Minggu, 05 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 15)




Seri: Tanya-jawab Giri Sumedang dengan Sinar Agama (Tentang Ilmu Tuhan dalam Kalam dan Irfan) 
by Sinar Agama (Notes) on Monday, April 4, 2011 at 9:59 pm


Giri Sumedang: Mau nanya ya kak, bagaimana cara Tuhan melihat makhlukNya, apakah dengan cara langsung atau tidak? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Sebelum saya jawab tolong dijelasin dulu apa maksud Anda dengan ”langsung” atau ”tidak langsung” disini. 

Giri Sumedang: Maksud langsung yaitu apakah itu tindakan di dalam diri (immanent) atau tidak langsung yaitu apakah ia cukup menyadari dirinya maka niscaya seluruh keberadaannnya diketahui kak? heemm. 

Sinar Agama: Giri, aku sebenarnya ingin langsung menjawab. Tapi sebelum itu ijinkan aku mensistematiskan ucapanmu dulu. Semoga kamu tidak marah. Dalam tulisanmu itu, terutama ”... seluruh keberadaannya..” nya disni itu kepada siapa. Tolong tulis lagi dengan huruf yang benar. Kalau Tuhan harus dengan huruf besar, begitu pula dengan kata ganti ”nya”. Terimakasih, jangan khawatir, nanti ana jawab kalau sudah benar penulisan dan maksudnya sudah jelas. 

Giri Sumedang: Memang siapa kah lagi kak yang mempunyai keberadaan? Apakah ada wujud lain yang mempunyai segala sesuatu selain sang subyek tunggal, yaitu ADA? Maaf. 

Sinar Agama: ha ha ha... Sekarang jadi jelas sudah. 

Tentang pengetahuan Tuhan tentang makhluk, bisa dilihat dari dua sisi. 

1. Sisi ilmu Kalam 

Dari sisi ilmu Kalam, yang masih mengakui adanya makhluk di samping adanya Tuhan. Sepertinya yang Anda maksud dengan Adanya Tuhan di sini adalah Adanya sesuatu yang tidak memiliki batasan. Dan, sudah tentu lawannya adalah adanya sesuatu yang memiliki batasan. 

Di sini, yakni dalam pandangan seperti ini, maka pengetahuan Tuhan terhadap makhukNya tidak langsung. Artinya, Tuhan hanya mengenali DiriNya sendiri, lalu dengan mengetahi DiriNya itu, Ia, mengetahui semua makhlukNya. Dengan alasan dan dalil, bahwa makhluk itu adalah akibatNya. Dan sebab, sudah tentu memiliki kesempurnaan akibatnya yang, sudah tentu bahkan lebih tinggi. Karena kalau sama, berarti sebab itu sejajar dengan akibatnya. Jadi, karena semua sebab itu lebih tinggi dari akibatnya, maka Tuhan yang merupakan sebab bagi semua makhluk, maka sudah tentu di samping Ia memiliki kesempurnaan makhluk, Ia juga memilikinya secara lebih sempurna. 

Dengan demikian, ketika (pinjam kata, karena ketika ini waktu, sementara yang kita bahas ini adalah Tuhan yang ada seblum ada waktu dan ketika) Tuhan mengetahui DiriNya sendiri yang merupakan seluruh kesempurnaan makhluknya ditambah dengan nilai plusnya dimana hanya merupakan milikNya, maka Ia mengetahui semua makhlukNya. 

Jadi, mengetahui DiriNya sama dengan mengetahui makhlukNya. Inilah yang disebut dengan pengetahuan tidak langsung Tuhan. 

Pertanyaannya, apakah pengetahuan tidak langsung itu lebih afdhal dari yang langsung,. atau sebaliknya? 

Jawabnya adalah lebih afdhal dan lebih sempurna. Karena kalau Tuhan mengetahui makhlukNya secara langsung, maka sudah pasti dalam IlmuNya itu terdapat gerak dan proses serta serba serbi dan macam-macam makhluk yang ada. Karena itu, maka IlmuNya menjadi terpetak-petak sebagaimana obyeknya atau sebagaimana makhluk ini. Dan kalau IlmuNya itu terpetak-petak, maka setiap petakannya, sudah pasti terbatas. Dan kalau IlmuNya merupakan tumpukan atau kumpulan dari petakan-petakan yang sama-sama terbatas itu, maka sebanyak dan seluas apapun IlmuNya itu, akan tetap menjadi terbatas. 

Dan kalau ImuNya menjadi terbatas, maka sudah pasti ada awal dan akhirnya. Dan kalau ada awalnya, maka sebelum awal itu Tuhan tidak tahu apa-apa. Dan kalau demikian berarti harus ada pengajar bagiNya seperti tahu. Karena ketika Tuhan tidak tahu, maka tak mungkin mengajari DiriNya sendiri karena yang tak punya tak mungkn memberi. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kalau ilmu Tuhan itu terpetak-petak, maka menjadi terbatas, dan kalau terbatas maka membuatNya diajari. Dan yang diajari, sudah pasti bukan Tuhan, tapi makhluk.

Mungkin ada yang bertanya, tadi kan dikatakan bahwa kesempurnaan sebab itu adalah semua kesempurnaan maklhluk ditambah nilai plusnya, nah... mengapa disini tidak diterapkan? 

Artinya, mengapa kita tidak mengatakan bahwa Tuhan tahu tentang makhlukNya yang beragam dan terpetak-petak ini, tapi selain itu Ia mengetahui DiriNya sendiri yang tidak terbatas, hingga dengan demikian IlmuNya menjadi tidak terbatas hingga tidak perlu lagi ada awal dan diajari? 

Jawabnya adalah, seluas apapun Ilmu Tuhan, tapi kalau di sebagiannya memiliki petak dan batasan, maka semuanya akan menjadi terbatas. Yakni tidak mungkin menjadi tidak terbatas. Misalnya, sebagian Ilmu Tuhan adalah terhadap DiriNya yang tidak terbatas, dan sebagiannya yang lain adalah IlmuNya terhadap yang terbatas. 

Maka dengan keberadaan IlmuNya yang terbatas ini, membuat yang tidak terbatas itu, terseret menjadi terbatas. Karena ketika ada yang terbatas, maka berarti sudah ada pangkal. Dan kalau sudah ada pangkal maka tidak mungkin tidak ada ujungnya. Karena yang dikatakan pangkal itu adalah dilihat dari ujungnya. 

Atau dengan bahasa yang lebih ilmiah dan memakai bahasa Logika, pangkal dan ujung itu adalah dua pahaman yang saling terkait (mutadhaifain), seperti atas dan bawah. Yakni suatu pahaman yang tidak akan pernah dipahami kecuali dengan memahami lawannya. Atas, tidak akan dipahami kecuali dengan memahami arti bawah. Nah, pangkal dan ujungpun demikian. 

Karena itu, kalau IlmuNya itu memiliki yang berpetak, maka pasti sudah ada pangkalnya. Dan kalau ada pangkalnya, maka tidak mungkin tidak ada ujungnya. Karena itu, akan membuat Ilmu Tuhan terhadap DiriNya yang semestinya tidak terbatas itu, akan menjadi terbatas, karena ditarik oleh pahaman pangkal tadi. 

Dengan pemnjelasan di atas ini, yakni sesuai dengan penjelasan ala ilmu Kalam dan Filsafat ini, maka dapat dipahami bahwa Ilmu Tuhan terhadap makhlukNya adalah tidak langsung, dan Ilmu yang tidak langsung Tuhan ini jauh lebih sempurna dari ilmu langsung yang penuh proses dan petak-petak ini. 

2. Sisi Ilmu Irfan 

Untuk jawaban dari ilmu Irfan ini, saya tidak akan menjelaskannya lagi di sini, karena sudah sangat rinci saya bahas di catatan tentang Irfan yang sudah sampai ke bagian 14 itu. Silahkan saja menyimak di sana secara perlahan. 
Ringkasnya: 

a. Karena dalam irfan Ada itu hanya Tuhan, dan yang lainNya itu tidak ada, yakni bukan keberadaan terbatas, akan tetapi benar-benar tidak ada, maka semua yang kelihatan ada ini hanyalah esensi semata yang, biasa disebut dengan bayang-bayangNya, wajahNya, ceritaNya, cerminNya, manifestasiNya, tajalliNya ....dst.. 

b. Karena wajah-wajah itu tak mungkin terlihat wajah (bukan ada) tanpa Ada, maka sudah tentu semua esensi itu bergelantungan di AdaNya, secara detail dan rinci. 

c. Dan karena esensi itu diliuar Ada dan hanya bergelantungan padaNya, maka sudah tentu, semua kerincian dan petak-petaknya tidak akan pernah membuat AdaNya tercemari sedikitpun. 

d. Kesimpulan Irfannya: Allah atau Sang Hanya Satu-satunya Ada itu, mengetahui semua makhluk dengan seluruh petak-petak dan kerincian serta proses-prosesnya, secara langsung. Akan tetapi semuanya itu tidak membuat IlmuNya menjadi, terpetak, terproses dan terinci. Karena itu Ilmu langsungNya itu tetap tidak terbatas. 

e. Untuk rincian dalil premis-premis yang dipakai dalam argumentasi Irfan di atas, Anda bisa mendapatkannya di bagian-bagian Wahdatu al-Wujud sebelumnya. Semoga bermanfaat. 

Wassalam. 

HenDy Laisa, Agoest Irawan, Sabara Putra Borneo dan 18 lainnya menyukai ini. 

Dharma Dharma Narendra: Izin share ustadz...... syukron. 

Sinar Agama: Dharma, ok, silahkan. 

Imam K.L.: Berhati hatilah syiah itu bukan islam. Buat mereka (syiah) menghujat para shahabat dan Istri Rasul Radiallahu’anhum adalah ibadah dan mendapatkan pahala, sementara Muslimin selalu bersholawat pada mereka (Shahabat dan istri Rasul). 

Sinar Agama: (catatan tentang komentar-komentar akun yang bernama Imam KL) Tadinya saya ragu mau memuat komentar-keomentar Imam KL ini, karena banyak umpatannya ke atas kami dan syi’ah, seperti laknat, keparat, haram jadah, tai anjing. Akan tetapi, karena di dalam kata- katanya masih ada yang perlu ditanggapi, maka saya mengedit tulisan-tulisannya supaya tidak terlalu nampak kotor, yaitu dengan membuang kata-kata yang tidak semestinya tersebut. 

Said Mukhtar: Hanya Syiah melalui ajaran Imam-Imam Sucinyalah yang mampu menjawab seluruh ilmu. 

Mujahid As-Sakran: @Imam KL; Ente yang harus hati-hati, dari nama dan gambar sudah terlihat kalau ente itu pendengki dan hasad dan miskin ilmu. 

Mujahid As-Sakran: Afwan ustad, komen ana agak kekencangan, he..he... 

Sinar Agama: M.A, ahsantum. 

Jatmanto Yanto: Mohon ijin share. 

Sinar Agama: Yanto, ok silahkan saja. 

Dharma Dharma Narendra: Anda (Imam KL) yang memakai nama seorang alim dan menambah- kan kata laknat serta memakai profil photo yang tidak sepatutnya .... kalau anda yang benar mengapa anda tidak bersikap lebih sopan dan tawadhu ??? Kalau anda merasa benar mestinya kemuliaan itu milik anda ..... mengapa engkau menghina orang yang seluruh hidupnya sudah berusaha menjaga diri dan mengorbankan jiwa raganya hanya untuk membela Ad Din Al Islam... bahkan Al Khomenei membela mati-matian rakyat Palestina sekalipun itu membahayakan nyawa- nya bahkan rakyat Iran .... apakah engkau wahai penghina Al Khomenei tidak merenung ?? 

Imam KL: Oh ilmu yg mana ??? Ana sama sekali tidak melihat keilmuan bahasan ustad Sinar!! Ayat Al-Qur’an tidak boleh ditafsirkan hanya dengan otak kotor ustad syiah ini!! Jelas dalam al-qur’an Allah SWT berfirman dalam surat Al Qiyamah ayat 19 “Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. 

Dharma Dharma Narendra: Ohh begitu ???... Jadi anda merasa benar sehingga tidak perlu sopan ?... Ohh anda merasa berilmukah ???... Ha ha ha.... jadi denga apa anda menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an Al Karim ?... Dengan kata-kata kotor anda tdk mungkin kebenaran sejati menyebar di jagat ini .... ha ha !... Sebenarnya andalah yang punya otak kotor sehingga keluar kata-kata kotor itu dari otak anda ..... Ha ha ha ! Memalukan si benar satu ini !!! 

Anggelia Sulqani Zahra: Imam Ali as : Orang Yang Alim mengetahui Orang Yang Bodoh Karena Dia Dahulunya Orang Yang Bodoh’ Sedangkan Orang Yang Bodoh Tidak Mengetahui Orang Yang Alim Karena Dia Tidak Pernah Menjadi Orang Alim. 

Imam KL: Ayo apa makna surah Al Qiyamah di atas? Sipakah? Dengan instrumen apakah? Dengan koridor apa ayat-ayat Al Quran di jelaskan? Apakah ustad Sinar ini sudah memenuhi syarat? Ayo jawab syiah keparat!!! Loh anda kok keberatan ana keluarkan kata-kata kotor? Bukankah telah datang dengan sangat banyak sekali kata kata kotor dalam kitab-kitab syiah yang sahih? Hujat terhadap Ummahatil mu’minin, caci maki terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman radiallahu ‘anhum.... Apakah anda tidak pernah membaca kitab anda sendiri sehingga merasa aneh dengan kata-kata sampah sumpah serapah? Berarti anda telah membeli kucing dalam karung... kaciaaan deh loh. 

Wahai ustad Sinar!!! Ana gak akan pernah berhenti untuk menelanjangi kesesatan anda dan paham iblis syiah anda... Apapun resikonya... Sampai tetes darah penghabisan camkan itu! 

Anggelia Sulqani Zahra: Hampir sama dengan sumpahnya iblis ketika dimasukkan ke neraka.. hehehe. 

Dharma Dharma Narendra: Betul... memang orang berjiwa tidak bersih ya begitu... bukannya berfikir malah keras kepala lagi .... jika seluruh manusia di bumi ini kafir saja tidak mengurangi Kemuliaan Allah .... masa’ orang yg merasa benar’ ini gerah seperti cacing kepanasan.... ha ha ha..... kasihan sekali syiah Al Saud satu ini .... 

Yustanur: Sayangnya tulisan ini tidak dilengkapi dengan Alqur'an dan hadist maaf.. 

Imam KL: @anggelia ... kapan iblis dimasukkan ke dalam neraka?? Aduh bodohnya ni orang... Mangkanya sebelum ngelantur kemana-mana mending baca lagi Al qur’an... syiah tolol tapi sok pintar ... . semua pengikut syiah imamiyah adalah pezinah berkedok mut’ah... 

@yustanur... hati hatilah dengan ustad ini, dia berpaham syiah imamiyah, mereka mengatakan Al qur’an telah diubah bahkan salah seorang ulama Baqir al Majlisi mereka berkata” telah kafir siapa saja yang meyakini Al qur’an itu masih asli”. Syiah ini juga meyakini bahwa para manusia telah murtad sepeninggal Rasulullah SAW kecuali hanya 3 orang, rukun islam mereka berbeda dengan rukun Islam muslimin, mereka tidak memasukkan Syahadat sebagai rukun Islam, Rukun Iman mereka pun berbeda dengan rukun Iman Muslimin pada umumnya, mereka menghapus Qadh dan Qadr dari rukun Iman... apakah manusia seperti mereka masih layak disebut Islam?? Silahkan anda renungkan dan jawab sendiri... salam. 

Mereka penganut syiah ini hanyalah segerombolan orang yang hendak menghancurkan islam dan hendak mendirikan lagi agama majusi yang dianut nenek moyang mereka sebelum di hancurleburkan oleh Umar bin Khattab “AL FAROQ” Radiallahu’anh... oleh sebab itu mereka amat membenci Umar Bin Khattab, mencaci maki dan menista Umar adalah ibadah dan berpahala menurut mereka, sementara kita (Muslimin) bersalawat untuk Baginda Rasulullah SAW, Keluargnya dan para Shahabatnya... masih Islamkah syiah imaamiyah tai anjing haram jadah ini?? 

Khomaini semoga Allah mengadzabnya dengan Adzab yang belum pernah diberikan kepada makhluk lainnya dalam salah satu kitabnya jelas jelas mengatakan bahwa Aisyah Radiallahu ‘Anha sedang diadzab dalam neraka karena berzinah... semoga Allah senantiasa Mengazab Khomaini ini dengan Adzab yang pedih. 

Mereka (syiah imaamiyah berkata” kami adalah kaum yang mencintai dan memuliakan Ahlil bayt Rasul”. Lihatlah bagaimana mereka merendahkan harkat dan martabat Ahlul Bayt Rasul... Salah seorang ulama mereka (syiah) sayyid fathullah Al kasyani dalam kitabnya manhaj ash shadiqin berkata bahwa Nabi SAW bersabda “barang siapa melakukan mut’ah satu kali maka derajatnya sperti derajat Husain as, barang siapa mut’ah 2 kali maka derajatnya seperti Hassan as, barang siapa mut’ah 3 kali maka derajatnya sama dengan derajat Ali as dan barang siapa melakukan mut’ah 4 kali maka derajatnya sama dengan derajatku”. Kemudaian dalam kitab man la yahdhuruhu al faqih 3/366 nabi bersabda “barang siapa mut’ah 3 kali maka dia akan berdampingan denganku di surga”. Lihatlah betapa derajat Rasul SAW dan para Ahlul bait beliau yang mulia derajatnya disamakan dengan orang-orang yang mengumbar nafsu syahwat/birahi.... Apakah mereka (syiah imamiyah tai anjing haram jadah) masih layak disebut Muslimin???? 

Yustanur: @imam terimakasih atas peringatannya..dan @ustadz Sinar Agama mohon ditanggapi apa yang telah disampaikan oleh saudara imam... dan mohon juga penjelasannya tentang nama frofil ustad yakni Sinar Agama.. Agama apa yang dimaksudkan? 

Sinar Agama: Yustanur: Sebenarnya Anda dengan melihat judulnya saja sudah dapat menyadari bahwa tulisan ini adalah bagian ke 15. Jadi, kalau mau ayat-ayat dan hadits-haditsnya silahkan merujuk ke bagian-bagian sebelumnya yang ada di catatanku. Gratis lagi. 

Sinar Agama: Imam KL, maksud dari Anggelia itu adalah ketika sudah diputuskan akan kenerakaan iblis. Emangnya kita bahlul apa, hingga mengatakan siksa neraka sebelum kiamat tiba? Kalau kamu sedikit rasional dan baik sangka, maka sudah pasti dapat dipahami maknanya. 

Kamu yang jelas-jelas tidak mengikuti Qur'an jangan teriak-teriak kayak ketakutan. Apalagi kan kamu percaya takdir baik buruk dari Tuhan, yah... berarti kami sesat menjadi syi’ah, karena Allah dong. Terus mengapa kamu teriak-teriak bahwa syi’ah itu sesat dan kami yang syi’ah juga sesat? Apakah kamu akan berkata bahwa kamu teriak-teriak itu seperti kami yang sesat (menurutmu)? Yaitu karena ditakdirkan Allah juga? Yakni ditaqdirkan berteriak sesat keapda syi’ah dan kepada kami yang syi’ah? Karena itu, lebih bagus kamu teriaki yang menaqdirkan kesyi’ahan dan menaq- dirkan kami menjadi syi’ah, yakni Allah swt sendiri. 

Kamu jelas-jelas tidak mengikuti Qur'an kok teriak-teriak seperti itu? Coba baca dua ayat sebelumnya. Di situ Tuhan berfirman: “Sesungguhnya hanya Kami yang berhak mengumpulkan dan membacakan Qur'an.” Lah ... padahal kamu berkata bahwa yang ngumpulin dan menyusun Qur'an adalah Utsman? Gimana ini? 

Sedangkan tentang bayan dan penjelasan Qur'an itu, memang harus berpulang kepada Allah. Karena itu untuk memahami ayat-ayat Tuhan, harus melihat ayat-ayat lainnya hingga menjadi jelas maksud pada ayat tersebut. Karena ayat-ayat lainnya adalah penjelasan Tuhan terhadap ayat yg dimaksud. Ini makna pertama. 

Makna ke duanya, adalah kita harus melihat kepada penjelasan Nabi saww. Karena Nabi saww sesuai dengan ayat Tuhan, tidak berbicara sesuai dengan hawa nafsunya, tapi sesuai dengan wahyuNya selalu. Karena itu, maka semua sabda, perbuatan dan taqrirnya, adalah wahyuNya dan merupakan penjelasan terhadap Qur'an. Ini makna ke dua tentang penjelasan Tuhan akan al-Qur'an. Yakni melihat hadits-hadits Nabi saww. 

Makna ke tiganya adalah melihat penjelasan orang-orang makshum setelah Nabi saww. Yaitu yang dikenal dengan Ahlulbait yang makshum yang disaksikan Ummu Salamah yg mana beliau sendiri tidak diijinkan Nabi saww untuk menjadi Ahlulbait yang makshum ini dan hanya menjadi ahlulbait yang biasa. Yaitu ketika Tuhan menurunkan QS: 33: 33 dimana di sana jelas katakana bahwa Tuhan hanya ingin menghindarkan Ahulbait dari dosa dan membersihkan mereka sebersih bersihnya. Mereka itu adalah imam Ali as dan seluruh imam makshum yang berjumlah 12 orang ditambah dengan siti Faathimah as bintu Rasulillah saww. 

Ketahuilah ya yang bernama akun “imam KL”: ketika kamu tidak berpegang kepada orang makshum setelah Nabi saww., maka bagaimana mungkin kamu meyakini ada di jalan lurus atau shiratulmustaqim? Padahal Tuhan mengatakan jalan lurus itu adalah jalan yang tidak sesat/salah sedikitpun (wa laa al-dhaalliin)? 

Bagaimana mungkin jalan lurus yang tidak salah sedikitpun itu bisa ada dan esksis kalau tidak ada orang makshum setelah wafatnya Nabi saww? Padahal Tuhan mewajibkan kita memintanya terus dalam setiap shalat kita sehari-hari. Apa mungkin Tuhan menyuruh kita memintanya tapi Tuhan tahu bahwa ia (jalan lurus) itu tidak ada? 

Dengan demikian dapat diketahui bahwa perintah meminta jalan lurus itu = kewajiban mencari imam makshum. 

Sedang makna ke duanya adalah merujuk ke hadits-hadits Nabi saww karena belaiu saww adalah utusan dan penjelas kitabNya. 

Makna ke tiga adalah harus merujuk kepada Ahlulbait yang makshum yang telah disucikan di QS: 33: 33. 

Sedang fitnah kamu tentang imam Khumaini ra terhadap ‘Aisyah itu, hanya Tuhan yang dapat membalasnya kelak. Justru orang-orang dan ulama syi’ah, yang gigih menolak fitnah tidak senonoh (fitnah zina) kepada istri-istri Nabi saww, baik pada ‘Aisyah atau istri yang lain. I-Allah di kemudian hari akan saya tulis, bahwa yang menfitnah itu, menurut hadits-hadits sunni sendiri, justru ‘Aisyah terhadap istri Nabi saww yang lain, yiatu Mariah Qibthiyyah ra. 

Sinar Agama: Yustanur: tentu saja Agama yang dimaksudkan di profilku adalah agama Islam. 

Imam KL: @ustad sinar .... nih baca tulisan murid antum ========> Anggelia Sulqani Zahra hampir sama dengan sumpahnya iblis ketika di masukkan ke neraka.. hehehe ======= ketika dimasukkan ke neraka. Iblis mengatakan ini sewaktu dia dikeluarkan dari surga referensi terlengkap tentang hal ini tercantum dalam Al A’raf ayat14-17 silahkan langsung ke TKP. 

Demi Allah kisah ini telah saya ketahui sejak saya di bangku sekolah dasar, pertanyaaan saya, apa yang anda ajarkan wahai ustad Sinar? Bagaimana tanggung jawab anda mempunyai murid seperti perempuan jahil di atas, kalian membahas masalah yang berat tapi pada dasarnya antum dan murid-murid antum adalah gerombolan orang jahil/bodoh/tolol dan ahmak. 

Apakah murid perempuan anda hanya anda pergunakan untuk memuaskan nafsu birahi/syahwat anda melalui mut’ah sehingga anda lalai mengajarkan hal yang paling dasar, sementara saya waktu Sekolah dasar telah faham terhadap kisah ini. 

Wahai USTAD SINAR! Karene takdir? Jadi anda menyalahkan Allah atas apa yg terjadi... Hahaha alangkah besar kekufuran anda... Naudzubillah..... kenapa anda menyalahkan Yazid bin Muawiyyah, kenapa gak sekalian anda salahkan Allah atas apa yang berlaku terhadap Husein Radiallahu’anhu??? Hahahahah... ternyata anda ini PINPINBO “pintar pintar bodoh”. 

@ ustad Sinar.. bacalagisurah Alqiyamahituayatbersambungkokjanganterburu-buru, bacapelan- pelan baru anda tau itu dikumpulkan Allah dimana... masa ustad bego... hahahahahahahahah. 

BAYAN itu apa coba lagi jelasin hahahaha... ana jadi gatal bikin screen shot nunjukin jahilnya ustad Sinar. 

Antum mau salto ke hadits Kisa’, dari mana antum bisa putuskan bahwa yang di sana ada 12 IMAM? Ngarang loh dasar ustad ..... yang di situ cuma ada 6 orang kok, yang masuk selimut 5 orang 1 orang adalah saksi mata, terus kok bisa antum bilang ada 12 imam? Mimpi ya? Atau memang anda sudah gila? 

@Yustanur... sudah jelas kan kekafiran dan bodohnya USTAD SINAR INI? 

@ Sinar ... anda masih ngaku islam ?? Coba jelaskan pada YUSTANUR .. apa saja rukun islam dan rukun iman anda! Hayo kalau berani... jangan pakai taqiyah ya/ berbohong/ tepu dkk... hahahahahahaha... kalau pake bohong ana akan bongkar antum dan kebusukan syiah antum itu!! 

AL Awwaab: Saya pengen tanyak sama Sinar agama,, ilmu itu dicerna dari ayat AL QUR’AN atau HADIST atau istimbat ULAMA’ ??? Kalau bisa beri tau kami marja’ ilmu yang pean sebutkan di atas??! Syukron>> 

Sinar Agama: Ahmad (Al Awwaab?), ilmu itu adalah informasi dalam jiwa manusia, atau dalam diri malaikat atau dalam Zat Allah. Tentu saja yang dibicarakan adalah yang ada pada manusia, jadi jawabanku yang ada pada manusia sebagai berikut: 

Ilmu manusia tentu saja ada di akalnya karena akal dicipta Allah untuk memahami dimana hal ini tidak ada pada binatang. 

Nah, ilmu yg ada di akal manusia ini, bisa didapat dari berbagai cara. Misalnya dari panca indra, karena itu dikatakan sebagai ilmu panca indra. 

Ada yang didapat manusia melalui perenungan atau berfikir dan mengumpulkan dalil-dalil, ini dikatakan sebagai ilmu-argumentatif. 

Ada lagi ilmu yang didapat dari informasi, seperti dari info-info Qur'an atau hadits, atau dari siapa saja yang telah memberikan informasi kepada kita. 

Semua ilmu-ilmu itu, akan dikatakan benar, manakala sesuai dengan kenyataannya. Dan sebenarnya yang tidak sesuai itu bukan ilmu pada hakikatnya, tapi disebut dengan jahil murakkab atau kebodohan ganda. Karena dia tidak tahu akan masalahnya dan tidak tahu pula kalau dia itu tidak tahu, jadi ada dua kebodohan atau dua ketidaktahuan. 

Yang manjadi masalah banyak orang dan banyak kekeliruan di dalamnya dan penuh dengan dakwaan diri, adalah ilmu-ilmu yang didapat dari informasi al-Qur'an dan hadits. 

Hal itu, karena semua orang mengaku bahwa yang ia pahami dari Qur'an dan hadits itu adalah yang benar, dan punya orang lain yang salah. 

Contoh pengumpulan Qur'an. Dalam ayat yang sudah saya sebut di atas itu, jelas dikatakan bahwa hanya Allah yang berhak mengumpulkan Qur'an sebelum mengajarkan cara baca dan sebelum menjelaskannya. 

Tapi si imam-pengumpat itu tidak terima yang pertamanya dan hanya mendakwa diri pada yang ketiganya. Padahal ia memahami ketiganya itupun dari kepalanya sendiri yang jelas diancam neraka. Kalau Allah tidak menjelaskan Qur'an lewat Qur'anNya (lewat ayat lainnya) dan tidak juga melalui NabiNya serta orang-orang makshum setelah NabiNya, maka terus buat apa Qur'an itu diturunkan? 

Bukankah Qur'an itu diturunkan untuk dipahami dan sebagai hidayah buat manusia? Bukankah Tuhan sendiri mengatakan Qur'an itu ada yang jelas dan ada yang samar? Nah, berarti yang jelas, tidak perlu bertele-tele. Misalnya jalan lurus. Bisa nggak jalan lurus itu ada tapi tidak ada orang makshum dalam ilmu Islam dan amalnya setelah Nabi saww? 

Sedang yang samar, maka disinilah yang Allah katakan ”Maka atas Kamilah penjelasannya” dimana ayat ini adalah bagian ke tiga setelah pengumpulan dan pengajaran cara bacaannya. 

Nah, ayat-ayat yang samar inilah harus merujuk ke Allah yang, tertuang dalam Qur'an alias ayat- ayat lainnya yang jelas, dan NabiNya serta orang-orang makshum yang meneruskan NabiNya. 

Memahami hadits juga demikian dan bahkan lebih sulit. Karena hadits harus dilihat shahih dan tidaknya dulu baru diusahakan untuk dipahami. Begitu pula hadits jauh lebih banyak jumlahnya dari ayat-ayat Qur'an. Jadi memahami hadits lebih sulit, karena Qur'an tidak perlu penelitian terlebih dahulu lantaran sudah muttafakun ’alaihi. 

Memang, hadits dalam arti kadar takaran infonya akan lebih mudah dari Qur'an karena ia penjelas Qur'an, jadi harus lebih mudah dari yang akan diperjelasnya. 

Kesimpulannya: Apapun ilmu itu, apakah Panca Indrawi, Argumentatif, atau infoitif (baik dari Qur'an atau hadits atau yang lainnya), semua dan semuanya, berpulang kepada akal manusia. Karena itu yang dipahaminya tentang Qur'an dan hadits, belum tentu keduanya. Karena yang ada di akalnya itu belum tentu maksud Tuhan dan NabiNya. Karena itulah kita manusia muslim ini harus memiliki imam yang makshum sampai pada hari kiamat. Supaya dapat dengan yakin mengikuti Qur'an dan hadits yang sesungguhnya. Karena itulah maka imam atau khilafah setelah Nabi saww itu tidak bisa dipemilukan atau dipaksakan seperti yang kita lihat dalam sejarah dan Saudi sekarang. 

Sinar Agama: Imam KL, kamu yang suka ngumpat: Bahasanmu sebagiannya sudah kujawab di jawaban pada saudara Ahmad. Tentang hadits kisaa’ itu maka jelas sekali kepembangkanganmu. Karena kamu tidak mengikuti yang 5 itu sebagai orang makshum. Nah, kalau kamu mau konsekuen, maka ikuti dulu para makshum yang lima itu, baru nanti bicarakan yang lainnya. Ini yang pertama. 

Yang ke dua, kelimaanorang yang lima orang (ashhaabu al-kisaa’) itu karena memang yang lainnya belum lahir. Yakni pada jaman asbabulwurudnya hadits, imam-imam lainnya belum lahir. Karena itu hadits itu harus dipahami dengan hadits-hadits yang lain atau ayat kalau ada penjelasannya. 

Dalam hal ini, ayatnya saja sudah jelas dengan perintah Allah untuk membaca Fatihah dalam shalat dimana di dalamnya ada permintaan akan jalan lurus yang tidak tersesat atau salah sedikitpun. Dari sisi ini, dapat dipahami bahwa orang makshum itu harus ada sampai pada hari kiamat tiba. Karena kalau tidak ada orang makshum itu, maka tidak mungkin ada jalan lurus dan akan menjadi sia-sialah Tuhan memerintahkan kita membaca Fatihah dalam shalat kita. 

Masih banyak lagi penjelasan ayat-ayat tentang adanya imam makshum ini. 

Tentang hadits, maka sudah jelas di Bukhari dan Muslim dikatakan oleh Nabi saww bahwa setelah beliau saww ada 12 imam yang semuanya dari Quraisy. Nah, dari satu sisi jumlah imam 12 orang, dari sisi lain jalan lurus itu harus ada dan dipegang oleh orang makshum, dan dari sisi ke tiga, kita dilarang mengikuti orang yang punya dosa dan kafir sebagaimana dikatakan dalam QS:76:24 ”Dan jangan ikuti orang-orang yang berdosa atau orang-orang kafir”, maka dengan 3 hal ini dapat disimpulkan bahwa imam itu 12 orang karena harus tidak punya dosa alias makshum. 

Karena itulah untuk memahami ayat bisa dengan akal (kalau mudah atau argumentatif yang biasa dikenal dengan muhkamaat atau jelas) bisa dengan ayat-ayat lain dan hadits Nabi saww atau dari imam makshum as (untuk yang mutasyabihaat atau samar). Wassalam. 

Imam KL: Ngomong apa lagi ente ustad .. sudah lah gak usah menjelaskan Alqur’an pada ana yang pasti ana lebih jago dan mengerti dari pada anggota syiah dan seluruh ustad Syiah!! Mengikuti logika anda ... makshumkah Hassan Bin Ali ra yang telah berdamai dan membai’at Muawiyyah bin Abu Sofyan ra? Berarti salah satu imam antum telah mendurhakai/bermaksiat dengan wasiat Rasulullah SAW. 

Apakah orang yang mendurhakai/bermaksiat dengan wasiat PENGHULU PARA NABI DAN RASUL masih layak disebut ma’sum? Dasar otak bodoh syiah. 

Wahai ustad HINA DINA!!! Anda bilang sepakat akan aslinya Al Qur’an... mari kita tanya pada BAAQIR AL MAJLISI yang menjawab ”telah murtad siapa saja yg mengatakan Alquran itu masih asli”... Lalu apakah anda lebih hebat dari BAAQIR al Majlisi yang lagi BAAQIR itu? 

Alangkah bodohnya anda ustad memotong hadits Buhari Muslim tentang 12 Imam... redaksi aslinya adalah bersabda Rasulullah SAW ”Islam akan jaya dalam pimpinan 12 imam/pemimpin ........ semuanya dari Qurays ”. Pertanyaan saya... di tangan Imam Kalian yang mana Islam telah jaya????? Ayo jawab ustad Sinar!!! 

Mengenai Al quran ... lebih baik antum ajari dulu sejarah keluarnya nenek moyang kalian dan syiah dari surga, ajari mereka termasuk perempuan yang bernama ”Anggelia zul apakek” , jangan lah perempuan itu antum hanya manfaatkan sebagai pemuas nafsu birahi bejat kalian aja... ajari dia tentang keluarnya nenek moyang agamanya dari surga... di sini itu diajarkan untuk anak SD. 

AL Awwaab: Ok.. ustad ana hargai pendapat saudara... cuman yang saya ketahui TUHAN suatu Dzat yang tidak dapat dibayangkan dengan apa pun bentuk panca indra makhluk, karena keminiman kondisi makhluk tersbut.. tidak bisa sama atau disamakan dengan pemikiran makhluk.. karena hal itu dapat mengurangi keagungan TUHAN.. Prihal yang masuk ke akal atau roda yang berputar di akal ga’ semua tepat, adakalanya salah, sehingga kalau manusia itu berjalan atas petunjuk akalnya saja ia akan sesat.. 

Karena itu TUHAN memberi jalan yang tepat dan sesuai dengan tujuan DIA, yakni kitab yang telah diturunkan lewat utusanNYA.. dan setiap ayat-ayatNYA menuntun akal supaya mengenal TUHANnya lewat isi kitab tersebut,, dan inti diberi utusan adalah sebagai guru untuk yang lain, dan sudah barang pasti guru lebih paham dengan apa yang ia ajarkan.. Hulasohnya ustad setiap pemikiran/argumentasi/pancaindra yang tidak sesuai dengan ajaran dan tidak terambil dari isi kitab TUHAN ya berarti keluar dari ajaran TUHAN.. 

Yus Ta Nur: Alhamdulillah ..dari tulisan-tulisan di atas hanya satu yang dapat saya ambil kesimpulan yakni jalan yang lurus (shirotalmustaqim) menurut ustad apakah saya sudah berada pada jalan yang lurus atau ustad sendiri sudah pada jalan yang lurus, kalau kedua jawabannya sudah, apakah saya tidak diwajibkan lagi membaca Surat alfatihah dalam solat? Dan kalau kedua jawabannya belum, sampai kapan saya harus berhenti membaca surat Alfatihah dalam sholat? Dan sekiranya pertanyaan itu ditujukan kepada saya, maka jawaban saya adalah ketika saya membaca surat alfatihah itu saya telah beradada pada jalan yang lurus. Maaf saya tidak pernah sekolah agama saya tamatan SMK mohon koreksinya wassalam. 

AL Awwaab: Satu lagi ustad.. MA’SUM itu khususiyah untuk para nabi bukan yang lain/penerusnya,, hanya saja para penerus yang pilihan, mereka dijaga dari kekeliruan.. (MAHKFUDZ) dan mereka para penerus nabi mmpunyai sifat-sifat yang sangat mulia, penuh pengagungan, sopan dan beradab kepada para pendekat nabi, tidak berani berkata kotor, mencela lebih-lebih melaknat sesama muslim, aktivitasnya selalu ingat TUHAN, nasehatnya bagaikan mutiara.. dan yang paling menakjubkan di hati (mereka tidak terlintas sedikitpun untuk berbuat hal yang makruh fadlan dari hal yang haram.. 

AL Awwaab: W)ahai Yustanur! Anda bertanya pada siapa?? Sebutkan nama ustadnya.. 

Fais Aji Prasityo: Ga usah brdebat, jalani hidup apa adanya.. siapapun yang mencari ridhone gusti Allah tidak (erlu meneliti itu menandakn ketidakpuasan, Allah itu sudah jelas. Sebaiknya telitilah apa yang tersmbunyi dalam dasar hatimu yang sampai sekarang masih misteri. 

Yus Ta Nur: @achmad fargas, ustad yang saya maksud bukan anda tapi ustad Sinar Agama, maaf kalau saudara juga seorang ustad. Wassalam. 

Fais Aji Prasityo: Ga apa-apa manusia itu memang sempurna saking sampurnane dadi salah kaprah sing apik diakoni sing elek dilakoni ngerti rak coy. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua komentarnya. 

Sinar Agama: Imam KL: 

1. Damainya makshum as dengan orang zhalim itu bisa banyak sebab. Misalnya demi kemaslaha- tan Islam. Nabi saww saja pernah berdamai dengan hampir semua orang kafir, seperti kafir Qurasy, yahudi Madinah dsb. Nabi saww itu hanya berperang kala diperangi, itupun kalau punya tentara yang cukup. 

2. Majlisi itu termasuk yang mengimani keaslian Qur'an dan kamu telah menfitnahnya dengan fitnah yang besar dimana hanya Allah yang akan menghakimimu kalau tidak meminta maaf di fb ini kepada al-Majlisi ra. 

Aneh, justru kamu yang tidak percaya keaslian Qur'an. Karena bagi kamu Qur'an itu disusun oleh Utsman, dan ditambahi 112 Bismillaah disetiap awal surat, selain Fatihah dan surat taubat yang tidak memiliki awalan bismillaah. Jadi Qur'anmu dan Qur'anku dan Majlisi sama seratus persen. Tapi keimananmu kepada Qur'an ini tidak sama dengan keimananku (syi’ah). Karena di syi’ah diyakini bahwa Qur'an ini adalah susunan Tuhan, bukan Utsman, dan semua Bismillaah yang ada di awal surat semuanya asli dari Tuhan. Karena itu ayat pertama di syi’ah adalah Bismillaah. 

3. Imam makshum itu adalah imam makshum, berjaya atau tidak, diakui umatnya atau diperangi. Imam itu tidak beda dengan para nabi dan rasul-rasul as. Kalau mereka ditaati, maka umat dan pemerintahannya akan berjaya seperti nabi Sulaiman as. Tapi kalau dikhianati, maka sebaliknya, seperti hampir seluruh nabi. Nabi Yahya as saja syahid digergaji oleh umatnya sampai terpotong dua. 

Betapa banyaknya nabi-nabi as dan rasul as yang tidak berhasil memimpin umat. Tapi bukan karena mereka tidak pandai dan salah memimpin. Karena bagaimana mungkin orang makshum dan pilihan Tuhan kok bisa salah? Kalau gagal dalam masalah pribadi, maka itu salahnya. 

Tapi, jangankan masalah umat, masalah keluarga saja tidak mesti salah pemimpinnya, seperti istri nabi Nuh dan anaknya yang diazab Allah, atau istri nabi Luth yang dihujani batu oleh Allah. Mengapa begitu, karena agama itu bukan paksaan. Siapa yang taat dia selamat dan siapa yang ingkar maka ia celaka. Nah, sosial politik juga seperti itu. 

Masyarakat suatu negara akan baik kalau pemimpinnya baik dan umatnya juga baik. Tapi kalau umatnya seperti Mu’awiyah yang memerangi imam Ali as atau Yazid yang menggorok leher imam Husaian as (tentu saja tentaranya), maka negara itu tidak akan cemerlang dan gagal.

Sinar Agama: Achmad, 

1. Akal adalah obor manusia untuk memahami apa saja yang dihadapinya, baik tentang dirinya, lingkungannya, Tuhannya atau agamanya. Oleh karena itu akal adalah pangakalan segalanya, termasuk pangkalan Qur'an. Artinya Qur'an datang untuk dipahaminya dengannya, bukan dipahaminya dengan malaikat Jibril as misalnya. 

2. Qur'an, memang diturunkan Tuhan untuk membimbing akal, akan tetapi semuanya berpulang kepada akal itu. Qur'an itu seperti guru, sedang akal adalah muridnya. Karena itu, sejauh mana akal dapat memahami Qur'an, maka tergantung kepada akalnya itu. Jadi sekencang apapun kita berteriak bahwa yang kita katakan itu adalah Qur'an, maka sejauh itu pula kita berteriak tentang akal kita. Karena tidak mungkin pahaman akal kita itu kita yakini sudah persis dengan maunya Tuhan atau seperti yang dipahami malaikat Jibril as dan Nabi saww. Karena kita tidak punya dalil untuk itu. Terlebih kita yakin ketidakmakshuman kita dalam ilmu dan amal kita. Atau keterbatasan kita yang kita yakini bahwa kita tidak tahu Qur'an dari awal sampai akhir. Karena itu, Qur'an apapun yang kita pahami dan nukilkan serta ajarkan kepada orang, semua itu adalah pahaman kita tentang Qur'an yang, sudah tentu belum tentu Qur'an yang sesungguhnya. Jadi tetap bisa salah dan benar. Karena itu akal dan Qur'an di sini, sama- sama tidak ada jaminan. 

3. Justru kita harus kenal Tuhan dan Nabi saww dulu dengan akal sebelum kita terima Qur'an. Artinya, kita yakin dulu secara akal bahwa Tuhan itu adalah Esa (bukan Trinitas) dan Muham- mad saww itu adalah nabiNya. Nah, disini, kita tidak bisa menggunakan Qur'an, yakni untuk mengenal Allah dan NabiNya. Karena kalau pakai Qur'an sama saja dengan menipu diri. Artinya, ngapain lagi mau membuktikan Tuhan dan nabiNya kalau sudah percaya Qur'an? Bukankah kalau sudah percaya Qur'an berarti sudah percaya Tuhan dan nabiNya? Nah, permasalahannya adalah mengapa dan apa dalilnya kita percaya Tuhan dan nabiNya sebelum kita mempercayai Qur'annya? 

4. Dari uraian terdahulu dapat dipahami bahwa akal dan Qur'an (yang kita pahami) adalah sama-sama bisa benar dan bisa salah serta sesat. Tentu saja Qur'an yang hakiki, yang ada di ilmu Tuhan dan Nabi saww serta imam-imam makshum, sudah pasti hidayah dan benar. Tapi Qur'an yang kita pahami ini, tidak beda dengan akal kita itu, yakni sama-sama relatif. 

5. Akal yang bertentangan dengan Qur'an yang ada di Ilmu Tuhan dan Nabi saww serta imam makshum as, sudah pasti sesat. Tapi akal yang bertentangan dengan Qur'an yang ada di benak kita, maka belum tentu sesat. Dan bahkan bisa saja Qur'an yang ada di benak kita itu yang sesat. 

6. Misalnya Tuhan mengatakan dalam Qur'an (QS: 75: 22-23): “Wujuuhun yaumaidzin naadhirati * ilaa rabbihaa naazhirati” Ayat ini di sunni diartikan: 

“Wajah-wajah –orang mukmin- pada waktu itu berseri * Kepada Tuhan mereka melihat” 

Kalau di Syi’ah, Tuhan itu tidak bisa dilihat dengan mata, baik di dunia atau akhirat. Karena kalau terlihat dengan mata berarti Tuhan itu benda dan menyerupai makhluknya karena makhluknya bisa dilihat dengan mata. Segudang dalil lagi tentang kemustahilan Tuhan dilihat dengan mata ini. Kalau di Bukhari malah dikatakan Tuhan nanti seperti Bulan Purnama. Atau malah di Bukhari dikatakan nanti ketika Tuhan datang ke ahlu surga, mereka mengingkariNya. Lalu Tuhan menunjukkan betisnya, maka baru mereka semua parcaya bahwa yang datang itu adalah Tuhan dan sujud semuanya. (lihat Shahih Bukhari hadit ke 4919; Shahih Muslim hadits ke: 269). Nah, Qur'an dan haditsnya, dengan akal sunni, saling mendukung bahwa Tuhan itu benda, bisa dilihat dengan mata dan punya betis yang akan ditunjukkan besok seperti orang- orang yang tadinya tidak percaya bahwa dia Tuhan (di surga) bisa menjadi percaya. 

Tapi kalau Qur'an dan hadits Syi’ah tidak seperti itu. Karena akal syi’ah mengatakan Tuhan itu tidak bisa dilihat karena kalau dilihat dengan mata (bukan dengan hati) maka berarti ia adalah benda, terbatas dengan depan, perlu cahaya atau ia sendiri mengelurkan cahaya yang akan menyebabkanNya terangkap dimana yang terangkap itu adalah terbatas dan makhluk. 

Karena itu Qur'an seperti di kebanyakan sunni itu, yakni tafsiran dan pemahamannya itu, tidak benar. Karena itu maka kuncinya ada di dua kata. Pertama pada “wajah” yang ke dua pada “naazhirati”. Kalau kita fokus dan konsen pada makna wajah, maka jelas wajah tidak mungkin bisa melihat. Karena yang melihat itu mata. Tidak ada di dunia ini yang mengatakan wajahku melihat, tapi mataku yang melihat. Nah, sebelum naazhirati itu didahului oleh wajah yang berseri-seri. Karena itu, bagaimana mungkin naazhirati di sini maknanya melihat? Karena itu pasti ada makna lain. Dan ternyata, salah satu makna naazhirat itu adalah dari asal menunggu (intazhara) bukan dari asal kata melihat (nazhara). Karena itu dalam pemahaman syi’ah ayat di atas bermakna seperti ini: “Wajah-wajah berseri * menunggu akan –rahmat- Tuhannya” 

7. Dengan contoh kecil di atas itu, dapat dipahami bahwa Qur'an yang kita pahami ini bukan jaminan. Tapi akal kita yang justru menjadi tumpuan bagaimana akal bisa memahami ayat tsb. Hebohnya kaum muslimin, khususnya yang merasa yakin sendiri seperti yang mengaku imam di salah satu komentator kita ini, adalah karna dia mengira bahwa pahamannya pasti benar. Lah.... dari mana keyakinan itu didapat? Dari Tuhan? Dari Nabi saww? dari malaikat Jibril as? 

8. Karena kembali ke Qur'an itu juga bukan jaminan seratus persen, ditambah lagi Qur'an itu di samping ada yang jelas (muhkamaat) ada juga yang tidak jelas (mutasyaabihaat), maka imam makshum itu diperlukan sampai hari kiamat. Kecuali kalau sudah tidak ada kewajiban lagi untuk meminta jalan lurus yang tidak tersesat atau salah sedikitpun itu. 

9. Dengan uraian terdahulu itu, dapat dipahami bahwa makshum dari salah ilmu dan salah amal, itu harus ada sampai hari kiamat. Hal itu, karena kalau tidak ada maka shiratulmustaqim sudah tidak ada lagi. Dan kalau tidak ada maka memintanya juga tidak pantas lagi dan karenanya dalam shalat bacaannya harus selain Fatihah. 

10. Antum wahai Fargas saudaraku: tidak berkata-kata jelas. Karena antum katakan bahwa tidak ada makshum setelah Nabi saww dan yang ada hanyalah orang baik yang terjadi seperti tidak salah. Nah, tidak salah itu ya....makshum itu. Tapi ketidaksalahannya itu harus bersifat menyeluruh, yakni secara ilmu Islamnya dan begitu pula amalannya. 

11. Antum katakan makshum itu tidak ada setelah Nabi saww mana dalilnya? Sementara QS: 33: 33, jelas Allah katakan bahwa Ia menghindarkan ahlulbait Nabi saww dari dosa dan membersihkan mereka sebersih-bersihnya. Wassalam. 

Sinar Agama: Yustanur, saya atau Anda yang di jalan lurus? Sudah tentu karena kita tidak mak- shum maka kita tidak di jalan yang lurus. Sedang makshum artinya, ilmu Islam lengkap dan benar seratus persen serta diamalkan seratus persen. 

Nah, ilmu kita saja tentang Islam itu seberapa? Dan yang seberapa inipun jaminan benarnya apa? Karena itulah kita harus terus berdoa meminta jalan lurus itu sambil berusaha sampai mendapatkannya. Dan nanti kalau bertemu makshum as dan sudah menyerap semua ilmunya atau setidaknya dalam kontrolnya, maka kita bisa mengatakan sudah di jalan lurus itu. 

Namun, meminta kala itu, tetap harus dilakukan. Karena meminta jalan lurus itu, bagi yang makshum seperti Nabi saww dan para imam as, adalah meminta kelanggengan di dalamnya. Terutama amal-amal yang bisa saja manusia berubah dari makshum ke tidak makshum. Atau setidaknya amal-amal yang belum dilakukan setidaknya bisa dilaksanakan dengan makshum. Misalnya makshum ilmu dan amal, tapi belum pernah haji karena belum mampu atau makshum yang belum kawin karena belum waktunya kawin. Nah, berarti meminta jalan lurus itu, sekalipun bisa bermakna untuk kelanggengannya, tapi juga bisa meminta kepadaNya agar menunjukinya jalan lurus artinya mengamalkan ilmunya tentang haji kalau sudah musim haji atau kawin kalau waktunya kawin (menjadi suami/istri). 

Atau kalau belum ada perang, maka dalam ilmu benarnya tentang perang itu, tetap memintaNya untuk menunjukinya jalan lurus dalam prakteknya kalau sudah ada perang. Jadi, makshum dan tidak makshum tetap meminta jalan lurus, tapi obyek yang diminta memiliki gradasi dan tingkatannya sendiri-sendiri. Wassalam. 

Imam KL: @Sinar .... 1. Apa anda tidak baca sejarah? Berapa banyak Tentara Rasulullah ketika melawan Kafir Qurays ketika perang Badr, Uhud dan lain-lain. Berapa perbandingan jumlah mereka? Anda bilang Rasul tidak pernah memerangi tentara kafir kecuali diserang, bagaimana dengan penyerbuan benteng Haibar?? Rasulullah SAW tidak pernah membuat perjanjian damai dengan siapapun atas dasar takut, bandingkan dengan Hassan bin Ali radiallahu’anhuma yang berdamai dengan Muawiyyah ra ketika Hassan ra mempunyai 80ribu pasukan. Seandainya memang benar hadits 12 imam itu ditujukan ke Hassan ra pastilah beliau akan memerangi Muawiyyah habis-habisan. 

@Sinar ..... nih kata-kata si BAAQIR al majlisi ......... Abu Abdillah berkata: “Al Qur’an yang diturunkan Jibril kepada Muhammad adalah 17 ribu ayat”. Al Kafi jilid 2 hal 463. Muhammad Baqir Al Majlisi berkata bahwa riwayat ini adalah muwathaqoh. Lihat di Mir’atul Uqul jilid 2 hal 525. 

@Sinar .....nih lagi kata-kata si Muhammad Baqir Al majlisi seorang ulama Syiah dalam kitabnya Mir ’atu ’uqul jilid 2 hal 525 berkata: ”Bahwa Al Qur’an mushaf utsmani itu sudah tidak asli lagi dan telah mengalami penambahan dan pengurangan... yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw, barangsiapa yang meyakini Alqur’an masih asli maka dia telah kafir/ Murtad. 

Gimana tuh si BAAQIR al majlisi? Mankanya jangan sembunyikan ajaran sesat ente ya ustad sinar TAI ANJING!!! 

Yang nomer 3. Wah wah wah hebat bener ustad ini berani menilai Nabi Allah telah gagal... Naudhubillah!!! ana gak berani koment yg ini... hiiiiiiiiiiiiiiii mengerikan. 

@All sudah jelas kan dungunya nih ustad Sinar? 

Sinar Agama: Imam: 

(1). Kamu ini sok paham atau merasa paham walau tidak paham tulisan orang? Yang dimaksud dengan cukup adalah bisa dijadikan harapan untuk menang, bukan seimbang. Karena itu, kewajiban semua nabi dan muslim, harus menghitung semunya dimulai dengan jumlah tentaranya dan tentara lawan. Hal ini, yakni menghitung stategi perang, diketahui semua orang. 

Akan tetapi, kadang Tuhan menurunkan perintahNya kepada Nabi saww untuk maju perang walau dengan jumlah yang sedikit. Tentu saja dengan KuasaNya dan dengan menurunkan para malaikatNya. Karena itu mengatakan bahwa 20 orang muslim yang sabar, bisa mengalahkan 200 orang kafir, dengan Kuasa dan pertolonganNya itu. Dan terkadang, Allah mengatakan 1000 muslim bisa menang atas 2000 orang kafir, ketika muslimin dalam keadaan lelah (QS: 8: 65-66). 

Jadi, harus dipisahkan antara kewajiban seorang muslim yang sudah tidak dituruni wahyu syariat lagi untuk maju dan tidak majunya perang. Karenanya harus dihitung. Jangankan kita sebagai muslim, Nabi saww yang ada dalam naungan wahyuNya saja, kalau muslimin dalam keadaan lelah, Tuhan mengatakan perlu 1000 orang untuk mengalahkan 2000 kafir. Jadi, pahamilah tulisan orang, baru berkomentar. Dan jadikan hal-hal yang terang, seperti ayat- ayat di atas itu, atau sejarah yang diketahui semua orang itu, sebagai pengondisi tulisan orang hingga dapat dipahami maksud sebenarnya. 

(2) Rasul saww memang tidak pernah perang dengan orang kafir tanpa diserang dulu atau dikhianati perjanjian damainya, seperti Khaibar. Lalu apa kamu tdk mengetahui bahwa perang Khaibar itu karena khianat para Yahudi terhadap perjanjian damai mereka dengan Nabi saww? 

(3). Nabi saww dan para imam as memang tidak pernah membuat perjanjian dengan siapapun atas dasar takut, dan hal itu sudah kutulis sebelumnya bahwa demi kemaslahatan seperti kemaslahatan Islam. 

(4). Tentang tentara imam Hasan as itu, sepertinya kamu hanya membaca di awal sejarah perangnya saja. Coba baca terus, kan nanti ketahuan bahwa tentara-tentara imam Hasan as itu banyak yang meninggalkan imam Hasan as sampai pada akhirnya panglimanya juga begitu. Entah karena takut atau uang Dinarnya Mu’awiyah dan semacamnya. Semua itu sudah ditulis di sejarah dengan jelas, sebab-sebab mereka meninggalkan imam Hasan as. itu. 

(5). Untuk jumlah ayat-ayat Qur'an, dari dulu sampai sekarang tdk ada kesepakatan. Dulu aku masih di sunni dikatakan bahwa jumlah ayat itu 6666 ayat. Padahal kalau dihitung, jumlah itu sangat tidak cocok. 

(6). Dalam Syi’ah juga ada perbedaan. Akan tetapi yg umum di Syi’ah, jumlah ayat Qur'an itu adalah 6236 ayat (lihat al-Itqaan Fi ‘uluui al-Qur'an, hal. 189-197; Tafsir Majma’u al-Bayaan, jld. 1, hal. 11). 

Di tafsir al-Miizaan dikatakan: 

فقد قال بعضهم :إن مجموع القرآن ستة آالف آية، و قال بعضهم :ستة آالف و مائتان و أربع آيات، و قيل :و أربع عشرة، و قيل :و تسع عشرة، و قيل :و خمس و عشرون، و قيل :و ست و ثالثون تفسير 

13:123 –الميزان 

Sebagian mereka berkata: Sesungguhnya seluruh al-Qur'an berjumlah 6000; sebagiannya berkata 6204; sebagian berkata 6214, atau 6219, atau 6225, atau 6236 ayat. 

(7). Memang, ada satu riwayat yang mengatakan bahwa Qur'an berjumlah 17.000 ayat. Akan tetapi dikatakan oleh penulis al-Kaafi sendiri sebagai hadits yang SEDIKIT/ANEH/GHARIIB. Karena itu dimasukkan ke dalam bab Nawaadir olehnya. Yakni “Sedikit” (maksudnya Aneh). Dan ‘allaamah Majlisi sendiri, sebagai salah satu pensyarah kitab al-Kaafi, mengatakan bahwa hadits ini adalah Muwatstsaq (arti katanya adalah diterima atau yang ditsiqahkan). 

Orang Sunni yg tdk mengenal ajaran dan keilmuan syi’ah dengan baik, apalagi asal serang, maka ketika membaca keterangan Majlisi di atas, maka ia langsung menyerangnya. Dan terlebih lagi ditambahi dengan kata-kata dari koceknya sendiri, seperti yang kamu katakan itu (bahwa yang meyakini keaslian Qur'an adalah sesat/kafir). 

Ketahuilah, bahwa hadits itu banyak ragamnya. Seperti mutaawatir, shahih, hasan dan semacamnya seperti Muwatstsaq ini. Arti hadits Muwatstsaq (yang ditsiqahkan), bukan berarti shahih seperti yang kamu katakan itu. Arti hadits Muwatstsaq dalam Syi’ah adalah HADITS YG DI DERETAN SANAD ATAU PERAWINYA TERDAPAT ORANG YG BERMADZHAB 

SUNNI (sunni yang muwatstsaq atau dapat dipercaya). Dan hukumnya hadits muwatstsaq ini adalah bisa dipakai manakala tidak bertentangan dengan hadits lain yang shahih. 

(8). Memang, dalam keterangan selanjutnya al-Majlisi menukilkan berbagai kemungkinan dari perbedaan yang jauh itu. Diantaranya, mungkin ayat-ayat selebihnya itu adalah hadits-hadits Qudsi yang diturunkan sebagai penjelas ayat-ayat Qur'an, atau karena peletakan nomor- nomor ayatnya, atau titik-titik kalimat-kalimat Qur'annya berbeda hingga menyebabkan perbedaan jumlah ayat. 

Dan kalau pensyarah al-Kaafi yang lain yang bernama al-Mazandaraani, mengatakan bahwa riwayat itu telah salah tulis, yakni kata “ ‘Asyarah” atau “sepuluh” itu adalah berupa tambahan yang disebabkan salah tulis (al-ziyaadah) yang umum terjadi dalam penulisan tangan kala itu. Hingga kata “tujuh ribu” menjadi “tujuh sepuluh ribu” alias “tujuh belas ribu”. Hal itu karena penulisan 17.000 adalah “Sab’atu ‘Asyarah Alf”, jadi kata “ ‘Asyarah” itu kelebihan tulisannya. 

Apapun sebabnya, tidak merubah keaslian Qur'an. Tidak seperti di Shahih Bukhari yang diriwayatkan oleh Umar bahwa ada ayat-ayat yang ada di jaman Nabi saww, tapi telah dihapus di Qur'an yang ada sekarang ini, seperti ayat rajam (Shahih Bukhari, hadits ke: 6830; Shahih Muslim hadits ke: 3201). Sampai-sampai Umar berkata, kalau aku tidak takut orang- orang mengatakan bahwa aku telah menambah Qur'an, maka sudah kutulis ayat rajam itu dalam Qur'an dengan tanganku sendiri (Shahih Bukhari hadits ke: 7169). 

Atau yang dikatakan Umar bahwa ayat yang berbunyi: “Seorang kakek dan nenek, kalau berzina, maka mereka harus dirajam” (Shahih Bukhari hadits ke: 4969-4970; Shahih Muslim hadit ke: 1452 dan 1691). 

Atau kesaksian ‘Aisyah tentang ayat penyusuan yang sudah tidak ada pada Qur'an yang sekarang, padahal selalu ada dan dibacanya sampai Nabi saww wafat (Shahih Muslim hadit ke: 2634; dllnya). 

Atau Umar berkata bahwa Qur'an memiliki 1027000 huruf (al-Itqaan, jld. 1, hal. 198). Padahal yang ada hanya sekitar 323671 huruf. 

Dan seambrek lagi hadits-hadits sunni yang menceritakan ketidakaslian Qur'an yang ada ini. Terutama riwayat-riwayat Umar, ‘Aisyah dan Ibnu Umar. 

(9). Apapun bentuk hadits Syi’ah dan Sunni yang ada tentang perbedaan Qur'an di jaman Nabi saww dengan yang sekarang, maka kalau tidak bisa ditakwil, berarti ia telah bertentangan dengan kemutawatiran periwayatan Qur'an yang diriwayatkan secara mutawatir dan bahkan seribu derajat di atas mutawatir, baik secara Syi’ah atau Sunni. Karena itu, jumhur ulama Syi’ah dan Sunni bersepakat tentang keaslian Qur'an. Dan hal ini, sebenarnya tdk samar, bagi yg mengkaji kitab-kitab hadits dan tafsir. 

(10). Karena itulah, maka kitab apapun yang keluar tentang tahrif Qur'an (perubahan Qur'an), baik dari Syi’ah atau Sunni, maka semua ulama keduanya, berontak dan menulis kitab- kitab jawabannya. Misalnya kitab Sunni yang keluar di Mesir yang bernama al-Furqaan karya Muhammad Muhammad ‘Abdu al-Lathiif yang terkenal dengan nama Ibnu al-Khatiib. Ia membuktikan ketidakaslian Qur'an yg sekarang ini, dari hadits-hadits Shahih Bukhari, Muslim dan kitab-kitab shahih yang empat lainnya. Mesir kala itu menjadi hiruk pikuk dan heboh, hingga al-Azhar meminta kepada pemerintahan Mesir untuk membredel kitab yg terbit tersebut sampai ke sisa-sisa tulisan tangannya (bc: yang belum tercetak). Walaupun belakangan ini kitab itu terbit lagi di Libanon dengan jumlah cetak yang banyak sekali. 

Di Syi’ah juga seperti itu. Seperti kitabnya Sayyid Ni’matullah Jazaairii (meninggal tahun 1112 H.) yang berjudul Mamba’u al-Hayaat, dan kitabnya Haji Nuurii (meninggal tahun 1320 H.) yang berjudul Fashlu al-Khithaab. Sampai sekarang, entah berapa ribu kitab Syi’ah yang telah menjawab semua tulisan lemahnya itu. Wassalam. 

Tony Kohar: Saya pribadi ”salute” kepada Yang Terhormat Bapak Ustadz Sinar Agama, masih tetap berada pada jalur tulisan yang baik..salute..salute.. Bapak Ustadz Sinar Agama tetap menjawab dengan baik setiap pertanyaan dari penanya meski caranya bertanya SANGAT TIDAK SOPAN dan tidak sejalan dengan akhlak Islam.. Semoga Allah SWT memberikan Rejeki yang luas kepada Bpk. Ustadz Sinar Agama beserta keluarganya..Amin. 

Sinar Agama: Tony: aku hanya berusaha untuk menyebarkan ajaranNya, bukan ajaranku, memang hanya Dia yang bisa melindungi hambaNya yang memulai untuk dimulaiNya dengan selimut-selimut petunjukNya. Apapun itu, terimakasih banget atas baik sangkanya, semoga Tuhan mewujudkannya untukku dan antum serta teman-teman fb yang lainnya. Begitu pula tentang doanya, amin. 

Tony Kohar: Penjelasan Bpk. Ustadz Sinar Agama ini sangat bermanfaat, mohon ijinnya untuk share.. 

Sinar Agama: Tony, silahkan saja, semua tulisanku, catatanku gratis dan boleh diapakan saja asal untuk kebaikan dan bukan bisnis, tentu saja selain catatanku yang berjudul ”suluk ilallah” karena setiap orang hanya bisa mengambil untuk dirinya sendiri dan tidak boleh ikut nyebarin. Tapi selain yang judul itu, maka boleh-boleh saja. Silahkan.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 14)




by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 19, 2011 at 1:08 am


Abdul Azis Baeha: Assalamualaikum, Hamdalah Wa Shalawat. Semoga Ustad tetap dan selalu dalam keRidhaan Allah SWT...Izinkan ana bertanya Ustad tentang hakikat Ajaran Takwini dan pengaruhnya dalam ibadah kita keseharian...... 

Pertanyaan ana ini terilhami dari cerita anak ana yang baru duduk di kelas III SD, tentang perjalanan antara Nabi Allah Idris AS dan Nabi Allah Musa AS yang mengisahkan pembunuhan anak kecil karena diketahui akan durhaka kepada ke 2 orang tuanya kelak, pembocoran perahu seorang nelayan yang akan dicuri orang kelak, dan perbaikan dinding rumah di sebuah desa orang-orang sombong yang menyimpan harta karun di bawahnya. 

Dalam kisah ini tentu kesimpulan setiap orang akan berbeda sebagaimana kadar ilmu yang diperolehnya. Akibatnya anak saya yang masih kelas III itu menjadiakn Nabi Musa dalam posisi bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang kejadian masa depan sebagaimana pengatahuan Nabi Idris. 

Demikian Ustad sementara ini, Syukron, Wassalam, Wa Shalawat. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1. Peristiwa itu, antara nabi Musa as. dan nabi Khidhr as. 

2. Sudah berkali-kali saya terangkan di tulisan-tulisan sebelumnya bahwa Perjalanan Suluk itu ada 4 tingkatan: Dari Makhluq ke Khaliq; Dari Khaliq ke Khaliq; Dari Khaliq ke Makhluq Bersama Khaliq; Dari Makhluq ke Khaliq bersama Makhluq. 

3. Sudah diterangkan pula bahwa yang sudah menyelesaikan perjalanan 3, adalah terminal akhir untuk mencapai derajat 4 yang diistilahkan pula dengan Maqam Kenabian. Karena maqam 4 itu adalah maqam mengajak makhluk lain kepadaNya. 

4. Untuk mencapai derajat kenabian itu, tidak disyarati dengan apapun kecuali suluk dan amal serta makrifat. Jadi, lelaki atau perempuan, sebelum kenabian nabi Muhammad saww atau setelahnya, tua atau muda, tanpan atau tidak, cantik atau tidak, kaya atau miskin, dari keturunan yang baik atau tidak, punya keluarga baik atau tidak....dst, tidak mempengaruhi capaian suluk dan derajat-derajatnya. 

5. Tidak semua yang sampai ke derajat kenabian itu pasti diangkat menjadi nabi atau rasul. Karena maqam kenabian itu adalah maqam ikhtiari yang dicapai oleh manusia secara pribadi. Sementara pangkat kenabian atau kerasulan adalah maqam sosial dan dakwah untuk mengajak manusia kepadaNya dimana sudah tentu diharapkan keberhasilannya dimana pasti menuntut metodologi, cara-ara, alat-alat dan syarat-syarat yang standart. Karena itu maka untuk maqam kerasulan ini, tidak cukup ketinggian derajat seseorang secara pribadi. Tapi diperlukan syarat-syarat lainnya seperti badani, keluarga dan sosialnya. Tentu saja kenabian dan kerasulan yang diangkat Tuhan ini adalah yang mengajak manusia kepadaNya dengan formal. Sementara yang tidak diangkat menjadi rasul/nabi formal, ia tetap memiliki derajat kenabian itu dan tetap wajib mengajak manusia kepadaNya dengan cara-cara kasyaf/ ilham/wahyu-ilmu yang ia dapatkan, tapi bukan dengan wahyu syariat. 

6. Jadi maqam kenabian adalah hasil ikhtiar manusia, tapi pangkat kenabian dan kerasulan yang bermakna utusan Tuhan untuk mengajak manusia secara formal itu, adalah pemberian Tuhan. 

7. Orang yang sangat tinggi derajat suluknya, secara pribadi, kalau tidak memiliki syarat-syarat lainnya, seperti badannya standart, keluarganya juga demikian, dari keturunan yang juga standart, tidak pernah salah sebelumnya....dst, maka tidak mungkin diangkat menjadi rasul utusan yang formal. Karena kalau dijadikan, maka ia bukan saja tidak akan berhasil dalam dakwahnya, tapi akan membuat manusia mengejeknya, menertawakannya dan semacamnya, sekalipun dengan ketidakadilan, karena masalah-masalah badani tidak berhubungan dengan akhlak atau karena masalah-masalah yang tidak menyangkut dirinya secara langsung (seperti keluarga, orang tua...dan seterusnya). 

8. Ketidakpengangkatan Tuhan seorang yang tinggi secara pribadi untuk menjadi rasul itu, bukan didasarkan kepada ke-Adilan-Nya. Karena dari timbangan keadilan, yang menjadi tolok ukurnya adalah setiap individu dan akhlaknya atau nilainya sendiri secara langsung, bukan badani atau keluarga dan lingkungannya. Karena itu Tuhan berhak mengazab orang yang tidak menaati atau yang mencela rasul yang cacat badannya atau keluarganya. Karena hal- hal itu tidak menyangkut nilai dan syariat. Akan tetapi Luthf-Nya, atau ke-Lembutan-Nya atau Kasih Sayang dan RahimNya, tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Artinya sudah pasti dari tinjuan ke dua itu, Tuhan akan menghindarkan manusia dari yang mempermudah memaksukkannya ke neraka, dan akan mempermudah untuk memasukkannya ke dalam surga. Karena itu tidak mungkin pesuluk hebat yang cacat badannya, pernah berbuat salah sebelumnya, cacat keluarganya...dan seterusnya, tidak akan pernah diangkat menjadi utusan formalNya, sekalipun tetap merupakan utusan tidak formalNya. 

9. Setiap yang sampai ke derajat kenabian (Perjalanan 4, bukan formalnya), bahkan derajat Perjalanan Ke Tiga-pun, secara umum, adalah sama ilmu dalam hal-hal yang berhubungan dengan makhluk dan rahasia-rahasianya, begitu pula tentang nilai-nilai dan akhlak serta syariatnya. Misalnya mereka sama-sama tahu mengapa pohon itu seperti itu, syariat itu seperti itu, shalat itu seperti itu, manusia itu seperti itu... dan seterusnya. 

10. Perbedaan yang bisa digambarkan bagi mereka-mereka para pesuluk itu, hanyalah di tingkatan Perjalanan Ke Dua, yakni di Asma-asma Tuhan, sebagaimana juga sudah sering saya jelaskan, baik dari sisi jumlah Asma-asmaNya atau Keluasan capaian dari masing-masing Asma-asmaNya itu. 

11. Kalaulah terjadi perbedaan, maka di rahasia makhluk, bukan di Asma-asma Khaliq. Itupun kalau terjadi. Kalau terjadi, maka bisa saja disebabkan oleh takaran ijin yang diberikan olehNya, baik tentang rahasianya atau tentang aksi yang harus diambil. Karena bagi yang sudah selesai Peralanan Pertama, yakni Fanaa’ dalam fanaa’, maka diri seorang pesuluk sudah tidak terlihat lagi. Sementara setelah ia mencapai Perjalanan Ke Tiga, ia kembali dengan Tuhan. Artinya matanya, telah menjadi MataNya, tangannya telah menjadi TanganNya...dst. Karena itulah sejauh mana mata, hati dan ruhnya bisa meliputi makhluk, akan ditentukan oleh IjinNya itu. Akan tetapi perkiraan ini (beda ilmu tentang makhluk), sangat lemah. Karena bagi yang sudah sampai ke Akal-Akhir saja, semua rahasia Barzakh dan Materi sudah ada dalam genggamannya. Apalagi yang sudah sampai ke tingkat Akal-Satu dan Fanaa’ serta sudah melanglangi Asma-asma Tuhan sesuai dengan kapasitas dan ijinNya, lalu sekarang ia kembali ke makhluk denganNya, maka rasanya sudah tidak ada lagi yang tidak diketahui oleh pesuluk yang sudah sampai ke tingkat ke 3 ini. 

12. Dengan semua mukaddimah di atas itu dimana sebenarnya merupakan ringkasan dari catatan-catatan yang telah lalu, seperti di wahdatulwujud, dan ditambah dengan tidak adanya perbedaan nabi dan rasul dilihat dari kepengutusan Tuhannya untuk manusia (karena bedanya di Syi’ah, hanya dari sisi melihat atau tidaknya dalam jaga, malaikat pembawa wahyu kepadanya dimana kalau melihat dalam jaga adalah rasul dan kalau hanya dalam mimpi maka ia adalah nabi) maka peristiwa kedua nabi as di atas itu dapat disimpulkan atau diperkirakan (setidaknya) sebagai berikut: 

a. Nabi Musa as adalah yang mencapai deraja kenabian dan diangkat menjadi nabi/rasul (nabi/rasul formal), sedang nabi Khidhr as adalah hanya mencapai derajat kenabian (nabi natural) akan tetapi tidak diangkat menjadi nabi/rasul (formal). 

b. Semua kata dan perbuatan kedua nabi itu, sudah tidak lagi punya diri mereka sendiri. Jadi, semuanya adalah ucapan dan perbuatanNya. 

c. Ucapan dan perbuatan keduanya yang berbeda itu, disebabkan oleh ijin dan tajalliNya. Artinya, maqam tajalliNya bagi keduanya, tidak sama. Semua itu, demi mengajari manusia (umat) agar dapat mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. 

d. Ucapan dan perbuatan nabi Musa as itu, adalah bahasa dan amal syari’at (hukum-syari’at), sementara ucapan dan perbuatan nabi Khidr as itu, adalah Hukum-alamiah. Artinya tajalli Tuhan di dua tingkatan. 

e. Beda tajalli itu akan membuat yang fanaa’ yang menjadi alurannya tersebut, terbawa kepada masing-masing sifat dari tajallinya itu. Artinya, kalau tajalli Tuhan pada nabi Musa as itu adalah tajalli kerasulan, yakni hukum-karakter atau aturan hukum-syari’at, maka yang ditajalli-i akan terpengaruh dan terbawa kepadanya. Yakni, sekalipun ia tahu rahasia dibalik suatu peristiwa itu, akan tetapi ucapan dan amalnya akan tetap mewakili tajalliNya kepadanya hukum syariatnya itu. 

Jadi, nabi Musa as. sekalipun tahu terhadap rahasia ucapan dan perbuatan nabi Khidhr as., akan tetapi kekuatan tajalli kerasulan itu bisa menelan tajalli-alam tsb. Karena itulah, maka rasul itu, sebelum menjadi rasul adalah Hamba atau Budak, karena ia telah tidak memiliki apapun dan sekarang ia tidak lebih dari penyalur mauNya saja. 

f. Kedakhsyatan kekuatan masing-masing tajalli Tuhan yang berbeda pada kedua nabi itulah yang menyebabkan perdebatan mereka di peristiwa yang ditanyakan Anda itu, bukan pada perbedaan ilmu dan derajat keduanya (sekalipun mungkin kedua nabi as itu memiliki perbedaan derajat di tingkatan Perjalanan ke dua sebagaimana maklum). 

Wassalam. 

Haidar Dzulfiqar, Bande Husein Kalisatti and 28 others like this. 

Anwar Mashadi: Alhamdulillah... syukran li-Allah.... Tuhan... bimbing aku melalui tajalli terbesarmu saat ini.. Salam alaika ya Aba Shalih... ya Aba Shalih tolong haturkan salam terbaikku pada kakekmu, atas kelahiran beliau saw... salam..salam.. salam... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. Selamat atas lahirnya junjungan kita nabi besar Muhammad saww senin besok tgl 17 R.Awal. 

Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD. Banyak yg tdk paham bahwa dgn Izin NYA Manusia mampu di Maqam Kenabian. 

Sinar Agama: Heri: Cara dan sistem penyempurnaan yang dibentangkanNya adalah ijinNya, karena itu ambillah ijinNya itu, jangan menunggu ijin, karena menunggu ijin tidak diijinkan olehNya. 

Heri Widodo: Mengambil Karunia (Sistem) yang sudah dibentangkan kalau tidak mendapat Biidznillah walau manusia berikhtiar maksimal tidak bisa bisa. 

Roman Picisan: Ustadz bagaimana pendapat ustadz tentang Ahmadiyyah, kalau membaca note ustadz dimana maqam kenabiyan adalah ikhtiyari dan semua orang bisa mencapai maqam tersebut jadi bisa saja Mirza Ghulam Ahmad mencapai maqam kenabian...? Afwan kalau pemahaman saya pada note ustadz salah... Syukron. 

Cut Yuli: Izin share ya Ustad. 

Sinar Agama: Heri, apakah tidak mengambilnya juga ijinNya atau bukan? Kalau ijinNya berarti maksud ijin adalah sistem dan pengikhtiarannya (yang juga bagian sistem karena sistem peneyempurnaan itu juga diiringi dengan sistem pemilihan yang ikhtiari). Dan inilah yang benar dan yang kumaksud. Tapi kalau tidak dengan ijinNya, yakni karena yang ijin itu hanya dalam pengambilannya, maka antum sudah menyekutukanNya. Artinya ada wujud yang berupa perbuatan tidak memilih untuk menyempurna, yang tidak terjadi di bawah kontrol dan ijinNya. Ketahuilah bahwa ijinNya itu tidak terpisah semua kejadian baik dan buruk, karena semua bermuara dariNya. 

Dan ketidakterpisahannya itu sangat natural. Yakni memilih atau tidaknya kita terhadap ijinNya sama persis dengan panas dan membakarnya api terhadap ijinNya. Bedanya api dalam membakar tidak bertanggung jawab, tapi kita dalam memilih tidaknya bertanggung jawab karena salah satu sistemNya adalah ikhtiar itu. 

Dan ikhtiar ini karena akal kita. Lagi pula kalau memilih menyempurnanya itu harus dengan ijin tersendiri dan terpisah, maka sama dengan hidayah. Yakni yang tidak dalam hidayah karena Tuhan tidak memberinya hidayah atau tidak mengijinkannya mengambil hidayah. Kalau ini yang terjadi maka Tuhan harus bertanggung jawab terhadap semua kesesatan dan ketidak penyempurnaan. Wassalam. 

Sinar Agama: Roman: yang menjadi masalah ahmadiah bukan maqam kenabiannya, tapi pangkatnya. Karena itulah ia juga mengaku Isa as sekaligus. 

Sinar Agama: Cut: silahkan saja.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 04 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 13)




by Sinar Agama (Notes) on Sunday, February 6, 2011 at 6:54 am


Jajar Genjang: Sinar Agama, Salam. 

1. Dalam penjelasan mengenai perjalanan irfan, dikatakan bahwa makhluk sanggup mencapai tingkat ke akal pertama. Sedangkan akal pertama adalah non materi mutlak, dimana tidak terjadi gerak dan proses. Padahal pencapaian makhluk hingga ke akal pertama merupakan sebuah proses. Hal ini sepertinya berkontradiksi. Mohon penjelasannya! 

2. Apa yang dimaksud dengan alam lahut? Sedang susunan alam besar ada 3, yakni; jabaruut, malakut kemudian nasut. 

3. Apakah pahaman-pahaman yang ada di akal juga dikatakan derajat ”ada” dalam pandangan filsafat, atau setidaknya tajjaliah dari ”ada” dalam pandangan irfan, sebagaimana ’’ada’’ yang ada di balik aksiden dan substansi? 

4. Apakah metode-metode dan persoalan teknis dalam ajaran islam yang dibawa nabi saw dalam ilmu makrifat tidak begitu menyeluruh menyentuh segala aspek alat pengetahuan pada manusia sehingga para filosof muslim mengadopsi metode-metode yang dipakai filosof Yunani? Terima kasih! 

Jajar Genjang: Maaf sebelumnya, tulisannya saya singkat karena ternyata untuk menulis di dinding jumlah hurufnya dibatasi. Terima kasih! 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas pertanyaannya: Semoga Tuhan menaufiki kita untuk selalu mencari dan bertahan dalam KepenunjukanNya, amin. 

1a. Salah satu keunggulan manusia yang paling menonjol dari malaikat tertinggi sekalipun adalah karena kenonmaterian ruhnya menyatu (secara alami dan fitrawi) dengan badan dimana badan adalah materi dan materi adalah satu-satunya pembawa potensi. 

b. Keberadaan potensi pada materi adalah kenyataan bisa berubahnya materi dari satu esensi seperti mati, atau biji padi, kepada esensi yang lain seperti manusia atau pohon padi. Atau padi, menjadi pohon padi, pohon padi membuahkan biji-biji padi, biji-biji padi menjadi nasi, nasi menjadi mani, mani menjadi darah, darah menjadi daging, daging menjadi bayi dan bayi menjadi manusia. Manusia ini, badannya, menjadi sakit dan mati, lalu menjadi tanah, tanahnya menjadi pohon padi kalau ditanami padi setelah berabad tahun, lalu pohon padinya menjadi mani kambing (kalau dimakan kambing) lalu maninya, menjadi darah, daging, bayi kambing dan akhirnnya menjadi kambing. Begitu seterusnya dan begitu pula yang terjadi pada benda-benda lainnya. Dengan demikian, maka hanya materi yang bisa menjadi esensi lain dan berubah. 

c. Perubahan yang dimaksud dalam kata ”Proses” adalah perubahan dalam waktu dan jaman, secepat apapun dia. Keterprosesan materi tidak lain, disamping kenyataan perubahan tadi, adalah kemestian terikatnya dengan tempat/volume dan waktu. Jadi yang tidak memiliki volume dan waktu, non materi, sama sekali tidak akan pernah mengalami proses, alias perubahan dalam waktu. 

d. Yang dimaksud dengan ”waktu” dalam filsafat, bukan menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad. Karena waktu yang demikian itu adalah waktu yang disepakati bersama dari gerakan yang bisa dilihat secara bersama pula, yakni gerakan matahari. Jadi, waktu dalam filsafat adalah ”Ukuran Gerak”. Ketika semua benda memiliki gerak dalam dirinya (atom- atomnya), atau dalam esensinya, seperti esensi substansi (dari mani ke bayi) atau aksidentnya seperti putih ke merah, kecil ke besar), maka masing-masing benda memiliki waktunya sendiri. Artinya, memiliki ukurannya sendiri, bukan diukur dengan gerak matahari. Jadi, kalau gerak atom-atom dua pohon padi dari sejak ditanamnya biji padinya, ketika keduanya menjadi tinggi setengah meter, maka mereka telah menempuh jarak jangkau yang sama, sekalipun mungkin waktunya berbeda. Misalnya yang satu setelah seminggu mencapai setengah meter itu, dan yang lainnya setelah dua minggu. Nah, ketika jarak tempuh yang dicapai biji padi pertama itu seminggu (setengah meter), dan yang lainnya masih seperempat meter misalnya, maka gerak padi pertama lebih cepat dari padi ke dua. Jadi, sebenarnya gerakan mereka dihitung dengan gerakan proses mereka sendiri, tidak diukur dengan gerakan matahari. 

Disinilah mengapa orang yang belum syi’ah selalu menggaris bawahi imam makshum yang masih berumur lima tahun dsb. Mereka tidak sadar bahwa waktu 5 tahun itu adalah waktu matahari, bukan waktu mereka. Padahal waktu mereka sendiri adalah yang dicontohkan dalam Qur'an surat al-Insan itu. Dimana asbabun nuzul surat tsb adalah berkenaan dengan puasa nadzarnya imam Ali as dan siti Fathimah as. Karena telah sembuhnya imam Hasan as. dan Husain as. Yang kala itu sedang tidak punya uang, hingga berhutang tepung gandum untuk makanan seukuran 3 hari dengan sekali makan. Akan tetapi setiap mau makan setiap harinya selalu ada orang mengetuk pintu dan mengatakan beberapa hari tidak makan dimana mereka menyerahkan roti mereka dan akhirnya mereka tidak makan selama tiga hari puasa. Jadi mereka buka sahurnya hanya dengan air saja. 

Yang ingin saya ceritakan bukan mereka berdua, tapi imam Hasan dan Husain as yang masih kesil dan tidak ikut bernadzar. Tapi ikut puasa dan menyerahkan rotinya dalam tiga hari itu. Padalah umur mereka baru sekitar 3-5 tahunan untuk ukuran gerakan matahari. Bayangin, gerakan taqwa dan proses ruh mereka itu, dalam keadaan masih muda untuk ukuran matahari itu, sangat-sangat tidak bisa diikuti oleh kita-kita sekalipun telah berumur 200 tahun sekalipun. 

Kembali ke masalah kita, maka dengan penjelasan di atas itu, dapat dilahami bahwa setiap benda memiliki waktunya sendiri karena waktu adalah ukuran atau volume gerak dari benda itu sendiri, bukan matahari. 

e. Nah, ketika ruh manusia memiliki 3 atau 4 daya, tambangi, nabati, hewani, dan akli, dan ianya menyatu secara fitrah dengan materi, maka ia memiliki kesempatan untuk menyempurna. Tidak seperti malaikat baik Malakut (Barzakh) atau Jabaruut (Akal) yang seluruh kesempurnaan mereka diberikan dalam sekali jadi dan sekali beri di awal penciptaannya. 

f. Dengan potensi yang ada itulah manusia bisa menyempurna melanglangi kesempurnaan
seperti yang sudah dijelaskan di wahdarulwujud 1-12 dan di tempat-tempat lainnya. Artinya manusia dengan ruhnya yang bisa berproses dalam waktu itu, bisa melanglangi derajat- derajat wujud dari dirinya sendiri ke Barzakh, lalu ke Akal dan ke Asma-asma Allah dalam Perjalanan ke Dua itu. 

g. Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu dapat dipahami bahwa perubahan ruh manusia di tingkat Akal-akal yang tidak mengenal proses dan perubahan apapun itu adalah DIMOTORI dengan kepotensiannya karena masih bersama badan, dan perubahan yang terjadi di puncaknya sana adalah perubahan tidak dalam waktu, alias perubahan kun fayakun. Persis nanti ketika manusia di akhirat berubah posisi dari neraka ke surga. Artinya tidak dalam waktu, tapi dalam pewujudan non materi dan di luar jaman/waktu, seperti kalau antum mimpi berjalan, keluar rumah, nikah, makan,..dst dimana semua kejadian di dalam mimpi antum itu tidak terjadi dalam waktu. Begitu pula kalau antum melamun dari satu hal ke hal lainnya dan semacamnya. 

h. Dengan semua penjelasan itu, semoga dapat ditangkap hal mudah yang dibingungkan antum itu, yakni kontradiksi antara Akal non prosesi dengan ruh yang mencapainya yang masih dalam naungan prosesi.

2. Lahut adalah susunan alam pertama, yaitu ILMU ALLAH YANG TIDAK BISA DIMITSALKAN/ DIUMPAMAKAN. 

Yang biasa diterangkan tentang susunan alam adalah 3 alam, karena secara umum memang hanya itu, yaitu, Jabaruut, Malakuut dan Naasuut. Sementara kalau mau disebutkan semuanya adalah Laahuut sebagai susunan teratas dan pertama. Tapi hal ini tidak terlalu dibahas karena hanya berkenaan dengan Tuhan, yaitu sebagai IlmuNya yang mana hanya Dia-lah yang tahu. 

3. Pahaman-pahaman juga termasuk susunan alam keberadaan. Akan tetapi derajatnya tidak terlalu tinggi manakala tidak dilakukan secara konsisten hingga menjadi substansi yang tahu. Artinya ilmu-ilmu itu, karena masih berupa argumentasi, maka ia tidak memiliki kedudukan yang terlalu tinggi. Hal itu karena ketika masih berupa argumentasi, maka ia masih berupa ilmu Gambaran saja, seperti Gambaran tentang manisnya kurma dengan dalil-dalil yang akurat dan gamblang. Akan tetapi manakala sudah berupa ilmu-Hudhuri atau pewujudan, yakni dengan mengamalkannya bertubi-tubi dan tidak pernah berhenti, maka ia akan memiliki derajat yang layak dan sesunggunya dan juga jauh lebih tinggi. Karena ilmu-tashawwurinya atau ilmu-gambarannya itu telah menjadi ilmu-Hudhuri atau pewujudan dalam diri atau substansi diri. Kalau ilmu pertama seperti tahu tentang manisnya kurma, sekarang ini ia telah memakan kurma itu. Jadi, jangan terlalu bangga dengan keluasan ilmu apapun, baik Qur'an, Hadits, agama, akidah, akal, irfan...... dst dari yang dimiliki kita kalau belum diamalkan. Karena semua itu akan sirna manakala ruh kita sudah berpisah dari badan. Karena ilmu gambaran itu masih tergolong ruhani badani, sementara kematian dan akhirat adalah ruhani ruhani, bukan ruhani badani. 

Akan tetapi, ilmu argumentatif itu harus dicari dengan susah payah, karena tanpanya, apapun yang dilakukan manusia akan sia-sai, karena tidak di atas ilmu yang benar. Kata Imam Ja’far as. ”Orang beramal tidak dengan ilmu, seperti musafir yang tidak berjalan di atas jalannya, maka semakin cepat ia berjalan (semakin banyak melakukan taat), maka akan semakin cepat jauh dari tujuannya”. 

Jadi ilmu argumentatif itu harus dicari karena menjadi penentu selamatnya kita dan sampainya pada tujuan. Begitu pula harus disyukuri keberadaannya, karena tanpa pertolongan Tuhan semua itu tidak akan terjadi sekalipun kita telah bersusah payah berusaha menjangkaunya. Karena usaha itu tidak lain hanyalah sebab-potensi atau sebab-pendekat bagi kita untuk mencapai kebenaran dan hakikat, bukan sebab-pemberi, karena satu-satunya pemberi hanya Dia, tapi sudah tentu kita harus berusaha. Btw ilmu inipun adalah ilmu yang merupakan derajat sekalipun tidak terlalu tingi, tapi harus dicari dan disyukuri. 

4a. Agama Tuhan itu mengajarkan hal yang sama, yakni tentang tauhid dan pencapaiannya. Akan tetapi karena peradaban manusia seiring dengan bertambahnya jaman, selalu dalam, proses perubahan peradaban. Karena itulah maka cara pencapaiannya, kadang, satu agama dengan agama lainnya berbeda sekalipun sama-sama dari Tuhan. 

b. Dengan penjelasan itu, maka dapat dimengerti bahwa agama apapun memiliki ruh yang sama. Dan para nabi yang berjumlah 124.000 orang itu adalah mengajarkan agama dan aturan Tuhan sesuai dengan peradaban masing-masing yang, sudah tentu memiliki ruh yang sama. 

c. Karena itulah, karena pernyataan para filosof lama itu sangat argumentatif dan masuk akal serta tidak berubah sampai sekarang, maka para filosof Islam mengatakan bahwa mereka itu mustahil dari golongan orang-orang biasa, artinya, kalau bukan nabi maka pastilah murid nabi, seperti hakim/filosof/bijak seperti Lukman as. 

d. Dengan penjelasan di atas itu, maka jelas bahwa agama Tuhan itu, semakin diturunkan untuk manusia yang semakin beradab, atau setidaknya memiliki potensi untuk beradab dengan adab yang lebih tinggi, maka agamanya pasti labih sempurna. 

e. Begitu pula, ketika agama itu memiliki posisi yang terakhir, seperti agama kita ini, maka ia pasti merupakan agama yang tertinggi dan terlengkap dari agama-agama sebelumnya. 

f. Dan karena agama Islam kita ini adalah agama tertinggi, maka ia akan sesuai dengan peradaban tertinggi sekalipun. Karena itulah maka kecanggihan apapaun yang dicapai manusia dalam teknologi dan semacamnya, masih dalam naungan keperundangan Islam. Artinya, Islam yang sebagai agama pengaturan hidup bagi manusia yang memiliki alat-alat kehidupan tercanggih pun, maka ia tetap dalam ketinggian peradabannya dari sisi mental dan kepengaturan serta kesepernafasan pencapaian insan kamil itu. Dengan bahasa yang lebih ekstrim, Islam tetap mampu mengatur manusia tercanggih sekalipun, karena ia adalah agama yang mengatur kehidupan berakidah dan berakhlak dengan baik hingga bisa mencapai insan kamil. Ia bukan agama yang mengajari membuat alat-alat hidup seperti komputer, pesawat dan semacamnya. 

g. Ketika agama Islam kita ini adalah agama tertinggi, maka pedoman apapun di masa lalu, asal masih sesuai dengan peradaban masa kini, maka ia akan tetap ada dalam ajaran Islam kita sekarang ini. Jadi, ajaran para nabi terdahulu dan bahkan yang paling dahulupun seperti nabi Adam as, akan tetap terpakai dalam ajaran kita ini asalkan masih sesuai dengan syarat sesungguhnya pencapaian insan kamil. 

h. Dengan penjelasan di atas, maka kita tidak usah merasa aneh, kalau ajaran Islam kita ini memiliki kesamaan dengan Yahudi atau Nasrani, karena agama-agama itu adalah agama Tuhan, dan tidak hancur secara keseluruhan, yakni hanya tercampur kebatilan. Jadi, bisa saja ada kesamaan. 

i. Ketika agama-agama terdahulu itu merupakan agama-agama dari Tuhan dan orang-orangnya merupakan nabi-nabi utusan Tuhan, begitu juga murid-murid para nabi itu adalah murid kesayangan dan alim di dalamnya, maka mereka sudah pasti saudara kita, guru kita, contoh kita...dst. Artinya, kita tidak mesti menolak mereka dengan alasan bukan umat Nabi saww. Karena itulah Tuhan banyak mengisahkan mereka dalam Qur'an yang menjelaskan kepada kita bahwa Tuhan menginginkan dari kita untuk meniru mereka, karena Qur'an bukan kitab sejarah. Jadi, hukum dan akhlak yang diajarakan Tuhan kepada kita lewat Qur'an, tidak mesti berupa perintah, anjuran atau larangan, tapi bisa berupa contoh-contoh kehidupan orang- orang terdahulu dari orang-orang yang dicintai Tuhan atau yang dimusuhiNya. 

j. Penjelasan di atas adalah sebuah dukungan bagi kenyataan bahwa Islam ini memiliki ajaran yang paling lengkap dan tinggi. Tapi dari sisi kelengkapan cara pencapaiannya, yakni dari sisi syariatnya. Akan tetapi dari sisi tauhidnya, sudah pasti sama dengan ajaran-ajaran sebelumnya. 

k. Ketika ajaran tauhid kita sama dengan orang-orang terdahulu, lalu mengapa harus mera- sa rendah berguru kepada orang-orang hebat di jaman sebelum Islam? Apakah Islam mengajarkan membumi hanguskan kebenaran? Atau melarang kita belajar kebenaran yang argumentatif dari para nabi atau wali sebelum Islam? Kalau begitu lalu buat apa Tuhan sering menyebut mereka dalam Quran? 

l. Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pedoman apapun kalau tidak betentangan dengan akal-argumentatif-gamblang, maka ia adalah ajaran Islam, baik Islam Nabi saww atau islam nabi-nabi atau wali-wali sebelumnya. 

m. Memang, Islam adalah agama terhebat, Nabi saww dan para imam as adalah orang terhebat, akan tetapi umat islam bukan umat terhebat. Artinya umat Islam, sebagai manusia yang bercampur antara bodoh dan pandainya, baik dan bejatnya, memilki potensinya sendiri. Artinya, kalau tidak belajar , ya....biar agamanya islam, maka tetap bodoh dan tidak tahu apa-apa. Jadi, keunggulan Islam dari agama terdahulu, tidak menjadi dalil bagi keunggulan umatnya dari umat terdahulu. Karena itulah, maka ketika orang-orang Masehi melihat kepala imam Husain as maka mereka berkata ”Kalau kami yang punya nabi kalian itu, maka jangankan anaknya, bekas kakinyapun akan kami tabarruki” (terjemahan ruh dan maksudnya, bukan matannya). 

Antum lihat, Nabi saww masih baru wafat dan badannya masih hangat, umatnya sudah meninggalkannya sampai 3 hari baru datang untuk menguburkannya. Mereka lebih memilih ribut pemiluan yang tidak diajarkan Islam, ketimbang meminta wasiat dan petunjuk Nabi saww. Bahkan, karena Nabi saww sudah menunjuk khalifahnya dan meminta kertas untuk menuliskannya tapi mereka menentangnya dan mengatakan bahwa Nabi saww telah mengi- gau seperti yang diriwayatkan di Bukhari dan Musalim, maka jelas sahabat-sahabatnya itu paling buruknya shahabat sepanjang sejarah kenabian. Nah, dengan kenyataan ini, maka umat Islam tidak bisa berdalil bahwa ia lebih hebat dari umat sebelumnya dan lebih pandai. 

n. Dari sisi lain, setiap kebenaran, bisa dijangkau dengan dua hal, akal dan Qur'an. Memang jumlah jangkauannya bisa berbeda. Akan tetapi keduanya adalah alat untuk mencapai kebenaran, karenanya dikatakan ilmu. Yakni Qur'an adalah ilmu dan akal juga ilmu. 

o. Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Qur'an adalah Qur'an, artinya, lengkap, tinggi dan paling sempurna. Tapi kita, umat Islam adalah umatnya, bukan Qur'an. Jadi, kalau kita ingin tahu Qur'an, maka harus meningkatkan daya pikir dan daya tangkap kita serta memperbanyak argument. Karena itulah Tuhan dalam Qur'an menyuruh kita merenungi Qur'an, alam, dan Tuhan sendiri. Yakni MERENUNGI, bukan hanya membaca Qur'an dan apalagi MEMBANGGAKAN Qur'an. Memang, bangga boleh dan harus, tapi bukan itu yang meninggikan kita secara sesungguhnya, karena bangga itu baru merupakan langkah awal dalam mengimani Qur'an dan ketinggian serta kelebihannya dari agama lainnya. Dan hakikat ketinggiannya dalam kita, bukan dalam Qur'an, adalah ketika kita memahaminya dengan akal kita dalam kemasan argument yang jelas, kuat dan gamblang. 

p. Ketika Tuhan Qur'an, Nabi saww dan para imam suci as, tidak bisa dipahami penjelasannya dengan baik, lantaran mereka berbahasa sesuai dengan umat yang dihadapinya (beda kalau menghadapi Plato), yakni umat yang kebanyakan kasar dan tidak pandai, maka sudah jelas mereka mengemas ajarannya dalam bentuk bahasa yang bisa dipahami secara gradasi. Karena itulah dalam ilmu Ushulfikih dikatakan bahwa dalam memahami hukum harus merujuk ke peradaban bahasa waktu adanya para makshum, bukan sekarangan. Hal itu supaya dapat kita pahami di waktu sekarangan ini, apa maksud sebenarnya di waktu dulu sesuai dengan maksud pengucapnya, yakni Tuhan, Nabi saww dan para imam makshum as. 

q. Ketika mereka (Tuhan, Qur'an, Nabi saww dan para imam makshum as) mengajar dalam bentuk bahasa yang bergradasi, dan di lain pihak mewajibkan kita menggunakan perenungan akal dan dalil, maka dalam ajaran-ajaran yang berupa makrifat, yakni yang bukan hukum, maka kita harus menggunakan rumus dalil-dalil kebenaran yang gamblang. Dari manapun dalil-dalil itu. Baik ditemukan kita, atau umat terdahulu, seperti benda lebih besar tidak bisa masuk ke dalam benda yang lebih kecil. 

r. Nah, ketika kita melihat, bahwa ilmu-ilmu dari umat terdahulu itu, sebagiannya memiliki rumus-rumus dalil yang akurat dan gamblang (filsafat), maka layak sekali untuk dijadikan alat memahami ajaran mereka itu (Tuhan ...dan seterusnya itu itu). 

s. Karena itulah kalau kita melihat secara seksama, betapa kayanya agama kita dan betapa hebatnya. Bayangin, dulu dikala hanya para filosof yang mengerti bahwa Tuhan hanya mencipta satu makhluk dari satu itu mencipta yang lainnya, dalam Islam dengan mudah dapat dijumpai hadits yang mengatakan bahwa makhluk pertama adalah Akal, Nur Muhammad.... dst, atau ”Aku dan Ali dari pohon yang sama”.....dan seterusnya. 

t. Akan tetapi umat Islam, karena belum terlalu tinggi berpandangan ilmu kala itu, maka sudah tentu yang ditonjolkan dalam ajaran-ajaran makrifat alias selain fikih itu mendasarkannya kepada keimanan dan kepercayaan kepada Rasul saww sekalipun tidak paham dengan sejelas-jelasnya apa yang dimaksudkan Nabi saww. 

u. Karena itulah maka rumus pemikiran, asal jelas dan gamlang, bisa digunakan untuk menguak ajaran-ajaran makrifat itu, bukan fikih. 

v. Jadi, Islam sama sekali tidak perlu kepada ilmu umat terdahulu, tapi untuk memahaminya bisa dikatakan perlu seperti dimakrifat dan bisa dikatakan tidak perlu seperti di fikih. Dan ingat, yang perlu itu adalah kita, bukan Nabi saww dan para imam makshum as, karena mereka sudah mencapai tingkat sesungguhnya Qur'an itu dengan kesucian dari dosa yang mereka ikhtiari-i yang ditempuh dalam waktu yang super cepat dan yang tidak bisa dijangkau oleh yang lainnya. 

w. Ilmu-ilmu terdahulu itu, tidak beda dengan ilmu-ilmu sekarang yang didapat dari umat Islam atau barat yang kafir. Artinya, kalau ia benar dan argumentatif, maka mengapa tidak dijadikan alat memahami Islam? Apakah dulu ada pelajaran matematika, fisika, kedokteran, ushulfikih, kalam, hadits, tafsir, metodologi tafsir...dst? Nah, kalau kita mengatakan bahwa Islam ternoda karena telah memakai ilmu-ilmu orang terdahulu, maka ia juga ternoda karena telah mengambil dari umatnya sendiri atau orang kafir pada masanya. Anda akan berkata bukan, bahwa semua itu adalah alat menjabarkan Islam? Nah, seperti itu pula posisi ilmu-ilmu terdahulu. 

x. Sementara untuk metode pencapaiannya, bukan makrifatnya, baik yang berupa hukum atau akhlak atau irfan, maka jelas Islam memiliki jalan yang lebih lengkap. Karena itulah maka bagi yang pandai menggalinya, akan menjadi setingkat dengan nabi-nabi as terdahulu. Karena itulah maka dalam suluk atau cara pencapaian, Islam memiliki ajaran yang kaya yang bisa dipahami dengan lebih mudah dari ajaran makrifatnya. Karena itulah suluk dalam Islam sangat lengkap dan hebat serta tinggi. 

Wassalam. 

Jajar Genjang: Luar biasa! Terima kasih banyak atas penjelasan yang begitu terperinci. Hal sangat bermanfaat bagi para awamis seperti saya. Semoga anda senantiasa berada dalam kasih & sayang Allah swt. Amin. Terima kasih. 

Sinar Agama: Salam, terimakasih atas doanya, semoga meliputi antum dan semua teman- teman fb lainnya juga, amin. Semoga antum menerbitkannya untuk umum ketika mengirimkan pertanyaan antum hingga bisa dilihat orang lain di beranda umum, bukan hanya saja di beranda saya.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ