Jumat, 07 Desember 2018

Menangis dan Memaktami Orang Mati Serta Fitnah Terhadap Syi’ah, Bag: 2



Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 2, 2013 at 11:43 am



Muhammad Gofur Zfzf: Saya tidak menentang keterangan anda,, sebab anda punya alasan yang cukup tepat. Tapi kalau rasul membolehkan memukuli dada (wanita)... Saya merasa hadis di atas lemah..

Sinar Agama: Muhammad: Kesedihan itu bisa dilampiaskan dengan apa saja, menangis, memukul dada, memukul kepala, terjun ke api, bunuh diri, minum racun, tidak makan, menjerit dan seterus- nya.

Islam datang memberikan pencerahan kepada umat manusia sehingga membolehkan yang memang boleh dan melarang yang memang terlarang menurut ilmu Allah.

Kalau memukul dada itu tanda tidak ridha, maka sedih saja sudah tidak ridha. Jadi, kalau ada keluarga yang meninggal, maka tertawa-tawa saja, karena kalau sedih saja sudah tanda tidak ridha. Ini kan raksyih.... 


Karena itu Islam tidak melarang bersedih walau menangis sampai buta seperti nabi Ya’quub as (QS: 12: 84): 


“Dan ia -Ya’quub as- berkata: ‘Duhai dukaku atas Yusuf -as.’ Dan kedua matanyapun menjadi putih (buta) karena kesedihannya. Karena itu ia selalu dalam keadaan berduka.” 

Emangnya seenaknya bilang hadits palsu, lemah dan semacamnya tanpa menyelidiki hal-hal perlu di dalam keilmuan. Hanya karena tidak cocok, maka dikatakan lemah. Enak banget, emangnya tidak takut kepadaNya dan Nabi saww di hari perhitungan besok??? 

Nah, dengan semua penjelasan yang berulang-ulang ini, dapat disimpulkan bahwa menangis, memukul dada dan muka/kepala, tidak dilarang oleh Allah. 

Tentu saja, kalau niatnya adalah kesedihan, bukan protes dan ketidakrelaan. Karena semua amal itu tergantung niatnya. Jadi, sekalipun hanya diam saja, atau bahkan tertawa, tapi kalau hatinya tidak rela kepada hukum Tuhan, maka terhitung protes dan, yang demikian ini adalah haram hukumnya. 

Tapi kalau hanya sedih, walau dengan menangis sampai buta, memukul dada dan kepala, maka hal itu tidak dilarang dalam Islam. Begitu pula kalau protesnya itu kepada yang zhalim, seperti pembunuh, bukan kepada Tuhan, maka hal ini jelas juga tidak masalah dan bahkan diharuskan dalam Islam. Karena itu Nabi saww bersabda bahwa kalau ada orang yang membunuh orang lain dengan batil di ujung dunia, dan di ujung dunia yang lainnya mendengar hal itu dan rela, maka ia akan mendapatkan dosanya. 

Duka dan kesedihan syi’ah terhadap imam Husain as itu (dan kepada seluruh makshumin as di hari-hari wafat atau kesyahidan mereka dimana jelas termasuk Nabi saww) terdapat tangisan, pemukulan dada dan kepala, demi kesedihan dan, terdapat protes terhadap semua pembunuhnya dan yang terlibat, demi membela kebenaran dan memprotes kebatilan. 

Bukan untuk memprotes hukum Tuhan bahwa kulit dan leher kita ini lemah dimana kalau teriris pedang tajam menjadi luka dan bahkan terpotong, bukan protes bahwa Allah telah mewajibkan kita jihad membela agama, bukan protes mengapa Tuhan tidak melenyapkan pada zhalim dengan KuasaNya.....dan seterusnya. Karena itu, duka syi’ah itu bukan hanya boleh, tapi merupakan kemestian dilihat dari kacamata agama dan kemanusiaan serta akal- sehat. 

Syam Lorenza: Jadi tolonglah selain untuk cucu Nabi yaitu Husain Rodhiallohu ‘anhu, antum juga harus merasa bersedih atas wafatnya saudara-saudara beliau, yang juga anak-anak dari Ali Rodhiallohu ‘anhu, yt. Abu Bakar bin Ali bin Abi Tholib, Umar bin Ali bin Abi Tholib, juga Utsman bin Ali bin Abi Tholib. Kok nama-nama mereka ga disebut-disebut juga ya? 

Muhammad Gofur Zfzf: Hadis bukan Al-quran. Berarti setiap orang boleh menilai hadis, jika bertentangan dengan alquran dong. Abu hurairah menjelaskan “bahwa mereka telah membakar semua yang mereka tulis tentang hadis-hadis nabi saw. 

Berarti ada peluang tidak semua hadis yang di sahkan sebagian ahli hadis shahih adalah SHAHIH. Syiah benar dalam kesedihannya atas wafat Al-Husein ,, 

Saya juga sedih koq. Tapi jika syiah muslim yang bijak, koq mereka meng-kafirkan ke khalifahan Abu bakar, Umar, Utsman bin Affan...?? 

Midy Noval: Midy: kamu ini seperti berteriak begini. Ayuhaaaanas (hai manusia) aku dan madzhabku adalah kebenaran haqiqi jalan lurus yang tidak salah sedikitpun walau aku, guruku imamku khalifahku dan seterusnya bukan orang yang makshum..... 

Sinar agama, bukankah syiah yang merasa benar sendiri lainya sesat. Syiah mengatakan: Sesungguhnya ummat semuanya kafir karena telah berbaiat kepada sayyidina Abu Bakar sesudah wafatnya nabi. Dan syiah mengkafirkan semua shahabat nabi kecuali 5 : Ali, Miqdad, Ammar bin Yasir, Salman Alfarisi, Abu Dzar, jadi syiah mengkafirkan sayyidina Abu Bakar Umar Utsman dan shahabat lainya kecuali 5 yang di sebut tadi, syiah juga menuduh sayyidina Abu Bakar merampas kepemimpinannya sayyidina Ali, syiah juga men fitnah sayyidina Umar berbuat keji terhadap sayyidati Fatimah yaitu menginjak injak sayyidati Fatimah sehingga kandungannya gugur, juga syiah mengatakan imam Bukhari dusta, imam Muslim sesat, imam Hambali dusta, imam Abu Hanifah bodoh. 

Sinar agama saya pertegaskan tidak ada yang makshum di dunia ini kecuali nabi. Adapun para shahabat nabi itu mahfudz patut bersalah dan melakukan dosa, tapi beda dengan kita semua, kalau orang yang mahfudz melakukan dosa itu langsung bertobat. Kalau kita semua bukan makshum atau mahfudz. Bukti kita bukan orang mahfudz terkadang bangga terhadap maksiat contoh kecil, sinar agama mengoceng cewek cantik dan masih bisa menyebarkan maksiatnya bahwa tadi saya mengonceng cewek cantik itu cuma contoh loo. 

Itulah perbedaanya makshum dan mahfuzd dan juga orang yang bukan mahfudz dan makshum, jika kaliaan wahai syiah masih berkeyakinan bahwa ada orang yang makshum selain nabi itu tahayyul. Jadi kalian wahai syiah berkeyakinan tahayyul. 

Sinar agama, kalau kamu komen jangan yang fanatik buta itu bukan kami tapi kaliaanlah wahai para syiaah sesat lucu lagi. 

Syiah menuduh dan memfitnah sayyidina Umar suka melakukan homo sexsual dikarnakan mem- punyai penyakit yang tidak bisa sembuh kecuali dengan air maninya laki laki. Demi Allah itu fitnah. Bukankah kalialan lah wahai para syiah yang suka melakukan sex lewat jalan dhubur.... karena itu di bolehkan di dalam kitabnya kalian wahai syiah. 

“pendapat yang kuat dan terkenal adalah diperbolehkan menyetubuhi istrinya lewat jalan bela- kang walaupun hal itu sangat di benci. 

( Tahrirul wa silah hal 241 masalah ke 11) 

Muhammad Gofur Zfzf: Menyetubuhi istri dari mana pun arahnya. Adalah halal. Itu lah islam. Abu bakar, Umar Usman.. Adalah amirul mukminin. Dan tidak ada fitnah yang pantas untuk mereka. Dan Tuhan sunni & syiah adalah Allah. Nabinya nabi saw. Ok..!? 

Okti Ningrum: 19 teman yang sama: Midy: ente kalo ngomong gak pake ilmu. jawaban Sinar Agama tentang anal sex :kitab Wasaailu al-Syi’ah ini: 


Dari imam Baqir as dari Rasulullah saww: “Mengumpuli wanita di duburnya adalah haram untuk umatku.” 

Midy Noval: Okti: tolong jangan salahkan saya salahkan kitab kalian tuh tahrirul wasilah. Kok bisa jadi bisa bertentangan ya????? 

Midy Noval: Gofor. Tapi ada salah satu dari golongan syiah yang mengatakan bahwa risalah atau wahyu itu seharusnya kepada sayyidina Ali akibat malaikat Jibril salah menyampaikanya di sampaikan kepada nabi Mohammad yang seharusnya disampaikan kepada sayyidina Ali. Bahkan ada yang mengatakan Ali itu Tuhan. Tapi sayangnya sinar agama gak mau mengakuinya mereka bertaqiyah alias memakai caranya orang munafik. 

Muhammad Gofur Zfzf: Tuhan adalah Al-khaliq,, yang kekal (abadi). Sedang Ali adalah fana’(binasa). Ali bukan Rabb. Dan muhammad Adalah rasul. Liihat q.s al-bayyinah. Dan jibril tidak memiliki nafsu,, jadi mustahil jibril salah. sebenarnya syiah bukan musuh sunni. Tapi musuh adalah provokator, yang membuat sunni dan syiah terpisah seperti langit-bumi..! 

Tapi kalau sekarang ini,, syiah memang telah sesat, kita tidak dapat memungkiri itu.. 

Midy Noval: Bisakah kita sunni dan syiah bersatu... 

Sunni memulyakan alhlubait, dan shahabat nabi sedangkan syiah melaknat shahabat nabi bisaaaakah kita bersatuu? Kalau perbedaan furuiyah seperti ada yang membolehkan tahlil ada juga gak mau tahlilan saya rasa kalau perbedaan itu biasa biasa saja. Klo ama syiah saya rasa gak bisa damai sampai kapanpun coba berfikirlah dengan akal sehat kaliaan. 

Muhammad Gofur Zfzf: Nabi saw yang memilih Abu bakar sebagai calon khalifah. Dan Abu Bakar tidak merampasnya dari Ali.. 

Sinar Agama: Syam L: Nabi saww bersabda di hadits Shahih Muslim, bahwa beliau saww telah menitip dua perkara yang berat, Qur'an dan Ahlulbaitnya as. Karena itulah maka kami-kami orang syi’ah memperingati mereka karena mereka titipan Allah melalui Nabi saww. Bahkan di shahih Muslim sampai diulang tiga kali ucapan beliau saww ketika sampai pada ahlubalit as. Lihat di shahih Muslim hadits ke: 4425 dan 6378: 


“Kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang berat: Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk, maka ambillah dan peganglah erat-erat kitabullah dan anjurkanlah kepada kitabullah dan rangsanglah kepadanya. Kemudian Ahlulbaitku. Kuingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku, kuingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku, kuingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku.” 

Bayangin Nabi saww sampai tiga kali mengingatkan kita dengan kesaksian Allah kepada Ahlulbait- nya. Tentu saja kerena mereka makshum dan panutan setelah beliau as untuk umat ini. Kalau Nabi saww menitipkan anak-anak Abu Bakar, Umar dan lain-lainnya, maka sudah pasti kita akan jadikan ikutan dan akan kita peringati. 

Sinar Agama: Muhammad: Kalau orang dibolehkan asal bicara saja, yah...sudah tentu boleh saja setiap orang menilai hadits, baik orang tersebut belajar ilmu hadits, tahu Qur'an ..dan seterusnya... atau tidak. Tapi kalau tidak bisa seperti itu, hingga karenanya didirikan sekolah-sekolah agama sejak di jaman Nabi saww (QS: 9: 112): 



“Janganlah mukminin pergi ke medan tempur semuanya. Hendaknya ada satu orang dari setiap suku untuk tetap tinggal dan mempelajari agama dan memperingati/mengajarkan kepada kaumnya kalau sudah kembali kepada kaumnya hingga mereka terperingati.” 

Shahabat saja yang sudah bersama Nabi saww, masih perlu ada pengkhususan untuk fokus dan mempelajari agama. Padahal ketika berperang juga sering bersama Nabi saww dan kalau Nabi saww tidak ikut, tidak lama mereka kembali lagi kepada Nabi saww. Tapi pemfokusan ini tetap diharuskan dan diwajibkan. 

Kalau semua orang boleh menilai hadits, maka sama dengan mengatakan percuma Tuhan menurunkan ayatNya ini, percuma shahabat ada yang menjadi guru kepada shahabat lainnya, percuma ada guru-guru dan ulama-ulama sepanjang sejarah, pecuma adanya sekolah-sekolah, percuma adanya kampus-kampus dan pesantren-pesantren, percuma adanya universitas seperti al-Azhar dan seterusnya. Tidak ada pernyataan lebih tidak berdasar dari pada pernyataan tersebut. Persis seperti mengatakan bahwa setiap orang boleh berpendapat tentang kesehatan, dan karenanya percuma adanya universitas-universitas kedokteran. 

Kalau semua tahu Qur'an, apalagi hanya dengan terjemahannya, maka percuma semua ayat belajar itu diturunkan dan sekolah-sekolah itu diadakan. Karena tidak beda ketidak berdasarannya kalau ada orang mengatakan bahwa setiap orang bisa berpendapat tentang hadits karena kalau hadits itu bertentangan dengan Qur'an maka harus ditolak. Lah....emangnya kamu sudah mempelajari Qur'an berapa tahun hingga bisa menjadikannya timbangan untuk hadits?? Sudah hafal berapa ayat hingga satu menit saja sudah tahu bahwa hadits itu dan ini bertentangan dengan Qur'an atau tidak? 

Tuhan dan Nabi saww itu memang satu. Dan tidak ada syi’ah yang mengatakan bahwa selain Allah itu adalah Tuhan, terutama para imam makshum as. Malaikat itu tidak mungkin bisa keliru. Kalau malaikat Jibril as itu bisa keliru, maka apalagi manusia? Orang syi’ah itu mengikuti para imam makshum as justru karena Rasulullah saww, dan Rasulullah saww dari Jibril as dan Jibril as dari Allah. Kok malah dibolak balik? 

Sunni dan syi’ah harus bersatu, tapi persatuan itu justru dalam keberbedaan. Artinya, tidak harus sama dalam semua halnya. Misalnya, imamnya tidak sama. Pengertian Tuhannya juga berbeda sekalipun sama-sama Allah. Karena sunni meyakini bahwa mereka akan melihat Allah dengan mata di surga, bahkan di shahih Bukhari dikatakan bahwa karena orang-orang surga tidak percaya bahwa Allah itu adalah Allah (ketika mengaku kepada mereka), maka Allah membuktikan keAllaah-anNya dengan menunjukkan betisnya (shahih Bukhari, hadits ke: 7439, 6886 dan 7001; shahih Muslim, hadits ke: 302). 

Tapi kalau di syi’ah, melihat Tuhan dengan mata itu hal yang tidak mungkin, baik di dunia atau di akhirat. Karena akan terbatas seperti dengan depan, padahal Tuhan itu Maha Tidak Terbatas. Nabi saww juga begitu, sama-sama nabi Muhammad saww, tapi kalau di syi’ah, makshum mutlak, tapi kalau di sunni sering melakukan kesalahan, seperti mengharamkan yang dihalalkan Tuhan, menyolati orang munafik, menyunggul ‘Aisyah di depan umum untuk melihat orang berjoget, kencing berdiri di tempat umum (shahih Bukhari, hadits ke: 224, 226 dan 2471; shahih Muslim, hadits ke: 402 dan 647) dan seterusnya. 

Banyak persamaan, tapi ada perbedaan dan, yang seperti inilah yang bisa dikatakan harus bersatu. Tapi kalau tidak ada perbedaannya, maka tidak layak untuk dikatakan bersatu, karena memang satu. 

Karena itulah, kalaulah ada perbedaan, maka harus tetap bersatu. Yaitu dengan tidak saling paksa dan tetap saling tolong menolong terlebih dalam keterjajahan oleh kafirin dan Israel. Persatuan, bukan berarti tidak saling menyalahkan. Karena yang berbeda, tidak mungkin tidak saling menyalahkan. Persatuan itu hanya tidak selaras dengan pemaksaan dan pembatasan hak-hak hidup manusia sebagaimana layaknya. 

Tentang kafir itu, tidak semua shahabat tentunya. Dan kafir itu, di syi’ah, tidak terbatas pada Tuhan dan Nabi saww saja. Di sunni juga ada kafir nikmat seperti di syi’ah juga ada. Nah, di syi’ah kafir imamah juga ada dan, kafir imamah ini tetap muslim dan mukmin. Kafir imamah, adalah yang tahu dengan yakin tentang kebenarannya tapi tetap saja tidak mengikutinya. Nah, orang- orang seperti inilah yang dikatakan kafir imamah itu, bukan yang tidak tahu atau yang belum yakin. Jadi, urusan shahabat Nabi saww itu, sekalipun sudah diwajibkan berbaiat oleh Nabi saww di hari Ghadir di haji wada’, tapi tetap saja kita serahkan kepada Allah. Karena setelah Nabi saww wafat, tersebar fitnah yang mengatakan ini dan itu, hingga mungkin saja ada yang ragu terhadap imamah para makshum as ini. Jadi, kita serahkan urusan mereka kepada Allah di akhirat kelak. 

Oh iya, kamu katakan bahwa Nabi saww sudah menyiapkan Abu Bakar untuk jadi khalifah. Ketahuilah, bahwa disiapkan seperti apapun, tidak akan pernah bisa jadi khalifah/imam, karena ia pernah kafir dan karenanya tidak makshum. Sementara imam itu harus makshum. Allah dalam QS: 2: 124, berfirman: 


Dan ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan berbagai ujian dan ia menyelesaikannya (dengan lulus) Allah berfirman: “Sekarang engkau Kujadikan imam.” Ibrahim berkata: “Dan dari keturunanku juga?”. (Allah) berfirman: “JanjiKu tidak akan mengenai orang-orang yang aniaya.” 

Nah, siapapun yang bukan dari keturunan nabi Ibrahim as dan kalaulah keturunannya tapi tidak makshum, maka tidak akan pernah bisa menjadi khalifah Nabi saww. Karena khalifah Nabi saww ini wajib ditaati secara mutlak sejak jaman Nabi saww. QS: 4: 59: 


"Wahai orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan pemimpin di antara kalian.” 

Ketaatan kepada Nabi saww dan imam itu harus mutlak seperti taat pada Allah karena yang di- dan-kan di sini adalah ketaatan kepada Allah yang mutlak yang tidak pilih-pilih. Karena itu, semua perintahNya dan perintah Nabi saww dan imam itupun, mutlak kebenarannya. Karena itu wajib ditaati secara mutlak tanpa pilih-pilih yang benar atau yang salah, karena memang tidak ada yang salah. Saya sudah sering menulis tentang ini sebelumnya, silahkan merujuk ke sana. 

Begitu pula, kalau tidak ada orang makshum setelah Nabi saww, terus bagaimana jalan lurus yang tidak salah sediktipun (wa laa al-dhaalliin) itu bisa dipertahankan, terlebih seperti kalian yang mengaku-aku benar seratus persen. Kan tidak logis???!!! 

Sinar Agama: Midy: Saya sudah sering menulis tentang kafir ini, kunukil lagi di sini: 

Tentang kafir itu, tidak semua shahabat tentunya. Dan kafir itu, di syi’ah, tidak terbatas pada Tuhan dan Nabi saww saja. Di sunni juga ada kafir nikmat seperti di syi’ah juga ada. Nah, di syi’ah kafir imamah juga ada dan, kafir imamah ini tetap muslim dan mukmin. Kafir imamah, adalah yang tahu dengan yakin tentang kebenarannya tapi tetap saja tidak mengikutinya. Nah, orang- orang seperti inilah yang dikatakan kafir imamah itu, bukan yang tidak tahu atau yang belum yakin. Jadi, urusan shahabat Nabi saww itu, sekalipun sudah diwajibkan berbaiat oleh Nabi saww di hari Ghadir di haji wada’, tapi tetap saja kita serahkan kepada Allah. Karena setelah Nabi saww wafat, tersebar fitnah yang mengatakan ini dan itu, hingga mungkin saja ada yang ragu terhadap imamah para makshum as ini. Jadi, kita serahkan urusan mereka kepada Allah di akhirat kelak. 

Tentang penyerangan itu, saya kasihan banget sama kamu. Karena Abu Bakar sendiri mengakui dan menangis sebelum meninggalnya dan mengharap duhai seandainya tidak pernah menyerang rumah Faathimah as dan mendobrak pintunya. Abu Bakar yang dalam keadaan sedih berkata: 


“Duhai seandainya aku tidak pernah mendobrak rumah Faathimah atas dasar apapun, sekalipun karena menguncinya untuk berperang.” (Lihat di Taariikh Thabari, 4/2; Miizaanu al-I’tidaal, 2/215; al-Imaamah wa al-Siyaasah, 18). 

Sebelum penyerangan dan pembakaran itu, di sunni juga diriwayatkan bahwa Abu Bakar mengutus Umar dan Umarpun dengan yakin akan membakar rumah siti Faathimah as, sekalipun sudah diingatkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Lihat di: Kanzu al-’Ummaal, 3/139; al- Imaamah wa al-Siyaasah, 12. 

Karena itu Nabi saww mengatakan kepada imam Ali as bahwa beliau as akan menjumpai penderitaan setelah wafatnya Nabi saww: 



Lihat di Mustadrak Haakim, 3/140. 

Kalau tentang makshum itu, maka kamu jangan katakan ke aku kalau tidak ada makshum di dunia ini selain Nabi saww. Tapi katakan kepada Allah yang berfirman dalam QS: 33: 33: 


“Sesungguhnya Allah hanya ingin membersihkan kalian (para lelaki) dari semua kekotoran wahai Ahlulbait dan membersihkan kalian sebersih bersihnya.” 

Ayat ini jelas turun untuk Ahlulbait as, yaitu imam Ali as, imam Hasan as, imam Husain as dan hdh Faathimah as, sesuai dengan banyak sekali hadits-hadits sunni sekalipun, seperti kesaksian ‘Aisyah di shahih Muslim, 2/368; Syawaahidu al-Tanziil, 2/33 (9 hadits); Mustadrak Hakim, 3/147; Tafsiir al-Durru al-Mantsuur, 5/198-199; Fathu al-Qadiir, 4/279; Dzakhaairu al-’Uqbaa Thabari, 24; dan lain-lain. Dan juga disaksikan Ummu Salamah bahwa Ahlulbait as itu adalah mereka yang lima itu. Bisa dilihat di: Turmudzii, hadits ke: 3258, 3875 dan 3963; Syawaahidu al-Tanziil, 2/24 (ada 31 hadits); Tafsiir Ibnu Katsiir, 3/484 dan 485; Dzakhaairu al-’Uqbaa Thabari, 21 dan 22; Usdu al-Ghaabah, 2/12 dan 3/413 serta 4/29; Tafsiir Thabari, 22/7-8; Tafsiir al-Durru al-Mantsuur, 5/198; 

...dan lain-lain yang seambrek lagi. 

Jadi, sana kamu protes ke Tuhan bahwa mengapa mengumumkan adanya orang suci dari segala kekotoran yang berarti makshum. 

Setelah itu, silahkan kamu katakan padaNya, tentang makshum, mahfuuzh yang kamu karang-karang sendiri itu. 

Untuk sodomi itu, saya sudah menjelaskannya beberapa waktu yang lalu, jadi tidak perlu saya ulang. Sebenarnya semua yang kutulis di atas itu adalah ulangan, tapi karena sudah agak lama, maka kutulis lagi. Tapi tentang sodomi dan berbagai pandangan di dalamnya, saya sudah menulisnya beberapa hari yang lalu. 

Tentang Jibril as yang salah itu, ajib banget, mengapa para pemfitnah itu tidak pernah menyebut kitab dan halamannya??? Lalu sok memastikan lagi. Padahal syi’ah itu dalam mengikuti imam makshum itu karena Nabi saww dan Nabi saww karena mendapat dari Jibril as dan Jibril as dari Allah swt. Kan raksyih. 

Perbedaan NU dan Muhammadiah itu bukan hanya tahlilan, tapi shalatnya NU dianggap mengantarkan mereka ke jahannam oleh Muhammadiah karena ada ushallinya yang diucapkan dan bid’ah dimana semua bid’ah adalah neraka. Tawassul NU kepada para wali itu musyrik. Dimana ada musyrik itu urusan furu’ ???? Tapi mengapa bersatu??? Bahkan mengapa bersatu dengan para Masehi dan Hindu serta Buda di negara Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika ini??? Jangan-jangan si Midy ini sudah anti Pancasila??? Saya sudah sering mengatakan bahwa laknat itu protes, seperti kata “celaka”, “bulset”, “sialan”, “aku tidak ikut-ikut”....dan seterusnya. Orang arab, pada anaknya saja kadang mengatakan laknat kalau lagi marah. Jadi, laknat itu kata “kecaman saja.” 

Muhammad Gofur Zfzf: Jadi sinar agama@: menyimpulkan bahwa kata-kata nabi saw sama kuatnya dengan hujjah para imam.?? Saya heran mengapa setiap perdebatan selalu mengkafirkan salah satu pihak. 

contoh: 

Pengkafiran Abu Bakar oleh syiah. Ini hal yang tidak logis dalam statetment ke agamaan. Apakah anda selalu berpedoman dengan setiap hadis? Dan menyatakannya shahih? Apakah semudah itu mengatakan shahih.?? Kami tidak mengatakan kami akan bertemu dengan Rabb di surga koq, tapi itu janji Rabb kami (silahkan pelajari alquran). Janji Rabb adalah benar, saya yakin 100%. Mang ada Rabb yang pembohong? Saudara jangan bilang gitulah, sebagai ciptaan-Nya. Seharusnya anda takut dan taat pada-Nya. Jangan cemooh dengan janji Tuhan. Jika sudara masih memperTuhan Allah dan Nabi saw. 

Mengapa harus beda pengertian. Padahal Alquran adalah satu-satunya jaminan tidak ada nya perbedaan. Karena alquran bukan produk makhluk. 

Kalau masalah peringat-memperingati saya belum menerima satupun yang mengharuskan muslim secara mutlak atas para imam, sebab nabi tidak mengajarkan itu. Dan kami tidak pernah membayang-bayangkan bentuk Rabb.Apa lagi pahaNya? 

Hahaha,, periwayat nya tu,, yang Oon (stres kali). Dari mana anda tau Rabb punya paha? Aneh Tuhan itu beda dengan makhluk. No body same with Allah... 

Afif Al-Azdi: 288 teman yang sama: @Muhammad Gofur Zfzf ....anda ini cuma asyik dengan pikiran anda sendiri, sementara anda tidak menggunakan dalil apapun untuk mendukung pikiran- pikiran anda itu ... dan lawan anda telah menggunakan dalil tapi tidak anda terima, bagaimana dengan anda sendiri yang tidak menggunakan dalil?? 

Anda tidak lebih dari seorang yang jahil... anda pantasnya berdiskusi dengan sesama golongan anda sendiri yang tidak memerlukan dalil. 

Sinar Agama: Muhammad: 

1- Saya tidak akan mengulang yang sudah jelas saya tulis di atas. Kalau kamu memang ingin tahu dan khawatir tentang akhiratmu, maka bacalah dengan seksama sampai paham. Baru setelah paham kamu bisa problemkan atau kamu terima. Jangan sampai asal tolak atau asal terima, sementara kamu belum paham terhadap yang kutulis. Aku hanya mau menambahkan beberapa hal: 

Kata-kata imam itu memang sama dengan kata-kata Nabi saww. Karena imam itu penerus shirathalmustaqim. Itulah mengapa Allah mewajibkan muslimin taat pada imam ini sejak jaman Nabi saww sekalipun. Persis seperti nabi Harun as yang wajib ditaati di samping nabi Musa as. Beda para imam dan nabi Harun as, adalah kalau nabi Harun as itu adalah nabi tapi para imam makshum setelah nabi Muhammad saww itu, bukan nabi dan hanya imam. Kewajiban taat itu ada pada QS: 4: 59: 


“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul (saww) dan pemimpin di antara kalian.” 

Nah, kewajiban taat kepada imam ini sejak masih di jaman Nabi saww, karena itulah imam itu harus makshum dan wajib ditaati secara mutlak. Karena ketaatan yang di-dan-kan di ayat ini, adalah ketaatan yang mutlak dan tidak mengenal kondisi. Karena itulah Rasul saww dan imam as ini, harus makshum dan tanpa kesalahan sedikitpun seperti dalam ayat di surat Fatihah (wa laa al-dhaalliin = Dan bukan jalan siapapun dari orang-orang yang salah/sesat). 

Lagi pula, tidak mungkin Tuhan mewajibkan manusia taat kepada Rasul saww dan imam as, sementara kedua golongan ini masih mungkin mempunyai kesalahan alias tidak makshum. Karena kalau pemimpin salah wajib ditaati juga, maka berarti Tuhan menyuruh kita untuk berbondong-bondong bermaksiat kepadaNya. 

Mungkin ada yang berkata bahwa kalau pemimpinnya salah, maka tidak wajib diikuti. Jawabannya, adalah tidak seperti itu. Karena ketaatan yang di-dan-kan (‘athf) kepada Rasul saww dan imam as, adalah ketaatan kepada Allah yang, sudah tentu mutlak dan karena kemutlakan kebenarannya. 

Sebenarnya hal ini sudah ditulis di atas. Tapi karena tidak pada komentar yang menjawabmu, maka kutulis lagi dengan sedikit penambahan. 

Dengan semua uraian ini, dapat dipahami bahwa imam itu sama dengan Nabi saww dari sisi kemakshumannya dan dari sisi kewajiban ditaatinya yang, kewajiban taat ini sejak jaman Nabi saww sekalipun. 

Di samping itu, di atas sudah ana tulis juga tentang kemakshuman Ahlulbait as yang merupakan pada imam as itu. Disini saya copy-kan buatmu: 


“Sesungguhnya Allah hanya ingin membersihkan kalian (para lelaki) dari semua kekotoran wahai Ahlulbait dan membersihkan kalian sebersih bersihnya.” 

Ayat ini jelas turun untuk Ahlulbait as, yaitu imam Ali as, imam Hasan as, imam Husain as dan hdh Faathimah as, sesuai dengan banyak sekali hadits-hadits sunni sekalipun, seperti kesaksian ‘Aisyah di shahih Muslim, 2/368; Syawaahidu al-Tanziil, 2/33 (9 hadits); Mustadrak Hakim, 3/147; Tafsiir al-Durru al-Mantsuur, 5/198-199; Fathu al-Qadiir, 4/279; Dzakhaairu al- ’Uqbaa Thabari, 24; dan lain-lain. Dan juga disaksikan Ummu Salamah bahwa Ahlulbait as itu adalah mereka yang lima itu. Bisa dilihat di: Turmudzii, hadits ke: 3258, 3875 dan 3963; Syawaahidu al-Tanziil, 2/24 (ada 31 hadits); Tafsiir Ibnu Katsiir, 3/484 dan 485; Dzakhaairu al- ’Uqbaa Thabari, 21 dan 22; Usdu al-Ghaabah, 2/12 dan 3/413 serta 4/29; Tafsiir Thabari, 22/7- 8; Tafsiir al-Durru al-Mantsuur, 5/198; ...dan lain-lain yang seambrek lagi. 

Nah, kewajiban taat mutlak dan pengumuman tentang kemakshuman Ahlulbait as ini, ditambah dengan kewajiban kita untuk meminta jalan-lurus (shirathalmustaqim), semua ini menunjukkan bahwa imam as yang menjadi wakil dan penerus Nabi saww itu jelas sama dengan Nabi saww itu sendiri. Tentu saja, dari sisi maqam di sisi Allah, Nabi saww adalah lebih tinggi karena di samping guru para imam as, juga merupakan sumber hidayah pertama yang tanpa Nabi saww tidak mungkin para imam as itu akan mencapai derajat keimamahannya yang mereka miliki itu. Mungkin saja seseorang itu, bisa jadi imam tanpa Nabi saww, tapi imam yang lebih kecil di masa sebelumnya yang derajatnya jauh di bawah derajat imam penerus Nabi saww. Tapi untuk menjadi imam yang tinggi dan sebagai penerus Nabi saww yang merupakan nabi tertinggi, maka harus berguru dan di bawah didikan Nabi saww sendiri. 

Tapi perbedaan ketinggian derajat para imam as dengan derajat Nabi saww di sisi Allah, tidak merubah kemakshuman mereka dan kewajiban taat mutlak kita kepada mereka as. Karena, para imam as itu makshum dan wajib ditaati secara mutlak serta kata-kata mereka sama dengan kata-kata Nabi saww yang sebagai pedoman bagi muslimin di samping Qur'an. Jadi, para imam as ini sebenarnya penjelas bagi Qur'an dan sunnah Nabi saww itu. Tapi bukan sembarang penjelas, melainkan penjelas yang pasti benar dan makshum. Karena itulah, kata- kata dan perbuatan-perbuatan mereka, dapat dijadikan dasar agama baik dalam masalah- masalah akidah atau masalah-masalah fikih. 

2- Kalau tentang Tuhan di sunni itu, mungkin karena kamu memang ditutup-tutupi tentang hadits-hadits yang kunukil di atas. Ini kunukilkan lagi di sini: 

“....bahkan di shahih Bukhari dikatakan bahwa karena orang-orang surga tidak percaya bahwa Allah itu adalah Allah (ketika mengaku kepada mereka), maka Allah membuktikan keAllaah- anNya dengan menunjukkan betisnya (shahih Bukhari, hadits ke: 7439, 6886 dan 7001; shahih Muslim, hadits ke: 302).” 

Ini baru satu contoh yang mungkin ditutup-tutupi ulama kepada masyarakat sunni. Tapi ada lagi yang sering kita dengar, karena dulu ketika aku masih di sunni dan bahkan di wahabi, sering juga mendengar hadits-hadits tentang kebendaan Tuhan ini, seperti: 

a- Tuhan kelak akan meletakkan kakiNya di neraka karena neraka selalu kurang hingga ia berkata: “Cukup-cukup”. Lihat di shahih Bukhari, hadits ke: 4848, 4849, 4850.....dan seterusnya; shahih Muslim, hadits ke: 5082, 5083, 5084.....dan seterusya. 

b- Tuhan akan terlihat seperti bulan purnama: Shahih Bukhari, hadits ke: 806, 4581, 6573 dan lain-lain; shahih Muslim, hadits ke: 267, 269, 5270.....dan seterusnya) 

c- Bahkan Tuhan punya rumah di surga dimana Nabi saww akan mengunjungiNya nanti di surga: Shahih Bukhari hadits ke 7440; 6886, 4476 ‎ 6565 ‎ 7410 ‎ 7509 ‎ 7510 ‎ dan lain- lain. 

d- Tuhan setiap sepertiga malam selalu turun ke langit dunia (dari ‘Asry). Lihat di shahih Bukhari, hadits ke: 1145, 6321, 7494, 13463 ‎ 15241. 

Nah, dengan semua hadits-hadits sunni di atas itu, dapat dimengerti bahwa Allah di sunni itu bisa dilihat dengan mata dan bendawi, punya wajah seperti bulan atau matahari, punya rumah di surga, turun naik dari ‘Arsy ke langit dunia..............dan seterusnya. 

Tuhan seperti ini jelas tidak bisa diterima di syi’ah. Karena Tuhan Tidak Terbatas. Karena itu, bagaimana bisa dilihat? Ketika Tuhan terbatas dengan depan, belakang, atas, bawah, waktu, dunia, akhirat, surga, neraka ....dan seterusnya...maka bagaimana bisa dilihat? 

Hadits-hadits sunni di atas itu, sangat bertentangan dengan Qur'an. Karena ketika nabi Musa as terpaksa mewakili umatnya dalam doa sambil mereka yang mengatakan, QS: 2: 55: 

“Ketika kalian mengatakan: ‘Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu kecuali kalau kita bisa melihat Allah secara lahiriah.” 

Hingga nabi Musa as-pun meminta untuk mereka, QS: 7: 143: 


“Dan ketika Musa (as) datang ke tempat yang telah dijanjikan untuk bertemu Kami dan Ia berbicara kepadanya, ia berkata: ‘Biarkan aku melihatMu.’ Ia -Tuhan- berkata: ‘Engkau tidak akan pernah melihatKu.’.” 

Di ayat-ayat di atas itu, dikatakan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat di dunia dan juga di manapun saja sekalipun surga. Karena di ayat ke dua itu, Tuhan mengatakan kepada nabi Musa as: “Tidak akan pernah melihatKu.” Artinya kapanpun dan dimanapun. 

Satu-satu ayat yang dipakai saudara-saudara sunni untuk melihat Tuhan di surga dimana hal ini yang diyakini kamu (Muhammad Ghafur Z), adalah QS: 75: 22-25: 


“Wajah-wajah pada hari itu berseri (22). Kepada Tuhan mereka mengharap (23). Dan wajah-wajah pada hari itu bermuram durja (24). Mereka yakin akan ditimpakan adzab yang pedih (25). 

Terjemahan di atas itu, secara makna, adalah tafsiran syi’ah. Kalau tafsiran sunni, di ayat ke 23 itu diterjemahkan dengan: 

“Mereka melihat kepada Tuhan mereka.” 

Dari mana terjemahan kata “Naazhirah” itu menjadi “melihat”? Karena mereka sudah terpengaruh dengan hadits palsu di atas itu dan karena mereka meninggalkan Ahlulbait yang makshum as. 

Naazhirah itu bisa berasal dari “Nazhara” (melihat) dan bisa dari “intazhara” (menunggu). Ayat di atas, jelas tidak bisa diartikan dengan melihat, karena di samping bertentangan dengan ayat-ayat sebelumnya itu, yaitu firman Tuhan kepada nabi Musa as, juga bertentangan dengan kenyataan ayat ini, yaitu: 

a- Ayat-ayat ini, menyebutkan “wajah” dan bukan “mata”. Dengan demikian, maka jelas tidak mungkin wajah itu bisa melihat. Misalnya dikatakan, “wajah-wajah berseri karena wajah- wajah ini melihat Tuhannya.” 

b- Di ayat-ayat ini jelas membagi manusia kepada dua golongan, yaitu wajah berseri dan wajah bermuram. Ketika Tuhan menjelaskan wajah yang bermuram durja itu, mengatakannya seperti ini: “Dan wajah-wajah para hari itu bermuram, mereka yakin akan ditimpakan adzab yang pedih.” 

Jadi, dua golongan itu, yaitu golongan berseri dan bersedih. Dan ketika Tuhan mengatakan bahwa yang bersedih ini karena tahu akan ditimpakan adzab yang pedih, berarti wajah yang berseri itu karena tahu akan dilimpahi rahmat Tuhannya. Kenapa tahu bahwa akan dilimpahi rahmat? Karena mereka tahu bahwa Tuhan telah menjanjikan sebelumnya sewaktu di dunia, yaitu yang menjanjikan bahwa Ia akan merahmati orang-orang yang bertaqwa. Nah, ketika mereka melakukan taqwa sampai matinya, dan sekarang sedang dibangkitkan, maka wajah-wajah mereka pasti berseri. Karena tahu akan dirahmatiNya. Nah, ketika mereka berseri-seri dalam keadaan menunggu rahmatNya itu yang dikatakan di ayat ini. Karena itu makna yang benar adalah: 

“Wajah (orang-orang shalih) pada hari itu (akhirat) berseri. Mereka menunggu (janji) Tuhannya.” 

Karena itu, apa yang kamu (Muhammad Gofur Z) katakan bahwa Tuhan berjanji untuk menunjukkan DiriNya, jelas tidak ada dalam Qur'an. Wassalam. 

MukElho Jauh: 139 teman yang sama: 

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Muhammad Gofur Zfzf: “Tuhan berfirman”: kamu sekali kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah kebukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sedia kala) niscaya kamu melihat-Ku. 

Tatkala Tuhannya menampakkan Diri kepada gunung itu, Dijadikannya Gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan(q.s:al-a’raf :134. 

Tuhan menampakkan wujudnya pada gunung.. Sehingga gunung hancur... 

Bukan itu jelas saudara (sinar agama@.?).. 

AmiEn BalaDewa: Numpang lewat: salam. Aba saya pernah berkata kepada saya; Islam itu ibarat seperti manisnya gula, ada banyak macam gula, tapi hanya ada satu rasa di dalamnya, yakni manis. Begitulah islam saat ini, sekalipun berbagai macam madzhab, tetapi intinya hanya satu yakni islam.. 

Kebenaran hanya milik Allah Ta’ala, maka, bukan SUNNI, bukan SYI’AH, BUKAN MU’TAZILA, Bukan pula WAHABI/SALAFI yang paling benar. tetapi “ANTARA” disitulah letak Kebenaran. 

Saya kira lahirnya Madzhab, adalah untuk saling melengkapi bukan untuk saling bercerai berai. Untuk diri saya sendiri, saya memilih dengan PENDEKATAN SYI’AH ‘ALI. Wassalam.. -.- 

Sinar Agama: Muhammad: 

1- Kamu ini berdalil dengan ayat yang justru saya jadikan dalil tidak dapatnya Tuhan itu dilihat. Allah berkata kepada nabi Musa as, bahwa “Kamu tidak akan pernah bisa melihatKu, tapi lihatlah pada gunung itu kalau ia tetap di tempatnya, maka kamu akan dapat melihatKu....” 

Nah, ketika gunung itu tidak di tempatnya, maka jelas bahwa nabi Musa as tidak akan pernah bisa melihat Tuhan. Sebab syarat tetap di tempatnya gunung itu, merupakan syarat bagi kebisaannya nabi Musa as untuk melihat Tuhan. Tapi karena gunung tidak tetap di tempatnya, maka berarti nabi Musa as selamanya tidak akan bisa melihatNya. 

Seandainya gunung itu tetap di tempatnya, maka nabi Musa as akan bisa melihat Tuhan, baik di dunia atau nanti di akhirat dan tidak perlu Tuhan mengatakan “sekali-kali kamu tidak akan pernah bisa melihatKu.” Tapi karena gunung itu tidak di tempatnya, maka jelas bahwa Tuhan itu tidak akan pernah bisa dilihat. 

2- Untuk Tajalli Tuhan kepada gunung, maka kamu ini dikerjai orang yang bermadzhab bisa melihat Tuhan. Karena itu terjemahan dari kata “Tajalla” itu adalah menampakkan diri. Padahal ini jelas bertentangan dengan semua kenaturalan gunung. Kecuali kalau ada orang yang agak kurang sehat hingga berkata bahwa gunung itu punya mata dan, terlebih seperti mata manusia. Karena itu, arti “Tajallaa” di sini bukan menampakkan DiriNya untuk dilihat gunung, karena gunung jelas tidak punya mata. Akan tetapi memiliki arti “Manifestasi”. 

Artinya tampakan dari KuasaNya, bukan DiriNya. Persis seperti orang mengatakan bahwa dia melihat cinta kekasihnya, kemampuan temannya, kebencian tetangganya...dan seterusnya.. dimana semua itu dikatakan melihat, akan tetapi tidak dengan mata. Karena cinta, kemampuan, kebencian dan semacamnya itu, tidak bisa dilihat dengan mata, dan hanya bisa dilihat dengan akal. 

Dengan demikian, karena gunung itu tidak punya mata, maka “Tajalli” di sini memiliki arti yang lain, yakni “Menampakkan KuasaNya”. Nah, ketika Tuhan menampakkan KuasaNya kepada gunung untuk dilihat nabi Musa, baik dengan memperlihatkan atom-atom yang tidak pernah diam, atau yang lainnya, hingga gunung itu menjadi hancur, maka nabi Musa as-pun pingsan. 

Jadi, Tuhan yang menyuruh nabi Musa as melihat gunung, karena Tuhan ingin menampakkan KuasaNya pada nabi Musa as dimana dengan penampakan Kuasa itu sang gunung menjadi hancur. Jadi, bukan Tuhan menampakkan DiriNya hingga dilihat gunung yang tak punya mata. 

3- Anggap kita terjemahkan ayat itu dengan kebodoh-bodohan, yaitu Tuhan menampakkan Diri kepada gunung. Terus apa maksudnya. Kan maksudnya akan menjadi seperti ini: 

“Wahai Musa as, kamu lihatlah gunung itu. Aku akan menampakkan DiriKu kepadanya dimana kalau ia mampu melihatKu, maka kamu juga akan mampu melihatKu. Tapi kalau tidak mampu dan hancur, maka kamu juga akan hancur.” 

Nah, ketika Tuhan -anggap- menampakkan DiriNya kepada gunung dan gunung itu tidak sanggup hingga hancur, maka jelas: Pertama, gunung tidak mampu melihat hingga binasa. Ke dua, karena gunung tidak bisa melihat, maka manusia yang diwakili nabi Musa as juga tidak akan bisa melihat. 

Dengan demikian, maka hasilnya sama saja. Yaitu Tuhan tidak akan pernah bisa dilihat dengan mata. Tapi hanya bisa dilihat dengan hati/akal. Yaitu melihat Kuasanya, JanjiNya, RahmatNya, RidhaNya, MurkaNya.....dan seterusnya...dimana semua itu jelas-jelas tidak akan pernah bisa dilihat dengan mata kecuali tanda-tanda dan ayat-ayatnya saja. 

Sinar Agama: Amien: Ketika Allah dalam QS: 6: 151-153 memerintah Nabi saww untuk mengatakan beberapa hal yang diantaranya: 


“Sesungguhnya ini -Islam hakiki- adalah jalanku yang lurus (shirathulmustaqim), karena itu ikutilah dan jangan ikuti jalan-jalan yang banyak hingga kalian kehilangan jalanNya.”, Nabi saww menggambar satu garis lurus dan di samping kanan kirinya diberi garis-garis yang banyak (hingga seperti binatang kaki seribu). 

Nabi saww bersabda, yang lurus dan yang di tengah ini adalah jalanku yang lurus sementara yang di samping-samping ini bukan jalan lurusku. 

Betapa hebatnya Nabi saww dengan gambarannya itu. Karena Nabi saww tidak ingin mengatakan bahwa jalan-jalan yang banyak yang tidak lurus itu adalah jalan salah seratus persen. Mengapa? Karena ujung dari garis-garis yang banyak itu disentuhkan dengan garis lurus yang merupakan jalan lurus Nabi saww tersebut. 

Jadi, Nabi saww sudah tahu bahwa shahabat dan muslimin ini akan berpecah dan semuanya mengatasnamakan Islam karena masih bersentuhan dengan Islam. Akan tetapi jelas keluar dari ajaran lurus Nabi saww yang hanya satu. Karena itu Nabi saww, sesuai dengan perintah Allah, menyuruh memperingati shahabat dan muslimin untuk berhat-hati, hingga tidak ikut Islam yang ala Islam tapi ikut Islam yang sesungguhnya, yakni yang teruji dengan berbagai sanggahan dan pertanyaan. 

Karena itu, ketika suatu keyakinan itu semakin bisa menerangkan dirinya dan menjawab dengan baik isykalan atau debatannya, maka ia adalah jalan lurus itu, atau, setidaknya sudah semakin dekat kepadanya. 

Tapi kalau keyakinannya itu hanya asal dakwa dan tanpa argumen yang teruji, maka sangat mungkin ia adalah jalan yang hanya ala Islam, tapi bukan Islam yang sesungguhnya. 

Karena itu, maka kurang bijak kalau ada orang mengatakan bahwa madzhab-madzhab itu sama- sama benar dan saling melengkapi. 

Memang, manakala pandangannya sejalan dan sama-sama memiliki argumentasi yang kuat dan gamblang, dan bedanya hanya dalam perinciannya atau pengaplikasiannya, maka yang berbeda itu pasti saling melengkapi. Tapi kalau pandangannya saling menolak, misalnya yang satu mengatakan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata, dan yang lainnya, mengatakan sebaliknya, maka hal ini tidak bisa dikatakan saling melengkapi. 

Jadi, menghadapi masalah perbedaan ini, terutama dalam hal-hal yang berbeda dalam arti saling menolak (bukan saling mendukung), bukan dengan mengatakan bahwa semua saling mendukung. Hal itu karena memang benar-benar saling tolak dan menyalahkan satu sama lain. Jadi, cara penyelesaiannya, walau tetap dalam keadaan saling menyalahkan, adalah dengan lapang dada saling mengajukan argumentasinya dan jangan sampai ada saling pemaksaan apalagi permusuhan. Saling menyalahkan itu memang suatu yang pahit, tapi tidak bisa dihindari karena memang keyakinannya dalam beberapa hal memang saling menolak. Akan tetapi, Islam telah memberikan jalannya supaya tidak saling memaksakan dan bermusuhan. Karena itulah Tuhan mengatakan “tidak ada paksaan dalam agama”. 

Muhammad Gofur Zfzf: Di atas saudara menyatakan, penyebab syiah dan Sunni tak bisa bertemu pada satu Rabb adalah cara menafsirkan pandangan terhadap Rabb. Sunni punya hadis pembendaan Rabb. Sedang syiah tidak melakukan itu, dalam arti kata Rabb dalam syiah tidak terbatas. Bagimana dengan ayat ini.? 

“Allah Berfirman, Hai iblis apakah yang menghalangi kamu sujud pada yang Kuciptakan dengan Kedua Tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu termasuk orang yang (lebih) tinggi.?”(q.s Shad:74) 

di sini ada kata “Tangan”.. 

Apakah ini benda atau membendakan atau tidak dua-duanya..? Dalam ayat ini mutlak. Dalam alquran banyak kata pembendaan..! 

Contoh: 

-Dia 

-Nya 

apakah pembendaan itu yang meneyebabkan rabb dalam syiah beda dengan rabb dalam sunni..?? Mengapa alquran membendakan-Nya juga.?? 

Hidayatul Ilahi: nyimak 

Sinar Agama: Muhammad: Baiklah saudaraku Muhammad: Tentang Tangan Tuhan itu, maka penjelasannya seperti ini: 

Tangan, dalam bahasa apapun, terutama dalam bahasa Arab dan Indonesia, bisa berbagai makna. Misalnya bermakna tangan kita yang dua ini. Bisa juga bermakna lain, seperti pembantu dekat, seperti kalau mengatakan bahwa si Fulan A itu adalah tangan kanan si Fulan B, atau si Fulan A itu adalah tangan kiri si Fulan B. Ada lagi makna lain dari tangan ini, yaitu kekuatan, misalnya, si Fulan A itu membunuh si Fulan B menggunakan tangan-tangannya. Bisa juga bermakna kekuasaan, misalnya, si presiden Fulan A itu menggunakan tangan-tangannya untuk menggugurkan revolusi si Fulan B. 

Kalau di kamus besar bahasa Indonesia kamu lihat, di situ dikatakan bahwa selain bermakna anggota badan, juga bermakna kekuasaan, pengaruh dan perintah. 

Dalam kamus-kamus bahasa Arab juga seperti itu. Kalau kamu mengerti bahasa arab, maka bisa merujuk ke semua kamus Arab (tapi dari cara kamu menulis komentar, terlihat kamu sepertinya memang tidak mengerti bahasa Arab). 

Dengan demikian, ketika orang mengatakan bahwa Tangan Tuhan itu pembendaan dimana keyakinan ini diyakini banyak sunni dan terlebih wahabi, maka -na’udzubillah- jelas Tuhan tidak beda dengan makhluk materi manapun. Karena itu maka tanganNya itu pasti lengket pada suatu tubuh, jadi Tuhan bertubuh. Nah, tubuhnya ini, kalau tidak punya mata dan panca indra kan tidak sempurna. Masak hanya tubuh tanpa kepala dan kaki. Dan kepalanya tanpa mata, mulut dan telinga...dan seterusnya???? Kakinya juga begitu, bisa dua kaki, tiga kaki atau seribu kaki. Walhasil, Tuhan jadinya seperti apa kita tidak bisa bayangin. Apakah Tuhan itu merangkak, melata, terpincang-pincang, terbang, menggelinding, bulat, panjang, segi tiga, tinggi amat, pendek amat, punya mata dua atau seribu, .....dan seterusnya. Walhasil Tuhannya akan persis seperti patung- patung yang dibuat manusia sepanjang sejarah, terkhusus patung-patung yang ada di jaman- jaman jahiliyyah, yakni bermodel sesuai dengan model-model yang dianggap mereka hebat. 

Orang syi’ah, jelas tidak penah meyakini Tuhan seperti ini. Karena itulah Tuhan sendiri mengatakan bahwa Ia tidak sama dengan apapun (QS: 42: 11) berfirman: 

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidaklah ada sesuatupun yang menyerupai serupaNya.” 

Maksudnya, kalau serupaNya saja tidak ada yang menyerupainya, maka bagaimana dengan DiriNya sendiri. Maksud ayat ini adalah sama sekali Dia tidak serupa dengan apapun. Jadi, sekalipun dua tangan juga tidak serupa. Artinya, kalau makhluk ini memiliki dua tangan, maka dua tangan Tuhan di Qur'an itu, juga tidak serupa. Maksudnya, walaupun dengan hanya penyerupaan “dua tangan”, bukan bentuk tangannya, maka tetap saja hal itu penyerupaan. Apalagi kalau diartikan benda. Jelas hal ini pembendaan dan lebih dari sekedar penyerupaan. Padahal serupa saja tidak mungkin. 

Dengan demikian, maka Tangan Tuhan atau Kedua Tangan Tuhan di Qur'an itu, hanya bisa dimaknakan kepada sesuatu yang tidak bisa diserupakan dengan apapun, seperti Kuasa. 

Kalau diartikan dengan Kuasa, maka sudah keluar dari pembendaan. Mungkin orang akan berkata, bahwa Kuasa juga dimiliki makhluk, berarti masih ada bau penyerupaan. Nah, ketika hal ini terbayangkan oleh manusia, maka ayat ke dua (QS: 42: 11) itulah yang harus difungsikan. Yaitu bahwa Tuhan itu tidak bisa diserupakan dengan apapun. 

Jadi, Kuasa Tuhan itu tidak bisa dibandingkan dengan kuasa siapapun. Jadi, ayat ke dua itu terfungsikan di sini. Tapi kalau diartikan benda, maka ayat ke dua ini jelas tidak berfungsi, karena pembendaan sudah masuk ke dalam penyamaan dan pemersisan, bukan lagi penyerupaan. Tapi kalau Kuasa, maka mungkin masih ada bayangan dan penyerupaan dengan kuasa makhluk. Nah di sini Tuhan mengatakan bahwa KuasaNya itu tidak sama dan tidak bisa diserupakan dengan kuasa makhluk. 

Tentang perbedaan KuasaNya dengan kuasa makhluk dan ketidakbisaannya untuk diserupakan, maka bisa berbagai alasan dan dalil. Misalnya, KuasaNya tidak terbatas dan kuasa makhluk sangat-sangat terbatas. Perbedaan Kuasa yang tak terbatas dengan yang terbatas, jaraknya, juga tidak terbatas. Karena kalau jaraknya terbatas, maka Kuasa yang tak terbatas itu akan menjadi terbatas. Nah, ketika yang satu Kuasa tidak terbatas, dan yang lainnya terbatas, dan jarak keduanya tidak terbatas, maka jelas jangankan penyamaan dan pemersisan, penyerupaan juga tidak bisa dilakukan. 

Tentang makna dua di Dua Tangan Tuhan itu, bisa berbagai penafsiran. Misalnya Jalal dan Jamal, yakni kembali kepada Dua Kuasa yang termanifestasikan kepada sifat Jalal/Perkasa dan Jamal/ Indah. Jadi, ayat yang kamu bawa itu Tuhan berkata kepada iblis seperti ini: 


Berkata -Tuhan: “Wahai iblis, apa yang telah mencegahmu untuk bersujud kepada makhluk yang Kucipta dengan Dua TanganKu (Keperkasaan dan KeIndahanKu), apakah kamu sedang menyombongkan diri atau termasuk bagian dari golongan yang tinggi (malaikat tinggi yang tidak terkena perintah sujud)????” 

Sekedar mengingatkan lagi: Kalau Tuhan itu sudah benda, ya Allah.....berarti Dia itu sebelum dibatasi dengan apapun, seperti tempat dan waktu, sudah dibatasi dengan tubuhnya sendiri. Kalau sudah terbatasi, maka pasti Ia memiliki awal dan akhir dimana sebelum awalnya itu Ia tidak ada dan setelah akhirnya itu juga Ia akan menjadi tidak ada. 

Belum lagi kalau mau kemana-mana pasti menggunakan kakinya, karena kalau mau mencipta juga menggunakan tangannya. Jadi, Tuhan harus menempuh jalan-jalan yang Ia cipta sendiri. Ini berarti, bahwa semua jalan-jalan itu, telah menaklukkanNya. Karena itu Tuhan selalu harus kemana-mana melalui jalan-jalan tersebut. Keyakinan yang lebih parah dari jahiliyah ini, memang dimiliki wahabi, hingga mereka mengatakan bahwa Tuhan turun dari ‘Arsy ke langit dunia itu seperti mereka turun dari atas mimbar. Keyakinan keji wahabi ini sangat terkenal dimana-mana. Sampai imam mereka memperagakan diri yang turun dari mimbar melalui tangga-tangganya sambil mengatakan, “Beginilah Tuhan turun dari ‘Arsy ke langit dunia”. 

Begitu pula, kalau Tuhan itu bendawi, maka jelas Ia terikat dengan tempat dan waktu yang Ia cipta sendiri, yakni selain dari terikat pada jalan-jalan yang Ia ciptakan sendiri itu. Kalau Tuhan sudah 

terikat dengan makhlukNya sendiri, maka apakah masih bisa dikatakan Tuhan??? Bagaimana mungkin Tuhan bisa terikat dan, lebih parah lagi, pengikatNya itu adalah makhlukNya sendiri. 

Kalau kamu tidak anti filsafat maka dapat dikatakan bahwa “Kalau Tuhan yang sebagai sebab itu terikat dengan makhlukNya yang sebagai akibat, maka mana bisa dapat dipahami dan dimengerti bahwa sebab itu diikat dan bahkan dikalahkan oleh akibatnya?” 

Dengan demikian, maka Tuhan itu bukan benda dimana pembendaan ini bukan penyerupaan tapi bahkan pensamaa-an. Dan kalaulah Tuhan sudah bukan benda, seperti Kuasa, Indah, Lembut, Penyayang, Pemaaf, Pengampun.....dan seterusnya..., tapi tetap tidak sama dengan yang lainnya dan, bahkan tidak serupa. 

Jadi, Tuhan bukan benda yang merupakan pen-sama-an, dan juga bukan sembarang “bukan benda”, karena tidak bisa diserupakan. Wassalam. 

Ibnu Samsuddin: 187 teman yang sama: Ikut nyimak....... 

Beni Kurniawan: Masya Allah. Ana telat menyimak forum ini... 

Wirat Djoko Asmoro: Mencerahkan sekali.. 

Sinar Agama: Teman-teman semua, baik yang syi’ah atau yang sunni atau yang wahabi yang berhati mulia, semoga kita semua pada akhirnya mendapatkan yang terbaik, yang terargumentasi, termasuk akal, tersesuaikan dengan Qur'an dan Hadits, dan menjauhkan diri kita dari saling benci dan bermusuhan, membatasi saling menyalahkan hanya pada bab-bab keilmuan dan tanpa disertai penghardikan, pencemoohan dan, pemaksaan. 

Percayalah, walau kita masih memiliki kekurangan di hadapanNya, akan tetapi kalau kita berhati mulia dan tidak mengenal lelah dalam mencari, saling santun dan menyayangi walau dalam perbedaan...dan seterusnya...maka kita masih layak untuk mengharap ampunanNya. Beda kalau kita saling memaksakan, mencemooh, tidak memungkinkan diri kita yang salah dan memastikan yang lain yang pasti sesat tanpa dalil yang jelas dan teruji dan diadu, ...dan seterusnya..., maka kalau ada kesalahan, sulit untuk mendapatkan ampunanNya. 

Itulah mengapa saya sering mengatakan bahwa sengitlah dalam berdiskusi, salahkan dan benarkanlah, tapi usahakan dengan dalil dan tanpa pemaksaan dan pengejekan. Hal itu, tidak lain hanya untuk membuka peluang untuk kita agar mendapatkan ampunan dan kasih sayangNya manakala kita masih memiliki kesalahan pemikiran, akidah dan lain-lainnya. 

Aku yang merasa syi’ah ini (yang pernah dibesarkan di syafi’i dan dewasa di wahabi), akan selalu siap diganggu, diisykal, didebat ...dan seterusnya...untuk saling bantu menemukan hakikat Islam agung ini. Tapi kalau bisa, mari kita saling santun, saling mendoakan dan saling tolong menolong. Tidak ada yang dapat kita bawa ke alam baka kecuali kebenaran yang hakiki yang melantunkan kasih sayang sesama umat walau dalam ketegasan yang luar biasa dan kokoh dalam berargumentasi. Semua ini telah dicontohkan Nabi saww dan kita, semua tahu akan hal itu. Nabi saww tegas berargumentasi tentang keberanannya dan dalam menyalahkan yang salah. Akan tetapi, bukan hanya tidak pernah memaksa, bahkan menerima lemparan batu mereka. 

Mari saling salah menyalahkan dengan argumentasi dan kasih sayang. Salah menyalahkan itu tidak bisa dihindarkan karena itulah amar makruf dan nahi mungkar serta konsekuensi seseorang memiliki agama dan keyakinan yang berbeda dengan yang lainnya. Akan, tetapi mari kita mencontoh Nabi saww dalam kehidupannya yang agung itu. 






اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Konsep Persatuan Syi’ah-Sunnah dalam Ibadah



Seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Tuesday, January 8, 2013 at 5:32 pm


Irsavone Sabit mengirim ke Sinar Agama: (23-11-2012) Afwan Ustadz, saya masih bingung dengan bagaimana sebenarnya konsep persatuan itu sehingga kita dianggap sah shalat ketika menjadi makmum orang-orang sunni, apakah kita harus mengumumkan persatuan di dalam mesjid, dan mengumumkan saya orang syiah, agar tak ada satupun yang tidak tahu bahwa saya orang syiah? 

Sang Pencinta: Salam, semoga ini membantu, 
http://arsipsinaragama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=133:takiah-itu- dikatakan-takiah-kl-memenuhi-syaratnya-yg-4-atau-5&catid=44:taqia&Itemid=64

{**}Takiah itu dikatakan takiah kalau memenuhi syaratnya yang 4 atau 5{/**} 

Arsipsinaragama.com 

Selamat Datang di Arsip Sinar Agama 

Sang Pencinta
http://arsipsinaragama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=137:taqia- persatuan-2-&catid=44:taqia&Itemid=64

{**}Taqia persatuan 2 {/**} 

arsipsinaragama.com 

Sang Pencinta: 
http://arsipsinaragama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=136:rahbar- taqiya-persatuan&catid=44:taqia&Itemid=64

{**}Rahbar-taqiya persatuan{/**} 

arsipsinaragama.com 

Irsavone Sabit: Jadi untuk sujud di atas karpet dibolehkan untuk persatuan? 

Sang Pencinta: Lihat kondisi dan syarat-syaratnya, link di atas sudah sangat rinci mas. 

Irsavone Sabit: Bagaimana dengan shalat maghrib apakah dibolehkan berjamaah sementara waktunya tidak sama? 

Orlando Banderas: Walau takiah, kalau waktu maghrib tidak boleh disamakan waktunya tunggu 45 menit setelah azan maghrib Sunni. Kalau kita bukan orang berpengaruh di masyarakat dan syarat takiah tidak terpenuhi seperti tidak diancam kehormatannya, tidak diancam keluarga dan harta dan jiwa maka tidak boleh takiah. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Sekedar menguatkan jawaban teman-teman bahwa taqiah persatuan itu tidak perlu dengan mengenalkan diri sebagai syi’ah dan, apalagi mengumandangkannya. Karena cukup dengan hanya shalat ala syi’ah saja, seperti tidak sedekap, menggunakan alas sujud yang dibolehkan dan seluruh bacaan-bacaan wajibnya. 

Taqiah dalam persatuan ini, tidak mencakupi waktu shalat maghribnya dan waktu bukanya (saya menyebutkan maghrib dan waktu berbuka, karena yang lain-lainnya, waktunya tidak beda). Lagi, pula kalau yang beda itu disamakan, maka mana taqiah persatuannya? 

Kalau imam Khumaini ra, khusus untuk puasa, kalaulah taqiah keamanan sekalipun, seperti kalau tidak bukan di waktu buka sunni akan dibunuh, maka tetap saja wajib qadhaa’ di kemudian hari. Jadi, taqiah puasa itu, bagi fatwa imam Khumaini ra, hanya menghilangkan dosa dan kaffarahnya, tapi tidak menghilangkan qadhaa’nya. 

Irsavone Sabit: Terimakasih ustadz atas penjelasannya, terimakasih juga bagi yang lain yang telah membantu. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 04 Desember 2018

Syi’ah dan Sodomi ?!



Seri tanggapan terhadap sebuah kiriman oleh Sinar Agama
by Sinar Agama on Tuesday, January 8, 2013 at 4:30 pm



for everyone: Menjijikkan. Syi’ah Mengajarkan Sodomi! (Jun 11, ‘11 6:09 PM), 

Bicara tentang Syi’ah, seolah tak ada habisnya. Mengaku Islam, tapi ajarannya jauh dari Islam. 

Berikut ini adalah salah satu bukti kesesatan Syi’ah. Dalam hubungan suami istri, mereka punya fikih tersendiri. Dan yang pasti, menyelisihi Qur’an dan Hadits. Mengapa? karena Qur’an dan Hadits Nabi melarang sodomi, tapi Syi’ah menganjurkannya! Terjemahan 

Syi’ah: Harus Menyetubuhi Isteri Pada Dubur 

Daripada al-Barqiyy, beliau memarfu’kannya [1] daripada Abi Abdillah a.s. katanya: 

“Bila seseorang menyetubuhi isterinya pada duburnya lalu dia tidak sempat keluar air mani maka kedua-duanya tidak wajib mandi. Jikalau dia keluar air mani maka wajib mandi keatasnya dan isterinya tidak wajib mandi”. (Rujukan: Muhammad bin Ya’kob al-Kulaini al-Furu’ min al-Kafi jil. 3 hal. 47) 

Kesimpulan

> Syi’ah mengharuskan seseorang itu menyetubuhi isterinya pada dubur. 

> Syi’ah pada hakikatnya telah menghina imam-imam Ahl al-Bait dengan menghubungkan ajaran yang bercanggah dengan fitrah manusia kepada mereka walaupun mendakwa cintakan mereka. 

[1] Menyambungkan sanad sampai kepada imam makshum. 

Jadi...masih ada yang doyan ajaran Syi’ah??? 

sumber: Pena Minang Album (Facebook) 

Tags: syi’ah, sodomi 

Prev: “Kalau Aku Jujur, Maka Aku Ajur Ya Mak?” 

Next: Tidak Ada Tuhan, Selain Allah. Yakin?? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Saya sudah sering menulis tentang: 

1- Jangan main ayat dan hadits kalau bukan mujtahid seperti layaknya wahabi karena hal itu akan mengantar kepada kesesatan. 

2- Hadits di atas itu, jelas menerangkan hukum junub tidaknya orang yang mencampuri istrinya dari belakang, bukan tentang kehalalannya. 

3- Jangankan keharusan menyetubuhi dubur seperti yang ditulis si bodoh (penulis itu), menerangkan kehalalannya juga tidak. Karena sekali lagi, di sini jelas hanya menjelaskan tentang hukum junub dan tidaknya seseorang yang melakukan hal tersebut. 

4- Hukum-hukum seperti ini, jelas wajib diketahui. Misalnya, orang yang melakukan homosex atau berzina, lalu ada penjelasan hukumnya bahwa keduanya junub atau tidak, maka hal itu bukan berarti kebolehannya, apalagi keharusannya seperti yang dituduhkan penulis itu. 

5- Tentang hukum mengumpuli istri dari dubur, ada perbedaan di syi’ah. Ada yang mengharamkan seperti ayt Makarim Syirazi hf (seingatku) dan ada yang memakruhkan secara keras, terutama kalau tidak diijinkan istrinya. Hukum ini diambil dari berbagai ayat dan hadits, tapi bukan hadits di atas itu yang hanya menerangkan kejunuban atau tidaknya si pelaku. 

Yang menghalalkan tapi makruh keras itu mendasarkan fatwanya kepada ayat Qur'an, QS: 2: 222: 


“Istri-istri kalian itu adalah lahan kalian maka datangilah (campurilah) lahanmu dengan cara apapun.” 

Annaa ini bisa berarti, “dimana saja” (dari aina), atau “kapan saja” (dari mataa), atau “bagai- manapun saja” (dari kaifa). Jadi, kalau annaa itu dimaknai dengan yang ke tiga, maka artinya seperti yang saya tulis di atas itu. Walhasil, terjadi perbedaan fuqohaa di sini. Paling ringannya, makruh keras terutama kalau istrinya tidak rela. 

Tambahan

Makna ke tiga itu bisa lebih diutamakan, karena kalau maksud mendatangi istri itu hanya Qubul (afwan, lubang-depan/kemaluan-wanita), maka sudah pasti akan terlarang dari melezati yang lainnya dari bagian tubuh istri. Padahal kan tidak ada seorang muslimpun yang mengharamkan paha, susu, mulut ..dan seterusnya...dari bagian-bagian istri dan suami. Afwan agak kurang sopan. Terpaksa dijelaskan karena berkenaan dengan hukum. 

Tambahan lagi

Ada yang tanya di inbox tentang hadits pengharamannya, maka kujawab sebagai berikut: 

Sinar Agama: Salam, banyak sekali contohnya, seperti yang kitab Wasaailu al-Syi’ah ini: 


Dari imam Baqir as dari Rasulullah saww: “Mengumpuli wanita di duburnya adalah haram untuk umatku.” 

Tapi ingat, kamu tidak bisa mengambil kesimpulan haram dari hadits di atas karena kamu bukan mujtahid. Karena hadits ini harus dimasak terus dan dibanding dengan puluhan hadits lainnya dan ayat-ayat hingga menghasilkan hukum dan itupun dengan ilmu-ilmu yang diperlukan seperti ushulfiqih dan semacamnya. 

Tambahan Lagi

Makna ke tiga itu bisa lebih diutamakan, karena kalau maksud mendatangi istri itu hanya Qubul (afwan, lubang depan), maka sudah pasti akan terlarang dari melezati yang lainnya dari bagian tubuh istri. Padahal kan tidak ada seorang muslimpun yang mengharamkan paha, susu, mulut ..dan seterusnya...dari bagian-bagian istri dan suami. Afwan agak kurang sopan. Terpaksa dijelaskan karena berkenaan dengan hukum. 

Bora Sawerigading: Sepakat..Biarkan kebenaran mengujukkan jati dirinya..Para pemikir akan lebih mengerti tentang kebenaran.. 

Yuddi Masaling Batam: Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Orlando Banderas: Hadist dari Abu Abdillah AS sudah benar tapi kesimpulan yang diambil penulis itu yang salah.. 

Ali Assegaf Senat Jatim: Mungkin dijelaskan level kewenangan dan kewajiban - jika ada link bab Taqleed saya kira jelas... 

Firman Koplaks: Senang dapat jawaban langsung orang syiah, terimakasih. 

Sang Pencinta: Firman, Kiranya antum berminat mengetahui bahasan Taqlid dalam Syiah bisa merujuk ke https://www.dropbox.com/s/515vzx25gjgzh9q/Fikih%20Pemula.pdf. 
afwan. Fikih Pemula.pdf www.dropbox.com

Sang Pencinta: Dan catatan ustadz bab Taqlid, https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf?m 
WF Marja Taqlid.pdf www.dropbox.com 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tahun Baru Islam



Seri tanya jawab Hidayatul Ilahi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Tuesday, January 8, 2013 at 3:18 pm



Hidayatul Ilahi mengirim ke Sinar Agama: 14 November 2012, 

Salam ustadz, apakah benar 1 Muharram adalah awal tahun baru Islam? Afwan Ustadz. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 
Benar. Dan saya kemarin (Rabu), baru menerbitkan hadits-hadits dan amalannya sekalian. 

Hidayatul Ilahi: Tapi saya pernah membaca catatan seorang teman, bahwa tahun baru Islam diambil dari Rasulullah SAWW sampai di madinah saat hijrah yaitu 12 Rabiul awal, mohon koreksi jika saya salah ustadz. 

Sinar Agama: HI: Saya sudah mengarahkan antum ke catatan yang kumaksud itu, mengapa tidak merujuknya? Ini kucopas dan sekaligus dengan sebagian komentarnya: 

Akhir dan Awal Tahun Hijriah Beserta Amalan-amalan-nya, seri terjemahan kitab Mafaatiihu al-Jinaan oleh Sinar Agama 

oleh Sinar Agama pada 14 November 2012 pukul 9:57 · 

Bismillaah: Akhir dan Awal Tahun Hijriah Beserta Amalan-amalan-nya Diterjemahkan dari kitab Mafaatiihu al-Jinaan, sebagai berikut: 

Akhir Dzulhijjah adalah hari terakhir dari tahun Arab (hijriah). Diriwayatkan oleh al-Sayyid dalam kitab Iqbaal, sesuai dengan sebagian riwayat, untuk shalat dua rokaat dengan membaca setelah Faatihah 10x surat Ikhlash (Qul huwallaahu ahad) dan 10x ayat Kursii, lalu berdoa dengan doa ini: 



Kalau berdoa dengan doa ini, maka syaithan berkata: “Celaka. Apa saja yang telah kulakukan satu tahun ini untuknya, ia telah menghancurkannya dengan doanya ini hingga tahun yang berlalu ini akan bersaksi bahwa ia telah menutup tahunnya dengan baik. 

Pasal ke Tujuh

Amalan-amalan Bulan Muharram

Ketahuilah bahwa bulan ini adalah bulan kesedihan Ahlulbait as dan para Syi’ahnya. Diriwayatkan dari imam Ridha as yang berkata: “Ayahku as tidak tertawa kalau sudah masuk bulan Muharram. Kesedihannya menguasai dirinya hingga selesai sepuluh hari darinya (Muharram). Ketika sampai pada hari ke sepuluh, maka hari itu adalah hari musibah, duka dan tangisnya dan ia berkata: ‘Hari ini adalah hari di mana Husain telah dibunuh.’.” 

Amalan-amalan Malam Pertama Muharram

Al-Sayyid telah meriwayatkan di Iqbaal beberapa shalat: 

  • Pertama: Seratus rokaat, dimana membaca surat ikhlash/tauhid setelah Faatihah pada setiap rokaatnya. 
  • Ke dua: Dua rokaat, di mana pada rokaat pertamanya membaca surat al An’aam setelah alfatihah dan surat Yasiin pada rokaat ke dua setelah al fatihah. 
  • Ke tiga: Dua rokaat, dimana pada setiap rokaatnya membaca surat tauhid/ikhlash sepuluh kali setelah al fatihah. Dalam sebuah hadits diriwayatkan dari Nabi saww yang bersabda: 

“Barang siapa yang melakukan shalat ini di malam ini, dan berpuasa esok harinya dimana adalah awal tahun, maka ia seperti orang yang telah berbuat kebaikan sepanjang tahun dan bertahan sampai tahun berikutnya. Dan kalau ia mati sebelum itu, maka ia akan ke surga.” 

Amalan-amalan Hari Pertama Muharram

Ketahuilah bahwa permulaan Muharram adalah awal tahun dan di dalamnya terdapat dua amalan: 

  • Pertama: Puasa. Dalam riwayat Rayyaan bin Syubaib dari imam Ridha as, bahwa beliau as berkata: 

“Barang siapa yang berpuasa di hari ini, dan berdoa kepada Allah, maka doanya akan dikabulkan.” 

  • Ke dua: Dari imam Ridha as, bahwa Nabi saww shalat dua rokaat di hari pertama Muharram dan ketika sudah selesai, mengangkat tangan dan berdoa dengan doa ini sebanyak tiga kali: 


Wassalam. 


Fatimah Sekar Langit: Ustadz. Tentang awal Hijriyyah di Syi’ah apa seperti di Sunni yaitu tanggal 1 Muharram kalau dulu Nabi saww hijrah pada tanggal 1 Muharram terus sampai di Madinah tanggal berapa ya kira-kira? 

Sinar Agama: Fatimah, Hijrah Nabi saww itu bukan di bulan awal tahun Arab (yang memakai bulan, tidak seperti Masehi yang pakai matahari), tapi di bulan Rabii’u al-Awwal dan pas di malam tanggal 1-nya. 

Akan tetapi, supaya muslimin punya tahun sendiri, maka bulan-bulannya itu tetap seperti yang sebelumnya, tapi permulaan tahunnya saja yang dirubah dari Hijrahnya Nabi saww. 

Karena itulah Tariikh Thabari berkata: 


Berkata Abu Ja’far: “Kalau hakikat tanggalan kaum muslimin seperti yang kamu katakan, maka permulaan tahun di muslimin itu adalah dua bulan beberapa hari (12 hari), sebelum Hijrahnya Nabi saww ke Madinah. Hal itu, karena awal tahu itu adalah Muharram, sementara berangkatnya Nabi saww ke Madinah setelah terlewatinya tahun seperti yang kamu katakan. Karena itu, tanggalan tidak dibuat/dihitung dari keberangkatan beliau saww -ke Madinah- akan tetapi dihitung dari tahun tersebut (tahun keberangkatannya, bukan bulan keberangkatannya).” (Taariikh Thabari, 2/388; Ruuhu al-Ma’aani, 10/90; Al-Ayyaam wa al-Layaalii wa al-Suhuur, 9; dan lain-lain). 

Maksud penukilan ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa penentuan permulaan tanggalan Islam itu, tidak merubah esensi bulan-bulan yang sudah dipakai sejak nabi Ismail as itu, termasuk penamaannya dan pengharaman empat bulannya serta awal tahunnya. Jadi, awal tahun tetap Muharram walaupun Hijrah Nabi saww itu di bulan Rabii’u al-Awwal (ada yang berkata tanggal 1, atau 12 dan seterusnya) dan untuk tahun pertama Islamnya adalah tahun kejadiannya itu. Jadi, tahun pertama Islam, kurang dua bulan, karena ia dimulai di Muharram sementara Hijrahnya dua bulan setelah itu. 

Kalau untuk berapa harinya waktu perjalanan Hijrah Nabi saww, maka perlu diketahui bahwa Nabi saww tidak langsung ke Madinah. Beliau saww singgah dulu di Gua Tsuur selama kurang lebih tiga malam karena orang-orang arab Makkah terus mencari beliau saww di Makkah dan sekitarannya selama 3 hari. 

Allamah Ayatullah Subhaani dalam kitabnya Faroozhooi Az Tooriikhe Peyoombar, 202: 


“Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh kebanyakan ahli sejarah, yang menyatakan bahwa penentu penanggalan Islam ini, yaitu yang dimulai dari hijrah Nabi saww ini, adalah Umar bin Khaththab ketika menjadi khalifah dengan bimbingan imam Ali as. Sebenarnya, kalau kita teliti secara cermat dari surat-surat Nabi saww sebagaimana kebanyakannya tersebar di seluruh kitab- kitab sejarah, dapat dipahami bahwa penentu tahun Hijriah ini adalah Nabi saww sendiri dimana Nabi saww pada tahun tersebut menulis surat kepada kepala-kepala suku, pemuka arab dan orang-orang terkemuka.” 

Wassalam. 

Hidayatul Ilahi: Maaf Ustadz, tadi saya cuma merujuk pada copy-an catatan Ustadz yang ada pada saya, sekali lagi saya mohon maaf Ustadz, terima kasih atas jawaban yang super ini Ustadz. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 02 Desember 2018

Logika dan Filsafat dalam Qur'an



Seri tanya jawab Wirat Djoko Asmoro dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Sunday, January 6, 2013 at 3:36 pm


Wirat Djoko Asmoro mengirim ke Sinar Agama: 14 November 2012,

Salam. Ustadz sering nyinggung di sini tentang ilmu logika dan filsafat, Apakah kedua ilmu ini juga pernah diajarkan Nabi saaw? Syukron.


HenDy Laisa: Filsafat=hikmah, afwan Ustadz jika keliru

Sang Pencinta: Salam, afwan ikut bantu nukilkan link Ustadz Sinar ya,

Ada Apa Dengan Filsafat??!! (Mengapa Sebagian Muslimin Anti Filsafat?), Oleh Ustadz Sinar Agama: http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/379026705475465/,

Dalil Ayat-Riwayat Belajar Filsafat dan Ilmu-ilmu Lainnya, Oleh Ustadz Sinar Agama : http://www. facebook.com/groups/210570692321068/doc/379050932139709/,

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Coba baca dulu yang dinukilkan Pencinta itu, semoga sudah bisa menyelesaikan masalah antum, amin.

Sekedar manambahkan, bahwa dalam Qur'an dikatakan bahwa barang siapa yang diberi hikmah, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak (QS: 2: 269).

Hikmah adalah sesuatu yang kuat. Apa saja yang dalilny kuat adalah hikmah seperti fikih, filsafat, logika, matematik dan seterusnya.

Nah, logika itu mengajarkan cara berfikir benar, dan hal-hal seperti ini banyak di Qur'an dan hadits, baik berupa aplikasinya atau rangsangan menggunakan akal. Sampai-sampai ada ayat yang menantang dalil kepada orang kafir kalau mereka merasa yakin bahwa mereka benar (QS: 2: 111).

Kalau dilihat dari sisi hadits, juga terdapat berbagai perintah, rangsangan dan aplikasi terhadap logika ini.

Kalau filsafat yang membahas tentang semua wujud, maka lebih banyak lagi di Qur'an dan apalagi hadits. Perintah-perintah Tuhan untuk mengetahui DiriNya, dan dalil-dalilnya seperti “Kalau di langit itu ada Tuhan lain selain Allah, maka keduanya akan hancur.” (QS: 21: 22).

Wirat Djoko Asmoro: Syukron Ustadz, Bang Hendy dan Sang Pecinta. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jubah Kholiq




Seri komentar terhadap tag-an Komar Komarudin oleh Sinar Agama
by Sinar Agama on Sunday, January 6, 2013 at 2:54 pm



Komar Komarudin: 9-11-2012, Kebebasan dalam berfikir dan memilih adalah harga MATI, jangan terjebak dalam satu komunitas/Golongan tertentu, sehingga memasung dalam mengutarakan pendapat. Doktrin berguna pada saat itu masuk dalam wilayah hukum-hukum yang mewajibkan hambanya untuk taat Pada Rasul dan Allah SWT. 

Allah SWT yang Maha segala-galanya tidak pernah memaksa hambaNya, bagaimana mungkin sang mahluk memakai jubah sang Kholik.... — bersama Muhsin Labib dan 2 lainnya. 


Mohammad Jesus Kristus: Foto di atas memiliki Aura “Kesejukan”, Herannya kalau di Indonesia Orang yang berkostum seperti foto di atas, anak-anak muda yang beraura “Fasik”. 

Faizal Haris: Ijin share Mas 

Zila Rahim: Salam, wajahmu tenang dan menentramkan jiwaku. 

Komar Komarudin: “Ya Allah panjangkanlah umurnya, sehingga kaum muslimin mendapatkan banyak manfaat dari apa saja yang menjadikan kami semua terbimbing dari kepemimpinan-MU menuju kebenaran yang hakiki”, Ilahi ya Rabb. 

Fibri Behesyti: Semoga Allah selalu menjaga beliau. Amiiin. 

Ajeg Sinau: @MJK, maksudnya yang dahinya diitemin dan berbaju gamis? 

Abu Mohsein Ahmad: Ya Allah peliharalah anak cucu Muhammad ini, dan panjangkanlah umur Rahbar, dan perkuatkan kaki-kaki kami untuk mempertahankan kebenaran Muhammadi dan kesucian Ahlul Bait, a.s 

Dul Siaga: Allahumma Sholli Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad, Wa Ajil farojahum. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-annya, terlebih dengan foto Sang Rahbar hf yang kita cintai besama. 

Sedikit komentar terhadap pemaksaan. Ada beberapa model pemahaman tentang pemaksaan dan penerapannya serta gaya-gayanya sehubungan dengan hal-hal yang berkenaan dengan Islam. Dan hubungan keduanya dengan keTuhanan. 

Model-model Pemaksaan

1- Memaksakan pandangannya kepada orang lain dengan kekerasan fisik. 

2- Memaksakan pandangannya kepada orang lan dengan pemboikotan. 

3- Memaksakan pandangannya kepada orang lain dengan kata-kata kasar, hardikan, cemoohan, lecehan, penjuluran lidah dan seterusnya. 

Model-Model Pandangan

1- Pandangan yang bermodel pemberian, yakni memberikan pandangannya kepada orang lain. 

2- Pandangan yang bermodel penolakan, yakni panolakan terhadap pandangan orang lain. 

Model-model Gaya Pemaksaan

1- Kasar dan kaku. Artinya, dalam memberikan atau menolak suatu pandangan, memakai retorika yang kasar (baca: pede banget) dan kaku hingga tidak memberikan kemungkinan akan kesalahannya, baik di dalam dirinya atau audiennya/umatnya. Kata-kata seperti “sesat”, atau “gila”, atau “tidak sehat akal”, atau “kaku”, atau “bid’ah”, atau “musyrik”, atau dan atau ... 

2- Argumentatis. Maksud argumentatif disini, bukan yang sesungguhnya, karena kalau sesung- guhnya, tidak akan pernah memaksakan pandangannya atau penolakannya kepada orang lain. Jadi, argumentasinya dan dalil-dalilnya, berupa dalil-dalil yang sebenarnya belum tuntas dan belum akhir dan, sudah tentu masih memiliki kelemahan sana-sini. Kelemahan-kelemahannya ini, biasanya tidak terlihat oleh murid-muridnya yang mungkin maqom ilmunya lebih rendah dari dirinya. Karena itu, cara ini, banyak sekali menjaring umat dan sering cara ini dipakai oleh orang yang tidak jujur dan tidak takut kepada Allah alias mengutamakan diri dan harga dirinya ketimbang Tuhan dan agamaNya. 

3- Akhlakis. Maksudnya bukan akhlak yang sebenarnya. Karena akhlak yang sebenarnya, kalau dalam ilmu, adalah dengan mengajukan argumentasi/dalil terbuka. tapi gaya ke tiga ini, sebenarnya penentang akhlak dengan corak akhlak. Jadi, trik yang dipakai adalah premis- premis akhlak yang sebenarnya tidak berhubungan dengan topik yang sedang dibahas dan dihadapinya. 

Kata-kata seperti “kita harus ikhlash kepada Tuhan”, atau “kita tidak boleh berjubah Kholiq”, atau “orang itu berjubah kholiq”, atau “kita tidak boleh mengotori malam qadr dengan kajian dan pembahasan ilmu yang mengutarakan perbedaan”, atau “Acara ritual tidak boleh dicampur dengan kajian dan politik”, atau “masjid bukan tempat politik tapi tempat ibadah”, atau “asyura bukan tempat membahas perbedaan”, atau “kita jangan mengotori hati dengan bedebat”, atau “kita harus takut kepada Allah”, atau “kita harus meniru makshumin”, atau “kita harus menghormati para marja’”, atau “kita harus menghormati dan menaati Rahbar hf”, atau ..........atau...........dan atau...... 

4- Irfanis. Maksudnya bukan irfan yang hakiki, karena kalau irfan yang hakiki, sudah tentu dalam membahas ilmu dan pandangan-pandangannya harus tuntas dan karenanya harus terbuka. Karena yang dikejar adalah kebenaran sebelum mengaplikasikannya, bukan mengokohkan pandangan atau penolakannya. 

Gaya ke 2-4 ini, sering berhasil menjaring dan menipu umat. Karena secara umum, masyarakat kurang menggunakan akalnya dalam menghadapi masalah. Kalau ngaji dan diskusi dengan lingkungannya, mungkin cerdas dan mengutamakan akal. Akan tetapi, ketika berdiskusi dengan orang atau kelompok lain atau menghadapi masalah-masalah kehidupan dan pene- rapan, maka perasaan dan seleranya yang didahulukan dari akalnya. 

5- Puitis. Disini, keindahan natural dari sebuah puisi, dimanfaatkan untuk mencapai hal-hal yang tidak natural, yaitu pemaksaan dalam pemberian atau penolakannya terhadap suatu pandangan atau teori. Orang-orang yang lebih menguatkan perasaan, rasa dan khayalan, akan banyak terjebak dalam keindahan puisi ini hingga terseret kepada pahaman yang diembannya itu. Kata-kata indah seperti “Jubah Khaliq” akan sangat mampu menjebak orang ke dalam perangkat kejumudan. Tentu kalau digunakan dengan maksud pemaksaan tersebut, walau secara lahiriah dalam rangka menolak pemaksaan itu sendiri. 

6- Tangisan. Oh......air mata ini adalah jalan yang termasuk canggih untuk menipu diri dan orang lain. Dikira, air mata itu bukti kebenaran dan ketidakjumawaan. Padahal air mata yang menolak kebenaran, adalah kesombongan yang nyata selain, tentu saja, keriya’an yang menjijikkan. Tangisan, yang tersalur di bawah pimpinan akal, merupakan tangisan yang menyelamatkan. Akan tetapi air mata ini, lebih palsu dan berbahaya dari pada air mata buaya. Karena yang mau ditipu, bukan hanya seorang wanita/lelaki, akan tetapi dirinya sendiri, umat, agama dan bahkan Tuhannya. 

Keterangan

  1. Pembagian-pembagian di atas itu, mungkin tidak jami’ dan mani’, artinya tidak mencakup semua bagian-bagiannya dan tidak menolak masuknya bagian-bagian lain ke dalamnya.
  2. Komentarku ini, hanya sekedar adanya suatu lintasan yang melintas di benakku yang ku- khawatirkan tidak terlintas di benak sebagian teman. Karena itu, kadang ketika seseorang ditekan atau ditindas orang lain seperti ditekan wahabi, ia berteriak-teriak sebagai mazhlum/ tertindas, tapi kadang ketika ia sendiri menghadapi orang lain yang lebih lemah atau kelompok lain yang lebih sedikit, maka ia sendiri tidak beda dengan si wahabi itu. Kasar dan jumawa.
  3. Pemaksaan pandangan, biasanya selalu tergambar dengan pemberian pandangan. Padahal, sesuai dengan kenyataannya, dan sesuai dengan pembagian di atas itu, bisa juga berupa penolakan. Karena itu, pemaksaan ini, bukan hanya bisa berupa pemberian, akan tetapi juga bisa berupa penolakan.
  4. Dalam keadaan seperti di atas itu, maka akan sangat sulit bagi kita untuk selamat. Keindahan kata, ayat, hadits, akhlak, kelembutan sikap, ketawadhuan lahiriah, sopan santun dan seterusnya. 
Jalan Selamat: 

1- Kita tidak boleh memancing atau terpancing dan apalagi memberikan reaksi, terhadap apa- apa yang kita sukai atau kita benci (tidak suka). Karena kalau terpancing karena hal ini, jelas akan membuat diri kita keluar dari jalan ilmu dan kebenaran. Jaminan keluarnya itu, atau setidaknya kesangat mungkinan keluarnya itu, disebabkan karena dalam kondisi seperti ini, yang mana rasa/perasaan diutamakan, maka jelas akalnya dijauhkan atau setidaknya dikotori dengan rasa/perasaannya ini. Dan, kalau akal sudah diliburkan, maka apa lagi yang bisa diharapkan untuk dijadikan pegangan membedakan yang benar dan salah secara hakiki, bukan hanya sekedar islami secara lahiri. 

2- Akal adalah satu-satunya jalan keselamatan. Karena akal ini, diberikan Tuhan sebelum Ia 
memberikan agamaNya yang meliputi akidah, hukum, akhlak dan semacamnya itu. Jadi, kalau tidak ada akal, sudah pasti tidak akan penah ada yang namanya agama. Nah, ketika demikian halnya, maka mengapa akal ini sekarang bisa ditipu dengan hanya atas nama agama???!!! Mengapa kecerdasannya menjadi tumpul hanya dengan menghadapi nama-nama, Tuhan, Nabi saww dan Ahlulbait as???!!! 

Dulu, sebelum memilih Islam (bagi yang muallaf), cerdas menimbang hingga menentukan pilihannya kepada agama Islam. Nah, sekarang, ketika ada perbedaan di dalam Islam itu sendiri, mengapa menjadi tumpul dan tertipu hanya atas nama Islam itu juga? 

Dulu, sebelum menjadi Syi’ah, sangat hati-hati berdiskusi dan sangat cermat hingga tidak bisa tertipu dengan hanya pengajuan ayat-ayat, hadits-hadits makshumin as. Lah sekarang ketika sudah menjadi Syi’ah, mengapa akalnya menjadi tumpul dan mudah tertipu hanya karena pengajuan ayat-ayat, hadits-hadits makshumin dan hanya karena ustadznya seorang Syi’ah, cendikiawan, alumni hauzah, sarjana dan seterusnya. 

Padahal, semua itu, secara langsung tidak ada hubungannya dengan ilmu dan penyelesaian perbedaan pendapat dan pandangan, karena yang berhubungan, jelas dalil dan argumentasinya. Memang, kealiman atau keilmuan seseorang menjadi petunjuk bagi penguasaannya dalam bidang yang ia tekuni itu. Akan tetapi, ketika ada perbedaan pendapat, maka jelas semua embel-embel selain argumentasi itu sendiri, tidak bisa dijadikan pedoman untuk memilih salah satu dari pandangan-pandangan yang berbeda tersebut. 

Karena itulah, maka seorang alim yang tulus, akan tetap mengutarakan pandangannya dengan argumentasi dan dalil, serta akan malu meneriakkan titelnya dalam membela pandangannya. Seorang guru yang bijak dan arif, akan tetap memaparkan pandangannya dengan dalil dan akan malu meneriaki muridnya yang dari awal sudah jatuh mental itu. 

Penutup

Jangan sampai salah paham dengan tulisan di atas hingga mengatakan bahwa saya sudah meremehkan ayat, hadits, agama, Tuhan dan makshumin as. Na’udzubillah. 


Ayat-ayat, hadits-hadits, puisi, irfan, akhlak, tangisan, munajat, dan seterusnya itu jelas dapat digunakan untuk jalan kebenaran. Akan tetapi, setelah meluruskan akal kita dan membersihkannya dari pengaruh rasa dan perasaan. Karena kalau tidak, maka kita akan menjadi pembeli ayat- ayat dan syi’ar-syi’ar Tuhan dengan harga yang teramat sedikit, yaitu demi diri kita sendiri, baik langsung atau tidak langsung (seperti keluarga, kelompok dan seterusnya). Allah swt berfirman: - QS: 2: 41-42: 


“Dan berimanlah kalian kepada apa-apa yang telah Kuturunkan dimana membenarkan yang telah ada bersama kalian dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama yang mengingkarinya dan janganlah kalian beli ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit serta bertaqwalah kepadaKu (41). Dan jangan bungkus kebenaran itu dengan kebatilan dan janganlah menyembunyikan kebenaran sementara kalian menyadarinya!” 

- QS: 5: 44: 


“...., maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kepadaKu serta jangan beli ayat- ayatKu dengan harga yang sedikit (murah), dan barang siapa yang tidak menghukum dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” 

Ringkasan Dalam Satu Kalimat

Ikutilah dalil yang terbuka dan waspadailah dalil-dalil yang nyelip-nyelip dan menyelinap-nyelinap di gang-gang universitas semesta, serta tekan kuat-kuat gejolak rasa dan perasaan hingga akal kita menjadi jernih dan tanpa pamrih dan dapat memahami kebenaran itu dengan mudah, baik yang dicuatkan melalui rangkaian kata-kata argumentasi, rangkaian keindahan semesta alam ini, rangkaiana ayat-ayat, hadits-hadits, munajat-munajat, kidung-kidung, puisi-puisi dan tangisan ratapan ke hadiratNya. 

Wassalam. 


Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad 

Komar Komarudin: @ S A: Syukron Jazilah atas uraian/penjelasan yang mendalam terhadap status di atas, pandangan dunia tauhid yang argumentatif, dari sisi sosial masyarakat yang hetorogen, budaya, karakter dan lain-lain. Paramaternya jelas (akal) cara mensikapi Daya TOLAK dan daya TARIK, terhadap sebuah persoalan. 

Dul Siaga: catatan S.A, sebagaimana Imam Ali as, menghadapi LAWAN dan KAWAN senantiasa mengedepankan kepentingan umat, ketimbang pribadi dan keluarganya. Persoalanya adalah, apakah sesuai tanggung jawabnya, dan apakah pemikiran dan argumen yang kita bangun itu memang kehendak hukum Allah SWT, atau hal lain, tentu saja perlu ilmu yang mendalam untuk menilainya. Akal itu sendiri adalah karunia atau potensi yang diberikan kepada setiap manusia, tapi ketika dikembalikan ke masing-masing hambanya dan teraktual akan menjadi beda dalam penerapannya, artinya akal itu sendiri masih relatif sesuai fungsi-fungsinya pada saat diaplikasikanya 

Artinya, tidak cukup dengan akal saja sebagai parameternya, tapi harus terstruktur dan terbimbing berdasarkan proposal-proposal yang diajukan atas nama kebenaran hakiki (Agama), dan lebih mendalam lagi adanya pembawa kebenaran hakiki itu terwujud asli yang dapat menjawab persoalan-persoalan masyarakat, dan masyarakat itu sendiri menyambut dan menerima keberadaanya secara totalitas, tanpa itu menurut hemat saya, claim-claim atas nama golongan/ komunitas dan lain-lain. Sudah hampir pasti tanpa disadari bermuara kepada kepentingan kelompok/golongan, dengan kata lain “politik hewani”, afwan Ustadz mungkin komen ana terlalu jauh, kalau ada yang melenceng tolong diluruskan 

Sinar Agama: Dul S: Antum ini mungkin belum memahami yang saya tulis. Kalau semua dengan nama agama menjadi selesai, Tuhan lebih mudah dari awal menyelesaikan masalah umat ini. Bagaimana tidak, Dia yang diterima semua orang sebagai Tuhan (setidaknya bagi muslim), Dia Yang Maha Tahu, Dia yang punya surga-neraka, Dia yang melihat dan mendengar semua perbuatan manusia, Dia yang menurunkan Rasul-rasul as, Dia yang menurunkan imam-imam makshumin as, dan seterusnya. Akan tetapi, kapan Tuhan pernah berhasil dalam arti keseluruhan dan tuntas? Bukankah umat ini sejak dari nabi Adam as ya....selalu begini, yakni bisa dikatakan lebih banyak yang tidak baiknya? 

Nah, kalau Tuhan saja tidak bisa membuat manusia ini menjadi baik, lah apalagi kita yang hanya mengatasnamakan agamaNya? 

Mengapa wahabi itu sulit diperbaiki? Karena mereka meyakini sampai ke tulang sumsumnya sesuatu yang sebenarnya bersifat khayalan dan tidak ada ilmiahnya sama sekali, yaitu meyakini seratus persen di jalan Tuhan. Artinya, mereka benar-benar membuat jauh-jauh apa-apa selain agama Tuhan sekalipun itu dikatakan akal atau apapun juga. Inilah yang dalam sejarah Islam dikatakan ahlulhadits, salaf, wahabi dan seterusnya. 

Dengan demikian, pengatasnamaan agama, kemerasamerujukan kepada agama dan bahkan Yang Memiliki Agama itu sendiri, tidak bisa membuat kita menjadi benar dan menjadi baik. 

Mungkin ada orang berkata: “Uwwah si sinar agama yang Syi’ah bukan hanya mengatakan bahwa nabi-nabi as itu gagal, tapi Tuhan juga gagal.” 

Pernyataan ini, karena mereka masih merasa bahwa agama yang mereka pahami itu benar adanya. Jadi, mereka yang dengan seluruh lapisannya, baik yang tidak sekolah, yang SD, yang SMP yang SMA yang universitas, yang kiyai, yang ustadz dan seterusnya, merasa benar memahami agama. Memang, kalau ditanya secara sadar “apakah ilmu merkea sudah lengkap tentang Islam dan pasti benar/makshum?”, mereka pasti akan menjawab “Tidak”. Akan tetapi, dalam kehidupan, mereka mengamalkan kemakshuman mereka itu. Karena itu, mereka secara rata (padahal berbagai derajat pendidikannya), akan menanggapi setiap persoalan dengan meyakinkan dan mengatakan yang ini benar/Islam dan yang itu salah/bukan-Islam, yang ini hidayah dan itu sesat dan seterusnya. 

Karena itulah, bagi mereka yang Namanya Tuhan dan para nabi as, harus sukses dan tidak boleh salah hingga kalau ada yang berkata sebaliknya maka ia telah kafir dan melecehkan Tuhan dan para nabi as itu. Terlebih kalau mereka bergaya hidup dengan rukun iman “Apapun telah digariskan Tuhan”, wah....tambah berabe/hancur. Karena dari satu sisi akan mengatakan bahwa Tuhan dan para nabi as itu pasti berhasil dalam mendidik umat, di sisi lain, yang berbunuh- bunuhan dari umat nabi as seperti shahabat Nabi saww, sama-sama hebat, sama-sama benar, harus ditiru dengan baik dan sama-sama diridhai Tuhan di surga dan seterusnya. 

Akal mereka tidak akan pernah dibuka untuk mengerti kekontrasan dua proposisi: “Tuhan dan para nabi as pasti benar dalam mendidik manusia” dan “Kegagalan manusia/umat yang nyata dalam sepanjang sejarah agama dan kenabian”. Mereka sangat-sangat tidak mampu memecahkan masalah yang sangat sederhana ini. Mengapa? Karena mereka sangat menyanjung agama dan menepis semuanya terlebih yang namanya akal. 

Kata-kata: “Agama adalah tempat kembali manusia”, atau “Agama dari Tuhan karenanya lebih unggul dari semua pemikiran”, atau “Agama adalah tempat kembalinya akal.”, atau “Agama adalah pemecah hakiki dan bukan akal yang relatif.”, atau “Agama dari Tuhan dan pemikiran akal dari manusia”, atau “Agama adalah pembimbing akal.” , atau “Akal tanpa bimbingan agama akan sesat.”, atau “Agama adalah kebenaran hakiki dan akal adalah kebenaran relatif dan hewani”, dan seterusnya adalah pernyataan yang sangat indah dan mempesona hingga berabad tahun yang lalu dan ke depan, akan tetap menelan korban dari kebanyakan manusia dimana kebanyakannya justru umat yang beriman. 

Mengapa demikian? Karena ia tidak menyadari dan tetap tidak mau menyadari bahwa agama yang ia pahami itu adalah hasil dari akalnya sendiri. Dia mengira, kalau sudah agama, kalau sudah ayat, kalau sudah hadits shahih, kalau sudah hadits mutawatir, kalau sudah Nabi saww, kalau sudah imam makshum as, kalau sudah imam Khumaini ra, kalau sudah Rahbar hf, kalau wilayatulfakih, dan seterusnya sudah pasti benar, harga mati, kebenaran hakiki, tanpa kepentingan, dan seterusnya. Padahal, yang ia pahami dan yakini sebagai ayat, hadits, Nabi saww, para imam as, para marja’, wilayatulfakih, Rahbar hf, imam Khumaini ra, tanpa kepentingan, agamis dan tidak hewanis dan seterusnya itu, adalah seuatu kenyataan yang ada dalam bayang akal dia sendiri. Inilah yang saya mungkin sering katakan “Ingin menjadi Tuhan”. Gaya hidup seperti ini, biasanya dimiliki wahabi dan umat lain yang bergaya hidup seperti mereka termasuk sebagian teman Syi’ah di Indonesia ini (semoga antum tidak seperti itu walau hal itu tercium dari tulisan antum tersebut, amin). 

Premis-premis atau proposisi-proposisi atau statement-statement seperti “Tuhan adalah segala- galanya.”, atau “Agama adalah kebenaran hakiki dan tempat kembalinya akal” dan seterusnya dari kalimat-kalimat di atas itu, memang merupakan proposisi yang benar. Ini persis dengan pertanyaan Sarboz Osemon tentang pendahuluan akhlak kubro terhadap akhlak sughra yang namanya fikih. Artinya, tanpa penerapan ke premis kecilnya, sama sekali tidak akan menghasilkan apa-apa. 

Misalnya, “Agama adalah tempat kembalinya akal”. Nah, terus mau apa? Apakah kalau kita buka Qur'an, lalu itu agama? Bukankah Qur'an yang kita pahami, hadits yang kita pahami, wilayatulfakih yang kita pahami dan seterusnya itu merukan pahaman akal kita? Lah, kalau akal kita ini harus dikembalikan ke agama, lalu pemahaman agamanya juga tergantung kepada akal kita dan kecerdasannya, maka adalah keberputar-putaran lebih jelas dari hal ini? Adakah kekusutan melebihi kekusutan cara berfikir ini? Mengapa sangat sulit menerangkan yang sangat sederhana ini? 

Karena itu, untuk melepaskan diri dari kepentingan apapun, maka harus ikut dalil akal dan menjauhi selainnya sekalipun itu atas nama agama itu sendiri. Karena sering kali, agama ini, dijadikan tumbal bagi pemahaman akal seseorang yang sangat sempit dan kebodoh-bodohan dalam memahami agama, tapi sok pada dan mengatakan “Inilah agama”, “Ini ayatnya”, “Ini haditsnya”, “Ini fatwa Rahbarnya” dan seterusnya. 

Ayatullah Jawadi Omuli hf, sering menyampaikan keherannya (tidak dalam kalimat langsung) tentang orang-orang yang mengkontrakan akal dan Qur'an (agama). Karena akal, bukan untuk dihadapkan kepada agama atau bukan untuk dibandingkan dengan agama atau diadu dengan agama. Akan tetapi, ia adalah dasar memahami agama itu sendiri. Artinya, tanpa akal (maksudnya yang argumentatif dan bukan akal-akalan), maka manusia seperti hewan yang sama sekali tidak akan memahami ajaran agama itu sendiri. 

Beliau hf mengatakan (ini bukan untuk ditaqlidi, sekedar menukilkan salah satu petuah-petuah hikmah/argumentatif-nya) bahwa “Akal dan agama itu adalah sama-sama alat untuk memahami hakikat dan jalan hidup.” 

Jadi, ketika Tuhan mencipta alam semesta ini dan manusia di dalamnya, maka karena manusia memiliki akal, mestilah ada tanggung jawabnya. Karena itu, Tuhan mengurai tentang alam dan tanggung jawab manusa ini di alam ini. Uraian Tuhan inilah yang dikatakan agama. 

Nah, akal sendiri, sangat mengetahui hal itu. Yakni bahwa karena ia dicipta Tuhan dan memiliki akal, maka ia harus hidup sebagaimana layaknya makhluk berakal dan tidak hidup seperti hewan. 

Inilah yang dikatakan sebagai tangung jawab itu. 

Banyak sekali hakikat yang diurai agama, sebenarnya bukan penguraian sebagai penjelasan, akan tetapi penguraian sebagai pengingatan. Yakni mengingatkan kepada yang sudah diketahui manusia. Karena itulah, salah satu nama agama itu adalah sebagai peringatan atau pengingat. Karena itu Nabi saww dikatakan sebagai Mudzakkir/ Pengingat. 

Memang, dalam beberapa hal, terutama yang berupa ghaib seperti akhirat, walaupun akal dapat tahu secara globalnya, akan tetapi untuk mengetahui rinciannya, akan terasa sulit. Begitu pula tentang rincian-rincian dan detail-detail tanggung jawab di dunia ini. Karena itulah Tuhan menurunkan agamaNya untuk merincikan semua tanggung jawab dunia itu dan hal-hal ghaib akhirat. 

Tapi ingat, Tuhan menurunkan agamaNya itu bukan dengan tujuan membunuh akal dan mele- cehkannya sebagai kepentingan hewani, tapi justru menurunkannya untuk membimbing akal tersebut hingga menjadi paham dan benar menjadikannya akal yang sempurna dan keluar dari akal-akalan yang diatas namakan kebenaran dimana justru yang seperti inilah yang layak dikatakan sebagai “kepentingan hewani”, walau bersembunyi di ketiak agama. 

Nah, ketika Tuhan menurunkan agamaNya untuk dipahami akal, maka disinilah kita mesti memaksimalkan daya tangkap agama ini. Yaitu akal kita. Karena itulah, kita tidak boleh sama sekali mengatasnamakan agama hanya karena kita memahami agama tersebut seperti itu. 

Jadi, satu-satunya tempat kembali dalam memahami masalah, termasuk dalam memahami agama itu sendiri, adalah akal semata. Dan akal, sudah tentu adalah yang benar-benar akal, bukan yang akal-akalan dan abu-abu. Yakni harus berupa akal argumentatif, gamblang, terbuka, teruji di atas ring dunia/umum seperti fb ini (bukan teruji di depan murid-muridnya yang memang sudah kuduk/tunduk duluan dari awal dan sering menjadi korban pembodohannya dengan berbagai tangisan, kekhusukan, anjuran akhlak, sopan santun dan seterusnya di mana tidak ada hubungannya dengan pencarian kebenaran secara langsung dan bahkan dimaksudkan untuk menutupi kesalahannya dan kebodohannya, baik sengaja atau tidak, baik langsung atau tidak). 

Hanya kepada Allah kita harus berharap agar kita bisa benar-benar menjadi manusia yang manusia yang terbedakan dari makhluk lainnya, yaitu manusia berakal yang sempurna. Di mana akal ini jelas dua bagian: Akal-pahaman (untuk memahami masalah dengan benar melalui argumen yang jelas) dan Akal-aplikatif (yang menyuruh mengamalkan yang sudah benar dipahami), amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Makna Puasa Hati



Seri tanya jawab Mata Jiwa dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 4:06 pm


Mata Jiwa mengirim ke Sinar Agama: 6-11-2012, 

Salam, pak Ustadz, mohon penjelasannya pada tulisan ini: Imam Ali as: puasa hati dari berfikir lebih afdhal dari puasa perut dari menahan makan(10.000 hikmah Amirul Mu’min), apa yang dimaksud dengan ‘puasa hati dari berfikir’? Terimakasih untuk penjelasannya 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Tolong sebutkan alamat kitabnya dan hikmah ke berapa atau pidato ke berapa. 

Sinar Agama: Hal yang aneh dari hadits itu adalah “puasa hati dari berfikir”. Bukan karena hati yang berfikir, karena hati dalam bahasa arab itu bisa berarti dua hal, akal untuk berfikir dan hati yang untuk merasa/perasaan, sebagaimana sudah sering dijelaskan. 

Jadi, keanehannya, kalau hati di hadits tersebut dimaknai akal lalu disuruh berpuasa dari berfikir. Karena Islam yang dibawa Nabi saww dan Ahlulbait as, adalah Islam yang hanya bisa dikenali dengan berfikir, bukan dengan keluguan. Pikiran dalam Islam, sangat dianjurkan sampai-sampai dikatakan dalam hadits bahwa “Berfikir sesaat, lebih afdhal dari ibadah setahun.” 

Memang, kalaulah juga dimaksudkan berpuasa dari berfikir, misalnya ulama besar mengartikan seperti itu, maka masih bisa dicari jalan keluarnya. Artinya, dicarikan takwilannya yang cocok, seperti misalnya, berhenti dari berfikir dan beranjak ke aplikasi. Maksudnya, berfikirlah dulu, tapi setelah ketemu kebenarannya, maka amalkan. Jangan hanya dipikir melulu atau jangan hanya dipikir saja. Karena itu, puasa dari berfikir melulu, karena terjun kepada praktek atas apa yang dipikirkan sebelumnya itu, lebih afdhal dari puasa dari makan dan minum. 

Akan tetapi, mungkin terjemahannya itu salah. Dan yang benar adalah yang tertera di hadits- hadits itu sendiri seperti: 

صوم القلب خير من صيام اللسان ، و صيام اللسان خير من صيام البطن 

“Puasa hati itu lebih baik dari puasa bicara dan puasa bicara lebih baik dari puasa perut.” 

Puasa hati disini, bisa diraba maksudnya. Yaitu dari menyintai selain Tuhan. Artinya, hati yang perasaan, bukan hati yang berarti akal. Apalagi hadits-hadits lainnya juga menjelaskan seperti yang diriwayatkan dari imam Ja’far al-Shadiq as ini: 

وصوم القلب عن غير الخالق فانه الحق البهى الدائم سرمدا 

“Dan puasanya hati dari selain Pencipta, adalah kebenaran yang indah dan abadi.” 

Jadi, yang dimaksud hati di hadits yang antum tanyakan itu, adalah hati yang bermaksud rasa/ perasaan. Dan yang dimaksud puasa, adalah puasa dari menyukai apalagi menyintai selain Pencipta. 

Akan tetapi, kalaulah yang dimaksudkan puasa disini adalah puasanya hati yang bermakna akal pikiran sekaipun, maka hadits ke dua ini jelas menerangkan dari berpuasa dari selain Pencipta. Jadi, kalaulah diartikan pikiran sekalipun, maka maksud puasa dari berfikir ini, adalah berfikir tentang selain Pencipta dan selain apa-apa yang tidak dimuarakan kepada Pencipta. Jadi, puasa, maksudnya harus berfikir tentang Pencipta dan apa-apa yang berakhir padaNya saja, jangan yang lainnya. 

Memikirkan dunia untuk kebesaranNya adalah bagus, tapi berfikir dunia untuk menguasainya merupakan hal yang tidak bagus. Memikirkan shalat karena Pencipta adalah pekerjaan yang harus dikerjakan dan berfikir tentang shalat untuk kepentingan dunia, harus ditinggalkan. Jadi, berfikir dunia karena keAgungan Pencipta dan KebesaranNya adalah bagus. Begitu pula berfikir tentang agama untuk KeAgunganNya. Akan tetapi berfikir dunia untuk disukainya, dilezatinya, dikuasainya dan/atau berfikir tentang agama untuk tujuan dunia ini, maka hal ini adalah tidak bagus dan harus dipuasai/ditinggalkannya. 

Kalau boleh tahu, antum ambil dari buku yang sudah diterjemahkan atau bagaimana dan siapa penerjemah di buku itu. Wassalam. 

Mata Jiwa: Maaf pak Ustadz, saya baca dari status di fb dari seorang teman, makanya saya langsung tanya ke Ustadz. Alhamdulillah kan langsung dapat koreksinya, pantesan saya bingung, rupanya kurang tepat menyampaikannya, makasih banyak pak Ustadz. 

Sinar Agama: Mata: Ahsanti. Kadang memang orang kurang memahami hadits (Islam), dan hanya memahami bahasa Arab, maka langsung menerjemah. Kalau hanya bahasa Arab membuat seseorang jadi ustadz atau penerjemah, maka semua orang arab adalah orang-orang alim dan tidak perlu lagi sekolah SD, SMP, SMA, Universitas (seperti al Azhar) dan seterusnya. 

Kita memang bisa saja melakukan kesalahan, akan tetapi sudah semestinya berusaha untuk profesional dalam mengerjakan apapun saja di dunia ini, karena di akhirat kelak, urusannya lebih sulit dan pemeriksaannya jauh lebih teliti. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

‘Uzlah dan Mulla Shadra ra




Seri tanya jawab Adam Syarif dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:59 pm


Adam Syarif mengirim ke Sinar Agama: 5-11-2012, 

Salam. Saya membaca biografi Mulla Sadra, pada perjalanan intelektual/spritual beliau pernah ‘meninggalkan masyarakat’ atau keramaian ke desa kecil selama 10 tahun untuk riyadhah spiritual dan lain-lain. Katakanlah ini saya sebut sebagai uzlah. Hal ini pernah kita juga dapatkan pada perjalanan para nabi seperti Nabi Muhammad dan beberapa filusuf/arif lainnya. 


Yang saya belum dapatkan ialah teori tentang aktifitas ‘tidak umum’ ini bagi kebanyakan masyarakat umum. Semoga Ustadz berkenan memberikan penjelasan tentang uzlah (mengasingkan diri) baik secara filosofis dan irfani. 

Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih banyak 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Mulla Shadra ra pergi uzlah itu karena terpaksa. Karena sebagian orang-orang memusuhinya. Beliau tidak meninggalkan masyarakat sama sekali. Beliau hanya pindah ke desa yang lebih sepi yang disertai oleh murid-murid intinya serta keluarganya. Kahak, adalah desa di pinggiran kota Qom yang menjadi tempat tinggal beliau dan sampai sekarang rumah beliau tetap ada di sana. 

‘Uzlah yang meninggalkan semua orang termasuk keluarga, yang biasa dilakukan para Nabi as, tidak berlama-lama apalagi bertahun-tahun seperti Mullah Shadra ra. Karena hal seperti itu tidak dibenarkan agama. ‘Uzlah yang total itu, biasanya tidak lebih dari beberapa hari yang, mungkin sampai 40 hari. 

Yang dikerjakan dalam ‘uzlah total ini, adalah berfikir tentang Tuhan, alam dan diri sendiri, termasuk apa saja seperti masyarakat/sosial. Begitu pula beribadah padaNya. Mungkin nanti hal ini akan dijelaskan di terusan bahasan uzlah. 

Adam Syarif: Iya ustadz, saya tunggu pendalaman bahasannya. Termasuk apakah uzlah 40 hari dengan amalan dan perenungan seperti itu adalah fase ‘wajib’ bagi mereka yang ingin mendekatkan diri padaNya. Atau kegiatan ini bersifat kondisional? jika demikian kira-kira apa syarat-syarat kondisional itu? afwan dan terima kasih 

Sinar Agama: Siapa saja boleh uzlah asal tidak meninggalkan kewajiban lainnya dan tidak terlalu lama. Tapi kalau ada tanggung jawab seperti menafkahi istri dan anak-anaknya atau melindungi mereka supaya merasa aman (misalnya rumahnya agak terpencil hingga keluarganya tidak bisa ditinggal), maka uzlah itu jelas tidak bisa dilakukan dan akan menjadi haram. 

Langkah paling ampuh untuk mendekati Allah adalah dengan belajar fikih keseharian dan menjadikan buku itu buku pegangan setiap saat dan menit. Lalu diamalkan dengan benar dan penuh ketulusan kepadaNya. Di sela-selanya itu, baru sambil meningkatkan ilmu makrifatnya tentangNya dan agamaNya. 

Adam Syarif: Terimakasih Ustadz, I get it. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Imam Ali as Itu Bukan Syi’ah, Tapi Disyi’ah-i




Seri tanya jawab Kopipaikna Thomasalle Punggawa dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:57 pm



Kopipaikna Thomasalle Punggawa mengirim ke Sinar Agama: 3-11-2012, 

Khalifah Ali Bin Abi Thalib RA, Syi’ah atau Sunni? 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Imam Ali as itu adalah imam Syi’ah (diikuti). Syi’ah artinya “mengikuti”. Jadi, imam Ali as adalah yang diikuti sebagaimana sabda Nabi saww ketika turun ayat: 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, maka mereka itulah sebaik-baik manusia.” (QS: 98: 7), di mana beliau saww bersabda kepada imam Ali as: 

“Ya Ali, mereka itu adalah kamu dan syi’ahmu.” 

Hadits-hadits seperti ini, dapat dijumpai di kitab-kitab Sunni seperti: 

Tafsiir Ibnu Jariir al Thabari, 30/171; Tafsir al Durru al Mantsuur karya Suyuthi di tafsiran tentang ayat tersebut; Shawaaiqu al Muhriqah, 96; dan lain-lain). 

Atau ketika beliau saww bersabda: 

“Demi jiwaku yang ada di TanganNya, sesungguhnya dia -Ali- dan syi’ahnya (pengikutnya) adalah orang-orang yang berjaya/menang di hari kiamat.” 

(Tariikhu Damsyq, 2/442; al Manaaqib al Khurazmi, 62; Syawaahidu al Tanziil karya al Haskaani al Hanafi, 2/362; Kifaayatu al Thaalib karya Kanjii al Syaafi’i, 245, 313, 314; Kunuuzu al Haqaaiq, 84; al Durru al Mantsuur karya Syaafi’i, 6/379; Tadzkiratu al Khawaash, 58; dan lain-lainnya). 

Atau ketika beliau saww bersabda: 

“Nanti kamu -Ali- dan syi’ahmu (pengikutmu) akan datang di hari kiamat dengan ridha dan di- ridhai,” 

(Nazhmu Durari al Simthain, karya Zarandi al Hanafi, 92; Yanaabii’u al Mawaddah, 301; al Fushuulu al Muhimmah, 107; al Shawaa’iqu al Muhriqah, 159; Kanzu al ‘Ummaal, 15/137; Majma’u al Zawaaid, 9/131; Nuuru al Abshaar, 101; dan lain-lain). 

Atau ketika beliau saww bersabda: 

“Ya Ali, sesungguhnya kamu dan syi’ahmu (pengikutmu) akan dihadapkan kepada Allah dengan diridhai dan.” 

(Nuuru al Abshaar karya al Syablanji al Syaafi’i, 73; al Shawaaiqu al Muhriqah, 152; Yanaabii’u al Mawaddah, 299; dan lain-lain). 

Dan lain-lain dari kata-kata Syi’ah yang disabdakan Nabi saww di riwayat-riwayat Ahlussunnah. Karena itulah sudah sering diktakan bahwa aliran Syi’ah itu didirikan oleh Allah dan NabiNya saww sendiri. Karena kanjeng Nabi saww tidak mengucapkan apapun kecuali wahyu (QS: 53: 2-3). Dan, sudah tentu kedua belas imam makshum as itu (Bukhari-Muslim) adalah imam yang disyi’ahi atau diikuti, bukan Syi’ah/mengikuti. 

Wassalam bagi yang menerima hidayah. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjilfarajahum 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ