Senin, 30 Juli 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 3)





Seri Tanya – Jawab Haerul Fikri dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 8:51 pm



Haerul Fikri: ustad.. saya sangat tertarik dan mengikuti diskusi anda dengan Anggelia tentang wahdatul wujud Ibnu Arabi dan wahdatul wujud mulla Shadra distatusnya, bisakah ustad menguraikan tingkatan-tingkatan wujud dalam keber”ada”annya, sebagimana yang dimaksud Mulla Shadra ?

Apakah tingkatan-tingkatan wujud tersebut bersifat kekal sejak adanya atau mengalami evolusi, perubahan, perombakan, atau bahkan pemusnahan ?

Apakah alam materi yang sekarang ini merupakan alam materi pertama.. lalu, apakah ada penciptaan makhluk di alam materi setelah hari pembalasan ?

Sinar Agama: Maaf lambat karena semalam gangguan singal/sinyal dan sudah mulai lagi kelas- kelas kami. Yang dimaksud dengan tingkatan wujud yang kembali kepada wujud dan tidak kembali kepada essensi, seperti wujud sebab dan akibatnya. Kalau dalam pandangan orang awam tentang filsafat, beda sperma dengan darah,(spasi)daging dan bayi adalah ke-spermaan-nya dan ke darahan, kedagingan dan kebayiannya.

Karena bagi orang yang awam terhadap filsafatnya Mulla Shadra, melihat perbedaan itu di esensinya.

Tetapi bagi yang mengerti filsafat muta’aliahnya Mulla Shadra, maka beda-beda itu ada pada wujudnya, yaitu pada tingkatannya. Dimana dalam contoh ini, sperma terbedakan dari darah, daging dan bayi, dari sisi tingkatan wujudnya sebagai sebab. Kembali sebab lebih tinggi dari akibatnya yang tergantung kepadanya dalam ”mau-adanya” dan keberlangsungan adanya. Jadi, sebab lebih tinggi dari akibat dan akibat lebih rendah.

Tentang derajat-derajat wujud itu apakah kekal atau tidak, maka sudah pasti tidak kekal kalau wujudnya materi.

Karena definisi dan hakikat materi adalah ”suatu keberadaan yang bervolume atau memiliki tiga dimensi - panjang, lebar dan tebal- dan gerak/proses/perubahan.”

Jadi, karena materi memilii zat yang namanya perubahan, maka dia tidak akan pernah tetap sedetikpun. Karena itu, batu, pohon, manusia dan apa saja yang materi, tidak pernah tetap sedetikpun walaupun kita lihat pohon di depan rumah kita misalanya, tidak berubah esensi. Bagitu pula, yakni tidak pernah tetap, wujud-wujud non materi yang terkait dengan materi, yakni ruh.

Wujud-wujud ruh tersebut, tidak pernah diam walau sedetikpun karena mengikuti kebergerakan dan keberprosesan materinya/badannya. Tetapi rahasia/sebab keberprosesan ruh atau esensi- esensi materi seperti pohon, manusia, dllnya itu, ada pada kebendaan materi. Jadi, kebendaan (volume) dari pada materi itulah yang menjadi landasan bagi perubahan semua esensi materi dan non materi yang terkait dengan materi, yakni ruh yang ada pada setiap materi. Lihat Wahdatul Wujud Bgn 1 dan 2.

Kebendaan materi ini (matter) menjadi tumpangan semua perubahan esensi materi atau non materi yang terkait dengan materi (ruh). Dan matter ini sendiri tidak pernah berubah dari sisi kebendaan atau ke-matter-annya. Jadi, dia tetap saja panjang,lebar dan tebal, sekalipun sudah berubah sejuta kali.

Misalnya sperma, dia adalah panjang, lebar dan tebal, tetapi memiliki form atau katakanlah esensi sperma.Ketika berubah jadi darah, maka yang berubah hanya formnya/esensinya atau defrentia dekatnya, bukan bendawiyahnya saja. Yakni bukan panjang, lebar dan tebalnya.

Nah, dua kenyataan ini, yakni keberubahan benda yakni esensinya dan ketetapan benda yakni volumenya sebagai volume bukan sebagai beda ukurannya, dan ditambah lagi dengan kemestian adanya gerak pada benda atau materi, maka semua esensi berubah-ubah dan benda sebagai tumpangannya tetap tidak berubah, dari sisi kebendaannya atau kevolumeannya maka dapat dipahami bahwa esensi-esensi itu tidak pernah diam. Dan karena gerak itu selalu menyempurna (saya tidak akan buktikan di sini), maka semua esensi selalu bergerak atau berubah ke arah yang lebih sempurna.

Tetapi ingat, bahwa matter (panjang, lebar dan tebal) atau bahkan esensi materi seperti sperma, sekalipun dia dikatakan sebab dari darah, daging dan bayi, tetapi dia adalah sebab materinya.

Yakni kelebihsempurnaannya hanya dari ke-matter-annya, bukan dari wujud utuhnya. Terus siapa penyebab hakiki dari perubahan sperma ke darah atau daging atau bayi itu?

Penyebab hakiki dan penyebab wujudnya adalah tuhan spesiesnya, atau malaikat pengatur manusia. Maka dari itu sperma tidak dikatakan sebagai ”sebab-pelaku”, tetapi hanya sebagai sebab-potensi” atau ”sebab-penyiap”.

Nah, benda-benda yang menua dan mati, seperti manusia, binatang dan pohon, sebenarnya, esensi) dan hakikatnya tidak hilang. Tetapi kembali ke tuhan-spesiesnya itu, dan bendawiyahnya yakni panjang, lebar dan tebalnya, berputar kembali dan menunggu form/esensi berikutnya.

Daging yang jadi sperma, lalu jadi darah, daging dan bayi lalu jadi manusia dan kemudian mati akan kembali lagi ke bendawiyahnya, misalnya tanah ketika sudah menjadi tanah di kuburan. Tetapi esensi akhir dari yang dicapainya, kembali kepada tuhan-spesiesnya atau malaikat pengaturnya dimana proses itu dikatakan dengan ”wa innaa ilaihi rooji’uun”.

Bagitu pula gerakan esensi lain. Misalanya pohon padi yang ditebang, dia akan mati. Yakni matternya kembali ke tanah, dan spesiesnya kembali ke malaikat pengaturnya, yakni malaikat padi. Gampangannya adalah tubuh padi kembali ke tanah, dan ruh padi ke malaikat padi.

Dengan semua penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa semua materi atau non materi yang menyangkut pada materi (ruh) semuanya bergerak menyempurna. Tetapi berbeda- beda capaiannya, ada yang hanya sampai ke padi, dan kambing dan ada sampai pada tingkatan manusia. Dan manusia ini juga ber-beda-beda. Ada yang ke taqwa dan surga dan ada pula yang ke amoral dan neraka. Yang taqwa juga bertingkat dan begitu pula yang amoral.

Dan karena penyempurnaan itu adalah penambahan hakikat baru terhadap hakikat yang lama (lihat jawabanku pada wahdatul wujud bagian 2), maka sudah pasti bukan penghancuran, tetapi ”penambahan”. Hal inilah yang dikenal dalam makna sudah pasti bukan penghancuran, tetapi ”penambahan”. Hal inilah yang dikenal dalam filsafat sebagai ”al-lubsu ba’da al-lubsi”. Yakni ”berbaju setelah berbaju”. Yakni beresensi setelah beresensi. Yakni menumpuk esensi, yakni menumpuk diferentia akhir (lihat jawabanku pada wahdatul wujud bagian 2)

Sedangkan apakah alam materi yang sekarang ini adalah yang pertama? Sebabnya hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas kalau dalam filsafat, materi ini sebagaimana ada permualaannya, begitu pula ada akhirnya.

Yakni sebagaiamana sebelum mulanya dia tidak ada, maka setelah akhrinya dia juga tidak akan ada. Yakni akan menjadi seperti semula, yakni tidak ada. Tetapi ingat, karena ”tiada” itu ”tiada”, artinya tidak bisa diapa-apain, apalagi dicipta, maka alam ini sewaktu tidak ada, dia bukan tidak ada secara mutlak. Karena yang tiada tidak bisa dijadikan ada.

Karena ”dijadikan” perlu kepada obyek. Dan kalau ’tiada” mana bisa dijadikan obyek. Misalnya membuat tiada menjadi tempe atau alam. Tiada, adalah tiada secara zati, tidak bisa diapa-apain walau oleh Tuhan. Karena memang tiada.

Dengan demikian maka alam ini tidak mungkin dari tiada, tapi dari ada. Sudah tentu dari ada yang lain dan dari tiada yang nisbi atau dinisbahkan, yakni yang dinisbahkan kepada alam yang lain dan dari tiada yang nisbi atau dinisbahkan, yakni yang dinisbahkan kepada alam hingga menjadi ”tiadanya alam”. Jadi, alam dari tiadanya alam, alias dari keberadaan yang lain.

Katakanlah dari malaikat alam materi. Jadi, alam ini sebagaiamana dari malaikat itu, dia juga akan kembali ke malaikat tersebut. Dan karena penyebab hakiki itu adalah Allah, maka sebenarnya alam ini dariNya dan akan kembali padaNya, bukan dari tiada dan kembali pada tiada.

Setelah semua ini diketahui, maka ketahuilah bahwa setelah ketiadaan alam materi ini, yakni setelah kembalinya dia kepadaNya, maka akan terjadi penciptaan kembali.

Apa alasan dan dalilnya? Alasan dan dalilnya sama dengan penciptaan pertamanya. Apa saja alasan Tuhan mencipta pertama kalinya, alasan tersebut juga akan menjadi alasan penciptaan berikutnya.

Kecuali kalau Tuhan menjadi kapok, salah, bakhil, linglung, lupa, jera, dan seterusnya dimana hal-hal tersebut tidak mungkin terjadi pada Allah yang tidak terbatas, yakni yang tidak memiliki kekurangan sedetikpun.

Ini tentang penciptaan ke depan yang akan berulang tanpa henti. Sedangkan yang telah lalu hanya Tuhan yang tahu.

Akan tetapi ada isyarat dari imam Shadiq as bahwa nabi Adam as ayah kita adalah yang kesejuta adam. Yakni kalau dimaknai dengan bahasa matematik, maka alam kita ini adalah yang kesejuta alam. Tetapi kalau dimaknai dengan bahasa penggelobalan, maka berarti alam kita ini adalah alam yang sudah tidak terhitung kalinya.

Sekian dan wassalam..

Semoga manfaat. Al-Fatihah - Sholawat. Anggelia Sulqani Zahra’.





اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 2)



Seri Tanya – Jawab: Anggelia Sulqani Zahra dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 8:40pm



Anggelia Sulqani Zahra dan Ustad’ Sinar Agama 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ Komentar anda pada “Wahdatul Wujud: (Bgn:1) : seri Tanya – Jawab : 

“Allah dalam banyak ayat-ayatNya seperti QS:2:126; 2:285 dan sekitar 21 ayat lainnya menggunakan kata Mashir (menjadi) untuk kembalinya manusia kepadaNya, bukan masir (berjalan/menuju). Tentu ayat-ayat ini saya bawa di sini sebagai penguat dalil akal kita ini, bukan sebagai pemaksa anda untuk terima, tetapi hanya sebagai pereda ketakutan akan kebenaran dalil akal kita ini manakala hal itu terjadi, supaya tidak seperti para wahhabi yang terus anti pati dan mengecam para arif.

Allah dalam ayat-ayat tadi, baik bagi orang yang akan ke neraka atau ke surga, memakai kata kedua Mashir alias menjadi. Hal itu karena memang kembalinya manusia itu kalau bukan menjadi hakikat murkaNya, akan menjadi hakikat RidhaNya. Jadi, dua-duanya menjadiNya. Tetapi karena Tuhan mengatakan (dan akal juga mengatakan hal yang sama) bahwa ”menjadi kepadaNya”, bukan ”menjadiNya”, maka selamanya manusia tidak akan pernah mencapaiNya, sekalipun menjadi kepadaNya, bukan menujuNya.”

Ustad. mohon diurai lebih luas dan lebih sederhana komentar tersebut.

Sinar Agama: Ringkasan bahasan yang lalu adalah: Kan ada dua versi pandang dalam hidup keIslaman kita ini, Ada yang mengatakan bahwa selain Allah itu ”ada”, dan ada yang mengatakan ”tidak ada”.

Dalam pandangan golongan pertama, manusia dan perbuatannya begitu pula surga-nerakanya semua adalah ”ada”. Dengan demikian maka yang masuk ke surga-neraka adalah orang atau manusia yang "ada" yang masuk ke surga yang juga "ada". Oleh karenanya, manusia, tetap manusia dan ‎surga-neraka juga tetap surga-neraka. Yakni seperti orang yang masuk ke kebun atau tungku api.

Di sini, manusia berjalan menuju surga-neraka, bukan menjadi surga-neraka, Dan golongan pertama ini menerjemahkan ”mashir” dangan ”masir”, yakni ”menjadi” dengan ”menuju”.

Tetapi dalam pandangan golongan ke dua: Karena selain Tuhan ”tidak ada”, karena hanya esensi, maka manusia tidak lain kecuali WajahNya saja, yakni wajah “Ada”. Dan karena semuanya, surga dan neraka, hanya “bayangNya” dan “wajahNya”, maka perbuatan dan perjalanan manusia itu terjadi dalam kewajahanNya karena mereka tidak punya wujud.

Dengan demikian, maka perjalanan mereka itu, bukan perjalanan di atas jalan seperti agama, dan bukan pula menuju tempat yang seperti surga-neraka. Tetapi perjalanan dan tujuannya itu adalah sama-sama tajalli dan wajah. 

Jadi, perubahan/amal, jalan dan tujuannya, tidak lain adalah wajahNya Dan karena semuanya adalah wajah Wujud, maka manusia, amal, jalan/agama dan tujuannya itu adalah kemenjadian- wujud, bukan wujud yang berbuat dalam wujud, berjalan di atas wujud dan menuju kepada wujud. Tidak demikian. Tetapi semuanya itu tidak lain kecuali kemenjadian-wujud. 

Kemenjadian-wujud, yakni selalu dalam kepengembalian-wujud itu kepada yang berhak dan kepengembalian-wujud, bukan berarti kita memilikinya dan kita kembalikan, bukan tetapi, menye- rahkan wujud itu dari ”kemerasaan-punya-wujud” kepada yang punya sebenarnya dan karena kita tidak pernah wujud, dan karena yang ada hanyalah merasa punya wujud, maka karena itulah Tuhan mengatakan ”KepadaNya menjadi”, bukan ”menjadiNya”. Yakni selalu dalam ketiadaan dan ketidak-punyaan-wujud. Artinya, karena Wujud=Allah, maka manusia selalu dalam ”kemenjadian padaNya”, bukan ”menjadiNya”. Yakni selalu dalam ”kepenyerahan wujud”. 

Dengan demikian, maka manusia di surga-neraka yang juga sama-sama tiada dan sama-sama wajahNya, maka tidak lain manusia itu berubah dari wajah yang satu menjadi yang lainnya, yakni dari kewajahannya sebagai manusia menjadi wajah lain yang disebut dengan surga-neraka itu dimana surga sebagai wajah dari RidhaNya dan neraka dari MurkaNya. 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad’ syukron … muncul satu pertanyaan, yaitu bagaimana manusia bisa berubah menjadi surga-neraka? 

Sinar Agama: Salam. Semalam mau nerusin jawab tanyamu dan pertanyaan lainnya dari orang lain tetapi signal/sinyal putus. 

Kalau kamu pandai menyimpulkan pelajaran lalu, maka akan tersimpulkan bahwa ”Ada” memiliki wajah substansi dan substansi berwajah aksiden. 

Kalau dalam filsafat, aksiden menumpangi substansi, dan substansi menumpangi wujud. 

Semua keberadaan dan aktifitas aksident bertopang pada substansi dan substansi pada wujud. Sekarang saya tidak akan bahas wujud-wujud materi dan proses atau gerakannya, karena tidak menyangkut bahasan kita sekarang. Saya akan bahas substansi dan aksident pada wujud non materi. 

Konsep ada dan gerak yang ada pada non materi sama saja dengan materi selama ia masih berhubungan dengan materi, sekalipun ada perbedaannya, tetapi secara global adalah sama. Dengan demikian peristiwa/gerak/proses yang ada terjadi pada aksiden, bergantung dan bersum- ber dari substansi. 

Begitu pula substansi dari wujud dan, sudah tentu pada akhirnya aksiden juga bergantung pada wujud. Di sini saya tidak akan terangkan lagi bagaimana cara memandang wujud. 

Bahwasannya wujud bisa dilihat dengan kacamata filsafat atau irfan. Karena semua uraiannya sama saja, dan yang beda hanya cara pandangnya. 

Oh ya kalau suatu saat mandek, maka berarti ganguan signal/sinyal, jadi sabar. 

Kembali pada gerak non materi. Sebenarnya non materi tidak punya gerak, karena semua perubahannya secara langsung atau tidak melalui proses waktu. Karena waktu, biar secepat cahaya, adalah hanya milik materi karena dia terikat dengan ruang/volume. 

Tetapi karena non materi yang kita bahas sekarang, yakni ruh manusia, yang , masih terikat dengan materi di dunia ini, maka ‎ruh manusia ini pasti memiliki gerak/proses, yaitu perubahan dalam waktu. 

Karena substansi dan hakikat non materi adalah tidak memiliki materi, yakni tidak memiliki volume dan kekonsekwenannya, seperti rangkapan materialisnya yang membuat masing-masing kedua rangkapannya itu berposisi dan bermateri tersendiri (bc:masing-masing dari kedua unsur atau rangkapan substansinya atau substansi dan aksidennya). Maka rangkapan non materi jauh lebih sederhana dan tidak terpisah-pisah, yakni dalam kesatuannya itu. Memang, semua yang berangkap, walau materi, tidak terpisah, tetapi masing-masing kedua rangkapannya itu berposisi tersendiri yang ‎kalau dilihat dari sisi masing-masing kedua rangkapannya itu, maka masing- masing kedua rangkapan tersebut saling terpisah. 

Seperti daun dari pohonnya, akar dari buahnya dan seterusnya pada pohon. Tetapi kalau rangkapan non materi tidak seperti itu. Karena kenonmateriannya itu, maka katakanlah rangkapan kedua yang dimilikinya hanya bisa dipisahkan di dalam akal kita saja, tidak pada wujudnya sendiri. 

Nah, karena kesederhanaan rangkapan non materi itulah, maka bisa terjadi loncatan dari satu hakikat ke hakikat yang lain. Misalnya dari subsatansi ke substansi yang lain atau dari aksident kepada substansi. Misalanya, hakikat manusia adalah ”Binatang Rasional” atau ”Benda berkembang bergerak dengan ikhtiar dan rasional”. 

Dalam filsafat telah dibuktikan bahwa hakikat sesuatu itu sebenarnya adalah ”defrentia akhirnya” atau ”Pembeda Akhirnya”. 

Dalam contoh definisi manusia yang rinci di atas, Benda=genus-jauh ; berkembang=genus-tengah dan juga pembeda-jauh bagi manusia. Bergerak dengan ikhtiar=genus-tengah dan pembeda jauh bagi manusia. Tetapi binatang yang terdifinisikan dengan ”benda berkembang dan bergerak dengan ikhtiar” adalah genus dekat bagi manusia. 

Dan, rasional=pembeda dekat, bagi manusia. Kamu tidak usah pusing dengan semua itu. Kamu konsen saja dengan yang ingin kukatakan sekarang ini, bahwa: 

Hakikat sesuatu itu adalah ”Pembeda Dekatnya” itu. Dalam hal manusia ini adalah ”Rasionalnya” itu. 

Sebelum saya teruskan, harus diketahui bahwa apapun hakikat materi itu, mesti memiki unsur non materinya yang disebut ruh. Jangankan manusia dan binatang, pohon atau bahkan batu, tanah, air, api dan udarapun memiliki unsur non materi yang disebut ”Ruh”. 

Salah satu alasannya, karena di dalam materi terdapat gerak kedua yang terkontrol, seperti putaran kedua atomnya yang selalu sama dan terkondisi. Padahal kalau kebetulan, pasti tidak akan sama walau dalam dua gerakannya, seperti kalau kita melempar 3 kelereng yang berlainan warna yang, tidak mungkin posisi ketiganya itu sama dalam kedua lemparan walau dilempar sejuta lemparan. 

Dengan, demikian karena putaran kedua atom itu selalu sama, begitu pula juga proses kedua yang terjadi pada katakanlah biji padi yang selalu menumbuhkan pohon padi, bukan jagung, 

‎maka sudah pasti dalam proses kedua materi itu terdapat pengaturan dan kesengajaan. Danpengaturan dan kesengajaan ini (lawan kebetulan), tidak akan terjadi kecuali kalau memiliki ilmu (tahu) pada yang disengajanya itu. 

Dengan demikian dalam semua proses kedua materi, dari yang sangat sederhana, seperti putaran kedua atomnya, sampai pada yang tidak sederhana seperti berilmu tinggi atau berakhlak tingginya manusia, semua itu bermuara pada penyengaja yang ada di dalam kedua materi tersebut. Dan penyengaja ini, karena memiliki ilmu, dan karena ilmu itu adalah kehadiran yang diketahui pada yang mengetahui, maka dia pasti wujud non materi. 

Kenapa pasti wujud non materi? 

Karena hakikat materi adalah hakikat keterpisahan walau dalam kesatuannya, sebagaimana yang sudah saya jelaskan di atas. Jangankan pohon dari daunnya, netron dan proton pada atom saja tidak bertemu, walau terangkai dalam kesatuan yang disebut atom. 

Lebih dari itu, Proton bagian atasnya tidak bertemu dengan bagaian bawahnya. Dan bahkan, kalau atom itu masih bisa dibagi lagi menjadi sejuta bagian, maka masing-masing kedua bagiannya tidak akan saling bertemu, walau saling terkait dalam satu keberadaan. 

Dengan uraian ini, dapat disimpulkan bahwa pengontrol pada wujud-wujud materi itu tidak lain adalah wujud non materi. 

Karena non materi tidak saling terpisah, dan keterpisahan bagian keduanya hanya dalam pahaman kita, tidak pada hakikat wujudnya. dengan demikian, terbuktilah bahwa sumber dari segala keberadaan dan proses keduanya yang terjadi pada materi adalah non materi atau ruh. Oleh karenaya Ruh dalam filsafat didefinisikan dengan ”Hakikat non materi yang dalam kerja keduanya masih memerlukan atau terkait dengan materi”. 

Beda dengan ”Malaikat” yang didefiniskan dengan ”Hakikat non materi yang tidak memerlukan materi”. 

Kembali ke masalah kita, yakni perubahan atau loncatan non materi kepada hakikat lain. 

Karena kenon-materian ruh, atau karena ketidak terikatannya dengan volume/tempat, dan karena ketidak terpisahan bagian ke duanya itu, maka wujud non materi ini bisa berubah menjadi wujud atau hakikat yang lain. 

Tentu saja perubahan ke dua itu terjadi pada dirinya sendiri, dan, sudah tentu tidak bisa keluar seratus persen dari hakikat sebelumnya. Jadi, non materi, memiliki dua kekhususan itu dikarenakan kenon materiannya itu, yakni yang hakikat sebelumnya tidak bisa hilang, dan yang didapatkan setelahnya, kalau sudah berupa substansi, juga tidak bisa hilang yang, kemudian kita katakan berubah ke wujud lain. 

Ingat, dengan terbuktinya keberadaan ruh pada setiap materi dan terbuktinya ruh sebagai pengerak semua aktifitas materi, kejadian kedua materi yang kita lihat, sebenarnya, adalah kejadian yang terjadi pada non materinya. 

Misalnya, ruh manusialah yang merasakan dengan panca inderanya itu, yang nulis atau ceramah itu. Jadi, dalam hal ini, apapun yang terjadi pada materi manusia, sebenarnya adalah kerja ruhnya. Oleh karenanya kerja kedua materinya ini adalah wajah bagi ruh. 

Kembali ke masalah kita lagi, yakni ketidakhilangan hakikat sebelumnya dan ketidakhilangan yang didapat setelahnya kalau sudah berupa substansi. 

Ruh manusia, ketika ia menyukai sesuatu dan mengejarnya (tentu aktifitasnya pasti memerlukan badannya), seperti makan-minum, maka telah memiliki kerja baru. Katakanlah suka durian. Pekerjaan baru tersebut, yakni mengejar dan makan durian, setelah dilakukannya beberapa kali, maka akan memunculkan dalam diri ruh tersebut, rasa ”suka”. Yakni sifat baru yang tadinya tidak ada dalam dirinya. 

Di sini sudah ada perubahan dari tidak adanya rasa suka pada durian, menjadi adanya rasa atau sifat suka pada durian. Sifat baru tersebut, kalau dimanjakannya terus, yakni diteruskan dengan mengejar durian terus, maka sifat suka di dalam dirinya akan berubah dari lemah menjadi lebih kuat. Dan kalau diteruskan, maka akan berubah menjadi sifat yang sangat kuat pada dirinya. Di sini, kamu sudah bisa lihat bagaimana aksiden ini muncul dan begitu pula perubahannya kepada yang lebih kuat. Yakni bagaiamana aksident ini ada, dan berubah dari lemah menjadi lebih kuat dan menjadi sangat kuat. 

Kalau pengejaran terhadap durian itu diteruskan, yakni pemanjaan dirinya terhadap kesukaannya itu, maka aksiden ini akan semakin menguat dimana pada akhirnya akan menjadi kecanduan dan tidak bisa terlepaskan lagi. 

Nah, ketika tidak bisa terlepaskan lagi itulah maka ia sudah menjadi substansi. Kalau kamu masih ingat dengan beda substansi dan aksident, maka salah satunya adalah, substansi penentu hakikat sesutu, seperti binatang rasional bagi manusia, tetapi aksident yang bisa datang dan pergi, seperti tertawa, sedih dan seterusnya pada manusia. 

Jadi, yang dikatakan substansi itu adalah hakikat sesuatu itu yang, kalau hakikat manusia itu ditentukan dengan kebinatangrasionalannya, maka binatang rasional itulah substansinya. Dan, kalau sesuatu itu tidak ada maka dia akan keluar dari hakikatnya itu. Yakni kalau manusia itu tidak binatang dan rasional, maka dia bukan lagi manusia. 

Kembali ke masalah kita. Ketika sifat ke dua yang baru itu telah mencandu dalam ruh, dan tidak bisa lagi dilepaskan, maka berarti ia telah naik derajat dari sifat/aksident kepada substansi. Karena hakikat substansi adalah yang tidak bisa dilepaskan, sebagaimana dzat dirinya. 

Nah, kalau manusia mengerjakan pekerjaan ke duanya itu berupa taqwa, maka juga begitu. Kalau dia suka dan mengejarnya, karena tak suka takkan mengejar (Makanya cinta ahlulbait itu adalah diwajibkan Tuhan demi manusia itu sendiri, bukan demi mereka), maka akan ada perubahan pada dirinya atau ruhnya itu. Dan akan terjadi aksident baru dalam dirinya tersebut. Dan kalau taqwa itu terus dikerjakannya, maka suatu saat akan menjadi hakikat dirinya yang baru, atau substansinya yang baru. Sudah tentu manakala taqwa itu sudah tidak bisa dilepaskan lagi dari dirinya. 

Dengan demikian, yakni kalau taqwa itu sudah menjadi substansinya, maka dia/manusia ini akan memiliki hakikat yang baru. Yaitu yang terdefinisikan dengan ”Binatang rasional dan taqwa”, atau ”Rasional dan taqwa”. dan karena taqwa itu adalah pekerjaan ke dua yang diridhai Allah, maka sebenarnya taqwa itu adalah ”Tajalli” dari ”RidhaNya” itu sendiri. 

Karenanya, maka manusia ini sekarang telah menjadi hakikat baru yang kita katakan dengan ”Hakikat RidhaNya”. Dengan demikian maka ia telah menjadi ”Tajalli RidhaNya”. 

Begitu pula sebaliknya. Yakni arah kemungkaran dan kebejatan moral. Atau setidaknya ketidaktahuan posisinya (jahil). Maka proses ke dua itu kalau terjadi, ia akan menjadi ”Tajalli MurkaNya”. 

Jadi, manusia dalam pandangan filsafat, tidak masuk surga atau neraka, tetapi menjadi hakikat RidhaNya atau MurkaNya. 

Jadi, surga itu bukan tempat yang akan dimasuki, tetapi maqam yang dicapai manusia hingga manusia bisa mencipta semua keadaan suka/ridhaNya di sana karena sudah membiasakan diri menyuka dan mengerjakan ridhaNya di dunia. 

Jadi, hal ke dua baik yang menyenangkan dan meridhakan, diciptakannya sendiri dengan ijin Allah. Kenapa? Karena dalam dirinya kesukaan terhadap kebaikan/kerelaan dan pekerjaan keduanya itu telah mensubstansi di dunia hingga tidak lagi bisa terpisah. 

Begitu pula sebaliknya bagi yang telah membiasakan diri dan mensubstansikan kepada kemung- karan atau kemurkaan. Jadi, yang pemarah dan pemakan haram, akan selalu marah dan mencipta hakikat haram dan dimakannya. 

Dimana hakikat makan haram itu adalah api. Misalanya dalam QS: 4:10, Allah berfirman bahwa yang makan harta anak yatim (katakanlah yang haram) adalah makan api. Tetapi ingat bahwa yang akan mencipta hal ke dua ridha dan murka itu adalah manusia itu sendiri dan dari dalam dirinya dengan ijinNya, yakni dengan sistemNya. 

Artinya dari dalam substansinya yang sudah rangkap dengan kebiasaan atau substansi baru. Yakni manusia yang bersubstansi rasional itu yang, sekarang menjadi rasional ridha atau murka. Artinya, ketika dia mencipta hal kedua ridha, maka dia akan senang dan bahagia, karena dia tetap rasional itu. 

Begitu pula kalau dia mencipta hal ke dua, murka, maka dia akan sedih dan tersiksa, karena dia tetap rasional itu. Jadi, dia mencipta api dan memakannya dan tersiksa sekalipun dia sendiri penciptanya dengan ijinNya. Hal itu karena kerasiolannya tetap pada dirinya dimana keapian api tidak selaras dengan kerasionalannya itu. 

Untuk menguatkan dalil ke dua filsafat di atas, saya akan bawakan contoh ayat keduanya. 

Pertama, hal kedua yang berkenaan dengan perubahan substansi manusia kepada substansi baru. Ingat perubahan ini tetap mempertahankan substansi sebelumnya, yakni rasional. 

Dan ingat, bahwa kita bisa menyebut sesuatu itu hanya pembeda/diferentia akhirnya saja, seperti kalau kita berkata ”manusia adalah rasional”. Karena hakikat sesuatu itu adalah pembeda dekat dan akhirnya. 

Allah dalam QS: 11:46, berfirman kepada nabi Nuh as ketika beliau memohon supaya Allah menolong anaknya yang hanyut, Allah berfirman: ”sesungguhnya dia adalah perbuatan yang tidak shaleh/benar”. 

Mengapa Allah mengatakan bahwa anak nabi Nuh as adalah ”Perbuatan yang tidak shaleh/ benar”?, dan tidak dikatakan bahwa ”dia adalah yang berbuat ketidakshalehan” atau ”dia pelaku kemungkaran”? 

Karena kalau dia adalah pelaku ketidakshalehan atau kemungkaran itu, berarti pebuatannya itu masih belum menjadi kebiasannya. Artinya bisa berbuat dan bisa tidak berbuat. 

Yakni bisa kafir dan bisa mukmin, bisa bejat dan bisa taat. Tetapi manakala sudah dikatakan ”dia adalah kekafiran” itu sendiri, maka kekafiran tersebut sudah menjadi substansi barunya yang ditambahkan kepada substansi lamanya. 

Jadi, berbeda antara dia pelaku kekafiran atau dia adalah kekafiran itu sendiri. Atau dia pelaku ketidakshalehan dan dia adalah ketidakshalehan itu sendiri. 

Allah dalam QS: 76:6 berfirman bahwa di akhirat nanti ada telaga yang diminum oleh hamba keduaNya tetapi yang dibuat sendiri oleh mereka. 

Allah berfirman ”Telaga yang diminum oleh hamba kedua Allah yang, diledakkannya oleh mereka sendiri dengan ledakan yang hebat”. Artinya dicipta tanpa dengan proses galian. Hal itu karena kenonmateriannya tersebut. 

Ayat ke dua di atas adalah contoh bagi pembentukan atau penciptaan keridhaan itu oleh manusia itu sendiri di surga. Yakni bukan tempat yang dituju. 

Sekian. 

Terimakasih. 

Al-Fatihah- Sholawat.. 

Ahmad Muhammad Yunus, Miftah Fadhlullah, Cut Yuli dan 16 lainnya menyukai ini. 

Alhuda Islami: Please write in English for sharing the knowledge of Wahdatul Wajud. Good interest. 

Wan Basra: Diskusi yang menambah ilmu bukan memperuncing. 

Indra Gunawan: Wah .. Ana taklid dah kalau sama ustad Sinar .. 

Don Flores: Terimakasih telah menandai ke Aku, dalam Wahdatul Wujud bag-2 seri tanya jawabAllahumma shalli ala Muhammad wa Aali MuhammadAllahumma shalli ala Muhammad wa Aali MuhammadAllahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad. 

Alia Yaman: Syukran. 

Amran Abstrack: Terima kasih Anggelia. Dibaca dulu deh baru ikut bertanya. 

Syahdan Salmanova: Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali MuhammadWA AJJIL FARAJAHUM. 

Sang Pengembara: Saya turut menyimak.. 

Abdul Salam: Tolong penjelasan tafsirnya sejelas-jelasnya karena aku sebagai hamba yang dhaif masih awam dengan kajian ilmu-ilmu agama. Syukran Jiddan Pak Kyai dan lainnya. Smoga bermanfaat untuk kita semua. Amiiin ...!!! 

Sinar Agama: Salam untuk semua. Terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya, khususnya pada mbak Anggelia yang bersusah payah mengumpulkan tulisan-tulisanku. Karena hal itu sangat mempermudah kerja-kerja teknisku karena aku sudah merasa berat dengan kerja-kerja pikirku terutama ketika menghadapi wahhabi yang suka memfitnah dan mengulang-ngulangnya, walaupun sudah dijelaskan dengan gamblangnya. Semoga kita semua selalu dalam penerimaan HidayahNya, amin. 

Sinar Agama: Antum-antum/Anda-anda diskusilah di sini dengan benar-benar perhatian pada bag:1,2 dan 3. Nanti alfakir akan tengok-tengok dan masuk manakala dianggap perlu. 

Sinar Agama: Tolong mbak Anggelia juga buatkan yang bag:3 yaitu yang dengan Haerul fikir, terimakasih sebelumnya, tentu saja kalau sdh habis diskusi kitanya. 

Ardi Shushelo: Setelah Ane baca catatan ini, ”sungguh terlalu” maksudya terlalu panjang untuk kajian diskusi, karena ane baru belajar dan sudah pikun malah ga mudeng” alias ga ngerti, karena tulisan tersebut tidak langsung pada pokok substansi persoalan mana yang harus dibahas, topiknya juga jadi ngambang, karena terlalu panjang tulisan anda itu malah lebih berkesan seperti komidi puter,,,hehehehe...Mohon dibuatkan intisariya dwuong,,? Mas” n mba” dari tulisan tersebut, saya yakin buanget teman-teman juga ga bakalan ngerti yang cuma baca skali. 

Eydzar Ali Stany: Great! ^_^ smoga Allah memberi berkah kepada kalian berdua dan yang membacanya. Btw...ana udah laper untuk bagian 3 :D. 

Bande Huseini: Kayaknya harus berulang-ulang dibaca, direnungi, juga didiskusikan. 30 September jam 14:46 · SukaTidak Suka 

Abbasabdulmanan Ndoen: REPUBLIK ISLAM IRAN RESMI MENJADI NEGARA PENGEKSPOR 

BENSINA2MN-NEWS : Republik Islam Iran berhasil menjadi negara pengekspor bensin. Berita kemampuan Negara para Mullah itu tentunya langsung menjadi sorotan utama dunia. Direktur Internasional Perusahaan Minyak Nasional Republik Islam Iran, Ali Asghar Arshi, menyinggung pelaksanaan proyek produksi bensin di komplek-komplek petrokimia, dan menyatakan bahwa Iran tidak lagi membutuhkan impor bensin dari luar negeri, bahkan akan mengekspornya. Dikatakannya pula, ”Untuk pertama kali, Republik Islam Iran akan mengekspor muatan bensin pertama untuk dipasarkan di pasar-pasar dunia.” Arshi menjelaskan, Republik Islam Iran dalam waktu dekat ini akan mengirimkan empat muatan bensin ke pasar dunia. Lebih lanjut Arshi mengatakan, Repulik Islam Iran resmi menjadi negara pengekspor bensin. Ketika menjelaskan pengiriman muatan bensin ke pasar dunia, Arshi mengatakan, ”Iran akan menjual produksi bensin sesuai dengan harga pasar dunia.” Kemampuan Iran dalam memproduksi dan mengekspor bensin tentunya mengejutkan semua pihak. Apalagi Republik Islam Iran saat ini mendapat tekanan lebih serius dari Barat menyusul resolusi baru anti Republik Islam Iran yang diputuskan DK PBB.Kantor Berita AFP melaporkan, ”Republik Islam Iran belum lama ini mengumumkan bahwa negaranya tidak lagi mengimpor bensin. Tidak lama setelah itu, negara pencetus Revolusi Islam, kini mengumumkan akan mengekspor bensin dan menawarkan produksinya ke pasar dunia.” Sumber itu juga mengakui bahwa kejutan Iran dalam memproduksi dan mengekspor bensin itu terjadi saat Negara para Mullah ini diembargo sejumlah negara Barat khususnya AS. Blomberg juga melaporkan kemandirian Republik Islam Iran dalam mengekspor bensin. Disebutkannya, kemampuan Republik Islam ini, dalam memproduksi dan mengekspor bensin telah menjadikan negara ini sebagai salah satu pengekspor bensin di dunia. Hal itu dilakukan oleh Negara Islam penghasil minyak terbesar nomor dua di dunia untuk menghadapi sanksi AS dan sejumlah negara Barat atas negara ini. Kantor Berita Reuters dan Xinhua melaporkan, Menteri Perminyakan Republik Islam Iran; Sayid Masoud Mir Kazemi pada awal September mengatakan, ”Produksi bensin negara perhari meningkat menjadi 66,5 juta liter perhari dari 44 juta liter perhari.” Dalam statemannya, Mir Kazemi juga menyatakan bahwa Republik Islam Iran akan mengekspor bensin dalam waktu dekat. Sebulan kemudian, Republik Islam Iran mengumumkan dan mengirim muatan bensin untuk dijual di pasar dunia, bahkan harga bensin itu akan dijual dengan harga pasar dunia.Tak diragukan lagi, kemandirian Negara pencetus Revolusi Islam ini, dalam memproduksi bensin menjadi pukulan berat bagi AS yang terus bersikeras menekan Republik Islam Iran. Bahkan media-media dunia berupaya mengesankan bahwa sanksi terbaru negara para Mullah ini, membuat negara ini terseok-seok. Akan tetapi fakta berbicara lain, Republik Islam Iran malah mampu memproduksi bensin bahkan mengekspor. Itupun terjadi saat AS dan Barat menjatuhkan sanksi. Inilah hasil kegigihan bangsa Iran dalam menghadapi arogansi dunia. (A2MN/IRIB) Lihat Selengkapnya 

30 September jam 15:19 · SukaTidak Suka 

Abbasabdulmanan Ndoen: DENMARK KEMBALI LANCANG, KATIKATUR NABI MUHAMMAD SAWW 

AKAN DICETAK ULANG A2MN-NEWS : Koran lancang Denmark berniat kembali menistakan kesucian Rasulullah Saww, dengan mencetak ulang karikatur biadab tentang Nabi Islam di sebuah buku. Gulfne...ws melaporkan, buku berjudul ’The Tyranny of Silence’ itu ditulis oleh Flemming Rose, yang dulu menjabat sebagai editor budaya koran Jyllands-Posten. Disebutkan bahwa meski dalam buku tersebut tidak dicetak secara utuh karikatur penistaan terhadap Nabi Muhammad Saww, namun di salah satu halaman buku tersebut akan dicetak gambar halaman utama koran Jyllands-Posten di edisi yang memuat gambar karikatur tersebut. Pada 30 September 2005, koran Jyllands-Posten memuat 12 gambar karikatur yang menistakan kesucian Nabi Islam, Muhammad Saww. Di sisi lain, meski menghadapi kecaman dan protes meluas, namun pihak Jyllands-Posten menyatakan tetap akan mencetak buku tersebut. Karsten Blauert, seorang pejabat Jyllands- Posten Edition kepada AFP mengatakan, ”Yang pasti banyak hal telah terjadi, tetapi semuanya akan berjalan sesuai rencana dan tidak ada yang akan mengubahnya. Buku tersebut akan dirilis sesuai jadwal.”Adapun Rose, penulis buku tersebut berulangkali mendapat ancaman teror. (A2MN/IRIB/Gulfnews/Straittimes) 

Eydzar Ali Stany: Abbasabdulmanan Ndoenpropaganda terus ^_^ 

Ardi Shushelo Bunga Rose itu kata sandi mereka,,, ”dukumen” mereka yang merencanakan revolusi 30 s/d 50 tahun ke depan sebagai ajang balas dendam dan membumi hanguskan kepada ASWJ, karena,,, Anggelina pernah mengeluarkan kata ”mawar” dan 30 tahun, tapi apakah Rose si pembuat buku kariktur Rasulullah ini ada kaitanya dengan apa yang direncanakan mereka, hingga membuat dunia islam jadi berang. Dari kebenaran dukumen tersebut, ane mau dengerin langsung dari yang bersangkutan,,, silahkan Lihat Selengkapnya 

30 September jam 16:59 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka Peesbuk Gaul MUNGKIN SAJA. 

Sinar Agama: Saya belum melihat adanya hal-hal yang perlu saya komentari di sini sehubungan dengan wahdatulwujud bahasan kita. Tentang orang-orang yang termakan fitnah barat yang ingin adu domba kita kaum muslimin, maka kita serahkan saja kepada Allah dan RasulNya saww. Atau dibahas di tempat lain yang menyangkut. 

Sinar Agama: Kajian panjang ini adalah kajian yang sebenarnya ingin memanfaatkan ruang sempit yang tersedia. Jadi, kalau minat tolong disave atau diprint lalu dibaca perlahan, nanti akan muncul sinyal-sinyalnya, inysaAllah.

Hati Kecilku: Syukron,,,ijin copy,,,

Sinar Agama: Salam, maaf Anggelia, karena banyak yang minta dan kadang sulit (katanya) mendapat di catatanmu yang mungkin karena harus add dulu dan lain-lain, maka saya terbitkan ulang.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 1)



Seri Tanya – Jawab: Anggelia Sulqani Zahra dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 8:31pm 


Anggelia Sulqani Zahra” dan Ustad’ Sinar Agama 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad. Apa hubungan antara wahdatul wujud dalam pandangan Ibnu Arabi dan Filsafat Hikmah Mulla Shadra..? 



Sinar Agama : Karena kebetulan saya sudah mempelajari buku Mulla Shadra yang 9 jilid itu dan begitu pula Ibnu Arabi, yakni Fushushnya. 


Untuk Mulla Shadra, dalam bukunya itu memiliki banyak peringkat penjelasan tentang hakikat/ ada yang umum diketahui orang tentang konsepnya tentang wahdatul wujudnya adalah bahwa wujud itu memiliki satu makna. 

Pohon ada, manusia ada, air ada... dan seterusnya, menggambarkan adanya dua hal, ada dan kepohonan pohon yang biasa disebut esensi. Jadi, setiap sesuatu yang terbatas memiliki 2 hal, ada dan esensinya, sekarang, ada itu yang ditanyakan, memiliki satu makna atau banyak makna sebanyak esensinya? 

Dengan argument yang panjang lebar dibuktikan memiliki ”satu makna”, karena lawannya juga satu makna, yakni ”tiada”, karena kalau ”tiada” memiliki banyak makna, berarti berbeda dan yang berbeda pasti ”ada”, bukan ”tiada”. 

Dengan demikian, karena ”tiada” itu satu dan dia lawan ”ada”, maka berarti ”ada” ini juga satu. 

Inilah yang disebut dengan ”Wahdatulwujud” dalam filasafat Mulla Shadra. Dari sinilah teori ini mengepakkan sayapnya ke-mana-mana. 

Seperti Gradasi Wujud, ...dan seterusnya. Dari teori ini, dapat dipahami bahwa Wujud ini satu, tetapi dalam satunya itu bergradasi dan bertingkat, dimana yang tertingginya adalah Tuhan sebagai wujud yang tidak terbatas. Di sin wujud, dalam satunya terdapat banyak, dan dalam banyaknya terikat dengan satu makna. Tetapi wahdatul wujud dalam irfan, adalah wujud itu hanya satu dan tidak ada tingkatan di dalamnya. 

Dalam teori irfan wujud itu hanya satu dan tidak bertingkat, Dialah Allah, dan yang lainnya tidak ada, karena mereka hanya esensi belaka. 

Jadi, wujud esensi yang dikira milik esensi dalam filsafat, dalam irfan adalah milik Tuhan. Jadi, esensi tidak ada, dan yang ada hanya Dia. 

Ini sekelumit tentang beda keduanya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad. Jika esensi tidak ada lalu dimana dapat dikenali wujud-wujud partikular....? Terus apakah dengann seperti itu predikat air, manusia, hewan tumbuhan, sesuatu yang tidak memiliki relitas...? 

Sinar Agama : Kalau tulisanku itu dibaca dengan baik, maka dapat dengan mudah memahami akan dua hal yang terkandung dalam setiap esensi atau wujud-wujud terbatas, dan bisa mengatasi dua tanyamu ini. 

Jawaban untuk yang pertama bagian pertama, sama dengan pertanyaanmu yang ke dua, yakni esensi-esensi itu sama sekali tidak memiliki wujud atau realitas. 

Jawab untuk tanyamu yang pertama bagian ke dua adalah kita dapat mengenali esensi- esensi itu di alamnya sendiri, yakni di akal dan di kewajahannya bagi wujud. 

Dalam akal kita dapat mengenali semua esensi-esensi tersebut. Ini mudah. Tetapi mengenali kewajahannya bagi wujud, mungkin tidak terlalu mudah. Ketika esensi-esensi itu kita jauhkan dari wujud, karena dia memang bukan wujud dan wujud bukan pula esensi, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda, maka jelas esensi tidak lagi memiliki makna wujud. 

Dengan demikian keberadaan atau kewujudan esensi seperti pohon, adalah bukan esensi yang wujud atau pohon yang wujud, karena, sekali lagi, esensi itu bukan wujud sebagaimana maklum. 

Terus apa? Jawabannya adalah ”wajah” dari pada ”wujud”. Jadi, kalau orang biasa melihat pohon, dia akan berkata bahwa ”pohon itu ada/wujud”. Tetapi kalau seorang arif melihat pohon, maka dia akan berkata ”Wujud itu di sini berwajah dengan pohon” atau ”wujud itu di sini mengenalkan dirinya dengan pohon”. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa esensi-esensi itu tidak memiliki realitas/wujud, tetapi menjadi wajah, bayang, cerita dan cermin dari pada wujud itu sendiri. 

Dalil wahdatu al-wujud ala irfan seperti irfannya Ibnu ’Arabi: 

Dalilnya sangat mudah dipahami, tetapi sangat sulit diterima, yaitu ketidakterbatasan wujud Tuhan. Kalau Wujud Tuhan itu tidak terbatas, maka tidak mungkin ada wujud lain yang terbatas. 

Karena adanya wujud lain yang terbatas, akan membatasi ketidakterbatasan wujudNya. Ketika ada air yang tidak terbatas, bisakah ada air lain segelas, setetes atau seperseribu tetes? Atau mungkinkah ada gelas, pohon, manusia, ikan, dan seterusnya..? 

Dengan demikian wujud itu hanya satu, yaitu ”WujudNya”, dan semua esensi itu hanyalah ”BayangNya”, ”WajahNya”,”IdentitasNya”, ”CerminNya”. Semua nama-nama ini tidak dikarang oleh para ’arif, tetapi diangkat dari ayat-ayat dan riwayat, walau dari sisi dalil akalnya, jelas juga bahwa tidak ada masalah dengan penyebutan-penyebutan itu. 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Wahdatulwujud Mulla Shadra beda jauh dengan Wahdatulwujud irfan. 

Tetapi bukan berarti Mulla Shadra anti Wahdatul wujudnya irfan. Justru beliu/Mulla Shadra satu- satunya filosof yang bisa membuktikan kebenaran Wahdatul wujud ala irfan itu. 

Makanya beliau dikenal dengan ”pembertemu” filsafat dengan irfan. Tetapi pembertemuannya itu bukan di Wahdatul wujud filosofis itu. Karena yang dalam filosofis itu, dimana saya sudah menjelaskan di atas, jauh beda dengan yang di irfan. Karena yang dimaksudkannya di filsafat adalah ”wahdah/satu” dalam ”Makna Wujud” yang, mengandungi banyak sekali wujud-wujud yang banyak, hal mana beliau menyebutnya, ”Satu dalam Banyak dan Banyak dalam satu”. Dan dari sinilah beliau lalu membedakan wujud-wujud yang banyak dalam satu itu, dengan derajat wujud itu sendiri, bukan dengan esensi yang sudah di tendangnya keluar dari gelangang wujud sebagaimana sudah diterangkan di atas. 

Dan dari sinilah konsep beliau mencuat ke permukaan bumi pengetahuan apa yang dikenal dengan ”Gradasi Wujud”. Maksudnya ”Wujud-wujud yang Berderajat yang mana Beda Derajatnya itu Dibedakan dengan Tingkatan Wujudnya dan bukan dengan Esensinya”. Sebagian orang yang tidak lengkap belajarnya hanya mengira bahwa ”Gradasi Wujud”nya Mulla Shadra, hanyalah ”Tingkatan Wujud”, padahal ”Tingkatan Wujud Karena Wujud dan Bukan Karena Esensi”. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad. Tolong dijelaskan maksud anda: 

Wahdatulwujud Mulla Shadra beda jauh dengan Wahdatulwujud irfan. Tetapi bukan berarti Mulla Shadra anti Wahdatul wujudnya irfan’ Justru beliu/Mulla Shadra satu-satunya filosof yang bisa membuktikan kebenaran Wahdatul wujud ala irfan itu. Apakah tidak berkontradiksi...? Lalu apa perbedaannya dengan konsep pantheisme......? 

Sinar Agama : Terus dimana Mulla Shadra membuktikan Wahdatul wujudnya irfan? Di jilid 2 buku Asfaru al-Arba’ahnya. Yakni di bab tentang ”Sebab-akibat”. 

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sebelum Mulla Shadra wahdatul wujud irfan tidak bisa dibuktikan dengan dalil-dalil akal, dan hanya dengan ”Kasyf”. 

Sebenarnya mereka sudah banyak berusaha membuktikannya dengan akal, tetapi belum mampu karena mereka biasanya rata-rata tidak mementingkan selain mencapai ”fanaa’ ” hingga kurang mendalami teori-teori akal. 

Ibnu ’Arabi sebenarnya bisa dikata telah banyak mengilhami Mulla Shadra hingga mencapai penemuannya itu. Dan Mulla Shadra sangat hormat dan mengguru kepadanya melalui kitab- kitabnya. 

Tetapi sekali lagi, bukan di wahdatul wujud ala filsafat itu Mulla Shadra membuktikan kebenaran Wahdatulwujud ala irfan, tetapi di bab ”Sebab-akibat”, dan maksud Mulla Shadra mencuatkan Wahdatulwujud ala filsafat itu bukan untuk membuktikan kebenaran wahdatulwujud ala irfan ini, bukan sama sekali. 

Jadi, keduanya berbeda jauh dan tidak saling berhubungan. Walau demikian dapat pula dijadikan pengantar, agar lebih mudah untuk memahami wahdatulwujud ala irfan. Yakni kalau seseorang memahaminya secara filsafat maka akan lebih mudah memahaminya secara irfan, tetapi bukan sama dan berhubungan. 

Dengan dalil ”Ketidak Terbatasan Wujud Tuhan” yang saya bawa di sini, adalah penemuan Guru Besar saya yang tidak bisa saya sebutkan namanya di sini. Beliau seorang penerus dari Mulla Shadra yang juga mengguru pada Ibnu Arabi melalui kitab-kitabnya. 

Sebenarnya, kalau anda teliti dan melepaskan dulu pikiran-pikiran atau info-info sebelumnya dan mencoba untuk memahami yang saya urai dengan maksud saya sesuai dengan mukaddimah- mukadimahnya, bukan sesuai info-info anda, maka saya rasa sangat mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anda tersebut. 

Apapun itu, kalau ternyata memang masih ada hal, silahkan komentar lagi, semoga saya bisa membantunya. Sekali lagi cobalah untuk memahami yang saya tulis tanpa memaknainya dengan info-info sebelumnya dari yang anda dapat. 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami jauhnya konsep wahdatulwujud irfan ini dengan panteisme. Karena yang pertama menyatakan bahwa hanya Tuhan yang Ada yang, berarti menyatakan ke-Tiadaan alam/esensi dan hanya menyisakan kewajahanNya bagi Ada, dengan yang ke dua menyamakan alam denganNya dimana berarti menganggapnya ada sebagaimana Dia atau 

bahkan menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad. mohon dijelaskan perbedaan : 
yang dimaksudkannya di filsafat adalah ”wahdah/satu” dalam ”Makna Wujud” yang, mengandungi banyak sekali wujud-wujud yang banyak, hal mana beliau menyebutnya, ”Satu dalam Banyak dan Banyak dalm satu”. 
dengan : phanteisme: menyamakan alam denganNya dimana berarti menganggapnya ada seba- gaimana Dia atau bahkan menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi.? 
Bukankah keduanya berakhir pada wujud eksistensi...? 

Sinar Agama : Maksud pernyataan pertama adalah: Mengakui keberadaan Tuhan dan lainnya, walau dalam makna wujud adalah sama dan satu. Inilah yang disebut dengan wahdatulwujud ala filsafat yang berakhir pada eksistensi. Tetapi ingat, bahwa berakhir pada eksistensi yang banyak yang, satu sama lain dibedakan derajat wujudnya, bukan dengan esensi sebagaimana maklum. 

Sementara pernyataan ke dua adalah: Tidak mengakui adanya apapun kecuali Tuhan yang karena ketidak pahaman mereka mengatasi kenyataan alam ini, mereka lalu mengatakan bahwa alam ini adalah Tuhan. Jadi, jauh beda dari kedua pernyataan itu walau keduanya berakhir pada wujud. 

Akan tetapi yang pertama, pada wujud yang banyak, dan yang ke dua pada wujud yang satu. Sekalipun panteisme ini, sebagaimana yang sampai kepada kita-kita, pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan konsekwensi dari wahduatulwujudnya. Yakni ketika ditanya, kalau ada itu hanya Tuhan, terus kita-kita dan alam ini apa? Mereka menjawab, Tuhan. 

Beda halnya dengan irfan Ibnu ’Arabi dan Mulla Shadra, mereka mengatakan bahwa kita dan alam ini adalah tajalliNya, WajahNya. Ingat, semua orang memang membahas wujud dan akan berakhir kepada wujud, tetapi beda semua ilmu-ilmu itu. 

Bukan di wujud itu, tetapi di banyak dan satunya wujud tersebut. Dan beda sufisme (seperti panteisme) dengan irfan atau sufi yang hakiki seperti yang dibawa Ibnu Arabi dan Mulla Shadra, bukan terletak di ada yang satu, tetapi di bagaimana menjawab tentang alam ini. 

Dimana di panteisme dikatakan Tuhan hingga muncul perkataan Ana al-haq/saya tuhan”, sementara di Ibnu Arabi dan Mulla Shadra dikatakan sebagai ”Tajalli dan WajahNya”. Dan ingat juga, bahwa yang kita bicarakan ini hanyalah kata-kata belaka, bukan irfan yang sesungguhnya. 

Karena kita yang masih suka dunia halal, surga dan kebaikan-kebaikan, tidak mungkin merindukan ”ketiadaan”. 

Dan supaya tidak kepalang tanggung, tolong baca sekalian diskusiku tentang antologi yang dibawa amran abstrack di statusku. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ apakah ada perbedaan pengetahuan/pemahaman dengan yang diketahui/dipahami...? 

Sinar Agama : Pertama, kalau tidak beda berarti tidak perlu ditanyakan. Pertanyaan anda ini menunjukkan secara fitrah kepada adanya perbedaan itu. Namun, dilihat dari eksistensinya, bukan dari esensinya. Karena kalau beda dalam esensi, berarti semua informasi kita, salah semua. Dan kalau tidak tidak beda maka kita segera akan mati kala mengerti dan membayangkan api. 

Ilmu yang saya terangkan barusan ini adalah ilmu-ilmu Hushuli atau Gambaran, bukan Hudhuri atau kehadiran. Jadi, dalam ilmu tersebut yang hadir dalam akal kita adalah gambaran dan copy- annya, bukan asli obyeknya. 

Ke dua, kalau ilmu-ilmunya itu adalah Hudhuri, yakni obyek ilmunya yang hadir dalam akal, maka ilmu dan obyeknya adalah sama, karena yang hadir sebagai penginfo bukan gambarannya, akan tetapi dianya sendiri. 

Ke tiga, wahdatulwujud ala Mulla Shadra dalam filsafatnya adalah dari golongan ilmu Hushuli atau ilmu/info yang datang ke akal kita melalui gambaran obyek infonya, bukan infonya sendiri secara langsung. Tetapi wahdatulwujud ala Mulla Shadra dalam irfannya adalah dari golongan ilmu Hudhuri alias yang penginfoannya melalui obyeknya langsung. 

Allah dalam banyak ayat-ayatNya seperti QS:2:126; 2:285 dan sekitar 21 ayat lainnya menggunakan kata Mashir (menjadi) untuk kembalinya manusia kepadaNya, bukan masir (berjalan/menuju). Tentu ayat-ayat ini saya bawa di sini sebagai penguat dalil akal kita ini, bukan sebagai pemaksa anda untuk terima, tetapi hanya sebagai pereda ketakutan akan kebenaran dalil akal kita ini manakala hal itu terjadi, supaya tidak seperti para wahhabi yang terus anti pati dan mengecam para arif. Allah dalam ayat-ayat tadi, baik bagi orang yang akan ke neraka atau ke surga, memakai kata-kata Mashir alias menjadi. Hal itu karena memang kembalinya manusia itu kalau bukan menjadi hakikat murkaNya, akan menjadi hakikat RidhaNya. Jadi, dua-duanya menjadiNya. Tetapi karena Tuhan mengatakan (dan akal juga mengatakan hal yang sama) bahwa ”menjadi kepadaNya”, bukan ”menjadiNya”, maka selamanya manusia tidak akan pernah mencapaiNya, sekalipun menjadi kepadaNya, bukan menujuNya. 

Simpulan, semua ilmu, apa saja, baik tentang alam, agama, akhirat dan Tuhan, manakala kita membahasnya, bukan mencapainya, maka berarti ilmu-ilmu kita itu adalah Hushuli alias info yang melalui gambaran obyek infonya, sekalipun ilmu-ilmu kita itu adalah wahdatulwujud irfani. 

Oleh karena itu cocok sekali dikatakan pahaman. Di sini, sudah pasti obyek pahaman dan pahamannya berbeda, tentu dalam eksistensinya, bukan pada esensinya sebagaimana sudah diterangkan. 

Akan tetapi, kalau ilmu-ilmu itu bukan dalam bahasan dan lamunan, tetapi dalam capaian, maka ilmu-ilmu tersebut termasuk wahdatulwujudnya itu, sudah pasti sama dengan obyeknya. Yakni ilmu = hakikat obyek ilmunya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ jadi apakah perbedaan wujud satu dengan wujud lain harus dikembalikan kepada persamaannya...? 

Sinar Agama : Kamu bertanya apakah perbedaan wujud itu harus dikembalikan pada persamaannya? 

Jawab: Wujud yang mana dan ala siapa dan dalam tingkatan apa?. Kalau dalam tingkatan umum yang mungkin seperti kita-kita ini, atau juga ilmu Kalam, maka perbedaannya dikembalikan kepada esensi. Tetapi kalau Mulla Shadra di filsafatnya maka dikembalikan ke derajat wujud itu sendiri, dan inilah yang dikatakan Gradasi/tasykik. Akan tetapi kalau Mulla Shadra di irfannya, maka tidak ada perbedaannya, karena wujud hanya satu, titik. Yakni tidak tidak ada tingkatannya, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ jika Kebenaran adalah : bersesuaiannya antara ide/pikiran/ konsep manusia dengann realitas.....? bagaimana maksud dari bersesuainya......? 

Sinar Agama : Kamu bertanya apa maksud berkesesuaiannya ilmu dengan realitas itu. 
Jawab: realitas itu adalah hakikat dan dia memiliki dua macam, pertama adalah esensi sebagai realitas batasan atau ilmu atau ide atau juga nyata kalau berbaju kenyataan karena tidak semua esensi memilikinya seperti gunung berlian, dan yang ke dua adalah eksistensi sebagai realitas nyata. 

Ilmu itu dikatakan benar manakala esensi yang ditangkap akal persis sama dengan esensi yang ada di alam nyata. Dan akan dikatakan salah manakala sebaliknya. Dan hal seperti ini hanya ada di ilmu-ilmu Hushuli yang memang memiliki kemungkinan salah. Karena yang datang dan ditangkapnya adalah copy-an dari esensi nyatanya. Tetapi kalau dalam ilmu-ilmu Hudhuri, maka tidak mungkin salah karena yang datang dan tertangkap adalah hakikat nyata dari esensinya itu. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ maaf..... Akan tetetapi, kalau ilmu-ilmu itu bukan dalam bahasan dan lamunan, tetapi dalam capaian, maka ilmu-ilmu tersebut termasuk wahdatulwujudnya itu, sudah pasti sama dengan obyeknya. 

Dan kalau tidak tidak beda maka kita sgr akan mati kala mengerti dan membayangkan api. 

Sinar Agama : Anda bertanya bukankah kita akan mati kalau kita memiliki ilmu hudhuri tentang api? 

Jawab: Ilmu Hudhuri itu adalah ilmu yang mendatangkan hakikat obyek yang diketahui. Penghadiran seperti ini, kebanyakannya, hanya dapat didapat oleh sebab terhadap akibatnya. 

Walaupun Mulla Shadra ra ada dua jalan lagi yang tidak perlu dibahas di sini karena tidak nyangkut. Nah, ketika manusia memiliki ilmu-ilmu Hudhuri dengan suluknya atau proses ”menjadi kepadaNya’ tadi itu, maka berarti manusia sudah mencapai derajat sebab dari ilmu-ilmunya itu. 

Dengan demikian mana mampu akibat membunuh sebabnya? Mana mampu yang namanya akibat mengalahkan sebabnya? 

Oleh karena itulah Nabi saww dikatakn dalam Qur'an sebagai Rahmatan lil ’alamin yakni rahmat bagi semua alam (materi dan non materi, di masa lampau atau akan datang, dunia atau akhirat) karena beliau saww sudah mencapai derajat yang tidak ada lagi derajat lain di atasnya. 

Jadi, beliau adalah sebab bagi semua alam, artinya sebab perantara Tuhan untuk menyentuh yang dibawahnya. Kalau sudah demikian, mana mungkin yang namanya akibat bisa berefek pada sebabnya? Apalagi membunuhnya? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ bukankah perbedaan derajat wujud tersebut bukan hal lain selain wujud itu sendiri....? sehingga perbedaannya dikembalikan pada persamaannya yakni wujudnya... 

karena esensi tersebut jika dipadang dalam kontes wahdat al wujud adalah wujud itu sendiri.... 

Sinar Agama : Esensi yang dipandang sebagai wujud dalam pandangan wahdatulwujud, adalah sufi panteis yang jelas-jelas tidak ada dasarnya. Anda mau lari dari panteis atau mau memasukinya? Anjuran saya, print tulisan-tulisan saya itu dan baca sambil direnungi, supaya dapat dipahami berbagai pandangan tentang wujud tersebut.? 
Tentang lari dan panteis: 

Dan sekarang saya akan Jawab pertanyaan-pertanyaanya. Tentang panteis itu kan anda sendiri dalam mendebat dalil saya mengatakan ”..lalu apa bedanya dengan konsep panteisme?” 

Kata-kata anda ini menunjukkan tidak setujunya Anda dengan panteisme dan, sudah tentu Anda lari darinya. Tetapi ketika Anda mengatakan bahwa: ”bukankah perbedaan derajat wujud tersebut bukan hal lain selain wujud itu sendiri....? sehingga perbedaannya dikembalikan pada persamaannya yakni wujudnya...karena esensi tersebut jika dipadang dalam kontes wahdat al wujud adalah wujud itu sendiri....”, di sini, berarti telah memasuki panteisme itu sendiri, karena telah menyamakan semua esensi dengan wahdatulwujud yang, dengan kata lain adalah Tuhan. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ para filosof sering menamakan Nur Muhammad sebagai Akal-1, menurut anda....? Kenapa bisa dikatakan akal...? 

Sinar Agama : Kalau saya bertanya kepada Anda, dimana dan siapa yang mengatakan bahwa Akal-1 itu adalah Nur Muhammad? apakah anda mampu menjelaskannya? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ okey kita lupakan saja tentang akal 1..... 

Sinar Agama: Dalam riwayat setidaknya ada dua keterangan tentang awal ciptaan ini, ada yang mengatakan Nur Nabi saww, ada yang mengatakan Akal yang diperintah berpaling maka dari berpaling begitu pula sebaliknya. 

Terlalu rumit bagi anda kalau saya jelaskan semuanya, karena mengerti semua ini sebenarnya memerlukan perjalanan ilmu kurang-lebih 30-35 tahun, itupun yang tiap hari dibimbing guru dengan segala argumentasinya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ berdasarkan apa ada katakan : Terlalu rumit bagi anda kalau saya jelaskan semuanya,...? Jika demikian...mohon maaf atas keterbatasan ilmuku..... 

Bisakah anda mengurai kerumitan-kerumitan yang saya akan hadapi dalam memahami penje- lasan-penjelasan anda ? apakah jumlah waktu tersebut merupakan persyaratan mutlak....? 

Sinar Agama : Dasar yang harus dimiliki oleh orang yang ingin tahu secara benar hakikat wahdatulwujud adalah: Mempelajari bahasa arab (karena buku aslinya bahasa arab) dan Logika yang, biasanya dicapai dalam 4 tahun. Lalu belajar ilmu Kalam (supaya kuat ilmu-ilmu lahiriah Islamnya) secara ringkas, sedang dan rinci yang, biasanya paling cepat dicapai dalam waktu 3-4 tahun. Lalu setelah itu belajar filsafat (supaya kuat pengetahuan dalil-dalil akalnya) secara ringkas, sedang dan rinci yang, paling cepat dicapai dalam waktu 11-18 tahun, baru setelah)itu belajar irfan yang ringkas dan rinci paling tidak 5-7 tahun. 

Pelajaran agama, jauh lebih ketat dari sekolah modern. Buku-buku yang tertera sama sekali tidak akan dapat dipahami oleh yang tidak memiliki mukaddimah-mukaddimah dengan benar dan baik. Dan maksud ”Paham” di sini bukan secara ”Gambaran”, tetapi benar-benar tahu sesuai dengan argument-argument yang ada dan merasakan karena tahu dasar-dasar pijakan argument- argumentnya itu. Bukan ”Tahu” dalam artian menggambarkannya yang, biasanya kalau ditanya dan didebat, tidak tahu harus menjawab apa, dan bisanya mengambil dari koceknya sendiri. Dan hal itulah yang telah membuat ajaran irfan dan shufi yang hakiki yang dibawa Ibnu Arabi menjadi ajaran-ajaran yang jauh dari yang diajarkan dan jauh dari akal dan agama. Mulla Shadra menjuluki mereka dengan ”Sok Shufi”, yakni ”Sok Ngerti ke-Shufian” 

Penjelasan saya ini bukan berarti mau membuat orang pesimis dan melarang diskusi, karena dari awal saya sudah mengajak Anda dan pembaca yang lain untuk berdiskusi tentang ini. Tetapi bukan pula berarti saya harus mengatakan bahwa semua tulisan-tulisan ini dapat dimengerti dengan baik dan argumentatif sampai ke akar-akarnya, dan dapat dirasakan lantaran tahu dasar- dasar argumentnya itu. Misalnya tahu dasar argument irfannya ini adalah filsafat fulan, dan dasar filsafatnya ini adalah Kalam dan Logika fulan. 

Memang untuk sekedar mencapai keyakinan diri dan jadi modal bersuluk, diskusi-diskusi ini bisa dijadikan modal, karena ianya sudah terbekali dengan argument-argument akal yang sudah diusahakan sesederhana mungkin dengan menghindari istilah-istilah yang sesungguhnya karena setiap istilah yang ada perlu kepada penjelasan dan argument. 

Sebenarnya, saya hanya ingin memberitahukan bahwa bahasan kita ini bukan mainan dan bisa dianggap enteng serta dapat dikuasai dengan baik tanpa mukaddimah-mukaddimah tadi. Bahasa kasarnya, harus tawadhu menghadapinya, dan jangan sesekali mengatakan sudah memahaminya dengan baik. Itu saja. Bahasan kita ini, dilihat dari ketidaklayakannya, jauh melebihi pembahasan kedokteran tentang bedah otak diantara orang-orang agama atau teknik mesin. Lalu apakah kalau kita membahasnya, yakni bedah otak atau jantung, kita akan mengerti sekalipun bahasanya Indonesia? 

Bahasa premannya (kasarnya), tawadhu’lah dan jangan merasa paham. Afwan. 

Dalam hal awal penciptaan ini ada beberapa kemungkinannya. Kalau hadits yang mengatakan akal tadi, berarti dia tidak bisa dikatakan sebagai Akal yang dikenal dalam filsafat. Karena dalam filsafat, Akal adalah Tenang dan Tsabit dan Tidak Memiliki Proses (perubahan dalam jaman), sementara Akal yang dalam riwayat, adalah wujud yang menerima perintah-perintah Tuhan dalam artian proses, seperti kemarilah dan berpalinglah dalam riwayat tersebut. Jadi, Akal-filsafat tidak sama dengan Akal-riwayat. 

Dan kalau dua hadits itu diterapkan, maka artinya Nabi saww adalah Akal-riwayat yang merupakan ciptaan pertama Allah, bukan Akal-filsafat. 

Padahal dalam filsafat Akal seperti itu adalah Akal-manusia, bukan Akal-filsafat atau Akal-Jabaruut. Dan posisi Akal-manusia itu ada di tingkatan Barzakh yang paling atas, yakni setingkat di bawah Akal-Terakhir, dan sangat jauh dari Akal-Satu. 

Namun demikian, walau apapun isyarat-isyarat hadits itu, tidak akan pernah mengurangi fadhilah Nabi saww, karena kalaulah benar adanya tafsir ini, berarti Tuhan ingin menjelaskan kepada kita bahwa yang pertama kali dicipta dari ”Makhluk”, bukan dari ”Urusan”. Yakni pertama kali yang dicipta dari ”alam materi” atau yang menyangkutnya/barzakh, bukan ”alam non materi”. 

Dalam filsafat ”alam non materi” tidak disebut ”makhluk”, tetapi disebut ”Amrun” atau ”Urusan” Tuhan, karena ”makhluk” artinya ”Bentukan” atau ”Membentuk”, sementara ”non materi” tidak berbentuk, terkhusus Akal-Akhir sampai dengan Akal-Satu. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ kalau bisa lanjutkan penjelasannya... 

Sinar Agama : Jadi, apapun makna dari makhluk pertama itu, dan apapun kenyataan wujud- wujud itu, tidak dapat mempengaruhi fadhilah Nabi saww. Karena Nabi saww bergerak ”Menjadi” dari tanah ini menuju Tuhan dan menjadi hakikat derajat-derajat yang dicapainya sampai tidak ada lagi ciptaan melebihi dekatnya dengan WujudNya. Dengan ini, mau ditafsir apapun hadits tersebut, dan apapun kenyataan sesungguhnya dari keberadaan ini, tetap Nabi saww merupakan ”Yang Awal dalam Fadhilah” yang, oleh karenanya ”Yang Awal dalam Ciptaan”. 

Karena ketika seseorang mencapai yang tertinggi dan awal, seperti Akal-Pertama, mk ia menyatu dengannya, karena maqam-maqam dan derajat-derajat ini bukan kesepakatan, tetapi ”capaian”, ”menjadi” dan ”mashir”, apalagi ”Non Materi’ yang hukumnya adalah satu ditambah satu atau dikurangi seribu tetap satu karena tidak terikat dengan volume. Dan karena semua itu harus dicapai dengan ikhtiar, maka mungkin karena itulah Nabi saww mengatakan kepada Jabir ra ketika 

bertanya tentang Awal Ciptaan, bahwa yang pertama kali dicipta adalah ”Nur Muhammad”, yakni ”Hakikat yang dicapai Muhammad yang pada waktu belum diciptakannya Berupa Ilmu Tuhan alias Nur Muhammad”. 

Bahasa brutalnya adalah, yang pertama kali dicipta Allah adalah ”Maqam Nabi saww yang akan dicapainya nanti” yang, dibahasakan dengan Nur. Sedangkan dengan) mengapa Nabi saww yang jadi fokus dan bukan Akal-Satu? 

Jawabannya mudah, karena Akal-Satu memilikii maqam tersebut dengan kejadiannya, tanpa melakukan usaha apapun. Tetapi Nabi saww mencapainya dengan usaha yang gigih dengan modal yang sama dengan yang dimiliki orang lain. Oleh karenaanya jawaban Nabi saww terhadap pertanyaan Jabir as itu sudah benar, karena mengandung pendidikan dan merangsang orang untuk mencintai dan meniru Nabi saww. Silahkan kalau masih ada yang mau ditanya, tetapi usahakanlah untuk memahami sekalipun tidak menerimanya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ lalu apa perbedaan Irfan teoritis dan Irfan praktis....? 

Sinar Agama : Irfan Teori dengan Irfan Praktis adalah sama, yakni sama-sama Teori. 
Yang pertama ”Teori Pembuktikan Wahdatulwujud”, dan yang ke dua ”Teori Bimbingan Mencapai Wahdatulwujud” 

Orang yang mengerti seluk beluk, sekali lagi, seluk beluk ”Teori Pembuktian Wahdatulwujud” ini, bisa dikatakan sebagai ”Arif dalam Ilmu”. Dan orang yang memperaktikkan ”Irfan Teori” bisa disebut ”Pesuluk”. Dan orang bisa melakukan ini hanyalah orang-orang yang sudah bersih dari dosa, makruh, semua yang halal dan semua keutamaan-keutamaan seperti karomat, kasyaf dan surga. Yakni bersih dari dosa dan makruh harus bersih hati dan badannya, dan dari halal dan keutamaan-keutamaan itu harus bersih hatinya, yakni dari rasa suka. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ maaf...Kalau Bisa Saya Dijelaskan Tentang : diktum yang ber- bunyi “al-majâz qantar al-haqiqah” 

Sinar Agama : Qantar atau qanthar? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ Qantar atau qanthar? yang mana yang tepat...? silahkan... 

Sinar Agama : Saya rasa Qanthar? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ iya,, mohon penjelasannya... 

Sinar Agama: Di tempatku signal/sinyal sering nggak bagus. Yang benar adalah Qantharatun yang bisa dibaca Qantharah yang berarti jempatan. Jadi, artinya Majazi adalah Jempatan Hakikat Sepertinya banyak juga masalah di dalamnya. Karena sepertinya banyak juga yang salah mengarti- kan dan menggunakannya. Ada juga bagian-bagiannya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ bisa saya dijelaskan: Sepertinya banyak juga masalah di dalam- nya. Karena sepertinya banyak juga yang salah mengartikan dan menggunakannya. Ada juga bagian-bagiannya. 

Sinar Agama : Asal kata Majazi adalah sesuatu yang bukan hakikatnya. Seperti kata ”Singa” yang dipakai untuk orang berani manakala kita berkata ”Saya bertemu Singa ketika sedang belanja di pasar”. Di sini kata ”Singa” tidak dimaksudkan hakikinya yang berarti binatang buas dan ganas, tetapi Majazinya yaitu ”orang pemberani”. Dengan penjelasan) ini dapat dimengerti pula makna ”Hakiki”nya, yakni suatu makna yang diambil dari asal ”kata” itu sendiri yang diletakkan atau disepakati pertama kalinya secara asal. Ini asal muasal Hakiki dan Majazi. 

Nah, dari sini baru meluas kemana-mana seperti ilmu-ilmu irfan atau ke-Tuhanan dalam tingkat tinggi ini. Yakni ketika semua sudah ketahuan bahwa selain Tuhan tidak ada, berarti yang kita lihat ini adalah ”Majazi”, karena Ada itu milikNya, tetapi kita nisbahkan/hubungkan kepada selainNya. Dengan demikian penisbahan wujud kepada selainNya adalah Majazi dan kepadaNya adalah Hakiki. 

Dalam hal ini masih benar, kalau ada orang berkata bahwa ”SelainNya adalah Jempatan Menuju- Nya”, yakni kalau diartikan bahwa ”SelainNya adalah WajahNya yang untuk mengenali atau menyadari keberadaanNya”. Atau juga dipakai dalam ilmu selain keTuhanan. Dikatakan bahwa ”Ilmu-ilmu selainNya, seperti matematika ...dst, juga wajib dipelajari karena mempelajari selainNya berarti mempelajariNya karena selainNya pada hakikatnya tidak ada yang, oleh karenanya mempelajari selainNya akan menjadi jempatan mengenaliNya”. Kata-kata dalam dua kategori di atas masih bisa dibenarkan. 

Akan tetapi, sepertinya, ada kelompok yang tidak memahami artinya atau sengaja menyelewengkan- nya untuk menutupi auratnya sendiri. Yakni yang mengatakan bahwa ”Untuk mencapaiNya perlu menggunkan selainNya, yaitu dengan mencintai dan melezati selainNya supaya dapat mencintai dan melezatiNya”. 

Jadi, bisa dikatakan bahwa yang golongan pertama dan ke dua, yakni menjadikan selainNya atau ilmu selainNya sebagai jempatan menujuNya adalah benar dan irfan serta sufi yang hakiki. Tetapi yang ke tiga, bisa ditakan sufi yang nyasar yang, bisa dijuluki dengan mutashawwifah, alias sok sufi, kata Mulla Shadra ra. Ada pertanyaan lagi? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ pada saat saya membaca buku-buku akhlak dan irfan Saya menjumpai beberapa istilah teknis seperti “syariat”, “tarikat”, “hakikat”. bisa jelaskan ke tiga hal tersebut dan hubugan ke tiganya..? 

Sinar Agama : Bismillaah. Nabi saww dalam hadits Mustadraku Wasailu al-Syi’ah, juz: 11, hal: 173, hadits ke 12672, bersabda +/-: 

”Syariat itu adalah kata-kataku, Thariqat itu adalah perbuatanku, Haqiqat adalah keadaanku, Ma’rifat itu adalah modalku, Akal adalah dasar agamaku,... Cinta adalah dasarku, Kerinduan adalah tumpanganku, Takut adalah temanku, Ilmu adalah senjataku, Lembut adalah sahabatku, Tawakkal adalah bekalku, Qana’ah adalah harta karunku, Jujur adalah rumahku, Yakin adalah tempat berlindungku, Kemiskinan adalah kebanggaanku dan dengannya aku melebih banggakan dari segenap nabi-nabi dan rasul-rasul." 

Dalam tiga potong pertama hadits di atas, Anda dapati apa yang Anda tanyakan itu: Syari’at, Thariqat dan Hakikat. Pada tingkatan pertama adalah Syari’at yang, dita’birkan oleh beliau saww sebagai Kata-katanya. 

Kita bisa memahaminya sebagai ajarannya. Ajaran disini bisa mencakupi kata-kata dan perbuatan yang berposisi sama dengan kata-kata, yakni yang bersifat ajaran. Misalnya shalat beliau yang memiliki posisi sama dengan kata-kata beliau yang terucap dengan ”Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”. Di sini tentu Nabi saww, tidak memaksudkan kekhusukan beliau, karena jelas kita- kita tidak akan mencapainya. Tetapi yang dimaksudkannya adalah hukum-hukum lahiriahnya. Dengan demikian maka Syari’at adalah ajaran dan hukum-hukum yang telah diajarkan Nabi saww, baik melalui perkataan atau melalui contoh-contoh perbuatan yang berposisi sebagai kata-kata. 

Sedangkan Thariqat/jalan adalah peringkat setelahnya yang, memiliki makna perbuatan Nabi saww. Di sini yang dimaksud perbuatan, bukanlah perbuatan yang berposisi sebagai kata-kata alias pengajaran. Tetapi perbuatan yang memiliki kekhususan beliau. 

Oh....betapa... amal-amalan beliau dapat menyejukkan gelora api neraka sekalipun, apalagi sekedar kekurangan-kekurangan akhlak lingkunganya. Tentu bagi yang mau mengambil ibrah dan barakah. Tidak seperti wahhabi yang lontang lantung dengan sama sekali tidak peduli terhadap lingkungan dan udara yang dihimbuskan amal-amal Nabi saww, lalu berteriak sana-sini seakan merekalah nabi-nabi itu. 

Dengan uraian di atas, dapat dipahami bahwa tingkatan ke dua adalah amal-amal Nabi saww sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, bukan sebagai penjelas hukum sebagaimana peringkat pertama. Sedangkan dengan) peringkat ke tiga adalah keadaan Nabi saww atau Capaian dan Hal beliau saww. 

Oh... Ya Nabiyallah, percikkanlah setetes saja, atau sepersejuta tetes saja dari sejuta butiran air matamu, demi redakan kehinaanku yang bergejolak ini, yang membakari segala kebaikan sampai ke akar-akarnya. Kehinaan yang berawal dari kehinaan ilmu yang, dalam pada itu juga masih melahirkan keyakinan dan kebanggaan serta percaya diri. 

Oh ...ya Nabiyyallah, andai aku jadi pasir-pasir yang diatasnya engkau menginjakkan kaki, maka sudah cukuplah untukku, untuk kuyakini sebagai kebaikanku, dari pada kehinaanku sekarang ini, sekarang ini. 

Ya Nabiyyallah, kuhingarkan dan kubingarkan kesyi’ahanku, seakan aku sudah ada di dalam barisanmu dan barisan Ahlulbaitmu dari keduabelas imam makshummu. 

Kegenderangkan beduk wahdatulwujudmu seakan aku sudah tenggelam di dalamnya, padahal aku masih menyukai butir-butir nasi yang kumakan setiap hari, terlebih lauknya. Afwan kalau jawabanku ini bercampur keluhan hati, afwan. 

Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Keadaan atau Hal Nabi saww adalah capaiannya. Artinya capaian-capaian yang telah diperoleh Nabi saww dengan semua apa-apa yang telah dilakukannya dengan hukum yang benar dan prasyarat-prasyarat lahir batin yang benar pula, serta berada pada tahap paling tingginya syarat-syarat dan kondisi. Semua itu adalah syarahan pendek tentang makna dan arti dari masing-masing tingkatan. Sedangkan dengan hubungannya, sebenarnya, sangat jelas. Yaitu bahwa tingkatan awal/pertama dan/sebelumnya, adalah tingkatan dasar dan pondasis bagi tingkatan-tingkatan setelahnya. 

Artinya... orang yang belum mengamalkan syariat dengan benar, maka dia tidak akan pernah menyentuh tingkat ke dua, bagitu seterusnya. Karena darimana dan dengan dasar apa dia akan melakukan hal itu yang, katakanlah salah satu dari sejuta keadaan itu seperti khusyu’. Apa yang akan dia khusyu-i kalau tidak tahu dengan benar hukum-hukum dari amalan-amalan yang akan dilakukannya. 

Dengan demikian, maka syariat akan menjadi batu dasar bagi pijakan pesuluk. Mungkin ada orang bertanya, bahwa kalau sudah sampai di tingkat thariqat apa masih diperlukan syariat? 

Pertanyaan ini sebenarnya muncul dari ketidakpahaman hubungan antara sebab-akibat. Perta- nyaan ini persis seperti, menanyakan pondasi bangunan gedung bertingkat, bahwa setelah bangunan itu berdiri, apakah masih memerlukan pondasi? 

Dengan pendekatan ini maka jelas dapat dipahami bahwa pondasi dan/atau tingkatan sebelumnya akan selalu diperlukan pada tingkatan ke dua atau tingkatan-tingkatan berikutnya. 

Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa syariat adalah dasar selamanya bagi thariqat dan hakikat, begitu pula thariqat bagi hakikat. Oleh karena itu seorang yang ingin menjadi pesuluk, maka harus belajar fikih dengan benar, baik taqlid atau ijtihad, dan selamanya perbuatannya harus diatas dasarkan pada hukum-hukum yang telah dipelajarinya itu. 

Dan jangan sesekali mengira bahwa tanpa fikih atau tanpa kesinambungannya, akan bisa mencapai thariqat atau langgeng di dalamnya. Karena kalau belum sampai, tanpa fikih yang benar, tidak akan pernah sampai, dan kalalu sudah sampai dengan fikih yang benar tapi tidak dipertahankannya maka amalan-amalannya akan batal seketika dan akan runtuh serta jatuh ke peringkat sebelumnya secara seketika pula, karena fikih adalah sebabnya. 

Tuhan dalam membuat hukum-hukum itu tidak kalaulah sia-sia dan permainan. Oleh karenanya semakin seseorang itu meningkat dalam suluknya, maka dia semakin taat dan bagus dalam berfikihnya. 

Oleh karena itulah sampai-sampai kaki Nabi saww bengkak karena kebanyakan shalat. Bagaimana mungkin, tanpa ketaatan hukum seseorang bisa mencapai peringkat setelahnya, atau bagaimana mungkin tanpa ketetapan hukum seseorang bisa tetap berada di tingkat setelahnya? 

Maksiat yang dapat menghancurkan manusia di peringkat syariat, dia juga menghancurkan siapa saja yang berada di tingkat setelahnya. Begitu pula tanpa mengerti hukum yang benar yang dapat mengganjal manusia melesat ke peringkat setelahnya, begitu pula dapat menurunkannya dari peringkat yang lebih tinggi itu kalau tidak dilanggengkan kedisiplinan hukumnya. 

Apa yang akan dikhusyu-i, dan apa dan bagaimana khusyu’ itu, perlu kepada pengertian hukum. Begitu pula tentang kelanggengan dan keistiqomahannya. Begitu pula hal-hal lain selain kekhu- syukan, seperti jujur, ikhlash, murah hati, memaafkan, thaharah, suci badan dan hati .dan seterusnya. 

Dengan semua penjelasan di atas dapat dipahami, bahwa kalau seseorang ingin melakukan suluk maka harus belajar fikih dengan benar dan mengamalkannya. Setelah itu atau dalam pada itu ia harus belajar dimensi batin dari hukum-hukum itu dengan benar pula, supaya bisa tahu dan mengejarnya, seperti ikhlash, khusyu’,tawadhu’....dst dimana hal-hal ini merupakan usaha mengetahui dan mencontoh perbuatan Nabi saww yang disebut dengan Thariqat. 

Kalau kedua hal itu dilakukan maka ia akan menyentuh apa-apa yang disebut Hal atau Keadaan. Tentu saja semua itu harus dilakukan dengan ikhlash, yakni bukan untuk mencapai apapun kecuali Allah. Sering orang ketika sedikit saja dibukakan tabir, atau seperti karomat-koramat keci/besar, dia sudah bangga dan merasa jadi musrsyid bagi yang lainnya. Seperti seorang raja dia telah membangun perguruannya. Padahal dengan semua itu dia berarti tergolong ke dalam penyinta dunia, sekalipun dunia di sini adalah batin, yakni semacam karomat-karomat atau kasyaf-kasyaf itu. 

Karena semua itu masih disenanginya di dunia ini. Pesuluk hakiki, sekalipun mampu melakukan yang tidak lumrah, tanpa perintah Tuhan dengan ilhamnhya, maka mereka tidak akan pernah melakukannya. Karena mereka selalu dalam latihan untuk tidak melihat diri, alias melatih diri untuk fanaa’ dan selalu dalam fanaa’. Bagaiamana mungkin seseorang akan mencapai fanaa’, ketika bisa sedikit saja melakukan keajaiban, dia sudah bertengger di situ? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’maaf.......jika saya bertanya lagi.....insya Allah saya akan meluangkan waktu untuk melakukan renungan atas jawaban-jawaban ustad..semoga Allah memberikan hida- yahNya agar saya dapat masuk dalam hikmahNya.... 

jika boleh saya bertanya lagi...: 
Apa yang menjadi latar belakang penolakan kaum teolog atas doktrin wahdat al-wujud? 

Sinar Agama : salam, kirain sudah tidur, apa masih bangun sekarang? bisa jawab? 

Anggelia Sulqani Zahra : okey...dilanjut.... 

Sinar Agama : Bismillaah. Saya tanya karena kukira sudah tidur. Tetapi kalau sudah tidur atau mau tidur, maka jangan tunggu jawabanku,. 

Biar kujawab terus dan baca besok. Saya tadi tanya hanya agak heran karena belum tidur dan ingin menyapa saja. 

Oh iya, jawabannya pendek-pendek karena lagi gangguan signal/sinyal. Kamu tidak usah menjawab apa-apa, kalau tidak tidur, 

Ada tahapan ilmu dalam mencari hakikat ke-Tuhanan, Teologi/Kalam, Filsafat dan Irfan/Gnosis. 

Teologi adalah cara memahami hakikat, termasuk Tuhan, melalui naql, yakni Qur'an dan Hadits. 

Teolog bisa dikatagorikan pada yang ekstrim, sedang dan ilmiah. Yang ekstrim, mengingkari semua ilmu lain. Mereka menolak semua cara selain Qur'an-hadits. Mereka juga menolak cara lain dari yang lahiriah dalam memahami keduanya. Mereka mengira bahwa yang mereka pahami tentang keduanya adalah benar-benar keduanya. Mereka ini biasanya gampang sekali menyalahkan dan menyesatkan orang lain, dan, mungkin juga menkafirkannya. 

Sebagian orang-orang sunni salafi, adalah bagian dari golongan ini, termasuk wahhabi yang munculnya beberapa ratus tahun yang lalu. Sedangkan golongan sedang berani menggunakan akal dalam memahami keduanya, tetapi keakalannya hanya sebatas yang umum-umum diantara manusia-manusia berakal yang, biasa disebut dengan akal-’urf/umum. 

Sedangkan dengan yang ilmiah, mereka berani menggunakan kaidah logika dan filsafat untuk memahami keduanya. Namun demikian, penggunaannya hanya di tempat-tempat yang mereka merasa harus memakainya, tidak di semua tempat. Oleh karenanya, di tempat-tempat yang merasa bahwa cukup dengan menggunakan akal-umum, mereka hanya menggunakan akal- umum dan tidak merasa perlu menggunakan logika-filsafat. 

Dengan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ciri Kalam adalah berdasar kepada Qur'an dan Hadits dalam memahami hakikat. Sementara filsafat adalah metologi memahami hakikat dengan kaidah-kaidah akal-gamblang. Sebenarnya, bisa dikatakan sebagai pengemabangan logika. Kare- na logika cara menyusun pikiran, dan filsafat, adalah memahami hakikat dengan pikiran yang tersusun. Ringkasnya, filsafat adalah ilmu akal yang tujuannya memahami hakikat wujud. 

Kalau orang Kalam, merasa harus selalu menjaga lahiriah Qur'an dan hadits, hingga kalaulah menggunakan akal, maka sebatas yang diperlukan. Tetapi kalau filosof sebaliknya. Yang jadi pedoman adalah kaidah-gamblangnya. Yakni kaidah akal yang gamblang alias berbobot ilmu- mudah. Seperti kita ada, alam ada, kita dan alam sama-sama terbatas dst. Mereka yakin, bahwa tidak mungkin Qur’an dan hadits bertentangan dengan akal-mudah ini. 

Karena keduanya diturunkan untuk dipahami manusia dan akal kita ini dicipta Allah sebagai alat untuk memahami keduanya. Oleh karenanya para filosof menjadikan akal dasar dari pencariannya, dan kalau menjumpai Qur'an-hadits bertentangan dengan akal, maka mereka tidak ragu menak- wilnya. tidak seperti para Teolog. 

Sedangkan irfan, dulu, adalah cara untuk memahami hakikat dengan membersihkan hati dari cinta dunia. Tetapi sejak Mulla Shadra ra, temuan-temuannya sudah bisa membuktikan dengan filsafat dan akal. Tentu saja beda rasa diantara temuan keduanya. Artinya temuan irfan lebih afdhal karena dengan pencapaian, sementara dengan filsafat hanya pemahaman. 

Nah, setelah kita tahu semua itu, perlu diketahui, bahwa wahdatulwujud ini hanya temuan irfan/ sufi hakiki. Sementara filsafat, tidak dapat menjangkaunya, kecuali filsafat Mulla Shadra ra yang dikenal dengan Hikmah Muta’aliyah. Itupun hanya beberapa baris dari kitabnya yang 9 jilid itu. Jadi, tidak heran kalau ada pengajar filsafat Mulla Shadra tetapi anti pada wahdatulwujud irfani. 

Jadi, jangan dikira bahwa filsafat Mulla Shadra berisi wahdatulwujud irfan. Dia penuh dengan filsafat dan paling tingginya hanya wahdatulwujud filsafat. 

Maksud dengan penuh dengan filsafat yakni penuh dengan bahasan seperti sebab-akibat, esensi, substansi dan aksiden, gerak....dst..dimana merupakan bahasan filsafat. Maksudnya, penuh dengan pembuktian dan pembahasan mereka alias tentang semua wujud yang, di dalamnya termasuk wujud Tuhan. Jadi, filsafat, sekalipun filsafat Mulla Shadra, secara umum, mengakui dan membuktikan semua keberadaan selainNya. Oleh karenya, secara umum, filsafat tidak dapat menerima kenyataan wahdatulwujud irfani ini. 

Sekarang baru sampai kepada jawaban pertanyaan Anda: Bahwa kalau filsafat saja nasibnya seperti itu, maka Kalam dan Teologi sudah tentu lebih parah darinya. Oleh karenanya, secara umum, para Teolog menolak konsep wahdatulwujud ini. Oleh karenanya, Teologi tidak memiliki pendekat untuk menerima konsep wahdatulwujud ini dan bahkan menganggapnya sebagai konsep sesat yang bertentangan dengan akal dan Qur'an-hadits. Sekian.... Terima kasih 

Al-Fatihah- sholawat.. 


Sinar Agama: Salam, maaf Anggelia, terpaksa kuterbitkan lagi karena banyak yang mau, dan sepertinya sulit mencari di tempatmu, sepertinya sudah ada orang yang pakai namamu sebagai akun, dan lain-lain.





اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ