita dan hidup bersama beliau. Tentu, amalan- amalan yang tidak bertentangan dengan amalan Nabi SAWW sendiri. Sebab, perbuatan siapapun yang bertentangan dengan Nabi SAWW adalah batil, sebagaimana hadits yang menceriterakan perbuatan Nabi SAWW tapi bertentangan dengan al-Qur'an. 

Berkata Ibnu Abbas: “ Barang siapa yang tidak menempelkan dahi dan hidungnya ke tanah sewaktu bersujud, maka shalatnya tidak sah “ ( Sunan Baihaqiy, 2: 103-104; Mustadraku al-Haakim, 1: 270 ). 

Berkata Naafi’: “ Kalau Ibnu ‘Umar ( khalifah ) mau bersujud dan ia sedang memakai amamah ( serban ), maka ia mengangkat serbannya terlebih dahulu sehingga ia dapat meletakkan dahinya ke atas tanah “ ( Sunan Baihaqiy, 2; 105 ). 

Berkata Abu Umayyah: “ Sesungguhnya Abu Bakar bersujud ke tanah “ ( al-Mushannif, 1: 397 ). Berkata Abu ‘Ubaidah: “ Sesungguhnya Ibnu Mas’uud tidak bersujud -atau berkata ‘ tidak shalat ‘- kecuali di atas tanah “ ( al-Mushannif, 1: 367; Majma’u al-Zawaa-id, 2: 57 menukil dari Thabraniy ). 

Dari Abdullah bin ‘Umar bahwasannya ia tidak suka bersujud dengan memakai lilitan serban kecuali menyingkapnya terlebih dahulu ( Sunan Baihaqiy, 2: 105; al-Mushannif, 1: 401 ). 

Baihaqiy meriwayatkan tentang ‘Ubaadah bin al-Tsaabit bahwa ia kalau mau melakukan shalat menyingkap dulu serbannya dari dahinya ( Sunan Baihaqiy, 2: 105 ). 

Di sini perlu kiranya menyebut sebagian shahabat yang bersujud ke tanah atau apa-apa yang tumbuh darinya yang tidak dimakan dan dipakai: 
  1. Imam Ali as. ( Muruuju al-Dzahaab, 2: 370 ). 
  2. Abu Bakar ( khalifah ). “ Dia selalu shalat di tanah dan mengosongkannya “ ( Kanzu al- ’Ummaal, 8: 38 ). 
  3. ‘Umar bin Khoththoob ( al-Mushannif, karya Ibnu Abi Syaibah, 2: 411 ) 
  4. Ibnu Mas’uud. “ Dia tidak sujud -shalat- kecuali di atas tanah “ ( al-Mushannif, 1: 397; Majma’u al-Zawaaid, 2: 57 ). Ibrahim al-Nakha’iy berkata: “ Ia berdiri di atas tikar daun-Bardiy dan bersujud ke tanah “ ( Mu’jamu al-Thabrooniy, 9: 255; Majma’u al-Zawaaid, 2: 57; al-Mushannif, 2: 397 ). 
  5. Ibnu ‘Umar bin Khoth-thoob. Ia sujud ke batu-batu ( al-Mushannif, 2: 412 ). Ia sujud ke tikar pelepah kurma ( al-Mushannif, 1: 394 ). 
  6. Hudzaifah. Ia sujud di papan ( al-Mushannif, 1: 275 ). 
  7. Zaid bin Tsabit. Ia sujud di tikar daun-Bardiy ( al-Mushannif, 1: 399 ). 
  8. Jabir bin ‘Abdullah. Ia shalat di atas tikar daun-Bardiy ( Al-Mushannif, 1: 399 ). 
  9. Abu Dardaa’. Ia berkata: “ Aku tidak senang sekalipun aku memiliki sejuta nikmat tapi aku mengusap batu-batu kecil ( debu ) di dahiku ( bekas shalat, karena disamping sujud ke tanah atau batu-batu itu wajib, begitu pula bekasnya tidak boleh dibersihkan, yakni makruh, red ) “ ( al-Mushannif, 1: 411 ). 
  10. Abu Hurairah. Ia membolehkan mengusap bekas batu-batu kecil di dahi kalau hanya sekali, tapi ia lebih suka tidak membersihkan ( bukankah ini menunjukkan bahwa sujud itu mesti ke tanah???, red. ). ( al-Mushannif, 1: 412 ). 
Sepuluh nama ini sekedar contoh saja. Sebab, mereka yang sempat terekam dalam sejarah banyak sekali. Seperti Ibnu Abbas, Abu Dzar, Yasaar, Rubaah, Shuhaib al-Ruumiy, Buraidah al- Aslamiy, dllnya. 

Shahabat Bersujud ke Batu yang Digenggam 

Sebenarnya nukilan tentang apa-apa yang telah diucapkan dan diamalkan para shahabat sehu- bungan dengan sujud ini telah memadahi buletin ringkas ini. Namun demikian perlu kiranya ditambahkan di sini bahwa mereka juga bersujud ke batu-batu kecil yang dipegangnya terlebih dahulu dengan tujuan supaya dingin, atau batu-batu yang dikantonginya sebelum kemudian dihamparkannya di atas tempat sujudnya yang becek. 

Tujuan kami menukil hal ini ada dua macam: Pertama, bahwa cara mendinginkan batu-batu sujud dalam pegangan atau menghamparkannya di tempat sujud yang becek ini adalah cara yang paling selamat dan paling tidak bertentangan dengan pendapat siapapun, yakni tidak ada orang atau ulama yang membatalkannya. Dimana justru Nabi SAWW sendiri sangat setuju dengan cara ini dan memujinya ( lihat hadits ke tiga dan ke empat di bawah ini! ). 

Ke dua, karena kemiripannya dengan apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah sehubungan dengan bahwa mereka membawa-bawa tanah padat, batu atau tembikar yang dibuat alas sujud mereka. 

Bedanya, kalau para shahabat ingin mendinginkan batu-batu itu sebelum dibuat alas sujud, tapi orang-orang Syi’ah membawa-bawa batu atau tanah padat itu disamping untuk menjaga kebersihannya, ianya juga untuk memudahkan mereka shalat di mana saja karena kini semua masjid telah ber-alas dengan permadani atau alas-alas yang tidak sah kalau dibuat sujud (menurut fiqih Syi’ah tentunya). 

Berkata Jaabir bin ‘Abdullah: “ Aku shalat zhuhur di belakang Nabi SAWW., lalu kuambil batu-batu kecil di tanganku dan kugenggam supaya dingin karena panasnya sangat menyengat, sebelum kemudian kusujudi “ ( Musnad Ahmad bin Hambal, 1: 388, 437, 462; Sunan Baihaqiy, 1: 439 ). 

Berkata Anas bin Maalik: “ Kami shalat di belakang Nabi SAWW di suatu hari yang panasnya sangat menyengat. Salah satu ( sebagian ) dari kami mengambil batu-batu kecil di tangannya, dan ketika sudah dingin maka diletakkannya untuk dijadikan alas sujudnya “ ( Sunan Baihaqiy, 2: 106 ). 

Berkata Umar bin Khoththoob ( khalifah ): “ Suatu malam turun hujan, dan ketika kami keluar untuk menunaikan shalat subuh sebagian orang ada yang berjalan di sungai besar yang banyak batu- batu kecilnya ( al-Bath-haa’ ). Lalu mereka mengantongi batu-batu kecil itu dan shalat di atasnya. Dan ketika Nabi SAWW melihat hal itu beliau bersabda: Betapa bagusnya hamparan ( Bisaathun ) ini. Dan itulah awal dari batu-batu kecil ( maksudnya penghamparan batu-batu kecil untuk shalat/ sujud ) “ ( al-Quthuufu al-Daaniah fi al-Masaailu al-Tsamaaniah, karya ‘Abdu al-Muhsin al-Suraawiy, hal: 91, kalau tidak salah menukil dari al-Nailu al-Authoor, 2: 228 ). 

Berkata Ibnu ‘Umar bin Khoth-thoob: “ Suatu malam turun hujan sehingga di waktu pagi tanah menjadi becek sehingga orang-orang membawa batu-batu kecil di bajunya dan menghamparkannya di bawahnya (diwaktu shalat, red.) “ (al-Quthuufu al-Daaniah fi al-Masaailu al-Tsamaaniah, hal : 91). 

Tabi’iyn Membawa-bawa Bata 

Bagi yang memahami hadits-hadits terdahulu dengan hati yang bersih dan tulus, maka tidak susah memahami apa-apa yang dilakukan Nabi SAWW dan para shahabat. Namun demikian perlu adanya bukti penguat terhadap apa-apa yang mereka lakukan itu. Yaitu menukil apa-apa yang dilakukan oleh tabi’iyn. 

Di sini kami akan menukilkan apa-apa yang mereka pahami dan ikuti dari para shahabat-Nabi sebagai generasi pertama setelah generasi shahabat. Di bawah ini bukan saja mereka bersujud ke tanah, tapi malah ada yang sampai membawa-bawa alas sujudnya itu ( bata mentah ) dalam perjalanan mereka. 
  1. ‘Umar bin ‘Abdu al-’Aziyz. Dikatakan bahwa ia tidak mencukupkan tikar pelepah pohon kurma saja, tapi juga meletakkan debu ke atasnya untuk disujudi ( Fathu al-Baariy, 1: 410; Syarhu al-Ahwadziy, 1: 272; Ihyaa-i ‘Uluumu al-Diyn 1: 149; Ittihaafu al-Muttaqiyn, 2: 32 ). 
  2. ‘Urwah bin al-Zubair. Dikatakan bahwa ia tidak suka shalat kecuali di atas tanah ( alamatnya sama dengan no. 1 ). 
  3. Masruuq bin al-Ajda’. Ia kalau bepergian dengan perahu membawa-bawa bata-mentah untuk dijadikan alas sujud ( Thabaqootu al-Kubroo, 6: 79 ). 
  4. ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas. Berkata Raziyn: “ Ali bin Abdullah bin Abbas menyuratiku dan berkata ‘ Kirimkan untukku lempengan batu dari gunung Marwah ( nama salah satu gunung di Mekkah ) untuk kujadikan alas sujud!! ‘ “ ( Akhbaaru al-Mekkah, 3: 151 ). Komentar: Maksud dari permintaan Ali bin Abdullah bin Abbas ini adalah bahwa ia ingin bertabarruk dengan gunung Marwah tersebut. 
  5. ‘Athoo’ bin Abiy Rubaah. Ia berkata: “ Tidak dibenarkan shalat kecuali di atas tanah/debu atau batu-batu kecil “ ( al-Muhallaa, 4: 83 ). 
  6. ‘Urwah bin al-Zubair. Ia tidak suka sujud kecuali ke atas tanah ( Nailu al-Authoor, 2: 127 ). 
  7. Ibrahim al-Nakha-’iy. Ia shalat di atas tikar daun-Bardiy dan sujud di atas tanah ( Nailu al- Authoor, 2: 127 ). 
  8. Muhammad bin Muslim al-Zuhriy. Mu’ammar bertanya kepadanya perihal sujud di atas Thinfasatun ( baca thinfasah, dan bisa juga thanfisah ). Ia berkata: “ Tidak apa-apa. Karena Rasulullah SAWW shalat di atas Khumroh “ ( al-Mushannif, 1: 394 ). Komentar: Jawaban dan dalil Muhammad bin Muslim al-Zuhriy ini menunjukkan bahwa Thinfasah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits sujud, adalah Khumrotun, yakni tikar dari pelepah pohon kurma, bukan permadani sebagaimana makna sekarang. Lihat lagi makna Thinfasah di Sub Judul: Nabi Shalat di Atas Tikar, yang terdahulu. 
  9. Mak-huul. Ia shalat di atas tikar dari daun-Bardiy dan sujud ke atasnya (al-Mushannif, 1: 399).
  10. Muhammad bin Syiyriyn. Ia membawa-bawa bata mentah untuk dibuat sujud, kalau ia bepergian dengan perahu ( Fathu al-Baariy, 2: 33 ). 
  11. Jaabir bin Zaid. Ia tidak menyukai shalat di atas apapun yang dibuat dari binatang, dan ia menyunnahkan shalat di atas tumbuhan ( Nailu al-Authoor, 2: 126 ). 
  12. Hasan al-Bashriy. Ia meletakkan batu-batu kecil di tempat sujud dahinya ( al-Mushannif, 2: 61 dan 413 ). 
Ini semua sebagian kecil dari sekian banyak kenyataan yang dilakukan oleh para tabi’iyn yang sempat terekam dalam sejarah. Dan semua hadits-hadits ini adalah menurut riwayat Ahlussunnah. 

Jadi, sujud di tanah, lempengan batu yang dibawa-bawa, bata mentah yang dibawa-bawa, bukanlah ulah dan buatan orang-orang Syi’ah. Tapi memang merupakan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi SAWW yang diajarkan kepada shahabat-shahabat dan yang diikuti oleh para tabi-’iyn, dimana intinya adalah:

Sujud mesti di atas tanah atau tumbuhan yang tidak dimakan dan dipakai, baik tanahnya dipadatkan atau batunya dibuat indah dan dibawa-bawa atau di sembarang tanah dan batu asal bersih dari najis dan kotoran lainnya. 



(bersambung ke Hikmah Sujud di Tanah ...........................!!!!)


Catatan Lanjutan:







اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Syarat-syarat Perkawinan dan Kawin Sebelum Islam atau syi’ah



Seri tanya jawab Hilmansyah Sari dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 9, 2013 at 11:06 am


Hilmansyah Sari mengirim ke Sinar Agama: 5 Desember 2012, Salam..

Ustadz mohon pencerahannya, apakah dalam hal nikah di bawah ini syiah dan sunni sama?? 
  1. Wanita hamil (di luar nikah) tidak boleh dinikahkan, harus nunggu kelahirannya dulu. 
  2. Anak di luar nikah adalah bukan anak dari ayahnya. 
  3. Anak perempuan (hasil zina) tidak boleh diwalikan oleh ayah biologisnya. 
  4. Rukun nikah : kedua mempelai, mahar, saksi, wali. 
Syukr0n.. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Di syi’ah dibolehkan orang hamil zina untuk kawin dengan lelaki yang berzina dengan-nya atau dengan orang lain yang tahu kondisinya tapi tetap mau kawin dengan-nya. Hamil di luar nikah, tidak memiliki konsekuensi iddah. 

2- Anak di luar nikah adalah anak ayah dan ibu yang melakukan zina tersebut. Semua hukum hubungan ketiga orang itu adalah sama dengan hukum keluarga yang lainnya selain waris, karena anak zina tidak mewarisi dari keduanya. Akan tetapi hubungan-hubungan lain, seperti tanggung jawab nafakah dan lain-lain dari si anak, begitu juga hubungan kekeluargaan seperti kemuhriman dengan keluarga lain,.....dan seterusnya....dari hukum-hukum keluarga, adalah sama. 

3- Yang harus dipenuhi dalam nikah adalah, persetujuan kedua mempelai (tidak bisa dipaksa), dengan kata-kata walau lewat telepon (bukan dengan tulisan) dan dengan bahasa arab, mahar, saksi (sunnah saja) dan wali (baca: ijin wali). Wassalam. 

Hilmansyah Sari: Syukron Ustadz atas ilmunya.. 

Juliant Very: Sinar Agama Salam ustadz, ana pernah baca kalau orang yang pernah berzina hukumnya haram untuk menikah dengan pasangan zinanya itu untuk selama-selamanya, mohon penjelasan... 

Sattya Rizky: Ramadhan Salam Ustadz..ijin nyambung pertanyaan,.saya menikah tahun 2009.. saat itu saya baru tahap pengenalan dan pembelajaran awal terhadap ajaran ahlulbayt as, dan akad nikah saya dilakukan dengan bahasa Indonesia...istri sunni, bagaimana hukumnya pernikahan saya selama ini Ustadz? Apakah akad saya perlu diulang dengan bahasa arab? Bagaimana lafadznya? Terima kasih.. 

Sinar Agama: Juliant: Tidak demikian, karena hamil zina itu tidak resmi, jadi tidak ada iddahnya. Jadi, si hamil itu boleh kawin dengan yang menzinahinya atau dengan orang lain yang tahu keadaan dirinya tapi masih mau mengawininya. 

Sinar Agama: Sattya, jangankan perkawinan antum yang Islam, perkawinan orang budha saja, kalau suami-istri itu masuk Islam secara bersamaan, maka sudah dianggap syah dan tidak perlu kawin lagi. Tapi kalau tidak bersamaan, maka kawinnya batal lantaran orang muslim tidak boleh kawin dg kafir. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ